Anda di halaman 1dari 8

REFERAT SKILL

TRAUMA DAN KEGAWATAN

KEGAWATAN OBSTETRI ( RETENSIO


PLASENTA, DISTOSIA BAHU, ATONIA UTERI)

OLEH:

Dafa Azmi Syauqi Shihab


201810330311054

SKILL 8

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

FAKULTAS KEDOKTERAN

2021
KEGAWATDARURATAN OBSTETRI

Angka kematian ibu dan bayi di Indonesia masih cukup tinggi. Hal ini
merupakan momok terbesar bagi seorang bidan dalam melaksanakan pelayanan
kebidanan. MDGs 2015 telah menetapkan target untuk menurunkan Angka Kematian
Ibu (AKI) menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup serta Angka Kematian Bayi
(AKB) menjadi 23 per 1000 kelahiran hidup. Sebenarnya kematian ibu dan bayi ini
dapat dicegah melalui deteksi dini terjadinya kasus serta rujukan yang cepat dan tepat
untuk setiap kasus kegawatdaruratan pada maternal dan neonatal.

Kedaruratan Obstetrik adalah suatu keadaan klinik yang apabila tidak segera
ditangani akan berakibat kesakitan yang berat bahkan kematian ibu dan janinnya.
Secara umum terdapat 4 penyebab utama kematian ibu, janin dan bayi baru lahir,yaitu
(1)perdarahan (2)infeksi, sepsis (3)hipertensi, preeklampsia, eklampsia (4) persalinan
macet (distosia). Persalinan macet hanya terjadi pada saat persalinan berlangsung,
sedangkan ketiga penyebab lain dapat terjadi dalam kehamilan, persalinan, dan masa
nifas.

Setiap kehamilan berpotensi mengalami risiko kedaruratan. Pengenalan kasus


kedaruratan obstetri secara dini sangat penting agar pertolongan yang cepat dan tepat
dapat dilakukan. Mengingat klinis kasus kedaruratan obstetri yang berbeda-beda
dalam rentang yang cukup luas, setiap kasus sebaiknya ditangani seyogyanya kasus
gawat darurat lewat triase awal, sampai pemeriksaan menunjukkan bahwa kasus
tersebut bukan kedaruratan. Dalam menangani kasus kegawatdaruratan, penentuan
permasalahan utama (diagnosis) dan tindakan pertolongan harus dilakukan dengan
cepat, tepat, dan segera mungkin.

1. Retensio Plasenta
Perlengketan plasenta (retensio placenta) adalah terlambatnya
kelahiran plasenta melebihi waktu 30 menit setelah bayi lahir, tanpa
perdarahan yang berlebihan. Plasenta harus dikeluarkan karena dapat
menimbulkan bahaya perdarahan dan infeksi (Manuaba, Manuaba, &
Manuaba, 2010). Perlengketan plasenta (retensio placenta) disebabkan karena
plasenta belum lepas dari dinding uterus, atau placenta sudah lepas akan tetapi
belum dilahirkan (Wiknjosastro, 2010). Jika placenta belum lepas sama sekali,
tidak terjadi perdarahan. Namun, jika lepas sebagian, terjadi perdarahan yang
merupakan indikasi untuk mengeluarkannya.
Peristiwa ini dapat terjadi karena plasenta belum lepas dari dinding
uterus akibat kontraksi uterus yang kurang kuat untuk melepaskan plasenta
(plasenta adhesive). Selain itu, plasenta melekat erat pada dinding uterus
disebabkan oleh vili korialis menembus desidua sampai miometrium, sampai
di bawah peritoneum (plasenta akreta – perkreta). Plasenta yang sudah lepas
dari dinding uterus akan tetapi belum keluar, disebabkan oleh tidak adanya
usaha untuk melahirkannya atau karena salah dalam penanganan kala III,
sehingga plasenta tertangkap dalam rongga rahim dan terjadi lingkaran
konstriksi pada bagian bawah uterus yang menghalangi keluarnya plasenta
(inkarseratio placenta), (Wiknjosastro, 2010).
Faktor predisposisi lain yang turut memengaruhi terjadinya
perlengketan plasenta menurut Manuaba (2010) adalah umur, paritas, uterus
terlalu besar, jarak kehamilan yang pendek, dan sosial ekonomi. Literatur
lainnya menambahkan pendidikan, riwayat komplikasi persalinan, dan status
anemia sebagai faktor faktor yang turut berhubungan dengan terjadinya
kejadian retensio plasenta
Penatalaksanaan Retensio Plasenta Plasenta Manual dilakukan dengan :
 Dengan narkosis
 Pasang infus NaCl 0.9%
 Tangan kanan dimasukkan secara obstetrik ke dalam vagina
 Tangan kiri menahan fundus untuk mencegah korporeksis
 Tangan kanan menuju ostium uteri dan terus ke lokasi plasenta
 Tangan ke pinggir plasenta dan mencari bagian plasenta yang sudah lepas
 Dengan sisi ulner, plasenta dilepaskan
Pengeluaran isi plasenta :
 Pengeluaran Isi Plasenta dilakukan dengan cara kuretase
 Jika memungkinkan sisa plasenta dapat dikeluarkan secara manual
 Kuretase harus dilakukan di rumah sakit
 Setelah tindakan pengeluaran, dilanjutkan dengan pemberian obat
uterotonika melalui suntikan atau peroral
 Antibiotika dalam dosis pencegahan sebaiknya diberikan
2. Distosia Bahu
Distosia bahu merupakan kondisi kegawatdaruratan obstetri pada
persalinan pervaginam dimana bahu janin gagal lahir secara spontan setelah
lahirnya kepala. Distosia bahu masih menjadi penyebab penting cedera
neonatal dan maternal dengan tingkat insidensi 0,6-1,4% dari persalinan
pervaginam. Penelitian di sejumlah rumah sakit pusat di Tiongkok
menunjukkan bahwa tingkat insidensi distosia bahu mencapai 0.260 (116
kasus dari 44.580 persalinan normal). Kasus distosia bahu memang tidak
umum terjadi namun membahayakan bagi ibu dan janin.
Distosia bahu memiliki kaitan erat dengan terjadinya cedera pleksus
brakialis. Cedera pleksus brakialis berkisar 1-20% dari seluruh kasus distosia
bahu. Seringkali cedera hanya bersifat sementara dan akan pulih dalam
hitungan jam hingga bulan, namun ditemukan juga cedera permanen pada 3-
10% kasus yang diduga terjadi akibat avulsi jaringan saraf.
Komplikasi dari distosia bahu yang dapat terjadi meliputi berbagai
derajat cedera pleksus brakialis dan yang jarang terjadi, kerusakan sistem
saraf pusat traumatis, asfiksia, dan fraktur tulang panjang hingga kematian
neonatal. Komplikasi yang dapat terjadi pada ibu antara lain laserasi,
perdarahan dan stress psikologis. Hingga kini, distosia bahu masih menjadi
tantangan bagi tenaga medis karena risiko terjadinya distosia bahu masih
belum dapat diprediksi dengan baik.
Penatalaksanaan distosia bahu (APN 2007)

a. Mengenakan sarung tangan desinfeksi tingkat tinggi atau steril.


b. Melaksanakan episiotomi secukupnya dengan didahului dengan anastesi lokal.
c. Mengatur posisi ibu Manuver Mc Robert.
 Pada posisi ibu berbaring terlentang, minta ibu menarik lututnya sejauh mungkin
kearah dadanya dan diupayakan lurus. Minta suami/keluarga membantu.
 Lakukan penekanan ke bawah dengan mantap diatas simpisis pubis untuk
menggerakkan bahu anterior di atas simpisis pubis. Tidak diperbolehkan
mendorong fundus uteri, beresiko menjadi ruptur uteri.
d. Ganti posisi ibu dengan posisi merangkak dan kepala berada di atas
 Tekan ke atas untuk melahirkan bahu depan
 Tekan kepala janin mantap ke bawah untuk melahirkan bahu belakang
3. Atonia Uteri
Atonia uteri merupakan kegagalan otot rahim dalam melakukan kompresi
pembuluh darah pada sisi plasenta yang terbuka setelah terjadi separasi,
sehingga darah dalam jumlah besar mengalir dari pembuluh darah maternal
tanpa dapat dihentikan melalui fungsi hemostasis dan kerja ligature
Perdarahan berat akibat dari atonia uteri selain dapat meningkatkan angka
mortalitas maternal juga dapat meningkatkan angka morbiditas meliputi
anemia berat yang menyebabkan ibu memerlukan transfusi darah, kurangnya
perfusi jaringan sehingga terjadi kegagalan organ, dan tindakan operatif
invasif berupa B-Lynch sampai dengan histerektomi.
Atonia uteri disebabkan oleh berbagai faktor risiko yang dapat dibagi menjadi
faktor risiko pada antepartum dan intrapartum. Faktor risiko antepartum
terdiri dari anemia sejak masa kehamilan (Hb ≤9 gr/dl), peningkatan umur
ibu, grande multipara, distensi uterus berlebih (kehamilan kembar,
makrosomia, polihidramnion), dan riwayat perdarahan postpartum sedangkan
faktor risiko pada intrapartum terdiri dari anestesi umum, percepatan
persalinan, persalinan lama, kala 3 memanjang, dan partus precipitatus .
Penatalaksanaan Atonia uteri
Manajemen Aktif kala III
Ibu yang mengalami perdarahan post partum jenis ini ditangani dengan :
1. Pemberian suntikan Oksitosin
 Periksa fundus uteri untuk memastikan kehamilan tunggal
 Suntikan Oksitosin 10 IU IM
2. Peregangan Tali Pusat
 Klem tali pusat 5-10 cm dari vulva/gulung tali pusat
 Tangan kiri di atas simfisis menahan bagian bawah uterus, tangan kanan
meregang tali pusat 5-10 cm dari vulva
 Saat uterus kontraksi, tegangkan tali pusat sementara tangan kiri menekan
uterus dengan hati-hati arah dorso-kranial.
3. Mengeluarkan Plasenta
 Jika tali pusat terlihat bertambah panjang dan terasa adanya pelepasan
plasenta, minta ibu meneran sedikit sementara tangan kanan menarik tali
pusat ke arah bawah kemudian keatas dengan kurve jalan lahir
 Bila tali pusat bertambah panjang tetapi belum lahir, dekatkan klem ± 5-
10 cm dari vulva
 Bila plasenta belum lepas setelah langkah diatas, selama 15 menit lakukan
suntikan ulang 10 IU oksitosin i.m, periksa kandung kemih lakukan
katerisasi bila penuh, tunggu 15 menit, bila belum lahir lakukan tindakan
plasenta manual.
4. Massase Uterus
 Segera setelah plasenta lahir, lakukan masase pada fundus uteri dengan
menggosok fundus secara sirkular mengunkan bagian palmar 4 jam tangan
kiri hingga kontraksi uterus baik (fundus terasa keras).
 Memeriksa kemungkinan adanya perdarahan pasca persalinan,
kelengkapan plasenta dan ketuban, kontraksi uterus, dan perlukaan jalan
lahir.
DAFTAR PUSTAKA

Akbar, dkk. 2017. Kehamilan Aterm dengan Distosia Bahu. Medula Volume 7
Nomor 4

Noor, Mega & Mulawardhana, Pungky & Utomo, Budi. (2020). Faktor Risiko
Kejadian Atonia Uteri. Pediomaternal Nursing Journal. 5. 189.
10.20473/pmnj.v5i2.13459.

Permatasari, dkk. 2017. FaktorFaktor yang Berhubungan dengan Kejadian


Perlengketan Plasenta (Retensio Placenta) di Rumah Sakit Islam Jakarta Cempaka
Putih: Sebuah Studi Kasus Kontrol. ARKESMAS, Volume 2, Nomor 1

Setyarini & Suprapti.2016. Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan Maternal Neonatal.


Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Anda mungkin juga menyukai