OLEH:
SKILL 8
FAKULTAS KEDOKTERAN
2021
KEGAWATDARURATAN OBSTETRI
Angka kematian ibu dan bayi di Indonesia masih cukup tinggi. Hal ini
merupakan momok terbesar bagi seorang bidan dalam melaksanakan pelayanan
kebidanan. MDGs 2015 telah menetapkan target untuk menurunkan Angka Kematian
Ibu (AKI) menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup serta Angka Kematian Bayi
(AKB) menjadi 23 per 1000 kelahiran hidup. Sebenarnya kematian ibu dan bayi ini
dapat dicegah melalui deteksi dini terjadinya kasus serta rujukan yang cepat dan tepat
untuk setiap kasus kegawatdaruratan pada maternal dan neonatal.
Kedaruratan Obstetrik adalah suatu keadaan klinik yang apabila tidak segera
ditangani akan berakibat kesakitan yang berat bahkan kematian ibu dan janinnya.
Secara umum terdapat 4 penyebab utama kematian ibu, janin dan bayi baru lahir,yaitu
(1)perdarahan (2)infeksi, sepsis (3)hipertensi, preeklampsia, eklampsia (4) persalinan
macet (distosia). Persalinan macet hanya terjadi pada saat persalinan berlangsung,
sedangkan ketiga penyebab lain dapat terjadi dalam kehamilan, persalinan, dan masa
nifas.
1. Retensio Plasenta
Perlengketan plasenta (retensio placenta) adalah terlambatnya
kelahiran plasenta melebihi waktu 30 menit setelah bayi lahir, tanpa
perdarahan yang berlebihan. Plasenta harus dikeluarkan karena dapat
menimbulkan bahaya perdarahan dan infeksi (Manuaba, Manuaba, &
Manuaba, 2010). Perlengketan plasenta (retensio placenta) disebabkan karena
plasenta belum lepas dari dinding uterus, atau placenta sudah lepas akan tetapi
belum dilahirkan (Wiknjosastro, 2010). Jika placenta belum lepas sama sekali,
tidak terjadi perdarahan. Namun, jika lepas sebagian, terjadi perdarahan yang
merupakan indikasi untuk mengeluarkannya.
Peristiwa ini dapat terjadi karena plasenta belum lepas dari dinding
uterus akibat kontraksi uterus yang kurang kuat untuk melepaskan plasenta
(plasenta adhesive). Selain itu, plasenta melekat erat pada dinding uterus
disebabkan oleh vili korialis menembus desidua sampai miometrium, sampai
di bawah peritoneum (plasenta akreta – perkreta). Plasenta yang sudah lepas
dari dinding uterus akan tetapi belum keluar, disebabkan oleh tidak adanya
usaha untuk melahirkannya atau karena salah dalam penanganan kala III,
sehingga plasenta tertangkap dalam rongga rahim dan terjadi lingkaran
konstriksi pada bagian bawah uterus yang menghalangi keluarnya plasenta
(inkarseratio placenta), (Wiknjosastro, 2010).
Faktor predisposisi lain yang turut memengaruhi terjadinya
perlengketan plasenta menurut Manuaba (2010) adalah umur, paritas, uterus
terlalu besar, jarak kehamilan yang pendek, dan sosial ekonomi. Literatur
lainnya menambahkan pendidikan, riwayat komplikasi persalinan, dan status
anemia sebagai faktor faktor yang turut berhubungan dengan terjadinya
kejadian retensio plasenta
Penatalaksanaan Retensio Plasenta Plasenta Manual dilakukan dengan :
Dengan narkosis
Pasang infus NaCl 0.9%
Tangan kanan dimasukkan secara obstetrik ke dalam vagina
Tangan kiri menahan fundus untuk mencegah korporeksis
Tangan kanan menuju ostium uteri dan terus ke lokasi plasenta
Tangan ke pinggir plasenta dan mencari bagian plasenta yang sudah lepas
Dengan sisi ulner, plasenta dilepaskan
Pengeluaran isi plasenta :
Pengeluaran Isi Plasenta dilakukan dengan cara kuretase
Jika memungkinkan sisa plasenta dapat dikeluarkan secara manual
Kuretase harus dilakukan di rumah sakit
Setelah tindakan pengeluaran, dilanjutkan dengan pemberian obat
uterotonika melalui suntikan atau peroral
Antibiotika dalam dosis pencegahan sebaiknya diberikan
2. Distosia Bahu
Distosia bahu merupakan kondisi kegawatdaruratan obstetri pada
persalinan pervaginam dimana bahu janin gagal lahir secara spontan setelah
lahirnya kepala. Distosia bahu masih menjadi penyebab penting cedera
neonatal dan maternal dengan tingkat insidensi 0,6-1,4% dari persalinan
pervaginam. Penelitian di sejumlah rumah sakit pusat di Tiongkok
menunjukkan bahwa tingkat insidensi distosia bahu mencapai 0.260 (116
kasus dari 44.580 persalinan normal). Kasus distosia bahu memang tidak
umum terjadi namun membahayakan bagi ibu dan janin.
Distosia bahu memiliki kaitan erat dengan terjadinya cedera pleksus
brakialis. Cedera pleksus brakialis berkisar 1-20% dari seluruh kasus distosia
bahu. Seringkali cedera hanya bersifat sementara dan akan pulih dalam
hitungan jam hingga bulan, namun ditemukan juga cedera permanen pada 3-
10% kasus yang diduga terjadi akibat avulsi jaringan saraf.
Komplikasi dari distosia bahu yang dapat terjadi meliputi berbagai
derajat cedera pleksus brakialis dan yang jarang terjadi, kerusakan sistem
saraf pusat traumatis, asfiksia, dan fraktur tulang panjang hingga kematian
neonatal. Komplikasi yang dapat terjadi pada ibu antara lain laserasi,
perdarahan dan stress psikologis. Hingga kini, distosia bahu masih menjadi
tantangan bagi tenaga medis karena risiko terjadinya distosia bahu masih
belum dapat diprediksi dengan baik.
Penatalaksanaan distosia bahu (APN 2007)
Akbar, dkk. 2017. Kehamilan Aterm dengan Distosia Bahu. Medula Volume 7
Nomor 4
Noor, Mega & Mulawardhana, Pungky & Utomo, Budi. (2020). Faktor Risiko
Kejadian Atonia Uteri. Pediomaternal Nursing Journal. 5. 189.
10.20473/pmnj.v5i2.13459.