Anda di halaman 1dari 7

Khutbah pertama

3×( ‫) اللهُ اَكبَ ُر‬3×( ‫×) اللهُ اَ ْكبَ ُر‬3( ‫اللهُ ا َ ْكبَ ُر‬
ُ‫ الَ اِلَهَ اِالَّ اللهُ َواللهُ ا َ ْكبَ ُر الله‬.‫صيْل‬ ِ َ‫س ْب َحانَ الله بُ ْك َرة َو أ‬ ُ ‫اللهُ ا َ ْكبَ ُر كبيرا َواْل َح ْمدُ لل ِه َكثِيْرا َو‬
ُ ‫ا َ ْكبَ ُر َولل ِه اْل َح ْمد‬
‫ض َحى َب ْعدَ َي ْو ِم‬ ْ َ‫ضانَ َو ِع ْيدَ اْال‬ َ ‫صيا َ ِم َر َم‬ ِ َ‫ط ِر َب ْعد‬ ْ ‫ا َ ْل َح ْمدُ لل ِه الَّذِى َج َع َل ِل ْل ُم ْس ِل ِميْنَ ِع ْيدَ اْل ِف‬
.ُ‫س ْولُه‬ ُ ‫س ِيدَنا َ ُم َح َّمدا َع ْبدُهُ َو َر‬ َ ‫ ا َ ْش َهد ُ اَ ْن الَ اِلَهَ اِالَّ اللهُ َو ْحدَهُ الَ ش َِري َْك لَهُ َواَ ْش َهدٌ اَ َّن‬.َ‫َع َرفَة‬
َ‫ص َحا ِب ِه ا َج َم ِعين‬ ْ َ ‫س ِي ِدنَا ُم َح َّم ٍد َو َعلَى ا َ ِل ِه َوا‬ َ ‫لى‬ َ ‫ص ِل َع‬ َ ‫الل ُه َّم‬
َ‫ فَيَا ِعبَادَالل ِه اِتَّقُوااللهَ َح َّق تُقَاتِ ِه َوالَ ت َ ُم ْوت ُ َّن اِالَّ َواَ ْنت ُ ْم ُم ْس ِل ُم ْون‬.ُ ‫اَ َّما بَ ْعد‬

Jama’ah Id yang dimuliakan Allah,


Sejak matahari terbenam di akhir Ramadhan, hanya kumandan takbir, tahmid, dan tahlil
yang menggema dimana-mana demi memuji kebesaran Allah SWT. Tiada yang lebih besar selain
Allah Swt. Suatu ungkapan yang lahir dari lubuk hati paling dalam, yang mengakui bahwa hanya
karena Allah kita hidup dan ada, untuk Allah kita bekerja dan beramal, dan kepada Allah kita
semua akan kembali.
Dengan takbir, tahmid, dan tahlil yang kita kumandangkan menunjukkan keinsafan kita
betapa kecilnya kita di hadapan Allah Yang Maha Agung, sekaligus meniadakan segala sifat
keangkuhan dan kecongkakan di dalam diri kita. Kita sadar bahwa apapun kebesaran yang kita
sandang, kita sangat kecil di hadapan Allah. Betapapun perkasanya kita, kita lemah dihadapan
Allah Yang Maha Kuat. Betapapun hebatnya kekuasaan dan pengaruh kita, kita tidak berdaya
dalam genggaman Allah Yang Maha Kuasa atas segala-galanya.
Allahu Akbar-3X Walillahilhamdu
Idul fitri adalah hari raya fitrah, hari raya kemanusiaan, hari raya kesucian. Disebut juga
hari kembalinya kita kepada kesucian kita. Karena itu sudah sewajarnya kita merenungi makna
hari raya ini agar kita mengetahui hikmah dan makna dibaliknya.
Fitrah adalah sebutan untuk rancangan Tuhan mengenai kita. Bahwa kita diciptakan Allah
dengan rancangan sebagai makhluk suci yang sakral. Allah SWT berfirman dalam surah ar-Rum
ayat 30:

‫ِين ْالقَيِ ُم َو َٰلَ ِك َّن أ َ ْكث َ َر‬


ُ ‫ق اللَّ ِه ۚ َٰذَ ِل َك الد‬
ِ ‫علَ ْي َها ۚ َال ت َ ْبدِي َل ِلخ َْل‬ َ َ‫ت اللَّ ِه الَّتِي ف‬
َ َّ‫ط َر الن‬
َ ‫اس‬ ْ ِ‫ِين َحنِيفا ۚ ف‬
َ ‫ط َر‬ ِ ‫فَأَقِ ْم َوجْ َه َك ِللد‬
َ‫اس َال َي ْعلَ ُمون‬
ِ َّ‫الن‬
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang
telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah)
agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Ayat ini menjelaskan kesucian asal manusia sebelum ia tercemar oleh noda dosa. Dari ayat
di atas, kita memahami bahwa potensi primer manusia adalah fitrah, yaitu suatu kecenderungan
alami manusia untuk memihak pada kebenaran. Manusia merasa tenteram apabila mendapatkan
kebenaran itu. Sebaliknya, semakin jauh dari kebenaran, maka hati manusia akan dipenuhi
dengan perasaan gundah dan gelisah. Dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa:
“Kebajikan ialah sesuatu yang membuat hati dan jiwa tenang. Sedangkan dosa ialah sesuatu
yang terasa tak karuan dalam hati dan menyesakkan dada” (HR Ahmad).
Seperti halnya system imunitas bagi tubuh, fitrah sesungguhnya adalah system pertahanan
untuk memelihara ruhani manusia agar selalu berada dalam koridor ilahi. Ketika ia mendeteksi
adanya sesuatu yang menyalahi aturan ilahi, iapun bereaksi melawan. Maka perbuatan dosa
menyebabkan hati tidak tenang dan menyesakkan dada. Begitulah cara kerja fitrah manusia, yang
didesain sejalan dengan petunjuk Tuhan, yang tidak mungkin berubah, dan tidak akan menyalahi
system yang ditetapkan untuknya.

Jama’ah Id yang dimuliakan Allah,


Begitu sempurnanya maha karya Allah SWT. dalam menciptakan manusia dengan potensi
fitrahnya yang lurus, hingga Allah SWT menggambarkan manusia itu sebagai ahsani taqwim,
yaitu makhluk yang diciptakan dalam mode terbaik.

َ ْ‫سانَ فِي أَح‬


‫س ِن ت َ ْق ِو ٍيم‬ ِ ْ ‫لَقَ ْد َخلَ ْقنَا‬
َ ‫اْل ْن‬
Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentul yang sebaik-baiknya.
Tidak hanya fisik (jasmani), tetapi juga nafsani (psikis), dan ruhani. Lalu, Allah SWT.
segera memperingatkan bahwa dibalik kesempurnaan penciptaannya itu, manusia sangat
berpeluang untuk jatuh, terjerembab di tempat yang nista “asfala safilin”.

َ ‫ث ُ َّم َردَدْنَاهُ أ َ ْسفَ َل‬


َ‫سافِ ِلين‬
Kemudian kami kembalikan dia di tempat yang serendah-rendahnya.
Penggambaran al Qur’an ini seakan mengingatkan kita kembali pada kisah Adam (nenek
moyang ummat manusia). Bagaimana dia dipersilakan hidup di surga bersama istrinya dan
menikmati apa yang berada di surga itu dengan bebas semau mereka, tetapi dipesan untuk tidak
mendekati pohon tertentu. Namun Adam melanggar ketentuan Tuhan dengan mendekati pohon
dan memetik buahnya yang terlarang. Adam pun jatuh diusir dari surga secara tidak terhormat.
Ini adalah simbolisasi dari keadaan kita semuanya. Karena kita ini adalah anak cucu Adam. Kita
semua punya potensi untuk jatuh tidak terhormat, kalau kita tidak tahu batas, tidak bisa menahan
diri. Derajat kemuliaan yang kita sandang hari ini, bila tidak kita jaga dengan hati-hati dan tidak
mawas diri dapat membawa petaka di kemudian hari.
Nurcholish Madjid menjelaskan bahwa “manusia itu selain memiliki potensi primernya
yaitu fitrah, juga memiliki potensi sekunder yaitu lemah, atau dalam Bahasa al Qur’an disebut
dha’if.
‫ض ِعيفا‬ ُ ‫س‬
َ ‫ان‬ ِ ْ َ‫َو ُخ ِلق‬
َ ‫اْل ْن‬
Manusia diciptakan dalam kodrat yang lemah (QS., an-Nisa: 28).
Diantara kelemahan manusia yang penting untuk kita ingat antara lain adalah “miotik”,
berpandangan pendek. Dalam Al- Quran banyak peringatan mengenai hal ini, dan yang paling
keras adalah firman Allah dalam Surah al-Qiyamah ayat 20:

ِ َ‫َك َّل بَ ْل ت ُ ِحبُّونَ ْالع‬


َ‫اجلَة‬
Sekali-kali Tidak! Bahkan (kamu manusia) lebih menginginkan sesuatu yang bersifat segera.
Karena berpandangan pendek (‘ajilah), manusia lebih mudah tergoda pada keuntungan
yang bersifat segera atau sesaat, dan tidak melihat akibat perbuatannya itu dalam jangka panjang.
Dalam kehidupan sehari hari, banyak contoh konkrit betapa manusia itu lebih mudah tergoda
pada kesenangan sesaat; ada yang mengurangi timbangan demi keuntungan dagang, ada yang
menyalahgunakan jabatan demi menumpuk harta, ada yang merekayasa cerita (hoaks) untuk
menyingkirkan saingan, bahkan ada yang menjual diri dan kehormatan demi iming-iming jabatan.
Semua trik manipulasi dan tipuan dilakukan untuk keuntungan yang bersifat segera walau buruk
akibatnya dalam jangka panjang. Begitulah hakikatnya dosa, sesuatu yang dalam jangka pendek
membawa kesenangan, tapi dalam jangka panjang membawa kehancuran. Jadi, kelemahan
manusia adalah berpikiran pendek, lalu karena itu ia mudah tergoda. faktor inilah yang seringkali
menjerumuskan manusia ke dalam dosa.
Jama’ah Id yang dimuliakan Allah,
Kita lahir dalam fitrah. Berarti kita hidup dalam kesucian. Pada dasarnya manusia adalah
makhluk yang suci. Ini bisa dilihat bagaimana islam mengajarkan bahwa jika anak meninggal
sebelum akil baligh, maka dia masuk surga, karena masih dalam kesucian. Akan tetapi karena
kita itu mudah tergoda, sehingga sedikit demi sedikit, diri kita menumpuk debu-debu dosa, dan
membuat hati kita menjadi gelap.
Semakin sering melakukan dosa, semakin gelaplah hati kita. Dan pada titik tertentu, dosa
itu dianggap sebagai hal biasa saja. Bahkan dosa dapat dianggapnya sebagai kebajikan. Problem
terbesar dalam masyarakat adalah menghadapi orang yang seperti ini, yaitu orang-orang yang
perilakunya buruk, akan tetapi justru merasa berbuat baik. Dalam al-Qur’an banyak sekali
dilukiskan antara lain dalam surah al-Kahfi :
“Katakanlah: ‘Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling
merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan
dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya,’ (QS. Al-
Kahfi:103-104).
Dalam surah al-A’raf Allah menggambarkan keadaan mereka itu:

ِ ‫وب َال يَ ْفقَ ُهونَ بِ َها َولَ ُه ْم أ َ ْعيُ ٌن َال يُب‬


ٌ َ‫ْص ُرونَ بِ َها َولَ ُه ْم آذ‬
‫ان َال يَ ْس َمعُونَ بِ َها‬ ٌ ُ‫لَ ُه ْم قُل‬
Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah),
mempunyai mata (tetapi) tidak digunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan
mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah).
Pada stadium ini, manusia telah benar-benar kehilangan kehormatannya hingga derajatnya
jatuh serendah-rendahnya (asfala safilin). Bahkan al-Qur’an menggambarkan mereka itu seperti
binatang ternak.
َ‫ض ُّل ۚ أُو َٰلَئِ َك ُه ُم ْالغَافِلُون‬
َ َ ‫أُو َٰلَئِ َك َك ْاْل َ ْن َع ِام بَ ْل ُه ْم أ‬
Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat. Mereka itulah orang-orang yang
lalai.
Kalau kita sampai pada stadium ini, maka sungguh ini adalah suatu malapetaka besar. Wal
‘iyazu billah tsumma na’uzubillah.
Itulah yang disebut “Kematian Nurani”, yaitu suatu kondisi dimana mata, telinga, dan
hati telah terkunci. Nurani adalah ungkapan dari Bahasa arab, yang berasal dari akar kata yang
sama dengan “nur” artinya cahaya, atau “nar” juga “niyraan”, artinya api. Api dan cahaya,
meskipun keduanya dapat dibedakan namun hakikat keduanya adalah suatu kontinum, dimana
api menimbulkan cahaya. Nurani adalah ungkapan untuk hati yang dipenuhi dengan cahaya
kebenaran. Karena itu ada istilah “hati nurani” yaitu hati yang bercahaya yang membimbing
manusia untuk tetap berada pada rel kebenaran. Ketika nurani mati, artinya hati tidak lagi
dipenuhi cahaya, maka yang terjadi adalah kegelapan atau zulumaatun. Inilah yang membuat kita
tidak melihat perbuatan buruk itu sebagai buruk, bahkan menganggapnya baik.
Apa yang membuat nurani mati, tidak lain adalah dosa. Dalam Bahasa arab dosa disebut
zulmun, berasal dari akar kata yang sama dengan “zulumaatun” artinya kegelapan. Maka dosa
hakikatnya adalah perbuatan yang bertentangan dengan hati nurani, mematikan cahaya hati, lalu
menyebabkan kegelapan. Semakin banyak dosa semakin gelaplah hati kita. Penjelasan ini
parallel dengan hadits rasulullah saw. :

َ ٌ‫ت فِي قَ ْلبِ ِه نُ ْكتَة‬


‫س ْودَا ُء‬ َ ‫ِإ َّن ْال َع ْبدَ إِذَا أ َ ْخ‬
ِ ‫طأ َ خ‬
ْ َ ‫َط ْيئَة نُ ِكت‬
Sesungguhnya seorang hamba jika melakukan perbuatan dosa akan menyebabkan noda hitam di
hatinya. [HR. Ibnu Mâjah, dan Tirmidzi]
Itulah mengapa Allah menyediakan bulan ramadhan sebagai wahana untuk mensucikan
diri dan membersihkan kembali hati kita. Sepanjang bulan ramadhan, kita berlatih menahan diri
dari godaan-godaan. Seperti dilambangkan dengan makan, minum, serta hubungan biologis.
Tujuannya bukanlah untuk lapar dan haus itu sendiri melainkan untuk melatih diri agar kita tidak
mudah tergoda.
Melatih menahan diri dari godaan-godaan, tidak lain tujuannya adalah untuk menutupi
kelemahan manusia itu sendiri yang mudah tergoda. Maka pahala ibadah puasa tergantung kepada
seberapa jauh kita bersungguh-sungguh melatih menahan diri. Dengan demikian, di dalam puasa
itu sesungguhnya terdapat unsur “self denial”, mengingkari diri sendiri. Mengingkari diri sendiri
tujuannya adalah supaya jangan terlalu mudah menuruti apa saja yang didiktekan oleh keinginan
kita. Puasa merupakan sarana latihan agar manusia tidak terjebak ke dalam kelemahannya sendiri,
yaitu miotik, berpikiran pendek.
Dan kalau kita berhasil menjalankan ibadah puasa dengan iman dan ihtisab, maka seluruh
dosa kita yang lalu akan diampuni oleh Allah swt, seluruh noda hitam di hati kita akan
dibersihkan, lalu hati kita akan kembali dipenuhi dengan cahaya (nurani), yang tidak lain adalah
fitrah itu sendiri. Dan konsekuensinya pada waktu kita selesai berpuasa, yaitu pada tanggal 1
Syawal, kita ibarat dilahirkan kembali (born again). Itulah yang kita rayakan hari ini, yaitu
kembalinya kita kepada fitrah yang suci.

ْ ِ‫ َوتَقَب َّْل ِمن‬. ‫الذ ْك ِر ْال َح ِكي ِْم‬


َ ِ‫ي َو ِم ْن ُك ْم ت‬
ُ ‫لوتَه‬ ِ ‫ َونَفَعَنِي َواِيِا ُك ْم بما فيه ِمنَ اآليَا‬. ‫آن ْالعَ ِظي ِْم‬
ِ ‫ت َو‬ ِ ‫اركَ اللهُ ِلي َولَ ُك ْم فِي ْالقُ ْر‬ َ َ‫ب‬
َّ ‫ فَا ْست َ ْغ ِف ُر ْوا اِنَّهُ هُ َواْلغَفُ ْو ُر‬.‫س ِم ْي ُع اْلعَ ِل ْي ُم‬
‫الر ِح ْي ُم‬ َّ ‫اِنهُ هُ َو ال‬

Khutbah kedua
ُ ‫صيْل الَ اِلَهَ اِالَّ اللهُ َوالله‬ ِ َ ‫س ْب َحانَ الله بُ ْك َرة َو أ‬ ُ ‫( اللهُ ا َ ْكبَ ُر كبيرا َواْل َح ْمد ُ لل ِه َكثِيْرا َو‬4×) ‫×) اللهُ ا َ ْكبَ ُر‬3( ‫اللهُ ا َ ْكبَ ُر‬
ُ ‫ا َ ْكبَ ُر اللهُ ا َ ْكبَ ُر َولل ِه اْل َح ْمد‬
‫ َوا َ ْش َهد ُ ا َ ْن الَ اِلَهَ اِالَّ الله ُ َو ْحدَهُ الَ ش َِريْكَ لَهُ َوا َ ْش َهد ُ ا َ َّن‬.‫لى ت َ ْوفِ ْي ِق ِه َواِ ْمتِنَانِ ِه‬
َ ‫ع‬َ ُ‫ش ْك ُر لَه‬
ُّ ‫سانِ ِه َوال‬ َ ‫لى اِ ْح‬َ ‫ع‬ َ ‫ا َ ْل َح ْمد ُ لل ِه‬
‫س ِل ْم ت َ ْس ِليْما‬ ْ َ ‫علَى ا َ ِل ِه َوا‬
َ ‫ص َحابِ ِه َو‬ َ ‫سيِ ِدنَا ُم َح َّم ٍد ِو‬َ ‫علَى‬
َ ‫ص ِل‬ َ ‫ الل ُه َّم‬.‫ِلى ِرض َْوانِ ِه‬ َ ‫س ْولُهُ الدَّا ِعى ا‬ ُ ‫ع ْبدُهُ َو َر‬َ ‫سيِدَنَا ُم َح َّمدا‬ َ
‫ِكثيْرا‬
‫ع َّما نَ َهى َوا ْعلَ ُم ْوا ا َ َّن اللهَ ا َ َم َر ُك ْم ِبا َ ْم ٍر بَدَأ َ ِف ْي ِه بِنَ ْف ِس ِه َوثَـنَى ِب َمآل‬
َ ‫اس اِتَّقُوااللهَ ِفيْ َما ا َ َم َر َوا ْنت َ ُه ْوا‬
ُ َّ‫ا َ َّما بَ ْعد ُ فَيا َ اَيُّ َها الن‬
‫الل ُه َّم‬. ‫س ِل ُم ْوا ت َ ْس ِليْما‬ َ ‫صلُّ ْوا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫لى النَّ ِبى يآ اَيُّ َها الَّ ِذ ْي َن آ َمنُ ْوا‬َ ‫ع‬َ َ‫صلُّ ْون‬ َ ُ‫ِئ َك ِت ِه ِبقُدْ ِس ِه َوقَا َل تَعاَلَى ا َِّن اللهَ َو َمآل ئِ َكتَه ُ ي‬
َ‫سلِكَ َو َمآلئِ َك ِة اْل ُمقَ َّربِيْن‬ ُ ‫علَى اَنْ ِبيآئِكَ َو ُر‬ َ ‫علَى آ ِل‬
َ ‫س ِيدِنا َ ُم َح َّم ٍد َو‬ َ ‫س ِل ْم َو‬ َ ُ‫صلَّى الله‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫علَى‬
َ ‫س ِي ِدنَا ُم َح َّم ٍد‬ َ ‫ص ِل‬ َ
Jama’ah Id yang dimuliakan Allah,
Puasa sudah kita lewati dan tak ada jaminan kita bakal bertemu Ramadhan lagi. Jika standar
capaian tertinggi puasa adalah takwa, maka tanda-tanda bahwa kita sukses melewati ramadhan
pun tak lepas dari ciri-ciri muttaqîn. Semakin tinggi kualitas takwa kita, semakin tinggi pula
kesuksesan kita berpuasa. Demikian juga sebaliknya.
Lantas, apa saja ciri-ciri orang bertakwa? Ada beberapa ayat Al-Qur’an yang menjelaskan
ciri-ciri orang bertakwa. Salah satunya terdapat dalam Surat Ali Imran ayat 134-135:

‫ َوالَّذِينَ ِإذَا‬.‫ــاس َواللَّهُ ي ُ ِحبُّ ْال ُمـحْ ِس ِنــي َن‬ ِ َّ‫ع ِن الن‬ َ َ‫ظ َو ْالعَـــا ِفين‬ َ ‫اظ ِمينَ ْالغَ ْي‬ِ ‫س َّر ِاء َوالض ََّّر ِاء َو ْال َك‬ َّ ‫الَّذِينَ يُ ْن ِفقُونَ ِفي ال‬
‫علَ َٰى َما‬
َ ‫ص ُّروا‬ ِ ُ ‫وب ِإ َّال اللَّهُ َولَ ْم ي‬
َ ُ ‫س ُه ْم ذَ َك ُروا اللَّهَ فَا ْست َ ْغفَ ُروا ِلذُنُو ِب ِه ْم َو َم ْن يَ ْغ ِف ُر الذُّن‬
َ ُ‫ظلَ ُموا أ َ ْنف‬
َ ‫احشَة أ َ ْو‬ ِ َ‫فَعَلُوا ف‬
َ‫فَعَلُوا َوهُ ْم يَ ْعلَ ُمون‬
“(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya) pada saat sarrâ’ senang dan pada saat
susah, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah
menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila
mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu
memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain
dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka
mengetahui.” (QS Ali Imran: 134-135)

Ayat tersebut memaparkan tiga sifat yang menjadi ciri orang bertakwa.
Pertama, gemar menyedekahkan sebagian hartanya dalam kondisi senang ataupun sulit.
Orang bertakwa mesti berjiwa sosial, menaruh empati kepada sesama, serta rela berkorban dalam
setiap keadaan.
Dalam konteks Ramadhan dan Idul Fitri, sifat takwa pertama ini sebenarnya sudah mulai
didorong oleh Islam melalui zakat, baik zakat fitrah maupun zakat maal. Zakat merupakan simbol
bahwa “rapor kelulusan” puasa harus ditandai dengan mengorbankan sebagian kekayaan kita dan
menaruh kepedulian kepada mereka yang lemah. Ayat tersebut menggunakan fi’il mudhari’
yunfiqûna yang bermakna aktivitas itu berlangsung konstan/terus-menerus. Dari sini, dapat
dipahami bahwa zakat hanyalah awal atau “pancingan” bagi segenap kepedulian sosial tanpa
henti pada bulan-bulan berikutnya.
Kedua, orang bertakwa adalah pandai menahan amarah dan memaafkan sesama manusia.
Pandai menahan amarah dan mudah memaafkan adalah dua kualitas kemanusiaan yang terkait
satu sama lain, bagaikan dua muka dari satu keping mata uang logam. Jadi merupakan dua aspek
dari satu hakikat, sehingga tidak mungkin dipisahkan. Dalam literatur kesufian ada ungkapan
“nafsu amarah”. Ungkapan itu merujuk kepada (Q.s, Yusuf ayat 53), yaitu:

ۚ ‫وء ِإ َّال َما َر ِح َم َر ِبي‬


ِ ‫س‬ َ ‫س َْل َ َّم‬
ُّ ‫ارة ٌ بِال‬ َ ‫ِإ َّن النَّ ْف‬
“Sesungguhnya nafsu itu pastilah mendorong kepada kejahatan, kecuali nafsu yang
dirahmati oleh Tuhanku.”
Jadi “marah” itu disebut “marah”, karena dia merupakan wujud dorongan nafsu ke arah
kejahatan. Maka lebih baik ditahan, dan diganti dengan sikap pemaaf kepada sesama manusia.
Jika kita jalani petunjuk Ilahi ini, akan terbukti bahwa sikap itu justru lebih sehat daripada
sebaliknya.
Ketiga, ciri orang yang bertakwa adalah mereka yang mengiringi perbuatan dosa dengan
istighfar. Istighfar adalah sebentuk amalan yang menumbuhkan pengalaman ketuhanan.
Pengalaman ketuhanan yang diperoleh melalui istighfar ialah: pertama, menanamkan kerendahan
hati, karena kesadaran bahwa tidak seorang pun yang bebas dari beban dosa. Kedua, dengan
banyak istighfâr kita dididik dan dituntun untuk tidak mengklaim diri sebagai —“paling suci”
atau tepatnya “sok suci”— yang sikap itu sendiri merupakan suatu bentuk kesombongan
‫‪Akhirnya, mari kita semua introspeksi diri; sudah berapa kali puasa kita lewati sepanjang‬‬
‫‪hidup kita? Sudahkah ciri-ciri sukses ramadhan tersebut melekat dalam diri kita? Wallahu a’lam‬‬
‫‪bish shawab.‬‬

‫ت الل ُه َّم ا َ ِع َّز اْ ِال ْسلَ َم‬ ‫ت اَالَحْيآ ُء ِم ْن ُه ْم َواْالَ ْم َوا ِ‬ ‫ت َواْل ُم ْس ِل ِميْنَ َواْل ُم ْس ِل َما ِ‬ ‫اَلل ُه َّم ا ْغ ِف ْر ِل ْل ُمؤْ ِمنِيْنَ َواْل ُمؤْ ِمنَا ِ‬
‫الديْنَ َوا ْخذ ُ ْل َم ْن‬ ‫ص َر ِ‬ ‫ص ْر َم ْن نَ َ‬ ‫ص ْر ِع َبادَ َك اْل ُم َو ِحدِين َوا ْن ُ‬ ‫َواْل ُم ْس ِل ِميْنَ َوأ َ ِذ َّل الش ِْر َك َواْل ُم ْش ِر ِكيْنَ َوا ْن ُ‬
‫عنَّا اْل َبلَ َء َواْ َلو َبا َء‬ ‫الدي ِْن‪ .‬الل ُه َّم ادْفَ ْع َ‬ ‫الدي ِْن َوا ْع ِل َك ِل َمات َ َك اِلَى يَ ْو َم ِ‬ ‫َخذَ َل اْل ُم ْس ِل ِميْنَ َو دَ ِم ْر ا َ ْعدَا َء ِ‬
‫سائِ ِر‬‫صة َو َ‬ ‫ع ْن بَلَ ِدنَا اِ ْند ُونِ ْي ِسيَّا خآ َّ‬ ‫طنَ َ‬ ‫ظ َه َر ِم ْن َها َو َما بَ َ‬ ‫س ْو َء اْل ِفتْنَ ِة َواْ ِلم َحنَ َما َ‬ ‫الزالَ ِز َل َواْ ِلم َحنَ َو ُ‬ ‫َو َّ‬
‫اْلبُ ْلدَا ِن اْل ُم ْس ِل ِميْنَ عآ َّمة يَا َربَّ اْل َعالَ ِميْنَ ‪.‬‬
‫سن ََاوا ِْن لَ ْم ت َ ْغ ِف ْر لَنَا‬‫ظلَ ْمنَا ا َ ْنفُ َ‬
‫ار ‪َ .‬ربَّنَا َ‬ ‫عذَ َ‬
‫اب النَّ ِ‬ ‫سنَة َو ِقنَا َ‬ ‫آلخ َرةِ َح َ‬ ‫سنَة َو ِفى اْ ِ‬ ‫َربَّنَا آ ِتنا َ ِفى الدُّ ْن َيا َح َ‬
‫بى َويَ ْن َهى‬ ‫ْتآء ذِى اْلقُ ْر َ‬ ‫ان َو ِإي ِ‬ ‫س ِ‬ ‫َوت َ ْر َح ْمنَا لَنَ ُك ْون ََّن ِمنَ اْلخَا ِس ِريْنَ ‪ِ .‬عبَادَالل ِه ! ا َِّن اللهَ يَأ ْ ُم ُرنَا بِاْل َعدْ ِل َواْ ِالحْ َ‬
‫لى نِ َع ِم ِه‬ ‫ع َ‬ ‫ظ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَذَ َّك ُر ْونَ َواذْ ُك ُروااللهَ اْل َع ِظي َْم يَذْ ُك ْر ُك ْم َوا ْش ُك ُر ْوهُ َ‬ ‫ْشآء َواْل ُم ْن َك ِر َواْلبَ ْغي يَ ِع ُ‬ ‫ع ِن اْلفَح ِ‬ ‫َ‬
‫َي ِزدْ ُك ْم َولَ ِذ ْك ُر الل ِه ا َ ْك َب ْر‬

Anda mungkin juga menyukai