Anda di halaman 1dari 9

Kelompok 7

Tingkah Laku Menolong

Tingkah laku menolong, atau dalam psikologi sosial dikenal dengan tingkah laku
prososial, adalah tindakan individu untuk menolong orang lain tanpa adanya keuntungan
langsung bagi si penolong (Baron, Byrne, dan Branscombe).

Tingkah laku menolong adalah tindakan individu yang ditujukan untuk menolong
orang lain tanpa adanya keuntungan langsung bagi si penolong. Contoh menolong yang
murni adalah altruism, yaitu menolong untuk kesejahteraan orang lain semata (selfless), tanpa
motivasi untuk kepentingan diri sendiri (selfish).

Definisi Perilaku Menolong

Perilaku menolong (helping behaviour) adalah setiap tindakan yang lebih memberikan
keuntungan bagi orang lain daripada terhadap diri sendiri (Wrightsman & Deaux). Menurut
Staub & Wispe, perilaku menolong adalah perilaku yang menguntungkan orang lain lebih
daripada diri sendiri (dalam Hogg & Vaugan).

Menurut Dovidio & Penner, menolong (helping) adalah suatu tindakan yang bertujuan
menghasilkan keuntungan terhadap pihak lain. Michener& Delamater, mendefinisikan
menolong (helping) sebagai segala tindakan yang mendatangkan kebaikan atau meningkatan
kesejahteraan (well-being) bagi orang lain. Sejalan dengan itu perilaku menolong juga
diartikan sebagai suatu tindakan yang menguntungkan orang lain tanpa harus menguntungkan
si penolong secara langsung, bahkan kadang menimbulkan resiko terhadap si penolong
(Baron, Byrne & Branscombe).

Dari definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa perilaku menolong adalah segala
tindakan yang lebih menguntungkan dan meningkatan kesejahteraan (well-being) orang lain
daripada terhadap diri sendiri, bahkan kadang menimbulkan resiko terhadap si penolong.

Bentuk-Bentuk Perilaku menolong

Perilaku menolong menurut Wrightsman dan Deaux dibedakan berdasarkan tingkat


pengorbanan pelaku ke dalam tiga bentuk tindakan, yaitu favor, donation, dan intervention in
emergency.

Favor, dapat diartikan sebagai tindakan membantu orang lain, dimana usaha

1
membantu tersebut tidak banyak membutuhkan pengorbanan (pengorbanan yang
kecil). Pengorbanan yang dimaksudkan disini berupa pengorbanan tenaga/usaha
dan waktu. Walaupun pengorbanan yang diberikan pelaku kecil, namun dampak
dari tindakan ini menguntungkan bagi orang lain. Jadi, cost yang harus diberikan
oleh mereka yang melakukan perilaku ini tidaklah begitu besar, dalam arti tidak
melibatkan pengorbanan yang memberatkan pelakunya.

Donation, perilaku ini disebut juga dengan perilaku menyumbang terhadap seseorang
atau organisasi yang memerlukan. Tindakan ini membutuhkan pengorbanan
materi berupa uang atau barang.

Intervention in Emergency, merupakan perilaku memberikan bantuan kepada orang


lain yang dilakukan dalam kondisi stressful atau pada situasi gawat darurat,
dengan kemungkinan keuntungan yang sangat kecil bagi yang melakukan. Dalam
melakukan tindakan ini dapat mengundang ancaman keselamatan diri dari
penolong. Oleh karena itu, penolong berkorban besar dan kemungkinan
mendapatkan keuntungan yang sangat kecil dari tindakan ini. Contoh: membantu
menyelamatkan orang yang hanyut di sungai.

2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku menolong

1) Faktor situasional yang meningkatkan atau menghambat perilaku menolong

a) Kehadiran orang lain

Penelitian yang dilakukan oleh Darley dan Latane kemudian Latane dan
Robin, menunjukkan hasil bahwa orang yang melihat kejadian darurat akan lebih suka
memberi pertolongan apabila mereka sendirian daripada bersama orang lain. Sebab
dalam situasi kebersamaan, seseorang akan mengalami kekaburan tanggung jawab
(dalam Hudaniah).

Staub (1978) justru menemukan kontradiksi dengan fenomena di atas, karena


dalam penelitiannya terbukti bahwa individu yang berpasangan atau bersama orang
lain lebih suka bertindak prososial dibandingkan bila individu seorang diri. Sebab
dengan kehadiran orang lain akan mendorong individu untuk lebih mematuhi norma-
norma sosial yang dimotivasi oleh harapan mendapat pujian (Sampson, dalam
Hudaniah).
b) Menolong orang yang disukai (Helping Those You Like)

Kebanyakan penelitian lebih tertarik meneliti pertolongan yang diberikan


seseorang kepada orang asing, karena sudah jelas orang tersebut akan sangat
cenderung menolong anggota keluarga dan teman. Seseorang akan cenderung
menolong orang asing yang menjadi korban, jika si korban tersebut memiliki
persamaan (usia, ras) dengan si penolong tersebut ( Shaw, Borough, & Fink dalam
Baron, Byrne, & Branscombe).

Pria sangat cenderung untuk menyediakan bantuan terhadap seorang wanita


yang sedang distress (Piliavin & Unger), mungkin karena perbedaan gender dalam
kemampuan spesifik, dan mungkin karena wanita lebih ingin meminta pertolongan
daripada pria (dalam Baron, Byrne, & Branscombe).

Menolong orang yang meniru kita (Helping Those Mimic Us)

Salah satu yang mempengaruhi perilaku prososial adalah mimicry, yaitu


kecenderungan otomatis untuk meniru perilaku orang lain yang berinteraksi dengan
kita. Penelitian menunjukkan bahwa mimicry meningkatkan kecenderungan terlibat
dalam perilaku menolong ini. Efek ini terjadi karena imitasi adalah sebuah aspek
penting dari belajar dan akulturasi (de Wall, dalam Baron, Byrne, & Branscombe). Ini
sesuai dengan pendapat Bandura (dalam Schultz & Schultz) yang menyatakan bahwa
seseorang belajar menolong melalui proses imitasi. Imitasi dapat mendorong individu
atau kelompok untuk melaksanakan perbuatan-perbuatan yang baik, karena dengan
mengikuti suatu contoh yang baik akan merangsang seseorang untuk melakukan
perilaku yang baik pula (Dayakisni & Hudaniah).

Menolong orang yang tidak bertanggung-jawab terhadap masalahnya (Helping Those


Who Are Not Responsible for Their Problem).

Kita akan cenderung menolong orang lain yang masalah yang dialaminya terjadi
bukan karena kesalahannya. Misalnya, ketika orang menemukan seorang pria yang
tergeletak, tidak sadarkan diri di jalan,dengan botol minuman keras yang kosong di
sampingnya akan cenderung kurang menunjukkan perilaku menolong di bandingkan
jika pria yang tergeletak di jalan itu adalah seorang pria berpakaian mahal dengan
luka di kepalanya karena hal ini mengindikasikan bahwa pria tersebut adalah korban
kekerasan saat sedang di jalan (dalam Baron, Byrne, & Branscombe).

3
Adanya model ( Exposure to Prosocial Models)

Kehadiran orang lain yang berperilaku menolong menimbulkan social model, dan
hasilnya adalah sebuah peningkatan dalam perilaku menolong pada orang lain yang
melihatnya. Selanjutnya, model prososial dalam media massa juga memberi
kontribusi dalam menciptakan norma sosial dalam perilaku prososial. Dengan
menonton perilaku prososial pada televisi meningkatkan kejadian dari perilaku
prososial dalam kehidupan nyata (dalam Baron, Byrne, & Branscombe). Akan tetapi,
media massa dapat juga memiliki efek negatif. Seperti salah satu contoh, penelitian
partisipan yang memainkan video games kekerasan seperti Mortal combat dan Street
Fighter menunjukkan adanya suatu penurunan dalam perilaku prososial (Anderson &
Bushman, dalam Baron, Byrne, & Branscombe).

Mengapa Orang Menolong?

Menurut kajian psikologi sosial, ada berbagai hal yang mempengaruhi mengapa orang
menolong. Dalam memberikan suatu pertolongan seseorang akan mempertimbangkan alasan
"untuk apa saya menolongnya? apa untungnya bagi dia dan saya?" atau semacamnya.

Lima hal dalam pengambilan keputusan untuk menolong menurut Baron&Byrne:

1. Menyadari situasinya.

Seseorang tidak akan mungkin menolong bila tidak tahu dan menyadari adanya situasi
yang menyebabkan orang lain butuh ditolong. Namun terkadang di tahap ini sering terganggu
oleh adanya hal lain seperti kesibukan, ketergesaan, kepentingan dan lain-lain

2. Menginterpretasikan situasi

Jika seseorang menginterpretasikan situasi sebagai situasi darurat/situasi yang


membutuhkan pertolongan maka ia akan memberi pertolongan.

3. Mengasumsikan bahwa sudah menjadi tanggung jawabnya untuk menolong

Apabila muncul perasaan bahwa peristiwa itu merupakan sebagian dari tanggung
jawabnya, maka kemungkinan akan ada tindakan menolong.

4. Mengetahui apa yang harus dilakukan

Beberapa tindakan darurat membutuhkan pengetahuan dan ketrampilan khusus dalam


permberian pertolongan. Sehingga walaupun telah mencapai tahap ke3, tidak ada hal berarti
yang dapat dilakukan kecuali mengetahui apa yan harus dilakukan.

5. Mengambil keputusan untuk menolong

Hal ini penting karena walaupun di tahap sebelumnya, seseorang menjawab ya belum
tentu ia akan menolong apabila ia tidak memutuskan apakah ixa harus menolong ataukah
tidak.

Kapan Orang Akan Menolong?

Faktor yang mempengaruhi pemberian pertolongan :

Situasi sosial

semakin banyak orang yang melihat kejadian yang memerlukan pertolongan makin
kecil munculnya dorongan untuk menolong

Pengeluaran/ cost menolong

Dengan keputusan memberi pertolongan berarti akan ada biaya tertentu yang harus
dikeluarkan untuk menolong itu. Pengeluaran bisa berupa materi namun yang lebih sering
adalah pengeluaran psikologis (memberi perhatian, ikut sedih)

Karakteristik orang yang terlibat

Kesamaan antara penolong dengan korban

makin banyak kesamaan antara dua belah pihak makin besar peluang untuk
munculnya pemberian pertolongan.

Kedekatan hubungan

pada umumnya, orang akan cepat memberi pertolongan pada teman, sahabat, saudara
daripada orang yang belum dikenal.

Daya tarik korban

Ada kecenderungan bahwa orang lebih senang memberi pertolongan pada orang yang
disukainya/yang memiliki daya tarik tinggi karena ada tujuan tertentu dibalik pemberian
pertolongan tersebut

5
3. Pengaruh Faktor Dari Dalam Diri

a) Suasana Hati (mood), emosi seseorang dapat memengaruhi kecendrunngannya


untuk menolong ( Baron, Byrne, Branscombe). Emosi positif secara umum
meningkatkan tingkah laku menolong. Namun, jika situasi tidak jelas (ambigu), maka
orang yang sedang bahagia cendrung untuk mengasumsikan bahwa tidak ada keadaan
darurat sehingga tidak menolong. Pada emosi negatif, seseorang yang sedang sedih
mempunyai kemungkinan menolong yang lebih kecil. Namun, jika dengan menolong
akan membuat suasana hati lebih baik, maka dia akan memberikan pertolongan.

b) Sifat, beberapa penelitian membuktikan terdapat hubungan antara karakteristik


seseorang dengan kecendrungannya untuk menolong. Orang yang mempunyai sifat
pemaaf (forgiveness) dan orang yang mempunyai pemantauan diri (self monitoring)
yang tinggi, ia akan mempunyai kecendrungan mudah menolong (Karremans,dkk).
Bierhoff, Klein, dan Kramp dalam Baron, Byrne, Branscombe, telah mengemukakan
faktor dalam diri yang menyusun kepribadian altruistik, yaitu adanya empati,
kepercayaan terhadap dunia yang adil, rasa tanggung jawab sosial, memiliki internal
locus of control dan egosentrisme yang rendah.

c) Jenis Kelamin, peranan gender terhadap kecendrungan seseorang untuk menolong


sangat bergantung pada situasi dalam bentuk pertolongan yang dibutuhkan. Laki-laki
cendrung lebih mau terlibat dalam aktivitas menolong pada situasi darurat yang
membahayakan, misalnya menolong seseorang dalam kebakaran. Hal ini tampaknya
terkait dengan peran tradisional laki-laki, yaitu laki-laki dipandang lebih kuat dan
lebih mempunyai keterampilan untuk melindungi diri. Sementara perempuan, lebih
tampil menolong pada situasi yang bersifat memberi dukungan emosi, merawat, dan
mengasuh (Deaux, Dane, Wringhtsman).

d) Tempat Tinggal, orang yang tinggal di daerah pedesaan cendrung lebih penolong
daripada orang yang tinggal di daerah perkotaan. Hal ini dapat dijelaskan melalui
urban-overload hypothesis, yaitu orang-orang yang tinggal di perkotaan terlalu
banyak mendapat stimulus dari lingkungan. Oleh karenanya, ia harus selektif dalam
menerima paparan informasi yang sangat banyak agar bisa tetap menjalankan peran-
perannya dengan baik. Itulah sebabnya, di perkotaan, orang-orang yang sibuk sering
tidak peduli dengan kesulitan orang lain karena ia sudah overload dengan beban
tugasnya sehari-hari (Deaux, Dane, Wrightsman).
e) Pola Asuh, tingkah laku sosial sebagai bentuk tingkah laku yang menguntungkan
orang lain tidak terlepas dari peranan pola asuh di dalam keluarga. Pola asuh yang
bersifat demokratis secara Signifikan memfasilitasi adanya kecenderungan anak untuk
tumbuh menjadi seorang yang mau menolong, yaitu melalui peran orang tua dalam
menetapkan standar-standar ataupun contoh-contoh tingkah laku menolong. Pola asuh
orang tua yang demokratis juga turut mendukung terbentuknya internal locus of
control, yang merupakan salh satu sifat dari kepribadian altruistik, yaitu orang yang
suka menolong memiliki locus of control internal lebih tinggi dibandingkan dengan
orang yang tidak suka menolong.

Aspek dari perilaku menolong adalah rasa percaya kepada orang lain (interpersonal
trust). Individu yang tidak memiliki kepercayaan terhadap orang lain cenderung kurang
dalam berperilaku menolong (Baron & Byrne).

Tahapan Menolong

Pengambilan Keputusan Apakah akan Menolong atau Tidak

Apapun motivasi seseorang untuk menolong, ada beberapa tahapan yang harus dilalui
sebelum pertolongan diberikan. Latane dan Darley menemukan bahwa respon seseorang
dalam situasi darurat meliputi lima tahapan penting dan dalam setiap tahap seseorang dapat
memutuskan apakah ia akan menolong atau tidak. Berikut tahap-tahap pengambilan
keputusan apakah seseorang akan menolong atau tidak. Tahap pertama, seseorang tidak
memperhatikan situasi. Tahap kedua, menilai situasinya darurat atau tidak. Tahap ketiga,
perasaan memiliki tanggung jawab atau tidak. Tahap keempat, menyadari memiliki
pengetahuan dan keterampilan atau tidak untuk menolong. Tahap kelima, keputusan untuk
menolong atau tidak.

Sasaran dan Cara Menolong

Gender

Persepsi terhadap adanya kebutuhan akan pertolongan sangat menentukan apakh


seseorang akan ditolong atau tidak. Bagaimana dengan perempuan, ang dipersepsikan
sebagai kuraang mampu dan lebih tergantung? Apakah perempuan mempunyai
kemungkinan lebih besar untuk ditolong daripada laki-laki? Meskipun terlihat sebagai
stereotip yang merendahkan perempuan, penelitian telah secara konsisten menunjukkan

7
bahwa laki-laki cenderung lebih memberikan pertolongan pada perempuan. Jika laki-laki
lebih potensial menjadi penolong, maka korban perempuan cenderung lebih ditolong.
Akan tetapi, jika perempuan lebih potensial menjadi penolong, maka korban perempuan
dan laki-laki mempunyai peluang yang sama untuk ditolong.

Kesamaan

Kesamaan dengan orang lain mendukung munculnya perasaan yang positif, dan
adanya perasaan positif memperbesar peluang untuk munculnya tingkah laku menolong
sehingga orang cenderung menolong kepada orang yang memiliki kesamaan dalam
penampilan ataupun kesamaan dalam keyakinan.

Orang yang minta pertolongan

Ketidakpastian mengenai apa yang terjadi pada situasi darurat dan ketidakpastian
mengenai apa yang harus dilakukan dapat menghambat respons bystander untuk
menolong. Kondisi tidak jelas (ambigu) dapat menyebabkan penolong potensial menahan
diri dan menunggu kejelasan. Cara yang paling langsung dan paling efektif bagi seorang
korban untuk mengurangi ketidakjelasan tersebut adalah dengan meminta pertolongan
secara jelas.

Bagaimana Orang Menerima Pertolongan

Menerima pertolongan dari orang lain kadang-kadang di satu sisi dapat menurunkan
harga diri korban walaupun di sisi lain korban menjadi terbantu keluar dari kesulitannya.
Terlebih bila penolong dipersepsikan oleh korban sebagi orang yang “setingkat” atau
memiliki “kemampuan” di bawah korban dan pertolongan terkait denagn tugas-tugas yang
bersifat ego-central task (tugas-tugas yang menyangkut harga diri seseorang), maka
pertolongan yang diberikan dapat dipersepsikan oleh korban sebagai merendahkan diri
korban. Menerima pertolongan dapat menunjukkan bahwa seseorang memiliki
“ketidakmampuan” dalam hal tertentu. Selain itu juga, dapat menimbulkan perasaan utang
budi kepada penolong yang membuat korban merasa harus membalas kebaikan penolong di
masa datang. Dalam memberikan pertolongan kepada orang lain, kita harus memperhatikan
cara-cara menolong yang tidak mengancam harga diri korban agar pertolongannya dapat
dihargai ataupun diterima.

Pertolongan, selain tidak mengancam harga diri, juga jangan sampai membuat korban
menjadi tergantung untuk seterusnya. Bila orang mudah mendapatkan bantuan, dampaknya
dapat mempengaruhi persepsinya terhadap ketidakmampuan dirinya sehingga ia menjadi
kurang berusaha untuk meningkatkan kemampuannya dan kurang mendukung terbentuknya
internal of control.

Meningkatkan Tingkah Laku Menolong

Untuk meningkatkan tingkah laku menolong, hambatan-hambatan yang dapat


mengurangi munculnya tingkah laku menolong perlu dihilangkan, di antaranya ketidakjelasan
situasi darurat. Situasi darurat yang jelas akan mendorong keberanian seseorang untuk
memberikan bantuan. Pada kasus Kitty Genovese, bystander gagal memberikan pertolongan
karena ketidakjelasan situasi dan adanya penyebaran tanggung jawab (diffusion of
responsibility). Oleh karena itu, selain adanya kejelasan situasi darurat, meningkatkan rasa
tanggung jawab setiap orang juga penting. Memberikan bantuan adalah tanggung jawab
setiap orang, bukan tanggung jawab orang lain.

Meningkatkan rasa bersalah dan menciptakan self-images (gambaran diri) yang


positif pada penolong potensial juga dapat meningkatkan kemungkinan munculnya
pertolongan. Hal ini dapat dilakukan melalui teknik door-in-the-face, yaitu strategi untuk
memperoleh persetujuan dari orang lain dengan cara mengajukan permintaan setingkat lebih
tinggi dari yang diinginkan. Apabila permintaan tersebut ditolak, maka ia mengajukan
permintaan yang lebih kecil dan masuk akal. Hal ini membuat orang yang dimintai
pertolongan merasa bersalah bila menolaknya lagi dan untuk mendapatkan self-images yang
positif, maka penolong potensial pun memberikan apa yang diminta (dalam hal ini berupa
pertolongan)

Sosialisasi tingkah laku menolong dalam masyarakat dapat diciptakan melalui


kegiatan amal dan memberi dukungan pada orang-orang yang melakukan tingkah laku
menolong. Sifat altruis juga dapat ditimbulkan melalui pola asuh di rumah ataupun
pendidikan di sekolah. Anak-anak yang kecil ditanamkan untuk memiliki rasa tanggung
jawab pribadi cenderung lebih bersifat altruis (Berns).

Anda mungkin juga menyukai