Tingkah laku menolong, atau dalam psikologi sosial dikenal dengan tingkah laku
prososial, adalah tindakan individu untuk menolong orang lain tanpa adanya keuntungan
langsung bagi si penolong (Baron, Byrne, dan Branscombe).
Tingkah laku menolong adalah tindakan individu yang ditujukan untuk menolong
orang lain tanpa adanya keuntungan langsung bagi si penolong. Contoh menolong yang
murni adalah altruism, yaitu menolong untuk kesejahteraan orang lain semata (selfless), tanpa
motivasi untuk kepentingan diri sendiri (selfish).
Perilaku menolong (helping behaviour) adalah setiap tindakan yang lebih memberikan
keuntungan bagi orang lain daripada terhadap diri sendiri (Wrightsman & Deaux). Menurut
Staub & Wispe, perilaku menolong adalah perilaku yang menguntungkan orang lain lebih
daripada diri sendiri (dalam Hogg & Vaugan).
Menurut Dovidio & Penner, menolong (helping) adalah suatu tindakan yang bertujuan
menghasilkan keuntungan terhadap pihak lain. Michener& Delamater, mendefinisikan
menolong (helping) sebagai segala tindakan yang mendatangkan kebaikan atau meningkatan
kesejahteraan (well-being) bagi orang lain. Sejalan dengan itu perilaku menolong juga
diartikan sebagai suatu tindakan yang menguntungkan orang lain tanpa harus menguntungkan
si penolong secara langsung, bahkan kadang menimbulkan resiko terhadap si penolong
(Baron, Byrne & Branscombe).
Dari definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa perilaku menolong adalah segala
tindakan yang lebih menguntungkan dan meningkatan kesejahteraan (well-being) orang lain
daripada terhadap diri sendiri, bahkan kadang menimbulkan resiko terhadap si penolong.
Favor, dapat diartikan sebagai tindakan membantu orang lain, dimana usaha
1
membantu tersebut tidak banyak membutuhkan pengorbanan (pengorbanan yang
kecil). Pengorbanan yang dimaksudkan disini berupa pengorbanan tenaga/usaha
dan waktu. Walaupun pengorbanan yang diberikan pelaku kecil, namun dampak
dari tindakan ini menguntungkan bagi orang lain. Jadi, cost yang harus diberikan
oleh mereka yang melakukan perilaku ini tidaklah begitu besar, dalam arti tidak
melibatkan pengorbanan yang memberatkan pelakunya.
Donation, perilaku ini disebut juga dengan perilaku menyumbang terhadap seseorang
atau organisasi yang memerlukan. Tindakan ini membutuhkan pengorbanan
materi berupa uang atau barang.
Penelitian yang dilakukan oleh Darley dan Latane kemudian Latane dan
Robin, menunjukkan hasil bahwa orang yang melihat kejadian darurat akan lebih suka
memberi pertolongan apabila mereka sendirian daripada bersama orang lain. Sebab
dalam situasi kebersamaan, seseorang akan mengalami kekaburan tanggung jawab
(dalam Hudaniah).
Kita akan cenderung menolong orang lain yang masalah yang dialaminya terjadi
bukan karena kesalahannya. Misalnya, ketika orang menemukan seorang pria yang
tergeletak, tidak sadarkan diri di jalan,dengan botol minuman keras yang kosong di
sampingnya akan cenderung kurang menunjukkan perilaku menolong di bandingkan
jika pria yang tergeletak di jalan itu adalah seorang pria berpakaian mahal dengan
luka di kepalanya karena hal ini mengindikasikan bahwa pria tersebut adalah korban
kekerasan saat sedang di jalan (dalam Baron, Byrne, & Branscombe).
3
Adanya model ( Exposure to Prosocial Models)
Kehadiran orang lain yang berperilaku menolong menimbulkan social model, dan
hasilnya adalah sebuah peningkatan dalam perilaku menolong pada orang lain yang
melihatnya. Selanjutnya, model prososial dalam media massa juga memberi
kontribusi dalam menciptakan norma sosial dalam perilaku prososial. Dengan
menonton perilaku prososial pada televisi meningkatkan kejadian dari perilaku
prososial dalam kehidupan nyata (dalam Baron, Byrne, & Branscombe). Akan tetapi,
media massa dapat juga memiliki efek negatif. Seperti salah satu contoh, penelitian
partisipan yang memainkan video games kekerasan seperti Mortal combat dan Street
Fighter menunjukkan adanya suatu penurunan dalam perilaku prososial (Anderson &
Bushman, dalam Baron, Byrne, & Branscombe).
Menurut kajian psikologi sosial, ada berbagai hal yang mempengaruhi mengapa orang
menolong. Dalam memberikan suatu pertolongan seseorang akan mempertimbangkan alasan
"untuk apa saya menolongnya? apa untungnya bagi dia dan saya?" atau semacamnya.
1. Menyadari situasinya.
Seseorang tidak akan mungkin menolong bila tidak tahu dan menyadari adanya situasi
yang menyebabkan orang lain butuh ditolong. Namun terkadang di tahap ini sering terganggu
oleh adanya hal lain seperti kesibukan, ketergesaan, kepentingan dan lain-lain
2. Menginterpretasikan situasi
Apabila muncul perasaan bahwa peristiwa itu merupakan sebagian dari tanggung
jawabnya, maka kemungkinan akan ada tindakan menolong.
Hal ini penting karena walaupun di tahap sebelumnya, seseorang menjawab ya belum
tentu ia akan menolong apabila ia tidak memutuskan apakah ixa harus menolong ataukah
tidak.
Situasi sosial
semakin banyak orang yang melihat kejadian yang memerlukan pertolongan makin
kecil munculnya dorongan untuk menolong
Dengan keputusan memberi pertolongan berarti akan ada biaya tertentu yang harus
dikeluarkan untuk menolong itu. Pengeluaran bisa berupa materi namun yang lebih sering
adalah pengeluaran psikologis (memberi perhatian, ikut sedih)
makin banyak kesamaan antara dua belah pihak makin besar peluang untuk
munculnya pemberian pertolongan.
Kedekatan hubungan
pada umumnya, orang akan cepat memberi pertolongan pada teman, sahabat, saudara
daripada orang yang belum dikenal.
Ada kecenderungan bahwa orang lebih senang memberi pertolongan pada orang yang
disukainya/yang memiliki daya tarik tinggi karena ada tujuan tertentu dibalik pemberian
pertolongan tersebut
5
3. Pengaruh Faktor Dari Dalam Diri
d) Tempat Tinggal, orang yang tinggal di daerah pedesaan cendrung lebih penolong
daripada orang yang tinggal di daerah perkotaan. Hal ini dapat dijelaskan melalui
urban-overload hypothesis, yaitu orang-orang yang tinggal di perkotaan terlalu
banyak mendapat stimulus dari lingkungan. Oleh karenanya, ia harus selektif dalam
menerima paparan informasi yang sangat banyak agar bisa tetap menjalankan peran-
perannya dengan baik. Itulah sebabnya, di perkotaan, orang-orang yang sibuk sering
tidak peduli dengan kesulitan orang lain karena ia sudah overload dengan beban
tugasnya sehari-hari (Deaux, Dane, Wrightsman).
e) Pola Asuh, tingkah laku sosial sebagai bentuk tingkah laku yang menguntungkan
orang lain tidak terlepas dari peranan pola asuh di dalam keluarga. Pola asuh yang
bersifat demokratis secara Signifikan memfasilitasi adanya kecenderungan anak untuk
tumbuh menjadi seorang yang mau menolong, yaitu melalui peran orang tua dalam
menetapkan standar-standar ataupun contoh-contoh tingkah laku menolong. Pola asuh
orang tua yang demokratis juga turut mendukung terbentuknya internal locus of
control, yang merupakan salh satu sifat dari kepribadian altruistik, yaitu orang yang
suka menolong memiliki locus of control internal lebih tinggi dibandingkan dengan
orang yang tidak suka menolong.
Aspek dari perilaku menolong adalah rasa percaya kepada orang lain (interpersonal
trust). Individu yang tidak memiliki kepercayaan terhadap orang lain cenderung kurang
dalam berperilaku menolong (Baron & Byrne).
Tahapan Menolong
Apapun motivasi seseorang untuk menolong, ada beberapa tahapan yang harus dilalui
sebelum pertolongan diberikan. Latane dan Darley menemukan bahwa respon seseorang
dalam situasi darurat meliputi lima tahapan penting dan dalam setiap tahap seseorang dapat
memutuskan apakah ia akan menolong atau tidak. Berikut tahap-tahap pengambilan
keputusan apakah seseorang akan menolong atau tidak. Tahap pertama, seseorang tidak
memperhatikan situasi. Tahap kedua, menilai situasinya darurat atau tidak. Tahap ketiga,
perasaan memiliki tanggung jawab atau tidak. Tahap keempat, menyadari memiliki
pengetahuan dan keterampilan atau tidak untuk menolong. Tahap kelima, keputusan untuk
menolong atau tidak.
Gender
7
bahwa laki-laki cenderung lebih memberikan pertolongan pada perempuan. Jika laki-laki
lebih potensial menjadi penolong, maka korban perempuan cenderung lebih ditolong.
Akan tetapi, jika perempuan lebih potensial menjadi penolong, maka korban perempuan
dan laki-laki mempunyai peluang yang sama untuk ditolong.
Kesamaan
Kesamaan dengan orang lain mendukung munculnya perasaan yang positif, dan
adanya perasaan positif memperbesar peluang untuk munculnya tingkah laku menolong
sehingga orang cenderung menolong kepada orang yang memiliki kesamaan dalam
penampilan ataupun kesamaan dalam keyakinan.
Ketidakpastian mengenai apa yang terjadi pada situasi darurat dan ketidakpastian
mengenai apa yang harus dilakukan dapat menghambat respons bystander untuk
menolong. Kondisi tidak jelas (ambigu) dapat menyebabkan penolong potensial menahan
diri dan menunggu kejelasan. Cara yang paling langsung dan paling efektif bagi seorang
korban untuk mengurangi ketidakjelasan tersebut adalah dengan meminta pertolongan
secara jelas.
Menerima pertolongan dari orang lain kadang-kadang di satu sisi dapat menurunkan
harga diri korban walaupun di sisi lain korban menjadi terbantu keluar dari kesulitannya.
Terlebih bila penolong dipersepsikan oleh korban sebagi orang yang “setingkat” atau
memiliki “kemampuan” di bawah korban dan pertolongan terkait denagn tugas-tugas yang
bersifat ego-central task (tugas-tugas yang menyangkut harga diri seseorang), maka
pertolongan yang diberikan dapat dipersepsikan oleh korban sebagai merendahkan diri
korban. Menerima pertolongan dapat menunjukkan bahwa seseorang memiliki
“ketidakmampuan” dalam hal tertentu. Selain itu juga, dapat menimbulkan perasaan utang
budi kepada penolong yang membuat korban merasa harus membalas kebaikan penolong di
masa datang. Dalam memberikan pertolongan kepada orang lain, kita harus memperhatikan
cara-cara menolong yang tidak mengancam harga diri korban agar pertolongannya dapat
dihargai ataupun diterima.
Pertolongan, selain tidak mengancam harga diri, juga jangan sampai membuat korban
menjadi tergantung untuk seterusnya. Bila orang mudah mendapatkan bantuan, dampaknya
dapat mempengaruhi persepsinya terhadap ketidakmampuan dirinya sehingga ia menjadi
kurang berusaha untuk meningkatkan kemampuannya dan kurang mendukung terbentuknya
internal of control.