Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Perilaku Prososial Mahasiswa

1. Pengertian perilaku prososial mahasiswa

Menurut Faturrochman (2006: 74) perilaku prososial didefinisikan sebagai

perilaku yang memiliki konsekuensi positif pada orang lain. Bentuk yang paling

jelas dari prososial adalah perilaku menolong. Menurut Sears, Freedman, Peplau

(2004: 47) perilaku prososial dapat diartikan segala bentuk tindakan yang

dilakukan atau direncanakan untuk menolong orang lain, tanpa memperdulikan

motif – motif si penolong. Menurut Anshori (2008: 38) perilaku prososial meliputi

semua bentuk tindakan yang dilakukan atau direncanakan untuk menolong orang

lain, tanpa memperdulikan motif – motif si penolong.

Wrightsman & Daux (dalam Bambang 2015: 272) mengatakan bahwa

perilaku prososial merupakan tindakan yang mempunyai akibat sosial secara

positif, merupakan tindakan yang mempunyai akibat sosial secara positif, yang

ditunjukkan bagi kesejahteraan orang lain, baik secara fisik maupun secara

psikologis, dan perilaku tersebut merupakan perilaku yang lebih banyak

memberikan keuntungan kepada orang lain daripada dirinya sendiri. Menurut

Baron & Bryne (2005: 92) tingkah laku prososial adalah suatu tindakan menolong

yang menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu keuntungan

langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut dan mungkin bahkan

melibatkan suatu resiko bagi orang yang menolong.

8
9

Davidio, Pilivian dan Schroeder (dalam Jenny Mercer & Debbie Clayton,

2012: 121) istilah prososial “mewakili suatu kategori tindakan yang luas yang

didefinisikan oleh suatu segmen signifikansi masyarakat dan atau kelompok sosial

seseorang sebagai tindakan yang secara umum bermanfaat bagi orang – orang

lain.

Mahasiswa adalah seseorang yang sedang dalam proses menimba ilmu dalam

perguruan tinggi dan memegang status pendidikan tertinggi diantara yang lain.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa perilaku prososial

mahasiswa adalah suatu tindakan yang mendorong mahasiswa untuk berinteraksi,

bekerja sama dan menolong orang lain tanpa mengharapkan sesuatu untuk

dirinya, untuk menjalin hubungan dan kepedulian terhadap lingkungan di sekitar.

2. Aspek – aspek perilaku prososial

Mussen, (dalam Nashori, 2008: 38) mengungkapkan bahwa aspek perilaku

prososial meliputi :

a. Menolong, yaitu membantu orang lain dengan cara meringankan beban fisik

atau psikologis orang tersebut.

b. Berbagi rasa, yaitu kesediaan untuk ikut merasakan apa yang dirasakan

orang lain.

c. Kerjasama, yaitu melakukan pekerjaan atau kegiatan secara bersama-sama

berdasarkan kesepakatan untuk mencapai tujuan bersama pula.

d. Menyumbang, yaitu berlaku murah hati kepada orang lain.

e. Memperhatikan kesejahteraan orang lain, yaitu peduli terhadap

permasalahan orang lain.


10

Menurut Staub (dalam Husamah, 2015: 321) ada tiga aspek yang menjadi

tindakan prososial, yaitu :

a. Tindakan tersebut berakhir pada dirinya dan tidak menuntut keuntungan

pada pihak pemberi bantuan

b. Tindakan tersebut dilahirkan secara sukarela

c. Tindakan tersebut menghasilkan kebaikan.

Steinberg, dkk (2011: 304) menyatakan bahwa aspek perilaku prososial,


antara lain :

a. Berbagi

b. Bekerja sama

c. Menolong

d. Menghibur

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa aspek – aspek perilaku

prososial meliputi, menolong, bekerja sama, menyumbang , berbagi rasa dan

memperhatikan kesejahteraan orang lain. Aspek – aspek tersebut nantinya akan

digunakan dalam pembuatan alat ukur penelitian untuk mengukur perilaku

prososial pada mahasiswa.

3. Faktor – faktor yang mempengaruhi Perilaku Prososial

Sears, dkk (2004: 61-72) menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi

tingkah laku prososial, yaitu :

a. Situasi

Situasi sosial akan mempengaruhi seseorang untuk menolong atau tidak.

Orang yang paling alturis sekalipun cenderung tidak memberikan bantuan


11

dalam situasi tertentu. Penelitian yang telah dilakukan membuktikan makna

penting beberapa faktor situasional, yang meliputi :

1) Kehadiran orang lain

Kehadiran orang lain kadang – kadang dapat menghambat usaha untuk

menolong. Semakin banyak orang yang hadir maka semakin kecil

kemungkinan seseorang benar – benar memberikan pertolongan dan

semakin besar rata – rata rentang waku pembeian bantuan.

2) Kondisi lingkungan

Kondisi lingkungan juga mempengaruhi kesediaan untuk membantu.

Keadaan fisik ini meliputi: cuaca, ukuran kota dan derajat kebisingan.

Semakinbesar ukuran suatu kota menunjukkan kecenderungan

merosotnya nilai – nilai sosial. Penduduk yang tinggal di kota kecil lebih

suka menolong orang lain yang dalam kesulitan bila dibandingkan

dengan penduduk di kota besar

3) Tekanan waktu

Membuktikan bahwa kadang – kadang seseorang berada dalam keadaan

tergesa-gesa untuk meolong, karena memperhitungkan untung rugi.

b. Orang yang membutuhkan pertolongan, meliputi :

1) Menolong orang disukai

Rasa suka individu terhadap orang lain dipengaruhi oleh beberapa faktor

seperti daya tarik dan kesamaa. Orang yang memiliki daya tarik fisik

memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk menerima bantuan. Selain

itu tingkah laku prososial dipengarui juga oleh jenis hubungan antar
12

orang. Semakin dekat hubungan semakin kuat harapan untuk

mendapatkan bantuan. Orang akan cenderung lebih suka menolong

teman dekat dari pada orang asing.

2) Menolong orang yang pantas ditolong

Individu lebih cenderung menolong orang lain bila individu yakin bahwa

penyebab timbulnya masalah berada di luar kendali orang tersebut.

c. Faktor karakteristik penolong, meliputi :

1) Kepribadian

Kepribadian tiap individu berbeda, ada yang mempunyai kebutuhan

tinggi untuk diterima secara sosial dan ingin diaku oleh lingkungannya.

2) Distress diri dan rasa empatik

Distress diri adalah reaksi pribadi kita terhadap penderitaan orang lain

yang meliputi perasan cemas, prihatin, tidak berdaya atau perasaan

apapun yang dialami. Rasa empatik adalah perasaan simpati dan

perhatian terhadap orang lain , khususnya untuk berbagi pengalaman atau

secara tidak langsung merasakan penderitaan orang lain.

3) Suasana hati

Seseorang akan lebih terdorong untuk memberikan bantuan bila merasa

berada dalam suasana hati yang baik. Bila suasana hati buruk

menyebabkan kita memusatkan perhatian pada diri kita sendiri dan

kebutuhan kita sendrii, maka keadaan itu akan mengurangi kemugkinan

untuk memberikan bantuan kepada orang lain.

4) Rasa bersalah
13

Keinginan untuk mengurangi rasa bersalah ketika seseorang melakukan

sesuatu yang dianggap salah bisa menyebabkan seseorang menolong

orang yang telah dirugikannya atau seseorang berusaha meghilangkan

rasa bersalahnya dengan melakukan tindakan dengan melakukan

tindakan baik.

5) Norma bantuan

Kebudayaan dimana kita hidup dan besar terhadap pembentukan sikap.

Kelompok- kelompok masyarakat menentukan standar tingkah laku

yang menegaskan kapan seseorang seharusnya dibantu oleh siapa.

Norma ini menganjurkan kita untuk menolong seseorang pada saat yang

tepat.

Baron dan Byrne (2005:116) menjabarkan faktor – faktor yang mendorong

orang berperilaku prososial sebagi berikut :

a. Orang yang memiliki rasa empati terhadap orang lain cenderung berperilaku

prososial.

b. Orang percaya tingkah laku yang baik akan diberi imbalan dan tingkah laku

buruk mendapat hukuman. Orang yang menolong akan mendapat

keuntungan.

c. Setiap orang bertanggung jawab untuk melakukan yang terbaik bagi orang

lain dan menolong bagi yang membutuhkan.

d. Kepercayaan sebagai locus of control, melakukan sesuatu yang terbaik dan

meminimalkan sesutau yang kurang baik.


14

e. Egosentrisme rendah yakni orang menolong tidak untuk berkompetisi

dengan orang lain, agar namanya lebih hebat.

Faturochman (2006:75) mendeskripsikan faktor-faktor lain yang berpengaruh

terhadap perilaku prososial yakni :

a. Situasi sosial

Makin banyak orang yang memerlukan pertolongan makin kecil munculnya

dorongan untuk menolong.

b. Karakteristik orang – orang yang terlihat

Makin banyak kesamaan antara kedua belah pihak, makin besar peluang

untuk memberi pertolongan.

c. Mediator Internal

d. Berhungan dengan perasaan empati seseorang dan suatu dilema untuk

melakukan pertolongan atau tidak.

e. Kepribadian

Bila seseorang mempunyai latar belakang yang tidak mendukung maka

kemungknan besar tidak akan muncul perilaku menolong.

Berdasarkan uraian tersebut diketahui bahwa faktor yang mempengaruhi

perilaku prososial adalah faktor situasi, faktor karakteristik penolong, yang

meliputi faktor kepribadian, suasana hati dan rasa bersalah, faktor distress diri dan

rasa empatik, dan faktor orang yang membutuhkan pertolongan. Faktor yang

digali mendalam dalam penelitian ini berkaitan dengan perilaku prososial adalah

faktor karakteristik penolong, salah satunya rasa bersalah.


15

B. Rasa Bersalah

1. Pengertian rasa bersalah

Menurut Chaplin (2008: 217) mendefinisikan guilt (rasa bersalah) sebagai

perasaan emosional yang bersosiasi dengan realisasi bahwa seseorang telah

melanggar peraturan sosial, moral, atau etis/susila. Menurut para psokoanalisis,

perasaan bersalah tidak perlu disadari, dan beberapa perasaan bersalah sifatnya

justru imajiner atau khayali. Pada peristiwa terakhir, diduga bahwa perasaan

bersalah yang diimajinasikan itu adalah simbol dari perasaan bersalah yang benar-

benar salah dan ditekan-tekan dalam ketidaksadaran. Cohen, dkk (2011: 948) rasa

bersalah ialah asosiasi dari perasaan pribadi karena telah melakukan sesuatu yang

salah atau telah berperilaku yang menyalahi kata hati atau nurani.

Perspektif Freud (dalam April dan Boipelo, 2010: 69) rasa bersalah adalah

rasa neurotik, destruktif, sebagian besar terdapat dalam wilayah ketidaksadaran

(unconscious), dan irasional. Individu yang bersalah akan berusaha menarik diri

dari lingkungan sosial , merenungkan atas pelanggaran yang telah dilakukan,

menghukum diri sendiri atas kelemahan nyata atau hanya kelemahan semu

(imaginer), rasa bersalah merupakan mekanisme penting dimana seorang individu

menjadi disosialisasikan dalam kebudayaannya, hal ini juga berfungsi sebagai

kompas moral yang dapat mendorong sikap bertanggungjawab, mengurangi

agresi, dapat menekan tindak kenakalan maupun kejahatan dan mendorong

kerjasama antara anggota kelompok serta memastikan kelangsungan hidup

individu dalam kelompok.


16

Rasa bersalah adalah suatu kondisi emosional yang dihasilakan dari

pemahaman seorang bahwa telah terjadinya perbuatan dan tindakan

penyimpangan standar moral. Para ahli sepakat bahwa rasa bersalah ini bersumber

dari kepedulian yang tinggi individu terhadap standar moral yang berlaku bagi

dirinya atau berlaku dalam masyarakatnya. (Husamah, 2015: 288).

Mental Illnes Fellowship Victoria (2008) menjelaskan pengertian mengenai

rasa bersalah yaitu rasa tanggung jawab untuk keadaan negatif yang telah terjadi

pada diri sendiri atau orang lain, rasa bersalah juga diartikan sebagai perasaan

menyesal atau kejahatan nyata atau bayangan diri, baik dulu maupun sekarang.

Rasa bersalah adalah rasa penyesalan dalam pikiran, perasaan atas sikap yang

negatif dan tidak terpuji, atau tidak dapat menerima mengenai diri sendiri atau

orang lain. Rasa bersalah juga diartikan sebagai perasaan wajib untuk tidak

menyenangkan, tidak membantu, atau tidak menenangkan orang lain. Merasa

kebingungan dan kurangnya keseimbangan untuk tidak menanggapi situasi yang

khas atau stereotip. Merasa kehilangan dan malu karena tidak melakukan atau

mengatakan sesuatu kepada seseorang yang tidak lagi ada untuk dirinya. Rasa

bersalah diartikan dapat menerima tanggung jawab atas kemalangan atau masalah

orang lain, karena itu akan membuat diri sendiri menjadi tidak tega untuk melihat

orang lain yang menderita. Rasa bersalah juga dapat memotivasi diri untuk

mengubah semua kesalahan nyata atau kesalahan yang dirasakan. Rasa moral

yang kuat atas benar dan salah dapat menghambat diri untuk meimilih tindakan

yang salah, dan pada akhirnya seseorang tersebut dapat menghambat diri untuk

memilih tindakan yang salah, dan pada akhirnya seseorang tersebut dapat
17

menetapkan nilai benar salah dengan kata – katanya sendiri. Rasa bersalah juga

dapat mengendalikan kekuatan atau topeng yang menyembunyikan keyakinan

irasional yang ada di dalam diri seseorang.

Dari berbagai pengertian diatas, dapat disimpulkan pengertian rasa bersalah

adalah suatu perasaan emosional yang disertai oleh perasaan menyesal, rendah

diri, tidak dihargai dan merasa bertanggungjawab atas tindakannya yang telah

melanggar peraturan sosial, moral, agama, etis, sebagai cara dalam penghukuman

diri sendiri, serta dapat mencegah individu untuk mengulang tindak pelanggaran

sosial, moral, agama, dan etis.

2. Dimensi Rasa Bersalah

Tangney dan Ronda (2004: 25 dan 196) membagi dimensi dari rasa bersalah

menjadi delapan yaitu fokus evaluasi, tingkat penderitaan / kesedihan,

pengalaman fenomelogis, sistem operasi dalam diri, dampak pada diri, konsentrasi

imbas kepada orang lain, proses kontra faktual, dan fitur motivasi. Untuk

penjelasan mengenai setiap dimensi yang dikemukakan oleh Tangney dan Ronda

akan dijabarkan sebagai berikut:

a. Faktor evaluasi : fokus evaluasi lebih kepada perilaku spesifik bahwa

dirinya telah melakukan suatu kesalahan. Merasa buruk selama pengalaman

, merasa telah melanggar standar moral, serta mengetahui alasan mengapa

melakukan pelanggaran tersebut.

b. Tingkat penderitaan / kesedihan : pada umumnya tingkat kepedihannya

lebih rendah dibandingkan dengan tingkat kesedihan rasa malu. Emosi –


18

emosi yang dirasakan berlangsung dalam waktu singkat, dan emosi

menyerang secara tiba – tiba.

c. Pengalaman fenomenologis : pengalaman fenomenologis yang dirasakan

lebih kearah suatu ketegangan (tension), menyesal (regret), dan penyesalan

yang teramat dalam (remorse), terkadang pula timbul harapan dapat

berperilaku berbeda.

d. Sistem operasi dalam diri : secara keseluruhan bersatu secara utuh (diri tidak

terbagi – bagi kedalam bagian – bagian yang mengobservasi dan yang

diobservasi layaknya bagian diri dalam rasa malu), contohnya fokus yang

dipikirkan mengenai diri sendiripada pendapat orang lain, melihat perilaku

diri sangatburuk dibandingkan dengan orang lain, perasaan lebih penting

dibandingkan pikiran.

e. Dampak pada diri : diri tidak terganggu pada devaluasi global. Menuliskan

situasi kejadian bagi diri itu sangat sulit, merasa waktu cepat berlalu, adanya

perubahan fisik (berkeringat, muka memerah).

f. Konsentrasi imbas kepada orang lain : lebih memikirkan efeknya bagi orang

lain dari pada efek terhadap diri sendiri. Merasa bertanggung jawab

mengenai apa yang sudah terjadi. Merasa harus mengontrol suatu situasi

g. Proses kontrakfaktual : kehancuran beberapa aspek perilaku secara mental.

Merasa diri kecil, merasa rendah dihadapkan orang lain, adanya keinginan

untuk bersembunyi.
19

h. Fitur motivasi : adanya keinginan untuk mengaku, meminta maaf dan

memperbaiki keadaan. Berkeinginan untuk menangani apa yang telah

dilakukan dan adanya keinginan untuk mengganti rugi.

Ciri - ciri rasa bersalah menurut Mental Illnes Fellowship Victoria (2008)

adalah :

a. Merasa bertangung jawab terhadap keadaan negatif yang terjadi pada

dirinya dan orang lain. (rasa bersalah membuat seseorang lebih

bertanggung jawab, bekerja keras untuk membuat kehidupan yang benar.

Dapat menjadikan seseorang berlebihan dalam bekerja. Individu dapat

memaksakan dirinya sendiri dan bersedia untuk melakukan apapun untuk

membuat orang lain bahagia).

b. Merasa menyesal untuk kelakuan buruk atau tidak senonoh, baik yang

nyata maupun yang dibayang, di masa lalu maupun masa sekarang. (rasa

bersalah dapat membuat seseorang menjadi lebih teliti, menjadi lebih

cerewet atau rewel dalam setiap tindakan yang diambil, seakan – akan itu

adalah sebuah konsekuensi negatif yang terjadi untuk orang lain, bahkan

jika ini berarti bahwa seseorang itu akan menolak kebutuhan lainnya).

c. Merasa berhutang karena tidak menyenangkan, tidak menolong atau tidak

menentramkan seseorang. Rasa bersalah dapat melumpuhkan seseorang,

seseorang dapat menjadi terlalu diperdaya dan terlalu diliputi oleh

ketakutan melakukan sesuatu, bertindak, berkata, atau menjadi salah,

seseorang juga akan cepat terpuruk, menyerah dan memilih untuk diam,

menyendiri, dan dalam kenyataan yang tetap.


20

d. Merasa berhutang karena tidak menyenangkan, tidak menolong, atau tidak

menentramkan seseorang. (rasa bersalah dapat melumpuhkan seseorang,

seseorang dapat menjadi terlalu diperdayadan terlalu diliputi oleh ketakutan

melakukan sesuatu, bertindak, berkata, atau menjadi salah, seseorang juga

akan cepat terpuruk, menyerah dan memilih untuk diam, menyendiri, dan

dalam kenyataan yang tetap).

e. Merasa bingung dan kurang seimbang karena tidak merespon terhadap

suatu situasi dengantata krama biasa. (rasa bersalah dapat mencampuri

dalam pembuatan keputusan. Hal ini menjadi penting untuk selalu benar

setiap keputusan – keputusan yang akan dibuat, dimana seserang itu

sebenarnya tidak mampu untuk membuat sebuah keputusan. Ketakutan jika

keputusan yang diambil itu salah).

f. Merasa kehilangan dan malu karena tidak melakukan atau berkata sesuatu

kepada seseorang yang sudah tidak bersama. (membuat seseorang

bersembunyi dibalik topeng dari sebuah pengungkapan diri. Karena sedikit

rasa bersalah dapat mempengaruhi untuk mengutamakan orang lain sebagai

ganti diri sendiri. Seseorang akan bersembunyi didalam topeng self denial

dalam dirinya. Seseorang seseungguhnya pervaya bahwa rasa bersalah

yang dia rasakan adalah motivator untuk berperilaku).

g. Menerima tanggung jawab atas kemalangan atau masalah orang lain

dikarenakan ketidakmampuan melihat orang tersebut menderita. (membuat

seseorang mengabaikan seluruh perasaan dari emosi dan perasaan –

perasaan yang tersedia didalam dirinya. Diperdaya oleh rasa bersalah atau
21

menjadi ketakutan akan suatu hal, seseorang dapat menjadi emosional

dalam menghalangi atau menutupi diri sendiri. Seseorang dapat menjadi

emosional dalam menghalangi atau menutupi diri sendiri seseorang tidak

mampu untuk menikmati kesegaran hidup positif tetapi malah

menyesuaikan diri dengan aspek negatif).

h. Motivasi untuk merubah kesalahan – kesalahan yang pernahdiperbuat atau

dipersepsikan. (rasa bersalah dapat menjadi motivator untuk berubah,

karena,ketika seseorang merasa bersalah dan tidak tenang, itu akan

dijadikan sebagai tolak ukur dari kebutuhan untuk merubah sesutu dalam

kehidupan dan membersihkan diri dari rasa bersalah).

i. Memiliki perasaan moral yang kuat akan kesalahan dan kebenaran, yang

mana mengahalangi untuk memilih bagian kesalahan dari suatu tindakan.

(rasa bersalah dapat menjadi topeng untuk kepercayaan diri yang negatif.

Seseorang mungkin sebenarnya memiliki harga diri yang rendah, tapi

mengakui alasan dari perilaku negatifnya adalah perasaan yang berlebihan

dari rasa bersalah yang pernah dialami).

j. Berperilaku dengan terpaksa atau bersembunyi yang mana tersembunyi dan

kepercayaan yang irasional. (rasa bersalah dapat menyesatkan atau

mengarahkan seseorang ke hal yang negatif. Sebab banyak kepercayaan

yang tidak logi dibelakang rasa bersalah , seseorang mungkin tidak mampu

untuk menyortir perasaannya. Ini penting untuk menjadi objektif terhadap

diri sendiri ketika dri mengalami rasa bersalah, memastikan bahwa setiap

keputusan yang akan diambil didasari oleh pemikiran yang rasional).


22

Menurut Cohen, dkk (2011: 948) seperti dalam pernyataan dibawah ini,

didalam the TOSCA-3 (The test Of Self-Conscious After-3), karakteristik respon

dari rasa bersalah adalah menyesal dan evaluasi perilaku yang negatif,

(contohnya, memikirkan “aku telah berbuat sebuah kesalahan”), sama seperti

tendensi dari aksi untuk memperbaiki kesalahan (contohnya meminta maaf), guilt

atau rasa bersalah terbagi dalam dua perspektif yaitu Self-Behavior Distinction,

dan dalam Public-Privat Distinction. Dalam perspektif Self-Behavior Distinction,

rasa bersalah muncul ketika seseorang membuat ketidakstabilan internal, dan

atribut spesifik tentang tindakan seseorang yang menimbulkan perasaan negatif

tentang perilaku tertentu yang telah seseorang perbuat. Dalam perspektif Public-

Private Distinction, rasa bersalah dikaitkan dengan perasaan pribadiyang telah

melakukan perbuatan yang salah atau berperilaku yang melanggar hati nurani.

Berdasarkan dimensi yang dijelaskan diatas, penelitian ini akan menggunakan

8 dimensi rasa bersalah yang dikemukakan oleh Tangney dan Ronda yaitu fokus

evaluasi, tingkat penderitaan / kesedihan, pengalaman fenomenologis, sistem

operasi dalam diri, dampak pada diri, konsentrasi imbas kepada orang lain, proses

kontra faktual, dan fitur motivasi.

C. Hubungan antara Rasa Bersalah dengan Perilaku Prososial Mahasiswa

Manusia sebagai makhluk sosial seharusnya bukan hanya mengedepankan

ego akan tetapi juga memperhatikan kebutuhan dan kepentingan orang lain .

Dalam kehidupan sehari – hari, manusia tidak bisa lepas dari tolong menolong.
23

Setinggi apapun kemandirian seseorang, pada saat – saat tertentu dia akan

membutuhkan orang lain.

Perilaku prososial merupakan pemberian pertolongan pada orang laintanpa

mengharap adanya keuntungan pada diri orang yang menolong. Faktanya, kondisi

tersebut sulit di dapatkan, terutama jaman sekarang yang sudah modern dan

banyak terjadi persaingan didalamnya. Demikian juga pada remaja khususnya

mahasiswa. Mahasiswa merupakan golongan berpendidikan yang banyak andil

dalam penentuan masa depan dari bangsa.

Nashori (2008: 37) bahwa perilaku prososial memiliki beberapa faktor yang

mempengaruhi, antara lain menurut Sears dkk (2004: 65) menyebutkan salah

satunya yaitu karakter penolong yang meliputi, kepribadian, suasana hati, dan rasa

bersalah.

Dalam penelitian hasilnya menunjukkan rasa bersalah diduga memiliki

hubungan dengan perilaku prososial, ditinjau dari penelitian Cunningham (dalam

Sears dkk, 2004: 68) yang melakukan penelitian dan menyebutkan bahwa rasa

bersalah yang timbul meningkatkan kesediaan untuk menolong. Seperti halnya

makhluk sosial, remaja dalam melakukan tindakan – tindakan yang sudah

dilakukan sebelumnya, ketika suatu waktu seorang remaja dengan sengaja

mengabaikan orang lain di sekitarnya yang membutuhkan pertolongan, dan

remaja tersebut merasa bersalah atas tindakan tersebut, dilain waktu remaja

tersebut akan memberikan bantuan dengan sukarela bila dihadapkan di situasi

yang sama.
24

Jung (dalam Banmen, 1988) melihat rasa bersalah timbul dalam sebuah

pengingkaran untuk menerima diri sendiri, sepenuhnya melalui integrasi kedalam

bagian ketidaksadaran yang tidak menyenangkan untuk diri kita atau sebuah

bayangan. Berbeda dengan pendapat Jung, Tangney (dalam Averill,dkk, 2002)

mendefinisikan rasa bersalah sebagai hasil dari evaluasi negatif dari perilaku

tertentu, dan berhubungan dengan respon afektif yang kurang intens dan motivasi

terhadap tindakan perbaikan.

Utami dan Asih (2016: 85) dalam penelitian tentang Konsep Diri dan Rasa

Bersalah pada Anak Didik Lembaga Permasyrakatan Anak Kelas IIA Kutuarjo

menungkapkan bahwa rasa bersalah adalah emosi negatif yang muncul dari

kesadaran diri, refleksi diri dan evaluasi terhadap suatu tindakan yang tidak

seharusnya dan memunculkan peristiwa negatif karena adanya ketidaksesuaian

antara tindakan dengan nilai, norma dan moral yang berlaku dalam masyarakat

dan pada akhirnya dapat mendorong individu untuk memperbaiki perilakunya.

Pada penelitian Irfan, dkk (2016: 9) mengungkapkan bahwa rasa bersalah

signifikan muncul antara pengasuh karena kekurangan dalam melakukan

pengasuhan dalam hal ini rasa bersalah diduga berperan sebagai pembentuk

perilaku prososial pada remaja, perilaku dilingkungan maupun disekolah

khususnya.

Ahn Hee Kyung dan Kim Hae Joo (2014: 224-229) dalam penelitiannya

menganai rasa bersalah mendapatkan hasil bahwa untuk meningkatkan kepatuhan,

sangat efektif untuk membuat sekelompok orang merasa bersalah, setelah


25

terjadinya rasa bersalah maka dengan mudahnya sekelompok orang tersebut

melakukan perilaku prososial.

D. Hipotesis

Berdasarkan latar belakang dan tinjauan pustaka dalam penelitian ini,

hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif antara rasa bersalah

dengan perilaku prososial pada mahasiswa. Semakin tinggi rasa bersalah maka

semakin tinggi pula perilaku prososial, dan sebaliknya.

Anda mungkin juga menyukai