Anda di halaman 1dari 46

EVIDANCE BASED NURSING

PENERAPAN MOBILISASI DINI TERHADAP NYERI POST OPERASI


TURP PADA PASIEN BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA
DI RUANG MAWAR RSUD dr. SOEBANDI JEMBER

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Menyelesaikan Pendidikan Profesi Ners


Stase Keperawatan Medikal Bedah

Oleh :
Anis Muqaddas 20020010
Liza Lusiyani 20020051
M. Heru Susanto 20020052
Nurul Risqiya 20020067
Riska Devi 20020072
Sella Krismonika 20020077
Septiani Puji Lestari 20020078
Syaifiyatul Mutammimah 20020083
Vita Vironica 20020087

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN dr. SOEBANDI JEMBER
YAYASAN JEMBER INTERNATIONAL SCHOOL
2020/2021
LEMBAR PENGESAHAN

Evidance Based Nursing “Penerapan Mobilisasi Dini Terhadap Nyeri Post


TURP pada Pasien Benign Prostate Hyperplasia” oleh Mahasiswa Program Studi
Profesi Ners STIKES dr. Soebandi Jember

Jember, Juni 2021

Pembimbing Ruangan, Pembimbing Akademik,

(…………………………………..) (…………………………………..)
NIP/NIK. NIDN.

Kepala Ruang Mawar


RSUD dr. Soebandi Jember

(………………………………………..........……..)
NIP/NIK
Kata Pengantar

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan
rahmatnya sehingga dapat menyelesaikan laporan Evidance Base Practice ini
dapat terselesaikan. Laporan Evidance Base Practice ini disusun untuk memenuhi
salah satu persyaratan menyelesaikan pendidikan program studi profesi Ners
STIKES dr.Soebandi Jember dengan judul “Penerapan Mobilisasi Dini Terhadap
Nyeri Post TURP pada Pasien Benign Prostate Hyperplasia”.
Terselesaikannya laporan ini tidak lepas dari bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak baik materi, moral, maupun spiritual. Oleh karena itu dalam
kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada :
1. Drs. Said Mardijanto, S.Kep,.Ns,.M.M selaku ketua STIKES dr.Soebandi
Jember serta selaku Pembimbing Akademik Stase Holistik
2. selaku Penanggung jawab Stase Keperawatan Medikal Bedah
3. selaku Dosen Pembimbing Stase Keperawatan Medikal Bedah
4. selaku Kepala Ruang Mawar RSUD dr. Soebandi Jember
5. Bapak ibu perawat di Ruang Mawar RSUD dr. Soebandi Jember
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini masih kurang
sempurna. Untuk itu kami mengharapkan saran dan Masukan dari berbagai pihak
yang bersifat membangun. Semoga laporan ini bermanfaat bagi pengembang
pembelajaran untuk ilmu kesehatan.

Jember, Juni 2021

Penyusun
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Benigna prostat hiperplasia (BPH) merupakan pembesaran kelenjar dan
jaringan seluler kelenjar prostat yang berhubungan dengan perubahan
endokrin berkenaan dengan proses penuaan [CITATION Suh13 \l 1033 ]. Hampir
30 juta laki-laki di dunia yang menderita BPH dan di Amerika Serikat hampir
14 juta pria menderita penyakit ini [ CITATION Zuh17 \l 1033 ] . Benigna Prostat
hyperplasia (BPH) adalah salah satu penyakit yang paling umum pada pria
lanjut usia. Manifestasinya dapat berupa terganggunya aliran urin, sulit buang
air kecil dan keinginan buang air kecil (BAK) namun pancaran urin lemah.
Dampak dari BPH saluran kemih bawah yang mengganggu, infeksi saluran
kemih (ISK), hematuria, atau gangguan fungsi saluran kemih atas [ CITATION
Gro18 \l 1033 ].
Berdasarkan data yang diperoleh dari World Health Organization (2015)
diperkirakan terdapat sekitar 70 juta kasus degeneratif salah satunya adalah
BPH, dengan insiden di negara maju sebanyak 19%, sedangkan beberapa
negara di Asia menderita penyakit BPH berkisar 59% di Filiphina [ CITATION
Wen15 \l 1033 ]. Pada Tahun 2017 di Indonesia BPH merupakan penyakit
urutan kedua setelah batu saluran kemih. Dan jika dilihat secara umumnya,
diperkirakan hampir 50% pria di Indonesia yang berusia 50 tahun, dengan kini
usia harapan hidup mencapai 65 tahun ditemukan menderita penyakit
BPH.Berdasarkan data tahun 2008 di Ruang Bedah Khusus RSD dr. Soebandi
Jember terdapat 85 pasien BPH yang melakukan operasi TUR-Prostat.
Delapan puluh lima pasien tersebut 45 pasien (53%) mengalami perdarahan
ringan, 30 pasien (35%) mengalami perdarahan sedang, 10 pasien (12%)
mengalami perdarahan berat. Waktu perdarahan berkisar antara 4 sampai
dengan 5 hari, satu hari setelah pasien tidak mengalami hematuria dower
kateter dilepas dan pasien diijinkan pulang (medikal record RSD dr. Soebandi
Jember, 2009).
Dampak BPH bagi pasien antara lain adanya faktor diet, obesitas, aktifitas
fisik, merokok dan pil diet yang dapat meningkatkan keparahan terkait BPH
dan risiko retensi urin akut [ CITATION Gok18 \l 1033 ]. Faktor lain yang
mempengaruhi BPH adalah pembesaran prostat, pembesaran prostat terjadi
kadar 5α-reduktase dan dehidrotestosteron (DHT) tetap serupa dengan yang
tampak pada laki-laki lebih muda, namun bukti terbaru menunjukan bahwa
keseimbangan antara kedua bentuk enzim dapat terganggu, yang
berkonstribusi terhadap pembesaran prostat [ CITATION Gil17 \l 1033 ]. Faktor
lain yang berkaitan dengan BPH adalah ketidakseimbangan faktor
pertumbuhan lokal, inflamasi lokal dan faktor genetik juga diperkirakan
memengaruhi risiko BPH [ CITATION Dah13 \l 1033 ] . Penanganan penyakit
BPH meliputi: terapi farmakologi, pemantauan perjalanan penyakit, serta
tindakan pembedahan. Sedangkan tindakan pembedahan operasi yang
dilakukan pada pasien BPH tingkat sedang dan tingkat berat yaitu jenis
operasi paling umum adalah prosedur Transurethral Resection of the prostate
(TURP). Pada prosedur TURP dilakukan reseksi (pemotongan) jaringan yang
menyumbat dengan menggunakan elektroda berbentuk kabel.
Pembedahan TURP merupakan tindakan bedah efektif dalam penangganan
BPH. TURP adalah dilakukan reseksi jaringan prostat dengan menggunakan
kauter yang dilakukan secara visual. Meskipun TURP menjadi pilihan utama
pada terapi BPH, kemungkinan terjadinya komplikasi tidak dapat dihindari
yaitu intraoperatif, perioperatif dan lanjut. Komplikasi intraoperatif meliputi
perdarahan, perforasi buli, perforasi kapsul prostat, sindroma TUR dan
kematian. Sedangkan komplikasi perioperatif meliputi perdarahan, retensi
urin, infeksi saluran kemih, epidimitis, clot retension dan kematian.
Komplikasi lanjut meliputi struktur uretra, retensi urin, berulang, inkontenesia
urin, ejakulasi retrogad dan disfungsi ereksi [ CITATION Pur12 \l 1033 ].
Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan pada pasien BPH post
operasi TURP yang mengalami nyeri adalahmobilisasi dini. Mobilisasi dini
merupakan aktivitas yang dilakukan pasien post pembedahan dimulai dari
latihan ringan di atas tempat tidur (latihan pernafasan, latihan batuk efektif
dan menggerakkan tungkai) sampai dengan pasien bisa turun dari tempat
tidur, berjalan ke kamar mandi dan berjalan keluar kamar.Tujuan mobilisasi
dini adalah mempertahankan fungsi tubuh, memperlancar peredaran darah,
membantu pernapasan menjadi lebih baik, mempertahankan tonus otot,
memperlancar eliminasi buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK),
mengembalikan aktivitas tertentu sehingga pasien dapat kembali normal
memenuhi kebutuhan gerak harian, dan memberi kesempatan perawat dan
pasien untuk berinteraksi dan berkomunikasiserta meningkatkan kepuasan
pasien dan mengurangi long of stay (LOS) lama hari rawat pasien [ CITATION
Sum20 \l 1057 ]

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang rumusan masalah pada penelitian ini yaitu
bagaimanakah penerapan mobilisasi dini terhadap tingkat nyeri post operasi
TURP pada pasien Benign Prostate Hyperplasiadi Ruang Mawar RSUD Dr.
Soebandi Jember ?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu mengetahui penerapkan mobilisasi dini terhadap
tingkat nyeri post operasi TURP pada pasienBenign Prostate Hyperplasia
dari berbagai litelatur.
1.3.2 Tujuan Khusus
1) Mengidentifikasi tingkat nyeri post operasi TURP pada pasien BPH
sebelum dilakukan mobilisasi dini dari berbagai litelatur
2) Mengidentifikasi tingkat nyeri post operasi TURP pada pasien BPH
sesudah dilakukan mobilisasi dini dari berbagai litelatur
3) Mengetahui sebelum dan sesudah penerapan mobilisasi dini terhadap
tingkat nyeri post operasi TURP pada pasien BPH dari berbagai
litelatur

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Bagi Pelayanan Kesehatan
Dapat memberikan informasi dan sumbangan pikiran dalam pelaksanaan
asuhan keperawatan medical pada pasien post operari TURP pada pasien
Benign Prostate Hyperplasi di Ruangn Mawar RSUD dr. Soebandi
Jember.
1.4.2 Bagi Institusi Pendidikan
Dapat menjadi referensi tambahan yang bermanfaat khususnya bagi
mahasiswa keperawatan serta dapat dijadikan sumber rujukan bagi penulis
yang akan datang.
1.4.3 Bagi Peneliti
Penulis memahami tentang Benign Prostate Hyperplasiabaik secara
teoritis maupun secara klinis dan dapat mengaplikasikan kemampuan
tindakan keperawatan terhadap pasien dengan Benign Prostate
Hyperplasia
1.4.4 Bagi Pasien dan Keluarga
Dapat mengetahui informasi mengenai mobilisasi dini sebagai salah satu
cara penanganan pada pasien post operari TURP pada Benign Prostate
Hyperplasia
BAB 2
TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Benign Prostat Hyperplasia (BPH)


2.1.1 PengertianBenign Prostat Hyperplasia (BPH)
Benign Prostat Hyperplasia (BPH) atau hiperplasia prostat jinak atau
pembesaran prostat adalah suatu keadaan dimana kelenjar prostat mengalami
pembesaran, memanjang ke atasake dalam kandungan kemih dan menyumbat
aliran urine dengan menutup orifisium uretra [ CITATION Sme01 \l 1033 ].
Hyperplasia merupakan pembesaran ukuran sel dan diikuti oleh penambahan
jumlah sel. Benign Prostat Hyperplasia (BPH) merupakan suatu kondisi
patologis yang paling umum di derita oleh laki-laki dengan usia rata-rata 50
tahun [ CITATION Eko14 \l 1033 ].

2.1.2 Etiologi Benign Prostat Hyperplasia (BPH)


Menurut [ CITATION Eko14 \l 1033 ] etiologi Benign Prostat Hyperplasia (BPH)
sebagai berikut :
1. Peningkatan DKT (dehidrootestoteron)
Peningkatan 5 alfa reduktase dan resepto androgen akan menyebabkan
epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami hyperplasia.
2. Ketidakseimbangan esterogen-testosteron
Ketidakseimbangan ini terjadi karena proses degenerative. Pada proses
penuaan, pada pria terjadi peningkatan hormone estrogen dan penurunan
hormon testosterone. Hal ini yang memicu terjadinya hyperplasia stroma
pada prostat.
3. Interaksi antara sel struma dan sel epitel prostat
Peningkatan kadae epidermal growth factor atau fibroblast growth factor
dan penurunan transforming growth factor beta menyebabkan hyperplasia
stroma dan epitel, sehingga terjadi Benign Prostat Hyperplasia (BPH).
4. Berkurangnya kematian sel (apoptosis)
Estrogen yang meingkat akan menyebabkan peningkatan lama hidup
stroma dan epitel dari kelenjar prostat.
5. Teori stem sel
Sel stem yang meningkat akan mengakibatkan proliferasi sel transit dan
memicu terjadi Benign Prostat Hyperplasia (BPH).

2.1.3 KlasifikasiBenign Prostat Hyperplasia(BPH)


Klasifikasi Benign Prostat Hyperplasia (BPH) meliputi :
a. Derajat 1
Biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan pengobatan
konservatif.
b. Derajat 2
Merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya dianjurkan
reseksi endoskopik melalui uretra (trans urethral resection / TUR)
c. Derajat 3
Reseksi endoskopik dapat dikerjakan, bila diperkirakan prostate sudah
cukup besar, reseksi tidak cukup 1 jam sebaiknya dengan pembedahan
terbuka, melalui trans retropublik/perianal.
d. Derajat 4
Tindakan segera dilakukan membebaskan klien dari retensi urine total
dengan pemasangan kateter.

2.1.4 Manifestasi KlinisBenign Prostat Hyperplasia(BPH)


Gejala klinis yang ditimbulkan oleh Benign Prostat Hyperplasia disebut
sebagai Syndroma Prostatisme. Syndroma Prostatisme dibagi menjadi dua
yaitu :
1. Gejala Obstruktif yaitu :
a. Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai
dengan mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-
buli memerlukan waktu beberapa lama meningkatkan tekanan
intravesikal guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra prostatika.
b. Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan
karena ketidakmampuan otot destrussor dalam pempertahankan
tekanan intra vesika sampai berakhirnya miksi.
c. Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing.
d. Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrussor
memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra.
e. Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum
puas.
2. Gejala Iritasi yaitu :
a. Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.
b. Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi
pada malam hari (Nocturia) dan pada siang hari.
c. Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.

2.1.5 PatofisiologiBenign Prostat Hyperplasia(BPH)


Perubahan mikroskopis pada prostat terjadi pada usia 30-40 tahun. Bila
perubahan ini terus berkembang akan terjadi perubahan patologi, anatomi
pada pria usia 50 tahun. Perubahan abnormal ini menyebabkan hiperplasi
jaringan penyangga stromal dan elemen grandular pada prostat.
Proses pembesaran prostat akan terjadi secara perlahan lahan sehingga
perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan lahan. Pada tahap
awal setelah terjadi pembesaran prostat, retensi urin pada leher buli buli dan
daerah prostat meningkat, serta otot otot detrusor menebal dan merenggang
sehingga timbul sakulasi atau diventrikel. Fase penebalan detrusor ini disebut
fase kompensasi. Apabila keadaan berlanjut,maka detrusor menjadi nlelah dan
akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi
sehingga terjadi retensi urin yang selanjutnya menyebabkan hidronefosis dan
disfungsi saluiran kemih atas [ CITATION Pus16 \l 1057 ]
Adapun patofisiologi dari masing masing tanda dan gejala diantaranya
a. Penurunan kekuatan dan aliran yang disebabkan resistensi uretra dalah
gambaran awal dan menetap dari BPH. Resistensi yang terjadi
disebabkan oleh edema yang terjadi pada prostat yang membesar
b. Hesitancy (lama saat miksi) terjadi karena detrusor membutuhkan
waktu yang lama untuk dapat melawan resistensi uretra
c. Intermittency (kencing putus putus) terjadikarena detrusor tidak dapat
mengatasi resistensi uretra sampai akhir miksi.
d. Nocturia frekuensi terjadi karena pengososngan yang tidak lengkap
pada tiap miksi sehingga interval antar miksi lebih pendek
e. Hematuria terjadi karena pecahnya pembuluh darah submukosa pada
prostat yang membesar

2.1.6 Pemeriksaan Penunjang Benign Prostat Hyperplasia(BPH)


Pemeriksaan penunjang Benign Prostat Hyperplasia (BPH) meliputi :
1) Sedimen Urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi saluran
kemih.
2) Kultur Urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus
menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang
diujikan.
3) Foto polos abdomen
Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa prostat
dan kadang menunjukan bayangan buii-buli yang penuh terisi urin yang
merupakan tanda dari retensi urin.
4) IVP (Intra Vena Pielografi)
Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter
atau hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit
pada buli-buli.
5) Ultrasonografi (trans abdominal dan trans rektal)
Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur
sisa urin dan keadaan patologi lainnya seperti difertikel, tumor.
6) Systocopy
Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra
parsprostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.
2.1.7 PenatalaksanaanBenign Prostat Hyperplasia(BPH)
Penatalaksanaan Benign Prostat Hyperplasia (BPH) meliputi :
a) Non Farmakologi
1. Menghindari minum banyak dalam waktu singkat, menghindari
alkohol dan diuretic mencegah oven distensi kandung kemih akibat
tonus otot detrussor menurun.
2. Menghindari obat-obat penyebab retensi urine seperti : anticholinergic,
anti histamin, decongestan.
3. Observasi Watchfull Waiting
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Nasihat yang
diberikan adalah mengurangi minum setelah makan malam untuk
mengurangi nokturia, menghindari obat-obatan dekongestal
(parasimpatolitik), mengurangi minum kopi, dan tidak diperbolehkan
minuman alkohol agar tidak sering miksi. Setiap 3 bulan lakukan
kontrol keluhan (sistem skor), sisa kencing dan pemeriksaan colok
dubur.
b) Farmakologi
1. Pemberian obat Golongan Supressor Androgen/anti androgen
(Inhibitor 5 alfa reduktase)
Obat yang dipakai adalah finasterid (proskar) dengan dosis 1x5
mg/hari. Obat golongan ini dapat menghambat pembentukan
dehidrotestosteron sehingga prostat yang membesar dapat mengecil.
Namun obat ini bekerja lebih lambat daripada golongan alpha blocker
dan manfaatnya hanya jelas pada prostat yang sangat besar. Salah satu
efek samping obat ini adalah melemahkan libido dan ginekomastia.
2. Pemberian obat Golongan Alfa Bloker/obat penurun tekanan diuretra-
prostatika (Prazosin, Alfulosin, Doxazonsin, Terazosin)
Dasar pengobatan ini adalah mengusahakan agar tonus otot polos di
dalam prostat dan leher vesica berkurang dengan menghambat
rangsangan alpha adrenergik. Seperti diketahui di dalam otot polos
prostat dan leher vesica banyak terdapat reseptor alpha adrenergik.
Obat-obatan yang sering digunakan prazosin, terazosin, doksazosin,
dan alfuzosin. Obat penghambat alpha adrenergik yang lebih selektif
terhadap otot polos prostat yaitu α1a (tamsulosin), sehingga efek
sistemikyang tak diinginkan dari pemakai obat ini dapat dikurangi.
Dosis dimulai 1 mg/hari sedangkan dosis tamzulosin 0,2-0,4 mg/hari.
Penggunaan antagonis alpha 1 adrenergik untuk mengurangi obstruksi
pada vesica tanpa merusak kontraktilitas detrusor.
Obat-obatan golongan ini memberikan perbaikan laju pancaran
urine, menurunkan sisa urin dan mengurangi keluhan. Obat-obat ini
juga memberi penyulit hipotensi, pusing, mual, lemas, dan meskipun
sangat jarang bisa terjadi ejakulasi retrograd, biasanya pasien mulai
merasakan berkurangnya keluhan dalam waktu 1-2 minggu setelah
pemakaian obat.
c) Pembedahan
Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria, penurunan
fungsi ginjal, infeksi saluran kemih berulang, divertikel batu saluran
kemih, hidroureter, hidronefrosis jenis pembedahan:
1. TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy)
Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat
melalui sitoskopi atau resektoskop yang dimasukkan malalui uretra.
2. Prostatektomi Suprapubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat pada
kandung kemih.
3. Prostatektomi retropubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen
bagian bawah melalui fosa prostat anterior tanpa memasuki kandung
kemih.
4. Prostatektomi Peritoneal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi
diantara skrotum dan rektum.
5. Prostatektomi retropubis radikal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula, vesikula
seminalis dan jaringan yang berdekatan melalui sebuah insisi pada
abdomen bagian bawah, uretra dianastomosiskan ke leher kandung
kemih pada kanker prostat.

2.1.7 Komplikasi Benign Prostat Hyperplasia (BPH)


Menurut [ CITATION Wid11 \l 1033 ] komplikasi Benign Prostat Hyperplasia
(BPH) meliputi :
a) Atherosclerosis
b) Infark Jantung
c) Impoten
d) Haemoragik post operasi
e) Fistula
f) Struktur pasca operasi dan Inkontinensia Urine
g) Infeksi

2.1 Nyeri
2.1.1 Definisi Nyeri
Dalam pembahasan ini, nyeri yang dibahas adalah nyeri yang berkaitan
dengan post operasi, sehingga dapat digunakan untuk mengukur tingkat
nyeri yang dirasakan oleh klien dengan post operasi TURP pada klien
Benign Prostat Hyperplasia (BPH).
Nyeri adalah bentuk pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan atau
cenderung akan terjadi kerusakan jaringan atau suatu keadaan yang
menunjukkan kerusakan jaringan. Nyeri adalah sensasi penting bagi
tubuh.Provokasi saraf-saraf sensorik nyeri menghasilkan reaksi
ketidaknyamanan, distres, atau penderitaan. Penilaian dan pengukuran
derajat nyeri sangatlah penting dalam proses diagnosis penyebab nyeri.
Dengan penilaian dan pengukuran derajat nyeri dapat dilakukan tata
laksana nyeri yang tepat, evaluasi serta perubahan tata laksana sesuai
dengan respon pasien. Nyeri harus diperiksa dalam suatu faktor fisiologis,
psikologis sertalingkungan.
Penilaian nyeri meliputi :
1. Anamnesis umum
2. Pemeriksaan fisik
3. Anamnesis spesifik nyeri dan evaluasi ketidakmampuan yang
ditimbulkan nyeri:
a. Lokasi nyeri
b. Keadaan yang berhubungan dengan timbulnya nyeri
c. Karakter nyeri
d. Intensitas nyeri
e. Gejala yang menyertai
f. Efek nyeri terhadap aktivitas
g. Tatalaksana yang sudah didapat
h. Riwayat penyakit yang relevan dengan rasanyeri
i. Faktor lain yang akan mempengaruhi tatalaksana pasien

2.1.2 Penggolongan nyeri


Nyeri dapat digolongkan dalam berbagai cara, yaitu:
1. Menurut jenisnya : nyeri nosiseptik, nyeri neurogenik, dan nyeri
psikogenik
2. Menurut timbulnya nyeri : nyeri akut dan nyerikronik
3. Menurut penyebabnya : nyeri onkologik dan nyerinon-onkologik
4. Menurut derajat nyerinya : nyeri ringan, sedang, dan berat
Dengan penilaian nyeri yang lengkap dapat dibedakan antara nyeri
nosiseptik (somatik dan visera) dengan nyeri neuropatik.
1. Nyeri somatik dapat dideskripsikan sebagian nyeri tajam, panas
atau menyengat, yang dapat ditunjukkan lokasinya serta
diasosiasikan dengan nyeri tekan lokal di sekitarnya.
2. Nyeri visera dideskripsikan sebagai nyeri tumpul, kram atau kolik
yang tidak terlokalisir yang dapat disertai dengan nyeri tekan lokal,
nyeri alih, mual, berkeringan dan perubahankardiovaskular
3. Nyeri neuropatik memiliki cirikhas:
a. Deskripsi nyeri seperti terbakar, tertembak, atau tertusuk
b. Nyeri terjadi secara paroksismal atau spontan serta tanpa terdapat
faktorpresipitasi.
c. Terdapatnya diastesia (sensasi abnormal yang tidak menyenangkan
yang timbul spontan ataupun dispresipitasi), hiperalgesia
(peningkatan derajat respon terhadap stimulus nyeri normal),
alodinia (nyeri yang dirasakan akibat stimulus yang pada keadaan
normal tidak menyebabkan nyeri), atau adanya hipoestesia.
d. Perubahan sistem otonom regional (perubahan warna, suhu, dan
keringat) serta phantom phenomenaSangatlah penting untuk
mengetahui tipe nyeri yang diderita, karena durasi nyeri dan respon
terhadap pemberian obat analgesia beragam antar tipe nyeri.

2.1.3 Derajat Nyeri


Pengukuran derajat nyeri sebaiknya dilakukan dengan tepat karena
sangat dipengaruhi oleh faktor subyektif seperti faktor fisiologis,
psikologi, lingkungan. Karenanya, anamnesis berdasarkan pada pelaporan
mandiri pasien yang bersifat sensitif dan konsisten sangatlah penting. Pada
keadaan di mana tidak mungkin mendapatkan penilaian mandiri pasien
seperti pada keadaan gangguang kesadaran, gangguan kognitif, pasien
pediatrik, kegagalan komunikasi, tidak adanya kerjasama atau ansietas
hebat dibutuhkan cara pengukuran yang lain. Pada saat ini nyeri di
tetapkan sebagai tanda vital kelima yang bertujuan untuk meningkatkan
kepedulian akan rasa nyeri dan diharapkan dapat memperbaiki tatalaksana
nyeriakut.
Berbagai cara dipakai untuk mengukur derajat nyeri, cara yang
sederhana dengan menentukan derajat nyeri secara kualitatif sebagai
berikut:
a. Nyeri ringan adalah nyeri yang hilang timbul, terutama sewaktu
melakukan aktivitas sehari-hari dan hilang pada waktutidur
b. Nyeri sedang adalah nyeri terus menerus, aktivitas terganggu, yang
hanya hilang apabila penderitatidur
c. Nyeri berat adalah nyeri yang berlang sungterus menerus sepanjang
hari, penderita tak dapat tidur atau sering terjaga oleh gangguan nyeri
sewaktutidur

2.1.4 Pengukuran Derajat Nyeri


Ada beberapa cara untuk membantu mengetahui akibat nyeri
menggunakan skala assessment nyeri unidimensional (tunggal) atau
multidimensi
1. Unidimensional:
- Hanya mengukur intensitasnyeri
- Cocok (appropriate) untuk nyeri akut
- Skala yang biasa digunakan untuk evaluasi pemberiananalgetik
- Skala assessment nyeri unidimensional ini meliputi:
a. Visual Analog Scale(VAS)
Visual analog scale (VAS) adalah cara yang paling banyak
digunakan untuk menilai nyeri. Skala linier ini menggambarkan
secara visual gradasi tingkat nyeri yang mungkin dialami seorang
pasien. Rentang nyeri diwakili sebagai garis sepanjang 10 cm,
dengan atau tanpa tanda pada tiap sentimeter (Gambar 1). Tanda
pada kedua ujung garis ini dapat berupa angka atau pernyataan
deskriptif.Ujung yang satu mewakili tidak ada nyeri, sedangkan
ujung yang lain mewakili rasa nyeri terparah yang mungkin terjadi.
Skala dapat dibuat vertikal atau horizontal. VAS juga dapat
diadaptasi menjadi skala hilangnya/reda rasa nyeri. Digunakan
pada pasien anak >8 tahun dan dewasa. Manfaat utama VAS
adalah penggunaannya sangat mudah dan sederhana. Namun,

untuk periode pasca bedah, VAS tidak banyak bermanfaat karena


VAS memerlukan koordinasi visual dan motorik serta kemampuan
konsentrasi.
No Worst
Possible Pain Pain
Gambar 1. Visual Analog Scale (VAS)
b. Verbal Rating Scale(VRS)
Skala ini menggunakan angka-angka 0 sampai 10 untuk
menggambarkan tingkat nyeri. Dua ujung ekstrem juga digunakan
pada skala ini, sama seperti pada VAS atau skala reda nyeri
(Gambar 2). Skala numerik verbal ini lebih bermanfaat pada
periode pascabedah, karena secara alami verbal / kata-kata tidak
terlalu mengandalkan koordinasi visual dan motorik. Skala verbal
menggunakan kata - kata dan bukan garis atau angka untuk
menggambarkan tingkat nyeri. Skala yang digunakan dapat berupa
tidak ada nyeri, sedang, parah. Hilang/redanya nyeri dapat
dinyatakan sebagai sama sekali tidak hilang, sedikit berkurang,
cukup berkurang, baik/ nyeri hilang sama sekali. Karena skala ini
membatasi pilihan kata pasien, skala ini tidak dapat membedakan
berbagai tipenyeri.

Gambar 2. Verbal Rating Scale (VRS)

c. Numeric Rating Scale (NRS) (Gambar3)


Dianggap sederhana dan mudah dimengerti, sensitif terhadap dosis,
jenis kelamin, dan perbedaan etnis. Lebih baik daripada VAS
terutama untuk menilai nyeri akut. Namun, kekurangannya adalah
keterbatasan pilihan kata untuk menggambarkan rasa nyeri, tidak
memungkinkan untuk membedakan tingkat nyeri dengan lebih
teliti dan dianggap terdapat jarak yang sama antar kata yang
menggambarkan efek analgesik.

Gambar 3. Numeric Rating Scale (NRS)


d. Wong Baker Pain RatingScale
Digunakan pada pasien dewasa dan anak >3 tahun yang tidak dapat
menggambarkan intensitas nyerinya dengan angka.
Gambar 4. Wong Baker Pain Rating Scale

2. Multidimensional
- Mengukur intensitas dan afektif (unpleasantness)nyeri
- Diaplikasikan untuk nyerikronis
- Dapat dipakai untuk penilaianklinis
- Skala multidimensional inimeliputi:
a. McGill Pain Questionnaire (MPQ)
Terdiri dari empat bagian: (1) gambar nyeri, (2) indeks nyeri (PRI),
(3)pertanyaan pertanyaan mengenai nyeri terdahulu dan lokasinya;
dan (4) indeks intensitas nyeri yang dialami saat ini. Terdiri dari 78
kata sifat/ajektif, yang dibagi kedalam20 kelompok. Setiap set
mengandung sekitar 6 kata yang menggambarkan kualitas nyeri
yang makin meningkat. Kelompok 1 sampai 10 menggambarkan
kualitas sensorik nyeri (misalnya, waktu/temporal, lokasi/spatial,
suhu/thermal). Kelompok 11 sampai 15 menggambarkan kualitas
efektif nyeri (misalnya stres, takut, sifat-sifat otonom). Kelompok
16 menggambarkan dimensi evaluasi dan kelompok 17 sampai 20
untuk keterangan lain-lain dan mencakup kata-kata spesifi k untuk
kondisi tertentu. Penilaian menggunakan angka diberikan untuk
setiap kata sifat dan kemudian dengan menjumlahkan semua angka
berdasarkan pilihan kata pasien maka akan diperoleh angka total.
b. The Brief Pain Inventory (BPI)
Adalah kuesioner medis yang digunakan untuk menilai nyeri.
Awalnya digunakan untuk mengassess nyeri kanker, namun sudah
divalidasi juga untuk assessment nyeri kronik.
c. Memorial Pain AssessmentCard
Merupakan instrumen yang cukup valid untuk evaluasi efektivitas
dan pengobatan nyeri kronis secara subjektif. Terdiri atas 4
komponen penilaian tentang nyeri meliputi intensitas nyeri,
deskripsi nyeri, pengurangan nyeri dan mood.
Gambar 5. Memorial Pain Assessment Card

d. Catatan harian nyeri (Paindiary)


Adalah catatan tertulis atau lisan mengenai pengalaman pasien dan
perilakunya. Jenis laporan ini sangat membantu untuk memantau
variasi status penyakit sehari- hari dan respons pasien terhadap
terapi. Pasien mencatat intensitas nyerinya dan kaitan dengan
perilakunya, misalnya aktivitas harian, tidur, aktivitas seksual
kapan menggunakan obat, makan, merawat rumah dan aktivitas
rekreasi lainnya.

3.1 Konsep Mobilisasi Dini


3.1.1 Pengertian
Mobilitas atau mobilisasi merupakan kemampuan seseorang untuk
bergerak bebas, mudah, teratur, dan mempunyai tujuan untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehat. Mobilisasi dibutuhkan untuk meningkatkan
kemandirian diri, meningkatkan kesehatan, memperlambat proses penyakit
(terutama penyakit degenaratif), dan aktualisasi diri (Saputra, 2013).
Mobilisasi dini pada pasien post operasi merupakan kebijaksanaan
untuk selekas mungkin membimbing penderita keluar dari tempat tidurnya
dan membimbingnya selekas mungkin untuk berjalan. Mobilisasi dini
merupakan faktor yang menonjol dalam mempercepat pemulihan pasca
bedah dan dapat mencegah komplikasi pasca bedah (Susilo,
2016).Mobilisasi dini perlu dilakukan secara bertahap, guna mempercepat
proses jalannya penyembuhan. Mobilisasi dini dapat mempercepat proses
penyembuhan luka atau pemulihan luka paska bedah, meningkatkan fungsi
paru-paru, memperkecil resiko pembentukan gumpalan darah, dan juga
memungkinkan klien kembali secara penuh fungsi fisiologisnya (Hanifah,
2015).
Pentingnya gerakan bagi kesehatan tidak diragukan lagi. Mobilisasi
dini merupakan suatu aspek yang penting pada fungsi fisiologis, karena hal
itu esensial untuk mempertahankan kemandirian. Manfaat yang diperoleh
dari keseluruhan latihan fisik dan kemampuan untuk menjalankan aktivitas
kehidupan sehari-hari (ActivitiesofDailyLiving/ADL). Pentingnya
mobilisasi dini sangat berpengaruh agar dapat meningkatkan metabolisme
sehingga kondisi umum pasien akan lebih baik (Meiliya, 2009).

3.1.2 Tujuan Mobilisasi Dini


Tujuan dari mobilisasi dini antara lain :
1) Mempertahankan fungsi tubuh
2) Memperlancar peredaran darah sehingga mempercepat penyembuhan luka
3) Membantu pernafasan menjadi lebih baik
4) Mempertahankan tonus otot
5) Memperlancar eliminasi alvi dan urine
6) Mengembalikan aktivitas tertentu, sehingga pasien dapat kembali normal
dan atau dapat memenuhi kebutuhan gerak harian.
7) Memberikan kesempatan perawat dan pasien berinteraksi atau
berkomunikasi (Handayani, 2015).

3.1.3 Jenis-Jenis Mobilisasi Dini


Mobilisasi dibagi menjadi beberapa jenis. Jenis mobilisasi
diantaranya adalah mobilisasi penuh dan mobilisasi sebagian. Mobilisasi
sebagian dibagi menjadi mobilisasi sebagian temporer dan mobilisasi
sebagian permanen.
1) Mobilisasi Penuh
Mobilisasi penuh merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak secara
penuh dan bebas sehingga dapat melakukan interaksi sosial dan
menjalankan peran sehari-hari. Mobilitas penuh ini merupakan fungsi
saraf motorik volunter dan sensorik untuk dapat mengontrol seluruh area
tubuh seseorang
2) Mobilitas Sebagian
Mobilitas sebagian merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak
dengan batasan jelas dan tidak mampu bergerak secara bebas karena
dipengaruhi oleh gangguan saraf motorik dan sensorik pada area tubuhnya.
Mobilitas sebagian dibagi menjadi dua jenis, yaitu :
a. Mobilitas sebagian temporer, merupakan kemampuan individu
untuk bergerak dengan batasan yang sifatnya sementara. Hal
tersebut dapat disebabkan oleh trauma reversible pada sistem
muskuloskeletal, contohnya : dislokasi sendi dan tulang.
b. Mobilitas sebagian permanen, merupakan kemampuan individu
untuk bergerak dengan batasan yang sifatnyamenetap. Hal tersebut
disebabkan oleh rusaknya sistem saraf reversibel, contohnya
terjadinya hemiplegia karenastroke, paraplegi karena cedera tulang
belakang, poliomyelitis karena terganggunya sistem syaraf motorik
dan sensorik (Hidayat, 2014).

3.1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Mobilisasi


Faktor yang mempengatuhi mobilisasi dini anatara lain :
1) Gaya hidup
Perubahan gaya hidup dapat mempengaruhi kemampuan mobilitas
seseorang karena gaya hidup berdampak pada perilaku atau kebiasaan
sehari-hari.
2) Proses penyakit/cedera
Proses penyakit dapat mempengaruhi kemampuan mobilitas seseorang
karena dapat mempengaruhi fungsi sistem tubuh. Sebagai contoh, orang
yang menderita fraktur femur akan mengalami keterbatasan pergerakan
dalam ekstremitas bagian bawah, cedera pada urat saraf tulang belakang,
pasien paskaoperasi atau yang mengalami nyeri cenderung membatasi
pergerakan.
3) Kebudayaan
Kemampuan mobilitas dapat juga dipengaruhi oleh kebudayaan. Contoh,
orang yang memiliki budaya sering berjalan jauh memiliki kemampuan
mobilitas yang kuat, sebaliknya ada orang yang mengalami karena adat
dan budaya tertentu dilarang untuk beraktivitas, misalnya selama 40 hari
sesudah melahirkan tidak boleh keluar rumah.
4) Tingkat energy
Energi adalah sumber untuk melakukan mobilitas. Agar seseorang dapat
melakukan mobilitas dengan baik, dibutuhkan energi yang cukup.
5) Usia dan status perkembangan
Terdapat perbedaan kemampuan mobilitas pada tingkat usia yang berbeda.
Hal ini dikarenakan kemampuan atau kematangan fungsi alat gerak sejalan
dengan perkembanganusia. Misalnya orang pada usia pertengahan
cenderung mengalami penurunan aktivitas yang berlanjut sampai usia tua
(Heriana, 2014)

3.1.5 Ruang Gerak Dalam Mobilisasi


Mobilisasi terdapat tiga rentang gerak yaitu :
1) Rentang gerak pasif
Rentang gerak pasif ini berguna untuk menjaga kelenturan otot-otot dan
persendian dengan menggerakkan otot orang lain secara pasif misalnya
perawat mengangkat dan menggerakkan kaki pasien.
2) Rentang gerak aktif
Hal ini untuk melatih kelenturan dan kekuatan otot serta sendi dengan cara
menggunakan otot-ototnya secara aktif misalnya berbaring pasien
menggerakkan kakinya sendiri.
3) Rentang gerak fungsional
Berguna untuk memperkuat otot-otot dan sendi dengan melakukan
aktifitas yang diperlukan seperti miring kanan kiri, berjalan ke kamar
mandi (Fitriani, 2016).

3.1.6 Manfaat Mobilisasi


Manfaat mobilisasi post operasi :
1) Penderita merasa lebih sehat dan kuat dengan earlyambulation. Dengan
bergerak, otot-otot perut dan panggul akan kembali normal sehingga otot
perutnya menjadi kuat kembali dan dapat mengurangi rasa sakit dengan
demikian pasien merasa sehat dan membantu memperoleh kekuatan,
mempercepat kesembuhan.
2) Faal usus dan kandung kencing lebih baik. Dengan bergerak akan
merangsang peristaltik usus kembali normal. Aktifitas ini juga membantu
mempercepat organ-organ tubuh bekerja seperti semula.
3) Mobilisasi dini memungkinkan kita mengajarkan segera untuk pasien bisa
mandiri. Perubahan yang terjadi pada pasien pasca operasi akan cepat
pulih misalnya kontraksi uterus, dengan demikian pasien akan cepat
merasa sehat (Susilo, 2016).
4) Mobilisasi dini yang dilakukan secara teratur menyebabkan sirkulasi
didaerah insisi menjadi lancar sehingga jaringan insisi yang mengalami
cidera akan mendapatkan zat-zat esensial untuk penyembuhan, seperti
oksigen, asam amino, vitamin dan mineral. Oleh karena itu, sangat
disarankan oleh pasien post operasi untuk sesegera mungkin melakukan
mobilisasi dini sesuai tahapan prosedur (Hanifah, 2015)

3.1.7 Latihan Mobilisasi Pada Pasien Post Pembedahan


Mobilisasi paska pembedahan yaitu proses aktivitas yang dilakukan paska
pembedahan dimulai dari latihan ringan diatas tempat tidur (latihan
pernafasan, latihan batuk efektif dan menggerakkan tungkai) sampai
dengan pasien bisa turun dari tempat tidur, berjalan ke kamar mandi dan
berjalan ke luar kamar. Tahap-tahap mobilisasi pada pasien dengan pasca
pembedahan, meliputi :
1) Pada hari pertama 6-10 jam setelah pasien sadar, pasien bisa melakukan
latihan pernafasan dan batuk efektif kemudian miring kanan – miring kiri
sudah dapat dimulai.
2) Pada hari ke 2, pasien didudukkan selama 5 menit, disuruh latihan
pernafasan dan batuk efektif guna melonggarkan pernafasan.
3) Pada hari ke 3 - 5, pasien dianjurkan untuk belajar berdiri kemudian
berjalan di sekitar kamar, ke kamar mandi, dan keluar kamar sendiri
(Suryani, 2014)

Kebanyakan dari pasien masih mempunyai kekhawatiran kalau tubuh


digerakkan pada posisi tertentu paska operasi akan mempengaruhi luka
operasi yang masih belum sembuh yang baru saja selesai dikerjakan. Padahal
tidak sepenuhnya masalah ini perlu dikhawatirkan, bahkan justru hampir
semua jenis operasi membutuhkan mobilisasi atau pergerakan badan sedini
mungkin. Asalkan rasa nyeri dapat ditahan dan keseimbangan tubuh tidak lagi
menjadi gangguan, dengan bergerak, masa pemulihan untuk mencapai level
kondisi seperti pra pembedahan dapat dipersingkat. Dan tentu ini akan
mengurangi waktu rawat di rumah sakit, menekan pembiayaan serta juga
dapat mengurangi stresspsikis. Dengan bergerak, hal ini akan mencegah
kekakuan otot dan sendi sehingga juga mengurangi nyeri, menjamin
kelancaran peredaran darah, memperbaiki pengaturan metabolisme tubuh,
mengembalikan kerja fisiologis organ-organ vital yang pada akhirnya justru
akan mempercepat penyembuhan luka. Menggerakkan badan atau melatih
kembali otot-otot dan sendi pasca operasi di sisi lain akan
memperbugarpikiran dan mengurangi dampak negatif dari beban psikologis
yang tentu saja berpengaruh baik juga terhadap pemulihan fisik. Pengaruh
latihan paska pembedahan terhadap masa pulih ini, juga telah dibuktikan
melalui penelitian penelitian ilmiah (Suryani, 2014).

Mobilisasi sudah dapat dilakukan sejak 8 jam setelah pembedahan, tentu


setelah pasien sadar atau anggota gerak tubuh dapat digerakkan kembali
setelah dilakukan pembiusan regional. Pada saat awal, pergerakan fisik bisa
dilakukan di atas tempat tidur dengan menggerakkan tangan dan kaki yang
bisa ditekuk atau diluruskan, mengkontraksikan otot-otot dalam keadaan statis
maupun dinamis termasuk juga menggerakkan badan lainnya, miring ke kiri
atau ke kanan. Pada 12 sampai 24 jam berikutnya atau bahkan lebih awal lagi
badan sudah bisa diposisikan duduk, baik bersandar maupun tidak dan fase
selanjutnya duduk di atas tempat tidur dengan kaki yang dijatuhkan atau
ditempatkan di lantai sambil digerak-gerakan. Di hari kedua paskaoperasi,
rata-rata untuk pasien yang dirawat di kamar atau bangsal dan tidak ada
hambatan fisik untuk berjalan, semestinya memang sudah bisa berdiri dan
berjalan di sekitar kamar atau keluar kamar, misalnya berjalan sendiri ke toilet
atau kamar mandi dengan posisi infus yang tetap terjaga (Sulistyowati, 2015).
Bergerak paska operasi selain dihambat oleh rasa nyeri terutama di sekitar
luka operasi, bisa juga oleh beberapa selang yang berhubungan dengan tubuh,
seperti; infus, cateter, pipa nasogastrik (NGT=nasogastric tube), drainage tube,
kabel monitor dan lain-lain.Perangkat ini pastilah berhubungan dengan jenis
operasi yang dijalani. Namun paling tidak dokter bedah akan mengintruksikan
perawatnyauntuk membuka atau melepas perangkat itu tahap demi tahap
seiring dengan perhitungan masa mobilisasi ini. Untuk operasi di daerah
kepala, seperti trepanasi, operasi terhadap tulang wajah, kasus THT, mata dan
lain-lain, setelah sadar baik, sudah harus bisa menggerakkan bagian badan
lainnya. Akan diperhatikan masalah jalan nafas dan kemampuan
mengkonsumsi makanan jika daerah operasinya di sekitar rongga mulut,
hidung dan leher. Terhadap operasi yang dikerjakan di daerah dada, perhatian
utama pada pemulihan terhadap kemampuan otot-otot dada untuk tetap
menjamin pergerakan menghirup dan mengeluarkan nafas. Untuk operasi di
perut, jika tidak ada perangkat tambahan yang menyertai pasca operasi, tidak
ada alasan untuk berlama-lama berbaring di tempat tidur. Mobilisasi dini
diperuntukkan bagi penderita yang menjalani operasi yang memerlukan rawat
inap, sudah sadar baik, tidak terganggu keseimbangan cairan dan elektrolitnya
dan terlepas dari beban psikis atau subyektifitas rasa nyeri seseorang, beberapa
jam pasca operasi. Berbeda dengan pasien yang dirawat di ruang intensif yang
memerlukan monitoring ketat. Masa dan cara mobilisasinya tentu sudah diatur
dan dikerjakan oleh tenaga medis. Begitu juga sebaliknya, operasi dengan
teknik minimal invasif akan memberikan keunggulan dalam hal mobilsasi.
Pasien akan bisa lebih cepat dan leluasa bergerak pasca pembedahan
(Sulistyowati, 2015).

3.1.8 Tahapan Mobilisasi


Mobilisasi dini paskalaparatomi dapat dilakukan secara bertahap
setelah operasi. Pada 6 jam pertama pasien harus tirah baring dahulu,
namun pasien dapat melakukan mobilisasi dini dengan menggerakkan
lengan atau tangan, memutar pergelangan kaki, mengangkat tumit,
menegangkan otot betis, serta menekuk dan menggeser kaki. Setelah 6-10
jam, pasien diharuskan untuk dapat miring ke kiri dan ke kanan untuk
mencegah trombosis dan tromboemboli. Setelah 24 jam pasien dianjurkan
untuk dapat belajar duduk. Setelah pasien dapat duduk, dianjurkan untuk
belajar berjalan (ditya, 2016).
Menurut Novita (2012) ada 10 tahapan dalam mobilisasi dini yaitu:
Tabel 2.1 Tahapan Mobilisasi Dini

No Tahapan Gambar
.
1 Menarik nafas dalam

2 Melakukan gerakan
dorsalfleksi dan plantarfleksi
pada kaki (gerakan pompa
betis) 2-4 jam pasca operasi
3 Melakukan gerakan ekstensi
dan fleksi lutut 2-4 jam paska
operasi

4 Menaikkan dan menurunkan


kaki secara bergantian dari
permukaan tempat tidur 2-4
jam paska operasi
5 Memutar telapak kaki seperti
membuat lingkaran sebesar
mungkin menggunakan ibu
jari kaki 2-4 jam paska operasi
6 Melakukan gerakan miring ke
kiki dan kanan secara
bergantian 2-4 jam paska
operasi
7 Meninggikan posisi kepala
dan badan dengan
menggunakan bantal 6-8 jam
paska operasi
8 Melakukan gerakan ROM
aktif setelah 12 jam paska
operasi
9 Duduk sendiri setelah 24 jam
paska operasi

10 Mampu berjalan sendiri


setelah 48 jam paska operasi
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Pengumpulan Data


3.1.1. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian Studi Literatur, yaitu
merupakan penelitian yang dilakukan oleh peneliti dengan mengumpulkan
sejumlah buku, artikel, dan jurnal yang berkaitan dengan masalah dan tujuan
penelitian [CITATION Placeholder1 \t \l 1057 ] . Jenis penelitian yang digunakan
sebagai literatur adalah penelitian dengan desain studi literatur, penelitian
mixed methode study, dan penelitian kuantitatif baik penelitian, quasi
eksperimental. Sumber data yang digunakan merupakan data skunder yang
diperoleh penulis dari penelitian terdahulu ataupun dari berbagai database
seperti Google Scholar, Pubmed, maupun Scient Direct.

3.2. Strategi Pencarian Artikel


3.2.1. Framework Yang Digunakan
Strategi yang digunakan untuk mencariartikel menggunakan PICOS
framework
1. Population/problem, populasi ataumasalah yang dianalisis
2. Intervention, suatu tindakan penatalaksanaan terhadap kasus perorangan
atau masyarakat serta pemaparan tenaga pelaksanaan
3. Comparation, penatalaksanaan lain yang digunakan sebagai pembanding
4. Outcome, hasil atau atau luaran yang diperolehpada penelitian
5. Study design, desain penelitian yang digunakan oleh jurnal yang akan di
review

3.2.2. Kata Kunci


Pencarian artikel atau jurnal menggunakan keyword dan boolean
operator (AND, OR NOT or AND NOT) yang digunakan untuk memperluas
ataumemsprekulasi pencarian, sehingga mempermudah dalam penentuan
artikel atau jurnal yang digunakan. Kata kunci yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu, “mobilisasi dini pada pasien post op” OR NOT
“intervensi pada pasien post op TURP”.

3.2.3. Database Atau Search Engine


Data yang digunakan dalam pencarian ini adalah data skunder yang
diperoleh bukan dari pengamatan langsung akan tetapi diperolehdari hasil
penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti peneliti terdahulu. Sumber data
skunder yang didapat berupa artikel atau jurnal yang relevan dengan topik
dilakukan menggunakan Google Scholar, Pubmed, maupun Scient Direct.

3.3. Kriteria Inklusi Dan Ekslusi


Kriteria inklusi merupakan karakteristik umum subjek penelitian dari suatu
populasi target yang terjangkau dan akan diteliti, sedangkan Kriteria ekslusi
merupakan menghilangkan beberapa subjek yang memenuhi kriteria inklusi
dari penelitian dikarenakan kriteria dan sebab tertentu [ CITATION Nur17 \l 1057
]. Adapun kriteria inklusi dan ekslusi dalam membuat karya ilmiah ini
diuraikan berdasarkan tabel berikut:

Kriteria Inklusi Ekslusi


Population/problem Jurnal atau artikel yang Jurnal atau artikel yang
berkaitan dengan topik tidak berkaitan dengan
mobilisasi dini untuk topik mobilisasi dini untuk
mengurangi nyeri pada mengurangi nyeri pada
pasien post op dengan pasien post op dengan
BPH BPH

Intervention Mobilisasi dini untuk Intervensi lain yang dapat


mengurangi nyeri pada mengurangi nyeri pada
pasien post op dengan pasien post op dengan
BPH BPH

Comparation Terdapat faktor -


pembanding, tidak ada
faktor pembanding
Outcome Ada hubungan atau ada Tidak ada hubungan atau
pengaruh untuk pengaruh untuk
mengurangi nyeri pada mengurangi nyeri pada
pasien pot op dengan BPH pasien pot op dengan BPH

Studi design Kuantitatif, mixed method Kualitatif, sistematic


study, literatur review review

Tahun terbit Jurnal atau artikel dengan Jurnal atau artikel dengan
tahun terbit tahun 2016- tahun terbit kurang dari
2021 tahun 2016
Tabel 3.1. kriteria inklusi dan ekslusi

3.3.1. Hasil Pencarian Dan Seleksi Studi


Jurnal dalam penulisan karya ilmiah ini ditemukan diberbagai
Database yaitu Pubmed, Science Direct, dan Google Scholar. Kata kunci
yang digunakan dalam pencarian adalah “mobilisasi dini pada pasien post
op” OR NOT “intervensi pada pasien post op TURP”.dengan pemilihan
rentang waktu lima tahun terakhir (2016-2021) dan ditemukan sebanyak 20
jurnal yang berhubungan dengan kriteria penulisan. Setelah dilakukan
analisa pada jurnal tersebut, penulis mendapat 2 jurnal yang sesuai dengan
kriteria inklusi dan ekslusi penelitian.
Pencarian dengan keyword
mobilisasi dini pada pasien post
op” OR NOT “intervensi pada
pasien post op TURP” melalui
Google Scholar
n = 20

Exclude n = 7

Seleksi jurnal 5 tahun terakhir Population (n = 4)


menggunakan bahasa indonesia - tidak sesuai topik (n = 4)
dan bahasa inggris
Intervention (n = 0)
n = 17
Comparation (n = 1)
- tidak ada pembnding (n = 1)

Seleksi judul dan duplikat Oucome (n = 1)


- tidak ada hubungan n = 1
n = 12
Study design(n = 1)
- kualitatif (n = 1)

Identifikasi abstrak
n=5
Exclude n = 3

- tidak ada hubungan dengan


Jurnal akhir yang dapat dianalisa penurunan nyeri pada pasien
sesuai dengan rumusan masalah dengan BPH ( n = 2)
dan tujuan
- tujuan penelitian tidak sesuai (n=
n=2
1)

Gambar 3.1. Skema Pengumpulan Data


Tabel 3.2 Literature-literature terkait tentang penerapan mobilisasi dini
terhadap nyeri post operasi turp pada pasien genign prostate hyperplasia

NO SUMBER JUDUL PENELIT METODE INSTRUME HASIL


. DAN I N PENELITIAN
TAHUN
1. Jurnal Gema Mobilisasi Dini I Wayan Desain Lembar Hasil Penelitian
Keperawatan dan Penurunan Sumber penelitian one pandungan didapatkan dari
-vol 13 no.1 Skala Nyeri Jaya, I groubpra-post berupa uji wilcoxonp-
juni 2010 : pada Pasien Made test design standart value=0,0001<0,0
43-50 Post Operasi Mertha dengan operasional 5 ini berarti
Turp Benign rancangan pra prosedur bahwa pemberian
Prostat eksperimental (SOP) dan tindakan
Hyperplasia jumlah sampel alat ukur nyeri mobilisasi dini
sebanyak 12 berupa berpengaruh
responden numeric signifikan
menggunkan rating scale terhadap
Teknik (NRS). penurunan skala
purposive nyeri pada pasien
sampling. post operasi
TURP BPH.
2. Naskah Pengaruh Ani Desain Lember Hasil penelitian
Publikasi Mobilisasi Dini Wulandari, penelitian observasi didapatkan dari
Ani terhadap Nyeri Lutfi Nur quasi uji Mann-whitney
Wulandari, Post Opersi Dian eksperimen diperoleh p-
Mahasiswa Turp pada Asnindari dengan tipe value=0,004
PSIK Pasien BPH Di pretest <0,05 terdapat
Fakultas RSU PKU posttestcontrol perbedaan yang
Ilmu Muhammadiya design, Teknik signifikasi
Kesehatan h Bantul sampling pengaruh
Universitas menggunkan mobilisasi dini
Aisyiyah purposive terhadap nyeri
Yogyakarta sampling post operasi turp
sebanyak 30 pada pasien BHP
pasien post di RSU PKU
operasi Turp Muhammadiyah
yang dirawat di Bantul.
di unit rawat
inap bedah
RSU PKU
Muhammadiya
h Bntul.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
4.1.1 Karakteristik studi
Dua artikel yang memenuhi kriteria inklusi berdasarkan topik yaitu
mobilisasi dini terhadap nyeri post operasi TURP. Semua artikel
menggunakan penelitian eksperimen dengan pretest posttest design.
Jumlah rata rata untuk responden yang diambil adalah 42 responden.
Dengan 2 jurnal menjelaskan faktor usia merupakan berpengaruh terhadap
persepsi nyeri yang dirasakan oleh responden. Semua artikel dilakukan
penelitian di Indonesia.

4.1.2 Karakteristik responden


Responden dalam penelitian adalah laki-laki yang sudah menjalani
post operasi TURP di masing-masing artikel. Responden sebanyak 42
responden dari keseluruhan artikel yang diteliti. Responden berusia rata
rata 50 sampai 80 tahun.

4.1.3 Faktor yang berpengaruh


Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi nyeri yaitu usia, jenis
kelamin, kebudayaan, perhatian, kecemasan gaya koping, dan pengalaman
sebelumnya Semakin tinggi usia seseorang, dia akan cenderung
mengabaikan nyeri dan menahan nyeri karena sudah terbiasa dengan nyeri
yang dirasakannnya (Mawarni & Despiyadi, 2019)

4.1.4 Hasil dari studi


Jurnal pertama berjudul “Mobilisasi Dini dan Penurunan Skala
Nyeri pada Pasien Post Operasi Turp Benign Prostat Hyperplasia”.
Desain penelitian ini menggunakan one groub pra-post test design dengan
rancangan pra eksperimental jumlah sampel sebanyak 12 responden
menggunkan Teknik purposive sampling. Sebelum dilakukan mobilisasi
dini didapatkan hasil skala nyeri post operasi TURP diperoleh bahwa skala
nyeri responden post operasi sebelum diberikan tindakan mobilisasi dini
berkisar antara 3-6 dengan rata-rata adalah 4,42. Dimana minimal skala
nyerinya 3 yang berarti skala nyeri ringan dari skala nyeri 1-3, dan
maksimal skala nyerinya 6 yang berarti nyeri sedang dari skala nyeri 4-6.
Skala nyeri responden yang mengalami post operasi TURP sesudah
diberikan tindakan mobilisasi dini berkisar antara 2- 5 dengan rata-rata
3,25. Dimana minimal skala nyerinya 2 yang berarti skala nyeri ringan
dari skala nyeri 1-3, dan maksimal skala nyerinya 5 yang berarti nyeri
sedang dari skala nyeri 4-6. Berdasarkan hasil uji statistik dengan
menggunakan uji Wilcoxon, diperoleh nilai signifikansi P-value = 0,0001
dengan taraf signifikansi 95 % (α = 0,05). Hal ini berarti H1 diterima
sehingga dapat disimpulkan terdapat pengaruh mobilisasi dini terhadap
penurunan skala nyeri pada pasien post operasi TURP BPH.
Jurnal yang kedua berjudul “Pengaruh Mobilisasi Dini terhadap
Nyeri Post Opersi Turp pada Pasien BPH Di RSU PKU Muhammadiyah
Bantul” Desain penelitian ini menggunakan quasi eksperimen dengan tipe
pretest posttest control design, Teknik sampling menggunkan purposive
sampling sebanyak 30 pasien post operasi TURP yang dirawat di di unit
rawat inap bedah RSU PKU Muhammadiyah Bantul. Didapatkan bahwa
nyeri post operasi TURP pada kelompok intervensi skala nyeri 1-3
sebanyak 7 orang yang berarti skala nyeri ringan, skala nyeri 4-6 terdapat
8 orang dengan skala nyeri sedang. Setelah dilakukan intervensi mobilisasi
dini didapatkan hasil skala nyeri 1-3 atau skala nyeri ringan sebanyak 12
orang dan tidak nyeri sebanyak 3 orang. Hasil analisis statistik dengan uji
Mann-Whitney terhadap nilai rerata nyeri post operasi pada kelompok
intervensi didapatkan nilai signifikan 0,004 dengan nilai signifikansi
p<0,05 yang dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan bermakna nyeri
post operasi pada kelompok intervensi sebelum dilakukan intervensi
tindakan mobilisasi dini dan setelah dilakukan inervensi tindakan
mobilisasi dini. Bisa disimpulkan bahwa ada pengaruh mobilisasi dini
terhadap nyeri post operasi TURP di unit rawat inap bedah RSU PKU
Muhammadiyah Bantul.
4.2 Pembahasan
4.2.1 Mengidentifikasi tingkat nyeri post operasi TURP pada pasien BPH
sebelum dilakukan mbilisasi dini dari berbagai literature

Data pengukuran tingkat nyeri post operasi TURP pada pasien BPH di
ruang mawar RSD dr. Soebandi sebelum dilakukan mobilisasi dini adalah
pada kelompok intervensi sebagian besar adalah pada skala 3 sebanyak 8
orang (53%) intensitas nyeri post operasi TURP pada kelompok control
sebagian besar pada skala 5 sebanyak 7 orang (47%)
Nyeri yang dirasakan sebelum diberi mobilisasi dini rata-rata dirasakan
ketika responden menggerakkan bagian tubuh yang telah dioperasi, namun
nyeri yang dirasakan tidak sampai mengganggu aktivitas responden. Setelah
dilakukan teknik mobilisasi dini, sebagian responden mengatakan bahwa
nyeri yang dirasakan berkurang. Mobilisasi dini mempunyai peranan penting
dalam mengurangi rasa nyeri dengan cara menghilangkan konsentrasi pasien
pada lokasi nyeri atau daerah operasi, mengurangi aktivasi mediator kimiawi
pada proses peradangan yang meningkatkan respon nyeri serta meminimalkan
transmisi saraf nyeri menuju saraf pusat. Melalui mekanisme tersebut,
mobilisasi dini efektif dalam menurunkan intensitas nyeri pasca operasi
(Nugroho, 2011).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Mertha 2020) diperoleh


bahwa skala nyeri responden post operasi sebelum diberikan tindakan
mobilisasi dini berkisar antara 3-6 dengan rata-rata adalah 4,42. Dimana
minimal skala nyerinya 3 yang berarti skala nyeri ringan dari skala nyeri 1-3,
dan maksimal skala nyerinya 6 yang berarti nyeri sedang dari skala nyeri 4-6.
Hal ini menunjukkan bahwa tingkat nyeri sebelum diberikan tindakan
mobilisasi dini dengantingkat nyeri sedang.

4.2.2 Mengidentifikasi tingkat nyeri post operasi TURP pada pasien BPH
sesudah dilakukan mbilisasi dini dari berbagai literature

Data pengukuran tingkat nyeri post operasi TURP pada pasien BPH di
ruang mawar RSD dr. Soebandi sesudah dilakukan mobilisasi dini adalah
pada kelompok intervensi sebagian besar adalah pada skala 1 sebanyak 8
orang (53%) intensitas nyeri post operasi TURP pada kelompok control
sebagian besar pada skala 4 sebanyak 6 orang (47%)

Sesuai dengan intervensi yang diberikan, mobilisasi dini merupakan salah


satu penanganan post operasi nonfarmakologi yang efisien dan ekonomis,
serta efek samping yang ditimbulkan juga relatif aman. Penurunan nyeri
setelah diberikan tindakan mobilisasi dini diakibatkan oleh pergerakan otot
yang menyebabkan penutupan gerbang nyeri dan nosiseptor nyeri. Mobilisasi
dini merupakan pemanfaatan untuk mengobati nyeri dan mengurangi gejala
peradangan lainnya (Mertha 2020)

Pada penelitian yang dilakukan Pristahayuningtyas(2016) didapatkan hasil


nilai skala nyeri responden setelah dilakukan mobilisasi dini didapatkan hasil
bahwa 100% responden mengalami penurunan nyeri. Skala nyeri responden
yang mengalami post operasi sesudah diberikan tindakan mobilisasi dini
berkisar antara 2-5 dengan rata-rata 3,25. Dimana minimal skala nyerinya 2
yang berarti skala nyeri ringan dari skala nyeri 1-3, dan maksimal skala
nyerinya 5 yang berarti nyeri sedang dari skala nyeri 4-6. Hal ini
menunjukkan Mobilisasi dini mempunyai peranan penting dalam mengurangi
rasa nyeri dengan cara menghilangkan konsentrasi pasien pada lokasi nyeri
atau daerah operasi, mengurangi aktivasi mediator kimiawi pada proses
peradangan yang meningkatkan respon nyeri serta meminimalkan transmisi
saraf nyeri menuju saraf pusat. Melalui mekanisme tersebut, mobilisasi dini
efektif dalam menurunkan intensitas nyeri pasca operasi.

4.2.3 Mengetahui Sebelum Dan Sesudah Penerapan Mobilisasi Dini


Erhadap Tingkat Nyeri Post Operasi TURP Pada Pasien BPH Dari
Berbagai Litelatur
Berdasarkan skala nyeri sebelum dan setelah mobilisasi diruang
Mawar RSD dr. Soebandi diatas dapat dinyatakan bahwa secara deskriptif
menunjukkan bahwa responden yang diberikan tindakan mobilisasi dini
pada pasien postoperasi terjadi penurunan nyeri. Menurut peneliti pasien
post operasi akan mengalami nyeri sedang sampai berat karena kerusakan
jaringan akibat tindakan operasi tersebut seiring dengan berkurangnya efek
obat anastesi.
Mobilisasi dini sangat penting sebagai tindakan pengembalian
secara berangsur-angsur ketahap mobilisasi sebelumnya. Dampak
mobilisasi yang tidak dilakukan bisa menyebabkan gangguan fungsi
tubuh, aliran darah tersumbat dan peningkatan intensitas nyeri. Mobilisasi
dini mempunyai peranan penting dalam mengurangi rasa nyeri dengan
cara menghilangkan konsentrasi pasien pada lokasi nyeri atau daerah
operasi, mengurangi aktivasi mediator kimiawi pada proses peradangan
yang meningkatkan respon nyeri serta meminimalkan transmisi saraf nyeri
menuju saraf pusat. Melalui mekanisme tersebut, ambulasi dini efektif
dalam menurunkan intensitas nyeri pasca operasi (Nugroho, 2019).
Hal ini juga diperkuat dalam penelitian tentang Pengaruh
Mobilisasi Dini Terhadap Keberhasilan Penyembuhan Luka pada Pasien
Pasca Operasi Di RS Pku muhammadiyah Yogyakarta Tahun 2013,
diperoleh hasil dari responden terbukti bahwa teknik mobilisasi dini dapat
menurunkan skala nyeri pada pasien kontusio dengan nilai
P=0,000(p<0.05). Penelitian lainnya membuktikan terhadap perubahan
tingkat nyeri klien post operasi apendektomy di Rumah Sakit Baladhika
Husada Kabupaten Jember. p=0,000 yang menunjukkan bahwa ada
perbedaan yang signifikan antara skala nyeri sebelum dan setelah
dilakukan mobilisasi dini.
Sehingga peneliti berasumsi teknik mobilisasi dini merupakan
intervensi keperawatan secara mandiri untuk menurunkan skala nyeri yang
tidak membutuhkan peralatan khusus, mudah dilakukan kapan saja dan
dimana saja, tidak memerlukan keahlian khusus dan terbukti efektif dalam
menurunkan skala nyeri. Teknik mobilisasi dini bisa dijadikan alternatif
dalam mengurangi intensitas nyeri pasca operasi selain obat analgetik.
BAB V

KESIMPULAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Bersadarkan hasil kesimpulan dari dua jurnal yang telah dianalisis
bahwasanya jurnal menyebutkan terdapat pengaruh yang signifikan
mobilisasi dini terhadap nyeri post operasi TURP pada pasien Benign
Prostate Hyperplasia.

5.2 Saran
1. Bagi Penderita
Penderita BPH dapat menerapkan mobilisasi dini sebagai upaya untuk
mengurangi nyeri post operasi TURP sehingga dapat mengurangi
penggunaan terapi farmakologis.
2. Bagi Keluarga
Keluarga penderita BPH perlu memberikan motivasi kepada pasien post
operasi TURP agar mau melakukan mobilisasi dini untuk mengurangi
nyeri post operasi.
3. Bagi Rumah Sakit
Bagi rumah sakit ataupun perawat ruangan perlu meningkatkan
penerapan clinical pathwayBPH dan pembuatan prosedur mobilisasi
dini pada pasien post operasi TURP sehingga diharapkan perawat dapat
melatih pasien mobilisasi dini untuk mengurangi nyeri pasien post
operasi.
4. Bagi Peneliti Berikutnya
Peneliti berikutnya dapat melakukan penelitian dengan mengontrol
faktor-faktor lain yang bisa mempengaruhi nyeri seperti ansietas, efek
placebo, dan pola koping.
DAFTAR PUSTAKA

Dahlan. (2013). Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan Deskriptif, Bivariat,


dan Multivariat Dilengkapi Aplikasi dengan Menggunakan SPSS.
Jakarta: Salemba Medika.

Gilling. (2017). Benign Prostatic Hyperplasiaand Lower Urinary Tract Symptoms:


Evidence and Approach for Best Case Management. . The Canadian
Journal of Urology 18 , 14-19.

Gokce. (2018). The Relationship Between Serum Lipid Level and Benign Prostate
Hyperplasia. . The New Journal of Medicine , 148-150.

Groat. (2018). Benign Prostate Hyperplasia and lower Urinary Tract Symptom.
The New England Journal Of Medicine .

Indah, P. (2016). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan BPH. Jurnal UMP ,
12-14.

Mawarni, T., & Despiyad. (2019). HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS


NYERI DENGAN KUALITAS TIDUR PADA PASIEN POST
OPERASI BPH DI RUANG SAKTI RS TK III DR. R SOEHARSONO
BANJARMASIN. Journal Nursing Army .

Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Nursalam. (2017). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba


Medika.

Pranata, E. P. (2014). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Sistem Perkemihan.


Yogyakarta: Nuha Medika.

Purnama, Y. H. (2018). Bekam. Pengaruh bekam terhadap penurunan nyeri pada


klien dengan trapezius myalgia pada pekerja angkut di kecamatan
jembuk jember , 69.
Purnomo. (2012). Dasar-Dasar Urologi. Ed. 3. Jakarta: Sagung Seto.

sari, d. f. (2018). BEKAM 'sebagai kedokteran profetik'. depok: rajawali press.

Smeltzer, S. C. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &


Suddarth Vol. 2 Edisi 8. Jakarta: EGC.

Suharyanto. (2013). Asuahan Keperawatan Pada Klien Dengan Gannguan Sistem


Perkemihan. Jakarta: Rineka Cipta.

Sumberjaya, I. W., & Mertha, I. M. (2020). Mobilisasi Dini dan Penurunan Skala
Nyeri pada Pasien Post Operasi TURP Benign Prostate Hyperplasia.
Jurnal Gema Keperawatan , 45-46.

Wenying. (2015). The prevalence of benign prostatic hyperplasia in mainland


China: evidence from epidemiological surveys. China: Sci Rep.

Widijanto, G. (2011). Nursing : Menafsirkan Tanda-Tanda dan Gejala Penyakit.


Jakarta Barat: PT. Indeks Permata Puri Media.

Zuhirman. (2017). Gambaran Komplikasi Transurethral Resection of the Prostate


pada Pasien Benign Prostatic Hyperplasia. Jurnal Ilmu Kedokteran , 44-
53.

Anda mungkin juga menyukai