Oleh :
Anis Muqaddas 20020010
Liza Lusiyani 20020051
M. Heru Susanto 20020052
Nurul Risqiya 20020067
Riska Devi 20020072
Sella Krismonika 20020077
Septiani Puji Lestari 20020078
Syaifiyatul Mutammimah 20020083
Vita Vironica 20020087
(…………………………………..) (…………………………………..)
NIP/NIK. NIDN.
(………………………………………..........……..)
NIP/NIK
Kata Pengantar
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan
rahmatnya sehingga dapat menyelesaikan laporan Evidance Base Practice ini
dapat terselesaikan. Laporan Evidance Base Practice ini disusun untuk memenuhi
salah satu persyaratan menyelesaikan pendidikan program studi profesi Ners
STIKES dr.Soebandi Jember dengan judul “Penerapan Mobilisasi Dini Terhadap
Nyeri Post TURP pada Pasien Benign Prostate Hyperplasia”.
Terselesaikannya laporan ini tidak lepas dari bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak baik materi, moral, maupun spiritual. Oleh karena itu dalam
kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada :
1. Drs. Said Mardijanto, S.Kep,.Ns,.M.M selaku ketua STIKES dr.Soebandi
Jember serta selaku Pembimbing Akademik Stase Holistik
2. selaku Penanggung jawab Stase Keperawatan Medikal Bedah
3. selaku Dosen Pembimbing Stase Keperawatan Medikal Bedah
4. selaku Kepala Ruang Mawar RSUD dr. Soebandi Jember
5. Bapak ibu perawat di Ruang Mawar RSUD dr. Soebandi Jember
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini masih kurang
sempurna. Untuk itu kami mengharapkan saran dan Masukan dari berbagai pihak
yang bersifat membangun. Semoga laporan ini bermanfaat bagi pengembang
pembelajaran untuk ilmu kesehatan.
Penyusun
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Benigna prostat hiperplasia (BPH) merupakan pembesaran kelenjar dan
jaringan seluler kelenjar prostat yang berhubungan dengan perubahan
endokrin berkenaan dengan proses penuaan (Suharyanto, 2013). Hampir 30
juta laki-laki di dunia yang menderita BPH dan di Amerika Serikat hampir 14
juta pria menderita penyakit ini (Zuhirman, 2017). Benigna Prostat
hyperplasia (BPH) adalah salah satu penyakit yang paling umum pada pria
lanjut usia. Manifestasinya dapat berupa terganggunya aliran urin, sulit buang
air kecil dan keinginan buang air kecil (BAK) namun pancaran urin lemah.
Dampak dari BPH saluran kemih bawah yang mengganggu, infeksi saluran
kemih (ISK), hematuria, atau gangguan fungsi saluran kemih atas (Groat,
2018).
Berdasarkan data yang diperoleh dari World Health Organization (2015)
diperkirakan terdapat sekitar 70 juta kasus degeneratif salah satunya adalah
BPH, dengan insiden di negara maju sebanyak 19%, sedangkan beberapa
negara di Asia menderita penyakit BPH berkisar 59% di Filiphina (Wenying,
2015). Pada Tahun 2017 di Indonesia BPH merupakan penyakit urutan kedua
setelah batu saluran kemih. Dan jika dilihat secara umumnya, diperkirakan
hampir 50% pria di Indonesia yang berusia 50 tahun, dengan kini usia harapan
hidup mencapai 65 tahun ditemukan menderita penyakit BPH.Berdasarkan
data tahun 2008 di Ruang Bedah Khusus RSD dr. Soebandi Jember terdapat
85 pasien BPH yang melakukan operasi TUR-Prostat. Delapan puluh lima
pasien tersebut 45 pasien (53%) mengalami perdarahan ringan, 30 pasien
(35%) mengalami perdarahan sedang, 10 pasien (12%) mengalami perdarahan
berat. Waktu perdarahan berkisar antara 4 sampai dengan 5 hari, satu hari
setelah pasien tidak mengalami hematuria dower kateter dilepas dan pasien
diijinkan pulang (medikal record RSD dr. Soebandi Jember, 2009).
Dampak BPH bagi pasien antara lain adanya faktor diet, obesitas, aktifitas
fisik, merokok dan pil diet yang dapat meningkatkan keparahan terkait BPH
dan risiko retensi urin akut (Gokce, 2018). Faktor lain yang mempengaruhi
BPH adalah pembesaran prostat, pembesaran prostat terjadi kadar 5α-
reduktase dan dehidrotestosteron (DHT) tetap serupa dengan yang tampak
pada laki-laki lebih muda, namun bukti terbaru menunjukan bahwa
keseimbangan antara kedua bentuk enzim dapat terganggu, yang
berkonstribusi terhadap pembesaran prostat (Gilling, 2017). Faktor lain yang
berkaitan dengan BPH adalah ketidakseimbangan faktor pertumbuhan lokal,
inflamasi lokal dan faktor genetik juga diperkirakan memengaruhi risiko BPH
(Dahlan, 2013). Penanganan penyakit BPH meliputi: terapi farmakologi,
pemantauan perjalanan penyakit, serta tindakan pembedahan. Sedangkan
tindakan pembedahan operasi yang dilakukan pada pasien BPH tingkat sedang
dan tingkat berat yaitu jenis operasi paling umum adalah prosedur
Transurethral Resection of the prostate (TURP). Pada prosedur TURP
dilakukan reseksi (pemotongan) jaringan yang menyumbat dengan
menggunakan elektroda berbentuk kabel.
Pembedahan TURP merupakan tindakan bedah efektif dalam penangganan
BPH. TURP adalah dilakukan reseksi jaringan prostat dengan menggunakan
kauter yang dilakukan secara visual. Meskipun TURP menjadi pilihan utama
pada terapi BPH, kemungkinan terjadinya komplikasi tidak dapat dihindari
yaitu intraoperatif, perioperatif dan lanjut. Komplikasi intraoperatif meliputi
perdarahan, perforasi buli, perforasi kapsul prostat, sindroma TUR dan
kematian. Sedangkan komplikasi perioperatif meliputi perdarahan, retensi
urin, infeksi saluran kemih, epidimitis, clot retension dan kematian.
Komplikasi lanjut meliputi struktur uretra, retensi urin, berulang, inkontenesia
urin, ejakulasi retrogad dan disfungsi ereksi (Purnomo, 2012).
Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan pada pasien BPH post
operasi TURP yang mengalami nyeri adalahmobilisasi dini. Mobilisasi dini
merupakan aktivitas yang dilakukan pasien post pembedahan dimulai dari
latihan ringan di atas tempat tidur (latihan pernafasan, latihan batuk efektif
dan menggerakkan tungkai) sampai dengan pasien bisa turun dari tempat
tidur, berjalan ke kamar mandi dan berjalan keluar kamar.Tujuan mobilisasi
dini adalah mempertahankan fungsi tubuh, memperlancar peredaran darah,
membantu pernapasan menjadi lebih baik, mempertahankan tonus otot,
memperlancar eliminasi buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK),
mengembalikan aktivitas tertentu sehingga pasien dapat kembali normal
memenuhi kebutuhan gerak harian, dan memberi kesempatan perawat dan
pasien untuk berinteraksi dan berkomunikasiserta meningkatkan kepuasan
pasien dan mengurangi long of stay (LOS) lama hari rawat pasien(Sumberjaya
& Mertha, 2020)
2.1 Nyeri
2.1.1 Definisi Nyeri
Dalam pembahasan ini, nyeri yang dibahas adalah nyeri yang berkaitan
dengan post operasi, sehingga dapat digunakan untuk mengukur tingkat
nyeri yang dirasakan oleh klien dengan post operasi TURP pada klien
Benign Prostat Hyperplasia (BPH).
Nyeri adalah bentuk pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan atau
cenderung akan terjadi kerusakan jaringan atau suatu keadaan yang
menunjukkan kerusakan jaringan. Nyeri adalah sensasi penting bagi
tubuh.Provokasi saraf-saraf sensorik nyeri menghasilkan reaksi
ketidaknyamanan, distres, atau penderitaan. Penilaian dan pengukuran
derajat nyeri sangatlah penting dalam proses diagnosis penyebab nyeri.
Dengan penilaian dan pengukuran derajat nyeri dapat dilakukan tata
laksana nyeri yang tepat, evaluasi serta perubahan tata laksana sesuai
dengan respon pasien. Nyeri harus diperiksa dalam suatu faktor fisiologis,
psikologis sertalingkungan.
Penilaian nyeri meliputi :
1. Anamnesis umum
2. Pemeriksaan fisik
3. Anamnesis spesifik nyeri dan evaluasi ketidakmampuan yang
ditimbulkan nyeri:
a. Lokasi nyeri
b. Keadaan yang berhubungan dengan timbulnya nyeri
c. Karakter nyeri
d. Intensitas nyeri
e. Gejala yang menyertai
f. Efek nyeri terhadap aktivitas
g. Tatalaksana yang sudah didapat
h. Riwayat penyakit yang relevan dengan rasanyeri
i. Faktor lain yang akan mempengaruhi tatalaksana pasien
2. Multidimensional
- Mengukur intensitas dan afektif (unpleasantness)nyeri
- Diaplikasikan untuk nyerikronis
- Dapat dipakai untuk penilaianklinis
- Skala multidimensional inimeliputi:
a. McGill Pain Questionnaire (MPQ)
Terdiri dari empat bagian: (1) gambar nyeri, (2) indeks nyeri (PRI),
(3)pertanyaan pertanyaan mengenai nyeri terdahulu dan lokasinya;
dan (4) indeks intensitas nyeri yang dialami saat ini. Terdiri dari 78
kata sifat/ajektif, yang dibagi kedalam20 kelompok. Setiap set
mengandung sekitar 6 kata yang menggambarkan kualitas nyeri
yang makin meningkat. Kelompok 1 sampai 10 menggambarkan
kualitas sensorik nyeri (misalnya, waktu/temporal, lokasi/spatial,
suhu/thermal). Kelompok 11 sampai 15 menggambarkan kualitas
efektif nyeri (misalnya stres, takut, sifat-sifat otonom). Kelompok
16 menggambarkan dimensi evaluasi dan kelompok 17 sampai 20
untuk keterangan lain-lain dan mencakup kata-kata spesifi k untuk
kondisi tertentu. Penilaian menggunakan angka diberikan untuk
setiap kata sifat dan kemudian dengan menjumlahkan semua angka
berdasarkan pilihan kata pasien maka akan diperoleh angka total.
b. The Brief Pain Inventory (BPI)
Adalah kuesioner medis yang digunakan untuk menilai nyeri.
Awalnya digunakan untuk mengassess nyeri kanker, namun sudah
divalidasi juga untuk assessment nyeri kronik.
c. Memorial Pain AssessmentCard
Merupakan instrumen yang cukup valid untuk evaluasi efektivitas
dan pengobatan nyeri kronis secara subjektif. Terdiri atas 4
komponen penilaian tentang nyeri meliputi intensitas nyeri,
deskripsi nyeri, pengurangan nyeri dan mood.
Gambar 5. Memorial Pain Assessment Card
No Tahapan Gambar
.
1 Menarik nafas dalam
2 Melakukan gerakan
dorsalfleksi dan plantarfleksi
pada kaki (gerakan pompa
betis) 2-4 jam pasca operasi
3 Melakukan gerakan ekstensi
dan fleksi lutut 2-4 jam paska
operasi
METODE PENELITIAN
Tahun terbit Jurnal atau artikel dengan Jurnal atau artikel dengan
tahun terbit tahun 2016- tahun terbit kurang dari
2021 tahun 2016
Tabel 3.1. kriteria inklusi dan ekslusi
Exclude n = 7
Identifikasi abstrak
n=5
Exclude n = 3
BAB IV
4.1 Hasil
4.1.1 Karakteristik studi
Dua artikel yang memenuhi kriteria inklusi berdasarkan topik yaitu
mobilisasi dini terhadap nyeri post operasi TURP. Semua artikel
menggunakan penelitian eksperimen dengan pretest posttest design.
Jumlah rata rata untuk responden yang diambil adalah 42 responden.
Dengan 2 jurnal menjelaskan faktor usia merupakan berpengaruh terhadap
persepsi nyeri yang dirasakan oleh responden. Semua artikel dilakukan
penelitian di Indonesia.
Data pengukuran tingkat nyeri post operasi TURP pada pasien BPH di
ruang mawar RSD dr. Soebandi sebelum dilakukan mobilisasi dini adalah
pada kelompok intervensi sebagian besar adalah pada skala 3 sebanyak 8
orang (53%) intensitas nyeri post operasi TURP pada kelompok control
sebagian besar pada skala 5 sebanyak 7 orang (47%)
Nyeri yang dirasakan sebelum diberi mobilisasi dini rata-rata dirasakan
ketika responden menggerakkan bagian tubuh yang telah dioperasi, namun
nyeri yang dirasakan tidak sampai mengganggu aktivitas responden. Setelah
dilakukan teknik mobilisasi dini, sebagian responden mengatakan bahwa
nyeri yang dirasakan berkurang. Mobilisasi dini mempunyai peranan penting
dalam mengurangi rasa nyeri dengan cara menghilangkan konsentrasi pasien
pada lokasi nyeri atau daerah operasi, mengurangi aktivasi mediator kimiawi
pada proses peradangan yang meningkatkan respon nyeri serta meminimalkan
transmisi saraf nyeri menuju saraf pusat. Melalui mekanisme tersebut,
mobilisasi dini efektif dalam menurunkan intensitas nyeri pasca operasi
(Nugroho, 2011).
4.2.2 Mengidentifikasi tingkat nyeri post operasi TURP pada pasien BPH
sesudah dilakukan mbilisasi dini dari berbagai literature
Data pengukuran tingkat nyeri post operasi TURP pada pasien BPH di
ruang mawar RSD dr. Soebandi sesudah dilakukan mobilisasi dini adalah
pada kelompok intervensi sebagian besar adalah pada skala 1 sebanyak 8
orang (53%) intensitas nyeri post operasi TURP pada kelompok control
sebagian besar pada skala 4 sebanyak 6 orang (47%)
KESIMPULAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Bersadarkan hasil kesimpulan dari dua jurnal yang telah dianalisis
bahwasanya jurnal menyebutkan terdapat pengaruh yang signifikan
mobilisasi dini terhadap nyeri post operasi TURP pada pasien Benign
Prostate Hyperplasia.
5.2 Saran
1. Bagi Penderita
Penderita BPH dapat menerapkan mobilisasi dini sebagai upaya untuk
mengurangi nyeri post operasi TURP sehingga dapat mengurangi
penggunaan terapi farmakologis.
2. Bagi Keluarga
Keluarga penderita BPH perlu memberikan motivasi kepada pasien post
operasi TURP agar mau melakukan mobilisasi dini untuk mengurangi
nyeri post operasi.
3. Bagi Rumah Sakit
Bagi rumah sakit ataupun perawat ruangan perlu meningkatkan
penerapan clinical pathwayBPH dan pembuatan prosedur mobilisasi
dini pada pasien post operasi TURP sehingga diharapkan perawat dapat
melatih pasien mobilisasi dini untuk mengurangi nyeri pasien post
operasi.
4. Bagi Peneliti Berikutnya
Peneliti berikutnya dapat melakukan penelitian dengan mengontrol
faktor-faktor lain yang bisa mempengaruhi nyeri seperti ansietas, efek
placebo, dan pola koping.
DAFTAR PUSTAKA
Gokce. (2018). The Relationship Between Serum Lipid Level and Benign Prostate
Hyperplasia. . The New Journal of Medicine , 148-150.
Groat. (2018). Benign Prostate Hyperplasia and lower Urinary Tract Symptom.
The New England Journal Of Medicine .
Indah, P. (2016). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan BPH. Jurnal UMP ,
12-14.
Sumberjaya, I. W., & Mertha, I. M. (2020). Mobilisasi Dini dan Penurunan Skala
Nyeri pada Pasien Post Operasi TURP Benign Prostate Hyperplasia.
Jurnal Gema Keperawatan , 45-46.