Anda di halaman 1dari 10

Lembar Refleksi Diri

Nama Mahasiswa : I Made Gde. Suryawan, S.Kep


NIM : 18J10119
Program Profesi Ners Institut Teknologi dan Kesehatan Bali

1. Awal
Stase peminatan berlangsung dari tanggal 18 Maret -14 April 2019. Kondisi awal yang
dilakukan selama praktik peminatan berlangsung ialah melakukan anamnase, mempelajari
kondisi klinis penyakit terkait dengan diagnose pasien serta mengobeservasi tindakan yang
dilakukan selama operasi berlangsung. Pada awal peminatan berlangsung saya belum mampu
untuk melakukan tindakan sesuai dengan perencanaan yang telah saya buat (logbook)
sebelumnya sehingga saya harus beradaptasi dengan cepat untuk mengikuti proses tersebut.
2. Proses
 Berkenaan dengan proses pada minggu I dan II, saya masih berusaha untuk mengikuti
semua proses yang ada baik itu dari alur penerimaan pasien, bagaimana pasien
tersebut bisa sampai di OK, tindakan operasi berkaitan dengan diagnose pasien, cara
mencuci tangan steril, menyiapkan pasien pada meja operasi, menjadi asisten,
instrument sampai dengan tindakan post operasi berlangsung sehingga dari tidak bisa
diharapkan menjadi bisa dan terbiasa.
 Berkenaan dengan refleksi diri pada minggu III, saya sudah mampu untuk mengikuti
semua proses yang ada baik itu dari alur penerimaan pasien, bagaimana pasien
tersebut bisa sampai di OK, tindakan operasi berkaitan dengan diagnose pasien, cara
mencuci tangan steril, menyiapkan pasien pada meja operasi, menjadi asisten,
instrument sampai dengan tindakan post operasi berlangsung.
 Berkenaan dengan refleksi diri pada minggu IV, saya sudah mampu untuk mengikuti
semua proses yang ada baik itu dari alur penerimaan pasien, bagaimana pasien
tersebut bisa sampai di OK, tindakan operasi berkaitan dengan diagnose pasien,
bagaimana cara mencuci tangan steril, menyiapkan pasien pada meja operasi, menjadi
asisten, instrument sampai dengan tindakan post operasi berlangsung. Hecting
merupakan practice tambahan yang saya dapat selama berproses di instalasi bedah
sentral di OK Sanjiwani dan saya mampu melakukannya. Pada dasarnya jika ada
kemauan yang tinggi untuk berlatih niscaya apa yang di inginkan akan tercapai
karena semua memerlukan proses untuk menjadi perawat OK yang professional.
Transurethral resection of the prostate (TURP) pada Pasien dengan Benigna
Prostate Hyperplasia (BPH)

Benigna Prostate Hyperplasia (BPH) merupakan salah satu masalah kesehatan


yang sering muncul di daerah perkotaan. Seiring dengan bertambahnya usia
seseorang, maka fungsi organ-organ tubuhnya mengalami penurunan yang
mengakibatkan semakin banyaknya penyakit yang mungkin timbul. Pada pria, salah
satu penyakit yang timbul akibat factor usia adalah pembesaran kelenjar prostat.
Kelenjar prostat adalah satu organ genetalia pria yang terletak disebelah
inferior buli-buli dan melingkari uretra posterior. Bentuknya sebesar buah kenari
dengan berat normal pada orang dewasa kurang lebih 20 gram (Purnomo, 2011). Bila
mengalami pembesaran atau hiperplasy organ ini dapat menyumbat uretra pars
prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli atau lebih
dikenal Benigna Prostat Hiperplasy (BPH) (Burgio, 2010)
Pembesaran kelenjar prostat jinak atau Benigna Prostate Hyperplasia (BPH)
merupakan penyakit tersering kedua pada kasus penyakit kelenjar prostat yang
tercatat di klinik urologi di Indonesia. Berdasarkan data yang di himpun di ruang OK
RSUD Sanjiwani dalam rentang tiga bulan (Januari – Maret 2019) didapatkan bahwa
pasien dengan BPH yang akan dilakukan tindakan TURP terdapat sebanyak 26
pasien. Keluhan yang disampaikan oleh pasien BPH seringkali berupa LUTS (lower
urinary tract symptom) yang terdiri atas gejala obstruksi (voiding symptoms) maupun
iritasi (storage symptoms) yang meliputi; frekuensi miksi meningkat, urgensi,
nocturia, pancaran miksi lemah, dan sering terputus-putus (intermitensi), merasa tidak
puas sehabis miksi, dan tahap selanjutnya terjadi retensi urine. (American Urological
Association, 2010). Smelzer & Bare (2001) menambahkan lebih lanjut gejala lainnya
yaitu abdomen tegang, volume urin menurun, dan harus mengejan saat berkemih serta
urin terus menetes saat berkemih atau dribbling. Permasalahan tersebut sesuai dengan
realita yang ditemukan pada pasien yang akan dilakukan tindakan TURP. Pasien
mengatakan tidak bisa kencing sejak dua minggu SMRS.
Penatalaksanaan pasien BPH bergantung pada penyebab, keparahan obstruksi,
dan kondisi pasien. Jika pasien masuk rumah sakit dalam keadaan darurat karena ia
tidak dapat berkemih, maka kateterisasi segera dilakukan. Sedangkan untuk tindakan
pembedahan, prosedur TURP merupakan 90% dari semua tindakan pembedahan
prostat pada pasien BPH. TURP lebih sedikit menimbulkan trauma daripada prosedur
bedah terbuka dan memerlukan masa pemulihan yang lebih singkat. Secara umum
TURP dapat memperbaiki gejala BPH hingga 90%, meningkatkan laju pancaran urin
100% (Kirby, 1997)
TURP Prostat merupakan prosesdur pembedahan dengan memasukkan
resektoskopi melalui uretra untuk mengeksisi dan mengkauterisasi atau mereseksi
kelenjar prostat yang obstruksi. Prosedur pembedahan TUR Prostat menimbulkan
luka bedah yang akan mengeluarkan mediator nyeri dan menimbulkan nyeri pasca
bedah. Dalam operasi ini tidak ada insisi dan masa penyembuhan selama 8-12
minggu. Operasi ini bertujuan untuk menghilangkan obstruksi di area central prostat
dengan menggunakan panas diatemi dan insersi kateter sementara menuju kandung
kemih untuk irigasi sisa jaringan yang tereseksi (Purnomo, 2011; CUP, 2011).
Setelah prosedur bedah, dokter bedah akan memasukan triple-lumen catheter
kedalam kandung kemih untuk irigasi agar tidak terbentuk gumpalan yang dapat
menyumbat kateter. Biasanya klien inkontinen setelah kateter dilepas sehingga
mereka tidak mampu mengendalikan spincter eksternal maupun internal. Hal ini
dikarenakan selama pemasangan kateter otot detrusor kandung kemih tidak aktif
mengkontraksikan kandung kemih, akibatnya otot detrusor tidak segera merespon
untuk mengosongkan kandung kemih ketika kateter urin dilepas. Hal ini dapat diatasi
dengan latihan bladder training untuk melatih kandung kemih agar dapat bekerja
dengan normal.
Prosedur pembedahan seringkali mempunyai efek samping yang tidak bisa
dihindari oleh setiap pasien yang menjalani operasi, antara lain adalah nyeri. Nyeri
pasca operasi itu sendiri merupakan efek klinis yang biasa dijumpai pada pasien yang
menjalani operasi. Menurut Istikomah, (2010) dalam penelitiannya yang menyatakan
bahwa prevalensi nyeri pasca operasi TURP dengan sampel 1490 klien rawat inap
bedah, didapatkan hasil nyeri sedang dan berat. Angka ini mencapai 41% klien pada
hari pertama, 30% pada hari kedua, 19% pada hari ketiga, 16% pada hari keempat dan
14% pada hari kelima. Intervensi keperawatan yang dilakukan perawat untuk
mengurangi atau menghilangkan nyeri pasca bedah dilakukan dengan pendekatam
farmakologis dan nonfarmakologis. Intervensi nonfarmakologis merupakan terapi
pelengkap untuk mengurangi nyeri pasca bedah dan bukan sebagai pengganti utama
terapi analgesik yang telah diberikan
Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah
sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait
dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi
terjadinya kerusakan (Tamsuri, 2007). Ketidaknyamanan atau nyeri bagaimanapun
keadaannya harus diatasi, karena kenyamanan merupakan kebutuhan dasar manusia.
Seseorang yang mengalami nyeri akan berdampak pada aktivitas sehari-hari dan
istirahatnya (Potter dan Perry, 2009).

DAFTAR PUSTAKA

Adelia Filzha, Monoarfa Alwin, Wagin Angelica. Gambaran Benigna Prostate


Hyperplasia di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandon Manado Periode Januari 2014-Juli 2017
Istikomah. 2010. Pustaka Kesehatan Populer Saluran Pencernaan. Jakarta: PT Bhuana
Ilmu Populer.
Kapoor A. Benign prostatic hyperplasia (BPH) management in the primary care
setting. The Can J Urol. 2012;194:10-5
Purnomo, B.B. 2011. Dasar-dasar urologi (Edisi kedua). Jakarta: Sagung Seto
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). (2013). Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian RI tahun 2013. Available from:
http://www.depkes.go.id/resources/downl oad/general/Hasil%20Riskesdas%20
2013.pdf
Srinami dewi, Made Gede Widnyana, Wayan Suranadi. Perbedaan Osmolalitas Dan
Ph Darah Pada Tindakan Transurethral Resection Of Prostate (Turp) Yang Diberikan
Natrium Laktat Hipertonik 3 Ml/Kgbb Dengan Natrium Klorida 0,9% 3 Ml/Kgbb.
Medicina. Volume 44 nomor 3. 2013
RESUME KASUS

Seorang laki-laki berusia 60 tahun, datang ke Rumah sakit dengan keluhan


tidak bisa BAK sejak 12 jam yang lalu. Setelah dilakukan anamnesa klien
mengatakan keluhan dirasakansejak 2 minggu yang lalu, klien selalu merasa kesakitan
dan meningkat apabila akan memulai berkemih. Apabila dipaksa dengan cara
mengedan, urin keluar dengan menetes dan kadangterjadi hematuria. Klien juga
mengeluh pancaran urin sewaktu miksi berkurang sejak 3 bulanyang lalu. Klien
datang ke rs karena sejak 12 jam yang lalu klien mengatakan mempunyai perasaan
ingin berkemih tetapi tidak keluar urin. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan TD
=160/110 mmHg; HR = 98 x/menit; RR = 25 x/menit; suhu = 37,8 oC. Klien tampak
gelisah,tampak berkeringat di daerah dahi, saat dipalpasi teraba tegang dan keras di
area suprapubik (area vesika urinaria), uji colok dubur (+++) : hasil pemeriksaan
laboratorium : hematologidarah rutin Hb: 14 g/dL, hematokrit : 42%, leukosit :
12.100/mm3, Trombosit : 224.000/ mm3,kimia klinik : ureum : 37 mg/dL, kreatinin :
0,8 mg/dL, Natrium : 125 mEq. Klien direncakan dilakukan operasi TURP. Masalah
keperawatan yang muncul pada kasus diatas adalah Ansietas, Nyeri akut, Retensi
Urin, Rencana keperawatan : memberikan penjelaskan terkait dengan proses tindakan
operasi yang akan dilakukan pada klien. Evaluasi yang diharapkan klien tidak ansietas
terkait dengan prosedur operasi yang dilakukan.

Seorang laki-laki berusia 60 tahun dengan BPH (beign prostatic hypertrophy) sedang
menjalani operasi TURP (transunethral resection of the prostate) dan mendapatkan
irigasi kandung kemih. Sebelum tindakan dilakukan, perawat bedah memberikan
penjelasan dan meminta persetujuan klien. Apakah nilai etik utama yang menjadi
pedoman perawat dalam tindakan tersebut?
a. Justice
b. Autonomy
c. Non-maleficence
d. Veracity
e. Confidentiality
Pembahasan :
Rasional: TURP merupakan tindakan invasif yang beresiko untuk terjadinya
komplikasi. Penjelasan sebelum pembedahan dilakukan untuk memberikan
kesempatan klien mengambil keputusan terbaik bagi dirinya. Informed consent adalah
persetujuan yang diberikan klien setelah pemberian informasi, merupakan salah satu
bentuk penerapan nilai kebebasan. Klien bebas membuat keputusan untuk menerima
atau menolak tindakan bagi dirinya.
Hernioraphy Cyto pada Pasien Hernia Inguinalis Dekstra Inkarserata

Hernia merupakan penonjolan isi rongga melalui defek atau bagian lemah dari
dinding rongga bersangkutan. Hernia terdiri atas cincin, kantong, dan isi hernia. Berdasarkan
terjadinya, hernia dibagi atas hernia bawaan atau kongenital dan hernia dapatan atau akuisita.
Berdasarkan letaknya, hernia diberi nama sesuai dengan lokasi anatominya, seperti hernia
diafragma, inguinal, umbilikalis, femoralis, dan lain-lain. Sekitar 75% hernia terjadi di sekitar
lipat paha, berupa hernia inguinal direk, indirek, serta hernia femoralis.1

Menurut sifatnya, hernia disebut hernia reponibel bila isi hernia dapat keluar-masuk.
Usus keluar saat berdiri atau mengedan, dan masuk lagi ketika berbaring atau bila didorong
masuk perut. Selama hernia masih reponibel tidak ada keluhan nyeri atau gejala obstruksi
usus. Bila isi kantong tidak dapat direposisi kembali ke dalam rongga perut, hernia disebut
hernia ireponibel.

Kasus

Laki-laki berusia 78 tahun yang bekerja sebagai petani datang ke IGD RSUD Sanjiwani Gianyar karena terdapat
benjolan pada lipat paha. Benjolan dirasakan semakin membesar dan timbul saat berdiri, kemudian hilang saat
beristirahat. Pasien mengaku benjolan tidak nyeri dan dapat dimasukkan secara manual menggunakan jari.
Benjolan berbentuk bulat dengan ukuran kurang lebih sebesar bola tenis dan tidak nyeri jika ditekan. Pasien
merasakan keluhan sejak 3 hari yang lalu, keluhan yang dirasakan berupa nyeri pada lipat paha, tidak dapat
buang air besar dan tidak flatus, buang air kecil yang sedikit. Seringkali pasien merasa mual dan disertai muntah
dengan frekuensi kurang lebih 3 kali perhari. Pasien tidak mengeluh demam, nafsu makan pasien juga baik,
pasien tidak memiliki riwayat penyakit batuk yang lama ataupun buang air besar yang keras.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan Keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis, tekanan
darah 110/70 mmHg, nadi 86 kali/ menit, frekuensi nafas 22 kali per menit. Pada pemeriksaan abdomen
didapatkan hasil inspeksi tampak datar, auskultasi bising usus 8 kali permenit, palpasi lemas, perkusi: timpani.
Pada pemeriksaan regio inguinalis dekstra didapatkan hasil inspeksi tampak benjolan, warna sama dengan
sekitar, transluminasi negatif, palpasi teraba benjolan, batas atas tidak tegas, konsistensi kenyal, ukuran 14 x 13
x 6 cm, tidak dapat masuk kembali ke dalam rongga abdomen. Pada pemeriksaan colok dubur didapatkan hasil
Tonus sfingter ani prolaps, mukosa licin, prostat tidak teraba, ampula kosong, feces (+), darah dan lendir (-).

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien ini adalah pemeriksaan laboraturium darah lengkap dan
didapatkan hasil hemoglobin 11,9 g/dL, eritrosit 4.200.000 / mm3, hematokrit 35 vol%, leukosit 9.100/ mm3 ,
trombosit 305.000/mm3 , glukosa Sewakt 82 mg/dL, natrium 139 mEq/L, kalium 4.2 mEq/L. Pasien didiagnosis
hernia inguinalis dekstra inkarserata dan diberikan tatalaksana infus cairan ringer laktat 20 tetes/ Injeksi
ceftriaxone 2x1 gram, injeksi ranitidin 2x50 mg, pemasangan kateter urine dan pro hernioraphy cyto
Hernia merupakan protusi atau penonjolan isi rongga melalui defek atau bagian lemah
dari dinding rongga yang bersangkutan. Terdapat beberapa poin penting dalam hernia, yaitu :
defek atau bagian yang lemah dari dinding rongga, kantung hernia, isi hernia, dan cincin
hernia yaitu daerah penyempitan kantung hernia akibat defek tersebut. 1 Hernia Inguinalis
adalah kondisi dimana lemak intra-abdominal atau bagian dari intestinum menonjol melewati
defek atau bagian lemah dari otot abdomen bagian bawah. Menurut lokasinya hernia dapat
dibedakan menjadi hernia inguinalis yang merupakan hernia yang terjadi dilipatan paha;
hernia umbilikus yang merupakan hernia di pusat dan hernia femoralis yang terjadi di paha.
Sedangkan berdasarkan klinis hernia dibedakan menjadi:

a. Hernia reponibel yaitu hernia yang isinya dapat keluar masuk baik secara spontan atau
dengan manipulasi. Usus keluar jika berdiri atau mengedan dan masuk lagi jika
berbaring atau didorong masuk ke perut. Tidak ada keluhan nyeri atau obstruksi usus.
b. Hernia irreponibel yaitu hernia yang isinya tidak dapat lagi masuk baik secara spontan
atau dengan manipulasi. Ini biasanya disebabkan oleh perlekatan isi kantong pada
peritoneum kantong hernia.
c. Hernia inkarserata yaitu hernia yang tidak dapat lagi kembali ke rongga abdomen
karena isinya terjepit oleh cincin hernia sehingga isi kantong hernia terperangkap.
Secara klinis hernia inkarserata lebih dimaksudkan pada hernia ireponibel untuk
gangguan pasase, sedangkan gangguan vaskularisasi disebut hernia strangulata.

Penegakan diagnosis hernia ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik.


Dari hasil anamnesis pasien banyak pasien hernia tidak menunjukan gejala hingga pasien
menyadari adanya pembengkakan di daerah lipat paha. Beberapa pasien menunjukan gejala
nyeri yang timbul mendadak dan bertambah berat ketika mengangkat benda berat. Beberapa
pasien mengeluh sensasi tarikan, terutama pada hernia inguinal indirek, sensasi tersebut
menjalar ke skrotum. Seiring dengan bertambah besarnya hernia, pasien akan mengeluhkan
sensasi tidak nyaman atau nyeri yang menyebabkan pasien harus berbaring untuk mengurangi
nyeri tersebut.1,2 Secara umum, hernia direk menunjukkan lebih sedikit gejala daripada hernia
indirek dan jarang mengakibatkan inkarserata ataupun strangulata. dan dari pemeriksaan fisik
pada hernia inguinal inkarserata, pemeriksaan fisik inspeksi ditemukan benjolan dilipat paha
yang tidak menghilang meski telah berbaring. Pada hernia lateralis umumnya benjolan di
regio inguinalis yang berjalan dari lateral ke medial, tonjolan berbentuk lonjong sedangkan
medialis tonjolan biasanya terjadi bilateral, berbentuk bulat. Pada palpasi, jika titik tengah
antar SIAS dengan tuberkulum pubicum (AIL) ditekan lalu pasien disuruh mengejan dan
terjadi penonjolan di sebelah medial maka dapat diasumsikan bahwa itu hernia inguinalis
medialis. Jika titik yang terletak di sebelah lateral tuberkulum pubikum (AIM) ditekan lalu
pasien disuruh mengejan dan teraba benjolan di lateral titik yang kita tekan maka dapat
diasumsikan sebagai hernia inguinalis lateral. Jika titik tengah antara kedua titik tersebut di
atas (pertengahan kanalis inguinalis) ditekan lalu pasien disuruh mengejan dan teraba
benjolan di lateralnya berarti hernia inguinalis lateralis jika di medialnya hernia inguinalis
medialis. Pada perkusi bisa didapatkan perkusi perut kembung dan auskultasi terdengar
hiperperistaltis akibat obstruksi usus. 1,2,3

Pada kasus ini seorang laki-laki, usia 78 tahun, masuk rumah sakit dengan keluhan
utama benjolan pada lipat paha kanan. Pada anamnesis diketahui ± 3 hari SMRS penderita
mengeluh timbul benjolan pada lipat paha kanan yang tidak dapat masuk kembali ke dalam
rongga perut, ukuran sebesar bola tenis. Benjolan pada lipat paha kanan yang tidak dapat
masuk kembali ke dalam rongga perut menunjukan manifestasi hernia inguinal ireponibel.
Pasien mengeluh nyeri pada benjolan menunjukan tanda hernia inkarserata. Pasien mengeluh
muntah, frekuensi 3 kali, isi apa yang dimakan kemungkinan disebabkan adanya obstruksi
saluran cerna letak tinggi. Perut kembung (-) dan BAB yang tidak ada keluhan mungkin
menunjukan bahwa gangguan pasase isi usus belum berlangsung lama.

Pada pemeriksaan fisik, tanda-tanda vital dalam batas normal. Pada pemeriksaan regio
abdominal didapatkan datar, lemas, timpani, dan bising usus meningkat. Pada pemeriksaan
inspeksi regio inguinalis dekstra ditemukan benjolan, warna sama dengan sekitar,
transluminasi (-). Pada palpasi didapatkan teraba benjolan, batas atas tidak tegas, konsistensi
kenyal, ukuran 14 x 13 x 6 cm, dan tidak dapat masuk kembali ke dalam rongga abdomen.
Pada pemeriksaan rektal toucher didapatkan adanya prolapse tonus sfingter ani yang
menandakan terjadinya inkarserata. Kemungkinan benjolan adalah suatu hidrokel dapat
disingkirkan dari pemeriksaan fisik, dimana transluminasi benjolan negatif. Kemungkinan
suatu tumor juga disingkirkan karena benjolan teraba kenyal. Kemungkinan suatu torsio testis
dapat disingkirkan dari didapatkan kedua testis ada di kantong kemaluan dan teraba normal.
Pada hasil pemeriksaan penunjang laboratorium tidak didapatkan kelainan. Nilai leukosit
yang normal dapat digunakan untuk menyingkirkan kemungkinan terjadinya peradangan
pada regio inguinal dan skrotal. Pada kasus hernia inguinalis dengan strangulasi dapat
ditemukan leukositosis dengan shift to the left. Selain itu, pemeriksaan kadar elektrolit darah
juga didapatkan normal yang menandakan tidak adanya ketidakseimbangan elektrolit akibat
muntah yang dialami pasien (dehidrasi). Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang dapat disimpulkan bahwa diagnosis pasien ini adalah hernia inguinalis dekstra
inkarserata. Penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien ini adalah terapi operatif cito, yaitu
hernioraphy. Selain itu, pasien juga diterapi dengan medikamentosa berupa injeksi ranitidin
dan antibiotik ceftriaxone.
Hernioraphy merupakan gabungan herniotomi dan plasty (menutup pintu). Pada bayi
tidak perlu tindakan plasty karena anulus externus dan internusnya saling tumpeng tindih.
Fascia transversa yang merupakan lokus minorisnya ditutup sehingga terbentuk jaringan ikat.
Pada hernioplasty dilakukan tindakan memperkecil anulus inguinalis internus dan
memperkuat dinding belakang kanalis inguinalis.

DAFTAR PUSTAKA

1. Townsend, Courtney M. Hernias. Sabiston textbook of surgery. Edisi ke-17. Philadelphia:


Elsevier Saunders; 2004. hlm. 1199-217
2. Bland, Kirby I. Inguinal hernias. The Practice of General Surgery. New York. WB Saunders
Company; 2001. hlm. 795- 801.
3. American Sugery Society. Inguinal hernia: anatomy and managemen [internet]. 2012 [disitasi
tanggal 3 April 2019] tersedia dari http://www.medscape.com/viewarticle/ 420354_4

Anda mungkin juga menyukai