Tabel 4.1
C. Pembahasan
Enam artikel yang direview menggunakan terapi relaksasi Benson
yang telah dilakukan peneliti di berbagai lokasi di indonesia dan diluar
negeri.
Studi yang dilakukan oleh Habibollahpour et al (2019),
memberikan terapi relaksasi Benson kepada 75 lansia yang dibagi menjadi
38 lansia untuk intervensi dan 37 lansia untuk kontrol. Selama 6 bulan
dilakukan 2 kali dalam seminggu dengan durasi 20 menit, menunjukkan
hasil perbadaan yang signifikan anatara kualitas tidur pada lansia di
kelompok kontrol dan kualitas tidur pada lansia di kelompok intervensi.
Studi yang dilakukan oleh Marasabessy et al (2020), memberikan
terapi relaksasi Benson kepada 46 lansia yang dibagi menjadi 2 kelompok
sesuai dengan tempat huniannya selama 2 minggu dilakukan setiap malam
dengan durasi 10-20 menit, menunjukkan hasil perbedaan hasil antara
kelompok kontrol dan intervensi, dengan kata lain terjadi peningkatan
kualitas tidur lansia pada kelompok intervensi.
Studi yang dilakukan Budiarti (2020), memberikan terapi relaksasi
benson kepada 30 lansia yang dibagi menjadi 2 kelompok terdiri dari 15
lansia di kelompok intervensi dan 15 lansia di kelompok kontrol,
dilakukan setiap hari selama 1 minggu menunjukkan hasil adanya
perbedaan yang signifikan anatara kelompok intervensi dan kelompok
kontrol sehingga dapat disimpulkan ada pengaruh terapi relaksasi Benson
terhadap kualitas tidur lansia.
Studi yang dilakukan Rahman et al (2019), memberikan terapi
relaksasi benson kepada 50 lansia, dibagi menjadi 25 lansia di kelompok
kontrol dan 25 lansia di kelompok intervensi intervensi dilakukan 1 kali
dalam 1 hari selama 30 hari dengan lama waktu 20 menit, menunjukkan
hasil adanya perbedaan yang signifikan anatara kelompok kontrol dan
intervensi yang artinya relaksasi benson efektif untuk meningkatkan
kualitas tidur pada lansia.
Studi yang dilakukan Maulinda et al (2017) dengan metode Quasi
eksperimen, memberikan terapi relaksasi Benson kepada 20 lansia, namun
pada penelitian ini tidak di jelaskan berapa lama durasi dan frekuensi
pemberian terapi namun hasil analisis Mann-whitney U Test pengaruh
teknik relaksasi Benson terhadap kualitas tidur lansia di Posyandu Lansia
Permadi Kota Malang didapatkan nilai Sig = 0,000(p ≤ 0,05) yang berarti
data dinyatakan signifikan dan H1 diterima,artinya ada pengaruh teknik
relaksasi Benson terhadap kualitas tidur lansia.
Studi yang dilakukan Sijabat (2019), dengan metode Quasi
Eksperimen one group pre test- post test design, memberikan terapi
relaksasi Benson kepada 30 lansia selama 4 minggu dan dalam 1 minggu
diberikan terapi relaksasi Benson sebanyak 3 kali, hasil menunjukkan
bahwa ada pengaruh yang signifikan dalam pemeberian terapi relaksasi
Benson terahadap gangguan kualitas tidur lansia.
1. Usia
Hasil studi, subjek yang digunakan lansia dengan rentang usia
60 – 70. Satu studi menggunkan rentang usia dibawah usia 60 tahun
dan satu studi menggunkan rentang usia lebih dari 80 tahun yang
mengalami masalah tidur,
Hal ini sejalan dengan studi studi Roth (2007) yang di
publikasikan dalam Journal Clinic Sleep Medecine, ditemukan bahwa
prevalensi dari gangguan kualitas tidur menunjukkan bahwa usia
merupakan faktor risiko demografis yang paling jelas diidentifikasi,
dengan peningkatan prevalensi terhadap usia older adult (56 tahun ke
atas), Meskipun penyebab peningkatan risiko pada lansia ini tidak
dapat didefinisikan dengan baik, hal ini mungkin disebabkan oleh
penurunan sebagian fungsi sistem kontrol tidur yang dapat
menyebabkan ganguan kualitas tidur pada populasi lansia. Kemudian
ditemukan juga hal yang terpenting bahwa kondisi medis penyakit
penyerta (komorbiditas) juga merupakan kontributor yang paling
signifikan terhadap peningkatan prevalensi ganguan kualitas tidur pada
lansia.
Patofisiologi gangguan tidur pada lansia
Studi yang dilakukan oleh Habibollahpour, et al. (2019)
menunjukkan bahwa lansia berusia 67 – 68 tahun sebanyak 75 orang
mengalami gangguan kualitas tidur.
Studi yang dilakukan oleh Marasabessy, et al (2020)
menunjukkan bahwa lansia berusia 56 – 74 sebanyak 12 orang dan >75
sebanyak 15 orang mengalami gangguan kualitas tidur
Studi yang dilakukan oleh Budiarti (2020) menunjukan bahwa
lansia berusi 60 – 74 sebanyak 14 orang, 75 – 84 sebanyak 12 orang,
>84 sebanyak 4 orang mengalami gangguan kualitas tidur.
Studi yang dilakukan oleh Rahman, et al (2019) tidak
menjelaskan karakteristik rentang usia responden.
Studi yang dilakukan oleh Maulinda, et al. (2017) menunjukan
bahwa lansia berusia 60 – 64 sebanyak 4 orang, 65 – 69 sebanyak 9
orang, 70 – 74 sebanyak 7 orang mengalami gangguan kualitas tidur.
Studi yang dilakukan oleh Sijabat (2019) menunjukan bahwa
lansia berusia 60 – 75 sebanyak 30 orang mengalami ganguan kualitas
tidur.
Lima dari enam artikel yang di analisa bahwa dari total 201
orang rata – rata responden berusia 56 – 84 tahun mengalami ganguan
kualitas tidur, satu artikel dari Rahman, et al (2019) dengan 50
responden tidak menjelaskan karakteristik usia, hal ini sejalan dengan
studi Roth (2007) yang di publikasikan dalam Journal Clinic Sleep
Medecine, ditemukan bahwa prevalensi dari gangguan kualitas tidur
menunjukkan bahwa usia merupakan faktor risiko demografis yang
paling jelas diidentifikasi, dengan peningkatan prevalensi terhadap usia
older adult (56 tahun ke atas).
2. Jenis Kelamin
Menurut Madrid-Valero et all (2017) berdasarkan data
prevalensi gangguan kualitas tidur, disebutkan bahwa proporsi wanita
lebih tinggi untuk mengalami gangguan kualitas tidur (44,6%)
daripada proporsi laki-laki (30,1%), lalu menurut Roth (2007) jenis
kelamin adalah faktor risiko demografis yang paling jelas
diidentifikasi, dengan peningkatan prevalensi pada wanita yang
berhubungan dengan menstruasi dan menopause, gangguan medis pada
penyakit penyerta (komorbiditas), dan gangguan psikologis yang
menunjukan resiko signifikan terhadap gangguan kualitas tidur.
Prevalensi gangguan kualitas tidur ini sejalan dengan penelitian yang
sudah dilakukan, hal ini disebabkan karena adanya perbedaan faktor
biologis, sosiodemografis, dan juga gaya hidup (Fatima, Doi, Najman,
& Al-Mamun, 2016).
Wanita memiliki siklus perubahan hormon yang lebih sering
daripada pria. Misalnya perubahan hormon estrogen karena siklus
menstruasi yang menyebabkan wanita rentan mengalami perubahan
suasana hati dan mudah merasa stress, ataupun ketidakstabilan hormn
pasca menopause. Hormon lain seperti peningkatan adrenalin secara
tiba-tiba juga dapat membuat otak terbangun dan menyebabkan wanita
berkeringat karena temperatur tubuh yang ikut meningkat. Kenaikan
temperatur tubuh ini menyebabkan wanita mengalami tidur yang
kurang nyaman sepanjang malam dibandingkan pria. Pada pria, faktor
gaya hidup yang tidak sehat lebih berpengaruh pada kualitas tidur
dibandingkan faktor hormon (Fatima, Doi, Najman & AlMamun,
2016). Temuan ini juga sejalan dengan penelitian tentang insomnia
yang dilakukan di China (Tang et al., 2017) dan Taiwan (Tsou, 2018).
Hasil dari kedua penelitian tersebut menemukan adanya perbedaan
signifikan pada kualitas tidur. Wanita memiliki kualitas tidur yang
lebih buruk daripada pria.
Studi yang dilakukan oleh Habibollahpour, et al. (2019)
menjelaskan bahwa dari 75 responden terdapat 41 lanisa dengan jenis
kelamin perempuan dan 34 lansia dengan jenis kelamin laki-laki.
Studi yang dilakukan oleh Marasabessy, et al (2020)
menjelaskan bahwa dari 46 responden terdapat 30 lansia dengan jenis
kelamin perempuan dan 16 lansia dengan jenis kelamin laki-laki.
Studi yang dilakukan oleh Budiarti (2020) menjelaskan bahwa
dari 30 responden terdapat 20 lansia dengan jenis kelamin perempuan
dan 10 lansia dengan jenis kelamin laki-laki.
Studi yang dilakukan oleh Rahman, et al (2019) tidak
menjelaskan karakteristik jenis kelamin responden.
Studi yang dilakukan oleh Maulinda, et al. (2017) tidak
menjelaskan karakteristik jenis kelamin responden.
Studi yang dilakukan oleh Sijabat (2019) tidak menjelaskan
karakteristik jenis kelamin responden.
Berdasarkan dari enam artikel yang dianalisa hanya tiga artikel
yang memaparkan jenis kelamin dari total 251 responden disemua
artikel, dari tiga artikel tersebut terdapat 91 total lansia berjenis
kelamin perempuan dan 60 total lansia berjenis kelamin laki laki.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa penderita gangguan kualitas
tidur terbanyak dari total artikel yang dicari adalah responden dengan
jenis kelamin perempuan dengan total 91 orang lebih banyak dari laki
– laki dengan total 60 responden, Dengan sejalannya teori yang ada
dengan hasil literatur dari enam artikel sumber bahwa jumlah jenis
kelamin yang mengalami gangguan kualitas tidur lebih banyak
perempuan dari pada laki laki, dapat di simpulkan bahwa proporsi
jenis kelamin perempuan lebih tinggi untuk mengalami gangguan
kualitas tidur.