Anda di halaman 1dari 20

CASE BASE DISCUSSION

CREAPING ERUPTION

Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Salah Satu Syarat dalam
Menempuh Program Pendidikan Dokter
Bagian Ilmu Kesehatan Kulit Dan Kelamin RISA

Disusun Oleh :
Aditya Rifqi Wicaksono
012116307

Pembimbing :
dr. Hj. Pasid Harlisa, Sp.KK FINSDV

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG

SEMARANG

2019

1
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Aditya Rifqi Wicaksono

NIM : 012116307

Fakultas : Kedokteran Umum

Universitas : Universitas Islam Sultan Agung Semarang

Tingkat : Program Pendidikan Profesi Dokter

Bagian : Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Judul Laporan : Cutaneous Larva Migrans

Pembimbing : dr. Hj. Pasid Harlisa, Sp.KK FINSDV

Semarang, November 2019

Pembimbing Kepaniteraan Klinik

Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

RSI SULTAN AGUNG SEMARANG

dr. Hj. Pasid Harlisa, Sp.KK FINSDV

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Cutaneous larva migrans (CLM) merupakan suatu penyakit kelainan kulit
yang merupakan peradangan berbentuk linear atau berkelok-kelok, menimbul
dan progresif, disebabkan oleh invasi larva cacing tambang yang berasal dari
anjing dan kucing. Larva cacing beredar di bawah kulit manusia, yang ditandai
dengan adanya erupsi kulit berupa garis papula kemerahan.1
Penyakit CLM ini sudah dikenal sejak tahun 1874. Kemudian pada tahun
1929 diketahui bahwa penyakit ini terkait dengan migrasi subkutan dari larva
Ancylostoma. Sehingga kemudian penyakit ini dikenal dengan Hookworm-
related cutaneous larva migrans (HrCLM). Awalnya penyakit ini hanya
ditemukan pada daerah-daerah tropical karena kemudahan transposrtasi ke
seluruh bagian dunia, penyakit ini tidak lagi dikhususkan pada daerah-daerah
tersebut.2,3
Selama beberapa decade ini, istilah HrCLM dan creeping eruption sering
disamaartikan. Perbedaannya adalah HrCLM menggambarkan sindrom,
sedangkan creeping eruption menggambarkan gejala klinis. Creeping eruption
secara klinis diartikan sebagai lesi yang linear atau serpiginus, sedikit
menimbul, dan kemerahan yang bermigrasi dalam pola yang tidak teratur.3

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi dan Epidemiologi


Cutaneous larva migrans (CLM) merupakan kelainan kulit yang
merupakan peradangan yang berbentuk linear atau berkelok-kelok, menimbul
dan progresif, disebabkan oleh invasi cacing tambang yang berasal dari kucing
dan anjing, yaitu Ancylostoma braziliense, Ancylostoma caninum, dan
Ancylostoma ceylanicum. Selama beberapa dekade, istilah CLM dan creeping
eruption sering disamaartikan. Perbedaannya adalah, CLM menggambarkan
sindrom, sedangkan creeping eruption menggambarkan gejala klinis.
Creeping eruption secara klinis diartikan sebagai lesi yang linear atau
serpiginius, sedikit menimbul, dan kemerahan yang bermigrasi dalam pola
yang tidak teratur.1
CLM terjadi di seluruh daerah tropis dan subtropis di dunia, terutama di
daerah yang lembab dan terdapat pesisir pasir. CLM endemik di masyarakat
kurang mampu di negara berkembang, seperti Brazil, India, dan Hindia Barat.
Sebuah studi di Manaus, Brazil, menunjukkan prevalensi CLM pada anak-
anak selama musim hujan berkisar 9,4%. Di daerah perkumuhan di Timur
Laut Brazil, didapati lebih dari 4% dari keseluruhan populasi dan 15% pada
anak-anak menderita CLM.4
Di negara-negara berpenghasilan tinggi, CLM terjadi secara sporadis atau
dalam bentuk epidemi yang kecil. Kasus sporadis biasanya berhubungan
dengan kondisi iklim yang tidak umum seperti musim semi atau hujan yang
memanjang. Penyakit ini sering muncul pada daerah dimana anjing dan
kucing tidak diberikan antihelmintes secara teratur.4

2.2. Etiologi

4
Penyebab utama CLM adalah larva cacing tambang dari kucing dan anjing
(Ancylostoma braziliense, Ancylostoma ceylanicum, dan Ancylostoma
caninum) dan Strongyloides. Penyebab lain yang juga memungkinkan yaitu
larva dari serangga seperti Hypoderma dan Gasterophilus. Di Asia Timur,
CLM umumnya disebabkan oleh Gnasthostoma sp. pada babi dan kucing.
Pada beberapa kasus ditemukan Echinococcus, Dermatobia maxiales, Lucilia
caesar.6
Di epidermis, larva Ancylostoma brazilense akan bermigrasi dan
menyebabkan CLM selama beberapa minggu sebelum larva tersebut mati. Di
sisi lain, larva Ancylostoma caninum dan Ancylostoma ceylanicum dapat
melakukan penetrasi yang lebih dalam dan menimbulkan gejala klinis yang
lain seperti enteritis eosinofilik.6

2.3. Faktor Resiko


Faktor perilaku yang mempengaruhi kejadian CLM antara lain:5

 Kebiasaan tidak menggunakan alas kaki.


Adanya bagian tubuh yang berkontak langsung dengan tanah yang
terkontaminasi akan mengakibatkan larva dapat melakukan penetrasi ke
kulit sehingga menyebabkan CLM.
 Pengobatan teratur terhadap anjing dan kucing.
Penyebab utama CLM adalah larva cacing tambang yang berasal dari
anjing dan kucing. Perawatan rutin anjing dan kucing, termasuk de-
worming secara teratur dapat mengurangi pencemaran lingkungan oleh
telur dan larva cacing tambang.
 Berlibur ke daerah tropis atau pesisir pantai.
Kondisi biogeografis yang hangat dan lembab menyebabkan banyak
terdapat larva penyebab penyakit ini di daerah tropis. Selain itu, kebiasaan
wisatawan untuk berjalan di pesisir pantai tanpa menggunakan sandal dan
berjemur di pasir tanpa menggunakan alas menyebabkan banyaknya
laporan kejadian CLM dari wisatawan yang baru berlibur ke pantai.
Sebuah penelitian pada wisatawan international yang baru meninggalkan
Brazil bagian Timur Laut di bandara menunjukkan bahwa semua

5
wisatawan yang menderita CLM telah mengunjungi pantai selama
liburannya.

Adapun faktor lingkungan yang mempengaruhi kejadian CLM antara lain:5

 Keberadaan anjing dan kucing.


Anjing dan kucing merupakan hospes definitif dari cacing Ancylostoma
braziliense, Ancylostoma ceylanicum, dan Ancylostoma caninum. Tinja
anjing dan kucing yang terinfeksi dapat mengandung telur cacing
Ancylostoma braziliense, Ancylostoma ceylanicum dan Ancylostoma
caninum. Telur tersebut dapat berkembang menjadi stadium larva yang
infektif (filariform) pada tanah dan pasir yang terkontaminasi. Larva
filariform dari cacing tersebut apabila kontak dengan kulit manusia, dapat
menembus kulit dan menyebabkan CLM.
 Cuaca atau iklim lingkungan
Ada variasi musiman yang berbeda pada kejadian CLM, dengan puncak
kejadian selama musim hujan. Telur dan larva bertahan lebih lama di tanah
yang basah dibandingkan di tanah yang kering dan dapat tersebar secara
luas oleh hujan yang deras. Selain itu, iklim yang lembab juga
mengakibatkan peningkatan infeksi cacing tambang di anjing dan kucing
sehingga pada akhirnya meningkatkan jumlah tinja yang terkontaminasi
dan risiko infeksi pada manusia.
 Tinggal di daerah dengan keadaan pasir atau tanah yang lembab
Telur Ancylostoma braziliense, Ancylostoma ceylanicum, dan
Ancylostoma caninum dikeluarkan bersama tinja anjing dan kucing. Pada
keadaan lingkungan yang lembab dan hangat, telur akan menetas menjadi
larva rabditiform dan kemudian menjadi larva filariform yang infektif.
Larva filariform inilah yang akan melakukan penetrasi ke kulit dan
menyebabkan CLM.

Adapun faktor demografis yang mempengaruhi kejadian CLM antara lain:5

 Usia CLM paling sering terkena pada anak berusia ≤4 tahun. Hal ini
disebabkan karena anak pada usia tersebut masih jarang menggunakan alas

6
kaki saat keluar rumah. Pada penelitian tersebut juga didapatkan bahwa
usia merupakan faktor demografis yang hubungannya paling signifikan
dengan kejadian CLM (p<0.0001).
 Pekerjaan
Larva infektif penyebab CLM terdapat pada tanah atau pasir yang lembab.
Orang yang pekerjaannya sering kontak dengan tanah atau pasir tersebut
dapat meningkatkan risiko terinfeksi larva CLM. Pekerjaan yang memiliki
risiko teinfeksi larva penyebab CLM diantaranya petani, nelayan, tukang
kebun, pemburu, penambang pasir dan pekerjaan lain yang sering kontak
dengan tanah atau pasir.
 Tingkat pendidikan
Suatu penelitian tentang prevalensi dan faktor risiko CLM di Brazil
menunjukkan, dari 1114 penduduk pedesaan, didapati 23 dari 354 (6,5%)
penduduk dengan tingkat pendidikan rendah menderita CLM, sedangkan
pada penduduk dengan tingkat pendidikan tinggi, didapati 34 dari 760
(4,5%) orang menderita CLM.5

2.4. Siklus Hidup


Telur keluar bersama tinja pada kondisi yang menguntungkan (lembab,
hangat, dan tempat yang teduh). Setelah itu, larva menetas dalam 1-2 hari.
Larva rabditiform tumbuh di tinja dan/atau tanah, dan menjadi larva filariform
(larva stadium tiga) yang infektif setelah 5 sampai 10 hari. Larva infektif ini
dapat bertahan selama 3 sampai 4 minggu di kondisi lingkungan yang sesuai.
Pada kontak dengan pejamu hewan (anjing dan kucing), larva menembus kulit
dan dibawa melalui pembuluh darah menuju jantung dan paru-paru. Larva
kemudian menembus alveoli, naik ke bronkiolus menuju ke faring dan
tertelan. Larva mencapai usus kecil, kemudian tinggal dan tumbuh menjadi
dewasa. Cacing dewasa hidup dalam lumen usus kecil dan menempel di
dinding usus. Beberapa larva ditemukan di jaringan dan menjadi sumber
infeksi bagi anak anjing melalui transmammary atau transplasenta. Manusia
juga dapat terinfeksi dengan cara larva filariform menembus kulit. Pada
sebagian besar spesies, larva tidak dapat berkembang lebih lanjut di tubuh

7
manusia dan bermigrasi tanpa tujuan di epidermis. Beberapa larva dapat
bertahan pada jaringan yang lebih dalam setelah bermigrasi di kulit.7

Gambar 2. Siklus hidup7

2.5. Pathogenesis
Telur pada tinja menetas di permukaan tanah dalam waktu 1 hari dan
berkembang menjadi larva infektif tahap ketiga setelah sekitar 1 minggu.
Larva dapat bertahan hidup selama beberapa bulan jika tidak terkena matahari
langsung dan berada dalam lingkungan yang hangat dan lembab. Kemudian
jika terjadi kenaikan suhu, maka larva akan mencari pejamunya. Setelah
menempel pada manusia, larva merayap di sekitar kulit untuk tempat penetrasi
yang sesuai. Akhirnya, larva menembus ke lapisan korneum epidermis. Larva
infektif mengeluarkan protease dan hialuronidase agar dapat bermigrasi di
kulilt manusia. Selanjutnya, larva bermigrasi melalui jaringan subkutan
membentuk terowongan yang menjalar dari satu tempat ke tempat lainnya.8
Pada hewan, larva mampu menembus dermis dan melengkapi siklus
hidupnya dengan berkembang biak di organ dalam. Pada manusia, larva tidak
memiliki enzim kolagenase yang cukup untuk menembus membran basal dan
menyerang dermis, sehingga larva tersebut tidak dapat melanjutkan
perkembangan siklus hidupnya. Akibatnya, selamanya larva terjebak di
jaringan kulit penderita hingga masa hidup dari cacing ini berakhir.8

8
2.6. Gejala Klinis
Pada saat larva masuk ke kulit biasanya disertai rasa gatal dan panas di
tempat larva melakukan penetrasi. Rasa gatal yang timbul terutama terasa
pada malam hari, jika digaruk dapat menimbulkan infeksi sekunder. Mula-
mula akan timbul papul, kemudian diikuti bentuk yang khas, yakni lesi
berbentuk linear atau berkelok-kelok, menimbul dengan diameter 2-3 mm, dan
berwarna kemerahan. Adanya lesi papul yang eritematosa ini menunjukkan
bahwa larva tersebut telah berada di kulit selama beberapa jam atau hari.
Perkembangan selanjutnya, papul merah ini menjalar seperti benang berkelok-
kelok, polisiklik, serpiginosa, menimbul, dan membentuk terowongan
(burrow), mencapai panjang beberapa sentimeter. Pada stadium yang lebih
lanjut, lesi-lesi ini akan lebih sulit untuk diidentifikasi, hanya ditandai dengan
rasa gatal dan nodul-nodul.1,7
Lesi tidak hanya berada di tempat penetrasi. Hal ini disebabkan larva dapat
bergerak secara bebas sepanjang waktu. Umumnya, lesi berpindah ataupun
bertambah beberapa milimeter perhari dengan lebar sekitar 3 milimeter. Pada
CLM, dapat dijumpai lesi tunggal atau lesi multipel, tergantung pada tingkat
keparahan infeksi. Pada infeksi percobaan dengan 50 larva, didapati gejala
mulai muncul beberapa menit setelah tusukan, diikuti dengan munculnya
papul-papul setelah 10 menit. Beberapa jam kemudian, bercak awal mulai
digantikan oleh papul kemerahan. Papul-papul kemudian bergabung
membentuk erupsi eritematopapular, yang kemudian akan menjadi vesikel
yang sangat gatal setelah 24 jam. Lesi berbentuk linear atau berkelok-kelok
mulai muncul 5 hari setelah infeksi. CLM biasanya ditemukan pada bagian
tubuh yang berkontak langsung dengan tanah atau pasir. Tempat predileksi
antara lain di tungkai, plantar, tangan, anus, bokong, dan paha. Pada kondisi
sistemik, gejala yang muncul antara lain eosinofilia perifer (sindroma
Loeffler), infiltrat pulmonar migratori, dan peningkatan kadar imunoglobulin
E, namun kondisi ini jarang ditemui.1,7

9
Gambar 3. Gambaran klinis CLM (creeping eruption)7

2.7. Diagnosis
Diagnosis CLM ditegakkan berdasarkan gejala klinisnya yang khas dan
disertai dengan riwayat berjemur, berjalan tanpa alas kaki di pantai atau
aktivitas lainnya di daerah tropis, biopsi tidak diperlukan. Prosedur invasif
jarang digunakan untuk mengindentifikasi parasit pada CLM. Hal ini
disebabkan karena ujung anterior lesi tidak selalu menunjukkan tempat
dimana larva berada. Pada pemeriksaan lab, eosinofilia mungkin ditemukan,
namun tidak spesifik. Dalam sebuah penelitian di Jerman pada wisatawan
dengan CLM, hanya pada 8 (20%) dari 40 orang didapatkan eosinofilia.
Namun, peningkatan kadar eosinofil dapat mengindikasikan perpindahan larva
cacing ke visceral, tetapi ini termasuk komplikasi yang jarang terjadi.8
CLM yang disebabkan oleh Ancylostoma caninum dapat dideteksi dengan
ELISA (Enzyme-linked immunosorbent assay). Sekarang ini, mikroskop
epiluminesens telah digunakan untuk memvisualisasikan pergerakan larva,
namun sensitivitas metode ini belum diketahui.8

2.8. Diagnosis Banding


Jika ditinjau dari terowongan yang ada, CLM harus dibedakan dengan
skabies. Pada skabies, terowongan yang terbentuk tidak sepanjang pada CLM.
Namun, apabila dilihat dari bentuknya yang polisiklik, penyakit ini sering
disalahartikan sebagai dermatofitosis. Pada stadium awal, lesi pada CLM
berupa papul, karena itu sering diduga dengan insects bite. Bila invasi larva
yang multipel timbul serentak, lesi berupa papul-papul sering menyerupai
herpes zoster stadium awal.8,9
Diagnosis banding yang lain antara lain dermatitis kontak alergi,
dermatitis fotoalergi, loiasis, myasis, schistosomiasis, tinea korporis, dan
ganglion kista serpiginius. Kondisi lain yang bukan berasal dari parasit yang
menyerupai CLM adalah tumbuhnya rambut secara horizontal di kulit.8,9

10
2.9. Terapi
Obat pilihan utama pada CLM adalah ivermectin. Dosis tunggal (200
µg/kg berat badan) dapat membunuh larva secara efektif dan menghilangkan
rasa gatal dengan cepat. Angka kesembuhan dengan dosis tunggal berkisar
77% sampai 100%. Dalam hal kegagalan pengobatan, dosis kedua biasanya
dapat memberikan kesembuhan. Ivermectin kontradiksi pada anak-anak
dengan berat kurang dari 15 kg atau berumur kurang dari 5 tahun dan pada ibu
hamil atau wanita menyusui. Namun, pengobatan offlabel pada anak-anak dan
ibu hamil sudah pernah dilakukan dengan tanpa adanya laporan kejadian
merugikan yang signifikan.10
Dosis tunggal ivermectin lebih efektif dari pada dosis tunggal albendazol,
tetapi pengobatan berulang dengan albendazol dapat dilakukan sebagai
alternatif yang baik di negara-negara dimana ivermectin tidak tersedia. Oral
albendazol (400 mg setiap hari) yang diberikan selama 5-7 hari menunjukkan
tingkat kesembuhan yang sangat baik, dengan angka kesembuhan mencapai
92-100%. Karena dosis tunggal albendazol memiliki efikasi yang rendah,
albendazol dengan regimen tiga hari biasanya lebih direkomendasikan. Jika
diperlukan, dapat dilakukan pendekatan alternatif dengan dosis awal
albendazol dan mengulangi pengobatan.10
Tiabendazol (50 mg per kg berat badan selama 2-4 hari) telah digunakan
secara luas sejak laporan mengenai efikasinya pada tahun 1963. Namun,
tiabendazol yang diberikan secara oral memiliki toleransi yang buruk. Selain
itu, penggunaan tiabendazol secara oral sering menimbul efek samping berupa
pusing, mual muntah, dan keram usus. Karena penggunaan ivermectin dan
albendazol secara oral menunjukkan hasil yang baik, penggunaan tiabendazol
secara oral tidak direkomendasikan.10
Penggunaan tiabendazol secara topikal pada lesi dengan konsentrasi 10-
15% tiga kali sehari selama 5-7 hari terbukti memiliki efektivitas yang sama
dengan pengguaan ivermectin secara oral. Penggunaan secara topikal didapati
tidak memiliki efek samping, tetapi memerlukan kepatuhan pasien yang baik.
Tiabendazol topikal terbatas pada lesi multipel yang luas dan tidak dapat

11
digunakan pada folikulitis. Ivermectin dan albendazol adalah gabungan yang
menjanjikan untuk penggunaan topikal, terutama untuk anak-anak, namun
data efikasi untuk penggunaan ini masih terbatas. Infeksi sekunder harus
ditangani dengan antiobiotik topical.10
Cara terapi lain ialah dengan cryotherapy yakni menggunakan CO2 snow
(dry ice) dengan penekanan selama 45 detik sampai 1 menit, dua hari
berturutturut. Selain itu, dapat juga dilakukan dengan menggunakan nitrogen
liquid dan penyemprotan kloretil sepanjang lesi. Akan tetapi, ketiga cara
tersebut sulit karena sulit untuk mengetahui secara pasti dimana larva berada.
Di samping itu, cara ini dapat menimbulkan nyeri dan ulkus. Pengobatan
dengan cara ini sudah lama ditinggalkan.10

2.10. Pencegahan
Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah kejadian CLM antara
lain:

- Mencegah bagian tubuh untuk berkontak langsung dengan tanah atau


pasir yang terkontaminasi.
- Saat menjemur pastikan handuk atau pakaian tidak menyentuh tanah.
- Melakukan pengobatan secara teratur terhadap anjing dan kucing dengan
antihelmintik.
- Hewan dilarang untuk berada di wilayah pantai ataupun taman bermain.
- Menutup lubang-lubang pasir dengan plastik dan mencegah binatang
untuk defekasi di lubang tersebut.
- Wisatawan disarankan untuk menggunakan alas kaki saat berjalan di
pantai dan menggunakan kursi saat berjemur.
Akan tetapi, pada masyarakat yang kurang mampu, keterbatasan finansial
mengakibatkan sulitnya masyarakat untuk memberikan pengobatan yang teratur
terhadap anjing dan kucing. Sehingga pada akhirnya, pemberantasan cacing
tambang pada binatang hanya bisa dilakukan dengan cara melakukan
pengontrolan yang terintegrasi antara pihak kesehatan masyarakat, antropologis
medis, dokter hewan, dan masyarakat.10

12
2.11. Prognosis
CLM termasuk ke dalam golongan penyakit self-limiting. Pada akhirnya,
larva akan mati di epidermis setelah beberapa minggu atau bulan. Hal ini
disebabkan karena larva tidak dapat menyelesaikan siklus hidupnya pada
manusia. Lesi tanpa komplikasi yang tidak diobati akan sembuh dalam 4-8
minggu, tetapi pengobatan farmakologi dapat memperpendek perjalanan
penyakit.10

BAB III

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

13
a. Nama : Tn. C
b. Umur : 44 tahun
c. Jenis kelamin : Laki – laki
d. Agama : Islam
e. Suku : Jawa
f. Alamat : Semarang
g. No. RM : 010698xx
h. Ruang : Poli Kulit dan Kelamin
i. Status Pasien : Umum

B. ANAMNESIS

Autoanamnesa dilakukan di Poli Kulit dan Kelamin RSI Sultan Agung

Semarang pada tanggal 02 november 2019 pukul 11.15 hingga 11.30 WIB.

Keluhan Utama

 Keluhan Subjektif : Gatal dan terasa panas

 Keluhan Objektif : Plenting berair

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien laki – laki usia 45 tahun datang ke poli kulit dan kelamin RSI
Sultan Agung Semarang pada hari Sabtu, 02 November 2019 pada pukul
11.00 WIB dengan keluhan gatal dan panas pada dada sebelah kanan. Pasien
mengatakan rasa gatal dan panas sejak ± 3 hari yang lalu, keluhan tersebut
dirasakan terus menerus walaupun dibuat istirahat. Awalnya keluhan muncul
hanya benjolan kecil berwarna merah, setelah beberapa hari muncul ganbaran
seperti benang didada sebelah kanan dengan disertai rasa gatal dan panas.
Sebelum keluhan muncul, pasien membersihkan rumah lamanya dan kebun
tanpa menggunakan kaos atau kemeja. Sebelumnya pasien sudah minum obat
dan memberi salep pada daerah keluhan yang didapat dari apotik namun tak
kunjung sembuh.
Riwayat Penyakit Dahulu

14
 Sebelumnya pernah sakit serupa (-)
 Riwayat alergi (-)
 Riwayat asma (-)
 Riwayat DM dan hipertensi (-)

Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat penyakit serupa (-)
 Riwayat alergi (-)
 Riwayat asma (-)

Riwayat Alergi obat / makanan


 Tidak ada
Riwayat Sosial Ekonomi
 Pasien umum
 Kesan ekonomi pasien baik
C. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : Tampak sakit ringan

Kesadaran : Komposmentis, GCS 15

Tekanan darah : 130/80 mmHg

Nadi : 96 x/menit

Suhu : 36,2 ºC

RR : 20x/menit

BB : 58 kg

TB : 158 cm

IMT : 23,23

Status Generalis

Kepala : Tidak dilakukan pemeriksaan

15
Mata : Tidak dilakukan pemeriksaan

Telinga : Tidak dilakukan pemeriksaan

Hidung : Tidak dilakukan pemeriksaan

Leher : Tidak dilakukan pemeriksaan

Thorax : Tidak dilakukan pemeriksaan

Abdomen : Tidak dilakukan pemeriksaan

Genital : Tidak dilakukan pemeriksaan

Status Dermatologi

Inspeksi :

- Lokasi : Dada sebelah kanan

- UKK : Tampak papul eritema dengan lesi berkelok –


kelok seperti membentuk terowongan

- Distribusi : Unilateral (terlokalisir di dada kanan)

- Konfigurasi : Khas

b. Palpasi : Nyeri (-).

c. Auskultasi : Tidak dilakukan

16
D. DIAGNOSIS BANDING
 Creaping Eruption

 Skabies

 Insect bite

E. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG


17
F. DIAGNOSIS KERJA
Creaping Eruption

G. TATALAKSANA
Farmakologi
R/ Albendazole 500 mg No : I
Cream Lotasbat oins 10 gr No : I
S u.e 2dd
R/ Rupatadine tab 10 mg N0 : V
S.1.d.d tab 1

H. PROGNOSIS
- Quo ad vitam : Ad Bonam
- Quo ad sanationam : Ad Bonam
- Quo ad kosmetikan : Ad Bonam
-
I. EDUKASI
Aspek klinis

 Edukasi tentang penyakit pasien

 Edukasi agar minum obat teratur

 Jaga kebersihan diri, selalu menggunakan alat pelindung diri terutama

saat bekerja, cuci tangan sesudah bekerja dan sesudah aktivitas diluar

 Mencegah bagian tubuh untuk berkontak langsung dengan tanah/pasir

yang terkontaminasi..

Aspek agama

 Menjaga kebersihan karena kebersihan adalah sebagian dari iman.

 Selalu bersabar dan bertawakal kepada Allah SWT karena segala

penyakit ada obatnya.

18
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien laki – laki usia 45 tahun datang ke poli kulit dan kelamin RSI
Sultan Agung Semarang pada hari Sabtu, 02 November 2019 pada pukul
11.00 WIB dengan keluhan gatal dan panas pada dada sebelah kanan. Pasien
mengatakan rasa gatal dan panas sejak ± 3 hari yang lalu, dirasakan terus
menerus terutama ketika malam hari dan berkeringat. Setelah beberapa hari
tinbul bentil kecil berwarna merah dan semakin hari membentuk seperti
benang yang berkelok – kelok. Sebelumnya pasien sudah membeli obat di
apotik berupa salep namun tak kunjung hilang.Dari gejala yang dialami oleh
pasien diagnosis mengarah pada creeping eruption yang secara definisi
merupakan peradangan berbentuk linier atau berkelok – kelok, menimbul dan
progresif yang disebabkan oleh invasi larva cacing tambang.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan gambaran papul eritem dengan lesi
linier atau berkelok – kelok membentuk terowongan. Pasien sebelumnya
sudah membeli obat di apotek yaitu obat minum dan salep namun tidak
kunjung sembuh. Sebelumnya belum pernah mengalami keluhan seperti ini
dan di anggota keluarga tidak pernah mengalami keluhan yang sama.
Diagnosis banding pasien meliputi skabies dan insect bite. Berdasarkan
pada rasa gatal dan panas yang dirasakan,semakin meningkat pada waktu
malam hari dan melakukan aktivitas berat.

Pada pasien ini diberikan terapi topikal sistemik yaitu :


- Albendazole 500 mg. : Sebagai antihelmintik

- Lotasbat oins 10 gr : Sebagai kortikosteroid topikal

- Rupatadine tab 10 mg : Sebagai antihistamin

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Aisah S. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-7. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI;2015.
2. Leventhal R, Russel FC. Medical parasitology;a self instructional text. Edisi
ke-6. Philadelphia: FA Davis Company;2010.
3. Bava J, Gonzales LG, Seley CM, Lopes GM, Troncoso A. A case report of
cutaneous larva migrans. Asian pacific journal of tropical biomed.
2011;1(1);81-2.
4. Eckert J. Larva migrans externa or cutaneour larva migrans. Dalam: Bienz
KA, editor. Medical microbiology. New York: Thieme Medical
Publisher;2005.
5. Palgunadi BU. Cutaneous larva migrans. Jurnal Ilmiah Kedokteran. 2010;
2(1):31-3.
6. Centers for Disease Control and Prevention. Parasite-zoonotic hookworm.
USA: Centers for disease control and prevention; 2012.
7. Hochedez P, Caumes E. Hookworm related cutaneous larva migrans. J
Travel Med. 2007: 14(1):326-33.
8. Heukelback J, Feldemeier H. Epidemiological and clinical characteristics of
hookworm related cutaneous larva migrans. Lancet Infect Dis. 2008:
8(2);302-9.
9. Heukelbach J, Jackson A, Ariza L, Feldeimer H. prevalence and risk factors
of hookworm-related cutaneous larva migrans in a rural community in
brazil. Annual tropical medicine parasitology. 2008; 31:493-8.
10. Dourmishev AL, Schwartz RA. Invermectin: pharmacology and application
in dermatology. Int J Dermatol. 2005; 44:981-8.

20

Anda mungkin juga menyukai