Anda di halaman 1dari 3

RANGKUMAN KULIAH UMUM

PERAN AUDITOR HALAL DALAM IMPLEMENTASI UU JPH

Auditor halal adalah orang yang memiliki kemampuan melakukan pemeriksaan kehalalan
produk. Dalam UU JPH (Undang-Undang No.33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal),
tugas seorang auditor halal dalam JPH antara lain memeriksa dan mengkaji bahan yang
digunakan; memeriksa dan mengkaji proses pengolahan produk; memeriksa dan mengkaji sistem
penyembelihan; meneliti lokasi produk; meneliti peralatan, ruang produksi dan penyimpanan;
memeriksa pendistribusian dan penyajian produk; memeriksa sistem jaminan halal pelaku usaha;
dan melaporkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kepada LPH.

Begitu krusialnya peran seorang auditor halal maka terdapat sejumlah persyaratan wajib
dipenuhi oleh seseorang yang ingin diangkat menjadi seorang auditor halal. Berdasarkan
regulasi, seorang auditor halal yang dapat diangkat oleh sebuah LPH (Lembaga Pemeriksa Halal)
harus memenuhi sejumlah persyaratan. "Auditor halal harus warga negara Indonesia, beragama
Islam, berpendidikan paling rendah sarjana strata 1 (satu) di bidang pangan, kimia, biokimia,
teknik industri, biologi, atau farmasi, memahami dan memiliki wawasan luas mengenai
kehalalan produk menurut syariat Islam, mendahulukan kepentingan umat di atas kepentingan
pribadi dan/atau golongan; dan memperoleh sertifikat dari MUI. Auditor halal adalah ujung
tombak dalam sertifikasi halal, karena hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh seorang auditor
halal akan menjadi dasar sidang fatwa MUI dan kemudian dilanjutkan dengan dikeluarkannya
sertifikat halal oleh BPJPH.

Auditor halal sangat penting peranannya dalam proses sertifikasi halal dimana auditor
berfungsi untuk melakukan audit terhadap bahan dan fasilitas industri, dan memberikan
informasi dan masukan kepada Komisi Fatwa MUI dalam bentuk laporan audit sebagai bahan
bagi Komisi Fatwa MUI untuk memfatwakan kehalalan suatu bahan/produk. Auditor halal tidak
boleh salah dalam memberikan laporan. Kesalahan dalam memberikan masukan atau informasi
kepada Komisi Fatwa MUI akan menyebabkan kesalahan bagi MUI dalam memfatwakan
kehalalan suatu bahan atau produk. Keyakinan (haqqul yaqin) akan halalnya suatu produk
berdasarkan audit halal berasal dari hasil penelaahan data dan dokumen pendukung (‘ilmul
yaqin) serta pengamatan langsung fakta di lapangan dalam bentuk observasi dan wawancara
langsung di lokasi (‘ainul yaqin). Data dan fakta itulah yang ditulis dalam laporan audit dan
dipresentasikan dalam forum rapat auditor untuk recheck and cross check oleh auditor lain
sebelum dipresentasikan di hadapan Komisi Fatwa MUI. Semua step yang menuntut kompetensi
tersebut harus mampu dilaksanakan dengan baik, amanah dan secara bertanggung jawab oleh
semua dan setiap auditor halal.

Pemerintah telah menetapkan kompetensi yang harus dimiliki oleh auditor halal, yang
tertuang dalam SKKNI Nomor 266 Tahun 2019 tentang Jabatan Kerja Auditor Halal. Pada
dasarnya seorang auditor harus kompeten dalam melakukan persiapan, melakukan pra
pemeriksaan, melaksanakan pemeriksaan, dan melaporkan hasil pemeriksaan bahan dan proses
produk halal. Selain berintegritas, secara umum, kompetensi yang harus dipenuhi adalah
pengetahuan tentang syariat Islam yang berkaitan dengan kehalalan produk, Peraturan
Perundangan tentang Jaminan Produk halal, dan secara khusus adalah pengetahuan bahan dan
teknologi proses pada industri.
Saya ingin bertanya mengenai produk pangan luar negeri yang sudah mendapatkan sertifikasi
halal dari lembaga sertifikasi halal luar negeri, tetapi ketika olahan pangan dari luar negeri
tersebut ingin masuk ke Indonesia dan ingin menggunakan label atau logo halal MUI maka harus
mengajukan sertifikasi halal ke Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).
Sebenarnya apa faktor utama yang mempengaruhi hal tersebut? Dan apakah produk tersebut
masih bisa kita konsumsi jika belum ada sertifikasi halal dari BPJH walaupun sudah
tersertifikasi halal di luar negeri

Anda mungkin juga menyukai