OLEH :
KELOMPOK 3
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan
karena menyadari segala keterbatasan yang ada. Untuk itu demi sempurnanya makalah ini,
penulis sangat membutuhkan dukungan dan sumbangan pikiran yang berupa kritik dan saran
yang bersifat membangun.
Pada kesempatan ini pula, penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada :
selaku dosen pengampun matakulia sistem informasi kesehatan dan kepada rekan, sahabat,
saudara dan berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, penulis ucapakan
banyak terimakasih atas setiap bantuan dan doa yang diberikan. Semoga TUHAN berkenan
membalas kebaikan kalian.
Akhir kata semoga makalah ini memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan.Kiranya makalah ini dapat memberikan manfaat dan masukan bagi pembaca.
Terima Kasih.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kelenjar prostat merupakan organ tubuh pada laki-laki yang berbentuk seperti kacang
kenari, kelenjar prostat terletak di dasar kandung kemih dan mengelilingi uretra posterior,
salah satu gangguan pada prostat adalah terjadinya pembesaran yang lazimnya terjadi
pada pria di atas 50 tahun. Pembesaran kelenjar prostat dapat mengganggu mekanisme
normal buang air kecil ( Iskandar, 2009).
Salah satu tindakan dilakukan dalam penanganan BPH adalah dengan melakukan
pembedahan terbuka atau bisa disebut open prostatectomi, tindakan dilakukan dengan
cara melakukan sayatan pada perut bagian bawah sampai simpai prostat tanpa membuka
kandung kemih kemudian dilakukan pengangkatan prostat yang mengalami pembesaran
(Samsuhidajat, 2010).
Di Indonesia BPH menjadi penyakit urutan ke dua setelah penyakit batu saluran
kemih, dan secara umum diperkirakan hampir 50% pria Indonesia menderita BPH, jika
dilihat dari 200 juta lebih rakyat Indonesia maka dapat di perkirakan sekitar 2,5 juta pria
yang berumur lebih dari 60 tahun menderita BPH ( Purnomo, 2008).
1.2 Tujuan.
Kelenjar prostat merupakan suatu kelenjar yang terdiri dari 3050 kelenjar yang
terbagi atas empat lobus, lobus posterior, lobus lateral, lobus anterior, dan lobus
medial. Lobus posterior yang terletak di belakang uretra dan dibawah duktus
ejakulatorius, lobus lateral yang terletak dikanan uretra, lobus anterior atau isthmus
yang terletak di depan uretra dan menghubungkan lobus dekstra dan lobus sinistra,
bagian ini tidak mengandung kelenjar dan hanya berisi otot polos, selanjutnya lobus
medial yang terletak diantara uretra dan duktus ejakulatorius, banyak mengandung
kelenjar dan merupakan bagian yang menyebabkan terbentuknya uvula vesicae yang
menonjol kedalam vesica urinaria bila lobus medial ini membesar. Sebagai akibatnya
dapat terjadi bendungan aliran urin pada waktu berkemih (Wibowo dan Paryana,
2009).
Kelenjar ini pada laki-laki dewasa kurang lebih sebesar buah walnut atau buah
kenari besar. Ukuran, panjangnya sekitar 4 - 6 cm, lebar 3 - 4 cm, dan tebalnya kurang
lebih 2 - 3 cm dengan berat sekitar 20 gram. Bagian- bagian prostat terdiri dari 50 –
70 % jaringan kelenjar, 30 – 50 % adalah jaringan stroma (penyangga) dan
kapsul/muskuler. Bagian prostat terlihat di gambar 2.2.
(
Prostat merupakan inervasi otonomik simpatik dan parasimpatik dari pleksus
prostatikus atau pleksus pelvikus yang menerima masukan serabut parasimpatik dari
korda spinalis dan simpatik dari nervus hipogastrikus. Rangsangan parasimpatik
meningkatkan sekresi kelenjar pada epitel prostat, sedangkan rangsangan simpatik
menyebabkan pengeluaran cairan prostat kedalam uretra posterior, seperti pada saat
ejakulasi. System simpatik memberikan inervasi pada otot polos prostat, kapsula
prostat, dan leher buli-buli. Ditempat itu terdapat banyak reseptor adrenergic.
Rangsangan simpatik menyebabkan dipertahankan tonus otot tersebut. Pada usia
lanjut sebagian pria akan mengalami pembesaran kelenjar prostat akibat hiperplasi
jinak sehingga dapat menyumbat uretra posterior dan mengakibatkan terjadinya
obstruksi saluran kemih (Purnomo, 2011).
b) Fisiologi
Menurut Purnomo (2011) fisiologi prostat adalah suatu alat tubuh yang
tergantung kepada pengaruh endokrin. Pengetahuan mengenai sifat endokrin ini masih
belum pasti. Bagian yang peka terhadap estrogen adalah bagian tengah, sedangkan
bagian tepi peka terhadap androgen. Oleh karena itu pada orang tua bagian tengahlah
yang mengalami hiperplasi karena sekresi androgen berkurang sehingga kadar
estrogen relatif bertambah. Sel-sel kelenjar prostat dapat membentuk enzim asam
fosfatase yang paling aktif bekerja pada pH 5.
Kelenjar prostat mensekresi sedikit cairan yang berwarna putih susu dan
bersifat alkalis. Cairan ini mengandung asam sitrat, asam fosfatase, kalsium dan
koagulase serta fibrinolisis. Selama pengeluaran cairan prostat, kapsul kelenjar prostat
akan berkontraksi bersamaan dengan kontraksi vas deferen dan cairan prostat keluar
bercampur dengan semen yang lainnya. Cairan prostat merupakan 70% volume cairan
ejakulat dan berfungsi memberikan makanan spermatozon dan menjaga agar
spermatozon tidak cepat mati di dalam tubuh wanita, dimana sekret vagina sangat
asam (pH: 3,5-4). Cairan ini dialirkan melalui duktus skretorius dan bermuara di
uretra posterior untuk kemudian dikeluarkan bersama cairan semen yang lain pada
saat ejakulasi. Volume cairan prostat kurang lebih 25% dari seluruh volume ejakulat.
Dengan demikian sperma dapat hidup lebih lama dan dapat melanjutkan perjalanan
menuju tuba uterina dan melakukan pembuahan, sperma tidak dapat bergerak optimal
sampai pH cairan sekitarnya meningkat 6 sampai 6,5 akibatnya mungkin bahwa
cairan prostat menetralkan keasaman cairan dan lain tersebut setelah ejakulasi dan
sangat meningkatkan pergerakan dan fertilitas sperma ( Wibowo dan Paryana, 2009 ).
2.3 Etiologi
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti etiologi/penyebab terjadinya
BPH, namun beberapa hipotesisi menyebutkan bahwa BPH erat kaitanya dengan
peningkatan kadardehidrotestosteron (DHT) dan proses menua. Terdapat perubahan
mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia 30-40 tahun. Bila perubahan
mikroskopik ini berkembang, akan terjadi perubahan patologik anatomi yang ada pada
pria usia 50 tahun, dan angka kejadiannya sekitar 50%, untuk usia 80 tahun angka
kejadianya sekitar 80%, dan usia 90 tahun sekiatr 100% (Purnomo, 2011)
Etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesa yang diduga
menjadi penyebab timbulnya Benigna Prosat, teori penyebab BPH menurut Purnomo
(2011) meliputi, Teori Dehidrotestosteron ( DHT), teori hormon (ketidakseimbangan
antara estrogen dan testosteron), faktor interaksi stroma dan epitel-epitel, teori
berkurangnya kematian sel (apoptosis), teori sel stem.
a. Teori Dehidrotestosteron ( DHT )
Dehidrotestosteron/ DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting pada
pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Aksis hipofisis testis dan reduksi
testosteron menjadi dehidrotestosteron ( DHT ) dalam sel prostad merupakan
factor terjadinya penetrasi DHT kedalam inti sel yang dapat menyebabkan
inskripsi pada RNA, sehingga dapat menyebabkan terjadinya sintesis protein
yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat. Pada berbagai penelitian
dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh berbeda dengan kadarnya
pada prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas enzim 5alfa –reduktase
dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan
sel-sel prostat pada BPH lebih sensitive terhadap DHT sehingga replikasi sel
lebih banyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal.
2.4 Patofisiologi
Hiperplasi prostat adalah pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk
dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi
yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa. Jaringan
hiperplastik terutama terdiri dari kelenjar dengan stroma fibrosa dan otot polos yang
jumlahnya berbeda-beda. Proses pembesaran prostad terjadi secara perlahan-lahan
sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap
awal setelah terjadi pembesaran prostad, resistensi pada leher buli-buli dan daerah
prostad meningkat, serta otot destrusor menebal dan merenggang sehingga timbul
sakulasi atau divertikel. Fase penebalan destrusor disebut fase kompensasi, keadaan
berlanjut, maka destrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan
tidak mampu lagi untuk berkontraksi/terjadi dekompensasi sehingga terjadi retensi urin.
Pasien tidak bisa mengosongkan vesika urinaria dengan sempurna, maka akan terjadi
statis urin. Urin yang statis akan menjadi alkalin dan media yang baik untuk
pertumbuhan bakteri ( Baradero, dkk 2007).
Tekanan vesika yang lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan obstruksi, akan
terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluk vesiko ureter,
hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila
terjadi infeksi. Pada waktu miksi penderita harus mengejan sehingga lama kelamaan
menyebabkan hernia atau hemoroid. Karena selalu terdapat sisa urin, dapat
menyebabkan terbentuknya batu endapan didalam kandung kemih. Batu ini dapat
menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat juga
Smenyebabkan sistitis dan bila terjadi refluk akan mengakibatkan pielonefritis
(Sjamsuhidajat dan De jong, 2005).
2.5 Manifestasi Klinis
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun
keluhan diluar saluran kemih. Menurut Purnomo (2011) dan tanda dan gejala dari BPH
yaitu : keluhan pada saluran kemih bagian bawah, gejala pada saluran kemih bagian atas,
dan gejala di luar saluran kemih.
2.6 Penatalaksanaan
A. Observasi
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Pasien dianjurkan
untuk mengurangi minum setelah makan malam yang ditujukan agar tidak terjadi
nokturia, menghindari obat-obat dekongestan (parasimpatolitik), mengurangi minum
kopi dan tidak diperbolehkan minum alkohol agar tidak terlalu sering miksi. Pasien
dianjurkan untuk menghindari mengangkat barang yang berat agar perdarahan dapat
dicegah. Ajurkan pasien agar sering mengosongkan kandung kemih (jangan menahan
kencing terlalu lama) untuk menghindari distensi kandung kemih dan hipertrofi
kandung kemih. Secara periodik pasien dianjurkan untuk melakukan control keluhan,
pemeriksaan laboratorium, sisa kencing dan pemeriksaan colok dubur (Purnomo,
2011).
a. Residual urin, yaitu jumlah sisa urin setelah miksi. Sisa urin dapat diukur
dengan cara melakukan kateterisasi setelah miksi atau ditentukan dengan
pemeriksaan USG setelah miksi.
b. Pancaran urin (flow rate), dapat dihitung dengan cara menghitung jumlah urin
dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau dengan alat
urofometri yang menyajikan gambaran grafik pancaran urin.
B. Terapi medikamentosa
Menurut Baradero dkk (2007) tujuan dari obat-obat yang diberikan pada
penderita BPH adalah :
Adapun obat-obatan yang sering digunakan pada pasien BPH, menurut Purnomo
(2011) diantaranya : penghambat adrenergenik alfa, penghambat enzin 5 alfa
reduktase, fitofarmaka.
3) Fitofarmaka/fitoterapi
Penggunaan fitoterapi yang ada di Indonesia antara lain eviprostat. Substansinya
misalnya pygeum africanum, saw palmetto, serenoa repeus dll. Afeknya diharapkan
terjadi setelah pemberian selama 12 bulan dapat memperkecil volum prostat.
C. Terapi bedah
Pembedahan adalah tindakan pilihan, keputusan untuk dilakukan pembedahan
didasarkan pada beratnya obstruksi, adanya ISK, retensio urin berulang, hematuri,
tanda penurunan fungsi ginjal, ada batu saluran kemih dan perubahan fisiologi pada
prostat. Waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung pada beratnya
gejala dan komplikasi. Menurut Smeltzer dan Bare (2002) intervensi bedah yang dapat
dilakukan meliputi : pembedahan terbuka dan pembedahan endourologi.
a. Pembedahan terbuka, beberapa teknik operasi prostatektomi terbuka
yang biasa digunakan adalah :
1) Prostatektomi suprapubik
Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen. Insisi
dibuat dikedalam kandung kemih, dan kelenjar prostat diangat dari atas. Teknik
demikian dapat digunakan untuk kelenjar dengan segala ukuran, dan komplikasi
yang mungkin terjadi ialah pasien akan kehilangan darah yang cukup banyak
dibanding dengan metode lain, kerugian lain yang dapat terjadi adalah insisi
abdomen akan disertai bahaya dari semua prosedur bedah abdomen mayor.
2) Prostatektomi perineal
Adalah suatu tindakan dengan mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam
perineum. Teknik ini lebih praktis dan sangat berguan untuk biopsy terbuka.
Pada periode pasca operasi luka bedah mudah terkontaminasi karena insisi
dilakukan dekat dnegan rectum. Komplikasi yang mungkin terjadi dari tindakan
ini adalah inkontinensia, impotensi dan cedera rectal.
3) Prostatektomi retropubik
Adalah tindakan lain yang dapat dilakukan, dengan cara insisi abdomen rendah
mendekati kelenjar prostat, yaitu antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa
memasuki kandung kemih.
Teknik ini sangat tepat untuk kelenjar prostat yang terletak tinggi dalam pubis.
Meskipun jumlah darah yang hilang lebih dapat dikontrol dan letak pembedahan
lebih mudah dilihat, akan tetapi infeksi dapat terjadi diruang retropubik.
b. Pembedahan endourologi, pembedahan endourologi transurethral
dapat dilakukan dengan memakai tenaga elektrik diantaranya:
1) Transurethral Prostatic Resection ( TURP )
Merupakan tindakan operasi yang paling banyak dilakukan, reseksi kelenjar
prostat dilakukan dengan transuretra menggunakan cairan irigan (pembilas) agar
daerah yang akan dioperasi tidak tertutup darah. Indikasi TURP ialah gejala-
gejala sedang sampai berat, volume prostat kurang dari 90 gr.Tindakan ini
dilaksanakan apabila pembesaran prostat terjadi dalam lobus medial yang
langsung mengelilingi uretra. Setelah TURP yang memakai kateter threeway.
Irigasi kandung kemih secara terus menerus dilaksanakan untuk mencegah
pembekuan darah. Manfaat pembedahan TURP antara lain tidak meninggalkan
atau bekas sayatan serta waktu operasi dan waktu tinggal dirumah sakit lebih
singkat.Komplikasi TURP adalah rasa tidak enak pada kandung kemih, spasme
kandung kemih yang terus menerus, adanya perdarahan, infeksi, fertilitas
(Baradero dkk, 2007).
c) Transuretral Needle Ablation (TUNA), pada teknik ini memakai energy dari
frekuensi radio yang menimbulkan panas mencapai 100 derajat selsius,
sehingga menyebabkan nekrosis jaringan prostat. Pasien yang menjalani
TUNA sering kali mengeluh hematuri, disuria, dan kadang-kadang terjadi
retensi urine (Purnomo, 2011).
2.7 Komplikasi
Menurut Sjamsuhidajat dan De Jong (2005) komplikasi BPH adalah :
1. Retensi urin akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi
2. Infeksi saluran kemih
3. Involusi kontraksi kandung kemih
4. Refluk kandung kemih
5. Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin terus berlanjut maka
pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung urin yang akan
mengakibatkan tekanan intravesika meningkat.
Menurut Purnomo (2011) dan Baradero dkk (2007) pemeriksaan penunjang yang
dapat dilakukan pada penderita BPH meliputi :
1) Laboratorium
a) Analisi urin dan pemeriksaan mikroskopik urin penting dilakukan untuk
melihat adanya sel leukosit, bakteri dan infeksi. Pemeriksaan kultur urin
berguna untuk menegtahui kuman penyebab infeksi dan sensitivitas kuman
terhadap beberapa antimikroba.
2) Radiologis/pencitraan
Menurut Purnomo (2011) pemeriksaan radiologis bertujuan untuk memperkirakan
volume BPH, menentukan derajat disfungsi bulibuli dan volume residu urin serta
untuk mencari kelainan patologi lain, baik yang berhubungan maupun tidak
berhubungan dengan BPH.
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
Pengkajian fokus keperawatan yang perlu diperhatikan pada penderita BPH
merujuk pada teori menurut Smeltzer dan Bare (2002) , Tucker dan Canobbio (2008) ada
berbagai macam, meliputi : a. Demografi
Kebanyakan menyerang pada pria berusia diatas 50 tahun. Ras kulit hitam memiliki
resiko lebih besar dibanding dengan ras kulit putih. Status social ekonomi memili
peranan penting dalam terbentuknya fasilitas kesehatan yang baik. Pekerjaan memiliki
pengaruh terserang penyakit ini, orang yang pekerjaanya mengangkat barang-barang
berat memiliki resiko lebih tinggi..
4) Nyeri/kenyamanan
Nyeri supra pubis, panggul atau punggung, tajam, kuat, nyeri punggung bawah
6) Pola aktifitas
Tanyakan pada pasien aktifitasnya sehari – hari, aktifitas penggunaan waktu
senggang, kebiasaan berolah raga. Pekerjaan mengangkat beban berat. Apakah ada
perubahan sebelum sakit dan selama sakit. Pada umumnya aktifitas sebelum
operasi tidak mengalami gangguan, dimana pasien masih mampu memenuhi
kebutuhan sehari – hari sendiri.
7) Seksualitas
Kaji apakah ada masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampua seksual
akibat adanya penurunan kekuatan ejakulasi dikarenakan oleh pembesaran dan
nyeri tekan pada prostat.
1. Pre Operasi
a. Retensi urin akut/kronis berhubungan dengan obstruksi mekanik, pembesaran
prostat, dekompensasi otot destrusor, ketidakmampuan kandung kemih untuk
berkontraksi dengan adekuat.
b. Nyeri akut berhubungan dengan peregangan dari terminal saraf, distensi kandung
kemih, infeksi urinaria, efek mengejan saat miksi sekunder dari pembesaran prostat
dan obstruksi uretra.
2. Post Operasi
a. Retensi urin berhubungan dengan obstruksi mekanik: bekuan darah, edema, trauma,
prosedur bedah, tekanan dan iritasi kateter.
b. Nyeri akut berhubungan dengan spasme kandung kemih dan insisi sekunder pada
pembedahan
1. Pra operasi
a. Retensi urin akut/kronis berhubungan dengan obstruksi mekanik, pembesaran
prostat, dekompensasi otot destrusor, ketidakmampuan kandung kemih untuk
berkontraksi dengan adekuat.
Intervensi :
1) Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam atau bila tiba-tiba dirasakan
3) Awasi dan catat waktu tiap berkemih dan jumlah tiap berkemih, perhatikan
penurunan haluaran urin dan perubahan berat jenis. Rasional : retensi urine
meningkatkan tekanan dalam saluran perkemihan atas, yang dapat
mempengaruhi fungsi ginjal. Adanya deficit aliran darah keginjal menganggu
kemampuanya untuk memfilter dan mengkonsentrasi substansi.
b. Nyeri akut berhubungan dengan peregangan dari terminal saraf, distensi kandung
kemih, infeksi urinaria, efek mengejan saat miksi sekunder dari pembesaran prostat
dan obstruksi uretra.
Tujuan : nyeri hilang, terkontrol
Kriteria hasil : pasien melaporkan nyeri hilang dan terkontrol
pasien tampakrileks, mampu untuk tidur dan
istirahat dengan tepat
Intervensi :
1) Kaji tipe nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0-10)
lamanya.
2. Post operasi
a. Retensi urin berhubungan dengan obstruksi mekanik: bekuan darah, edema, trauma,
prosedur bedah, tekanan dan iritasi kateter.
Intervensi :
1) Kaji haluaran urine dan system drainase, khususnya selama irigasi berlangsung
Rasional : retensi dapat terjadi karena edema area bedah, bekuan darah dan
spasme kandung kemih.
3) Perhatikan waktu, jumlah berkemih dan ukuran aliran setelah kateter dilepas.
Rasional : kateter biasa lepas 2-5 hari setelah bedah, tetapi berkemih dapat
berlanjut sehingga menjadi masalah untuk beberapa waktu karena edema
uretral dan kehilangan tonus.
4) Dorong pemasukan cairan 3000 ml sesuai toleransi, batasi cairan pada malam
hari setelah kateter dilepas
Rasional : mempertahankan hidrasi adekuat dan perfusi ginjal untuk aliran
urine “penjadwalan” masukan cairan menurunkan kebutuhan
berkemih/gangguan tidur selama malam hari.
Rasional : mencuci kandung kemih dari bekuan darah dan debris untuk
mempertahankan patensi kateter.
b. Nyeri akut berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi sekunder pada
pembedahan, dan pemasangan kateter.
Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang.
Kriteria Hasil :
1 Pasien mengatakan nyeri berkurang
)
2 Ekspresi wajah pasien tenang
)
3 Pasien akan menunjukkan ketrampilan
) relaksasi.
2) Jelaskan pada pasien tentang gejala dini spasmus kandung kemih. Rasional : Kien
dapat mendeteksi gajala dini spasmus kandung kemih.
3) Pertahankan patensi kateter dan system drainase. Pertahankan selang bebas dari
lekukan dan bekuan
4) Berikan informasi yang akurat tentang kateter, drainase, dan spasme kandung
kemih
1) Jelaskan pada pasien tentang sebab terjadi perdarahan setelah pembedahan dan
tanda – tanda perdarahan .
Rasional : Menurunkan kecemasan pasien dan mengetahui tanda – tanda
perdarahan.
3) Sediakan diet makanan tinggi serat dan memberi obat untuk memudahkan
defekasi .
Intervensi :
1) Pertahankan sistem kateter steril, berikan perawatan kateter dengan steril.
Rasional : Meningkatkan output urine sehingga resiko terjadi ISK dikurangi dan
mempertahankan fungsi ginjal
4) Observasi tanda – tanda vital, laporkan tanda – tanda shock dan demam.
Rasional : Mencegah sebelum terjadi shock.
5) Observasi urine: warna, jumlah, bau.
Rasional : Mengidentifikasi adanya infeksi.
6) Kolaborasi dengan dokter untuk memberi obat antibiotic
Rasional :Untuk mencegah infeksi dan membantu proses
penyembuhan.
e. Resiko terhadap disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan impoten akibat dari
pembedahan.
Tujuan : Tampak rileks dan melaporkan ansietas
menurun sampai tingkat dapat diatasi
Kriteria : Menyatakan pemahaman situasional individu,
Hasil menunjukan pemecahan masalah dan
menunjukkan rentang yang tepat tentang
perasaan dan penurunan rasa takut.
Intervensi :
1) Dampingi pasien dan bina hubungan saling percaya
Rasional : Menunjukka perhatian dan keinginan untuk membantu
2) Berikan informasi yang tepat tentang harapan kembalinya fungsi seksual
Rasional : impotensi fisiologis terjadi bila syaraf perineal dipotong selama prosedur
radikal.
Rasional : meningkatkan peningkatan control otot kontinensia urin dan fungsi seksual.
f. Gangguan tidu berhubungan dengan nyeri sebagai efek
pola r
pembedahan
Tujuan : Kebutuhan tidur dan istirahat terpenuhi.
Kriteria hasil :
1) Pasien mampu beristirahat / tidur
dalam waktu yang cukup.
PENUTUP
4.1 Kesimpulan.