Anda di halaman 1dari 29

ASUHAN KEPERAWATAN PADA

KLIEN PENYAKIT BPH

OLEH :
KELOMPOK 3

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ST. PAULUS RUTENG


2018
KATA PENGANTAR
Segala syukur dan puji hanya bagi TUHAN YESUS KISTUS, oleh karena anugerah
Nya yang melimpah, kemurahan dan kasih setia yang besar akhirnya saya dapat
menyelesaikan makalah dengan judul: “ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
PENYAKIT BPH”.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan
karena menyadari segala keterbatasan yang ada. Untuk itu demi sempurnanya makalah ini,
penulis sangat membutuhkan dukungan dan sumbangan pikiran yang berupa kritik dan saran
yang bersifat membangun.

Pada kesempatan ini pula, penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada :
selaku dosen pengampun matakulia sistem informasi kesehatan dan kepada rekan, sahabat,
saudara dan berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, penulis ucapakan
banyak terimakasih atas setiap bantuan dan doa yang diberikan. Semoga TUHAN berkenan
membalas kebaikan kalian.

Akhir kata semoga makalah ini memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan.Kiranya makalah ini dapat memberikan manfaat dan masukan bagi pembaca.
Terima Kasih.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kelenjar prostat merupakan organ tubuh pada laki-laki yang berbentuk seperti kacang
kenari, kelenjar prostat terletak di dasar kandung kemih dan mengelilingi uretra posterior,
salah satu gangguan pada prostat adalah terjadinya pembesaran yang lazimnya terjadi
pada pria di atas 50 tahun. Pembesaran kelenjar prostat dapat mengganggu mekanisme
normal buang air kecil ( Iskandar, 2009).

Salah satu tindakan dilakukan dalam penanganan BPH adalah dengan melakukan
pembedahan terbuka atau bisa disebut open prostatectomi, tindakan dilakukan dengan
cara melakukan sayatan pada perut bagian bawah sampai simpai prostat tanpa membuka
kandung kemih kemudian dilakukan pengangkatan prostat yang mengalami pembesaran
(Samsuhidajat, 2010).

Di Indonesia BPH menjadi penyakit urutan ke dua setelah penyakit batu saluran
kemih, dan secara umum diperkirakan hampir 50% pria Indonesia menderita BPH, jika
dilihat dari 200 juta lebih rakyat Indonesia maka dapat di perkirakan sekitar 2,5 juta pria
yang berumur lebih dari 60 tahun menderita BPH ( Purnomo, 2008).

1.2 Tujuan.

a) Untuk mengetahui tentang pengertian, etiologi, patofisiologi, komplikasi, dan


penatalaksanaan penyakit BPH.
b) Untuk bisa melakukan pengkajian, diagnosa, dan intervensi dari penyakit BPH.
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Pengertian.
Benigna Prostate Hiperplasia (BPH) merupakan pembesaran kelenjar prostat,
memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urine dengan menutupi
orifisium uretra akibatnya terjadi dilatasi ureter (hidroureter) dan ginjal (hidronefrosis)secara
bertahap (smeltzer & Bare, 2002).
BPH merupakan pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk dalam prostat,
pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai poliferasi yang terbatas dan
tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang terisa, prostat tersebut mengelilingi uretra dan
pembesaran bagian periuretral menyebabkan obstruksi leher kandung kemih dan uretra
parsprostatika yang menyebabkan aliran kemih dari kandung kemih (Price & Wilson, 2006).
BPH merupakan suatu keadaan yang sering terjadi pada pria umur 50 tahun atau lebih
yang ditandai dengan terjadinya perubahan pada prostat yaitu prostat mengalami atrofi dan
menjadi nodular, pembesaran dari beberapa bagian kelenjar ini dapat mengakibatkan
obstruksi urine (Baradero, Dayrit, dkk, 2007)
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Benigna Prostat Hiperplasi
(BPH) merupakan penyakit pembesaran prostat yang disebabkan oleh proses penuaan, yang
biasa dialami oleh pria berusia 50 tahun keatas, yang mengakibatkan obstruksi leher kandung
kemih, dapat menghambat pengosongan kandung kemih dan menyebabkan gangguan
perkemihan.
Benigna Prostat Hiperplasi (BPH) adalah pembesaran atau hipertrofi, kelenjar prostat.
Kelenjar prostat membesar, meluas keatas menuju kandung kemih dan menghambat aliran
keluar urine. ( brunner dan sudarth 2016 )
2.2 Anatomi dan Fisiologi Prostat
a) Anatomi Prostat
Menurut Wibowo dan Paryana (2009). Kelenjar prostat terletak dibawah
kandung kemih, mengelilingi uretra posterior dan disebelah proksimalnya
berhubungan dengan buli-buli, sedangkan bagian distalnya kelenjar prostat ini
menempel pada diafragma urogenital yang sering disebut sebagai otot dasar panggul.
Gambar letak prostat terlihat di gambar 2.1
Prostat terdiri atas kelenjar majemuk, saluran-saluran, dan otot polos Prostat
dibentuk oleh jaringan kelenjar dan jaringan fibromuskular. Prostat dibungkus oleh
capsula fibrosa dan bagian lebih luar oleh fascia prostatica yang tebal. Diantara
fascia prostatica dan capsula fibrosa terdapat bagian yang berisi anyaman vena yang
disebut plexus prostaticus. Fascia prostatica berasal dari fascia pelvic yang
melanjutkan diri ke fascia superior diaphragmatic urogenital, dan melekat pada os
pubis dengan diperkuat oleh ligamentum puboprostaticum. Bagian posterior fascia
prostatica membentuk lapisan lebar dan tebal yang disebut fascia Denonvilliers.
Fascia ini sudah dilepas dari fascia rectalis dibelakangnya. Hal ini penting bagi
tindakan operasi prostat ( Purnomo, 2011).

Kelenjar prostat merupakan suatu kelenjar yang terdiri dari 3050 kelenjar yang
terbagi atas empat lobus, lobus posterior, lobus lateral, lobus anterior, dan lobus
medial. Lobus posterior yang terletak di belakang uretra dan dibawah duktus
ejakulatorius, lobus lateral yang terletak dikanan uretra, lobus anterior atau isthmus
yang terletak di depan uretra dan menghubungkan lobus dekstra dan lobus sinistra,
bagian ini tidak mengandung kelenjar dan hanya berisi otot polos, selanjutnya lobus
medial yang terletak diantara uretra dan duktus ejakulatorius, banyak mengandung
kelenjar dan merupakan bagian yang menyebabkan terbentuknya uvula vesicae yang
menonjol kedalam vesica urinaria bila lobus medial ini membesar. Sebagai akibatnya
dapat terjadi bendungan aliran urin pada waktu berkemih (Wibowo dan Paryana,
2009).

Kelenjar ini pada laki-laki dewasa kurang lebih sebesar buah walnut atau buah
kenari besar. Ukuran, panjangnya sekitar 4 - 6 cm, lebar 3 - 4 cm, dan tebalnya kurang
lebih 2 - 3 cm dengan berat sekitar 20 gram. Bagian- bagian prostat terdiri dari 50 –
70 % jaringan kelenjar, 30 – 50 % adalah jaringan stroma (penyangga) dan
kapsul/muskuler. Bagian prostat terlihat di gambar 2.2.

(
Prostat merupakan inervasi otonomik simpatik dan parasimpatik dari pleksus
prostatikus atau pleksus pelvikus yang menerima masukan serabut parasimpatik dari
korda spinalis dan simpatik dari nervus hipogastrikus. Rangsangan parasimpatik
meningkatkan sekresi kelenjar pada epitel prostat, sedangkan rangsangan simpatik
menyebabkan pengeluaran cairan prostat kedalam uretra posterior, seperti pada saat
ejakulasi. System simpatik memberikan inervasi pada otot polos prostat, kapsula
prostat, dan leher buli-buli. Ditempat itu terdapat banyak reseptor adrenergic.
Rangsangan simpatik menyebabkan dipertahankan tonus otot tersebut. Pada usia
lanjut sebagian pria akan mengalami pembesaran kelenjar prostat akibat hiperplasi
jinak sehingga dapat menyumbat uretra posterior dan mengakibatkan terjadinya
obstruksi saluran kemih (Purnomo, 2011).
b) Fisiologi
Menurut Purnomo (2011) fisiologi prostat adalah suatu alat tubuh yang
tergantung kepada pengaruh endokrin. Pengetahuan mengenai sifat endokrin ini masih
belum pasti. Bagian yang peka terhadap estrogen adalah bagian tengah, sedangkan
bagian tepi peka terhadap androgen. Oleh karena itu pada orang tua bagian tengahlah
yang mengalami hiperplasi karena sekresi androgen berkurang sehingga kadar
estrogen relatif bertambah. Sel-sel kelenjar prostat dapat membentuk enzim asam
fosfatase yang paling aktif bekerja pada pH 5.

Kelenjar prostat mensekresi sedikit cairan yang berwarna putih susu dan
bersifat alkalis. Cairan ini mengandung asam sitrat, asam fosfatase, kalsium dan
koagulase serta fibrinolisis. Selama pengeluaran cairan prostat, kapsul kelenjar prostat
akan berkontraksi bersamaan dengan kontraksi vas deferen dan cairan prostat keluar
bercampur dengan semen yang lainnya. Cairan prostat merupakan 70% volume cairan
ejakulat dan berfungsi memberikan makanan spermatozon dan menjaga agar
spermatozon tidak cepat mati di dalam tubuh wanita, dimana sekret vagina sangat
asam (pH: 3,5-4). Cairan ini dialirkan melalui duktus skretorius dan bermuara di
uretra posterior untuk kemudian dikeluarkan bersama cairan semen yang lain pada
saat ejakulasi. Volume cairan prostat kurang lebih 25% dari seluruh volume ejakulat.
Dengan demikian sperma dapat hidup lebih lama dan dapat melanjutkan perjalanan
menuju tuba uterina dan melakukan pembuahan, sperma tidak dapat bergerak optimal
sampai pH cairan sekitarnya meningkat 6 sampai 6,5 akibatnya mungkin bahwa
cairan prostat menetralkan keasaman cairan dan lain tersebut setelah ejakulasi dan
sangat meningkatkan pergerakan dan fertilitas sperma ( Wibowo dan Paryana, 2009 ).

2.3 Etiologi
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti etiologi/penyebab terjadinya
BPH, namun beberapa hipotesisi menyebutkan bahwa BPH erat kaitanya dengan
peningkatan kadardehidrotestosteron (DHT) dan proses menua. Terdapat perubahan
mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia 30-40 tahun. Bila perubahan
mikroskopik ini berkembang, akan terjadi perubahan patologik anatomi yang ada pada
pria usia 50 tahun, dan angka kejadiannya sekitar 50%, untuk usia 80 tahun angka
kejadianya sekitar 80%, dan usia 90 tahun sekiatr 100% (Purnomo, 2011)
Etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesa yang diduga
menjadi penyebab timbulnya Benigna Prosat, teori penyebab BPH menurut Purnomo
(2011) meliputi, Teori Dehidrotestosteron ( DHT), teori hormon (ketidakseimbangan
antara estrogen dan testosteron), faktor interaksi stroma dan epitel-epitel, teori
berkurangnya kematian sel (apoptosis), teori sel stem.
a. Teori Dehidrotestosteron ( DHT )
Dehidrotestosteron/ DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting pada
pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Aksis hipofisis testis dan reduksi
testosteron menjadi dehidrotestosteron ( DHT ) dalam sel prostad merupakan
factor terjadinya penetrasi DHT kedalam inti sel yang dapat menyebabkan
inskripsi pada RNA, sehingga dapat menyebabkan terjadinya sintesis protein
yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat. Pada berbagai penelitian
dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh berbeda dengan kadarnya
pada prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas enzim 5alfa –reduktase
dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan
sel-sel prostat pada BPH lebih sensitive terhadap DHT sehingga replikasi sel
lebih banyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal.

b. Teori hormone ( ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron) Pada usia


yang semakin tua, terjadi penurunan kadar testosteron sedangkan kadar
estrogen relative tetap, sehingga terjadi perbandingan antara kadar estrogen
dan testosterone relative meningkat. Hormon estrogen didalam prostat
memiliki peranan dalam terjadinya poliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan
cara meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan menurunkan jumlah
kematian sel-sel prostat (apoptosis). Meskipun rangsangan terbentuknya sel-
sel baru akibat rangsangan testosterone meningkat, tetapi sel-sel prostat telah
ada mempunyai umur yang lebih panjang sehingga masa prostat jadi lebih
besar.

c. Faktor interaksi Stroma dan epitel epitel.


Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol
oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator yang disebut Growth factor. Setelah
sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma
mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel
stroma itu sendiri intrakrin dan autokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel
parakrin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya poliferasi sel-sel epitel
maupun sel stroma. Basic Fibroblast Growth Factor (bFGF) dapat
menstimulasi sel stroma dan ditemukan dengan konsentrasi yang lebih besar
pada pasien dengan pembesaran prostad jinak. bFGF dapat diakibatkan oleh
adanya mikrotrauma karena miksi, ejakulasi atau infeksi.

d. Teori berkurangnya kematian sel ( apoptosis )


Progam kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik
untuk mempertahankan homeostatis kelenjar prostat. Pada apoptosis terjadi
kondensasi dan fragmentasi sel, yang selanjutnya sel-sel yang mengalami
apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel di sekitarnya, kemudian didegradasi
oleh enzim lisosom. Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju
poliferasi sel dengan kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat
sampai pada prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan
yang mati dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat baru
dengan prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat
secara keseluruhan menjadi meningkat, sehingga terjadi pertambahan masa
prostat.

e. Teori sel stem


Sel-sel yang telah apoptosis selalu dapat diganti dengan sel-sel baru. Didalam
kelenjar prostat istilah ini dikenal dengan suatu sel stem, yaitu sel yang
mempunyai kemampuan berpoliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini
sangat tergantung pada keberadaan hormone androgen, sehingga jika hormone
androgen kadarnya menurun, akan terjadi apoptosis. Terjadinya poliferasi sel-
sel BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga
terjadi produksi yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel.

2.4 Patofisiologi
Hiperplasi prostat adalah pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk
dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi
yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa. Jaringan
hiperplastik terutama terdiri dari kelenjar dengan stroma fibrosa dan otot polos yang
jumlahnya berbeda-beda. Proses pembesaran prostad terjadi secara perlahan-lahan
sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap
awal setelah terjadi pembesaran prostad, resistensi pada leher buli-buli dan daerah
prostad meningkat, serta otot destrusor menebal dan merenggang sehingga timbul
sakulasi atau divertikel. Fase penebalan destrusor disebut fase kompensasi, keadaan
berlanjut, maka destrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan
tidak mampu lagi untuk berkontraksi/terjadi dekompensasi sehingga terjadi retensi urin.
Pasien tidak bisa mengosongkan vesika urinaria dengan sempurna, maka akan terjadi
statis urin. Urin yang statis akan menjadi alkalin dan media yang baik untuk
pertumbuhan bakteri ( Baradero, dkk 2007).

Obstruksi urin yang berkembang secara perlahan-lahan dapat mengakibatkan


aliran urin tidak deras dan sesudah berkemih masih ada urin yang menetes, kencing
terputus-putus (intermiten), dengan adanya obstruksi maka pasien mengalami kesulitan
untuk memulai berkemih (hesitansi). Gejala iritasi juga menyertai obstruksi urin. Vesika
urinarianya mengalami iritasi dari urin yang tertahan tertahan didalamnya sehingga
pasien merasa bahwa vesika urinarianya tidak menjadi kosong setelah berkemih yang
mengakibatkan interval disetiap berkemih lebih pendek (nokturia dan frekuensi), dengan
adanya gejala iritasi pasien mengalami perasaan ingin berkemih yang mendesak/ urgensi
dan nyeri saat berkemih /disuria ( Purnomo, 2011).

Tekanan vesika yang lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan obstruksi, akan
terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluk vesiko ureter,
hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila
terjadi infeksi. Pada waktu miksi penderita harus mengejan sehingga lama kelamaan
menyebabkan hernia atau hemoroid. Karena selalu terdapat sisa urin, dapat
menyebabkan terbentuknya batu endapan didalam kandung kemih. Batu ini dapat
menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat juga
Smenyebabkan sistitis dan bila terjadi refluk akan mengakibatkan pielonefritis
(Sjamsuhidajat dan De jong, 2005).
2.5 Manifestasi Klinis
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun
keluhan diluar saluran kemih. Menurut Purnomo (2011) dan tanda dan gejala dari BPH
yaitu : keluhan pada saluran kemih bagian bawah, gejala pada saluran kemih bagian atas,
dan gejala di luar saluran kemih.

1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah


a. Gejala obstruksi meliputi : Retensi urin (urin tertahan dikandung kemih
sehingga urin tidak bisa keluar), hesitansi (sulit memulai miksi), pancaran
miksi lemah, Intermiten (kencing terputus-putus), dan miksi tidak puas
(menetes setelah miksi)

b. Gejala iritasi meliputi : Frekuensi, nokturia, urgensi ( perasaan ingin miksi


yang sangat mendesak) dan disuria (nyeri pada saat miksi).

2. Gejala pada saluran kemih bagian atas


Keluhan akibat hiperplasi prostat pada sluran kemih bagian atas berupa
adanya gejala obstruksi, seperti nyeri pinggang, benjolan dipinggang (merupakan
tanda dari hidronefrosis), atau demam yang merupakan tanda infeksi atau
urosepsis.
3. Gejala diluar saluran kemih
Pasien datang diawali dengan keluhan penyakit hernia inguinalis atau
hemoroid. Timbulnya penyakit ini dikarenakan sering mengejan pada saan miksi
sehingga mengakibatkan tekanan intraabdominal. Adapun gejala dan tanda lain
yang tampak pada pasien BPH, pada pemeriksaan prostat didapati membesar,
kemerahan, dan tidak nyeri tekan, keletihan, anoreksia, mual dan muntah, rasa
tidak nyaman pada epigastrik, dan gagal ginjal dapat terjadi dengan retensi kronis
dan volume residual yang besar.

2.6 Penatalaksanaan
A. Observasi
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Pasien dianjurkan
untuk mengurangi minum setelah makan malam yang ditujukan agar tidak terjadi
nokturia, menghindari obat-obat dekongestan (parasimpatolitik), mengurangi minum
kopi dan tidak diperbolehkan minum alkohol agar tidak terlalu sering miksi. Pasien
dianjurkan untuk menghindari mengangkat barang yang berat agar perdarahan dapat
dicegah. Ajurkan pasien agar sering mengosongkan kandung kemih (jangan menahan
kencing terlalu lama) untuk menghindari distensi kandung kemih dan hipertrofi
kandung kemih. Secara periodik pasien dianjurkan untuk melakukan control keluhan,
pemeriksaan laboratorium, sisa kencing dan pemeriksaan colok dubur (Purnomo,
2011).

Pemeriksaan derajat obstruksi prostat menurut Purnomo (2011) dapat


diperkirakan dengan mengukur residual urin dan pancaran urin:

a. Residual urin, yaitu jumlah sisa urin setelah miksi. Sisa urin dapat diukur
dengan cara melakukan kateterisasi setelah miksi atau ditentukan dengan
pemeriksaan USG setelah miksi.
b. Pancaran urin (flow rate), dapat dihitung dengan cara menghitung jumlah urin
dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau dengan alat
urofometri yang menyajikan gambaran grafik pancaran urin.

B. Terapi medikamentosa
Menurut Baradero dkk (2007) tujuan dari obat-obat yang diberikan pada
penderita BPH adalah :

a. Mengurangi pembesaran prostat dan membuat otot-otot berelaksasi


untuk mengurangi tekanan pada uretra

b. Mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan golongan alfa


blocker (penghambat alfa adrenergenik)

c. Mengurangi volum prostat dengan menentuan kadar hormone


testosterone/ dehidrotestosteron ( DHT ).

Adapun obat-obatan yang sering digunakan pada pasien BPH, menurut Purnomo
(2011) diantaranya : penghambat adrenergenik alfa, penghambat enzin 5 alfa
reduktase, fitofarmaka.

1) Penghambat adrenergenik alfa


Obat-obat yang sering dipakai adalah prazosin, doxazosin,terazosin,afluzosinatau
yang lebih selektif alfa 1 a (Tamsulosin). Dosis dimulai 1mg/hari sedangkan dosis
tamsulosin adalah 0,2-0,4 mg/hari. Penggunaaan antagonis alfa 1 adrenergenik karena
secara selektif dapat mengurangi obstruksi pada buli-buli tanpa merusak kontraktilitas
detrusor. Obat ini menghambat reseptor-reseptor yang banyak ditemukan pada otot
polos di trigonum, leher vesika, prostat, dan kapsul prostat sehingga terjadi relakasi
didaerah prostat. Obat-obat golongan ini dapat memperbaiki keluhan miksi dan laju
pancaran urin. Hal ini akan menurunkan tekanan pada uretra pars prostatika sehingga
gangguan aliran air seni dan gejala-gejala berkurang. Biasanya pasien mulai
merasakan berkurangnya keluhan dalam 1-2 minggu setelah ia mulai memakai obat.
Efek samping yang mungkin timbul adalah pusing, sumbatan di hidung dan lemah.
Ada obat-obat yang menyebabkan ekasaserbasi retensi urin maka perlu dihindari
seperti antikolinergenik, antidepresan, transquilizer, dekongestan, obatobat ini
mempunyai efek pad a otot kandung kemih dan sfingter uretra.

2) Pengahambat enzim 5 alfa reduktase


Obat yang dipakai adalah finasteride (proscar) dengan dosis 1 X 5 mg/hari. Obat
golongan ini dapat menghambat pembentukan DHT sehingga prostat yang membesar
akan mengecil. Namun obat ini bekerja lebih lambat dari golongan alfa bloker dan
manfaatnya hanya jelas pada prostat yang besar. Efektifitasnya masih diperdebatkan
karena obat ini baru menunjukkan perbaikan sedikit/ 28 % dari keluhan pasien setelah
6-12 bulan pengobatan bila dilakukan terus menerus, hal ini dapat memperbaiki
keluhan miksi dan pancaran miksi. Efek samping dari obat ini diantaranya adalah
libido, impoten dan gangguan ejakulasi.

3) Fitofarmaka/fitoterapi
Penggunaan fitoterapi yang ada di Indonesia antara lain eviprostat. Substansinya
misalnya pygeum africanum, saw palmetto, serenoa repeus dll. Afeknya diharapkan
terjadi setelah pemberian selama 12 bulan dapat memperkecil volum prostat.

C. Terapi bedah
Pembedahan adalah tindakan pilihan, keputusan untuk dilakukan pembedahan
didasarkan pada beratnya obstruksi, adanya ISK, retensio urin berulang, hematuri,
tanda penurunan fungsi ginjal, ada batu saluran kemih dan perubahan fisiologi pada
prostat. Waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung pada beratnya
gejala dan komplikasi. Menurut Smeltzer dan Bare (2002) intervensi bedah yang dapat
dilakukan meliputi : pembedahan terbuka dan pembedahan endourologi.
a. Pembedahan terbuka, beberapa teknik operasi prostatektomi terbuka
yang biasa digunakan adalah :
1) Prostatektomi suprapubik
Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen. Insisi
dibuat dikedalam kandung kemih, dan kelenjar prostat diangat dari atas. Teknik
demikian dapat digunakan untuk kelenjar dengan segala ukuran, dan komplikasi
yang mungkin terjadi ialah pasien akan kehilangan darah yang cukup banyak
dibanding dengan metode lain, kerugian lain yang dapat terjadi adalah insisi
abdomen akan disertai bahaya dari semua prosedur bedah abdomen mayor.

2) Prostatektomi perineal
Adalah suatu tindakan dengan mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam
perineum. Teknik ini lebih praktis dan sangat berguan untuk biopsy terbuka.
Pada periode pasca operasi luka bedah mudah terkontaminasi karena insisi
dilakukan dekat dnegan rectum. Komplikasi yang mungkin terjadi dari tindakan
ini adalah inkontinensia, impotensi dan cedera rectal.

3) Prostatektomi retropubik
Adalah tindakan lain yang dapat dilakukan, dengan cara insisi abdomen rendah
mendekati kelenjar prostat, yaitu antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa
memasuki kandung kemih.

Teknik ini sangat tepat untuk kelenjar prostat yang terletak tinggi dalam pubis.
Meskipun jumlah darah yang hilang lebih dapat dikontrol dan letak pembedahan
lebih mudah dilihat, akan tetapi infeksi dapat terjadi diruang retropubik.
b. Pembedahan endourologi, pembedahan endourologi transurethral
dapat dilakukan dengan memakai tenaga elektrik diantaranya:
1) Transurethral Prostatic Resection ( TURP )
Merupakan tindakan operasi yang paling banyak dilakukan, reseksi kelenjar
prostat dilakukan dengan transuretra menggunakan cairan irigan (pembilas) agar
daerah yang akan dioperasi tidak tertutup darah. Indikasi TURP ialah gejala-
gejala sedang sampai berat, volume prostat kurang dari 90 gr.Tindakan ini
dilaksanakan apabila pembesaran prostat terjadi dalam lobus medial yang
langsung mengelilingi uretra. Setelah TURP yang memakai kateter threeway.
Irigasi kandung kemih secara terus menerus dilaksanakan untuk mencegah
pembekuan darah. Manfaat pembedahan TURP antara lain tidak meninggalkan
atau bekas sayatan serta waktu operasi dan waktu tinggal dirumah sakit lebih
singkat.Komplikasi TURP adalah rasa tidak enak pada kandung kemih, spasme
kandung kemih yang terus menerus, adanya perdarahan, infeksi, fertilitas
(Baradero dkk, 2007).

2) Transurethral Incision of the Prostate ( TUIP )


Adalah prosedur lain dalam menangani BPH. Tindakan ini dilakukan apabila
volume prostat tidak terlalu besar atau prostat fibrotic. Indikasi dari penggunan
TUIP adalah keluhan sedang atau berat, dengan volume prostat normal/kecil (30
gram atau kurang). Teknik yang dilakukan adalah dengan memasukan
instrument kedalam uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat pada prostat dan
kapsul prostat untuk mengurangi tekanan prostat pada uretra dan mengurangi
konstriksi uretral. Komplikasi dari TUIP adalah pasien bisa mengalami ejakulasi
retrograde (0-37%) (Smeltzer dan Bare, 2002).

3) Terapi invasive minimal


Menurut Purnomo (2011) terapai invasive minimal dilakukan pada pasien
dengan resiko tinggi terhadap tindakan pembedahan. Terapi invasive minimal
diantaranya Transurethral Microvawe Thermotherapy (TUMT), Transuretral
Ballon Dilatation (TUBD), Transuretral Needle Ablation/Ablasi jarum
Transuretra (TUNA), Pemasangan stent uretra atau prostatcatt.

a) Transurethral Microvawe Thermotherapy (TUMT), jenis pengobatan ini


hanya dapat dilakukan di beberapa rumah sakit besar. Dilakukan dengan
cara pemanasan prostat menggunakan gelombang mikro yang disalurkan ke
kelenjar prostat melalui transducer yang diletakkan di uretra pars prostatika,
yang diharapkan jaringan prostat menjadi lembek. Alat yang dipakai antara
lain prostat.

b) Transuretral Ballon Dilatation (TUBD), pada tehnik ini dilakukan dilatasi


(pelebaran) saluran kemih yang berada di prostat dengan menggunakan
balon yang dimasukkan melalui kateter. Teknik ini efektif pada pasien
dengan prostat kecil, kurang dari 40 cm3. Meskipun dapat menghasilkan
perbaikan gejala sumbatan, namun efek ini hanya sementar, sehingga cara
ini sekarang jarang digunakan.

c) Transuretral Needle Ablation (TUNA), pada teknik ini memakai energy dari
frekuensi radio yang menimbulkan panas mencapai 100 derajat selsius,
sehingga menyebabkan nekrosis jaringan prostat. Pasien yang menjalani
TUNA sering kali mengeluh hematuri, disuria, dan kadang-kadang terjadi
retensi urine (Purnomo, 2011).

d) Pemasangan stent uretra atau prostatcatth yang dipasang pada uretra


prostatika untuk mengatasi obstruksi karena pembesaran prostat, selain itu
supaya uretra prostatika selalu terbuka, sehingga urin leluasa melewati
lumen uretra prostatika. Pemasangan alat ini ditujukan bagi pasien yang
tidak mungkin menjalani operasi karena resiko pembedahan yang cukup
tinggi.

2.7 Komplikasi
Menurut Sjamsuhidajat dan De Jong (2005) komplikasi BPH adalah :
1. Retensi urin akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi
2. Infeksi saluran kemih
3. Involusi kontraksi kandung kemih
4. Refluk kandung kemih
5. Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin terus berlanjut maka
pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung urin yang akan
mengakibatkan tekanan intravesika meningkat.

6. Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi


7. Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat terbentuk batu
endapan dalam buli-buli, batu ini akan menambah keluhan iritasi. Batu tersebut dapat
pula menibulkan sistitis, dan bila terjadi refluks dapat mengakibatkan pielonefritis.
8. Hernia atau hemoroid lama-kelamaan dapat terjadi dikarenakan pada waktu miksi
pasien harus mengedan.

2.8 Pemeriksaan Penunjang.

Menurut Purnomo (2011) dan Baradero dkk (2007) pemeriksaan penunjang yang
dapat dilakukan pada penderita BPH meliputi :

1) Laboratorium
a) Analisi urin dan pemeriksaan mikroskopik urin penting dilakukan untuk
melihat adanya sel leukosit, bakteri dan infeksi. Pemeriksaan kultur urin
berguna untuk menegtahui kuman penyebab infeksi dan sensitivitas kuman
terhadap beberapa antimikroba.

b) Pemeriksaan faal ginjal, untuk mengetahui kemungkinan adanya penyulit yang


menegenai saluran kemih bagian atas. Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin
darah merupakan informasi dasar dari fungsin ginjal dan status metabolic.
c) Pemeriksaan prostate specific antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar
penentuan perlunya biopsy atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai PSA
<4ng/ml tidak perlu dilakukan biopsy. Sedangkan bila nilai PSA 4-10 ng/ml,
hitunglah prostate specific antigen density (PSAD) lebih besar sama dengan 0 ,
15 maka sebaiknya dilakukan biopsy prostat, demikian pula bila nila PSA > 10
ng/ml.

2) Radiologis/pencitraan
Menurut Purnomo (2011) pemeriksaan radiologis bertujuan untuk memperkirakan
volume BPH, menentukan derajat disfungsi bulibuli dan volume residu urin serta
untuk mencari kelainan patologi lain, baik yang berhubungan maupun tidak
berhubungan dengan BPH.

a) Foto polos abdomen, untuk mengetahui kemungkinan adanya batu opak di


saluran kemih, adanya batu/kalkulosa prostat, dan adanya bayangan buli-buli
yang penuh dengan urin sebagai tanda adanya retensi urin. Dapat juga dilihat
lesi osteoblastik sebagai tanda metastasis dari keganasan prostat, serta
osteoporosis akbibat kegagalan ginjal.

b) Pemeriksaan Pielografi intravena ( IVP ), untuk mengetahui kemungkinan


adanya kelainan pada ginjal maupun ureter yang berupa hidroureter atau
hidronefrosis. Dan memperkirakan besarnya kelenjar prostat yang ditunjukkan
dengan adanya indentasi prostat (pendesakan buli-buli oleh kelenjar prostat)
atau ureter dibagian distal yang berbentuk seperti mata kail (hooked
fish)/gambaran ureter berbelok-belok di vesika, penyulit yang terjadi pada buli-
buli yaitu adanya trabekulasi, divertikel atau sakulasi buli-buli.

c) Pemeriksaan USG transektal, untuk mengetahui besar kelenjar prostat,


memeriksa masa ginjal, menentukan jumlah residual urine, menentukan volum
buli-buli, mengukur sisa urin dan batu ginjal, divertikulum atau tumor buli-buli,
dan mencari kelainan yang mungkin ada dalam buli-buli.
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
Pengkajian fokus keperawatan yang perlu diperhatikan pada penderita BPH
merujuk pada teori menurut Smeltzer dan Bare (2002) , Tucker dan Canobbio (2008) ada
berbagai macam, meliputi : a. Demografi

Kebanyakan menyerang pada pria berusia diatas 50 tahun. Ras kulit hitam memiliki
resiko lebih besar dibanding dengan ras kulit putih. Status social ekonomi memili
peranan penting dalam terbentuknya fasilitas kesehatan yang baik. Pekerjaan memiliki
pengaruh terserang penyakit ini, orang yang pekerjaanya mengangkat barang-barang
berat memiliki resiko lebih tinggi..

b. Riwayat penyakit sekarang


Pada pasien BPH keluhan keluhan yang ada adalah frekuensi , nokturia, urgensi,
disuria, pancaran melemah, rasa tidak puas sehabis miksi, hesistensi ( sulit memulai
miksi), intermiten (kencing terputus-putus), dan waktu miksi memanjang dan akhirnya
menjadi retensi urine.

c. Riwayat penyakit dahulu


Kaji apakah memilki riwayat infeksi saluran kemih (ISK), adakah riwayat mengalami
kanker prostat. Apakah pasien pernah menjalani pembedahan prostat / hernia
sebelumnya.

d. Riwayat kesehatan keluarga


Kaji adanya keturunan dari salah satu anggota keluarga yang menderita penyakit BPH.

e. Pola kesehatan fungsional


1) Eliminasi
Pola eliminasi kaji tentang pola berkemih, termasuk frekuensinya, ragu ragu,
menetes, jumlah pasien harus bangun pada malam hari untuk berkemih (nokturia),
kekuatan system perkemihan. Tanyakan pada pasien apakah mengedan untuk
mulai atau mempertahankan aliran kemih. Pasien ditanya tentang defikasi, apakah
ada kesulitan seperti konstipasi akibat dari prostrusi prostat kedalam rectum.
2) Pola nutrisi dan metabolisme
Kaji frekuensi makan, jenis makanan, makanan pantangan, jumlah minum tiap
hari, jenis minuman, kesulitan menelan atau keadaan yang mengganggu nutrisi
seperti anoreksia, mual, muntah, penurunan BB.

3) Pola tidur dan istirahat


Kaji lama tidur pasien, adanya waktu tidur yang berkurang karena frekuensi miksi
yang sering pada malam hari ( nokturia ).

4) Nyeri/kenyamanan
Nyeri supra pubis, panggul atau punggung, tajam, kuat, nyeri punggung bawah

5) Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat


Pasien ditanya tentang kebiasaan merokok, penggunaan obatobatan, penggunaan
alkhohol.

6) Pola aktifitas
Tanyakan pada pasien aktifitasnya sehari – hari, aktifitas penggunaan waktu
senggang, kebiasaan berolah raga. Pekerjaan mengangkat beban berat. Apakah ada
perubahan sebelum sakit dan selama sakit. Pada umumnya aktifitas sebelum
operasi tidak mengalami gangguan, dimana pasien masih mampu memenuhi
kebutuhan sehari – hari sendiri.

7) Seksualitas
Kaji apakah ada masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampua seksual
akibat adanya penurunan kekuatan ejakulasi dikarenakan oleh pembesaran dan
nyeri tekan pada prostat.

8) Pola persepsi dan konsep diri


Meliputi informasi tentang perasaan atau emosi yang dialami atau dirasakan pasien
sebelum pembedahan dan sesudah pembedahan pasien biasa cemas karena
kurangnya pengetahuan terhadap perawatan luka operasi.
3.1 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan pada penyakit BPH menurut Carpenito (2007) dan Tucker dan
Canobbio (2008) adalah :

1. Pre Operasi
a. Retensi urin akut/kronis berhubungan dengan obstruksi mekanik, pembesaran
prostat, dekompensasi otot destrusor, ketidakmampuan kandung kemih untuk
berkontraksi dengan adekuat.

b. Nyeri akut berhubungan dengan peregangan dari terminal saraf, distensi kandung
kemih, infeksi urinaria, efek mengejan saat miksi sekunder dari pembesaran prostat
dan obstruksi uretra.

c. Ansietas/cemas berhubungan dengan krisis situasi, perubahan status kesehatan,


kekhawatiran tentang pengaruhnya pada ADL atau menghadapi prosedur bedah.

d. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan


dengan kurangnya informasi.

2. Post Operasi
a. Retensi urin berhubungan dengan obstruksi mekanik: bekuan darah, edema, trauma,
prosedur bedah, tekanan dan iritasi kateter.

b. Nyeri akut berhubungan dengan spasme kandung kemih dan insisi sekunder pada
pembedahan

c. Resiko perdarahan berhubungan dengan insisi area bedah vaskuler ( tindakan


pembedahan) , reseksi bladder, kelainan profil darah.

d. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama pembedahan,


kateter, irigasi kandung kemih.

e. Resiko terhadap disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan impoten akibat


dari pembedahan.

f. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri sebagai efek


pembedahan

3.3 Intervensi dan Rasional


Intervensi keperawatan pada penyakit BPH menurut Carpenito (2007), dan Tucker dan
Canobbio (2008) adalah:

1. Pra operasi
a. Retensi urin akut/kronis berhubungan dengan obstruksi mekanik, pembesaran
prostat, dekompensasi otot destrusor, ketidakmampuan kandung kemih untuk
berkontraksi dengan adekuat.

Tujuan : Tidak terjadi retensi urine


Kriteria hasil : Pasien menunjukkan residu pasca berkemih kurang
dari 50 ml, dengan tidak adanya tetesan atau kelebihan cairan.

Intervensi :
1) Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam atau bila tiba-tiba dirasakan

Rasional : meminimalkan retensi urin distensi berlebihan pada kandung kemih.


2) Observasi aliran urin, perhatikan ukuran dan kekuatan. Rasional : berguna untuk
mengevaluasi obstruksi dan pilihan intervensi

3) Awasi dan catat waktu tiap berkemih dan jumlah tiap berkemih, perhatikan
penurunan haluaran urin dan perubahan berat jenis. Rasional : retensi urine
meningkatkan tekanan dalam saluran perkemihan atas, yang dapat
mempengaruhi fungsi ginjal. Adanya deficit aliran darah keginjal menganggu
kemampuanya untuk memfilter dan mengkonsentrasi substansi.

4) Lakukan perkusi/palpasi suprapubik


Rasional : distensi kandung kemih dapat dirasakan diarea suprapubik
5) Dorong masukan cairan sampai 3000 ml sehari
Rasional : peningkatan aliran cairan mempertahankan perfusi ginjal dan
membersihkan ginjal dan kandung kemih dari pertumbuhan bakteri

6) Kaji tanda-tanda vital, timbang BB tiap hari, pertahankan pemasukan dan


pengeluaran yang akurat

Rasional : kehilangan fungsi ginjal mengakibatkan penuruna eliminasi cairan


dan akumulasi sisa toksik, dapat berlanjut kepenuruan ginjal total

7) Lakukan rendam duduk sesuai indikasi


Rasional : meningkatkan relaksasi otot, penuruan edema, dan dapat
meningkatkan upaya berkemih.

8) Kolaborasi pemberian obat :


(1) Supositorial rectal
Rasional : supositorial dapat diabsorbsi dengan mudah melalui mukosa
kedalam jaringan kandung kemih untuk menghasilkan relaksasi
otot/menghilangkan spasme

(2) Antibiotic dan antibakteri


Rasional : digunakan untuk melawan infeksi
(3) Fenoksibenzamin (Dibenzyline)
Rasional : diberikan untuk mempermudah berkemih dengan merelaksasi
otot polos prostat dan menurunkan tahanan terhadap aliran urine.

b. Nyeri akut berhubungan dengan peregangan dari terminal saraf, distensi kandung
kemih, infeksi urinaria, efek mengejan saat miksi sekunder dari pembesaran prostat
dan obstruksi uretra.
Tujuan : nyeri hilang, terkontrol
Kriteria hasil : pasien melaporkan nyeri hilang dan terkontrol
pasien tampakrileks, mampu untuk tidur dan
istirahat dengan tepat
Intervensi :
1) Kaji tipe nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0-10)
lamanya.

Rasional : memberikan informasi untuk membantu dalam


menentukan pilihan/keefektifan intervensi
2) Pertahankan tirah baring bila diindikasikan
Rasional : tirah baring mungkin diperlukan pada awal selama fase retensi akut.
Namun ambulasi dini dapat memperbaiki pola berkemih normal dan
menghilangkan nyeri kolik

3) Berikan tindakan kenyamanan, distraksi selama nyeri akut seperti, pijatan


punggung : membantu pasien melakukan posisi yang nyaman: mendorong
penggunaan relaksasi/latihan nafas dalam: aktivitas terapeutik

Rasional : meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian dan dapat


meningkatkan kemampuan koping

4) Dorong menggunakan rendam duduk, gunakan sabun hangat untuk perineum

Rasional : meningkatkan relaksasi otot


5) Kolaborasi pemberian obat pereda nyeri ( analgetik)
Rasional : menurunkan adanya nyeri, dan kaji 30 menit kemudian untuk
mengetahui keefektivitasnya.

c. Ansietas/cemas berhubungan dengan krisis situasi, perubahan status kesehatan,


kekhawatiran tentang pengaruhnya pada ADL atau menghadapi prosedur bedah.

Tujuan : pasien tampak rileks.


Kriteria Hasil : menyatakan pengetahuan yang akurat tentang situasi, menunjukkan
rentang tepat tentang perasaan dan penurunan rasa takut
Intervensi :
1) Damping pasien dan bina hubungan saling percaya Rasional : menunjukkan
perhatian dan keinginan untuk membantu.
2) Berikan informasi tentangprosedur tindakan yang akan
dilakukan

Rasional : Membantu pasien dalam memahami tujuan dari suatu tindakan.

3) Dorong pasien/orang terdekat untuk menyatakan masalah/perasaan

Rasional : Memberikan kesempatan pada pasien dan konsep solusi pemecahan


masalah

4) Beri informasi pada pasien sebelum dilakukan tindakan Rasional :


memungkinkan pasien untuk menerima kenyataan dan menguatkan kepercayaan
pada pemberi perawatan dan pemberian informasi.

e. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan


kurangnya informasi.

Tujuan : Menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan prognosisnya.

Kriteria Hasil : Melakukan perubahan pola hidup dan


berpartisipasi dalam program pengobatan
Intervensi :
1) Dorong pasien menyatakan rasa takut perasaan dan perhatian.
Rasional : Membantu pasien dalam mengalami perasaan.
2) Kaji ulang proses penyakit, pengalaman pasien
Rasional : memberi dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan
terapi

3) Berikan informasi tentang penyakit yang diderita pasien


Rasional : meningkatkan pengetahuan pasien terhadap penyakit yang
dideritanya

4) Berikan penjelasan tentang tindakan/pengobatan yang akan dilakukan

Rasional : meningkatkan pengetahuan pasien terhadap tindakan untuk


menyembuhkan penyakitnya.

2. Post operasi
a. Retensi urin berhubungan dengan obstruksi mekanik: bekuan darah, edema, trauma,
prosedur bedah, tekanan dan iritasi kateter.

Tujuan : Pasien berkemih dengan jumlah normal tanpa retensi


Kriteria Hasil : Menunjukkan perilaku yang meningkatkan control kandung
kemih/urinaria, pasien mempertahankan keseimbangan cairan :
asupan sebanding dengan haluaran.

Intervensi :
1) Kaji haluaran urine dan system drainase, khususnya selama irigasi berlangsung

Rasional : retensi dapat terjadi karena edema area bedah, bekuan darah dan
spasme kandung kemih.

2) Bantu pasien memilih posisi normal untuk berkemih Rasional : mendorong


pasase urine dan menngkatkan rasa normalitas.

3) Perhatikan waktu, jumlah berkemih dan ukuran aliran setelah kateter dilepas.

Rasional : kateter biasa lepas 2-5 hari setelah bedah, tetapi berkemih dapat
berlanjut sehingga menjadi masalah untuk beberapa waktu karena edema
uretral dan kehilangan tonus.

4) Dorong pemasukan cairan 3000 ml sesuai toleransi, batasi cairan pada malam
hari setelah kateter dilepas
Rasional : mempertahankan hidrasi adekuat dan perfusi ginjal untuk aliran
urine “penjadwalan” masukan cairan menurunkan kebutuhan
berkemih/gangguan tidur selama malam hari.

5) Pertahankan irigasi kandung kemih continue (continous bladder


irrigation)/CBI sesuai indikasi pada periode pascaoperasi

Rasional : mencuci kandung kemih dari bekuan darah dan debris untuk
mempertahankan patensi kateter.

b. Nyeri akut berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi sekunder pada
pembedahan, dan pemasangan kateter.
Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang.
Kriteria Hasil :
1 Pasien mengatakan nyeri berkurang
)
2 Ekspresi wajah pasien tenang
)
3 Pasien akan menunjukkan ketrampilan
) relaksasi.

4 Pasien akan tidur / istirahat dengan tepat.


)
5 Tanda – tanda vital dalam batas normal.
)
Intervensi :
1) Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0-10)
Rasional : nyeri tajam, intermitten dengan dorongan berkemih sekitar kateter
menunjukkan spasme kandung kemih.

2) Jelaskan pada pasien tentang gejala dini spasmus kandung kemih. Rasional : Kien
dapat mendeteksi gajala dini spasmus kandung kemih.

3) Pertahankan patensi kateter dan system drainase. Pertahankan selang bebas dari
lekukan dan bekuan

Rasional : mempertahankan fungsi kateter dan drainase system. Menurunkan resiko


distensi/spasme kandung kemih

4) Berikan informasi yang akurat tentang kateter, drainase, dan spasme kandung
kemih

Rasional : menghilangkan ansietas dan meningkatkan kerjasama.


5) Kolaborasi pemberian antispasmodic contoh :
(1) Oksibutinin klorida (Ditropan), supositoria
Rasional : merilekskan otot polos, untuk memberikan penurunan spasme dan
nyeri

(2) Propantelin bromide (pro-bantanin)


Rasional : menghilangkan spasme kandung kemih oleh kerja antikolinergik.

c. Resiko perdarahan berhubungan dengan insisi area bedah vaskuler


(tindakan pembedahan) , reseksi bladder, kelainan profil darah
Tujuan : Tidak terjadi perdarahan
Kriteria Hasil : 1) Pasien tidak menunjukkan tanda – tanda perdarahan

2) Tanda – tanda vital dalam batas


normal .
3) Urine lancar lewat kateter
Intervensi :

1) Jelaskan pada pasien tentang sebab terjadi perdarahan setelah pembedahan dan
tanda – tanda perdarahan .
Rasional : Menurunkan kecemasan pasien dan mengetahui tanda – tanda
perdarahan.

2) Irigasi aliran kateter jika terdeteksi gumpalan dalm saluran kateter .

Rasional : Gumpalan dapat menyumbat kateter, menyebabkan peregangan dan


perdarahan kandung kemih

3) Sediakan diet makanan tinggi serat dan memberi obat untuk memudahkan
defekasi .

Rasional : Dengan peningkatan tekanan pada fosa prostatik yang akan


mengendapkan perdarahan

4) Mencegah pemakaian termometer rektal, pemeriksaan rektal atau huknah,


untuk sekurang – kurangnya satu minggu . Rasional : Dapat menimbulkan
perdarahan prostat
5) Pantau traksi kateter: catat waktu traksi di pasang dan kapan traksi dilepas .

Rasional : Traksi kateter menyebabkan pengembangan balon ke sisi fosa


prostatik, menurunkan perdarahan. Umumnya dilepas 3 – 6 jam setelah
pembedahan

6) Observasi tanda – tanda vital tiap 4 jam, masukan dan haluaran


Warna urine

Rasional : Deteksi awal terhadap komplikasi, dengan intervensi yang tepat


mencegah kerusakan jaringan yang permanen.

d. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama pembedahan,


kateter, irigasi kandung kemih sering
Tujuan : Pasien tidak menunjukkan tanda – tanda infeksi
Kriteria Hasil :
1) Pasien tidak mengalami infeksi.
2) Dapat mencapai waktu penyembuhan.
3) Tanda – tanda vital dalam batas normal dan
tidak ada tanda – tanda syok.

Intervensi :
1) Pertahankan sistem kateter steril, berikan perawatan kateter dengan steril.

Rasional : Mencegah pemasukan bakteri dan infeksi.


2) Anjurkan intake cairan yang cukup ( 2500 – 3000 ) sehingga dapat menurunkan
potensial infeksi.

Rasional : Meningkatkan output urine sehingga resiko terjadi ISK dikurangi dan
mempertahankan fungsi ginjal

3) Pertahankan posisi urinebag dibawah


Rasional : Menghindari refleks balik urine yang dapat memasukkan bakteri ke
kandung kemih.

4) Observasi tanda – tanda vital, laporkan tanda – tanda shock dan demam.
Rasional : Mencegah sebelum terjadi shock.
5) Observasi urine: warna, jumlah, bau.
Rasional : Mengidentifikasi adanya infeksi.
6) Kolaborasi dengan dokter untuk memberi obat antibiotic
Rasional :Untuk mencegah infeksi dan membantu proses
penyembuhan.

e. Resiko terhadap disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan impoten akibat dari
pembedahan.
Tujuan : Tampak rileks dan melaporkan ansietas
menurun sampai tingkat dapat diatasi
Kriteria : Menyatakan pemahaman situasional individu,
Hasil menunjukan pemecahan masalah dan
menunjukkan rentang yang tepat tentang
perasaan dan penurunan rasa takut.

Intervensi :
1) Dampingi pasien dan bina hubungan saling percaya
Rasional : Menunjukka perhatian dan keinginan untuk membantu
2) Berikan informasi yang tepat tentang harapan kembalinya fungsi seksual

Rasional : impotensi fisiologis terjadi bila syaraf perineal dipotong selama prosedur
radikal.

3) Diskusikan ejakulasi retrograde bila pendekatan


transurethral/suprapubik digunakan
Rasional : cairan seminal mengalir kedalam kandung kemih dan disekresikan melalui
urine, hal ini tidak mempengaruhi fungsi seksual tetapi akan menurunkan kesuburan
dan menyebabkan urine keruh

4) Anjurkan pasien untuk latihan perineal dan interupsi/continue aliran urin

Rasional : meningkatkan peningkatan control otot kontinensia urin dan fungsi seksual.
f. Gangguan tidu berhubungan dengan nyeri sebagai efek
pola r
pembedahan
Tujuan : Kebutuhan tidur dan istirahat terpenuhi.
Kriteria hasil :
1) Pasien mampu beristirahat / tidur
dalam waktu yang cukup.

2) Pasien mengungkapan sudah bisa


tidur
3) Pasien mampu menjelaskan
faktor penghambat tidur .
Intervensi :
1) Jelaskan pada pasien dan keluarga penyebab gangguan tidur dan kemungkinan
cara untuk menghindari.

Rasional : meningkatkan pengetahuan pasien sehingga mau kooperatif dalam tindakan


perawatan

2) Ciptakan suasana yang mendukung, suasana tenang dengan mengurangi


kebisingan .

Rasional : Suasana tenang akan mendukung istirahat


3) Beri kesempatan pasien untuk mengungkapkan penyebab gangguan tidur.

Rasional : Menentukan rencana mengatasi gangguan


4) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat yang dapat mengurangi
nyeri/analgetik.

Rasional : Mengurangi nyeri sehingga pasien bisa istirahat dengan cukup .


BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan.

Benigna Prostate Hiperplasia (BPH) merupakan pembesaran kelenjar prostat,


memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urine dengan
menutupi orifisium uretra akibatnya terjadi dilatasi ureter (hidroureter) dan ginjal
(hidronefrosis)secara bertahap (smeltzer & Bare, 2002).
BPH merupakan pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk dalam
prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai poliferasi yang
terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang terisa, prostat tersebut
mengelilingi uretra dan pembesaran bagian periuretral menyebabkan obstruksi leher
kandung kemih dan uretra parsprostatika yang menyebabkan aliran kemih dari
kandung kemih (Price & Wilson, 2006).

Anda mungkin juga menyukai