Anda di halaman 1dari 14

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

DENGAN GANGGUAN FRAKTUR

OLEH

KANISIUS WENGGO (1614201013)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ST. PAULUS RUTENG

2018
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 DEFENISI
Fraktur adalah terutusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stres yang lebih besar dari yang dapat
diapsorpsinya. Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya mermuk
gerakan punter mendadak, dan bahkan kontraksi otot extreme1
Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan, baik yang bersifat
total maupun sebagaian. Fraktur dikenal dengan istilah patah tulang. Biasanya
disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan,sudut,tenaga,keadaan tulang,
dan jaringan lunak sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi
tersebut lengkap atau tidak lengkap. Fraktur lengkap apabila seluruh tulang
patah, sedangkan fraktur tidak lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang
(Sylvia A. price, 1999). Pada berberapa keadaan trauma musculoskeletal, sering
fraktur dan dislokasi terjadi bersamaan. Dislokasi atau luksasio adalah
kehilangan hubungan yang normal antara kedua permukan sendi secara komplet2

1.2 ETIOLOGI
Menurut Sachdeva (1996), penyebab fraktur dapat dibagi menjadi tiga yaitu :
a. Cedera traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :
1) Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang pata
secara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan
pada kulit diatasnya.
2) Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan,
misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan menyebabkan fraktur klavikula.
3) Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang kuat.

1
Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Brunned & Suddarth Ed. 8. Jakarta: EGC. Hal. 2357
2
NS. Arif Muttaqin, S.Kep. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Muskulokuletal. Jakarta:
EGC. 2005. Hal. 69
b. Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma minor
dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada berbagai keadaan berikut :
1) Tumor tulang (jinak atau ganas) : pertumbuhan jaringan baru yang tidak terkendali
dan progresif.
2) Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau dapat
timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan sakit nyeri.
3) Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi Vitamin D yang
mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya disebabkan oleh defisiensi diet,
tetapi kadang-kadang dapat disebabkan kegagalan absorbsi Vitamin D atau oleh
karena asupan kalsium atau fosfat yang rendah.
c. Secara spontan : disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya pada
penyakit polio dan orang yang bertugas dikemiliteran.

1.3 PATOFISIOLOGI

Proses penyembuhan luka terdiri dari beberapa fase yaitu :


1. Fase hematum
• Dalam waktu 24 jam timbul perdarahan, edema, hematume disekitar fraktur
• Setelah 24 jam suplai darah di sekitar fraktur meningkat
2. Fase granulasi jaringan
• Terjadi 1 – 5 hari setelah injury
• Pada tahap phagositosis aktif produk neorosis
• Itematome berubah menjadi granulasi jaringan yang berisi pembuluh darah baru
fogoblast dan osteoblast.
3. Fase formasi callus
• Terjadi 6 – 10 harisetelah injuri
• Granulasi terjadi perubahan berbentuk callus
4. Fase ossificasi
• Mulai pada 2 – 3 minggu setelah fraktur sampai dengan sembuh
• Callus permanent akhirnya terbentuk tulang kaku dengan endapan garam kalsium
yang menyatukan tulang yang patah
5. Fase consolidasi dan remadelling
• Dalam waktu lebih 10 minggu yang tepat berbentuk callus terbentuk dengan
oksifitas osteoblast dan osteuctas (Black, 1993 : 19 ).

1.4 MANIFESTASI KLINIS3


Adapun manifestasi klinis pada pasien dengan gangguan Fraktur adalah sebagai
berikut :
1. Nyeri terus menerus
2. Hilangnya fugsi (fungsiolaesa)
3. Deformitas
4. Pemendekan ekstremitas
5. Krepitus
6. Pembengkakan local
7. Prubahan warna
1.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang medis
1. Pemeriksaan radiologis.
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah pemeriksaan
pencitraan menggunakan sinar rontgen (sinar- X). untuk mendapatkan
gambaran tiga dimensi dari keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, kita
memerlukan dua proyeksi, yaitu AP dan PA dan lateral. Dalam keadaan
tertentu diperllukan proyeksi tambahan (khusus) jika ada indikasi untuk
memperlihatkan patologi yang dicari karena adanya super posisi. Perlu
disadari bahwa peemintaan sinar-X harus atas dasar indikasi kegunaan.
Pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan.
Selain foto polos sinar-X mungkin diperlukan teknis khusus, seperti hal-
hal berikut :
 Tomografi, menggambarkan tidak hanya satu struktur saja,
tetapi juga struktur tertutup yang sulit divisualisasikan. Pada
kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks, tidak
hanya pada satu struktur saja, tetapi pada sturktu lain yang juga
mengalami kerusakan.

3
Suratum, SKM. Seri Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Muskulokuletal. Jakarta: EGC. 2006. Hal.
150
 Mielografi, menggambarkan cabang-cabanag saraf spinal dan
pembukuh darah di ruang ruling vertebra yang mengalami
kerusakan akibat trauma.
 Artrografi, menggambarkan jaringan ikat yang rusak karena
ruda paksa.
 Computed tomography (scanning, menggambarkan potongan
secara tranversal dari tulang tempat terdapatnya struktur tulang
yang rusak.
2. Pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan laboratorium yang lazim digunakan untuk mengetahui lebih
jauh kelainan yang terjadi meliputi hal-hal sebagai berikut :
 Kalsium serum dan fosfor serum meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
 Fosfataset alkali meningkat pada saat kerusakan tulang dan
menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
 Enzim otot seperti kreatinin kinase, laktat dehidrogenasi (LDH-
5), aspartate amino transferase (AST), dan aldolase meningkat
pada tahap penyembuhan tulang.
3. Pemeriksaan lain-lain
Pada pemeriksaan kultur mikroorganisme dan tes sensitivitas didapatkan
mokroorganisme penyebab infeksi.
 Biopsi tulang dan otot : pada intinya, pemeriksaan ini sama
dengan pemeriksaan diatas, tetapi lebih diindikasikan bila
terjadi infeksi.
 Elektromiografi : terdapat kerusakan konduksi saraf akibat
fraktur.
 Artroskopi : didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek
karena trauma yang berlebihan.
 Indium imaging : pada pemeriksaan ini didapatkan adanya
infeksi pada tulang.
 MRI : menggambarkan semua kerussakan akibat fraktur.
Pemeriksan penunjang keperawatan4

4
Ibid. hal. 82
1. Penatalaksanaan konservatif. Penatalaksanaan konservatif merupakan
penatalaksanaan nonpembedahan agar imobilisasi pada patah tulang dapat
terpenuhi.
 Proteksi (tanpa reduksi atau imobilisasi). Proteksi Fraktur terutama
untuk mencegah trauma lebih lanjut dengan cara memberikan
sling(mitela) pada anggota gerak atas atau tongkat pada anggota
gerak bawah. Tindakan ini terutama diindikasikan pada fraktur-
fraktur tidak bergeser, fraktur iga yang stabil, falang dan
metakarpal, atau fraktur klavikula pada anak. Indikasi lain yaitu
fraktur kompresi tulang belakang, fraktur impaksi pada humerus
proksimal, serta fraktur yang sudah mengalami union secara klinis,
tetapi belum mencapai konsolidasi radiologis.
 Imobilisasi dengan bidai eksterna (tanpa reduksi). Imobilisasi pada
frkatur dengan bidai eksterna hanya memberikan sedikit
imobilisasi. Biasanya menggunakan plaster of Paris (Gips) atau
dengan bermacam-macam bidai dari plastic atau metal. Metode ini
digunakan pada fraktur yang perlu dipertahankan pada posisinya
dalam proses penyembuhan.
 Reduksi tertutup dengan manipulasi dan imobilisasi eksterna yang
menggunakan gips. Reduksi tertutup yang diartikan manipulasi
dilakukan dengan pembiusan umum dan local. Reposisi yang
dilakukan melawan kekuatan terjadinya fraktur. Penggunaan gips
untuk imobilisasi merupakan alat utama pada teknik ini.
Indikasi tindakan ini :
Sebagai bidai pada fraktur untuk pertolongn pertama
Imobilisasi sebagai pengobatan definitif pada fraktur
Pada fraktur yang bergeser diperlukan manipulasi dan
diharapkan dapat dilakukan reduksi tertutup serta
dipertahankan.
Fraktur yang tidak stabil atau berdifat kominutif
bergerak.
Imobilisasi untuk mencegah fraktur patologis
Sebagai alat bantu tambahan pada fiksasi internal yang
kurang kuat
Reduksi tertutup dengan traksi berlanjut yang diikuti
dengan imobilisasi.
Reduksi tertutup pada fraktur yang dikuti dengan traksi
berlanjut dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu
traksi kulit dan traksi tulang.
Traksi adalah pemasangan gaya tarikan ke bagian
tubuh. Traksi digunakan untuk meminimalkan spasme
otot; untuk mereduksi, menyejajarkan, dan
mengimobilisasi fraktur; unruk mengurangi deformitas;
dan untuk menambah ruangan diantara kedua
permukaan patahan tulang.
BAB II

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

2.1 PENGKAJIAN

Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan secara menyeluruh
(Boedihartono, 1994 : 10).
Pengkajian pasien Post op frakture Olecranon (Doenges, 1999) meliputi :
a. Sirkulasi
Gejala : riwayat masalah jantung, GJK, edema pulmonal, penyakit vascular perifer, atau
stasis vascular (peningkatan risiko pembentukan trombus).
b. Integritas ego
Gejala : perasaan cemas, takut, marah, apatis ; factor-faktor stress multiple, misalnya
financial, hubungan, gaya hidup.
Tanda : tidak dapat istirahat, peningkatan ketegangan/peka rangsang ; stimulasi simpatis.
c. Makanan / cairan
Gejala : insufisiensi pancreas/DM, (predisposisi untuk hipoglikemia/ketoasidosis) ; malnutrisi
(termasuk obesitas) ; membrane mukosa yang kering (pembatasan pemasukkan / periode
puasa pra operasi).
d. Pernapasan
Gejala : infeksi, kondisi yang kronis/batuk, merokok.
e. Keamanan
Gejala : alergi/sensitive terhadap obat, makanan, plester, dan larutan ; Defisiensi immune
(peningkaan risiko infeksi sitemik dan penundaan penyembuhan) ; Munculnya kanker / terapi
kanker terbaru ; Riwayat keluarga tentang hipertermia malignant/reaksi anestesi ; Riwayat
penyakit hepatic (efek dari detoksifikasi obat-obatan dan dapat mengubah koagulasi) ;
Riwayat transfuse darah / reaksi transfuse.
Tanda : menculnya proses infeksi yang melelahkan ; demam.
f. Penyuluhan / Pembelajaran
Gejala : pengguanaan antikoagulasi, steroid, antibiotic, antihipertensi, kardiotonik glokosid,
antidisritmia, bronchodilator, diuretic, dekongestan, analgesic, antiinflamasi, antikonvulsan
atau tranquilizer dan juga obat yang dijual bebas, atau obat-obatan rekreasional. Penggunaan
alcohol (risiko akan kerusakan ginjal, yang mempengaruhi koagulasi dan pilihan
anastesia,dan juga potensial bagi penarikan diri pasca operasi).

2.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN

NO DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan fragmen
tulang, edema dan cedera pada jaringan, alat traksi/immobilisasi, stress, ansietas

2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan dispnea, kelemahan/keletihan, ketidak


edekuatan oksigenasi, ansietas, dan gangguan pola tidur.

3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan status


metabolik, kerusakan sirkulasi dan penurunan sensasi dibuktikan oleh terdapat
luka / ulserasi, kelemahan, penurunan berat badan, turgor kulit buruk, terdapat
jaringan nekrotik.

4. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidak nyamanan,


kerusakan muskuloskletal, terapi pembatasan aktivitas, dan penurunan
kekuatan/tahanan.
5. Risiko infeksi berhubungan dengan stasis cairan tubuh, respons inflamasi
tertekan, prosedur invasif dan jalur penusukkan, luka/kerusakan kulit, insisi
pembedahan.
6. Risiko infeksi berhubungan dengan stasis cairan tubuh, respons inflamasi
tertekan, prosedur invasif dan jalur penusukkan, luka/kerusakan kulit, insisi
pembedahan.

2.3 INTERVENSI

1. Nyeri adalah pengalaman sensori serta emosi yang tidak menyenangkan dan meningkat
akibat adanya kerusakan jaringan aktual atau potensial, digambarkan dalam istilah seperti
kerusakan ; awitan yang tiba-tiba atau perlahan dari intensitas ringan samapai berat dengan
akhir yang dapat di antisipasi atau dapat diramalkan dan durasinya kurang dari enam bulan.
Tujuan : nyeri dapat berkurang atau hilang.
Kriteria Hasil : - Nyeri berkurang atau hilang
- Klien tampak tenang.
Intervensi dan Implementasi :
a. Lakukan pendekatan pada klien dan keluarga
R/ hubungan yang baik membuat klien dan keluarga kooperatif
b. Kaji tingkat intensitas dan frekwensi nyeri
R/ tingkat intensitas nyeri dan frekwensi menunjukkan skala nyeri
c. Jelaskan pada klien penyebab dari nyeri
R/ memberikan penjelasan akan menambah pengetahuan klien tentang nyeri.
d. Observasi tanda-tanda vital.
R/ untuk mengetahui perkembangan klien
e. Melakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgesik
R/ merupakan tindakan dependent perawat, dimana analgesik berfungsi untuk memblok
stimulasi nyeri.
2. Intoleransi aktivitas adalah suatu keadaaan seorang individu yang tidak cukup mempunyai
energi fisiologis atau psikologis untuk bertahan atau memenuhi kebutuhan atau aktivitas
sehari-hari yang diinginkan.
Tujuan : pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
Kriteria hasil : - perilaku menampakan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan diri.
- pasien mengungkapkan mampu untuk melakukan beberapa aktivitas tanpa dibantu.
- Koordinasi otot, tulang dan anggota gerak lainya baik.
Intervensi dan Implementasi :
a. Rencanakan periode istirahat yang cukup.
R/ mengurangi aktivitas yang tidak diperlukan, dan energi terkumpul dapat digunakan untuk
aktivitas seperlunya secar optimal.
b. Berikan latihan aktivitas secara bertahap.
R/ tahapan-tahapan yang diberikan membantu proses aktivitas secara perlahan dengan
menghemat tenaga namun tujuan yang tepat, mobilisasi dini.
c. Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan sesuai kebutuhan.
R/ mengurangi pemakaian energi sampai kekuatan pasien pulih kembali.
d. Setelah latihan dan aktivitas kaji respons pasien.
R/ menjaga kemungkinan adanya respons abnormal dari tubuh sebagai akibat dari latihan.
3. Kerusakan integritas kulit adalah keadaan kulit seseorang yang mengalami perubahan
secara tidak diinginkan.
Tujuan : Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.
Kriteria Hasil : - tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
- luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
- Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi dan Implementasi :
a. Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka.
R/ mengetahui sejauh mana perkembangan luka mempermudah dalam melakukan tindakan
yang tepat.
b. Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka.
R/ mengidentifikasi tingkat keparahan luka akan mempermudah intervensi.
c. Pantau peningkatan suhu tubuh.
R/ suhu tubuh yang meningkat dapat diidentifikasikan sebagai adanya proses peradangan.
d. Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptik. Balut luka dengan kasa kering dan steril,
gunakan plester kertas.
R/ tehnik aseptik membantu mempercepat penyembuhan luka dan mencegah terjadinya
infeksi.
e. Jika pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindakan lanjutan, misalnya debridement.
R/ agar benda asing atau jaringan yang terinfeksi tidak menyebar luas pada area kulit normal
lainnya.
f. Setelah debridement, ganti balutan sesuai kebutuhan.
R/ balutan dapat diganti satu atau dua kali sehari tergantung kondisi parah/ tidak nya luka,
agar tidak terjadi infeksi.
g. Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.
R / antibiotik berguna untuk mematikan mikroorganisme pathogen pada daerah yang berisiko
terjadi infeksi.
4. Hambatan mobilitas fisik adalah suatu keterbatasan dalam kemandirian, pergerakkan fisik
yang bermanfaat dari tubuh atau satu ekstremitas atau lebih.
Tujuan : pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.
Kriteria hasil : - penampilan yang seimbang..
- melakukan pergerakkan dan perpindahan.
- mempertahankan mobilitas optimal yang dapat di toleransi, dengan karakteristik :
    0 = mandiri penuh
    1 = memerlukan alat Bantu.
    2 = memerlukan bantuan dari orang lain untuk bantuan, pengawasan, dan pengajaran.
    3 = membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat Bantu.
    4 = ketergantungan; tidak berpartisipasi dalam aktivitas.
Intervensi dan Implementasi :
g. Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan peralatan.
R/ mengidentifikasi masalah, memudahkan intervensi.
h. Tentukan tingkat motivasi pasien dalam melakukan aktivitas.
R/ mempengaruhi penilaian terhadap kemampuan aktivitas apakah karena ketidakmampuan
ataukah ketidakmauan.
i. Ajarkan dan pantau pasien dalam hal penggunaan alat bantu.
R/ menilai batasan kemampuan aktivitas optimal.
j. Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif.
R/ mempertahankan /meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot.
k. Kolaborasi dengan ahli terapi fisik atau okupasi.
R/ sebagai suaatu sumber untuk mengembangkan perencanaan dan
mempertahankan/meningkatkan mobilitas pasien.
5. Risiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan perifer, perubahan
sirkulasi, kadar gula darah yang tinggi, prosedur invasif dan kerusakan kulit.
Tujuan : infeksi tidak terjadi / terkontrol.
Kriteria hasil : - tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
- luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
- Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi dan Implementasi :
a. Pantau tanda-tanda vital.
R/ mengidentifikasi tanda-tanda peradangan terutama bila suhu tubuh meningkat.
b. Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik.
R/ mengendalikan penyebaran mikroorganisme patogen.
c. Lakukan perawatan terhadap prosedur inpasif seperti infus, kateter, drainase luka, dll.
R/ untuk mengurangi risiko infeksi nosokomial.
d. Jika ditemukan tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan darah, seperti Hb dan leukosit.
R/ penurunan Hb dan peningkatan jumlah leukosit dari normal bisa terjadi akibat terjadinya
proses infeksi.
e. Kolaborasi untuk pemberian antibiotik.
R/ antibiotik mencegah perkembangan mikroorganisme patogen.
6. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan
dengan keterbatasan kognitif, kurang terpajan/mengingat, salah interpretasi informasi.
Tujuan : pasien mengutarakan pemahaman tentang kondisi, efek prosedur dan proses
pengobatan.
Kriteria Hasil : - melakukan prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan dari suatu
tindakan.
- memulai perubahan gaya hidup yang diperlukan dan ikut serta dalam regimen perawatan.
Intervensi dan Implementasi:
a. Kaji tingkat pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakitnya.
R/ mengetahui seberapa jauh pengalaman dan pengetahuan klien dan keluarga tentang
penyakitnya.
b. Berikan penjelasan pada klien tentang penyakitnya dan kondisinya sekarang.
R/ dengan mengetahui penyakit dan kondisinya sekarang, klien dan keluarganya akan merasa
tenang dan mengurangi rasa cemas.
c. Anjurkan klien dan keluarga untuk memperhatikan diet makanan nya.
R/ diet dan pola makan yang tepat membantu proses penyembuhan.
d. Minta klien dan keluarga mengulangi kembali tentang materi yang telah diberikan.
R/ mengetahui seberapa jauh pemahaman klien dan keluarga serta menilai keberhasilan dari
tindakan yang dilakukan.

2.4 EVALUASI

Evaluasi addalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan dalam
pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau
intervensi keperawatan ditetapkan (Brooker, 2001).
Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan post operasi fraktur adalah :
1. Nyeri dapat berkurang atau hilang setelah dilakukan tindakan keperawatan.
2. Pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
3. Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai
4. Pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.
5. Infeksi tidak terjadi / terkontrol
6. Pasien mengutarakan pemahaman tentang kondisi, efek prosedur dan proses pengobatan.

DAFTAR PUSTAKA
Ns. Arif Muttaqin. 2005. Buku Ajar ASUHAN KEPERAWATANKLIEN GANGGUAN
SISTEM MUSKULOSKULETAL. EGC. Jakarta
Suratum. 2006. Seri Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Muskuloskuletal.
EGC. Jakarta.
Suzanne C. Smeltzer. 1997. BUKU AJAR Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth Ed.8.EGC. Jakarta

Black, Joyce M. 1993. Medical Surgical Nursing. W.B Sainders Company :


Philadelpia
Boedihartono, 1994, Proses Keperawatan di Rumah Sakit. EGC : Jakarta.
Brooker, Christine. 2001. Kamus Saku Keperawatan. EGC : Jakarta.
Brunner dan Suddarth, 2002, Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 3, EGC, Jakarta
Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3.EGC : Jakarta.
E. Oerswari 1989, Bedah dan Perawatannya, PT Gramedia. Jakarta
Nasrul, Effendi. 1995. Pengantar Proses Keperawatan. EGC. Jakarta.
Sjamsuhidajat, R. dan Wim de Jong. 1998. Buku Ajar Imu Bedah, Edisi revisi. EGC : Jakarta
Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan, edisi 7. EGC : Jakarta.
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah dari Brunner &
Suddarth, Edisi 8.EGC : Jakarta.
FKUI. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Binarupa Aksara : Jakarta

Anda mungkin juga menyukai