Dosen Pembimbing :
Rojali, SKM.,M.Epid
Disusun Oleh :
Jl. Hang Jebat III No.4 No.8, RT.4/RW.8, Gunung, Kec. Kby. Baru, Kota Jakarta Selatan,
Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12120
2021
Kata Pengantar
Puji dan syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, tak lupa shalawat serta salam
senantiasa tercurahkan kepada baginda Rasulullah SAW. Atas limpahan nikmat dan karunia-
Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini sebagai tugas Mata Kuliah Penyakit Berbasis
Lingkungan.
Dalam penyusunan makalah ini tentunya tak sedikit hambatan yang kami hadapi. Akan tetapi
hambatan itu berhasil kami atasi berkat semangat, kerja keras, doa dan bimbingan dosen kami
yakni Bapak Rojali, SKM.,M.Epid dan Ibu Sri Ani, SKM.MKM.
Dengan disusunnya makalah ini kami harap dapat memberikan pengetahuan baru bagi para
pembaca mengenai penyakit flu burung. Makalah ini kami susun berdasarkan pengamatan dari
berbagai sumber informasi, referensi, jurnal, dan berita.
Kami harap makalah ini dapat memberikan ilmu yang bermanfaat dan dapat memperluas ilmu
para pembaca, khususnya mahasiswa/I Politeknik Kesehatan Kemenkes Jakarta II jurusan
Kesehatan Lingkungan. Kami sadar bahwa selama penulisan makalah ini terdapat banyak
kekurangan. Oleh karena itu, kami harap dosen pembimbing kami dapat memberikan
masukannya agar kami dapat memperbaiki kesalahan kami dan membuat makalah dengan lebih
baik lagi. Begitupun kepada pembaca, kami sangat terbuka untuk menerima kritik dan saran
dari para pembaca.
Penulis
i
Daftar Isi
ii
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini akan dibahas tentang latar belakang, rumusan masalah, dan tujuan
penulisan.
Berdasarkan laporan resmi World Health Organitation (WHO) jumlah kasus flu burung
pada manusia di wilayah Asia Tenggara yang dilaporkan sejak awal tahun 2004 sampai 31
Desember 2013, sebanyak 228 kasus dengan 181 kematian atau Case Fatallity Rate (CFR)
sebesar 79,38%. Khusus tahun 2013 terdapat 4 kasus dengan 4 kematian flu burung pada
manusia yang dilaporkan ke WHO oleh negara Bangladesh dan Indonesia (WHO, 2013a).
Flu burung pertama kali masuk ke wilayah ASEAN pada tahun 2003 melalui negara
Vietnam, dengan dinyatakannya 3 orang yang menderita penyakit tersebut dan seluruhnya
meninggal. Kemudian pada tahun 2004 jumlah kasus meningkat menjadi 46 dengan 32
kematian (CFR = 69,56%). Selain itu, negara Thailand juga telah terinfeksi virus H5N1 di
Tahun 2004 (Kemenkes RI, 2013b).
Pada akhir tahun 2005 jumlah penderita dan negara yang terinfeksi flu burung terus
bertambah menjadi 90 orang dengan 38 kematian (CFR = 42,22%). Walaupun jumlah kasus
flu burung terus menurun ditahun-tahun berikutnya, tetapi tidak demikian dengan angka
kematiannya. Pada tahun 2009 terdapat 27 kasus pada 3 negara di ASEAN dengan 24 kematian
(CFR = 88,89%). Kemudian pada tahun 2010 terjadi penurunan CFR menjadi 58,82% (17
kasus dengan 10 kematian), tetapi kembali meningkat pada tahun 2011 dengan CFR sebesar
90% (20 kasus dengan 18 kematian) dan mengalami penurunan pada tahun 2012 menjadi
87,5% (16 kasus dengan 14 kematian). Sampai dengan akhir tahun 2012, terdapat 6 negara di
wilayah ASEAN telah terinfeksi flu burung yaitu Vietnam, Thailand, Indonesia, Laos,
Myanmar dan Kamboja (Kemenkes RI, 2013b).
1
2
Pada tahun 2012 CFR kasus flu burung di Indonesia naik menjadi 100% (9 kasus dengan
9 kematian) dari tahun sebelumnya (Kemenkes RI, 2013b). Selain menginfeksi ayam, virus
tersebut juga dapat menginfeksi babi, kalkun, dan manusia (Yuliarti, 2006). Jumlah konfirmasi
kasus flu burung di Indonesia paling banyak dilaporkan pada tahun 2006, setelah itu jumlah
kasus flu burung terus menurun dari tahun ke tahun, yaitu dari 55 kasus pada tahun 2006
menjadi 9 kasus pada tahun 2012. Sampai dengan tahun 2012 terdapat ada 15 provinsi yang
tertular Flu Burung, yaitu Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Bengkulu,
Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Banten, Bali,
Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat (Kemenkes RI, 2013b). Berdasarkan laporan resmi
WHO, sampai dengan April 2014 konfirmasi kasus flu burung pada manusia di Indonesia
tercatat sebanyak 195 kasus dengan 163 kematian (WHO,
2014a).
▪ Demam
▪ Batuk
▪ Sakit tenggorokan
▪ Nyeri otot
▪ Sakit kepala
▪ Kelelahan
▪ Hidung berair atau tersumbat
▪ Sesak napas
Pada beberapa penderita, gejala lain yang juga dapat timbul antara lain muntah, sakit perut,
diare, gusi berdarah, mimisan, nyeri dada, dan mata merah (konjungtivitis). Pada infeksi yang
3
4
berat, flu burung bahkan bisa menyebabkan pneumonia, acute respiratory distress syndrome
(ARDS), gagal napas, kejang, dan gangguan sistem saraf.
masa inkubasi virus influenza ini pada manusia rata-rata adalah 3 hari (Depkes dan WHO,
2006).
Dalam penelitian ini, melalui status health folder penderita positif flu burung dari mulai
terjadinya interaksi di masa pre-patogenesis sampai pada titik awal munculnya gejala klinis
rata-rata masa inkubasi adalah 7 hari. Rentang nilai masa inkubasi penyakit flu burung dalam
penelitian ini diperoleh mulai dari masa inkubasi minimal 2 (dua) hari dan maksimal 20 hari.
Hasil analisis yang digunakan menunjukan terjadinya masa inkubasi penyakit flu
burung yang cukup lama sampai 20 hari disebabkan daya tahan tubuh seseorang pada saat itu
baik dan kemampuan virus H5N1 tidak cukup untuk secara cepat menginfeksi manusia dan
menimbulkan penyakit. Namun setelah virus H5N1 masuk dalam tubuh secara perlahan
menjadi virulen sehingga akhirnya daya tahan tubuh tidak kuat melawan virulensi virus H5N1
dan akhirnya menjadi sakit.
Pada masa inkubasi yang pendek yaitu hanya 2 hari dianalisis karena adanya tingkat
virulensi H5N1 yang tinggi. Menurut WHO (2006), unggas yang sakit bahkan mati akan
mengeluarkan virus dengan jumlah besar dalam kotorannya. Dari analisis status health folder
penderita flu burung, seperti yang terjadi pada pasien-16,-18, dan serta lainnya menunjukan
bahwa virulensi virus H5N1 pada unggas mati menyebabkan patogenesis penyakit terjadi
sangat cepat. Namun kondisi inipun sebenarnya sangat dipengaruhi oleh imunitas tubuh.
Masa inkubasi penyakit flu burung pada manusia berdasarkan dari studi kasus yang
dikumpulkan memperlihatkan begitu cepatnya transmisi H5N1 dari unggas ke manusia.
Masuknya bibit penyakit H5N1 pada manusia merupakan suatu risiko semua orang karena dari
hasil penelitian ini menunjukan justru potensi penularan terjadi di lingkungan sekitar rumah.
Menurut Depkes RI (2006) menyatakan bahwa avian influenza (H5N1) dapat menyebar dengan
cepat diantara populasi unggas dengan kematian yang tinggi, bahkan dapat menyebar antar
peternakan, dan menyebar antar daerah yang luas. Hasil analisis kasus yang diperoleh
menunjukan bahwa pola masuk bibit penyakit tidak mutlak bersumber dari unggas yang
dipelihara oleh keluarga tetapi ada juga yang dimulai dari unggas (ayam) yang dipelihara oleh
tetangga.
Menurut WHO (2006), penularan penyakit flu burung kepada manusia dapat melalui
kontak langsung dengan sekret/lendir atau tinja binatang yang terinfeksi melalui saluran
pernafasan atau mukosa konjunctiva (selaput lendir). Dari studi kasus yang dilakukan oleh
peneliti, kejadian flu burung di Propinsi Jawa Barat sebagian besar melalui kontak dengan
unggas (ayam) yang mati mendadak. Unggas yang mati mendadak ini bukan berasal dari
peternakan melainkan berasal dari peliharaan ayam miliknya sendiri atau milik tetangga.
7
Selanjutnya WHO (2006) menyatakan bahwa penyakit ini juga bisa menular melalui udara
yang tercemar virus Avian Influenza (H5N1) yang berasal dari tinja atau sekret/lendir unggas
atau binatang lain terinfeksi dalam jarak terbatas dan kontak dengan benda yang terkontaminasi
H5N1. Pada beberapa pasien yang dijadikan studi kasus oleh peneliti menunjukan hal yang
sama, pasien terinfeksi melalui burung peliharaan yang tergantung di rumahnya dan terinfeksi
melalui kotoran unggas yang mati mendadak.
Studi ini menunjukan bahwa orientasi perhatian penyakit flu burung pada manusia tidak
hanya pada lingkup peternakan saja dan tempat risiko lainnya tetapi justru harus beralih secara
cepat orientasi pada rumah sebagai target perhatian. Menurut WHO sampai awal tahun 2006
secara epidemiologi dan virologis belum terbukti terjadinya penularan dari manusia ke manusia
dan juga penularan pada manusia melalui daging yang dikonsumsi. Studi ini menunjukan
bahwa ada dua penderita disuatu keluarga terinfeksi H5N1 dan riwayat kontak dengan unggas
mati tidak pernah. Informasi yang dikembangkan melalui wawancara dengan orangtua yang
merawat langsung diperoleh data sebenarnya dua anaknya sebelum sakit ikut memasak daging
ayam dan diketahui daging yang dikonsumsinya masih belum matang dengan indikator masih
terlihat ada darahnya pada saat dikonsumsi. Pernyataan ini dibenarkan oleh saudaranya yang
langsung melihat kondisi tersebut. Pada akhirnya dua anak tersebut terinfeksi avian influenza
dengan masa inkubasi rata-rata waktunya sama yaitu 5 hari (Studi Kasus di Desa Cipedang
Kecamatan Bongas Kabupaten Indramayu).
Fenomena lain yang diperoleh dari studi penelitian ini adalah adanya pola kebiasaan di
masyarakat tertentu yang menganggap adanya ayam mati mendadak sebagai sesuatu hal yang
biasa dan tidak mendapat perhatian yang serius. Secara kultur dan sosial di masyarakat tertentu
justru menganggap apabila ada ayam yang sakit menjadi kesempatan ayam tersebut untuk
disembelih dan dikonsumsi. Kultur sosial ini tanpa disadari sebenarnya sudah menunjukan titik
awal terjadinya infektivitas virus ke tubuh manusia (seperti terjadi pada studi kasus di Desa
Sindang Galih Kecamatan Karang Pawitan Kabupaten Garut).
Berdasarkan uraian tersebut diatas, masuknya bibit penyakit pada tubuh manusia tidak
semuanya menyebabkan penyakit. Kekebalan tubuh manusia menentukan juga apakah bibit
penyakit mampu menimbulkan sakit atau sebaliknya justru tidak mampu menimbulkan sakit.
Jika daya tahan tubuh tidak kuat, tentu penyakit akan berjalan terus yang mengakibatkan
terjadinya gangguan bentuk dan fungsi tubuh. Garis yang membatasi tempat atau tidak
tampaknya gejala penyakit biasanya disebut dengan nama horison klinik. Ini menunjukan
adanya kondisi yang menyatakan bahwa tubuh itu mempunyai pertahanan kuat yang dapat
menangkal infektivitas virus.
8
pengalaman dan kebiasaan. Pada akhirnya si penderita hanya mendapatkan perawatan dan
pengobatan terbatas.
Penemuan kasus secara dini yang dilakukan oleh petugas kesehatan sangat lemah,
mengingat penyakit flu burung merupakan suatu penyakit yang ditetapkan sebagai Kejadian
Luar Biasa (KLB). Mestinya tanggap penyakit flu burung dalam penemuan kasus tidak
terlambat. Masa waktu 5 hari penderita di rawat di rumah memberikan masa waktu yang luang
bagi virus H5N1 menyebabkan komplikasi penyakit seperti pneumonia.
Di tahap klinis ini, penderita rata-rata hari ke-5 mendapatkan perawatan dan
pengobatan ditempat pelayanan kesehatan profesional (Mantri Kesehatan, Dokter Praktek
Swasta, Puskesmas, dan Rumah Sakit). Ada beberapa kasus tertentu petugas kesehatan tidak
tepat mendiagnosis penyakit bahkan salah praduga mendiagnosis penyakit, misalnya
mendiagnosis typus abdominalis, atau suspek demam berdarah. Dampaknya memberikan obat
salah, akhirnya gejala yang dirasakan oleh penderita bukan berkurang malah semakin parah.
Pelayanan kesehatan di tingkat pertama pasien dengan suspek flu burung mestinya
langsung mendapatkan Oseltamivir 2 x 75 mg (jika anak, sesuai dengan berat badan) lalu
dirujuk dengan segera. Ternyata di tataran lapangan pasien dengan suspek flu burung baru
dibawa ke rumah sakit rujukan ratarata pada hari ke-6. Bahkan data yang diperoleh rentang
waktu penderita di rumah adalah 2-12 hari. Lamanya penderita mendapatkan perawatan dan
pengobatan yang spesifik tentunya ini menjadi preseden buruk bagi kondisi kesehatan
penderita. Maka pada tahap klinik hampir sebagian penderita yang positif penyakit flu burung
masuk perawatan dan pengobatan di RS sudah masuk pada tahap komplikasi atau stadium
lanjut.
4. Tahap Terminal Penyakit Flu Burung pada Manusia .
Perjalanan penyakit pada suatu saat akan berakhir sesuai dengan riwayat alamiahnya.
Tahap terminal penyakit merupakan titik berakhir suatu mekanisme penyakit di dalam tubuh
manusia dalam keadaan sembuh, mengalami kecacatan, atau meninggal dunia. Termasuk
perjalanan akhir penyakit flu burung pada manusia. Perjalanan akhir penyakit flu burung lebih
disebabkan adanya komplikasi pada infeksi paru-paru (pneumonia) berat yang bisa
menyebabkan gagal nafas. Hal ini terjadi karena adanya gangguan ventilasi dan perfusi
jaringan paru-paru. Selain itu juga sering terjadi syok (dapat hipovolemik, distributif,
kardiogenis ataupun obstruktif) yang pada akhirnya tubuh tidak lagi mampu menahan
keseimbangan.
Tahap akhir penyakit flu burung dari 31 penderita ternyata sebagian besar berakhir
dengan meninggal yaitu 26 orang (83,8%), sembuh 5 orang (16,2%), dan mengalam kecacatan
10
(00,0%). Tingginya angka kematian menurut Dirjen P2PL Depkes RI bisa dikarenakan
penderita sendiri yang tidak menyadari dirinya kemungkinan menderita AI karena gejalanya
sangat mirip dengan influenza musiman. Petugas kesehatanpun bisa terkecoh. Akibatnya
penderita baru dikirim ke RS rujukan AI setelah mencapai stadium lanjut.
Angka kematian ini menunjukan bahwa virus H5N1 mempunyai tingkat virulensi yang
tinggi. Virus flu burung memiliki daya replikasi tinggi sehingga dapat berkembang sangat cepat
dalam tubuh (Soejoedono dan Handharyani, 2005). Maka wajar saja kondisi saat ini penyakit
flu burung ditakuti oleh sebagian besar masyarakat di dunia.
Penderita positif penyakit flu burung yang sembuh berjumlah 5 orang dimungkinkan
karena beberapa hal diantaranya: 1) penderita yang sembuh berada pada kelompok usia muda
(60%) hal ini erat kaitannya dengan daya tahan tubuh seseorang terhadap penyakit, 2)
kecepatan mengambil keputusan mencari pelayanan kesehatan, dan 3) pelaksanaan perawatan
dan pengobatan di Rumah Sakit yang disiplin dalam menjalankan standar operasional prosedur
penangangan penyakit flu burung.
Pada saat penelitian dilakukan, kondisi tubuh secara umum penderita yang sembuh
menggambarkan sehat dan tidak ada gejala sisa. Penderita yang sembuh secara mental telah
kembali pada kehidupan normal di masyarakat. Awalnya ada perasaan ragu berinteraksi
kembali dengan masyarakat. Dukungan keluarga secara personal dan dukungan masyarakat
menjadi dorongan yang kuat dalam melaksanakan rutinitas kehidupan.
Kasus Flu Burung atau Avian Influenza (H5N1) dilaporkan pertama kali di Indonesia
tahun 2003, sedangkan pada manusia pertama kali pada tahun 2005. Jumlah kasus yang
dilaporkan dari bulan Juni 2005 sampai dengan Desember 2016 sebanyak 199 kasus dengan
167 kematian. Kasus flu burung tersebar di 15 provinsi dan 58 kabupaten. Beberapa kasus di
antaranya merupakan kluster. Kasus Confiremed AI di Indonesia, pertama kali ditemukan di
Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten pada bulan Juni 2005. Kasus kemudian menyebar ke
Jakarta (Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Utara, dan Jakarta Barat), Jawa Barat
(Kabupaten Bekasi, dan Kabupaten Bogor), Lampung (Kabupaten Tanggamus) , Jawa Tengah
(Kabupaten Magelang, Boyolali dan Semarang), Jawa Timur (Tulung Agung), Sumatera Barat
(Padang) dan Sumatera Utara (Karo). Di Indonesia, anak-anak merupakan salah satu kelompok
yang paling berisiko terkena penyakit flu burung, sekitar 40% penderita berusia dibawah 18
tahun. Penyakit flu burung subtipe H5N1 merupakan Highly Pathogenic Avian Influenza
(HPAI) dengan tingkat mortalitas yang tinggi, yakni 60%. Sedangkan, pada subtipe H7N9
memiliki tingkat mortalitas 30%.
Menurut model kepercayaan kesehatan (health belief model), salah satu faktor esensial
adalah kesiapan individu mengubah perilaku dalam menghindari suatu penyakit dipengaruhi
12
oleh kepercayaan bahwa perubahan perilaku akan memberikan keuntungan. Seseorang yang
mempunyai keyakinan akan kerentanan untuk mudah tertular flu burung dan keberhasilan
dalam mencegah penularan penyakit tersebut, maka orang tersebut dapat memiliki keyakinan
untuk melaksanakan upaya pencegahan. Walaupun pada umumnya perilaku yang ditunjukkan
peternak kurang menunjang upaya pencegahan flu burung, tetapi ada beberapa perilaku positif
yang ditunjukkan oleh mereka sebagai kelompok orang yang berisiko cukup besar dapat
tertular flu burung. Perilaku positif tersebut tercermin pada besar proporsi mencuci tangan
dengan sabun setelah bersentuhan dengan unggas, tidak mengonsumsi dan tidak menjual
daging unggas yang sakit dan yang telah mati. Jika ada unggas mati maka tindakan yang
dilakukan adalah membakar dan atau mengubur.
▪ Melakukan isolasi mandiri saat mengalami demam atau gejala flu yang ringan, untuk
mencegah penularan virus kepada orang-orang sekitar
▪ Tidak mengunjungi daerah atau tempat terjadinya wabah flu burung
Sampai saat ini, belum ada vaksinasi yang spesifik untuk virus flu burung. Meskipun
demikian, Anda dapat melakukan vaksinasi flu tahunan untuk menurunkan risiko terserang flu.
BAB III PENUTUP
Pada bab ini akan dibahas tentang kesimpulan penulis dan saran penulis.
3.1. Kesimpulan.
Penyebab penyakit flu burung (agent) adalah virus. Virus penyebab flu burung tergolong
family orthomyxoviridae.Ciri-ciri penyakit flu burung demam, batuk, sakit tenggorokan, nyeri
otot, sakit kepala, kelelahan, hidung berair atau tersumbat, sesak napas. Riwayat perjalanan
penyakit flu burung yang pertama adalah tahap pre-patogenesis, dimana penyakit flu burung
terjadi karena seseorang interaksi dengan unggas. Interaksi terjadi tidak disengaja, tidak
disadari, dan terjadi karena kebetulan. Dilanjutkan dengan tahap inkubasi. Setelah inkubasi
masuk pada tahap klini, gejala dan tanda klinis diantaranya: demam panas ≥ 38ºC, adanya
batuk, sakit tenggorokan, pilek, dan sesak nafas. Setelah tahap klinis, masuklah pada tahap
akhir, dimana perjalanan akhir penyakit flu burung lebih disebabkan adanya komplikasi pada
infeksi paru-paru (pneumonia) berat yang bisa menyebabkan gagal nafas.
3.2. Saran.
Masyarakat harus lebih peduli terhadap Kesehatan dirinya dan lingkungannya agar
terhindar dari penyakit-penyakit yang berbahaya terutama penyakit flu burung, masyarakat
bisa saling mengingatkan tentang perilaku hidup bersih dan sehat antar sesame masyarakat
melakukan pencegahan penyakit flu burung dengan promosi Kesehatan tentang penyakit flu
burung, dan pemeriksaan dini penyakit flu burung.
14
Daftar Pustaka
https://adoc.pub/penyakit-flu-burung-riwayat-alamiah-dan-pencegahannya.html
http://eprints.ums.ac.id/32326/15/11.%20NASKAH%20PUBLIKASI.pdf
https://www.alomedika.com/penyakit/penyakit-infeksi/flu-burung/epidemiologi
Sanitasi_Lingkungan_Kandang_Perilaku_dan_Flu_Burun.pdf
https://www.scribd.com/doc/193412480/epidemiologi-makalah-flu-burung-pdf
https://pertanian.pontianakkota.go.id/artikel/31-flu-burung-atau-avian-influenza-danperkem
bangannya.html
15