Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN

“Penyakit Flu Burung”

Makalah ini diajukan sebagai untuk memenuhi tugas mata kuliah

Penyakit Berbasis Lingkungan

Dosen Pembimbing :

Rojali, SKM.,M.Epid

Sri Ani, SKM.MKM

Disusun Oleh :

Aldyth Zahra (P21335120003)

Isyfalana Noor Islam (P21335120019)

Nur Rokhmat Hendro Prasetyo (P21335120029)

Jl. Hang Jebat III No.4 No.8, RT.4/RW.8, Gunung, Kec. Kby. Baru, Kota Jakarta Selatan,
Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12120

2021
Kata Pengantar
Puji dan syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, tak lupa shalawat serta salam
senantiasa tercurahkan kepada baginda Rasulullah SAW. Atas limpahan nikmat dan karunia-
Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini sebagai tugas Mata Kuliah Penyakit Berbasis
Lingkungan.

Dalam penyusunan makalah ini tentunya tak sedikit hambatan yang kami hadapi. Akan tetapi
hambatan itu berhasil kami atasi berkat semangat, kerja keras, doa dan bimbingan dosen kami
yakni Bapak Rojali, SKM.,M.Epid dan Ibu Sri Ani, SKM.MKM.

Dengan disusunnya makalah ini kami harap dapat memberikan pengetahuan baru bagi para
pembaca mengenai penyakit flu burung. Makalah ini kami susun berdasarkan pengamatan dari
berbagai sumber informasi, referensi, jurnal, dan berita.

Kami harap makalah ini dapat memberikan ilmu yang bermanfaat dan dapat memperluas ilmu
para pembaca, khususnya mahasiswa/I Politeknik Kesehatan Kemenkes Jakarta II jurusan
Kesehatan Lingkungan. Kami sadar bahwa selama penulisan makalah ini terdapat banyak
kekurangan. Oleh karena itu, kami harap dosen pembimbing kami dapat memberikan
masukannya agar kami dapat memperbaiki kesalahan kami dan membuat makalah dengan lebih
baik lagi. Begitupun kepada pembaca, kami sangat terbuka untuk menerima kritik dan saran
dari para pembaca.

Jakarta, 13 November 2021

Penulis

i
Daftar Isi

Kata Pengantar ...................................................................................................................................... i


Daftar Isi ................................................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang. ..................................................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah. ............................................................................................................... 2
1.3. Tujuan Penulisan. ................................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................................................... 3
2.1. Agen Penyebab Penyakit Flu Burung. ................................................................................ 3
2.2. Karakteristik Penyakit Flu Burung. ................................................................................... 3
2.3. Riwayat Perjalanan Penyakit Flu Burung.......................................................................... 4
2.4. Epidemiologi Penyakit Flu Burung. .................................................................................. 10
2.5. Peranan Lingkungan terhadap Penyakit Flu Burung. .................................................... 11
2.6. Tindakan atau Upaya Pengendalian Penyakit Flu Burung. ........................................... 12
BAB III PENUTUP ............................................................................................................................. 14
3.1. Kesimpulan. ......................................................................................................................... 14
3.2. Saran. ................................................................................................................................... 14
Daftar Pustaka .................................................................................................................................... 15

ii
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini akan dibahas tentang latar belakang, rumusan masalah, dan tujuan
penulisan.

1.1. Latar Belakang.


Flu burung merupakan penyakit saluran pernapasan yang disebabkan oleh virus dan
bersifat zoonosis. Flu burung telah menjadi perhatian yang luas bagi masyarakat karena telah
mengakibatkan banyak korban baik ungags maupun manusia. Pelaporan kasus pertama yang
menginfeksi manusia terjadi di Hongkong pada tahun 1997, yang kemudian menyebar ke Cina
(seluruh Asia) hingga Eropa dan Afrika. Secara global terdapat sekitar 15 negara yang
melaporkan kasus flu burung (H5N1) pada manusia, 4 negara diantaranya berada di wilayah
Asia Tenggara yaitu Bangladesh, Myanmar, Indonesia dan Thailand (WHO, 2013a).

Berdasarkan laporan resmi World Health Organitation (WHO) jumlah kasus flu burung
pada manusia di wilayah Asia Tenggara yang dilaporkan sejak awal tahun 2004 sampai 31
Desember 2013, sebanyak 228 kasus dengan 181 kematian atau Case Fatallity Rate (CFR)
sebesar 79,38%. Khusus tahun 2013 terdapat 4 kasus dengan 4 kematian flu burung pada
manusia yang dilaporkan ke WHO oleh negara Bangladesh dan Indonesia (WHO, 2013a).

Flu burung pertama kali masuk ke wilayah ASEAN pada tahun 2003 melalui negara
Vietnam, dengan dinyatakannya 3 orang yang menderita penyakit tersebut dan seluruhnya
meninggal. Kemudian pada tahun 2004 jumlah kasus meningkat menjadi 46 dengan 32
kematian (CFR = 69,56%). Selain itu, negara Thailand juga telah terinfeksi virus H5N1 di
Tahun 2004 (Kemenkes RI, 2013b).

Pada akhir tahun 2005 jumlah penderita dan negara yang terinfeksi flu burung terus
bertambah menjadi 90 orang dengan 38 kematian (CFR = 42,22%). Walaupun jumlah kasus
flu burung terus menurun ditahun-tahun berikutnya, tetapi tidak demikian dengan angka
kematiannya. Pada tahun 2009 terdapat 27 kasus pada 3 negara di ASEAN dengan 24 kematian
(CFR = 88,89%). Kemudian pada tahun 2010 terjadi penurunan CFR menjadi 58,82% (17
kasus dengan 10 kematian), tetapi kembali meningkat pada tahun 2011 dengan CFR sebesar
90% (20 kasus dengan 18 kematian) dan mengalami penurunan pada tahun 2012 menjadi
87,5% (16 kasus dengan 14 kematian). Sampai dengan akhir tahun 2012, terdapat 6 negara di
wilayah ASEAN telah terinfeksi flu burung yaitu Vietnam, Thailand, Indonesia, Laos,
Myanmar dan Kamboja (Kemenkes RI, 2013b).

1
2

Pada tahun 2012 CFR kasus flu burung di Indonesia naik menjadi 100% (9 kasus dengan
9 kematian) dari tahun sebelumnya (Kemenkes RI, 2013b). Selain menginfeksi ayam, virus
tersebut juga dapat menginfeksi babi, kalkun, dan manusia (Yuliarti, 2006). Jumlah konfirmasi
kasus flu burung di Indonesia paling banyak dilaporkan pada tahun 2006, setelah itu jumlah
kasus flu burung terus menurun dari tahun ke tahun, yaitu dari 55 kasus pada tahun 2006
menjadi 9 kasus pada tahun 2012. Sampai dengan tahun 2012 terdapat ada 15 provinsi yang
tertular Flu Burung, yaitu Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Bengkulu,
Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Banten, Bali,
Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat (Kemenkes RI, 2013b). Berdasarkan laporan resmi
WHO, sampai dengan April 2014 konfirmasi kasus flu burung pada manusia di Indonesia
tercatat sebanyak 195 kasus dengan 163 kematian (WHO,

2014a).

1.2. Rumusan Masalah.


1.2.1.Apa agen penyebab penyakit flu burung?
1.2.2.Bagaiman karakteristik penyakit flu burung?
1.2.3.Bagaimana riwayat perjalanan penyakit flu burung?
1.2.4.Bagaimana epidemiologi penyakit flu burung?
1.2.5.Apa peranan lingkungan terhadap penyakit flu burung?
1.2.6.Bagaimana tindakan atau upaya pencegahan penyakit flu burung?

1.3. Tujuan Penulisan.


1.3.1.Mengetahui dan memahami agen penyebab penyakit flu burung.
1.3.2.Mengetahui dan memahami karakteristik penyakit flu burung.
1.3.3.Mengetahui dan memahami riwayat perjalanan penyakit flu burung.
1.3.4.Mengetahui dan memahami epidemiologi penyakit flu burung.
1.3.5.Mengetahui dan memahami peranan lingkungan terhadap penyakit flu burung.
1.3.6.Mengetahui dan memahami tindakan atau upaya pencegahan penyakit flu burung.
BAB II PEMBAHASAN
Pada bab ini akan dibahas tentang agen penyebab penyakit flu burung, karakteristik
penyakit flu burung, riwayat perjalanan penyakit flu burung, epidemiologi penyakit flu burung,
peranan lingkungan terhadap penyakit flu burung, tindakan atau upaya pengendalian penyakit
flu burung.

2.1. Agen Penyebab Penyakit Flu Burung.


Penyebab penyakit flu burung (agent) adalah virus. Virus penyebab flu burung tergolong
family orthomyxoviridae. Virus terdiri atas 3 tipe antigenik yang berbeda, yaitu A, B, dan C.
Virus influenza A bisa terdapat pada unggas, manusia, babi, kuda, dan kadang-kadang
mamalia yang lain, misalnya cerpelai, anjing laut, dan ikan paus. Namun, sebenarnya horpes
alamiahnya adalah unggas liar. Sebaliknya, virus influenza B dan C hanya ditemukan pada
manusia. Penyakit flu burung yang disebut juga avian influenza disebabkan oleh virus
influenza A. Virus ini merupakan virus RNA dan mempunyai aktivitas haemaglutinin (HA)
dan neurominidase (NA). Pembagian subtipe virus berdasarkan permukaan antigen,
permukaan hamagluinin, dan neurominidase yang dimilikinya.

2.2. Karakteristik Penyakit Flu Burung.


Gejala flu burung umumnya baru muncul setelah 3–5 hari terpapar virus ini. Gejala yang
timbul dapat berbeda-beda, mulai dari yang ringan hingga parah. Meskipun kadang orang yang
terinfeksi virus flu burung bisa tidak merasakan gejala apa pun, tetapi secara umum, penderita
flu burung akan mengalami gejala berupa:

▪ Demam
▪ Batuk
▪ Sakit tenggorokan
▪ Nyeri otot
▪ Sakit kepala
▪ Kelelahan
▪ Hidung berair atau tersumbat
▪ Sesak napas

Pada beberapa penderita, gejala lain yang juga dapat timbul antara lain muntah, sakit perut,
diare, gusi berdarah, mimisan, nyeri dada, dan mata merah (konjungtivitis). Pada infeksi yang

3
4

berat, flu burung bahkan bisa menyebabkan pneumonia, acute respiratory distress syndrome
(ARDS), gagal napas, kejang, dan gangguan sistem saraf.

2.3. Riwayat Perjalanan Penyakit Flu Burung.


1. Tahap Pre-Patogenesis Penyakit Flu Burung pada Manusia.
Tahap pre-patogenesis merupakan tahap berlangsungnya proses etiologis, dimana
faktor penyebab pertama kalinya bertemu dengan pejamu. Faktor penyebab pertama belum
menimbulkan penyakit, tetapi telah mulai meletakkan dasar-dasar bagi berkembangnya
penyakit nantinya (Murti, 1997). Tahap pre-patogenesis penyakit flu burung terjadi karena
seseorang interaksi dengan unggas. Interaksi terjadi tidak disengaja, tidak disadari, dan terjadi
karena kebetulan.
Interaksi antara manusia dengan sumber penularan (unggas) secara dominan terjadi di
lingkungan sekitar rumah. Interaksi sebagai manifestasi kontak langsung seseorang dengan
unggas terjadi di masa aktivitas sehari-hari. Jenis interaksi seseorang dengan unggas,
kebanyakan dengan ayam yang dipelihara dirumahnya. Memelihara ayam di rumah mayoritas
menggunakan kandang ternak seadanya tidak sesuai norma kesehatan. Hasil penelitian
menunjukan unggas (ayam) yang ada tidak dikonsentrasikan secara khusus penempatannya.
Bahkan pada satu kasus tertentu penempatan ayam peliharaan di dalam rumah tepatnya di
ruang tamu. Kondisi lain misalnya studi kasus pre-patogenesis di Ds. Cikelet Kec. Cikelet.
Kab. Garut penempatan ayam peliharaan di kolong rumah yang dihuni.
Interaksi tersebut, antara manusia dengan unggas sebagai sumber penularan sebenarnya
sudah terjadi secara langsung. Dari hasil studi yang dilakukan lebih dari setengahnya pasien
pernah kontak langsung dengan ayam yang mendadak mati atau burung peliharaan yaitu
mencapai 17 (55%) pasien positif penyakit flu burung. Kondisi ini menunjukan bahwa unggas
yang dipelihara di rumah merupakan potensi faktor risiko mempercepat transmisi H5N1 pada
manusia. Banyaknya unggas yang dipelihara di rumah membuktikan bahwa secara nampak
sumber penularan H5N1 itu ada di sekeliling manusia.
Menurut Anies (2006) interaksi manusia dengan lingkungannya telah menyebabkan
kontak antara kuman dengan manusia. Selanjutnya Anies (2006) menyatakan bahwa sering
terjadi kuman yang tinggal ditubuh inang (host) kemudian berpindah ke manusia karena
manusia tidak mampu menjaga kebersihan lingkungannya. Hal ini terjadi misalnya pada kasus
penularan penyakit melalui binatang yang mengalami domestikasi, seperti sapi, babi, dan
anjing. Menurut Aditama (2004) penyakit flu burung menular ke manusia terjadi karena kontak
dengan berbagai jenis unggas yang terinfeksi oleh virus H5NI maupun tidak langsung.
5

Keseimbangan interaksi antara manusia dengan sumber penularan sebagai titik


tumpunya adalah lingkungan. Di tahapan pre-patogenesis (tahap peka) lingkungan mempunyai
peran yang nyata terjadinya transmisi dan distribusi penyakit flu burung. Dari hasil studi yang
diperoleh ternyata lingkungan yang menjadi titik tumpu keseimbangan adalah lingkungan di
sekitar rumah bukan lingkungan di luar rumah. Kenyataannya lingkungan sekitar rumah
merupakan tempatnya seseorang berdiam diri dengan waktu yang paling lama. Baik secara
sengaja atau tidak sengaja seseorang yang ada di rumah melakukan kontak langsung dengan
sumber penyakit (Unggas). Kondisi ini terjadi banyaknya penderita yang memelihara ayam
membiarkan bebas berkeliaran di sekitar rumah dengan angka mencapai 20 orang (65%).
Memelihara ayam yang dibiarkan bebas berkeliaran masuk halaman dan rumah setiap orang
nampaknya menjadi kondisi yang tidak menguntungkan terutama bagi kesehatan.
Aspek lingkungan lainnya adalah saluran air limbah rumah tangga dan kotoran unggas
yang terbuka di setiap rumah. Ini mempunyai implikasi tidak terpeliharanya sanitasi
lingkungan sehingga dijadikan tempat hidupnya virus H5N1. Menurut Capua dan Henzler
(2003), faktor risiko penularan dari burung liar pembawa semua varietas subtipe dari virus
influenza A ke unggas peliharaan terutama terjadi kalau unggas peliharaan tersebut di biarkan
bebas berkeliaran.
2. Tahap Inkubasi Penyakit Flu Burung pada Manusia.
Tahap inkubasi (tahap prasimtomatik) merupakan tahap berlangsungnya proses
perubahan patologik yang diakhiri dengan keadaan ireversibel (yaitu, manifestasi penyakit
tidak dapat dihindari lagi). Pada tahapan ini belum terjadi manifestasi penyakit, tetapi telah
terjadi tingkat perubahan patologis yang siap untuk dideteksi tanda dan gejala pada tahap
berikutnya (Murti, 1997). Pendapat lain menjelaskan bahwa tahap inkubasi merupakan
masuknya bibit penyakit ke dalam tubuh pejamu (manusia) tetapi gejala penyakit belum
tampak (Azwar, 1999).
Dalam konteks realita ada kesulitan untuk menemukan masa waktu yang tepat virus
H5N1 menginfeksi tubuh manusia karena berhubungan dengan ukuran dan bentuk virus yang
tidak dapat di indra melalui penglihatan. Cara yang digunakan adalah menghubungkan masa
inkubasi virus H5N1 melalui identifikasi awal mula terjadinya interaksi seseorang dengan
unggas yang positif H5N1 sampai akhirnya seseorang merasakan adanya perubahan fisiologi
tubuh yang mengarah pada tanda dan gejala penyakit flu burung.
Tahap inkubasi penyakit flu burung pada manusia menurut referensi yang ada sampai
saat ini belum diketahui secara pasti namun untuk sementara para ahli (WHO) menetapkan
6

masa inkubasi virus influenza ini pada manusia rata-rata adalah 3 hari (Depkes dan WHO,
2006).
Dalam penelitian ini, melalui status health folder penderita positif flu burung dari mulai
terjadinya interaksi di masa pre-patogenesis sampai pada titik awal munculnya gejala klinis
rata-rata masa inkubasi adalah 7 hari. Rentang nilai masa inkubasi penyakit flu burung dalam
penelitian ini diperoleh mulai dari masa inkubasi minimal 2 (dua) hari dan maksimal 20 hari.
Hasil analisis yang digunakan menunjukan terjadinya masa inkubasi penyakit flu
burung yang cukup lama sampai 20 hari disebabkan daya tahan tubuh seseorang pada saat itu
baik dan kemampuan virus H5N1 tidak cukup untuk secara cepat menginfeksi manusia dan
menimbulkan penyakit. Namun setelah virus H5N1 masuk dalam tubuh secara perlahan
menjadi virulen sehingga akhirnya daya tahan tubuh tidak kuat melawan virulensi virus H5N1
dan akhirnya menjadi sakit.
Pada masa inkubasi yang pendek yaitu hanya 2 hari dianalisis karena adanya tingkat
virulensi H5N1 yang tinggi. Menurut WHO (2006), unggas yang sakit bahkan mati akan
mengeluarkan virus dengan jumlah besar dalam kotorannya. Dari analisis status health folder
penderita flu burung, seperti yang terjadi pada pasien-16,-18, dan serta lainnya menunjukan
bahwa virulensi virus H5N1 pada unggas mati menyebabkan patogenesis penyakit terjadi
sangat cepat. Namun kondisi inipun sebenarnya sangat dipengaruhi oleh imunitas tubuh.
Masa inkubasi penyakit flu burung pada manusia berdasarkan dari studi kasus yang
dikumpulkan memperlihatkan begitu cepatnya transmisi H5N1 dari unggas ke manusia.
Masuknya bibit penyakit H5N1 pada manusia merupakan suatu risiko semua orang karena dari
hasil penelitian ini menunjukan justru potensi penularan terjadi di lingkungan sekitar rumah.
Menurut Depkes RI (2006) menyatakan bahwa avian influenza (H5N1) dapat menyebar dengan
cepat diantara populasi unggas dengan kematian yang tinggi, bahkan dapat menyebar antar
peternakan, dan menyebar antar daerah yang luas. Hasil analisis kasus yang diperoleh
menunjukan bahwa pola masuk bibit penyakit tidak mutlak bersumber dari unggas yang
dipelihara oleh keluarga tetapi ada juga yang dimulai dari unggas (ayam) yang dipelihara oleh
tetangga.
Menurut WHO (2006), penularan penyakit flu burung kepada manusia dapat melalui
kontak langsung dengan sekret/lendir atau tinja binatang yang terinfeksi melalui saluran
pernafasan atau mukosa konjunctiva (selaput lendir). Dari studi kasus yang dilakukan oleh
peneliti, kejadian flu burung di Propinsi Jawa Barat sebagian besar melalui kontak dengan
unggas (ayam) yang mati mendadak. Unggas yang mati mendadak ini bukan berasal dari
peternakan melainkan berasal dari peliharaan ayam miliknya sendiri atau milik tetangga.
7

Selanjutnya WHO (2006) menyatakan bahwa penyakit ini juga bisa menular melalui udara
yang tercemar virus Avian Influenza (H5N1) yang berasal dari tinja atau sekret/lendir unggas
atau binatang lain terinfeksi dalam jarak terbatas dan kontak dengan benda yang terkontaminasi
H5N1. Pada beberapa pasien yang dijadikan studi kasus oleh peneliti menunjukan hal yang
sama, pasien terinfeksi melalui burung peliharaan yang tergantung di rumahnya dan terinfeksi
melalui kotoran unggas yang mati mendadak.
Studi ini menunjukan bahwa orientasi perhatian penyakit flu burung pada manusia tidak
hanya pada lingkup peternakan saja dan tempat risiko lainnya tetapi justru harus beralih secara
cepat orientasi pada rumah sebagai target perhatian. Menurut WHO sampai awal tahun 2006
secara epidemiologi dan virologis belum terbukti terjadinya penularan dari manusia ke manusia
dan juga penularan pada manusia melalui daging yang dikonsumsi. Studi ini menunjukan
bahwa ada dua penderita disuatu keluarga terinfeksi H5N1 dan riwayat kontak dengan unggas
mati tidak pernah. Informasi yang dikembangkan melalui wawancara dengan orangtua yang
merawat langsung diperoleh data sebenarnya dua anaknya sebelum sakit ikut memasak daging
ayam dan diketahui daging yang dikonsumsinya masih belum matang dengan indikator masih
terlihat ada darahnya pada saat dikonsumsi. Pernyataan ini dibenarkan oleh saudaranya yang
langsung melihat kondisi tersebut. Pada akhirnya dua anak tersebut terinfeksi avian influenza
dengan masa inkubasi rata-rata waktunya sama yaitu 5 hari (Studi Kasus di Desa Cipedang
Kecamatan Bongas Kabupaten Indramayu).
Fenomena lain yang diperoleh dari studi penelitian ini adalah adanya pola kebiasaan di
masyarakat tertentu yang menganggap adanya ayam mati mendadak sebagai sesuatu hal yang
biasa dan tidak mendapat perhatian yang serius. Secara kultur dan sosial di masyarakat tertentu
justru menganggap apabila ada ayam yang sakit menjadi kesempatan ayam tersebut untuk
disembelih dan dikonsumsi. Kultur sosial ini tanpa disadari sebenarnya sudah menunjukan titik
awal terjadinya infektivitas virus ke tubuh manusia (seperti terjadi pada studi kasus di Desa
Sindang Galih Kecamatan Karang Pawitan Kabupaten Garut).
Berdasarkan uraian tersebut diatas, masuknya bibit penyakit pada tubuh manusia tidak
semuanya menyebabkan penyakit. Kekebalan tubuh manusia menentukan juga apakah bibit
penyakit mampu menimbulkan sakit atau sebaliknya justru tidak mampu menimbulkan sakit.
Jika daya tahan tubuh tidak kuat, tentu penyakit akan berjalan terus yang mengakibatkan
terjadinya gangguan bentuk dan fungsi tubuh. Garis yang membatasi tempat atau tidak
tampaknya gejala penyakit biasanya disebut dengan nama horison klinik. Ini menunjukan
adanya kondisi yang menyatakan bahwa tubuh itu mempunyai pertahanan kuat yang dapat
menangkal infektivitas virus.
8

3. Tahap Klinis Penyakit Flu Burung pada Manusia.


Tahap klinis dihitung mulai dari munculnya gejala penyakit sampai kepada seseorang
memerlukan perawatan dan pengobatan secara khusus karena ketidakmampuan tubuh
melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri. Tahap klinis penyakit flu burung pada studi
kasus yang dilakukan Page 41 oleh penulis dalam penelitian ini hampir semuanya menunjukan
gejala dan tanda klinis diantaranya: demam panas ≥ 38ºC, adanya batuk, sakit tenggorokan,
pilek, dan sesak nafas.
Menurut Soejoedono dan Handharyani (2005) orang yang terserang flu burung
menunjukan gejala seperti terkena flu biasa, hanya saja karena keganasan virusnya
menyebabkan flu ini juga ganas. Selanjutnya disampaikan dalam waktu singkat, gejala-gejala
tersebut dapat menjadi lebih berat dengan terjadinya peradangan paru-paru (pneumonia).
Gejala lain yang dapat ditemukan adalah pilek, sakit kepala, nyeri otot, infeksi selaput mata,
diare atau gangguan saluran cerna. Bila ditemukan gejala sesak menandai terdapat kelainan
saluran nafas bawah akan ditemukan bronchitis di paru dan bila semakin berat frekuensi
pernafasan akan semakin cepat (Depkes RI, 2006).
Merujuk hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis, gejala dan tanda klinis awal yang
dirasakan oleh penderita penyakit flu burung sebagian besar merasakan adanya demam panas
≥ 38ºC. Gejala awal yang dirasakan atau dikeluhkan penderita oleh keluarga kadang kala
dianggap sebagai gejala biasa yang tidak perlu perawatan dan pengobatan ke rumah sakit.
Bahkan keluarga atau penderita mengambil keputusan untuk diobati sendiri dengan cara
membeli obat ke warung. Lebih bahaya lagi dibiarkan dulu karena ada asumsi gejala demam
panas itu sifatnya sementara diistirahatkan pun akan sembuh.
Fenomena tersebut didukung oleh hasil studi yang penulis lakukan terhadap 31
penderita positif penyakit flu burung diperoleh data bahwa tidak dengan segera pada saat
penderita memperlihatkan gejala awal di bawa ke tempat pelayanan kesehatan tetapi dirawat
dulu di rumah. Hasil penelitian menunjukan rata-rata waktu penderita dirawat di rumah adalah
selama 5 hari. Perawatan di rumah yang dilakukan tentunya tidak memperhatikan spesifikasi
penyakit tetapi hanya didasarkan pada pengalaman dan kebiasaan dalam merawat anggota
keluarga yang sakit.
Kondisi ini sangat merugikan pasien dalam menghadapi virus H5N1 di dalam
tubuhnya. Keluhan sakit yang dirasakan pasien tidak akan berkurang atau sembuh justru gejala
penyakit terus menerus semakin memperburuk keadaan kesehatan pasien. Kemampuan dan
pengetahuan keluarga merawat anggota keluarga yang sakit hanya didasarkan pada
9

pengalaman dan kebiasaan. Pada akhirnya si penderita hanya mendapatkan perawatan dan
pengobatan terbatas.
Penemuan kasus secara dini yang dilakukan oleh petugas kesehatan sangat lemah,
mengingat penyakit flu burung merupakan suatu penyakit yang ditetapkan sebagai Kejadian
Luar Biasa (KLB). Mestinya tanggap penyakit flu burung dalam penemuan kasus tidak
terlambat. Masa waktu 5 hari penderita di rawat di rumah memberikan masa waktu yang luang
bagi virus H5N1 menyebabkan komplikasi penyakit seperti pneumonia.
Di tahap klinis ini, penderita rata-rata hari ke-5 mendapatkan perawatan dan
pengobatan ditempat pelayanan kesehatan profesional (Mantri Kesehatan, Dokter Praktek
Swasta, Puskesmas, dan Rumah Sakit). Ada beberapa kasus tertentu petugas kesehatan tidak
tepat mendiagnosis penyakit bahkan salah praduga mendiagnosis penyakit, misalnya
mendiagnosis typus abdominalis, atau suspek demam berdarah. Dampaknya memberikan obat
salah, akhirnya gejala yang dirasakan oleh penderita bukan berkurang malah semakin parah.
Pelayanan kesehatan di tingkat pertama pasien dengan suspek flu burung mestinya
langsung mendapatkan Oseltamivir 2 x 75 mg (jika anak, sesuai dengan berat badan) lalu
dirujuk dengan segera. Ternyata di tataran lapangan pasien dengan suspek flu burung baru
dibawa ke rumah sakit rujukan ratarata pada hari ke-6. Bahkan data yang diperoleh rentang
waktu penderita di rumah adalah 2-12 hari. Lamanya penderita mendapatkan perawatan dan
pengobatan yang spesifik tentunya ini menjadi preseden buruk bagi kondisi kesehatan
penderita. Maka pada tahap klinik hampir sebagian penderita yang positif penyakit flu burung
masuk perawatan dan pengobatan di RS sudah masuk pada tahap komplikasi atau stadium
lanjut.
4. Tahap Terminal Penyakit Flu Burung pada Manusia .
Perjalanan penyakit pada suatu saat akan berakhir sesuai dengan riwayat alamiahnya.
Tahap terminal penyakit merupakan titik berakhir suatu mekanisme penyakit di dalam tubuh
manusia dalam keadaan sembuh, mengalami kecacatan, atau meninggal dunia. Termasuk
perjalanan akhir penyakit flu burung pada manusia. Perjalanan akhir penyakit flu burung lebih
disebabkan adanya komplikasi pada infeksi paru-paru (pneumonia) berat yang bisa
menyebabkan gagal nafas. Hal ini terjadi karena adanya gangguan ventilasi dan perfusi
jaringan paru-paru. Selain itu juga sering terjadi syok (dapat hipovolemik, distributif,
kardiogenis ataupun obstruktif) yang pada akhirnya tubuh tidak lagi mampu menahan
keseimbangan.
Tahap akhir penyakit flu burung dari 31 penderita ternyata sebagian besar berakhir
dengan meninggal yaitu 26 orang (83,8%), sembuh 5 orang (16,2%), dan mengalam kecacatan
10

(00,0%). Tingginya angka kematian menurut Dirjen P2PL Depkes RI bisa dikarenakan
penderita sendiri yang tidak menyadari dirinya kemungkinan menderita AI karena gejalanya
sangat mirip dengan influenza musiman. Petugas kesehatanpun bisa terkecoh. Akibatnya
penderita baru dikirim ke RS rujukan AI setelah mencapai stadium lanjut.
Angka kematian ini menunjukan bahwa virus H5N1 mempunyai tingkat virulensi yang
tinggi. Virus flu burung memiliki daya replikasi tinggi sehingga dapat berkembang sangat cepat
dalam tubuh (Soejoedono dan Handharyani, 2005). Maka wajar saja kondisi saat ini penyakit
flu burung ditakuti oleh sebagian besar masyarakat di dunia.
Penderita positif penyakit flu burung yang sembuh berjumlah 5 orang dimungkinkan
karena beberapa hal diantaranya: 1) penderita yang sembuh berada pada kelompok usia muda
(60%) hal ini erat kaitannya dengan daya tahan tubuh seseorang terhadap penyakit, 2)
kecepatan mengambil keputusan mencari pelayanan kesehatan, dan 3) pelaksanaan perawatan
dan pengobatan di Rumah Sakit yang disiplin dalam menjalankan standar operasional prosedur
penangangan penyakit flu burung.
Pada saat penelitian dilakukan, kondisi tubuh secara umum penderita yang sembuh
menggambarkan sehat dan tidak ada gejala sisa. Penderita yang sembuh secara mental telah
kembali pada kehidupan normal di masyarakat. Awalnya ada perasaan ragu berinteraksi
kembali dengan masyarakat. Dukungan keluarga secara personal dan dukungan masyarakat
menjadi dorongan yang kuat dalam melaksanakan rutinitas kehidupan.

2.4. Epidemiologi Penyakit Flu Burung.


Epidemiologi flu burung atau avian influenza menurut catatan WHO adalah sebanyak 859
kasus konfirmasi H5N1 dengan 453 kematian sejak tahun 2003. Epidemiologi ini tersebar di
beberapa negara, seperti Azerbaijan, Bangladesh, Cina, Djibouti, Indonesia, India, Iraq,
Kamboja, Nigeria, Pakistan, Thailand, Turki, Vietnam, Laos dan Myanmar. Berdasarkan
penelitian systematic review selama periode 18 tahun dari 1 Mei 1997 hingga 30 April 2015,
dilaporkan sebanyak 907 kasus flu burung virus H5N1, terdiri dari 94,6% kasus terkonfirmasi
dan 5,4% kasus suspek. Jumlah tertinggi didapat pada tahun 2015. Total kasus pada tahun
2014-2015 sebanyak 213 kasus, lebih besar dari empat tahun sebelumnya (tahun 2010-2013)
sebanyak 181 kasus. Jumlah bulanan tertinggi terjadi pada Februari 2015, yakni 55 kasus di
Mesir dan 1 kasus di Cina. Secara keseluruhan dari tahun 1997-2014, rasio antara laki-laki dan
perempuan hampir sama, dengan usia rata-rata adalah 19 tahun dan 80,3% berusia di bawah 35
tahun.
11

Kasus Flu Burung atau Avian Influenza (H5N1) dilaporkan pertama kali di Indonesia
tahun 2003, sedangkan pada manusia pertama kali pada tahun 2005. Jumlah kasus yang
dilaporkan dari bulan Juni 2005 sampai dengan Desember 2016 sebanyak 199 kasus dengan
167 kematian. Kasus flu burung tersebar di 15 provinsi dan 58 kabupaten. Beberapa kasus di
antaranya merupakan kluster. Kasus Confiremed AI di Indonesia, pertama kali ditemukan di
Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten pada bulan Juni 2005. Kasus kemudian menyebar ke
Jakarta (Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Utara, dan Jakarta Barat), Jawa Barat
(Kabupaten Bekasi, dan Kabupaten Bogor), Lampung (Kabupaten Tanggamus) , Jawa Tengah
(Kabupaten Magelang, Boyolali dan Semarang), Jawa Timur (Tulung Agung), Sumatera Barat
(Padang) dan Sumatera Utara (Karo). Di Indonesia, anak-anak merupakan salah satu kelompok
yang paling berisiko terkena penyakit flu burung, sekitar 40% penderita berusia dibawah 18
tahun. Penyakit flu burung subtipe H5N1 merupakan Highly Pathogenic Avian Influenza
(HPAI) dengan tingkat mortalitas yang tinggi, yakni 60%. Sedangkan, pada subtipe H7N9
memiliki tingkat mortalitas 30%.

2.5. Peranan Lingkungan terhadap Penyakit Flu Burung.


Faktor lingkungan berpengaruh sangat besar terhadap distribusi dan endemisitas flu
burung. Keadaan lingkungan yang kotor karena masih terbatasnya pemahaman budaya hidup
bersih dan sehat mendukung penyebaran berbagai jenis penyakit hewan diantaranya flu burung.
Faktor perilaku mempunyai pengaruh terhadap terjadinya influenza yaitu perilaku hygiene dan
sanitasi yang baik akan mengurangi penularan influenza. Selain itu faktor pelayanan kesehatan
berpengaruh terhadap penyebaran virus, dengan peningkatan pendidikan masyarakat agar
mengurangi kontak kepada penderita influenza maka penularan dapat dibatasi. Pemerintah
Republik Indonesia melakukan pemantauan (surveilans) reguler terhadap perubahan-
perubahan antigenik dan genetik virus flu burung yang bersirkulasi di Indonesia secara pasif
(PDSR) dan aktif (di pasar unggas hidup). Pengamatan selama ini menunjukkan pengaruh
musim terhadap jumlah kejadian penyakit di lapangan sehingga terjadi fluktuasi dengan
peningkatan kasus pada musim hujan dan penurunan pada musim kemarau, akan tetapi secara
umum terjadi penurunan jumlah kasus AI dan sampel positif setiap tahunnya sejak tahun 2009
sampai saat ini sebagai faedah penggunaan vaksin lokal pada unggas. Hal ini membuktikan
bahwa penggunaaan vaksin lokal efektif dalam melindungi unggas dari penyakit Avian
Influenza.

Menurut model kepercayaan kesehatan (health belief model), salah satu faktor esensial
adalah kesiapan individu mengubah perilaku dalam menghindari suatu penyakit dipengaruhi
12

oleh kepercayaan bahwa perubahan perilaku akan memberikan keuntungan. Seseorang yang
mempunyai keyakinan akan kerentanan untuk mudah tertular flu burung dan keberhasilan
dalam mencegah penularan penyakit tersebut, maka orang tersebut dapat memiliki keyakinan
untuk melaksanakan upaya pencegahan. Walaupun pada umumnya perilaku yang ditunjukkan
peternak kurang menunjang upaya pencegahan flu burung, tetapi ada beberapa perilaku positif
yang ditunjukkan oleh mereka sebagai kelompok orang yang berisiko cukup besar dapat
tertular flu burung. Perilaku positif tersebut tercermin pada besar proporsi mencuci tangan
dengan sabun setelah bersentuhan dengan unggas, tidak mengonsumsi dan tidak menjual
daging unggas yang sakit dan yang telah mati. Jika ada unggas mati maka tindakan yang
dilakukan adalah membakar dan atau mengubur.

Sanitasi kandang yang baik diharapkan dapat membantu mengurangi resiko


perkembangan dan penyebaran virus penyebab penyakit flu burung sebagai salah satu upaya
pencegahan penyakit flu burung. Untuk mencegah penularan flu burung diperlukan suatu
tindakan pencegahan penyakit. Perilaku pencegahan penyakit (health prevention behaviour),
adalah respons untuk melakukan pencegahan penyakit, misalnya perilaku yang berhubungan
dengan kebersihan diri dan lingkungan yaitu dengan menjaga kebersihan kandang, penggunaan
alat pelindung diri, pemusnahan ungags secara masal, pemberian vaksinasi terhadap ungags,
pembatasan kendaraan pengangkut unggas yang keluar masuk lokasi peternakan, dan termasuk
di dalamnya perliaku untuk tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain. Perilaku
pencegahan penyakit merupakan cara yang baik untuk melakukan pencegahan terhadap
datangnya penyakit dan merupakan factor penting guna menjaga kesehatan manusia pada saat
bekerja.

2.6. Tindakan atau Upaya Pengendalian Penyakit Flu Burung.


Cara terbaik yang dapat dilakukan untuk mencegah infeksi flu burung adalah dengan
mencegah penularannya. Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah:

▪ Menghindari kontak langsung dengan unggas


▪ Menghindari kontak langsung dengan orang sakit
▪ Menerapkan etika batuk, yaitu dengan menutup mulut dan hidung dengan tisu atau lipat
siku saat batuk atau bersin
▪ Menjaga kebersihan dan mencuci tangan secara rutin
▪ Tidak menyentuh mata, hidung, dan mulut, sebelum cuci tangan
▪ Tidak mengonsumsi daging atau telur unggas yang belum matang
13

▪ Melakukan isolasi mandiri saat mengalami demam atau gejala flu yang ringan, untuk
mencegah penularan virus kepada orang-orang sekitar
▪ Tidak mengunjungi daerah atau tempat terjadinya wabah flu burung

Sampai saat ini, belum ada vaksinasi yang spesifik untuk virus flu burung. Meskipun
demikian, Anda dapat melakukan vaksinasi flu tahunan untuk menurunkan risiko terserang flu.
BAB III PENUTUP
Pada bab ini akan dibahas tentang kesimpulan penulis dan saran penulis.

3.1. Kesimpulan.
Penyebab penyakit flu burung (agent) adalah virus. Virus penyebab flu burung tergolong
family orthomyxoviridae.Ciri-ciri penyakit flu burung demam, batuk, sakit tenggorokan, nyeri
otot, sakit kepala, kelelahan, hidung berair atau tersumbat, sesak napas. Riwayat perjalanan
penyakit flu burung yang pertama adalah tahap pre-patogenesis, dimana penyakit flu burung
terjadi karena seseorang interaksi dengan unggas. Interaksi terjadi tidak disengaja, tidak
disadari, dan terjadi karena kebetulan. Dilanjutkan dengan tahap inkubasi. Setelah inkubasi
masuk pada tahap klini, gejala dan tanda klinis diantaranya: demam panas ≥ 38ºC, adanya
batuk, sakit tenggorokan, pilek, dan sesak nafas. Setelah tahap klinis, masuklah pada tahap
akhir, dimana perjalanan akhir penyakit flu burung lebih disebabkan adanya komplikasi pada
infeksi paru-paru (pneumonia) berat yang bisa menyebabkan gagal nafas.

3.2. Saran.
Masyarakat harus lebih peduli terhadap Kesehatan dirinya dan lingkungannya agar
terhindar dari penyakit-penyakit yang berbahaya terutama penyakit flu burung, masyarakat
bisa saling mengingatkan tentang perilaku hidup bersih dan sehat antar sesame masyarakat
melakukan pencegahan penyakit flu burung dengan promosi Kesehatan tentang penyakit flu
burung, dan pemeriksaan dini penyakit flu burung.

14
Daftar Pustaka
https://adoc.pub/penyakit-flu-burung-riwayat-alamiah-dan-pencegahannya.html

http://eprints.ums.ac.id/32326/15/11.%20NASKAH%20PUBLIKASI.pdf

Ni Luh Putu Karminiasih1, Ni Made Marwati2, I Wayan Suarta Asmara3.pdf

https://www.alomedika.com/penyakit/penyakit-infeksi/flu-burung/epidemiologi

Sanitasi_Lingkungan_Kandang_Perilaku_dan_Flu_Burun.pdf

https://www.scribd.com/doc/193412480/epidemiologi-makalah-flu-burung-pdf

https://pertanian.pontianakkota.go.id/artikel/31-flu-burung-atau-avian-influenza-danperkem
bangannya.html

15

Anda mungkin juga menyukai