Anda di halaman 1dari 39

PROPOSAL

TUGAS INDIVIDU KELUARGA BINAAN

Disusun Oleh :
HIDAYATUL ULYA
6120019050

Pembimbing :
Dewi Masithah, dr., M.Kes

DEPARTEMEN / SMF IKM – KP


(ILMU KESEHATAN MASYARAKAT – KEDOKTERAN PENCEGAHAN)
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2021
PROPOSAL
TUGAS INDIVIDU KELUARGA BINAAN

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Tugas Kepaniteraan Klinik Dan Melengkapi Salah
Satu Syarat Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Di Bagian Ilmu Kesehatan
Masyarakat – Kedokteran Pencegahan Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya

Disusun Oleh :
HIDAYATUL ULYA
6120018050

Pembimbing :
Dewi Masithah, dr., M.Kes

DEPARTEMEN / SMF IKM – KP


(ILMU KESEHATAN MASYARAKAT – KEDOKTERAN PENCEGAHAN)
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2021

ii
LEMBAR PENGESAHAN
TUGAS INDIVIDU KELUARGA BINAAN

Oleh :

Hidayatul Ulya

6120019050

Makalah “TUGAS INDIVIDU KELUARGA BINAAN” ini telah diperiksa,


disetujui, dan diterima sebagai salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan Studi
Kepanitraan Klinik di Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat – Kedokteran Pencegahan
Fakultas Kedokteran Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya.

Surabaya, Novemberr 2021

Mengesahkan,

Dokter Pembimbing

Dewi Masithah, dr., M.Kes

iii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
nikmat, rahmat, dan karunia – Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal
dengan baik dan tepat waktu.
Proposal ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Ilmu
Kesehatan Masyarakat – Kedokteran Pencegahan Fakultas Kedokteran Universitas
Nahdlatul Ulama Surabaya. Di samping itu, melalui kesempatan ini, penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada dr.Dewi Masithah.,M.Kes
selaku pembimbing dalam penyusunan proposal ini. Penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada rekan – rekan anggota Kepaniteraan SMF Ilmu Kesehatan Masyarakat serta
berbagai pihak yang telah memberi dukungan dan bantuan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari sempurna dan tidak luput
dari kesalahan. Oleh karena itu, penulis sangat berharap adanya masukan, kritik maupun
saran yang membangun. Akhir kata penulis ucapkan terimakasih yang sebesar – besarnya,
semoga propo ini dapat memberikan tambahan informasi bagi kita semua.

Surabaya, November 2021

Penulis

iv
DAFTAR ISI

COVER ................................................................................................................ ii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. iii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iv
DAFTAR ISI ........................................................................................................ v
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 3
2.1 Definisi. .......................................................................................................... 2
2.2 Etiologi. .......................................................................................................... 5
2.3 Faktor Risiko. ................................................................................................. 5
2.4 Manifestasi Klinis. .......................................................................................... 7
2.5 Diagnosis. ....................................................................................................... 10
2.6 Tatalaksana. .................................................................................................... 11
2.7 Prognosis. ....................................................................................................... 17
BAB III LAPORAN KASUS ............................................................................... 20
BAB IV PEMBAHASAN .................................................................................... 26
BAB V SIMPULAN............................................................................................. 28
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 29
LAMPIRAN ......................................................................................................... 30

v
BAB 1
PENDAHULUAN

Skizofrenia merupakan sindroma dengan variasi penyebab dan


perjalanan penyakit yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada
perimbangan pengaruh genetik, fisik dan budaya. Umumnya ditandai oleh
penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari pikiran dan persepsi,
serta oleh afek yang tidak wajar atau tumpul. Kesadaran yang jernih dan
kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun kemunduran
kognitif tertentu dapat berkembang kemudian. (Maslim, 2019).
Skizofrenia merupakan sindrom kompleks yang mempunyai dampak
besar untuk merusak kehidupan penderita dan anggota keluarga.
Skizofrenia dapat menyebabkan gangguan pada persepsi, pikiran, cara
berbicara, dan gerakan: hampir seluruh aspek keberfungsian harian (Barlow
& Durand, 2012). Orang dengan skizofrenia dapat menarik diri dari
orang-orang dan dari realita kehidupan dan masuk ke dalam kehidupan
dengan kepercayaan yang aneh (delusi) dan halusinasi (Kring, Davison,
Neale, & Johnson, 2013)
Rata-rata populasi kejadian skizofrenia di seluruh dunia sebesar 0,85%.
Angka kejadian sikizofrenia yaitu 1 per 10.000 orang/tahun. menunjukkan
prevalensi skizofrenia/psikosis di Indonesia sebanyak 6,7 per 1000 rumah
tangga pada tahun 2018 (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2015;
Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2018).

Di puskesmas dukuh kupang, jumlah penduduk yang berstatus orang dengan


gangguan jiwa mengalami peningkatan yang bervariasi dari tahun ke tahun. Pada tahun
2018 diketahui jumlah penduduk di tiga kelurahan cakupan puskesmas dukuh kupang
sendiri sebanyak 35 pasien. Tahun 2019 menurun menjadi 30 pasien, tahun 2020
menurun kembali menjadi 26 pasien dan tahun 2021 mengalami peningkatan sebanyak
64 pasien dengan total pasien yang belum melakukan pengobatan adalah sebanyak 15
pasien.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Skizofrenia merupakan sindroma dengan variasi penyebab dan
perjalanan penyakit yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada
perimbangan pengaruh genetik, fisik dan budaya. Umumnya ditandai oleh
penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari pikiran dan persepsi,
serta oleh afek yang tidak wajar atau tumpul. Kesadaran yang jernih dan
kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun kemunduran
kognitif tertentu dapat berkembang kemudian. (Maslim, 2019).
2.2 Etiologi
a. Faktor Biokimia

1) Aktivitas berlebihan dopaminergik.

Pelepasan secara berlebihan senyawa dopamin pada pasien skizofrenia telah


dihubungkan dengan beratnya gejala positif pada pasien. Hasil Position
Emission Tomography (PET) Scan pada reseptor dopamin menunjukkan
peningkatan reseptor D2 di nukleus kaudatus dari pasien skizofrenia yang
bebas obat. Penelitian lain menunjukkan peningkatan konsentrasi dopamin di
amygdala dan peningkatan jumlah reseptor dopamin tipe 4 di korteks
entorhinal (Sadock, et al., 2015).

2) Aktivitas berlebihan serotonergik (5-HT)

Hipotesis saat ini menyebutkan bahwa pelepasan berlebihan serotonin


menyebabkan gejala positif maupun negatif pada pasien skizofrenia (Sadock,
et al., 2015). Beberapa penjelasan mengenai teori ini antara lain, efikasi
Clozapin pada skizofrenia resistenttreatment untuk menghilangkan gejala yang
ada dapat dicapai karena kombinasi antara sifat antagonisme dopaminergik dan
serotonergik pada clozapin, sedangkan Obat LSD yang bekerja sebagai agonis
parsial dari reseptor 5-HT dihubungkan dengan munculnya gangguan sensori
dan halusinasi (Semple & Smyth, 2013).

2
3) Aktivitas berlebihan α-adrenergik

Sistem noradrenergik memodulasi sistem dopaminergik dengan cara


tertentu sehingga kelainan sistem noradrenergik mempredisposisikan pasien
untuk sering relaps (Sadock & Sadock, 2010). Peningkatan jumlah norepinefrin
dapat ditemukan pada cairan LCS pasien skizofrenia dengan gejala psikotik
akut (Semple & Smyth, 2013).

4) Penurunan aktivitas GABA

Penelitian menunjukkan bahwa beberapa pasien skizofrenia kehilangnya


neuron-neuron GABAergik di Hippocampus. GABA memiliki peran regulasi
pada aktivitas dopamin, dan hilangnya peran inhibisi terhadap neuron
dopaminergik pada neuron 16 GABAergik dapat menyebabkan hiperaktivitas
pada Neuron Dopaminergik (Sadock, et al., 2015).

5) Penurunan aktivitas glutaminergic

Antagonis reseptor NMDA, (misalnya ketamin, PCP) telah terbukti


menginduksi gejala positif dan negatif skizofrenia pada sukarelawan sehat
(mungkin melalui modulasi sistem DA) dan memperburuk gejala pasien
dengan skizofrenia, sedangkan obat anti-psikotik clozapin dapat melemahkan
efek ketamin tersebut (Semple & Smyth, 2013).

6) Penurunan reseptor asetilkolin dan nikotin,

Penelitian postmortem pada skizofrenia telah menunjukkan penurunan reseptor


muskarinik dan nikotinat dalam kaudatusputamen, hippocampus, dan daerah
tertentu di korteks prefrontal. Reseptor ini berperan dalam pengaturan sistem
neurotransmitter yang terlibat dalam kognisi, yang terganggu pada skizofrenia
(Sadock, et al., 2015).

7) Gangguan Neuropeptid

Neuropeptida, seperti substansi P dan neurotensin, terlokalisasi dengan


neurotransmiter katekolamin serta indolamin dan mempengaruhi kerja
neurotransmiter ini. Perubahan dalam mekanisme neuropeptida bisa

3
memfasilitasi, menghambat, atau mengubah pola penembakan sistem saraf
(Sadock, et al., 2015).

b. Neuropatologi

Pada abad ke-19, ahli neuropatologi tidak mampu menemukan dasar


neuropatologi skizofrenia sehingga mereka mengklasifikasikan skizofrenia
sebagai gangguan fungsional, namun pada akhir abad ke20, para peneliti
membuat langkah signifikan dalam mengungkap dasar neuropatologi
skizofrenia antara lain adanya gangguan pada ventrikel serebral, sistem limbik,
korteks prefrontal, thalamus, ganglia basalis, batang otak dan serebellum
(Sadock, et al., 2015).

c. Faktor Genetik

Faktor Genetik terhitung menjadi liabilitas mayor untuk penyakit skizofrenia.


Kemampuan menurun (Heretabilitas) skizofrenia secara genetik berkisar 60-
80%.

(Semple & Smyth, 2013)

d. Model Diatesis-Stres

Menurut model diatesis-stres, seseorang mungkin memiliki


kerentanan spesifik (diatesis) yang, bila diaktifkan oleh pengaruh yang penuh
tekanan, memungkinkan timbulnya gejala skizofrenia. Pada model diatesis-
stres, diatesis atau stres dapat berupa stres biologis, lingkungan atau
keduanya. Komponen lingkungan dapat bersifat biologis (contohnya, infeksi)
atau psikologis (contohnya, situasi keluarga yang penuh tekanan atau

4
kematian kerabat dekat). Dasar biologis diatesis dapat tebentuk lebih lanjut
oleh pengaruh epigenetik, seperti penyalahgunaan zat, stres psikososial, dan
trauma (Sadock & Sadock, 2010).

2.3 Faktor Risiko


Faktor Resiko Terjadinya Skizofrenia Menurut Hawari (2010) Skizofenia
bukan merupakan penyakit melainkan sebuah syndrom sehingga faktor resiko
skizofrenia hingga sekarang belum jelas. Teori tentang faktor resiko
skizofrenia dianut oleh faktor organobiologik (genetika, virus, dan malnutrisi
janin), psikoreligius, dan psikososial termasuk diantaranya adalah psikologis,
sosiodemografi, sosio-ekonomi, sosio-budaya, migrasi penduduk, dan
kepadatan penduduk di lingkungan pedesaan dan perkotaan. Damabrata (2003)
mengatakan bahwa semua faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain yang
mengakibatkan kondisi psikologi yang rentan. Pada fase berikutnya apabila
dikenai stress sosio-ekonomi dan psikososial seperti status ekonomi yang
rendah, gagal dalam mencapai cita-cita, konflik yang berlarut, kematian
keluarga yang dicintai dan sebagainya dapat menjadi faktor pencetus
berkembangnya skizofrenia (Wahyudi A dan Fibriana AI, 2016).
2.4 Manifestasi klinis
Videbeck (2012) mengatakan bahwa secara general gejala serangan skizofrenia
dibagi menjadi 2 (dua), yaitu gejala positif dan negatif.

a. Gejala Positif

Gejala positif skizofrenia antara lain:

1) Halusinasi: Persepsi sensori yang salah atau pengalaman yang tidak terjadi
dalam realitas.

2) Waham: Keyakinan yang salah dan dipertahankan yang tidak memiliki dasar
dalam realitas.

3) Ekopraksia: Peniruan gerakan dan gestur orang lain yang diamati pasien.

4) Flight of ideas: Aliran verbalitasi yang terus-menerus saat individu


melompat dari suatu topik ke topik laindengan cepat.

5
5) Perseverasi: Terus menerus membicarakan satu topik atau gagasan;
pengulangan kalimat, kata, atau frasa secara verbal,dan menolak untuk
mengubah topik tersebut.

6) Asosiasi longgar: Pikiran atau gagasan yang terpecah-pecah atau buruk.

7) Gagasan rujukan: Kesan yang salah bahwa peristiwa eksternal memiliki


makna khusus bagi individu.

8) Ambivalensi: Mempertahankan keyakinan atau perasaan yang tampak


kontradiktif tentang individu, peristiwa, situasi yang sama.

b. Gejala Negatif

Gejala negatif skizofrenia antara lain:

1) Apati: Perasaan tidak peduli terhadap individu, aktivitas, peristiwa.

2) Alogia: Kecendrungan berbicara sedikit atau menyampaikan sedikit substansi


makna (miskin isi).

3) Afek datar: Tidak adanya ekspresi wajah yang akan menunjukkan emosi atau
mood.

4) Afek tumpul: Rentang keadaan perasaan emosional atau mood yang terbatas.

5) Anhedonia: Merasa tidak senang atau tidak gembira dalam menjalani hidup,
aktivitas, atau hubungan.

6) Katatonia: imobilitas karena faktor psikologis, kadang kala ditandai oleh periode
agitasi atau gembira, klien tampak tidak bergerak, seolah-olah dalam keadaan
setengah sadar.

7) Tidak memiliki kemauan: Tidak adanya keinginan, ambisi, atau dorongan untuk
bertindak atau melakukan tugas-tugas.

6
2.4 Klasifikasi
Kraepelin membagian skizofrenia menjadi beberapa jenis. Penderita
digolongkan ke dalam salah satu jenis menurut gejala utama yang terdapat
padanya. Akan tetapi batas-batas golongan-golongan ini tidak jelas, gejala-
gejala dapat berganti- ganti atau mungkin seorang penderita tidak dapat
digolongkan ke dalam salah satu jenis.

Pembagiannya adalah sebagai berikut.:

7
1. Skizofrenia Paranoid

Skizofrenia paranoid agak berlainan dari jenis-jenis yang lain dalam


jalannya penyakit. Skizofrenia hebefrenik dan katatonik sering lama
kelamaan menunjukkan gejala-gejala skizofrenia simplex, atau gejala-
gejala hebefrenik dan katatonik bercampuran. Tidak demikian halnya
dengan skizofrenia paranoid yang jalannya agak konstan. Gejala-gejala
yang mencolok adalah waham primer, disertai dengan waham-waham
sekunder dan halusinasi. Baru dengan pemeriksaan yang teliti ternyata ada
juga gangguan proses berpikir, gangguan afek, emosi dan kemauan.

Jenis skizofrenia ini sering mulai sesudah umur 30 tahun. Permulaannya


mungkin subakut, tetapi mungkin juga akut. Kepribadian penderita sebelum
sakit sering dapat digolongkan skizoid. Mereka mudah tersinggung, suka
menyendiri, agak congkak dan kurang percaya pada orang lain
(Maramis,2009)

2. Skizofrenia Hebefrenik

Permulaannya perlahan-lahan atau subakut dan sering timbul pada masa


remaja atau antara 15-25 tahun. Gejala yang mencolok adalah: gangguan
proses berpikir, gangguan kemauan dan adanya depersonalisasi atau double
personality. Gangguan psikomotor seperti mannerism, neologisme atau
perilaku kekanak-kanakan sering terdapat pada skizofrenia hebefrenik.
Waham dan halusinasi banyak sekali(Maramis,2009).

3. Skizofrenia Katatonik

Timbulnya pertama kali antara umur 15-30 tahun, dan biasanya akut serta
sering didahului oleh stres emosional. Mungkin terjadi gaduh-gelisah
katatonik atau stupor katatonik

Stupor katatonik: penderita tidak menunjukkan perhatian sama sekali


terhadap lingkungannya. Emosinya sangat dangkal. Gejala yang penting
adalah gejala psikomotor seperti: mutisme, kadang-kadang dengan mata
tertutup muka tanpa mimik, seperti topeng stupor, penderita tidak bergerak

8
sama sekali untuk waktu yang lama, beberapa hari, bahkan kadang-kadang
sampai beberapa bulan bila diganti posisinya penderita menentang:
negativism makanan ditolak, air ludah tidak ditelan sehingga terkumpul di
dalam mulut dan meleleh keluar, air seni dan feses ditahan terdapat grimas
dan katalepsi. Secara tiba-tiba atau pelan-pelan penderita keluar dari
keadaan stupor ini dan mulai berbicara dan bergerak(Maramis,2009).

Gaduh-gelisah katatonik: Terdapat hiperaktivitas motorik tetapi tidak


disertai dengan emosi yang semestinya dan tidak dipengaruhi oleh
rangsangan dari luar Penderita terus berbicara atau bergerak saja. la
menunjukkan stereotipi, manerisme grimas dan neologisme. Ia tidak dapat
tidur tidak makan dan minum sehingga mungkin terjadi dehidrasi atau
kolaps dan kadang-kadang kematian karena kehabisan tenaga dan terlebih
bila terdapat juga penyakit badaniah jantung paru, dan sebagainya)
(Maramis,2009).

4. Skizofrenia Simplex

Sering timbul pertama kali pada masa pubertas. Gejala utama pada jenis
simplex adalah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan
proses berpikir biasanya sukar ditemukan. Waham dan halusinasi jarang
sekali terdapat. Jenis ini timbulnya perlahan-lahan sekali. Pada permulaan
mungkin penderita mulai kurang memperhatikan keluarganya atau mulai
menarik diri dari pergaulan. Makin lama ia makin mundur dalam pekerjaan
atau pelajaran dan akhirnya menjadi penganggur(Maramis,2009).

5. Skizofrenia Residual

jenis ini adalah keadaan kronis dari skizofrenia dengan riwayat sedikitnya
satu episode psikotik yang jelas dan gejala-gejala berkembang ke arah gejala
negative yang lebih menonjol. Gejala negatif terdiri dari kelambatan
psikomotor, penurunan aktivitas penumpulan afek pasif dan tidak ada
inisiatif, kemiskinan pembicaraan ekspresi nonverbal yang menurun, serta
buruknya perawatan diri dan fungsi sosial(Maramis,2009).

9
2.5 Diagnosis
DSM-V
Diagnosis gangguan skizofrenia ditegakkan saat pasien mengalami 2 gejala
dari gejala 1 sampai 5 dari kriteria A pada tabel (bicara kacau), kriteria B
mensyaratkan adanya gangguan fungsi, 21 gejala harus bertahan selama
minimal 6 bulan, dan diagnosis dari gangguan skizoafektif atau gangguan
mood harus ditepis (Sadock, et al., 2015).
Berikut Kriteria Diagnostik Skizofrenia dalam DSM-V :
1) Karakteristik Gejala Terdapat 2 atau lebih dari kriteria dibawah ini, masing-
masing terjadi dalam kurun waktu yang signifikan selama 1 bulan (atau
kurang bila telah berhasil diobati). Paling tidak salah satunya harus (1), (2),
atau (3):
a. Delusi/Waham
b. Halusinasi
c. Bicara Kacau (contoh: sering melantur atau inkoherensi)
d. Perilaku yang sangat kacau atau katatonik
e. Gejala negatif, (yaitu: ekspresi emosi yang berkurang atau kehilangan
minat)
2) Disfungsi Sosial/Pekerjaan Selama kurun waktu yang signifikan sejak
awitan gangguan, terdapat satu atau lebih disfungsi pada area fungsi utama;
seperti pekerjaan, hubungan interpersonal, atau perawatan diri, yang berada
jauh di bawah tingkat yang dicapai sebelum awitan (atau jika awitan pada
masa anak-anak atau remaja, ada kegagalan untuk mencapai beberapa
tingkat pencapaian hubungan interpersonal, akademik, atau pekerjaan yang
diharapkan).
3) Durasi Tanda kontinu gangguan berlangsung selama setidaknya 6 bulan.
Periode 6 bulan ini harus mencakup setidaknya 1 bulan gejala (atau kurang
bila telah berhasil diobati) yang memenuhi kriteria A (yaitu. gejala fase
aktif) dan dapat mencakup periode gejala prodromal atau residual. Selama
periode gejala prodromal atau residual ini, tanda gangguan dapat
bermanifestasi sebagai gejala negatif saja atau 2 atau lebih gejala yang
terdaftar dalam kriteria A yang muncul dalam bentuk yang lebih lemah

10
(contoh., keyakinan aneh, pengalaan perseptual yang tidak lazim).
4) Eksklusi gangguan mood dan skizoafektif Gangguan skizoafektif dan
gangguan depresif atau bipolar dengan ciri psikotik telah disingkirkan baik
karena
a. Tidak ada episode depresif manik, atau campuran mayor yang terjadi
bersamaan dengan gejala fase aktif, maupun
b. Jika episode mood terjadi selama gejala fase aktif durasi totalnya relatif
singkat dibandingkan durasi periode aktif dan residual.
5) Eksklusi kondisi medis umum/zat Gangguan tersebut tidak disebabkan efek
fisiologis langsung suatu zat (contoh: obat yang disalahgunaan, obat medis)
atau kondisi medis umum.
6) Hubungan dengan keterlambatan perkembangan global Jika terdapat riwayat
gangguan autistik atau keterlambatan perkembangan global lainnya,
diagnosis tambahan skizofrenia hanya dibuat bia waham atau halusinasi
yang prominen juga terdapat selama setidaknya satu bulan (atau kurang bila
telah berhasil diobati). (Sadock, et al., 2015).

2.4 Penatalaksanaan
Tatalaksana
Prinsip Umum Tatalaksana Skizofrenia:
a. Tatalaksana Awal
Tujuan selama 7 hari pertama untuk menurunkan gejala agitasi,
permusuhan, kecemasan, dan agresi dan normalisasi tidur dan makan.
Untuk generasi pertama psikosis, kisaran dosis adalah sekitar 50% dari
pasien yang sakit kronis. Setelah 1 minggu pada dosis yang stabil,
peningkatan dosis yang sederhana dapat dipertimbangkan. Obat harus
digunakan dengan dosis optimal untuk 4-6 minggu sebelum memutuskan
apakah obat tersebut efektif. Pasien harus selalu dimonitoring terkait
efektivitas pengobatan, efek samping, kepatuhan pasien, dan kesehatan
fisik. Jika tidak ada perbaikan dalam waktu 3 sampai 4 minggu pada dosis
terapeutik, maka antipsikotik alternatif harus dipertimbangkan. Pada
responden parsial yang menoleransi antipsikotik, memungkinkan untuk

11
melakukan titrasi di atas kisaran dosis biasa dengan pemantauan ketat
(Wells et al, 2015).

b. Terapi Stabilisasi
Selama minggu 2 dan 3, tujuannya adalah untuk meningkatkan
sosialisasi, perawatan diri, dan mood. Perbaikan dalam gangguan
pemikiran formal mungkin memerlukan 6 sampai 8 minggu tambahan.
Titrasi dosis dapat berlanjut setiap 1 sampai 2 minggu selama pasien tidak
memiliki efek samping. Jika perbaikan gejala tidak memuaskan setelah 8
sampai 12 minggu dengan dosis yang cukup, pertimbangkan tahap
algoritma berikutnya (Wells et al, 2015).
c. Terapi Pemeliharaan
Lanjutkan pengobatan paling sedikit 12 bulan setelah penggunaan
generasi psikotik pertama. Farmakoterapi seumur hidup diperlukan pada
sebagian besar penderita skizofrenia. Antipsikotik (terutama FGA dan
klozapine) harus diturunkan dosisnya perlahan sebelum penghentian untuk
menghindari gejala kolinergik rebound. Secara umum, bila beralih dari satu
antipsikotik ke yang lain, yang pertama harus diturunkan bertahap dosisnya
dan dihentikan selama 1 sampai 2 minggu sementara antipsikotik kedua
dimulai dan digunakan secara bertahap (Wells et al, 2015).

Terapi Farmakologi
Pilihan antipsikotik harus dipandu dengan mempertimbangkan
karakteristik klinis pasien dan profil efek samping dan efek obat. Tahapan
dapat dilewatkan tergantung pada gambaran klinis atau riwayat kegagalan
antipsikotik Episode pertama atau sebelumnya tidak pernah diobati dengan
SGA.
Antipsikotik
Obat antipsikotik mampu mengurangi gejala psikotik dalam
berbagai kondisi, termasuk skizofrenia. Obat ini juga mampu memperbaiki
mood dan mengurangi kecemasan dan gangguan tidur, tapi bukan
pengobatan pilihan saat gejala ini merupakan gangguan utama pada pasien

12
nonpsikotik. Neuroleptik adalah subtipe obat antipsikotik yang
menghasilkan insidensi ekstrapiramidal efek samping (EPS) yang tinggi
pada dosis efektif secara klinis, atau katalepsi pada hewan laboratorium
(Katzung et al., 2013)
Dibandingkan dengan FGA, SGA dikaitkan dengan risiko efek
samping motorik yang lebih rendah (tremor, kekakuan, kegelisahan, dan
dyskinesia). Obat antipsikotik "atipikal" sekarang adalah jenis obat
antipsikotik yang paling banyak digunakan (Katzung et al., 2013; Kelly et
al., 2016).
Tabel 2. Golongan Obat Anti Psikotik
Dosis Range
Nama Merk Awal Dosis
Generik Dagang (mg/hari) umum
(mg/hari
)
Antipsikotik Generasi Pertama
Klorpromazin Thorazine 50-150 300–
1000
Flufenazin Prolixin 5 5–20
Haloperidol Haldol 2–5 2–20
Loxapine Loxitane 20 50–150
Loxapine Adasure 10 10
Inhaled
Perfenazin Trilafon 4–24 16–64
Tioridazin Mellaril 50-150 100–800
Thiotiksen Navane 4–10 4–50
Trifluoperazin Srelazine 2–5 5–40
Antipsikotik Generasi Kedua
Aripiprazol Abilify 5–15 15–30
Asenapin Saphris 5 10–20
Klozapin Klozaril 25 100–800
Iloperidon Fanapt 1–2 6–24
Lurasidon Latuda 20–40 40–120
Olanzapin Zyprexa 5–10 10–20
Paliperidon Invega 3–6 3–12
Quetiapin Seroquel 50 300–800
Risperidon Risperdal 1–2 2–8
Ziprasidon Geodon 40 80–160

13
Peningkatan
Obat Sedasi EPS Antikolinergik Ortstatik Berat Prolaktin
Badan
Aripiprazol + + + + + +
Asenapin + ++ ± ++ + +
Klorpromazin ++++ +++ +++ ++++ ++ +++
Klozapin ++++ + ++++ ++++ ++++ +
Flufenazin + ++++ + + + ++++
Peningkatan
Obat Sedasi EPS Antikolinergik Ortstatik Berat Badan Prolaktin
Haloperidol + ++++ + + + ++++
Iloperidon + ± ++ +++ ++ +
Lurasidon + + + + ± ±
Olanzapin ++ ++ ++ ++ ++++ +
Paliperidon + ++ + ++ ++ ++++
Perfenazin ++ ++++ ++ + + ++++
Quetiapin ++ + + ++ ++ +
Risperidon + ++ + ++ ++ ++++
Tioridazin ++++ +++ ++++ ++++ + +++
Tiotiksen + ++++ + + + ++++
Ziprasidon ++ ++ + + + +
EPS: extrapyramidal side effects, Resiko Efek Samping: ± = Sangat kecil/dapat
diabaikan, + = kecil, ++ = Sedang, +++ = tinggi, ++++ = sangat tinggi.
Resiko efek samping relatif tergantung dari dosis dengan range terapi
Resiko pada setiap pasien bergantung dari faktor spesifik

Terapi Non Farmakologi


Pendekatan psikologis dalam pengelolaan masalah kesehatan mental telah
ditetapkan sebagai pendekatan perawatan rutin untuk banyak kelainan di
seluruh negara maju. Untuk beberapa kelainan, misalnya kecemasan dan
gangguan depresi, perawatan psikologis bisa menjadi pengobatan lini pertama.

a. Terapi ECT (Electroconvulsive)


ECT, awalnya diperkenalkan untuk pengobatan skizofrenia di 1930-
an, saat ini paling sering digunakan untuk perawatan depresi (Petrides et al,
2015). ECT dikembangkan oleh psikiater Italia Cerletti dan Bini. Pada saat
itu, diperkirakan bahwa kejang itu sendiri bisa melindungi otak dari gejala
psikotik, karena pengamatan dilakukan bahwa penderita skizofrenia jarang
mengalami epilepsi (pengamatan yang ternyata tidak akurat). Seiring waktu,

14
ECT menjadi lebih banyak digunakan untuk kondisi lain (gangguan mood
dan catatonia pada khususnya), namun tampaknya efektif untuk penderita
gangguan psikotik. Pasien yang paling mungkin merespons ECT adalah
mereka yang memiliki tingkat mood atau gejala positif yang lebih tinggi,
yang memiliki ciri khas katatonik, yang memiliki penyakit baru-baru ini,
atau yang memerlukan respons cepat (misalnya, pasien yang kekurangan
gizi atau agresif). Saat ini, peran terbesar ECT mungkin untuk responden
parsial Klozapine atau pasien resisten dengan klozapine, untuk
meningkatkan pengobatan (Marcsisin, 2017).

b. Terapi Perilaku Kognitif untuk Orang dengan Skizofrenia


Intervensi psikologis kontemporer dalam psikosis telah dipengaruhi
oleh berbagai sekolah teoretis. Pengaruh berasal dari teori psikoanalitik,
kognitif dan perilaku, tetapi juga dari penelitian mengenai proses
psikopatologis yang diduga terkait dengan skizofrenia. Skizofrenia biasanya
ditandai sebagai gangguan dengan disfungsi neurokognitif umum. Hal ini
mencakup semua kemampuan mental seseorang, seperti perhatian, persepsi,
memori, pemrosesan bahasa, kemampuan visuospatial, fungsi eksekutif dan
lain-lain digunakan untuk berinteraksi dengan dan memahami lingkungan
(Roder and Medalia, 2010).
Terapi Perilaku Kognitif untuk Orang dengan Skizofrenia diterapkan
secara luas secara klinis, bukti untuk mendukung keefektifannya sampai
saat ini tidak konsisten. Namun, meta-analisis misalnya McGurk dkk
menunjukkan bahwa pendekatan tersebut memiliki hasil yang signifikan
dalam memperbaiki hasil di beberapa daerah. terapi perilaku kognitif
individual (CBT) dan intervensi keluarga kognitif yang berorientasi pada
manusia (FI) telah dievaluasi dengan baik di berbagai setting dan budaya
dan telah terbukti berkhasiat dalam skizofrenia, dengan perbaikan tingkat
kambuh, gejala dan fungsi yang diamati. Perawatan psikologis, khususnya
CBT, penting dalam pengobatan psikosis dan menawarkan manfaat yang
signifikan di berbagai area, terutama, dalam mengurangi kekambuhan,
masuk ke rumah sakit, tingkat keparahan gejala dan kesusahan serta

15
meningkatkan fungsi dan kinerja kognitif. Selain itu, manfaat yang lebih
luas untuk individu dan layanan dapat diamati, seperti pengurangan
kekerasan dan agresi, perbaikan kepatuhan pengobatan, pengurangan
penggunaan zat, berkurangnya bunuh diri dan tunjangan untuk keluarga dan
perawat (Fleischhacker et al, 2011).
c. Pendekatan Berbasis Keluarga untuk Pasien Skizofrenia
Meskipun kemajuan dalam perawatan farmakoterapi dan psikososial,
skizofrenia tetap merupakan penyakit seumur hidup yang sangat mengubah
pengalaman hidup tidak hanya dari mereka yang menderita, tetapi juga
pengalaman anggota keluarga yang tinggal bersama mereka, mendukung
mereka, dan harus bernegosiasi melalui eksaserbasi penyakit seperti serta
periode remisi dan stabilitas relative. Dukungan psikologis penting untuk
semua orang dengan skizofrenia dan keluarga mereka. Terapi
keluarga dapat membantu mengurangi emosi yang diekspresikan
penderita skizofrenia secara berlebihan, dan ada bukti yang baik bahwa
hal tersebut efektif dalam mencegah kambuh (Katona et al, 2015).
d. Rehabilitasi dalam Skizofrenia
Tujuan rehabilitasi psikiatri adalah untuk membantu individu dengan
penyakit mental yang terus-menerus dan serius untuk membangun
keterampilan emosional, sosial dan intelektual yang dibutuhkan untuk
hidup, belajar dan bekerja di masyarakat dengan sedikit dukungan
profesional. Meski rehabilitasi kejiwaan tidak menyangkal adanya atau
dampak penyakit jiwa, praktik rehabilitasi telah mengubah persepsi
penyakit jiwa.
Mengaktifkan orang-orang dengan penyakit mental yang gigih dan
serius untuk menjalani kehidupan normal di masyarakat menyebabkan
pergeseran dari fokus pada model penyakit ke model kecacatan fungsional.
Dengan demikian, ukuran hasil lainnya selain kondisi klinis menjadi
relevan. Terutama peran sosial yang berfungsi termasuk hubungan sosial,
kerja dan liburan serta kualitas hidup dan beban keluarga sangat menarik
bagi penyandang cacat mental yang tinggal di masyarakat. Sebagian besar
orang sakit kronis yang ditargetkan oleh rehabilitasi psikiatri memiliki

16
diagnosis gangguan skizofrenia. Kelompok inti diambil dari pasien dengan
psikopatologi yang terus-menerus dan ketidakstabilan yang ditandai
ditandai dengan seringnya kambuh dan maladaptasi sosial (Fleischhacker et
al, 2011).

2.5 Prognosis
Dengan intervensi dini yang komprehensif, yang antara lain meliputi
pemberian antipsikotik secara optimal, terapi kognitif perilaku, pelibatan keluarga,
perawatan di masyarakat dan manajemen kasus yang baik, angka kesembuhan
skizofrenia dapat ditingkatkan Untuk menetapkan prognosis kita harus
mempertimbangkan semua faktor di bawah ini:

1) Kepribadian prepsikotik: Bila skizoid dan hubungan antarmanusia memang


kurang memuaskan, maka prognosis lebih jelek.
2) Bila skizofrenia timbul secara akut, maka prognosis lebih baik daripada bila
penyakit itu mulai secara pelan-pelan.
3) Jenis: Prognosis jenis katatonik yang paling baik dari semua jenis. Sering
penderita dengan skizofrenia katatonik sembuh dan kembali ke kepribadian
prepsikotik. Kemudian menyusul prognosis jenis paranoid. Banyak dari
penderita ini dapat dikembalikan ke masyarakat. Skizofrenia hebefrenik dan
skizofrenia simplex mempunyai prognosis yang sama jelek. Biasanya
penderita dengan jenis skizofrenia ini menuju ke arah kemunduran mental
4) Umur: Makin muda umur permulaannya, makin jelek prognosis.
5) Pengobatan: Makin lekas diberi pengobatan, makin baik prognosisnya.
6) Dikatakan bahwa bila terdapat faktor pencetus, seperti penyakit badaniah
atau stres psikologis, maka prognosis lebih baik.
7) Faktor keturunan: prognosis menjadi lebih berat bila di dalam keluarga
terdapat seorang atau lebih yang juga menderita skizofrenia. Untuk
menjawab pertanyaan dapatkah penderita bekerja lagi seperti semula.
sebaiknya tunggu sampai pengobatan berjalan beberapa bulan dan
tergantung pada keadaan inilah kemudian dianjurkan ia dapat ditempatkan
pada pekerjaan.

Pasien yang menghentikan pengobatan disebutkan 60-70% akan mengalami

17
kekambuhan dalam satu tahun, dan 85% dalam 2 tahun, dibandingkan dengan
pasien yang tetap aktif melaksanakan pengobatan yaitu 10-30% (Puri, et al.,
2014).

18
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
No. RM :-
Nama : Tn. NM
Umur : 41 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : islam
Status pernikahan : belum menikah
Pendidikan terakhir : SMA
Pekerjaan Terakhir : kuli bangunan
Alamat : pradah kali Kendal rt 002 rw 001
Tanggal Kunjungan : 23 november 2021 Pukul 11. 30

19
3.2 Identitas Keluarga Pasien
Anggota yang tinggal serumah
Nama : SM
Jenis kelamin : perempuan
Usia : 79 tahun
Pekerjaan : pedagang
Hubungan dengan pasien : ibu pasien

Nama : Tn. J
Jenis : laki-laki
Usia : 81tahun
Pekerjaan : pensiun
Hubungan dengan pasien : ayah pasien

Nama : Nn. I
Jenis : perempuan
Usia : 19 tahun
Pekerjaan : pegawai pabrik roti
Hubungan dengan pasien : adik pasien

3.3 Anamnesis
Auto Anamnesis
Aspek personal
Keluhan utama Tidak ada
Riwayat Pasien laki-laki perawakan kurus kulit sawo matang rambut
perjalanan hitam kriting pendek berpakaian kaos biru tua dan celana
penyakit pendek berwarna abu-abu dengan penampilan kurang rapi.
Tidak bertato dan tidak bertindik. Wajah sesuai usia, bau dan
berkeringat. Pasien kooperatif namun kurang komunikatif.
Saat diajak berbicara pasien terkadang menatap mata
pemeriksa, akan tetapi kebanyakan menatap kearah bawah dan

20
atas, saat ditanya nama pasien menjawab dengan benar, pasien
masih bisa mengingat nama ayah, ibu dan keluarga pasien,
saat ditanya alamat rumah pasien menjawab dengan benar,
saat ditanya hari dan tanggal saat ini pasien menjawab namun
salah. Pasien mengetahui dirinya saat ini sedang di rumah
orangtuanya dan tinggal di rumah dengan ibu, bapak dan adik
pasien.Pendidikan terakhir pasien menjawab terakhir sekolah
STM. Pasien mengaku saat SMA dulu putus dengan pacarnya
karena tdak cocok dan mengaku putus baik-baik, teman saat
sekolah dulu banyak dan sering mengajak teman ke rumah
namun saat ditanya nama teman-temannya pasien lupa. Saat
ini pasien masih
Riwayat penyakit Sering marah-marah. Pasien mengaku bahwa pasien marah
dahulu karena kesakitan seperti ada yang memukul pasien. Sehingga
pasien marah-marah. Pasien menyadari sebelumnya pasien
memiliki kebiasaan minum-minum alkohol dan di campur
dengan pil, saat ditanya warna pilnya apa pasien lupa. Pasien
minum
Riwayat Penyakit Diabetes mellitus (-), hipertensi(-), gangguan kejiwaan
keluarga (skizofrenia) disangkal
Aspek risiko internal
Riwayat sosial Pasien terkadang di rumah sesekali keluar rumah . Di rumah
dan perilaku biasanya membantu ibu menyiapkan makanan didapur dan
melakukan pekerjaan dapur jika di perintah. Terkadang pasien
membersihkan debu yang ada di rumah. Pasien bersedia mandi
jika diberikan imbalan berupa kopi dan rokok jika di luar
pasien sering ke warung kopi pinggir jalan dekat pom bensin
untuk mengopi dan merokok.
Keluarga Hubungan dengan keluarga baik, pasien mengaku tidak pernah
bertengkar dengan orangtua maupun saudaranya

21
Pendapatan harian keluarga sekitar 400.000,- s/d 500.000,-
/hari dari hasil menjual pisang molen
Tempat tinggal Lingkungan tempat tinggal kurang mendukung, ventilasi
rumah terbatas dan cahaya matahari tidak dapat langsung
masuk ke rumah. Kamar tidur pasien didalamnya terdapat
sepeda, kereta bayi dan tidak ada Kasur atau alas untuk tempat
tidur
Lingkungan kerja Kondisi lingkungan kerja tidak diketahui, riwayat trauma di
tempat kerja disangkal

HETEROANAMNESIS
1. Rincian keluhan utama :
Sekitar tahun 2001 pasien mengamuk tanpa sebab, keluarga menduga
pasien mengamuk tanpa sebab akibat kerasukan jin akibat diguna-guna.
Keluarga mengatakan sebelumnya pasien baik-baik saja tidak ada
permasalahan baik di dalam keluarga ataupun dalam hal pertemanan,
diketahui pasien juga tidak pernah berkelahi, hanya saja pasien memiliki
kebiasaan minum-minuman keras sejak SMA, konsumsi obat-obatan dan
narkoba disangkal oleh ibu pasien. Kondisi percintaan sebelum sakit dari
keluarga tidak diketahui karena pasien tidak pernah mengenalkan
kekasihnya kepada keluarganya. Pasien adalah pribadi yang cukup tertutup
dan jarang menceritakan permasalahannya kepada anggota keluarga.
Mengenai pertemanan pasien ibu bilang baik -baik saja dan memiliki
banyak teman. Pasien tidak pernah berkelahi sebelumnya baik dengan
teman maupun keluarga. Keluhan marah-marah terakhir 5 tahun yang lalu.
Kemauan beribadah tidak ada sudah sejak sebelum sakit. Saat pasien sedang
marah dan mengamuk keluarga hanya mengurung pasien, tidak ada
pemasungan maupun pengikatan.
2. Gejala yang menyertai keluhan utama : tidak mau mandi, berbicara
melantur
3. Gejala prodromal : kebiasaan konsumsi alkohol
dan pil yang di campurkan saat minum alkohol

22
4. Peristiwa terkait keluhan utama :tidak diketahui, ibu menduga
bahwa pasien diguna-guna seseorang,.
5. Riwayat penyakit dahulu : tidak ada
6. Riwayat pengobatan : 2 tahun dibawa ke pak kyai
di pasuruan (sedikit membaik namun masih sering marah-marah), 4 bulan
pengobatan di menur (berhenti pengobatan karna tidak bisa menebus biaya
pengobatan)
7. Riwayat sosial dan pekerjaan : kuli bangunan membantu
ayahnya
8. Faktor kepribadian premorbid : sulit di evaluasi karena
pasein memiliki kepribadian yang tidak khas
9. Faktor keturunan : keluarga menyangkal adanya
penyakit atau keluhan yang sama dengan pasien
10. Faktor organik : trauma disangkal
11. Faktor pencetus : konsumsi alkohol dan zat aditif
12. Pola Asuh keluarga : keluarga selalu membebaskan keinginan pasien,
tidak pernah mengekang dan menuntut apapun kepada pasien. Pasien bebas
melakukan hal yang dimau dan disukainya

3.3 Pemeriksaan Fisik


Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
A. Tanda-tanda vital :
Nadi : 88x / menit
RR : 20x / menit
Suhu : 36’5 oC
Tensi : 120/90 mmhg
B. Status Neurologi :
GCS : 456
Meningeal sign : tidak dievaluasi
Reflek fisiologis : tidak dievaluasi
Reflek patologis : tidak dievaluasi

23
C. Status Psikiatri :
Kesan umum : penampilan kurang rapi tidak ada tanda perawatan
diri yang baik
Kontak :kontak mata ada namun terkadang pasien menunduk
ke bawah
Kesadaran : berkabut
Orientasi : waktu (buruk), orang (baik) dan tempat (buruk)
Daya ingat : memori jangka Panjang (berkurang) memori jangka
pendek (berkurang)
Kemampuan bicara : baik pasien menjawab setiap pertanyaan yang
diajukan, logorea(-), ekolalia (-)
Mood : datar
Proses berpikir : non Realistik,
Bentuk pikiran : miskin ide
Arus pikiran : relevan dan pikiran terhambat
Waham : saat ini tidak ada
Halusinasi : saat ini tidak ada
Tilikan : merasa tidak sakit
D. Status Gizi :
Berat badan : 60kg

Tinggi badan : 165

BMI : 22

3.4 Pemeriksaan Penunjang


tidak dilakukan

24
3.5 Diagnosis & Aspek fungsional
Diagnosis muktiaxial :

Axis I : F20.5 Skizofrenia Residual

Axis II :Ciri Kepribadian tidak khas

Axis III : Tidak Ditemukan Kelainan

Axis IV : Masalah psikososial dan lingkungan lain

Axis V : GAF Scale 40-31 (beberapa disabilitas dalam hubungan dengan


realitas dan komunikasi, disabilitas berat dalam beberapa fungsi)

3.6 Penatalaksanaan

Farmokologis : Risperidone 2mg/hari


Non farmakologis :
konsultasi dokter spesialis Sp.KJ
Cognitif behavior Therapy
Pendekatan berbasis keluarga
Edukasi : rutin check up terutama jika obat akan habis

3.7 Prognosis
Item Evaluasi Ad Bonam Ad Malam
Jenis kepribadian Ciri kepribadian -
tidak khas
Onset - Kronis
Jenis - Residual
Usia muda atau - Sejak usia 20-an
lanjut
Pengobatan Early intervention -
Faktor pencetus Ekonomi dan -
keluarga
Faktor genetik Tidak -

25
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Alur Kunjungan
Kunjungan dilakukan pada hari Selasa, 23 November 2021 pukul 11.45.
sebelum penulis berkunjung ke rumah pasien, penulis menemui kader
kesehatan jiwa yang ada di kelurahan pradah terlebih dahulu untuk perizinan
dan arahan lokasi kunjungan ke rumah pasien. Saat akan berkunjung ke lokasi,
penulis ditemani oleh pembimbing dari puskesmas (psikolog fitri), kader desa
pradah, KAMTIB dan LINMAS. Saat berkunjung ke rumah pasien, kami
menemui ibu pasien terlebih dahulu sekaligus melakukan inform consent
mengenai kunjungan rumah yang dilakukan. Ibu pasien sangat ramah dan baik.
Setelah itu kami bertemu dengan pasien atas izin dari ibu pasien dan pasien
sendiri. Tanggapan pasien baik, namun dengan ekspresi datar dan saat
menjawab pertanyaan yang diajukan pasien menjawab dengan jawaban singkat
dan terkadang menjadi bingung. Saat berbincang dan melakukan pemeriksaan
pasien mengikuti perintah tanpa penolakan.
4.2 Daftar Permasalahan
1. Penampilan yang kurang rapi, ketidakmampuan mengurus diri sendiri
2. Pengobatan yang terhenti karena kendala biaya
3. Kondisi rumah yang belum mencerminkan rumah sehat
4. Kurangnya pengetahuan keluarga mengenai kondisi kejiwaan pasien
5. Dukungan keluarga yang kurang

4.3 Analisis Kebutuhan


1. Membangun rasa kepercayaan diri pasien melalui pendekatan individual
2. Melakukan therapy cognitive behavior
3. Mengajarkan keluarga pentingnya peran keluarga dalam proses pemulihan
pasien dengan skizofrenia
4. Mengenalkan ciri rumah sehat

26
5. Mengajarkan pola hidup sehat dengan dimulai dari personal melalui leaflet,
dan video mengenai cara merawat diri dan personal hygiene yang baik dan
benar.
4.3.1 Kebutuhan Fisik-Biomedis
a. Kecukupan Gizi
Kalori : 2550 kkal
Protein :65g
Karbohidrat : 415g
Lemak : 70g
Serat : 36g
Air :2500ml
b. Kegiatan fisik : aktivitas fisik selama 30 menit setiap hari : senam atau lari santai
c. Akses Pelayanan Kesehatan
Akses pelayanan kesehatan terdekat yaitu puskesmas pembantu yang terletak
di Jl. Pradah Kalikendal VI, Pradah kalikendal, Kec. Dukuh pakis, Kota SBY,
Jawa Timur 60226, Indonesia

4.3.2 Kebutuhan Bio-Psiko-Sosial


a. Lingkungan Biologis
Kondisi rumah :
1. Rumah milik sendiri
2. Jenis rumah : papan
3. Ukuran : 2x 45 m2

27
4. Atap rumah : Genteng
5. Lantai rumah : Keramik
6. Ventilasi : kurang, tidak ada jendela di masing-masing kamar tidur,
jendela hanya ada di depan ruang tamu dan jarang dibuka pada siang hari.
Matahari tidak dapat langsung masuk ke dalam rumah. Hanya di bagian
belakang rumah yaitu di kamar mandi dan dapur.
7. Kebersihan dan kerapian: Kurang
8. Pembuangan sampah : di tempat sampah
9. Sumber air yang digunakan :
Sumber air yang digunakan adalah air kran untuk kebutuhan sehari-hari :
a. Penggunaan air :dimasak
b. Tempat penyimpanan air : Tertutup
c. Pengurasan tempat air minum : tidak tentu, jika sudah terlihat kotor
ya dibersihkan
d. Kualitas air : tidak berbau, tidak berwarna dan
tidak berasa.
b. Faktor Psikologis dan Sosial
sosial ekonomi yang rendah, orangtua yang masih belum well educated,
lingkungan pasien yang kurang mendukung proses penyembuhan
4.4 Intervensi
1) Memberikan saran untuk melakukan pengobatan dengan menggunakan
BPJS
2) Memberi penjelasan jika mengalami kesulitan untuk mengantar pasien
berobat , maka bisa bekerjasama dengan linmas di sekitar tempat
3) Pengawasan terhadap pasien jika terjadi gaduh gelisah
4) Memberi penjelasan keluarga keluarga ciri rumah sehat
5) Terapi Family, dengan tujuan keluarga mampu mendukung subjek, dan
hubungan subjek dengan keluarga membaik.
6) Mengajarkan personal hygine yang benar dengan menggunakan selebaran
dan video yang ada di youtube mengenai pentingnya kebersihan diri seperti
mandi, keramas, gosok gigi, cuci tangan yang benar.

28
4.4.1 Rencana intervensi
Sarankan lanjutkan pengobatan dengan menggunakan BPJS kesehatan
Melakukan terapi Cognitif behavior therapy
Konsultasikan kepada psikologi atau dokter spesialis kesehatan jiwa
4.4.2 Implementasi intervensi
Penyuluhan dan edukasi pasien, home visite secara berkala
4.4.3 Media promosi kesehatan
Leaflet
Berikut media yang digunakan penulis :

29
30
BAB V
SIMPULAN
Skizofrenia residual merupakan keadaan kronis dari skizofrenia dengan
riwayat sedikitnya satu episode psikotik disertai gejala negatif yang menonjol.
Pasien ini mengalami Skizofrenia sejak 22 tahun yang lalu (kronis). Pasien
sudah sempat melakukan pengobatan di RSJ Menur Surabaya saat terjadi gaduh
gelisah, pengobatan sudah berjalan 5 tahun, saat ini terhenti dikarenakan
kendala biaya. Oleh karenanya pada pasien ini dilakukan intervensi
mengarahkan pasien untuk tetap berobat kembali ke puskesmas dengan
menggunakan kartu BPJS Pasien, sehingga diharapkan jika pasienn rutin
berobat dapat memperbaiki kualitas hidup pasien.

31
DAFTAR PUSTAKA

Barlow, D.H. & V. Mark Durand. 2012. Abnormal Psychology An Integrative


Approach. USA: Thomson Wadsworth.

Darmabrata, Wahjadi, et.al, 2013. Psikiatri Forensik, Penerbit Buku Kedokteran


EGC, Jakarta
DiPiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. and DiPiro C. V., 2015.
Pharmacotherapy Handbook, Ninth Edit., Mc Graw-Hill Education
Companies, Inggris.
Fleischhacker, W. Wolfgang. 2011. Encyclopedia of Schizophrenia Focus on
Management Options. United Kingdom: Springer Healthcare Limited.
Hawari, Dadang. 2011. Manajemen Stres Cemas dan Depresi. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI
Katona, Cornelius. 2012. At a Glance: Psikiatri. Edisi 4.Jakarta: Erlangga.
Katzung, B.G., Masters, S.B. dan Trevor, A.J., 2014, Farmakologi Dasar &Klinik,
Vol.2, Edisi 12, Editor Bahasa Indonesia Ricky Soeharsono et al.,Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Lieberman, Rieger & Banker, 2012, Pharmaceutical Dosage Form : Disperse
System, Vol ke-2, 495-498, Marcel Dekker Inc, New York.
Maslim,R. 2019. Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas PPDGJ-III DSM-5
ICD11. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya
Maramis. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2. Surabaya: Airlangga.
Michael J Marcsisin, Jason B Rosenstock, Jessica M Gannon.2017. Schizophrenia
and related disorders. Oxford UniversityPress,
Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P. 2015. Kaplan and Sadock’s Synopsis of Psychiatry:
Behavioral Sciences Clinical Psychiatry. Eleventh E. Pataki CS, Sussman N,
editors. Philadelphia: Wolters Kluwer; 1403-1422
Videbeck, Sheila .2012. Buku Ajar Keperawatan Jiwa (Renata
Komalasari,penerjemah). Jakarta: EGC.
Wahyudi, A & Fibriana, A I. 2016. Faktor Resiko Terjadinya
SKIZOFRENIA(Studi Kasus di Wilayah Kerja Puskesmas Pati II) Public
Health Perspective Journal 1 (1)

32
Lampiran 1. Denah Rumah Pasien

Keterangan :
TDR : teras depan rumah
RT : ruang tamu
KT : kamar tidur
D : Dapur
KM : kamar mandi

33
Lampiran 2. Dokumentasi Kunjungan

34

Anda mungkin juga menyukai