Anda di halaman 1dari 3

Pemanggilan Para Pihak

Pengadilan Agama sebagai lembaga pelaksanaan kekuasaan kehakiman harus menempatkan dirinya
sebagai lembaga peradilan yang sesungguhnya (court of law) sesuai dengan kedudukannya yang telah
diberikan oleh Undang-Undang nomor 7 tahun 1989 tentang peradian agama. Dengan demikian
Pengadilan Agama perlu meningkatkan kualitas aparatnya sehingga dapat melaksanakan dengan baik
dan benar tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Adapun yang harus dilakukan adalah melaksanakan
hukum acara dengan baik sesuai dengan ketentuan yang berlaku seperti halnya memanggil para pihak
untuk mengikuti persidangan dan tugas ini diberikan kepada juru sita sebagai pihak yang bertanggung
jawab memanggil para pihak yang berperkara untuk hadir dalam persidangan.

Tugas Juru sita sebagaimana tersebut dalam Pasal 103 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
peradilan Agama harus dilakukan dengan benar dan penuh tanggung jawab. Juru sita dilarang
menyampaikan panggilan dan pemberitahuan putusan di luar yurisdiksi Pengadilan Agama yang
memberikan perintah dan pemberitahuan putusan tersebut.

Surat panggilan disebut juga dengan “relaas”. Dalam hukum acara perdata, relaas ini dikategorikan
sebagai akta autentik. Dalam pasal 166 HIR dan pasal 285 R.Bg serta pasal 1868 B.W, disebutkan bahwa
akta autentik adalah suatu akta yang dibuat dihadapan pegawai umum dalam bentuk yang ditentukan
oleh undang-undang yang berlaku.

Masalah pemanggilan dan pemberitahuan putusan dimuat dalam pasal 122, 388, dan pasal 390 HIR dan
pasal 146, pasal 718 R.Bg serta pasal 26-28 PP nomor 9 tahun 1975 dan pasal 138-140 KHI. Adapun
teknis pemanggilan para pihak yang berperkara sebagai berikut:[6]

1) Pemanggilan dalam wilayah yurisdiksi

Ada dua asas yang harus diperhatikan dalam melakukan pemanggilan yaitu: harus dilakukan secara
resmi sesuai dengan undang-undang yang berlaku dan harus memenuhi tenggang waktu yang patut.
Dalam praktik Peradilan Agama selama ini, pemanggilan seperti tersebut terakhir ini adalah tidak sah,
karena tidak langsung disampaikan di tempat tinggal para pihak yang berperkara sebagaimana tersebut
pada pasal 390 HIR dan pasal 718 ayat (1) R.Bg. jika pihak yang berperkara tidak mempunyai tempat
tinggal yang tetap maka dapat ditempel di papan pengumuman dan apabila tidak berada ditempat maka
panggilan bisa disampaikan kepada kepala desa atau kelurahan sesuai pasal 390 HIR pasal 718 ayat (1)
R.Bg, pasal 26 ayat (3) PP Nomor 9 tqhun 1975, dan pasal 138 ayat (3) KHI.

2) Panggilan di luar wilayah yurisdiksi


Apabila tergugat berada diluar wilayah Pengadilan Agama yang bersangkutan, maka ketua Pengdilan
Agama memohon bantuan pemanggilan kepada Pengadilan Agama dimana tempat tergugat berada.
Surat permohonan pemanggilan tersebut dibuat dan ditandatangani oleh panitera yang isinya memohon
kepada pengadilan agama yang dituju untuk memanggil para pihak (biasanya tergugat) karena saat ini
berada di wilayah yurisdiksi pengadilan agama tersebut.

3) Pemanggilan di liar negeri

Jika para pihak yang berperkara berada diluar negeri sebagaimana tersebut dalam pasal 28 PP No 9
Tahun 1975 dan pasal 140 KHI, maka panggilan dilakukan melalui Direktur Jendral dan Konsuler
Departemen Luar Negeri. Tembusan permohonan pemanggilan itu disampaikan kepada perwakilan RI/
Kedutaan Besar RI di Negara di mana pihak yang dipanggil bertempat tinggal dan disampaikan juga
kepada pihak yang dipanggil, dengan melampirkan sehelai surat gugatan.

4) Pemanggilan bagi tergugat yang gaib

Dalam hal tempat kediaman orang yang dipanggil tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat
kediaman yang jelas di Indonesia, atau tidak diketahui jelas penggugat berada maka pemanggilannya
dapat dilaksanakan dengan melihat jenis perkaranya:

a. Perkara yang berhubungan dengan perkawinan

Pemanggilan dilakukan dengan cara mengumumkannya melalui satu atau beberapa surat kabar atau
media massa lainnya sebagaimana yang di tetapkan oleh ketua pengadilan agama secara resmi sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.

b. Perkara yang berkenaan dengan kewarisan

Pemanggilan dilaksanakan melalui Bupati atau Walikota madya dalam wilayah yurisdiksi Pengadilan
Agama di tempelkan pada papan pengumuman pengadilan agama didepan pintu utama atau wali kota
madya sebagaimana tersebut dalam pasal 390 ayat (3) HIR dan pasal 718 ayat (3) R.Bg. apabila yang
dipanggil meninggal dunia maka disampaikan kepada ahli warisnya dengan cara menyampaikan
langsung kepada ahli warisnya.[7]

5) Pemanggilan tergugat dalam perkara prodeo


Pemanggilan pemahaman pihak-pihak yang berperkara dalam perkara prodeo (gugat dengan Cuma-
Cuma) tetap dilaksanakan sebagaimana dalam perkara biasa. Pemanggilan itu dapat dilaksanakan
apabila yang bersangkutan telah mengajukan permohonan kepada pengadilan agama yang berwenang
memeriksa perkara tersebut baik secara lisan maupun tertulis dan pengadilan tersebut telah memberi
izin kepada yang bersangkutan untuk beracara secara prodeo. Pemanggilan dilaksanakan oleh Juru Sita
dengan biaya sepenuhnya ditanggung oleh pengadilan agama

[6] Drs.H.A Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Putra Grafika, 2006) hal.165

[7] Andi Tahir Hamid, Beberapa Hal Baru Peradilan Agama dan Bidangnya, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005),
108

Anda mungkin juga menyukai