Anda di halaman 1dari 3

C.

Akal Dan Proyeksi Ijtihad

1. Pengertian akal

Akal menurut al-quran, lebih khususnya menurut pengertian pra-islam yaitu bahwa
memerhatikan alam sekitarnya dengan otak, yang dimana otak adalah organ tubuh akal.
berdasarkan pemikiran itu maka lahirlah suatu ide atau gagasan mengenai suatu masalah yang
telah dipikirkan. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa allah menciptakan manusia berbeda
berdasarkan akalnya dengan makhluk hidup lainnya seperti hewan dan tumbuhan.
Berdasarkan perspektif islam peran akal ada dua yaitu :

a. Memahami nilai-nilai ajaran agama


Apabila doktrin yang kurang jelas, akal akan merumuskan pelaksanaannya. Adapun
ketika sebuah doktrin agama memiliki nilai-nilai sosial, akal bertugas menerjemahkan
dalam konteks kehidupan kekinian. Bukan untuk mengubah doktrin, melainkan
menemukan pelaksanaan doktrin. Misalnya, 1:2 (satu banding dua) dalam warisan
islam. Laki-laki maksimal mendapat 2, perempuan minimal mendapat 1. Jadi kalau
bagian laki-laki dikurangi dan perempuan ditambah, itu tidak mengubah nilai al-quran
melainkan merumuskan dan menemukan keadilan al-quran.
b. Akal bertugas memilih dan menyeleksi doktrin agama.
Terkadang ada doktrin agama yang temporer (madaniyah) dan doktin agama yang
selalu kontemporer (makkiyah). Terkait hal ini akal bertugas untuk memilih
kemungkinan terbaik pelaksanaanya. Contoh : adanya seruan untuk memerangi,
membunuh dan mengusir musuh, tapi ada juga ayat yang memerintahkan umat
muslim untuk bertoleransi, menghormati dan melindungi orang lain. Peran akal,
menggunakan ayat yang pertama dalam kondisi perang dan menggunakan ayat yang
pertama dalam kondisi perang dan menggunakan ayat kedua dalam kondisi damai.
Hal ini tidak bertentangan justru menunjukkan bahwa doktrin dalam al-quran
cenderung lengkap dan saling terkait untuk berpikir.

2. Proyeksi Ijtihad

Ijtihad menurut bahasa berarti usaha yang keras dan bersungguh-sungguh. Sedangkan
pengertiannya dari segi istilah ijtihad adalah berusaha menetapkan hukum terhadap masalah
yang belum ada ketetapan hukumnya dalam al-quran dan hadis yang dilakukan dengan secara
cermat dan pikiran yang murni serta berpedoman pada aturan penetapan hukum yang benar.
Rujukan ijtihad tetap pada al-quran dan hadis, dalam arti bahwa penetapan hukum ijtihad
tidak boleh bertentangan dengan ayat-ayat Allah Swt atau ajaran Rasulullah Saw.

Orang yang berijtihad disebut mujtahid, antara mujtahid yang satu dengan mujtahid
lainnya dalam menetapkan perkarayang belum ada ketentuan hukumnya dalam al-quran
mungkin akan berbeda dalam memberikan penetapan hukum. Ada pendapat yang satu benar
dan yang lain menjadi salah. Hal ini akan menjadi penilaian yang akan memengaruhi hukum.

Ijtihad menjadi sumber hukum islam yang ketiga, boleh dilakukan oleh siapa saja
yang memiliki persyaratan minimal, seperti memahami mafhum ayat atau hadis,
memiliki/menguasai ilmu alat (seperti nahwu sorot), mengetahui latar belakang suatu ayat
atau hadis, luas pemahamannya terhadap pengetahuan islam, memiliki loyalitas yang tinggi
terhadap agama dan lain-lain. Tentang keabsahan ijtihad sebagai sumber hukum islam ketiga,
perhatikan dua hadis berikut :

a. Hadis Nabi Muhammad Saw ketika beliau mengutus sahabat Muadz bin jabal ke
Yaman. Nabi Muhammad bertanya “dengan apa anda memutus suatu perkara?”
sahabat Muadz menjawab “dengan Kitab Allah, bila tidak dijumpai maka dengan
sunnah Rasul-Nya, dan bila tidak menemukan maka saya akan berijtihad untuk
mengambil keputusan sendiri mendengar jawaban sahabat Muadz tersebut, kemudian
Nabi Muhammad bersabda :
“segala puji bagi allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan Rasil-Nya, untuk
mendapatkan sesuatu yang disukai oleh Allah danRasul-Nya.”
b. Hadis Nabi Saw yang berkaitan dengan tugas kehakiman :
“apabila hakim memutuskan perkara, kemudian ia melakukan ijtihad dan ternyata
hasilnya benar, maka ia memperoleh dua pahala. Dan bila hakim memutuskan
perkara, lalu berijtihad ternyata hasil ijtihadnya salah, maka ia memperoleh satu
pahala.” (HR Bukhari Muslim).

Ijtihad diterapkan dengan beberapa cara, antara lain ijma’ dan qiyas. Ijma’ ialah
kesapakatan para mujtahid pada suatu masa setelah Rasulullah wafat terhadap suatu masalah.
Sedangkan qiyas adalah menetapkan hukum dengan cara menghubungkan suatu perkara yang
sudah ada ketetapan hukumnya terhadap masalah lain yang dihadapi dan belum ada ketetapan
hukumnya sedang antara keduanya sama-sama memiliki sebab yang bisa disepadankan.
Dewasa ini, ijtihad bisa dilakukan secara perorangan dan kelompok, yang dimaksud ijtihad
perorangan berarti ijtihad itu hanya digunakan sebagai sumber hukum untuk pribadi atau
untuk orang yang memerlukan tanpa disebarluaskan secara umum. Sedang ijtihad kelompok
merupakan ijtihad para ulama yang dilakukan secara musyawarah penetapan hukum terhadap
masalah yang timbul dengan tetap berpedoman pada Al-Quran dan Hadis.

Anda mungkin juga menyukai