Week 4
Beriman kepada Tuhan
1. Mahasiswa diharapkan mampu menganalisis isu-isu berkaitan dengan iman kepada Tuhan
dan toleransi dalam keanekaragaman atau diversitas (LO4).
OUTLINE MATERI:
Pengertian Tuhan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tuhan adalah sesuatu yang diyakini, dipuja,
disembah oleh manusia, sebagai yang Maha Kuasa, Maha Perkasa dan lain sebagainya.
Dalam berbagai rumusan keagamaan, Tuhan itu berarti zat tunggal yang paling tinggi
kedudukannya. Ketinggian posisinya membuatnya bisa memerintah makhluk. Dalam
kosakata bahasa Indonesia kata Tuhan adalah lawan dari kata makhluk. Tuhan dalam
berbagai bahasa semuanya mengarah pada konsepsi ketunggalan dan kekuasaan. Semuanya
juga merujuk kepada spiritualitas dan keluhuran.
Dalam bahasa Indonesia kedudukan paling tinggi yang disebut Tuhan tadi bisa
ditempelkan juga pada benda lain. Sebagai contoh, ketika seseorang terlalu meninggikan
pencapaian materi atau ke uang an, maka dia disebut menuhankan harta. Jika seseorang
menjunjung tinggi kekuasaannya, dia disebut menuhankan jabatan. Itu berarti Tuhan bisa
menjadi berbentuk apa saja menurut pengikut dan kepentingan pengikutnya. Bisa dikatakan
Tuhan ada dan berwujud tergantung pada pencipta konsepsinya.
Selain istilah Tuhan, orang Indonesia yang beragama Islam dan Kristen (Katolik dan
Protestan) menyebutnya dengan istilah Allah. Allah merupakan sebutan atau nama Tuhan
yang (tiada Tuhan selain Allah - Islam); wujud tertinggi, terunik; Zat Yang Maha Mulia;
daripada-Nya kehidupan berasal dan kepada-Nya kehidupan kembali. Para filsuf di zaman
Secara kebahasaan, kata Allah sangat mungkin berasal dari kata al-Ilah. Kata itu
mungkin pula berasal darai Aramea, Alaha yang artinya Allah. Kata Ilah (Tuhan yang
disembah) dipakai untuk semua yang dianggap sebagai Tuhan atau sandang tertentu, maka
kata Allah dari kata al-Ilah dimaksudkan sebagai nama Zat Yang maha Esa, Maha Kuasa, dan
Pencipta Alam Semesta. Kata Allah adalah satu-satunya ism‟alam atau kata yang
menunjukkan nama yang dipakai bagi zat Yang Maha Suci. Nama-nama lain sekaligus
mengacu pada sifat-sifat-Nya jika menunjukkan kealaman Zat Allah, seperti al-Aziz atau
Yang Maha Perkasa, artinya Allah mempunyai sifat perkasa manusia (Dewan RedaksI
EnsiklopedI Islam, 1994: 124)
Kata Allah sudah dikenal oleh masyarakat Arab sebelum Islam. Itu terlihat dari nama
mereka yang mengandung kata tersebut, seperti nama Abdullah (Abd Allah). Sejarah
menunjukkan bahwa pada masa Nabi Muhammad SAW terdapat orang-orang yang menganut
agama wahyu sebelum Islam, yang hanya menyembah Allah, sebagaimana yang dilakukan
oleh kaum Hanif.
Sedangkan dalam keyakinan penganut Hindu, Tuhan diberi sebutan Brahman atau
Sanghyang Widi Wasa; dan dalam literature agama Budha, Tuhan itu adalah “Atthi Ajatam
Abhutam Akatan Asamkhatam”, yang artinya; Suatu yang tudak dilahirkan, tidak diciptakan,
tidak diciptakan dan yang mutlak. Dengan demikian tuhan itu tidak dapat
dipersonifikasikandan tidak dapat digambarkandalam bentuk apa pun. Dengan adanya yang
mutlak, yang tak berkondisi (Asamkhata) maka manusia yang berkondisi (samkhata) dapat
mencapai kebebasan dari lingkaran kehidupannya (sam-sara) dengan cara bermeditasi.
Ketuhanan berasal dari kata tuhan yang diberi imbuhan berupa awalan ke- dan akhiran
–an. Penggunaan awalan ke- dan akhiran –an pada suatu kata dapat merubah makna dari kata
Kata ketuhanan yang beasal dari kata tuhan yang diberi imbuhan ke- dan –an
bermakna sifat keadaan Tuhan, (segala sesuatu) yang mengenai Tuhan, dan kepercayaan
(kebaktian) kepada Tuhan (WJS Poerwadarminta, 1999: 1094). Dengan kata lain ketuhanan
berarti sifat-sifat tuhan atau sifat-sifat yang berhubungan dengan tuhan.
Kata maha dipergunakan pada kata majemuk dan sebutan yang berarti besar, amat,
dan yang teramat. Sedangkan kata esa berarti tunggal atau satu (WJS Poerwadarminta, 1999:
278, 618).. Jadi mahaesa bermakna yang hanya satu (Allah, Tuhan Allah).
Dengan demikian makna sila pertama dari Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa,
yaitu memahami dan mengimani Tuhan Yang Satu atau Tuhan yang jumlahnya satu (Allah
atau Tuhan Allah). Mohammad Hatta, sangat menekankan pemahaman Tuhan Yang Maha
Esa pada makna Allah Yang Maha Tunggal (Deliar Noer, 1983: 108). Dan pemahaman ini
adalah pemahaman yang berkembang di masyarakat pada umumnya.
Selain pemahaman tersebut di atas, ada juga pemahaman yang sedikit berbeda.
Perbedaan ini terletak pada pemaknaan kata esa. Kata “esa” juga berasal dari bahasa
Sansekerta atau Pali. Kata “esa” bukan berarti satu atau tunggal dalam jumlah. Kata “esa”
berasal dari kata “etad” yang lebih mengacu pada pengertian keberadaan yang mutlak atau
mengacu pada kata “ini” (this- Inggris). Sedangkan kata “satu” dalam pengertian jumlah
dalam bahasa Sansekerta atau bahasa Pali adalah kata “eka”. Jika yang dimaksud dalam sila
pertama adalah jumlah Tuhan yang satu, maka kata yang seharusnya digunakan adalah “eka”
bukan kata “esa”.
Dari penjelasan yang disampaikan di atas dapat dikesimpulan bahwa arti dari
Ketahuan Yang Maha Esa bukanlah berarti Tuhan Yang Hanya Satu, bukan mengacu pada
suatu individual yang kita sebut Tuhan Yang jumlahnya satu. Tetapi sesungguhnya
Ketuhanan Yang Maha Esa berarti Sifat-sifat Luhur atau Mulia Tuhan yang mutlak harus
ada. Jadi yang ditekankan pada sila pertama dari Pancasila ini adalah sifat-sifat luhur atau
mulia, bukan Tuhannya.
Dari kedua pandangan di atas, manakah yang paling tepat? Kita tidak bisa
menentukan itu, karena setiap orang punya alasan dan sudut pandang yang berbeda.
Pemaknaan Ketuhaan Yang Maha Esa, tidak bisa dipisahkan dari sila-sila yang lainnya.
Sayuti Melik cenderung melihat pancasila sebagai lima sila yang satu sama lain bisa
berkaitan .... (Deliar Noer, 1983: 108). Dengan demikian makna dari sila Ketuhanan Yang
Maha Esa pemaknaannya harus dihubungkan dengan empat sila berikutnya.
Jadi Ketuhanan Yang Maha Esa, mengandung pengertian dan keyakinan adanya
Tuhan Yang Maha Esa, pencipta alam semesta, beserta isinya. Atas keyakinan yang
demikianlah maka Negara Indonesia berdasarkan Ketuhanan Mang Maha Esa, dan Negara
Ada beberapa makna dari sila ke-1, Ketuhanan Yang Maha Esa, yaitu:
a. Percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan
kepercayaannya masing-maisng menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
b. Hormat dan menghormati serta bekerjasama antara pemeluk agama dan penganut-
penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup.
c. Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan
kepercayaan masing-masing
d. Tidak memaksakan suatu agama atau kepercayaannya kepada orang lain.
e. Frasa Ketahuan Yang Maha Esa bukan berarti warga Indonesia harus memiliki agama
monoteis namun frasa ini menekankanke-esaan dalam beragama.
f. Mengandung makna adanya Causa Prima (sebab pertama) yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
g. Menjamin penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadah menurut
agamanya.
h. Negara memberi fasilitas bagi tumbuh kembangnya agama dan dan iman warga negara
dan mediator ketika terjadi konflik agama.
i. Bertoleransi dalam beragama, dalam hal ini toleransi ditekankan dalam beribadah
menurut agama masing-masing.
Negara Republik Indonesia didirikan atas landasan moral luhur, yaitu berdasarkan
Ketahuan Yang Maha Esa yang sebagai konsekuensinya, maka negara menjamin kepada
warga negara dan penduduknya untuk memeluk dan untuk beribadah sesuai dengan agama
dan kepercayaannya, seperti pengertiannya trkandung dalam:
a. Pembukaan UUD 1945 alinea ketiga, yang antara lain berbunyi: “Atas berkat rahmat
Allah Yang Maha Kuasa ...” dari bunyi kalimat ini membuktikan bahwa negara
Indonesia bukan negara agama, yaitu negara yang didirikan atas landasan agama tertentu,
melainkan sebagai negara yang didirikan atas landasan Pancasila atau negara Pancasila.
b. Pasal 29 UUD 1945 pada ayat 1 dan 2, yaitu:
1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Namun, kepercayaan kepada adanya Tuhan berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena
perbedaan tingkat kemampuan akal manusia. Menurut Ibnu Thufail yang menulis kisah novel
Hayy bin Yaqdzan mengatakan bahwa manusia dengan akalnya mampu mengenal dan
mempercayai adanya Tuhan (Abdul Maqsud Abdul Ghani Abdul Maqsud, 2000: 45-55).
Tetapi pengenalan kepada Tuhan sangat ditentukan oleh kemapuan akal setiap orangnya.
Ada lagi kepercayaan yang disebut dengan „politeisme‟, yakni kepercayaan kepada
dewa-dewa. Dalam kepercayaan ini hal-hal yang menimbulkan perasaan takjub dan dahsyat
bukan lagi dikuasai oleh ruh-ruh, tetapi oleh dewa-dewa. Kalau ruh dalam animisme tidak
diketahui tugas-tugasnya yang sebenarnya, dewa-dewa dalam politeisme telah mempunyai
tugas-tugas tertentu. Ada dewa yang bertugas memberikan cahaya dan panas ke permukaan
bumi. Dewa ini dalam agama mesir kuno disebut Ra, dalam agama India Kuno disebut Surya,
dan dalam agama Persia Kuno disebut Mithra. Ada pula dewa yang tugasnya menurunkan
hujan, yang diberi nama Indera dalam agama Mesir Kuno, dan Donnar dalam agama Jerman
Kuno. Selanjutnya ada pula dewa angin yang disebut Wata dalam agama India Kuno, dan
Wotan dalam agama Jerman Kuno.
Selain itu, dalam paham politeisme, ada satu dari dewa-dewa itu yang meningkat di
atas segala dewa yang lain, seperti Zeus dalam agama Yunani Kuno, Yupiter dalam agama
Rumawi, dan Amor dalam agama Mesir Kuno. Paham ini belum menunjukkan adanya
pengakuan terhadap satu Tuhan, tetapi baru pada pengakuan dewa terbesar di antara dewa
yang banyak. Paham ini belum meningkat menjadi paham monoteisme, tetapi masih berada
pada paham politeisme.
Begitu juga kalau dewa yang terbesar itu saja yang dihormati dan dipuja, sedang
dewa-dewa lain ditinggalkan, maka paham demikian telah keluar dari politeisme dan
meningkat kepada henoteisme. Henoteisme mengakui satu Tuhan untuk satu bangsa, dan
bangsa-bangsa lain mempunyai Tuhannya sendiri-sendiri. Henoteisme mengandung paham
Tuhan nasional.
Dalam masyarakat yang sudah maju, kepercayaan yang dianut bukan lagi dinamisme,
animisme, politeisme, atau henoteisme, tetapi kepercayaan monoteisme, baik monoteisme
praktis, monoteisme spekulatif, monoteisme teoritis, maupun monoteisme murni (lihat
dalamTim Penulis Rosda, 1995: 132-133).
Namun, berhubung Tuhan atau Allah itu merupakan kenyataan yang bersifat gaib,
suatu kenyataan yang mengatasi jangkauan daya tangkap indera manusia, maka akhirnya
manusia memiliki gambaran dan pemahaman yang beraneka ragam tentang Dia. Gambaran
yang tidak selalu sama tentang Tuhan pastilah berkaitan erat dengan keterbatasan
kemampuan dan perbedaan daya tangkap manusia untuk mengenal-Nya. Perbedaan gambaran
dan pemahaman tersebut pastilah berkaitan dengan adanya perbedaan berbagai latar belakang
manusia, seperti perbedaan zaman, budaya, adat istiadat, pendidikan, geografi, bahasa, dan
segala macam perbedaan lainnya.
Semua agama yang berdasarkan monotheis memiliki prinsip bahwa Tuhan tidak
mungkin dapat dilukiskan dengan tepat. Meski kesadaran akan adanya Tuhan telah tumbuh
dalam diri manusia sejak ribuan tahun silam, tetapi oleh kendala kodratnya, fisik maupun
Karena itu dalam filsafat agama sering terjadi hal-hal paradoks. Tuhan tidak
berwujud, namun dilukiskan sebagai sesuatu yang berwujud.Misalnya Tuhan dikatakan Maha
Esa, Maha Tahu, Maha Pengasih, Maha Mendengar, dan lain sebagainya. Dalam gelar atau
julukan itu Tuhan seakan-akan berwujud sesuatu dalam bentuk persona. Namun demikian
berarti gelar itu merupakan sifat persona, sebagaimana sifat persona manusia. Hal itu
hanyalah modus agar Tuhan dapat dijangkau oleh keterbatasan wujud manusia.
Orang beriman dalam agama apapun senantiasa mengagungkan Tuhan. Karena itu
gelar Tuhan selalu bersifat luhur, yang dalam kebahasaan selalu ditandai denga kata maha.
Dalam setiap agama terdapat macam-macam gelar Tuhan. Gelar-gelar itu selalu
mengisyaratkan wujud Tuhan di mata manusia beriman. Kebesaran dan keluhuran Tuhan
yang tersurat dan tersirat dalam agama adalah sumber penciptaan gelar itu. Hal-hal profan
selalu dihindari, sebaliknya hal-hal kudus selalu dikaitkan dengan gelar tersebut.
Untuk semakin bisa memahami Tuhan yang tidak kelihatan di mata manusia,
dan untuk lebih mudah membayangkannya secara lebih dekat, maka manusia
menggambarkan Tuhan menurut kempuan daya piker, bahasa dan budayanya. Kalau
yang paling kuasa di dunia ini disebut raja,maka dalam hatinya manusia
menggambarkan Tuhan sebagai Raja, Raja segala raja, dam lain sebagainya. Kalau
Tuhan dibayangkan sebagai yang baik, maka disebut yang maha baik, maha
Pengasih dan Penyayang, Maha Rahim(karena rahim adalah tempat perlindungan
yang paling aman),dan sebagainya. Intinya,gambaran yang bermacam-macam
tentang Tuhan hanyalah satu usaha dari manusia, dengan segala keterbatasannya
dalam mencoba memahami kebesaran dan keagungan Tuhan yang diimaninya.
Untuk lebih mengkonkritkan hal ini, contoh-contoh kuat dapat diperhatikan di
bawah ini (Antonius Atosokhi Gea dkk, 2006: 49-51).
Para nabi/rasul, maharesi, filosof dan sufi mereka telah mendapat pencerahan
mengatakan Tuhan tidak mungkin diketahui. Hakikat Tuhan jauh di luar jangkauan pikiran
manusia. Bagi kita, orang biasa, apa yang akan kita lakukan ketika kita ingin berkomunikasi
dengan Tuhan? Sebagian orang mungkin bisa berbicara dengan Tuhan, dalam do‟a, tanpa
perlu membayangkan bentuk-Nya, baik dengan mata fisik maupun batin.
Thomas Aquinas, ahli teologi dan mistik terkemuka Kristen mengatakan bahwa
bentuk tertinggi dalam mengenal Tuhan adalah mengenal tuhan sebagai sesuatu yang tidak
mungkin dikenal. Memang tidak ada lukisan atau patung tentang Roh Kudus atau Allah
Bapak. Tapi hamper semua orang orang Kristen mengenal Yesus Kristus, Tuhan Anak,
sebagai seorang laki-laki berumur sekkitar tiga puluh tahun, berkulit putih, bertmata biru,
rambut pirang panjang dan berombak, serta digambarkan seperti laki-laki Eropa.
Selain argumentasi kitab-kitab suci keagamaan mengenai keberadaan Allah, ada pula
argumentasi logis berdsasarkan contoh-contoh di atas dapat dikatagorikan menjadi tiga
argumentasi, yaitu:
Langit biru dan cakrawala adalah batasan pandangan mata manusia, bilangan tidak
terhingga adalah batasan perhitungan manusia, tidak tahu adalah batasan pengetahuan
manusia.
Tidak tahu bukan berarti tidak ada, sama dengan jumlah bilangan yang amat besar pasti ada,
tetapi kita tidak tahu apa namanya dan berapa jumlahnya, demikian pula mengenai Tuhan,
pasti segala-galanya, tetapi umur dan daya pikir kita terlalu kecil jika dibandingkan dengan
apa yang hendak kita ukur, sehingga dapat diabaikan.
Manusia yang tidak dapat menggunakan kemampuan mentalnya tidak dapat mengenal
Tuhan walaupun pikiran mereka sangat cerdas. Pikiran adalah salah satu dari kemampuan
fisik, dia dapat mengalisa hal-hal yang bersifat fisikal, dia dapat mempelajari dan meneliti
biologis fisik manusia, meneliti susunan atom-atom, tetapi pikiran tidak dapat mengamati
kesadaran manusia, karena kesadaran bersifat mental yang frequencynya jauh lebih tinggi
dari frequency pikiran.
3. As‟ad Said Ali (2010). Negara Pancasila. Jakarta: LP3ES, Chapter 5., hal. 153-205.
4. http://www.wiwi.europa-uni.de/de/forschung/publikationen-projekte/dp/_dokumente/240_Tan_Vogel.pdf