Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Thalasemia adalah penyakit kelainan darah yaitu anemia hemolitik herediter yang
diturunkan secara autosomal resesif dengan disebabkan oleh defek genetik pada
pembentukan rantai globin. Penyakit ini baru muncul pada seseorang apabila ia memiliki dua
gen thalasemia yang berasal daru kedua orang tuanya yaitu satu dari ayah dann satu dari ibu.1

Thalasemia tersebar diseluruh ras di Mediterania, Timur Tengah, India sampai Asia
Tenggara dan presentasi klinisnya bervariasi dari asimtomatik sampai berat hingga
mengancam jiwa, tetapi tidak menutup kemungkinan thalasemia ditemukan dimana saja.2

WHO (World Heatlh Organization) memperkirakan sekitar 7% dari populasi global ( 80-
90 juta orang) adalah pembawa thalasemia beta, dengan sebagian besar adalah negara
berkembang. Di Indonesia menyebutkan bahwa penyakit genetik ini paling sering ditemukan
diantara penyekit genetik lainnya, dengan prevalensi pembawa gen talasemia tersebar antara
3-10% diberbagai daerah. Pada populasi Asia Tenggara dilaporkan bahwa frekuensi karier
Hemoglobinopati dan Thalasemia adalah 45,5% dengan 1,34 anak dari 1000 kelahiran
terlahir dengan kondisi klinis.3

Pada penderita thalasemia kelainan genetik terdapat pada pembentukan rantai globin
yang salah sehingga eritrosit lebih cepat lisis. Akibatnya penderita harus transfusi darah.
Selain tranfusi darah rutin, juga dibutuhkan agent pengikat besi ( Iron Chelating Agent ) yang
harganya cukup mahal untuk membuang kelebihan besi dalam tubuh. Jika tindakan ini tidak
dilakukan maka besi akan menumpuk pada berbagai jaringan dan organ vital seperti jantung,
otak, hati dan ginjal yang merupakan komplikasi kematian dini.4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Thalasemia

Thalasemia adalah suatu penyakit keturunan yang diakibatkan oleh kegagalan


pembentukan salah satu dari empat rantai asam amino yang membentuk hemoglobin,
sehingga hemoglobin tidak terbenuk sempurna. Tubuh tidak dapat membentuk sel darah
merah yang normal sehingga sel darah merah mudah rusak atau berumur kurang dari 120 hari
dan terjadilah anemia.5

Hemoglobin adalah suatu zat di dalam sel arah merah yang berfungsi mengangkut zat
asam dari paru ke seluruh tubuh, juga memberikan warna merah pada eritosit. Hemoglobin
terdiri persenyawaan hem dan globin. Hem terdiri dari zat besi (fe) dan globin adalah suatu
protein yang terdiri dari rantai polipeptida. Hemoglobin terdiri dari 2 rantai yaitu alfa (α) dan
beta (β). Penderita thalasemia tidak mampu memproduksi salah satu dari protein tersebut
dalam jumlah yang cukup, sehingga sel darah merahnya tidak terbentuk dengan sempurna.
Akibatnya, hemoglobin tidak dapat mengangkut oksigen dalam jumlah yang cukup. Oleh
karena itu, penderita thalasemua mengalami anemia.4

Thalasemia dibedakan menjadi thalasemia alfa apabila menurunnya sintesis rantai alfa
globin dan thalasemia beta apabila terjadi penurunan sintesis rantai beta globin. Thalasemia
dapat terjadi dari ringan sampai berat. Thalasemia beta diturunkan dari kedua orang tua
pembawa thalasemia dan menunjukkan gejala klinis yang paling berat, keadaan ini disebut
thalasemia mayor.5

Thalasemia diwariskan dari orang tua yang karier kepada anaknya. Apabila salah satu
dari orang tu memiliki gen pembawa sifat thalasemia maka kemungkinan anaknya 50%
karier thalasemia. Apabila kedua orang tuanya memiliki pembawa gen sifat thalasemia maka
kemungkinan anaknya 25% sehat, 25% penderita thalasemia mayor dan 50% karier
thalasemia.4
2.2 Klasifikasi Thalasemia

Secara molekuler, thalasemia dibagia menjadi dua kelompok besar, yaitu :


thalasemia alfa dan thalasemia beta sesuai dengan kelainan berkurangnya produksi rantai
polipetida.4

2.2.1 Thalasemia Alfa4

Thalasemia ini disebabkan oleh mutasi salah satu atau seluruh globin
rantai alfa yang ada. Thalasemia alfa terdiri dari :

a. Silent Carrier State

Gangguan pada satu rantai globin alfa. Kedaan ini tidak timbul gejala sama
sekali atau seikit keluhan berupa sel darah merah yang tampak lebih pucat.

b. Thalasemia Alfa Trait


Gangguan pada dua rantai globin alfa. Penderita mengalami anemia ringan
dengan sel darah merah hipokrom dan mikrositer, dapat menjadi carrier.
c. Hemoglobin H Disease
Gangguan pada tiga rantai globin alfa. Penderita dapat bervariasi mulai dari
tidak ada gejala sama sekali, hingga anemia yang berat yang disertai dengan
pembesaran limpa (splenomegali).
d. Thalasemia Alfa Mayor
Gangguan pada empat rantai globin alfa. Thalasemia tipe ini merupakan
kondisi yang paling berbahaya pada thalasemia tipe alfa, kondisi ini tidak
terdapat rantai globin yang dibentuk sehingga tidak ada HbA atau HbF yang
diproduksi. Janin yang menderita alfa thalasemia mayor pada awal kehamilan
akan mengalami anemia, membengkak karena kelebihan cairan, pembesaran
hati dan limfa. Janin ini biasnya mengalami keguguran atau meninggal tidak
lama setelah dilahirkan.
2.2.2 Thalasemia Beta4
Thalasemia beta terjadi jika terdapat mutasi pada satu atau dua rantai
globin beta yang ada, thalasemia beta terdiri dari :
a. Thalasemia Beta Trait (Minor)
Thalasemia jenis ini memiliki satu gen normal dan satu gen yang bermutasi.
Penderita mengalami anemia ringan yang ditandai dengan sel darah merah
yang mengecil (mikrositer).
b. Thalasemia Intermedia
Kondisi ini kedua gen mengalami mutasi tetapi masih bisa produksi sedikit
rantai beta globin. Penderita mengalami anemia yang derajatnya tergantung
dari derajat mutasi gen yang terjadi.
c. Thalasemia Mayor ( Cooleey’s Anemia )
Kondisi ini kedua gen mengalami mutasi sehingga tidak dapat memproduksi
rantai beta globin. Gejala muncul pada bayi ketika berumur 3 bulan berupa
anemia yang berat. Penderita thalasemia mayor tidak dapat membentuk
hemoglobin yang cukup sehingga hampir tidak ada oksigen yang dapat
disalurkan ke seluruh tubuh yang lama kelamaan akan menyebabkan
kekurangan O2, gagal jantung kongestif maupun kematian. Penderita
thalasemia mayor memerlukan trasfusi darah yang rutin dan perawatan medis
demi kelangsungan hidup.4

2.3 Epidemiologi Thalasemia


WHO (2006) meneliti 5% penduduk dunia adalah carrier dari 300-400 ribu bayi
thalasemia yang baru lahir pertahunnya. Frekuensi gen thalasemia di Indonesia berkisar 3-10%.
Berdasarkan angka ini, diperkiran lebih dari 2000 penderita baru dilahirkan setiap tahunnya di
Indonesia. Salah saru rumah sakit di Jakarta, trdapat 1060 pasien thalasemia mayor yang berobat
jalan yang terdiri dari thalasemia beta homozigot, thalasemia HbE, serta thalasemia alfa.
2.4 Determinan Thalasemia
a. Genetik
Penyakit ini diturunkan melalui gen yan disebut sebagai gen alfa globin
dan ge beta globin yang terletak pada kromosom 16 dan 11. Kromosom
ditemukan berpasangan. Kelainan sebelah gen globin disebut carrier thalasemia.
Seorang carrier thalasemia biasanya tidak perlu pengobatan karena masih ada
sebelah gen globin yang normal. Kelainan gen globin yang terjadi pada kedua
kromoson disebut thalasemia mayor (homozigot). Kedua belah gen yang
mengalami kelainan berasal dari orang tua yang masing masing carrier
thalasemia.6
b. Umur
Thalasemia mayor terjadi bila kedua orang tua carrier thalasemia. Anak
anak dengan thalasemia mayor tampak saat lahir, tetapi akan mengalami anemia
pada usia 3-18 tahun. Penderita memerlukan transfusi darah secara berkala
seumur hidupnya, apabila penderita thalasemia mayor tidak dirawat, maka hidup
mereka biasanya hanya bertahan 1-8 tahun.6
Pada thalasemia mayor yang gejala klinisnya jelas, gejala tersebut telah
terlihat sejak anak berumur 1 tahun, sedangkan thalasemia minor gejalanya
ringan, biasanya datang berobat pada usia 4-6 tahun.6

.REFERENSI

1. Berhman, RE; Kliegman ; Arvin: Nelvon Ilmu Kesehatan Anak, volume 2, edisi 15. Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta : 2005, hal 1708-1712
2. Berhman, RE; Kliegman ; RM and Jensen, HB: Nelson Text Pedriatrics, 16th edition , WB
Saunders Company, Philadelphia: 2000, page 1630-1634
3. Rujito Lantip. 2019. Talasemia: Genetik Dasar dan Pengelolaan Terkini. Universitas Jenderal
Soedirman.
4. Hassan R dan Alatas H. 2002. Buku Kuliah I Ilmu Kesehatan Anak Bagian 19 Hematologi.
Hal. 419-450. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia:
Jakarta.
5. Rudolph C. D, Rudolph A. M, Hostetter M. K, Lister G and Siegel N. J. (2002). Rudolph’s
Pediatric’s, part 19 blood and blood-forming tissues, Thalasemia. 21st Edition. McGraw-hill
company: North America
6. Hastings C. (2002). The children’s hospital Oakland hematology/oncology handbook.
Chapter 4 thallasemia. Mosby. United States Of America.

Anda mungkin juga menyukai