Anda di halaman 1dari 5

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan Negara dengan kekayaan alam yang melimpah.

Buah-buahan berbagai jenis banyak terdapat di Negeri ini, salah satunya

adalah salak. Salak merupakan buah meja yang cara mengonsumsinya tidak

perlu dilakukan pengolahan terlebih dahulu. Produksi salak di Indonesia

setiap tahunnya selalu mengalami peningkatan. Data dari Kementrian

Pertanian Republik Indonesia dari tahun 2010-2012 adalah sebagai berikut

749.876 ton, 1.082.115 ton, 1.035.406 ton.

Dengan berkembangnya teknologi pengolahan pangan, buah salak kini

juga diolah menjadi berbagai jenis produk olahan. Produk- produk yang

dihasilkan dari buah salak seperti keripik salak, dodol salak, selai salak,

manisan salak, kerupuk salak. Pengolahan buah salak juga dapat membantu

petani ketika panen raya yang dapat menurunkan harga salak (Sujatmiko,

2012).

Dengan tingginya produksi olahan dari buah salak, maka limbah yang

dihasilkan dari pengolahan tersebut menjadi semakin banyak. Limbah yang

dihasilkan berupa kulit salak dan juga biji salak, batang pohon salak yang

sudah tua juga dapat menjadi limbah. Limbah dari industri pengolahan salak

selama ini hanya dibuang begitu saja dan hanya sedikit yang

memanfaatkannya untuk diolah menjadi barang yang memiliki nilai tambah.


2

Menurut Intani (2007), batang salak yang sudah tua dapat dimanfaatkan

sebagai bahan baku tekstil. Kulit salak sudah dimanfaatkan menjadi kompos

dan juga kerajinan tangan. Menurut Setyawan (2012), Kulit salak dapat

dimanfaatkan untuk bahan kerajinan yang memiliki nilai ekonomis.

Sementara itu, biji salak dapat diolah menjadi produk berupa kopi biji salak

(Astuti. 2013), selain itu biji salak dapat dimanfaatkan juga sebagai adsorben

(Aji dan Kurniawan, 2012). Namun, pemanfaatan limbah tersebut masih

belum banyak dilakukan, terutama pemanfaatan limbah biji.

Bagian buah salak yang bisa dimakan sekitar 56-65%, sedangkankan

limbahnya 35-44% (Supriyadi dkk., 2002). Biji salak merupakan limbah dari

buah salak yang memiliki porsi yang lebih besar daripada kulit salak. Biji

salak porsinya sebesar 25-30% dari buah salak utuh, sedangkan kulit salak

10-14% (Supriyadi dkk., 2002). Berdasarkan perbandingan tersebut, biji salak

memiliki potensi yang lebih besar untuk dimanfaatkan.

Biji salak tersusun dari polisakarida yang digunakan sebagai cadangan

energi. Polisakarida terbentuk dari polimer molekul-molekul monosakarida

yang tersusun dari rantai tidak bercabang atau bercabang dan dapat

dihidrolisis (Winarno, 2008). Contoh polisakarida adalah pati, selulosa, dan

hemiselulosa.

Selulosa dan hemiseluosa yang terdapat dalam biji-bijian dapat

dihidrolisis menjadi gula. Selulosa lebih sulit dihidrolisis karena glukosanya

berikatan beta dan terdapat dalam struktur kristalin. Hemiselulosa lebih

mudah dihidrolisis dari pada selulosa (Wyman dkk., 2005).


3

Pemanfaatan biji salak dapat dilakukan dengan cara hirolisis, yaitu

dengan memecah polimer menjadi monomernya (Wyman dkk., 2005).

Hidrolisis dapat dilakukan dengan menggunakan enzim atau asam. Pada

hidrolisis menggunakan asam, asam digunakan sebagai katalis untuk

mempercepat reaksi antara polimer dengan molekul air (Wyman dkk., 2005).

Selain itu, tingkat pemecahan polimer pada hidrolisis asam sangat tergantung

pada struktur polisakarida yang dihidrolisis, lama waktu proses, suhu, dan

kekuatan asam yang digunakan (BeMiller dan Whistler, 1996).

Pada hidrolisis asam, selain terjadi pemecahan polisakarida menjadi

monosakarida , juga terjadi dehidratasi sehingga terbentuk senyawa turunan

dari monosakarida yaitu hidroksimetilfurfural (HMF), asam levulinat, dan

asam format (Wyman dkk., 2005).

Untuk memperoleh hasil yang maksimum diperlukan kondisi hidrolisis

yang optimum agar energi yang digunakan untuk memecah polisakarida pada

bahan tidak banyak yang terbuang. Optimasi proses hidrolisis dapat dilakukan

dengan menggunakan metode RSM dengan Box-Behnkhen Design, sehingga

diperoleh konsentrasi asam, suhu, dan waktu hidrolisis yang tepat.

Hidrolisat dari proses hidrolisis dapat dimanfaatkan menjadi gula.

Supaya dapat diketahui komposisi gula yang terdapat dalam hidrolisat, maka

dapat dianalisis dengan menggunakan metode High-Performance Liquid

Chromatography (HPLC).

Melalui penelitian terhadap kandungan yang terdapat pada biji salak, dan

metode hirolisis serta karakterisasi gula yang dihasilkan dari biji salak,
4

diharapkan biji salak dapat dimanfaatkan dengan lebih luas sesuai dengan

potensi yang terdapat dalam biji tersebut dan tidak hanya menjadi limbah.

1.2. Perumusan Masalah

1. Apakah biji salak memiliki potensi sebagai sumber polisakarida untuk

bahan baku pembuatan gula?

2. Kondisi optimum hirolisis biji salak yang bagaimana, untuk mendapatkan

hasil gula yang tinggi?

3. Apa saja komponen gula pada hidrolisat biji salak?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui potensi biji salak sebagai sumber polisakarida alternatif pada

pembuatan gula.

2. Mengetahui kondisi optimum hidrolisis biji salak dengan HCl yang

menghasilkan gula yang tinggi.

3. Mengetahui komposisi gula yang berupa monomer pada hidrolisat biji

salak.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi

kepada masyarakat umum, mahasiswa, maupun industri mengenai

pemanfaatan biji salak sebagai bahan alternatif yang digunakan pada


5

pembuatan gula serta menumbuhkan ketertarikan masyarakat untuk

memanfaatkan bahan-bahan yang dianggap sebagai limbah agar dapat diolah

menjadi sesuatu yang memiliki nilai tambah.

Anda mungkin juga menyukai