Anda di halaman 1dari 10

Ikhtisar Sejarah Bahasa Indonesia

Pernahkah kita berpikir dari mana bahasa nasional kita berasal,


bahasa yang kini menjadi penghubung komunikasi antarwarga Indonesia.
Bahasa Indonesia sekarang menjadi berbentuk sedemikian rupa tentu
melalui proses yang rumit dan panjang.
Beragam bahasa yang telah ada sebelumnya ikut terlibat
memengaruhi kelahiran Bahasa Indonesia. Salah satu bahasa
penyumbang terbesar di antaranya adalah Bahasa Melayu. Kita harus
kembali jauh ke kebelakang agar dapat merunut Bahasa Melayu sebagai
akar Bahasa Indonesia.
Cika bakal Bahasa Melayu berasal dari bahasa Austronesia, yaitu
sebuah rumpun bahasa yang sangat luas penyeberannya di dunia.
Rumpun bahasa ini bisa jadi yang terbesar di dunia. Ada sekiranya 1200
bahasa dan sekitar 270 juta penutur dan kian menyebar ke berbagai
tempat termasuk Indonesia.
Menurut Leonard Y. Andaya bentuk paling purba Bahasa Melayu
ada di masa Protomelayu atau Polenisia yang diperkirakan mulai
berkembang di Filipina sekitar 2500 tahun SM. Bahasa Protomelayu lalu
berkembang menjadi cabang-cabang bahasa baru di tahun 2000 SM seiring
dengan migrasi para penuturnya ke Nusantara.
Bahasa Melayu Cham berkembang di Kalimantan bagian barat
pada tahun 1000-1500 SM. Para penutur Bahasa Melayu Cham ini lantas
bermigrasi ke daerah semenanjung Malaka atau dahulunya dikenal
dengan Ujung Medini di kepulauan Riau.
Andaya menambahkan bahwa kelompok-kelompok dari
Kalimantan bagian barat ini pula bermigrasi ke bermacam daerah, seperti
ke Vietnam yang lantas menjadi nenek moyang para penutur Bahasa
Cham. Di periode yang sama, sebagian kelompok dari persebaran penutur
Bahasa Melayu Cham ada yang berpindah ke Sumatera Tenggara dan
menjadi nenek moyang penutur Bahasa Melayu kelomok pertama.
Bahasa Melayu purba ini berkembang seiring tumbuhnya
kebudayaan maritim para penuturnya. Mereka membangun komunitas di
pesisir dan tepian sungai selama berabad-abad. Komunitas ini saling

1
berjejaring dan menjadikan Bahasa Melayu sebagai basantara atau bahasa
perantara satu sama lain agar dapat berkomunikasi.
Bahasa Melayu berkaitan erat dengan geografik persebaran
penuturnya. Andaya menamakan wilayah interaksi para penutur Bahasa
Melayu kuno ini sebagai Laut Melayu. Istilah ini mengacu pada suatu
catatan peristiwa Arab yang didokumentasikan sekita 1000 M. Catatan
Arab ini tertulis bahwa Laut Melayu merupakan lautan yang mendekati
Cina.
Laut Melayu adalah laut yang panjangnya menghubungkan India
Selatan, Sri Langka, Bengal, Sumatera Malaka, Semenanjung Malaya,
Teluk Siam, Laut Cina Selatan, hilir Sungai Mekong, dan Vietnam Tengah.
Titik utama jaringan komunitas yang menghidupi Laut Melayu ini adalah
Selat Malaka.
Keterangan-keterangan di atas jelas menunjukan hubungan erat
atara komunitas penutur Bahasa Melayu dengan dunia lautan. Leonard Y
Andaya memeberi pengertian bahwa Laut Melayu mengacu pada
serangkaian komunitas yang terhubung melalui jalur ekonomi dan
budaya yang intens.
Bahasa Melayu kuno diperkirakan telah digunakan secara luas
pada masa Kerajaan Sriwijaya di abad ke-7. Prasasti Kedukan Bukit yang
dikeluarkan Sriwijaya pada tahun 683 M adalah bukti arkeologis tertua
penggunaan Bahasa Melayu kuno yang berhuruf Palawa. Hubungan erat
atara Sriwijaya dengan negeri-negeri India ini yang kemudian membuat
kosa kata Melayu kuno makin banyak mendapat pengaruh dari Bahasa
Sansekerta.
Penyerapan Bahasa Sansekerta di antara contohnya sebagai berikut:
(1) Asmara berasal dari smara. (2) Bahagia dari bhāgya. (3) Bahasa dari
bhāṣa. (4) Berahi dari virahin. (5) Cahaya dari chaya. (6) Harta dari artha. (7)
Istimewa dari āstām eva. (8) Janda dari raṇḍa. (9) Jelita dari lalita. (10) Muda
dari mūḍha. (11) Pahala dari phala. (12) Wacana dari vacana, dst.
Ada lagi serapan dari Bahasa Hindi dan Tamil yang turut
memengaruhi Bahasa Melayu kuno. Penyerapan Bahasa Hindi di antara
contohnya sebagai berikut: (1) Acar dari achaar. (2) Candu dari caṇḍū. (3)
Kaca dari kāca. (4) Rupiah dari rupee. (5) Pahlawan dari pehlvaan. Raja dari

2
raaja. (6) Antariksa dari antariksh. (7) Mantra dari mantr. (8) Utara dari
uttar. (9) Ayah dari Āyā. (10) Bangsal dari bhansāl. (11) Candu dari caṇḍū.
(12) Duhai dari duhā’ī. (13) Ganja dari gāṁjā. (14) Padi dari pādī. (15) Pulau
dari pulāv. (16) Roti dari roṭī. (17) Setan dari sthān. (18) Topi dari ṭopī, dst.
Penyerapan Bahasa Tamil di antara contohnya sebagai berikut: (1)
Andai dari antai. (2) Badai dari vatai. (3) Banci dari vaycci. (4) Bedil dari
wedil. (5) Belenggu dari vilanku. (6) Belenggu dari wilanggu. (6) Cerutu dar
curuttu. (7) Cukai dari cukkai. (8) Dendam dari danda. (9) Gembala dari
gopalan. (10) Kapal dari kappal. (11) Kedai dari kadai. (12) Kedelai dari
katalai. (13) Logam dari ulogam. (14) Matrai dari muttirai. (15) Peti dari petti.
(16) Santri dari cattiram. (17) Segala dari segala, dst.
I-Tsing seorang musafir dari Cina di dalam kunjungannya ke
Sriwijaya mengatakan, Sriwijaya memiliki bahasa yang bernama Koen-
Louen dan berdampingan dengan Bahasa Sansekerta. Koen-Louen yang
dimaksud I-Tsing adalah Bahasa Melayau yang saat itu menjadi lingua
franca atau bahasa pergaulan di lingkungan kepulauan Nusantara. Koen-
Louen atau Bahasa Melayu ini digunakan dalam keperluan sosial, politik,
dan pengantar dalam mempelajarai Bahasa Sansekerta dan Agama
Buddha.
Para pedagang di masa itu pula menggunakan Bahasa Melayu
ketika berkeliling ke penjuru Nusantara. Menurut Prof. Jajat
Burhanuddin, Bahasa Melayu kian mapan sebagai lingua franca di
kawasan Asia Tenggara di masa kesultanan Samudra Pasai pada abad ke-
14. Ketika Sriwijaya meredup Samudra Pasai tumbuh sebagai kota dagang
baru di bagian utara Selat Malaka. Pada era Samudra Pasai Bahasa
Melayu kian berkembang dengan menyerap bahasa mitra dagangnya
seperti, Arab Saudi dan Persia.
Semenjak itu kosa kata dan konsep-konsep baru yang bernafas
Islam pun mulai muncul. Sebagain contoh Bahasa Arab yang menjadi
bahasa keseharian kita saat ini: (1) Adil dari `ādil. (2) Ahli dari ahl. (3) Bala
dari balā'. (4) Dalil dari dalīl. (5) Dunia dari dunyā. (6) Gaib dari ghaib. (7)
Umat dari umma. (8) Wafat dari wafāh. (9) Ya dari yā' (10) Yatim dari yatīm
(11) Akal dari ‘aql (12) Daerah dari da’ira. (13) Hadiah dari hadiyya. (14)

3
Hadir dari hadir. (15) Ijazah dari ijaza. (16) Jadwal dari jadwal. (17) Kertas
dari qirtas. (18) Haji dari hajj.
Proses penyerapan Bahasa Arab terus berlangsung. Salah satu
pengaruh Arab dan Persia bisa diliat pada prasasti Munye Tujoh yang
kala itu mulai menerapkan penanggalan Hijriah, menggantikan
penanggalan Saka atau kalender yang berasal dari India. Tidak kalah
penting, pada era Samudra Pasai huruf Jawi (aksara Arab) menggantikan
aksara India. Bahkan penutur di era tersebut juga menambahkan tanda
khusus pada beberapa aksara Arab dalam rangka menyesuaikan bunyi
dari Bahasa Melayu.
Perdagangan internasional di Laut Melayu kian sibuk pada abad
ke-15 sampai abad ke-17. Kondisi ini memantapkan Bahasa Melayu
sebagai lingua franca. Penggunaan Bahasa Melayu sebagai bahasa
perdagangan bahkan menjadi meluas sampai ke Kamboja, Vietnam dan
Filipina. Bahasa Melayu saat itu tidak lagi hanya menyerap unsur bahasa
asing tapi mulai mampu memengaruhi bahasa lokal di Asia Tenggara.
Ratusan kata-kata Melayu mendominasi dunia perdagangan,
teknologi dan bidang-bidang lainnya. Pada periode tersebut, Bahasa
Melayu bahkan masuk ke dalam Bahasa Tagalog yaitu pusat-pusat niaga
utama di Kamboja muncul di sana kosa kata melayu seperti kampoeng,
udang, perahu, keris, dst. Bahkan di pantai Malabar India seolah-olah
kata-kata Melayu menjadi kata-kata asli setempat.
Pelaut-pelaut Eropa yang perlahan hilir-mudik di lautan Nusantara
pula merasa sangat perlu menguasai Bahasa Melayu. Hal ini agar
memperlancar komunikasi mereka dengan para pedagang Nusantara.
Sebagai contoh, seorang tokoh bernama Antonio Pigafetta angota dari
Ferdinand Magellan yang merupakan seorang eksplorer yang telah
melakukan ekspedisi mengelilingi dunia, ia membuat semacam kamus
Bahasa Melayu bertajuk Vocabuli de Questi Populi Mori (1522).
Usaha di atas lantas diikuti oleh pelaut-pelaut dari Belanda yang
datang di pertengahan abad ke-17 seperti, Frederick de Houman (1608)
atau Casper Wiltens dan Sebastianus Dancakerst (1623). Tokoh-tokoh ini
menyusun kamus mereka sendiri. Hal tersebut sekaligus menjadi tanda
awal pedagang Eropa seperti dari Portugis, Belanda, Spanyol, dan Inggris

4
berduyun-duyun datang ke Nusantara. Secara bersamaan kedatangan
mereka meningkatkan informasi dan mengubah kebiasaan masyarakat
pengguna Bahasa Melayu.
Bahasa Portugis banyak memperkaya kata-kata dalam Bahasa
Indonesia, sebagai contoh: (1) Algojo dari algoz. (2) Bangku dari banco. (3)
Bendera dari bandeira. (4) Boneka dari boneca. (5) Garpu dari garfo. (6)
Gereja dari Igreja. (7) Gudang dari gudao. (8) Jendela dari Janella. (9) Kartu
dari cartão. (10) Kemeja dari camisa. (11) Minggu dari domingo, dst.
Pengaruh Bahasa Belanda hingga awal ke abad ke-20 pula banyak
terserap khususnya di dalam bidang administrasi atau urusan resmi,
misalannya saat upacara kemiliteran dan bidang teknologi. Sebagai
contoh: (1) Aktif dari actief. (2) Atret dariachteruit. (3) Berita dari berichten.
(4) Dinas dari dienst. (5) Got dari goot. (6) Indekos dari in de kost. (7)
Jambore dari jamboree. (8) Kartu dari kaart. (9) Kantor kantoor. (10) Kasdar
kas. (11) Kenek dari knecht. (12) Mandat dari mandaat. (13) Naif dari naïef.
(14) Nol dari nul. (15) Pistol dari pistool. (16) Rokok dari roken (17) Telat
dari te laat (18) Total dari totaal, dst.
Di sisi lain, bahasa yang berasal dari pendatang Cina juga dipakai
oleh penutur Bahasa Melayu. Kata-kata serapan tersebut biasanya
berkaitan dengan perniagaan dan keperluan sehari-hari. Sebagai contoh:
(1) Pisau dari bi shou. (2) Taifun dari taipun. (3) Becak dar bahchia. (4)
Kongko dari jiang zuo. (5) Kongsi dari gongsi. (6) Kuaci dari gua zi. (7)
Kuli dari khu li (8) Loteng dari lou ceng. (9) Bihun dari mihun. (10) Cukong
dari tsu kong. (11) Engkong dari an kong. (12) Jalangkung dari ch’ai lang
kung. (13) Kecoak dari ka tsoah, dst.
Bahasa Melayu pada abad ke-7 telah berkembang menjadi
serbaneka dialek dan digunakan oleh banyak sekali etnis di Laut Melayu.
Variasi dari Bahasa Melayu ini menunjukkan kepusparagaman kelompok
etnik yang menjadikan bahasa ini sebagai basis dari identitas mereka.
Raja Ali Haji dari istana Riau Johor atau pecahan dari Kesultanan
Malaka menulis kamus Ekabahasa yaitu kamus yang memuat suatu
bahasa yang disusun secara alfabetis untuk bahasa Melayu. Sejak saat itu
dapat dikatakan bahwa Bahasa Melayu adalah bahasa yang full-fledged
atau bahasa yang sepenuhnya berkembang, yakni sama tinggi dengan

5
bahasa-bahasa internasional pada masanya. Hal ini dikarenakan bahasa
tersebut memiliki kaidah dan dokumentasi kata yang terdefinisi dengan
jelas.
Terdapat paling sedikit dua kelompok Bahasa Melayu yang dikenal
oleh masyarakat Nusantara hingga akhir abad ke 19. Dua kelompok
Bahasa Melayu tersebut yaitu Bahasa Melayu Pasar atau bahasa sehari-
hari yang tidak baku. Kedua, Bahasa Melayu Tinggi yaitu bahasa yang
terbatas pemakaiaannya tetapi memililki standar.
Muncul di abad yang sama perubahan sikap terkait penggunaan
Bahasa Melayu. Perubahan ini berkaitan dengan Traktat London atau
Perjanjian London yang disepakati Kerajaan Inggris dan Belanda pada
tahun 1824. Berdasarkan Traktat ini Belanda diakui menguasai kepulauan
Indonesia, sementara Inggris memerintah kawasan semenanjung Malaya
dan Singapura.
Pemisahan di atas secara tidak langsung ikut memengaruhi
perkembangan Bahasa Melayu di kawasan Selat Malaka. Sejak saat itu,
dua pusat Kebudayaan Melayu yaitu Kerajaan Riau Lingga dan kerjaan
Johor pun berkembang sendiri-sendiri. Bahasa dan Kesusastraan Melayu
Riau yang lalu menjadi tulang punggung Bahasa Indonesia.
Pemerintah kolonial Hindia Belanda menyadari bahwa Bahasa
Melayu tinggi dapat dipakai untuk membantu administrasi bagi kalangan
pegawai nusantara. Hal tersebut karena penguasaan Bahasa Belanda
kalangan pegawai nusantara yang dinilai lemah oleh kolonial. Bahasa
Melayu Tinggi lantas dijadikan sandaran karena telah memiliki kitab
rujukan.
Sejumlah sarjana Belanda berusaha membakukan Bahasa Melayu.
Promosi Bahasa Melayu dilakukan di sekolah-sekolah dan didukung
dengan penerbitan karya sastra dalam Bahasa Melayu. Embrio Bahasa
Indonesia terbentuk di masa tersebut. Secara perlahan embrio Bahasa
Indonesia mulai terpisah dari bentuk semula Bahasa Melayu Riau Johor.
Charles Adriaan van Ophuijsen seorang warga negara Belanda
pada tahun 1896 ditugaskan oleh pemerintah Belanda menstandarisasikan
aksara latin untuk Bahasa Melayu. Ia dibantu Nawawi Sutan Makmur
yakni seorang guru dan tokoh pendidik yang berasal dari Minangkabau

6
pada akhir abad ke-19 dan pada awal abad ke-20 bersama Moehammad
Taib Soetan Ibrahim.
Ketiga tokoh di atas menstandarisai Bahasa Melayu. Hasil dari
proses tersebut adalah sebuah buku yang dinamai Kitab Logat Melajoe
pada tahun 1901. Buku tersebut kemudian menjadi pedoman tata bahasa
yang dikenal dengan Ejaan van Ophuijsen.
Keberadaan buku tersebut semakin memantapkan posisi Bahasa
Melayu. Tidak sampai di sana, gubernur Belanda pada saat itu juga
menetapkan Bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah
Bumi Putra. Intervensi dari pemerintah ini pun semakin kuat dengan
dibentuknya Commissie voor de Volkslectuur atau Komisi Bacaan Rakyat
(KBR) pada tahun 1908. Lembaga ini kemudian berubah pada tahun 1917
menjadi Balai Pustaka.
Komisi ini pada tahun 1910 di bawah pimpinan Dr. D. A. Rinkes
melancarkan program Taman Poestaka dengan membentuk
perpustakaan-perpustakaan kecil di berbagai sekolah dan instansi milik
pemerintah. Perkembangan program ini sangat pesat, dalam dua tahun
terakhir saja setelah dibentuk berhasil mendirikan 700 perpustakaan dan
menerbitkan novel-novel seperti Siti Nurbaya, Salah Asuhan dll.
Termasuk buku-buku penuntun bercocok tanam, penuntun memelihara
kesehatan. Tidak sedikit akhirnya buku-buku tersebut membantu
penyebaran Bahasa Melayu di kalangan masyarakat luas.
Bahasa Melayu semakin tersebar menjadi bahasa keseharian. Ki
Hadjar Dewantara seorang aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia
pada tahun 1916 mengusulkan bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan
dalam makalahnya yang disampaikannya di sebuah acara pengajaran
kolonial Den Haag. Bahasa Melayu usulan Ki Hadjar Dewantara
merupakan yang telah distandarisasi oleh Raja Ali Haji.
Selanjutnya, ketika gelora kemerdekaan semakin membara di
kalangan pemuda Nusantara, tercetus dari mereka keinginan untuk
memiliki suatu bahasa yang dapat mempersatukan bangsa, bahasa yang
bisa dijadikan jati diri bangsa. Muhammad Yamin seorang sastrawan,
sejarawan, budayawan, politikus, ahli hukum yang sangat dihormati pada

7
tahun 1926 saat Kongres Pemuda ke-1 mengusulkan Bahasa Melayu
menjadi bahasa persatuan bangsa guna merebut kemerdekaan.
Muhammad Tabrani salah seorang tokoh Jong Java yaitu organisasi
kepemudaan dan pemimpin redaksi dari Harian Pemandangan pada
tahun 1936 dan 1940 lantas mengusulkan perubahan nama Bahasa Melayu
menjadi Bahasa Indonesia. Beliau berpendapat jika tumpah darah
memperjuangkan kemerdekaan bangsa yang dinamakan Indonesia maka
bahasanya pun disebut Bahasa Indonesia.
Tulisan Muhammad Tabrani yang berjudul Bahasa Indonesia yang
membahas pentingnya nama Bahasa Indonesia dalam konteks perjuangan
bangsa, ia menutup tulisannya dengan kalimat, “bangsa dan pembaca kita
sekalian bangsa Indonesia belum ada maka terbitkanlah bangsa Indonesia.
Bahasa Indonesia belum ada maka terbitkanlah Bahasa Indonesia itu,
karena menurut keyakinan kita kemerdekaan bangsa dan tanah air kita
Indonesia ini terutama akan tercapai dengan jalan persatuan Indonesia
yang antara lain-lain terikat oleh Bahasa Indonesia.”
Berangkat dari usulan Tabrani, pada Kongres Pemuda ke-2
tepatnya pada 28 oktober 1928 ditetapkan Bahasa Indonesia sebagai
bahasa persatuan bangsa dengan diikrarkannya Sumpah Pemuda. (1)
Kami Putra dan Putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu,
tanah air Indonesia. (2) Kami Putra dan Putri Indonesia, mengaku
berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. (3) Kami Putra dan Putri
Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.
Sajak saat itu penyebutan Bahasa Melayu diubah menjadi Bahasa
Indonesia. Secara sosiologis Bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa
persatuan. Sedangkan secara yuridis bahasa Indonesia baru diakui
sebagai bahasa nasional atau bahasa negara pada tanggal 18 agustus 1945
sehari setelah kemerdekaan Indonesia yakni dengan ditandatanganinya
undang-undang 45 pada BAB ke-15 pasal 36.
Sejak Bahasa Indonesia diresmikan menjadi bahasa nasional,
Bahasa Indonesia sudah mengalami beberapa kali perubahan ejaan.
Pertama, Ejaan van Ophuijsen (1901-1947). Kedua, Ejaan Republik atau
yang dikenal dengan Ejaan Suwandi (1947-1972). Ketiga, Ejaan yang

8
Disempurnakan (EYD) (1972-2015). Keempat, Ejaan Bahasa Indonesia
(EBI) yang berlaku dari tahun 2015 hingga sekarang.
Selain ejaan di atas ada juga Ejaan Pembaharuan dan Ejaan
Melindo. Namun demikian, Ejaan Pembaharuan tidak pernah
dilaksanakan sedangkan Ejaan Melindo diurungkan peresmiannya karena
perkembangan politik yang tidak memungkinkan.
Perubahan ejaan Bahasa Indonesia sebagai contoh dapat dilihat
dari kata “Khusus” dalam Ejaan van Ophuijsen “Choecoes” menjadi
“Chusus” di Ejaan Suwandi hingga di Ejaan yang Disempurnakan
menjadi “Khusus”. Contoh lain, Djoem’at ke Djum’at lalu menjadi Jumat,
Tjoetjoe ke Tjutju lalu menjadi Cucu, Ja’ni ke Jakni lalu menjadi Yakni.
EYD dan EBI di dalamnya tidak memiliki perubahan yang drastis.
Hanya terdapat pada EBI penambahan satu huruf diftong yaitu huruf “ei”
sehingga ada empat huruf diftong ai, ei, au, dan oi. Selain itu, pada EBI
pula terdapat aturan penggunaan huruf tebal dan huruf kapital.
Ejaan dapat berubah-ubah seperti di atas sebab memang ada
pertemuan rutin yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali oleh
pemerintah dan para pakar bahasa dan Sastra Indonesia. Pertemuan rutin
ini dinamakan Kongres Bahasa Indonesia. Pertemuan yang di dalamnya
terdapat pembahasan terkait perkembangan Bahasa Indonesia.
Kongres Bahasa Indonesia pertama kali diadakan di Solo pada
tahun 1938. Sedang Kongres Bahasa Indonesia terakhir kali dilaksanakan
pada tahun 2018 lalu. Salah satu dari hasil Kongres ke-11 ini adalah
menargetkan Bahasa Indonesia menjadi Bahasa Internasional pada tahun
2045.
Demikian ikhtisar sejarah Bahasa Indonesia yang jika kita rangkum
dapat disebut Bahasa Indonesia berasal dari Bahasa Melayu, yakni bahasa
yang sudah dipakai di daerah-daerah wilayah Nusantara sebagai bahasa
perantara. Bahasa ini tidak hanya dipengaruhi oleh beragam corak dari
budaya daerah namun pula menyerap kosa kata dari berbagai bahasa
bangsa-bangsa lain seperti, India, Persia, Arab, Eropa, dan Cina. Bahasa
Melayu dalam perkembangannya lantas muncul dalam beberapa variasi
dan dialek. Perkembangan Bahasa Melayu di wilayah Nusantara yang

9
lantas memengaruhi dan mendorong tumbuhnya rasa persaudaraan dan
persatuan bakal bangsa Indonesia.
Semoga dari pembahasa ini kita menjadi lebih menghargai dan
tetap melestarikan Bahasa Indonesia, bahasa yang sudah diperjuangkan
sedemikian rupa oleh para pejuang bangsa Indonesia. Terakhir, mari kita
dukung usaha pemerintah dan para pakar agar bisa menjadikan Bahasa
Indonesia sebagai bahasa internasional.

Faqih Sulthan, S.S., M.A.

10

Anda mungkin juga menyukai