Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

APPENDICITIS

A. TINJAUAN KASUS
1. Pengertian Appendicitis
Appendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis
dan merupakan penyebab nyeri abdomen akut yang paling sering.
Penyakit ini menyerang semua umur baik laki-laki maupun
perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10
sampai 30 tahun dan merupakan penyebab paling umum inflamasi
akut pada kuadran bawah kanan dan merupakan penyebab paling
umum untuk bedah abdomen darurat (Smeltzer & Bare, 2013 dalam
Hidayat 2020).
Apendiksitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks
vermiformis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling
sering. Apendiks disebut juga umbai cacing. Apendiks merupakan
organ yang berbentuk tabung panjang dan sempit. Panjangnya kira-
kira 10cm (kisaran 3-15cm) dan berpangkal di sekum. Apendiks
menghasilkan lendir 1-2ml per hari. Lendir itu secara normal
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya dialirkan ke sekum.
Appendisitis adalah kondisi dimana infeksi terjadi di umbai
cacing. Dalam kasus ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi
banyak kasus memerlukan laparotomi dengan penyingkiran umbai
cacing yang terinfeksi (Anonim, 2007 dalam Docstoc, 2010).
Apendisitis adalah radang pada usus buntu atau dalam bahasa
latinnya appendiks vermivormis, yaitu suatu organ yang berbentuk
memanjang dengan panjang 6-9 cm dengan pangkal terletak pada
bagian pangkal usus besar bernama sekum yang terletak pada perut
kanan bawah (Arifin,D.S. 2017).
Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus
buntu atau umbai cacing (apendiks). Apendisitis merupakan
keadaan inflamasi dan obstruksi pada vermiforis. Apendisitis
adalah inflamasi saluran usus yang tersembunyi dan kecil yang
berukuran sekitar 4 inci yang buntu pada ujung sekum (Rosdahl
dan Mary T. Kowalski, 2015). Apendisitis merupakan keadaan
inflamasi dan obstruksi pada apendiks vermiformis. Apendiks
vermiformis yang disebut dengan umbai cacing atau lebih dikenal
dengan nama usus buntu, merupakan kantung kecil yang buntu dan
melekat pada sekum (Sofiah, 2017).
2. Etiologi
Penyebab dari apendisitis adalah adanya obstruksi pada
lamen apendikeal oleh apendikolit, tumor apendiks, hiperplasia
folikel limfoid submukosa, fekalit (material garam kalsium, debris
fekal), atau parasit EHistolytica. Selain itu apendisitis juga bisa
disebabkan oleh kebiasaan makan makanan rendah serat sehingga
dapat terjadi konstipasi. Konstipasi akan menaikkan tekanan
intrasekal yang mengakibatkan terjadinya sumbatan fungsional
apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon.
Appendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal
berperan sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks
merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus disamping
hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks, dan cacing
askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang
diduga dapat menimbulkan appendisitis adalah erosi mukosa
apendiks karena parasit seperti E. Histolytica. Penelitian
epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah
serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya appendisitis.
Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat
timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya
pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini akan
mempermudah timbulnya appendisitis akut. (Nanda, 2015)
3. Patofisiologi
Appendisitis dimulai oleh obstruksi dari lumen yang
disebabkan oleh feses yang terlibat atau fekalit. Penjelasan ini sesuai
dengan pengamatan epidemiologi bahwa appendisitis berhubungan
dengan asupan serat dalam makanan yang rendah (Burkitt, 2007).
Pada stadium awal dari appendisitis, terlebih dahulu terjadi
inflamasi mukosa. Inflamasi ini kemudian berlanjut ke submukosa
dan melibatkan lapisan muskular dan serosa (peritoneal). Cairan
eksudat fibrinopurulenta terbentuk pada permukaan serosa dan
berlanjut ke beberapa permukaan peritoneal yang bersebelahan,
seperti usus atau dinding abdomen, menyebabkan peritonitis lokal
(Burkitt, 2007). Dalam stadium ini mukosa glandular yang nekrosis
terkelupas ke dalam lumen, yang menjadi distensi dengan pus.
Akhirnya, arteri yang menyuplai apendiks menjadi bertrombosit dan
apendiks yang kurang suplai darah menjadi nekrosis atau gangren.
Perforasi akan segera terjadi dan menyebar ke rongga peritoneal.
Jika perforasi yang terjadi dibungkus oleh omentum, abses lokal
akan terjadi.
Apendisitis terjadi karena disebabkan oleh adanya obstruksi
pada lamen apendikeal oleh apendikolit, tumor apendiks, hiperplasia
folikel limfoid submukosa, fekalit (material garam kalsium, debris
fekal), atauparasit E-Histolytica. Selain itu apendisitis juga bisa
disebabkan oleh kebiasaan makan makanan yang rendah serat yang
dapat menimbulkan konstipasi. (Arifin,D.S. 2017). Kondisi
obstruktif akan meningkatkan tekanan intraluminal dan peningkatan
perkembangan bakteri. Hal ini akan mengakibatkan peningkatan
kongesti dan penurunan perfusi pada dinding apendiks yang
berlanjut pada nekrosis dan inflamasi apendiks. Pada fase ini
penderita mengalami nyeri pada area periumbilikal. Dengan
berlanjutnya pada proses inflamasi, akan terjadi pembentukan
eksudat pada permukaan serosa apendiks. Ketika eksudat ini
berhubungan dengan perietal peritoneum, maka intensitas nyeri
yang khas akan terjadi (Santacroce, 2009 dalam dalam Muttaqin &
Kumalasari, 2011). Dengan berlanjutnya proses obstruksi, bakteri
akan berproliferasi dan meningkatkan tekanan intraluminal dan
membentuk infiltrat pada mukosa dinding apendiks yang ditandai
dengan ketidaknyamanan pada abdomen. Adanya penurunan perfusi
pada dinding akan menimbulkan iskemia dan nekrosis serta diikuti
peningkatan tekanan intraluminal, juga akan meningkatkan risiko
perforasi dari apendiks.
Pada proses fagositosis terhadap respon perlawanan
terhadap bakteri ditandai dengan pembentukan nanah atau abses
yang terakumulasi pada lumen apendiks. Berlanjutnya kondisi
apendisitis akan meningkatkan resiko terjadinya perforasi dan
pembentukan masa periapendikular. Perforasi dengan cairan
inflamasi dan bakteri masuk ke rongga abdomen kemudian akan
memberikan respon inflamasi permukaan peritoneum atau terjadi
peritonitis. Apabila perforasi apendiks disertai dengan abses, maka
akan ditandai dengan gejala nyeri lokal akibat akumulasi abses dan
kemudian akan memberikan respons peritonitis. Gejala yang khas
dari perforasi apendiks adalah adanya nyeri hebat yang tiba-tiba
datang pada abdomen kanan bawah (Tzanaki, 2005 dalam Muttaqin,
Arif & Kumalasari, 2011).

4. Manifestasi Klinis
Nyeri terasa pada abdomen kuadran bawah dan biasanya
disertai oleh demam ringan, mual, muntah dan hilangnya nafsu
makan. Nyeri tekan lokal pada titik Mc. Burney bila dilakukan
tekanan. Nyeri tekan lepas mungkin akan dijumpai. Derajat nyeri
tekan, spasme otot, dan apakah terdapat konstipasi atau diare tidak
tergantung pada beratnya infeksi dan lokasi appendiks. Bila
appendiks melingkar di belakang sekum, nyeri dan nyeri tekan dapat
terasa di daerah lumbal; bila ujungnya ada pada pelvis, tanda-tanda
ini hanya dapat diketahui pada pemeriksaan rektal. Nyeri pada
defekasi menunjukkan bahwa ujung appendiks dekat dengan
kandung kemih atau ureter. Adanya kekakuan pada bagian bawah
otot rektum kanan dapat terjadiTanda Rovsing dapat timbul dengan
melakukan palpasi kuadran bawah kiri, yang secara paradoksial
menyebabkan nyeri yang terasa pada kuadran bawah kanan. Apabila
appendiks telah ruptur, nyeri dan dapat lebih menyebar; distensi
abdomen terjadi akibat ileus paralitik dan kondisi klien memburuk.
5. Pemeriksaan Penunjang/Diagnostik
a. Laboratorium
1) Tes Darah Tes darah dapat menunjukkan tanda-tanda
infeksi, seperti jumlah leukosit yang tinggi. Tes darah juga
dapat menunjukkan dehidrasi atau ketidakseimbangan
cairan dan elektrolit. Elektrolit adalah bahan kimia dalam
cairan tubuh, termasuk natrium, kalium, magnesium, dan
klorida.
2) Urinalisis Urinalisis digunakan untuk melihat hasil
sedimen, dapat normal atau terdapat leukosit dan eritrosit
lebih dari normal bila apendiks yang meradang menempel
pada ureter atau vesika. Pemeriksaan urin juga 14 penting
untuk melihat apakah ada infeksi saluran kemih atau infeksi
ginjal.
b. Radiotologi
1) Ultrasonografi (USG) USG dapat membantu mendeteksi
adanya tanda-tanda peradangan, usus buntu yang pecah,
penyumbatan pada lumen apendiks, dan sumber nyeri perut
lainnya. USG adalah pemeriksaan penunjang pertama yang
dilakukan untuk dugaan apendisitis pada bayi, anak-anak,
dewasa, dan wanita hamil.
2) Magnetic Resonance Imaging (MRI) MRI dapat
menunjukkan tanda-tanda peradangan, semburan usus
buntu, penyumbatan pada lumen apendiks, dan sumber
nyeri perut lainnya. MRI yang digunakan untuk
mendiagnosis apendisitis dan sumber nyeri perut lainnya
merupakan alternatif yang aman dan andal daripada
pemindaian tomografi terkomputerisasi.
3) CT Scan CT scan perut dapat menunjukkan tanda-tanda
peradangan, seperti usus yang membesar atau abses massa
yang berisi nanah yang dihasilkan dari upaya tubuh untuk
mencegah infeksi agar tidak menyebar dan sumber nyeri
perut lainnya, seperti semburan apendiks dan penyumbatan
di lumen apendiks. Wanita usia subur harus melakukan tes
kehamilan sebelum menjalani CT scan. Radiasi yang
digunakan dalam CT scan 15 dapat berbahaya bagi janin
yang sedang berkembang.

6. Penatalaksanaan Medis
Menurut Saputro (2018), penatalaksanan pada yang
dilakukan pada klien apendisitis yaitu penatalaksanaan medis dan
penatalaksanaan keperawatan :
1) Penatalaksanaan Medis
a) Pembedahan (konvensional atau laparaskopi) apabila
diagnose apendisitis telah ditegakan dan harus segera
dilakukan untuk mengurangi risiko perforasi.
b) Berikan obat antibiotik dan cairan IV sampai tindakan
pembedahan dilakukan.
c) Agen analgesik dapat diberikan setelah diagnosa
ditegakan.
d) Operasi (apendiktomi), bila diagnosa telah ditegakan
yang harus dilakukan adalah operasi membuang
apendiks (apendiktomi). Penundaan apendiktomi dengan
cara pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses
dan perforasi. Pada abses apendiks dilakukan drainage.
2) Penatalaksanaan Keperawatan
a) Tatalaksana apendisitis pada kebanyakan kasus adalah
apendiktomi. Keterlambatan dalam tatalaksana dapat
meningkatkan kejadian perforasi. Teknik laparoskopi
sudah terbukti menghasilkan nyeri pasca bedah yang
lebih sedikit, pemulihan yang lebih cepat dan angka
kejadian infeksi luka yang lebih rendah. Akan tetapi
terdapat peningkatan kejadian abses intra abdomen dan
pemanjangan waktu operasi. Laparoskopi itu dikerjakan
untuk diagnosa dan terapi pada pasien dengan akut
abdomen, terutama pada wanita
b) Tujuan keperawatan mencakup upaya meredakan nyeri,
mencegah defisit volume cairan, mengatasi ansietas,
mengurangi risiko infeksi yang disebabkan oleh
gangguan potensial atau aktual pada saluran
gastrointestinal, mempertahankan integritas kulit dan
mencapai nutris yang optimal.
c) Sebelum operasi, siapkan pasien untuk menjalani
pembedahan, mulai jalur Intra Vena berikan antibiotik,
dan masukan selang nasogastrik (bila terbukti ada ileus
paralitik), jangan berikan laksatif. (d) Setelah operasi,
posisikan pasien fowler tinggi, berikan analgetik
narkotik sesuai program, berikan cairan oral apabila
dapat ditoleransi, dan lakukan perawatan luka. (e) Jika
drain terpasang di area insisi, pantau secara ketat adanya
tanda - tanda obstruksi usus halus, hemoragi sekunder
atau abses sekunder Jadi berdasarkan pembahasan diatas,
tindakan yang dapat dilakukan terbagi dua yaitu tindakan
medis yang mengacu pada tindakan
pembedahan/apendictomy dan pemberian analgetik, dan
tindakan keperawatan yang mengacu pada pemenuhan
kebutuhan klien sesuai dengan kebutuhan klien untuk
menunjang proses pemulihan.

B. TINJAUAN ASKEP
1. Pengkajian
a. Data Subjektif
a) Pasien mengatakan nyeri pada perut bagian kanan bawah
b) Pasien mengatakan nyeri seperti melilit
c) Pasien mengatakn sulit bergerak
b. Data Objektif
a) Pasien tampak meringis
b) Pucat, gelisah
2. Diagnosa Keperawatan
Pre - OP
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologi (distensi
jaringan intestinal oleh inflamasi)
b. Perubahan pola eliminasi (konstipasi) berhubungan dengan
penurunan peritaltik
c. Cemas  berhubungan dengan akan dilaksanakan operasi.

Post – OP

a. Nyeri berhubungan dengan agen injuri fisik (luka insisi post


operasi appendictomi).
b. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif (insisi post
pembedahan).
c. Gangguan Mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri.
d. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan efek samping post
operasi
3. Perencanaan
a. Prioritas Masalah
Diagnosa berdasarkan SDKI (2017)
a) Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif (insisi
post pembedahan).
b) Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik (luka insisi
post operasi appendictomi).
c) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri
b. Rencana Perawatan
No Diagnosa Keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi Rasional Tindakan
1 Nyeri berhubungan dengan Setelah dilakukan asuhan 1) Kaji skala nyeri lokasi, 1. Mengetahui skala
agen injuri fisik (luka insisi keperawatan, diharapkan karakteristik dan laporkan nyeri yang
post operasi appendictomi). nyeri berkurang dengan perubahan nyeri dengan tepat. dirasakan
kriteria hasil: 2) Monitor tanda-tanda vital 2. Melihat dalam atas
3) Pertahankan istirahat dengan normal
1. Melaporkan nyeri
posisi semi fowler. 3. Membuat pasien
berkurang
4) Dorong ambulasi dini. erasa nyaman
2. Klien tampak rileks
5) Berikan aktivitas hiburan. 4. Membuat
3. Dapat tidur dengan tepat
6) Kolaborasi tim dokter dalam pergerakan agar
4. Tanda-tanda vital dalam
pemberian analgetika. tidak kaku
batas normal
5. Agar pasien tidak
TD (systole 110-
bosan
130mmHg, diastole 70-
6. Mempercepat
90mmHg), HR(60-
proses
100x/menit), RR (16-
penyembuhan
24x/menit), suhu (36,5-
37,50C)
2 Resiko infeksi berhubungan Setelah dilakukan asuhan 1) Kaji adanya tanda-tanda infeksi 1. Melihat apakah ada
dengan tindakan invasif keperawatan diharapkan pada area insisi tanda gejala infeksi
(insisi post pembedahan). infeksi dapat diatasi dengan 2) Monitor tanda-tanda vital. 2. Mengetahui dini
kriteria hasil: Perhatikan demam, menggigil, tanda infeksi
berkeringat, perubahan mental 3. Agar tetap bersih
1. Klien bebas dari tanda-
3) Lakukan teknik isolasi untuk dan terhindar
tanda infeksi
infeksi enterik, termasuk cuci infeksi
2. Menunjukkan
tangan efektif. 4. Membiarkan luka
kemampuan untuk
4) Pertahankan teknik aseptik ketat tetap steril
mencegah timbulnya
pada perawatan luka insisi / 5. Menghindari
infeksi
terbuka, bersihkan dengan infeksi
Nilai leukosit (4,5-11ribu/ul)
betadine.
5) Awasi / batasi pengunjung dan
siap kebutuhan.
6) Kolaborasi tim medis dalam
pemberian antibiotik
3 Gangguan mobilitas fisik Setelah dilakukan asuhan 1) Kaji ulang pembatasan aktivitas 1. Melihat sejauh
berhubungan dengan nyeri keperawatan diharapkan pascaoperasi mana pengetahuan
pengetahuan bertambah 2) Anjuran menggunakan aktivitas post-op
dengan kriteria hasil: laksatif/pelembek feses ringan 2. Lebih alami
bila perlu dan hindari enema 3. Agar pasien paham
1. menyatakan pemahaman
3) Diskusikan perawatan insisi, perawatan
proses penyakit,
termasuk mengamati balutan, pengobatan luka
pengobatan dan
pembatasan mandi, dan kembali post-op
2. berpartisipasi dalam
ke dokter untuk mengangkat 4. Agar pasien segera
program pengobatan
jahitan/pengikat melapor apabila
4) Identifikasi gejala yang ada gejala yang
memerlukan evaluasi medic, memerlukan
contoh peningkatan nyeri evaluasi medis
edema/eritema luka, adanya
drainase, demam
4. Implementasi (pengertian)
Pelaksanaan/implementasi merupakan tahap keempat dalam proses
keperawatan dengan melaksanakan berbagai strategi keperawatan
(tindakan keperawatan) yang telah direncanakan. Dalam tahap ini
perawat harus mengetahui berbagai hal, diantaranya bahaya fisik dan
perlindungan kepada pasien, teknik komunikasi, kemampuan dalam
prosedur tindakan, pemahaman tentang hak-hak pasien tingkat
perkembangan pasien. Dalam tahap pelaksanaan terdapat dua tindakan
yaitu tindakan mandiri dan tindakan kolaborasi.
5. Evaluasi (sesuaikan dengan permasalahan yang muncul)
a. Pasien melaporkan nyeri berkurang
b. Tidak ada tanda-tanda infeksi
c. Menyatakan pemahaman proses penyakit, pengobatan dan
berpartisipasi dalam proses pengobatan
Daftar Pustaka

Arifin, D. S. (2014). Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Post Operatif


Apendiktomy et cause Appendisitis Acute
Muttaqin, Arif & Sari, Kurmala. 2011. Gangguan Gastrointestinal : Aplikasi
Asuhan Keperawatan Medikal bedah. Jakarta : Salemba medika.

NANDA Internasional (2015). Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi


2015-2017. Jakarta : EGC
PPNI, T. P. S. D. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta
Selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Smeltzer & Bare. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brurner &
Suddarath (8th ed.). Jakarta: EGC.
Sofiah, W. (2017). Asuhan Keperawatan Klien Yang Mengalami Post Op 98
Apendiktomi Dengan Resiko Infeksi di RSUD Kota Jakarta Utara.

Anda mungkin juga menyukai