Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH IMUNOLOGI

RESPON IMUN TERHADAP HELMINTH

DISUSUN OLEH :

1. DIKA SETIADI 1618000991

2. FAJRI NURHIDAYAT 1618000871

3. YUSSINTA ALIFIA 1618000

4. DITA ARIANI 1618000

5. IMRONA LUTFIA KAMALA 1618001691

S1 FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PEKALONGAN
2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN............................................................................5

1.1 Latar Belakang.............................................................................5

1.2 Tujuan..........................................................................................6

1.3 Rumusan Masalah.......................................................................6

1.4 Manfaat........................................................................................6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................7

2.1 Sistem Imun.................................................................................7

2.2 Sitem Imun Non Spesifik.............................................................7

2.3 Eosinofilia....................................................................................8

2.4 Mastosit........................................................................................9

2.5 Respon Imun Spesifik................................................................10

2.6 Respon Imun Humoral...............................................................11

2.7 Sitokin........................................................................................11

2.8 Ig E.............................................................................................12

BAB III PEMBAHASAN..........................................................................14

3.1 Mekanisme Respon Imun..........................................................14

3.1.1 Sistem Imun umoral...............................................................14

2 |R e s p o n I m u n T e r h a d a p H e l m i n t h
3.1.2 Sistem Imun Seluler...............................................................14

3.2 Respon Imun Terhadap Infeksi Helminth..................................14

3.3 Aktivasi Komplemen Jalur Alternativ oleh Helminths.............17

3.4 Respon Imun Non- Spesifik.......................................................20

3.5 Respon Imun Spesifik................................................................20

3.6 Mekanisme Helminth Keluar dari Saluran Cerna......................23

3.7 Infeksi Akibat Helminth............................................................23

3.7.1 Schistomiasis..........................................................................23

3.8 Nematoda Gastrointestinal.........................................................24

3.9 Filariasis.....................................................................................25

BAB IV PENUTUP...................................................................................26

4.1 Kesimpulan......................................................................................26

4.2 Saran.................................................................................................26

DAFTAR PUSTAKA................................................................................15

3 |R e s p o n I m u n T e r h a d a p H e l m i n t h
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sistem Kekebalan tubuh atau sistem imun adalah sistem perlindungan

dari pengaruh luar biologis yang dilakukan oleh sel dan organ khusus pada

suatu organisme sehingga tidak mudah terkena penyakit. Jika sistem imun

bekerja dengan benar, sistem ini akan melindungi tubuh terhadap infeksi

bakteri dan virus, serta menghancurkan sel kanker dan zat asing lain dalam

tubuh. Sebaliknya, jika sistem imun melemah, maka kemampuannya untuk

melindungi tubuh juga berkurang.

Imunologi adalah itu yang mempelajari respons imun dalam arti luas

dan mempelajari peristiwa seluler dan malekuler yang terjadi setelah tubuh

terpapar mikroba atau mikromolekul asing.

Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama infeksi. Gabungan sel,

molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi disebut

sistem imun. Reaksi yang dikoordinasi sel-sel, molekul-molekul dan bahan

lainnya terhadap mikroba disebut respons imun. Tahanan keutuhannya

terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan

hidup.

Tujuan utama sistem imun adalah untuk mempertahankan tubuh dari

serangan mikroorganisme. Darah, cairan transportasi tubuh yang utama,

melakukan fungsi vital dengan mempertahankan homeostatis ( keseimbangan,

fisiologis dan alami lingkungan internal tubuh ). Melalui saluran limfatiknya,

sistem imun juga melakukan fungsi transportasi.

4 |R e s p o n I m u n T e r h a d a p H e l m i n t h
Kecacingan merupakan penyakit yang sampai sekarang masih menjadi

permasalahan di berbagai negara. World Health Organization melaporkan

lebih dari dua milyar orang terinfeksi cacing dan 300 juta diantaranya dalam

kondisi infeksi berat (WHO, 2002). Sementara itu di indonesia, Departemen

Kesehatan mempublikasikan bahwa kecacingan merupakan penyakit yang

banyak menyerang anak-anak dan sampai tahun 2010 telah dilaporkan 11.969

kasus lariasis di Indonesia, bahkan 72% kabupaten atau kota di Indonesia

dinyatakan endemik lariasis. (DepKes, 2011).

1.2 Tujuan

a. Dapat memahami apa yang dimaksud dengan imun terhadap cacing


b. Dapat memahami reaksi, autoimun dan toleransi imun terhadap cacing
c. Memahami dan Mengetahui sel-sel imun yang berperan dalam imunitas
tubuh
d. Dapat memahami mekanisme dari respon imun terhadap cacing dalam
tubuh
1.3 Rumusan Masalah

a. Apakah yang dimaksud dengan imun terhadap cacing ?


b. Apa sajakah reaksi infeksi, autoimun, atau toleransi ?
c. Apa saja sel sel imun yang berperan dan fungsinya ?
d. Bagaimana Mekanisme dari respon imun ?
1.4 Manfaat

a. Menambah, memperbanyak data ilmu pengetahuan tentang sistem imun


terhadap cacing dan penyakit yang sering terjadi khususnya penyakit yang
disebabkan oleh cacing.
b. Mendapatkan informasi mengenai hal-hal yang berhubungan dengan
sistem imun terhadap tubuh.

5 |R e s p o n I m u n T e r h a d a p H e l m i n t h
BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Imun

Tubuh manusia dilengkapi dengan sederetan mekanisme pertahanan

yang bekerja untuk mencegah masuk dan menyebarnya agen infeksi yang

disebut sebagai sistem imun. Sistem imun diperlukan tubuh untuk

mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan

berbagai bahan dalam lingkungan hidup.

Sistem imun dapat dibagi menjadi sistem imun alamiah atau non

spesifik (natural/innate/native) dan didapat atau spesifik (adaptive/acquired).

Respon imun diperantarai oleh berbagai sel dan molekul larut yang disekresi

oleh sel-sel tersebut. Sel-sel utama yang terlibat dalam reaksi imun adalah

limfosit (sel B, sel T, dan sel NK), fagosit (neutrofil,eosinofil, monosit, dan

makrofag), sel asesori (basofil,sel mast, dan trombosit), sel-sel jaringan, dan

lain-lain. Bahan larut yang disekresi dapat berupa antibodi, komplemen,

mediator radang, dan sitokin. Walaupun bukan merupakan bagian utama dari

respon imun, sel-sel lain dalam jaringan juga dapat berperan serta dengan

memberi isyarat pada limfosit atau berespons terhadap sitokin yang dilepaskan

oleh limfosit dan makrofag. (Hang Tuah M. J, 2008)

2.2 Sitem Imun Non Spesifik

Imunitas non spesifik fisiologik berupa komponen normal tubuh,

selalu ditemukan pada individu sehat dan siap mencegah mikroba masuk

tubuh dan dengan cepat menyingkirkannya. Semua mekanisme pertahanan ini

merupakan bawaan (innate), artinya pertahanan tersebut secara alamiah ada

6 |R e s p o n I m u n T e r h a d a p H e l m i n t h
dan tidak adanya pengaruh secara intrinsik oleh kontak dengan agen infeksi

sebelumnya. Mekanisme pertahanan ini berperan sebagai garis pertahanan

pertama dan penghambat kebanyakan patogen potensial sebelum menjadi

infeksi yang tampak. Komponen utama dari respon imun ini adalah pertahanan

fisik dan kimiawi (epitel dan substansi antimikroba yang diproduksi pada

permukaan epitel), system komplemen, sel fagosit (sel polimorfonuklear dan

makrofag) serta sel natural killer (NK). Jika antigen atau cacing dapat

menembus pertahanan fisik dan kimiawi maka pennghancuran antigen

dilakukan sel fagosit dengan memfagosistosis antigen. (Hang Tuah M. J,

2008)

2.3 Eosinofilia

Dalam darah perifer orang normal terdapat eosinofil 2-5% dari jumlah
leukosit, namun jumlahnya akan meningkat pada orang yang alergi, terinfeksi
parasit(cacing) dan serangan asma. Ciri morfologis dari sel ini adalah
berukuran sekitar 16 um, memiliki granula berwarna merah jingga yang berisi
pro.ein basa dan enzim perusak. Eosinofil dapat mengeluarkan aktivator reaksi
hipersensitif, merupakan sel fagosit serta efektif untuk mendorong antigen
yang membentuk IgE.(Kesno Boedina Siti, 2001)
Sel ini memiliki reseptor untuk IgE serta dapat menempel pada
partikel yang dilapisi IgE. Antibodi ini akan membentuk jembatan
penghubung antara eosinofil dan agen patogen, proses ini disebut sebagai
Antibody Dependent Cell mediated Citotoxicity (ADCC). ADCC ini bekerja
untuk membantu menghancurkan agen patogen yang berukuran besar yang
tidak dapat difagositosis. Dari beberapa penelitian pada coba yang diinfeksi
oleh cacing nematoda menunjukkan bahwa eosinofil dapat melawan parasit
dengan kondisi yang lemah atau pada cacing yang hampir mati. Namun pada
parasit cacing yang hidup dan kondisinya akan menghambat intesa eosinofil
(Chernin jack, 2000). pertumbuhan dan perbedaan eosinofil dirangsang oleh
sitokin yang diproduksi oleh sel T, yaitu IL-5 dan aktivasi dari sel T ini akan

7 |R e s p o n I m u n T e r h a d a p H e l m i n t h
menyebabkan akumulasi eosinofil pada tempat infestasi parasit dan reaksi
alergi. Eosinofil bergerak ke arah sel target karena rangsangan mediator yang
diproduksi sel T, mastosit dan basofil yang disebut sebagai faktor kemotaksis
eosinofil dari anafilaksis (ECF-A).A ktivasi eosinofil akan menghasilkan
protein dasar utama (MBP) serta bermuatan protein positif yang dapat
merusak membran sel target yang tidak dapat merusak dengan fagositosis.
Selain itu eosinofil mengeluarkan enzim yang dapat menghancurkan berbagai
mediator yang dapat dilihat oleh basofil dan mastosit. Karena hal tersebut,
eosinofil dapat merusak sel target, juga diduga bekerja untuk mengendalikan
atau mengurangi reaksi hipersensitifitas (Mitre Edward and
Nutman.B.Thomas, 2006)
2.4 Mastosit

Sel ini biasanya didapatkan jaringan dan epitel mukosa, memiliki inti
berlobus tunggal, granula basofil yang jumlahnya lebih banyak dari basofil
dan berukuran lebih kecil dari basofil. Sel ini berperan dalam imunitas
bawaan dan adaptif. Pada permukaan membran sel mast terdapat reseptor
terhadap IgE, IgG, C3a, dan C5a yang bertindak sebagai sensor terhadap
berbagai perubahan (kerusakan, perubahan suhu, konsentrasi oksigen atau
keberadaan agen patogen). Atas rangsangan perubahan tersebut menyebabkan
degranulasi sel mast. Granula yang terdapat didalam sel mast merupakan
mediator yang menyebabkan terjadinya reaksi anafilaktik.
Sel mast mukosa memerlukan mediator untuk maturasi yang
dilepáskan oleh sel T. Terdapat 4 macam sitokin yaitu IL-3, IL-4, IL-9 dan IL-
10 (yang disebut sebagai cytokine synthesis inhibitory factor atau CSIF), yang
bersifat sebagai rangsangan independen atau memberi rangsangan secara
bersama-sama pada perkembangan dan diferensiasi sel secara in vitro.
Mastositosis merupakan peningkatan jumlah dari sel mast , fenomena ini
biasanya berkaitan dengan infeksi parasit cacing dan reaksi alergi(Mitre
Edward and Nutman.B.Thomas, 2006). Peran sel mast secara pasti pada
infeksi parasit masih menjadi berguna. keberadaan sel mast ini pemeriksaan
dengan proses expulsi/pengeluaran cacing, namun dari penelitian yang
dilakukan untuk memastikan fungsi dari sel mast terhadap infeksi cacing

8 |R e s p o n I m u n T e r h a d a p H e l m i n t h
belum menunjukkan fungsi sel mast secara pasti. Pada tikus yang diinfeksi
Hymenolepis diminuta menunjukkan bahwa keberadaan sel mast ini
menyebabkan kerusakan baik pada parasit jaringan maupun pada jaringan
hospes (Ivan, 2003).
2.5 Respon Imun Spesifik

Komponen yang berperan pada respons spesifik adalah sistem limfatik


(sumsum tulang, thymus, lien dan kelenjar getah bening yang tersebar di
seluruh tubuh) dimana sistem limfatik ini memproduksi limfosit yang berperan
dominan pada sistem imun adaptif/respon imun spesifik (Mitre Edward and
Nutman.B.Thomas, 2006). Secara garis besar terdapat 2 jenis sel limfosit yaitu
sel limfosit T, yang berperan pada respon imun selular dan sel limfosit B yang
berfungsi pada respons imun humoral Respon imun spesifik dimulai dengan
adanya makrofag khusus yaitu APC yang memproses antigen sedemikian rupa
sehingga berinteraksi dengan sistem imun spesifik Dengan rangsangan
antigen tersebut, sistem sel imun berproliferasi dan berdifferensiasi sehingga
sel yang mampu bereaksi dengan antigen (Chernin jack, 2000)
Terdapat 3 macam molokul pengikat antigen yaitu receptor antigen
pada permukaan sel B(sIg), receptor antigen pada sel T (TCR), dan molekul
major histocompatibility complex (MHC) kelas I dan kelas II. Fungsi MHC
dan TCR ini adalah menyajikan fragmen antigen untuk dikenal sel limfosit T.
Terdapat 3 golongan respon imun spesifik yaitu 1. Respon Imun Seluler
Fungsi dari respon imun ini adalah untuk melawan mikroorganisme yang
hidup intraseluler. Ada dua cara untuk melawan agen patogen intraseluler ini.
Sel yang dapat dibunuh melalui sistem efektor ekstraseluler, misalnya scl T
sitotoksik atau sel yang terinfeksi agar dapat membunuh agen patogen yang
menginfeksinya. Proses dimulai dengan pengenalan antigen oleh Thelper
melalui receptor TCR dan molekul MHC kelas II. Sinyal ini akan
menginduksi limfosit untuk menghasilkan limfokin (salah satunya adalah
interferon) yang dapat menghancurkan patogen tersebut. Penghancuran
patogen ini dapat melalui jalur sel T sitotoksik yang disajikan oleh MHC kelas
I melalui kontak langsung atau dengan sintesa y interferon.(Mitre Edward and
Nutman.B.Thomas, 2006) (Kesno Boedina Siti, 2001)

9 |R e s p o n I m u n T e r h a d a p H e l m i n t h
2.6 Respon Imun Humoral

Sel B berperan utama pada respons imun ini dan bekerja dalam
pertahanan terhadap patogen ekstraseluler. Respon dimulai dengan
differensiasi sel B menjadi sel plasma yang memproduksi dan mensekresi
antibodi spesifik ke dalam darah. Selain itu pada respon humoral membentuk
sel B memori. Antibodi akan berikatan dengan antigen kompleks antibodi-
antigen yang dapat mengaktivasi komplemen sehingga antigen dapat
membentuk. Proses diferensiasi sel B memerlukan bantuan sel Thelper
(mendapat sinyal dari APC) untuk memproduksi antibodi. Keseimbangan
produksi antibodi ini selain diatur oleh Thelper juga diatur oleh T supresor
(Kesno Boedina Siti, 2001).
2.7 Sitokin

Sitokin atau yang disebut interleukin merupakan substansi serupa


hormon yang dikeluarkan oleh sel B, sel T (limfokin) atau sel-sel yang
berfungsi sebagai sinyal interseluler yang mengatur respons dalam lamasi
lokal maupun sistemik, respons imun spesifik maupun yang spesifik terhadap
rangsangan dari luar. Pengeluaran sitokin ini bersifat terbatas, sehingga
setelah diproduksi dengan cepat akan menghasilkan dan menghasilkan
aktivitas yang diperlukan. Setiap sitokin dapat diproduksi oleh lebih dari 1
jenis sel, bereaksi terhadap berbagai jenis sel yang berbeda, dampak yang
ditimbulkannya pada setiap sel berbeda-beda. Satu sitokin dapat
mempengaruhi aktivitas sitokin lainnya (dapat meningkatkan atau
menghambat), aktivitas sitokin dapat bersifat lokal (baik beraktivitas di dalam
sel yang memproduksinya/autokrin atau beraktivitas di dekat sel yang
memproduksinya/ parakrin) atau sistematik (jika diproduksi dalam jumlah
besar, sitokin dapat masuk peredaran darah / endokrin). Sitokin memulai
aksinya dengan berikatan dengan reseptor pada membran sel sasaran.
Ekspresi sel T dan sel B akan meningkatkan ekspresi dari sitokin. Sitokin
akan memicu terjadinya perubahan ekspresi gen pada sel target, sehingga
mengakibatkan perubahan fungsi atau terjadinya proliferasi sel target (kecuali
chemokine dan TNF) (Kesno Boedina Siti, 2001).

10 |R e s p o n I m u n T e r h a d a p H e l m i n t h
Interleukin yang berkaitan dengan infeksi cacing adalah IL-4, IL-5, IL-
9, IL-10 dan IL 13.
a. Interleukin 4
IL-4 diproduksi olch sel T, mastosit dan sel BCD5+ (sumber
utama IL-4 adalah sel T CD4, khususnya TH-2), IL-4 memudahkan
terjadinya pergantian kelas menjadi IgG-1 dan IgE sementara menekan
pembentukan IgM, IgG3, IgG2a dan IgG2b. Selain itu IL-4 bekerja
sebagai imunoregulator pada respon imun yang diperantarai oleh IgE dan
sel mastosit dan eosinofil.
b. Interleukin 5
Sitokin ini diproduksi oleh selT dan mastest yang teraktivasi.
Salah satu fungsi dari sitokin ini adalah membangkitkan pertumbuhan dan
differensiasi cosinofil dan mengaktivasi eosinofil.
c. Interleukin 9
Sitokin ini memiliki 2 zat yang berbeda yaitu leukimia inhibitory
factor (LIF) dan P40. Substansi yang berkaitan dengan infeksi cacing
adalah P40, dimana sitokin ini diproduksi sel T CD4. Fungsi sitokin
secara in vitro akan mendukung pertumbuhan beberapa klon sel dan
meningkatkan respons mastosit di atas rangsangan IL-3.
d. Interletkin 10
Sitokin ini diproduksi oleh sel Th-2 da memiliki kemampuan
untuk menghambat produksi sitokin oleh sel Th-1. Fungsi sitakin ini
adalah menghambat produksi beberapa sitakin (TNF, IL-1, IL-12 dan
chemokine), menghambat fungsi makrofag, membantu aktivasi sel T dan
bekerja sama dengan sitokin lain kita mengaktifkan proliferasi selB dan
sel mastos pada mukosa (Kesno Boedina Siti, 2001)
2.8 Ig E

IgE merupakan salah satu kelas imunoglobulin yang disintesa oleb se


limfosit B. Imunoglobulin merupakan molekul glikoprotein yang terdiri atas
kompones polipeptida sebanyak 82-96% dan sisanya karbohidrat. Fungsinya
yang utama dalam respons adalah mengikat dan menghancurkan antigen,
namun pengikatan antigen tidak akan memberikan dampak yang nyata jika

11 |R e s p o n I m u n T e r h a d a p H e l m i n t h
tidak disertai fungsi efektor sekunder(fungsi efektor sekunder yang terpenting
adalah memacu aktivasi komplemen dan meningkatkan histamin oleh basofil
atau mastosit dalam reaksi hipersensitivitas tipe segera Opsonisasi antigen
oleh imunoglobulin akan meningkatkan fagositosis, memudahkan APC
memproses dan menyajikan antigen kepada sel T dan meningkatkan fungsi sel
NK dalam mekanisme ADCC.(9) IgE dapat ditemukan dalam serum dengan
kadar yang sangat rendah yaitu 0,0004% dari kadar imunoglobulin total. IgE
memiliki kemampuan untuk melekat pada permukaan mastosit atau basofil
melalui reseptor Fc. IgE dikenal sebagai reaksi reaksi dari hipersensitifitas tipe
segera karena kemampuannya untuk membuka sel yang tertutupnya jika
terpapar allergen akan melepaskan mediator reaksi hipersensitifitas yang
sangat poten (Kesno Boedina Siti, 2001) (Hang Tuah M. J, 2008)

12 |R e s p o n I m u n T e r h a d a p H e l m i n t h
BAB II

PEMBAHASAN

3.1 Mekanisme Respon Imun

3.1.1 Sistem Imun umoral

Yang berperan utama dalam sistem imun humoral adalat

limfosit B atau sel B yang dirangsang oleh benda saing akan

berpoliferasi, berdiferensiasi, dan berkembang menjadi sel plasma

yang memproduksi antibody.

3.1.2 Sistem Imun Seluler

Limfosit T atau sel T yang berperan pada sistem imun

seluler. Sel T terdiri atas beberapa subset sel dengan fungsi yang

berlainan yaitu sel CD4+ (Th1, Th2, Th17, Treg), CD8. Fungsi

utama sistem imun seluler ialah pertahanan terhadap bakteri yang

hidup intraseluler, virus, jamur, parasit, dan keganasan. Sel CD 4

mengaktifkan sel Th1 yang selanjutnya mengaktifkan makrofag

atau sel dendritik untuk menghancurkan mikroba. Sel CD 8

memusnahkan sel terinfeksi.Th1 memproduksi IL-2 dan IFN-γ. Th2

memproduksi IL-4 dan IL-5. Treg melepas TGF-β dan IL-10

dimana IL-10 menekan fungsi APC dan aktivasi makrofag atau sel

dendritik sedang TGF-β menekan proliferasi sel T dan aktivasi

makrofag atau sel dendritik.

3.1 Respon Imun Terhadap Infeksi Helminth

Infeksi helminth/cacing menimbulkan respon imun yang khas

berupa meningkatnya kadar IgE, eosinophilia, dan peningkatan produksi

13 |R e s p o n I m u n T e r h a d a p H e l m i n t h
sitokin Th2 oleh leukosit dasrah perifer sebagai respons terhadap

rangsangan antigen parasite.

Pertahanan terhadap infeksi cacing ddiperankan oleh aktivasi Th2.

yang melibatkan sel-sel sistem kekebalan dan sitokin. Antigen parasit akan

dikenali oleh sel dendritik, yang selanjutnya bertindak sebagai antigen-

presenting cell (APC) untuk sel T, yang memulai pengusiran parasite.

Cacing akan merangsang subset Th2 dan sel CD4+ yang melepas sitokin

IL-4 dan IL-5. IL-4 akan merangsang produksi IgE dan IL-5 akan

merangsang perkembangan dan aktivasi eusinofil.

Ukuran cacing yang terlalu besar untuk fagositosis, maka terjadilah

degranulasi sel mast/basophil yang IgE dependen menghasilkan produksi

histamine yang menimbulkan spasme usus tempat cacing hidup. Eusinofil

akan menempel pada cacing melalkui IgG/IgA dan melepaskan protein

kationik, MBP (Myelin Basic Protein) dan neurotoksin. PMN dan

makrofag menempel melalui IgA /IgG dan melepas superoksida, oksida

nitrit, dan enzim yang membunuh cacing.

Figure 1 Pengeluaran ccaing dari saluran cerna

14 |R e s p o n I m u n T e r h a d a p H e l m i n t h
Antibodi dan sitokin yang diproduksi sebagai respon terhadap

antigen parasite memperkuat aktivitas antiparasit dari makrofag,

neutrophil dan eosinofil. Menurut literatur eosinofil diduga berkembang

sebagai pertahanan terhadap parasite di jaringan yang terlalu besar untuk

difagositosis, dan reaksi sel mast yang tergantung IgE untuk melokalisir

eosinophil dekat parasite dan memeprkuat fungsi antiparsit. IgE pada

infeksi cacing dapat menimbulkan efek berat pada pejamu akibat

pelepasan mediator dari sel mast.

Figure 2 Meknisme ADCC

Sel CD4 mempunyai peran yang penting dan terdiferensiasi empat

tipe sel T-helper yaitu Th1, Th2, Th17 dan Treg. Cacing ini mengeluarkan

antigen yang akan mengaktifasi respon sel Th2. Sel Th2 mengelurkan

15 |R e s p o n I m u n T e r h a d a p H e l m i n t h
sitokin berupa interleukin 4 (IL- 4), IL-5, IL-9, IL-13 yang akan

mengaktivasi berbagai sel epitel mukosa, eosinofil, basofil, produksi IgE,

sel mast dan sel goblet hyperplasia. Bahkan basofil dan sel mast teraktifasi

oleh IgE melalui crosslinked-highaffinity Fc receptors( FcRs) dari IgE

yang berada pada permukaan sel. Kemudian kedua sel ini akan

berdegranulasi dan mengeluarkan mediator inflamasi berupa sitokin antara

lain TNF-α, TGF-β, IL-1,IL-6, mediator performed berupa histamin,

heparin,meningkatkan permebialitas, perekrutan sel inflamasi, disertai

juga produksi lendir, yang akan menghancurkan antigen parasit.

Figure 3 Respon Imun Terhadap Cacing

3.2 Aktivasi Komplemen Jalur Alternativ oleh Helminths

Helminth masuk ke tubuh hospes melalui darah dan jaringan

seringkali mampu bertahan hidup dan kemudian melakukan replikasi ,

karena berhasil menyesuaikan diri dengan baik dalam mempertahankan

diri terhadap imun alami hospes.

16 |R e s p o n I m u n T e r h a d a p H e l m i n t h
C3 sebagai protein komplemen utama yang bersirkulasi di darah

dan jaringan. Ketika molekul C3 bergerak bebas didalam sirkulasi, dia


Figure 4. Aktivasi komplemen jalur alternatif

akan secara kontinu membelah menjadi 2 fragmen protein yang disebut

dengan C3b dan C3a. C3b merupakan suatu protein reaktif yang akan

mengenali atau menempel pada permukaan helminth. Ketika C3b

berikatan dengan sel helminth maka selanjutnya akan bereaksi dengan

molekul protein lainnya yang disebut dengan protein B. Protein B ketika

sudah berikatan dengan C3b, maka akan ada protein komplemen lain yang

disebut dengan protein D yang akan bereaksi dengan protein B, sehingga

akan membuat protein B terbelah menjadi protein Bb dan Ba. Protein Bb

akan berikatan dnegan C3b membentuk molekul C3bBb (sebagai enzim

konvertase atau disebut juga dengan C3). C3bBb akan mengkonvert 1

substrepe menjadi produk. Molekul yang di konvert adalah molekul C3

itu sendiri, dikonvert menjadi seperti awal yaitu C3a dan C3b

17 |R e s p o n I m u n T e r h a d a p H e l m i n t h
Molekul C3bBb akan menempel pada tubuh heminth, semakin

banyak molekul C3bBb yang menempel di helminth , akan berinteraksi

membentuk suatu dimer dengan bantuan enzim propertin, 2 molekul

C3bBb dengan bantuan propertin akan membentuk suatu C5 convertase.

C5 ketika bertemu dengan dimer C3bBb, maka dia akan bisa diubah

menjadi suatu molekul C5b dan C5a . C5b akan menempel pada

permukaan helminth membentuk suatu sistem penghancur membrane,

bergabung juga bersama dengan komplemen lain (C6, C7, C8, dan 6

buah molekul C9). Mereka akan membentuk suatu pori-pori pada

helminth yang menyebabkan sitoplasma dan organel-organel dari

helminth bocor dan mati. Proses ini disebut dengan mekanisme lisis.

Dalam hal ini helminth dapat menghindari proses lisis untuk dapat

bertahan hidup dalam jaringan hospes yaitu dengan cara menghilangkan

molekul permukaannya sendiri sehingga tidak terjadi pengikatan C3b dan

selanjutnya mencegah teraktivasinya komplemen jalur alternative. Atau

dengan cara lain yaitu permukaan helminth menyerap protein hospes yang

berperan sebagai regulator seperti DAF (decay accelerating factor). DAF

menghambat ikatan C3b dengan Bb, sehingga tidak terbentuk enzim

C3bBb (pemecah C3 menjadi C3b), dengan demikian lysis permukaan

parasite tercegah . Selain itu tegument helminth tahan terhadap mekanisme

sitosidal neutrophil dan makrofag.

18 |R e s p o n I m u n T e r h a d a p H e l m i n t h
Figure 5. Mekanisme helmith menghindari Lisis

3.3 Respon Imun Non- Spesifik

19 |R e s p o n I m u n T e r h a d a p H e l m i n t h
Proses inflamasi non spesifik ini terjadi pada masa awal infeksi

cacing, di mana sel Th2 yang akan mengeluarkan sitokin pro inflamasi

(IL-4, IL-5, IL-9 dan IL-13) dan dibantu oleh Tumor Necrosis

Factor dan beberapa sitokin lain yang dihasilkan oleh Th1 sehingga

terjadi reaksi fisiologis untuk mengekspulsi (mengeluarkan) cacing dari

lumen usus. Reaksi fisiologis tersebut dapat berupa produksi mukus oleh

sel goblet, hiperkontraksi otot polos pada usus dan peningkatan aliran

cairan usus.

3.4 Respon Imun Spesifik

Pada saat sel Th0 diperkenalkan dengan antigen cacing oleh

Antigen Presenting Cell, sel Th0 akan berproliferasi dan berdiferensiasi

menjadi sel Th1 dan Th2. Proses proliferasi dan ekspresi sitokin oleh sel

sel imunokompeten ini sangat tergantung pada kondisi infeksi (infeksi

akut atau infeksi kronik).

Pada infeksi akut, terjadi proliferasi dan diferensiasi sel Th0

menjadi Th1 dan Th2 dengan dominasi ke arah Th2. Sel Th1 yang

terbentuk akan mengekspresikan IFN-γ yang dapat menekan aktifitas sel B

untuk menghasilkan IgE. Sel Th2 akan mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-9

dan IL-13. IL-9 dan IL-13 berperan dalam Non Specific Inflammatory

Process. IL-4 dan IL-5 berperan dalam Non Specific Inflammatory

Process dan Specific T- Dependent Process. IL-4 yang dihasilkan oleh sel

Th2 berperan membantu sel B untuk memproduksi IgE. Dalam waktu

yang bersamaan IL-5 memicu terjadinya eosinofilia. Eosinofil dan IgE

pada infeksi cacing ini berperan dalam proses interaksi yang disebut

20 |R e s p o n I m u n T e r h a d a p H e l m i n t h
antibody dependent cell mediated cytotoxicity / cytolytic dimana sitolisis

baru terjadi bila dibantu oleh antibodi. Dalam hal ini antibodi berfungsi

melapisi antigen sasaran (opsonisasi) sehingga sel eosinofil dapat melekat

pada sel atau antigen sasaran. Opsonisasi ini terjadi karena fragmen Fab

dari IgE dapat mengenal epitop cacing sedangkan fragmen Fc dari IgE

akan berikatan dengan Fc reseptor pada eosinofil sehingga akan terjadi

aktivasi eosinofil. Eosinofil yang teraktivasi selanjutnya akan mengalami

degra-nulasi (pengeluran enzim protease lisosom) yang dapat

menghancurkan sel sasaran dan menimbulkan respon inflamasi untuk

merekrut sel – sel fagosit.

Pada infeksi kronis (Respon imun tipe lambat) terjadi modifikasi

respon Th2. Berbeda dengan nfeksi kronis pada infeksi kronik terdapat

keterlibatan sel T Reg yang menghasilkan IL-10 dan TGF-β. IL-10

berperan sebagai class switching antibody response dimana sel B yang

sebelumnya memproduksi IgE menjadi memproduksi IgG4. Antibody

IgG4 ini akan mneghambat degranulasi sel efektor sehingga atopi tidak

terjadi . TGF beta berperan dalam menekan respon seluler baik Th1

maupun Th 2.

21 |R e s p o n I m u n T e r h a d a p H e l m i n t h
Figure 6. Respon Imun Spesifik Pada Infeksi Cacing. (Sumber: Maizels,
2003)

3.5 Mekanisme Helminth Keluar dari Saluran Cerna

Tergantung respon Th2 dan membutuhkan tindakan terkoordinasi dari

Antibodi : IgG dan IgE

 Pelepasan Mucin oleh Sel Goblet yang distimulasi sitokin

22 |R e s p o n I m u n T e r h a d a p H e l m i n t h
 Produksi kontak usus dan diare oleh mediator sel mast

3.6 Infeksi Akibat Helminth

3.7.1 Schistomiasis

Imun awal yang didominasi Th1 beralih ke profil Th2 pada

deposisi telur (220); seperti pada manusia, telur yang bersarang di

hati memicu patologi utama fibrosis hati. IL-13 adalah mediator

utama fibrosis pada schistosomiasis, seperti pada tikus yang

kekurangan IL-13 reseptor 1 (IL-13R 1) (yang merespons IL-4 tetapi

tidak IL-13), fibrosis sangat ditekan, dan laju kelangsungan hidup

melalui fase kronis infeksi akibatnya meningkat. [ CITATION

Ram08 \l 1033 ]

3.7 Nematoda Gastrointestinal

Ascaris, Trichuris, dan spesies cacing tambang adalah cacing

gastrointestinal manusia yang paling umum.

23 |R e s p o n I m u n T e r h a d a p H e l m i n t h
Cacing usus dapat merangsang respons sistemik melalui sistem

limfatik/sirkulasi. Cacing usus memicu respons imun bawaan tipe2 apoten

di usus yang merangsang sel dendritik yang diaktifkan (DC) untuk

bermigrasi melalui saluran limfatik ke kelenjar getah bening mesenterika

yang mengalir (mLN) di mana mereka dapat mempromosikan diferensiasi

sel T helper 2 (Th2). Pada saat yang sama, produk ekskresi/sekresi cacing

(ES) juga dapat memasuki sirkulasi dan berkontribusi pada pengembangan

respon imun tipe 2 adaptif. Penyebaran produk ES dan sel yang diaktifkan

melalui sirkulasi ke organ lain dapat berkontribusi pada pengembangan

respons sistemik dan peningkatan sel Th2 di hati, limpa, dan peritoneum.

Dengan demikian, respon imun yang disebabkan oleh cacing di daerah

enterik mungkin memiliki efek anti-inflamasi sistemik yang luas. Cacing

usus yang bermigrasi dari kulit melalui pembuluh darah ke paru-paru dan

kemudian usus juga menginduksi respon lokal di situs tambahan ini yang

dapat berkontribusi pada respon imun sistemik. IL, interleukin; TGF-B,

mengubah faktor pertumbuhan beta; IGF-1, faktor pertumbuhan seperti

insulin 1

3.8 Filariasis

Parasit ini ditularkan oleh tungau hematofag dan masuk secara

transkutan, bermigrasi melalui limfatik ke rongga pleura, di mana orang

dewasa dewasa menghasilkan mikrofilaria yang bersirkulasi (123). . NSL.

sigmodontis model telah menjelaskan mekanisme kekebalan, secara

khusus menunjukkan bahwa respons campuran Th1/Th2 diperlukan untuk

24 |R e s p o n I m u n T e r h a d a p H e l m i n t h
mencapai perlindungan. Sementara tikus yang kekurangan IL-4- atau IL-5

lebih rentan terhadap infeksi ini [ CITATION Law12 \l 1033 ]

3.9

25 |R e s p o n I m u n T e r h a d a p H e l m i n t h
BAB II

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Pada infeksi kronis terjadi Modified Th2 response. Pada Modified

Th2 Response sel dendrit dan sel AAM (Alternatively Activated

Macrophage) bertindak sebagai Antigen Presenting Cell. Berbeda dengan

infeksi akut, pada infeksi kronik terdapat keterlibatan sel Treg. Sel Treg

ini menghasilkan IL-10 dan Transforming Growth Factor – β (TGF-β). IL-

10 berperan dalam class switching antibody response dimana sel B yang

sebelumnya memproduksi IgE menjadi memproduksi IgG4. Antibodi

IgG4 ini akan menghambat degranulasi sel efektor sehingga atopi tidak

terjadi. TGF-β berperan dalam menekan respon seluler baik sel Th1

maupun Th2.

26 |R e s p o n I m u n T e r h a d a p H e l m i n t h
DAFTAR PUSTAKA

Chernin jack. (2000). Life Lines Parasitology. Taylor and Francis publisher.
Hang Tuah M. J. (2008). medical jurnal volume 6 Nomor 2 Mei 2008.pdf (pp. 43–116).
Hang Tuah University Press.
Ivan, R. M. (2003). Essential Immunology. penerbit Widya Medika.
Kesno Boedina Siti. (2001). imunologi : Diagnosis dan prosedur Laboratorium. FK-UI.
Mitre Edward and Nutman.B.Thomas. (2006). Lack of Basophilia in Human Parasitic
Infections. American Journal Tropical Medicine, 69, 87–91.
Ulukanligil M, Seyrek A, Asian G, Ozbilgeh, Atay S, 2001. Environmental pollution with
Soil Transmitted Helminths in Saliurfa, Turkey. Mem Inst Oswaldo Cruz, Rio de
Jenairo 2001; 96(7): 903-909.
Dewayani RB. Albendazole pada Soil Transmitted Helminth. Bagian Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. E-USU Repository.
Universitas Sumatera Utara. 2004
Elmi. Status Gizi dan Infestasi Cacing Usus pada Anak Sekolah Dasar. Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. E-USU
Repository. Universitas Sumatera Utara. 2004.
Cooper JP. Intestinal Worm and Human Allergy. Parasite Immunology 2004; 16: 1-2.
Yazdanbakhsh M, Kremsner GP, Ree VR. IgE, Eosinophil and Mast Cell in Helminth
Infection. Ned Tijdschr Klin Chem 1996; 21 (4): 213.
Maizels RM, Yazdanbakhsh. Immune Regulation by Helminth Parasites. Cellular and
Molecular Mechanism. Nature Review 2003; 3: 733-44.
Wilson MS, Maizels RM. Regulation of Allergy and Autoimmunity in Helminth Infection.
Clin Rev. Allergy Immunol 2006; 26: 35-49.
Mulcahy G, O’Neil, Donnely S, Dalton JP. Helminth at Mucosal Barriers – Interaction
with the Immune System. Advanced Drug Delivery Reviews. 2004; 56: 853-868.
Wills M, Santeliz J, Karp CL. The germless theory of allergic disease: revisiting the
hygiene hypothesis. Nature Review Immunology 2001;1 (69): 75.

26 | P r a k t i k u m T e c h n o p r e n e u r s h i p

Anda mungkin juga menyukai