DISUSUN OLEH :
S1 FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PEKALONGAN
2021
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN............................................................................5
1.2 Tujuan..........................................................................................6
1.4 Manfaat........................................................................................6
2.3 Eosinofilia....................................................................................8
2.4 Mastosit........................................................................................9
2.7 Sitokin........................................................................................11
2.8 Ig E.............................................................................................12
2 |R e s p o n I m u n T e r h a d a p H e l m i n t h
3.1.2 Sistem Imun Seluler...............................................................14
3.7.1 Schistomiasis..........................................................................23
3.9 Filariasis.....................................................................................25
BAB IV PENUTUP...................................................................................26
4.1 Kesimpulan......................................................................................26
4.2 Saran.................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA................................................................................15
3 |R e s p o n I m u n T e r h a d a p H e l m i n t h
BAB I
PENDAHULUAN
dari pengaruh luar biologis yang dilakukan oleh sel dan organ khusus pada
suatu organisme sehingga tidak mudah terkena penyakit. Jika sistem imun
bekerja dengan benar, sistem ini akan melindungi tubuh terhadap infeksi
bakteri dan virus, serta menghancurkan sel kanker dan zat asing lain dalam
Imunologi adalah itu yang mempelajari respons imun dalam arti luas
dan mempelajari peristiwa seluler dan malekuler yang terjadi setelah tubuh
molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi disebut
hidup.
4 |R e s p o n I m u n T e r h a d a p H e l m i n t h
Kecacingan merupakan penyakit yang sampai sekarang masih menjadi
lebih dari dua milyar orang terinfeksi cacing dan 300 juta diantaranya dalam
banyak menyerang anak-anak dan sampai tahun 2010 telah dilaporkan 11.969
1.2 Tujuan
5 |R e s p o n I m u n T e r h a d a p H e l m i n t h
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
yang bekerja untuk mencegah masuk dan menyebarnya agen infeksi yang
Sistem imun dapat dibagi menjadi sistem imun alamiah atau non
Respon imun diperantarai oleh berbagai sel dan molekul larut yang disekresi
oleh sel-sel tersebut. Sel-sel utama yang terlibat dalam reaksi imun adalah
limfosit (sel B, sel T, dan sel NK), fagosit (neutrofil,eosinofil, monosit, dan
makrofag), sel asesori (basofil,sel mast, dan trombosit), sel-sel jaringan, dan
mediator radang, dan sitokin. Walaupun bukan merupakan bagian utama dari
respon imun, sel-sel lain dalam jaringan juga dapat berperan serta dengan
memberi isyarat pada limfosit atau berespons terhadap sitokin yang dilepaskan
selalu ditemukan pada individu sehat dan siap mencegah mikroba masuk
6 |R e s p o n I m u n T e r h a d a p H e l m i n t h
dan tidak adanya pengaruh secara intrinsik oleh kontak dengan agen infeksi
infeksi yang tampak. Komponen utama dari respon imun ini adalah pertahanan
fisik dan kimiawi (epitel dan substansi antimikroba yang diproduksi pada
makrofag) serta sel natural killer (NK). Jika antigen atau cacing dapat
2008)
2.3 Eosinofilia
Dalam darah perifer orang normal terdapat eosinofil 2-5% dari jumlah
leukosit, namun jumlahnya akan meningkat pada orang yang alergi, terinfeksi
parasit(cacing) dan serangan asma. Ciri morfologis dari sel ini adalah
berukuran sekitar 16 um, memiliki granula berwarna merah jingga yang berisi
pro.ein basa dan enzim perusak. Eosinofil dapat mengeluarkan aktivator reaksi
hipersensitif, merupakan sel fagosit serta efektif untuk mendorong antigen
yang membentuk IgE.(Kesno Boedina Siti, 2001)
Sel ini memiliki reseptor untuk IgE serta dapat menempel pada
partikel yang dilapisi IgE. Antibodi ini akan membentuk jembatan
penghubung antara eosinofil dan agen patogen, proses ini disebut sebagai
Antibody Dependent Cell mediated Citotoxicity (ADCC). ADCC ini bekerja
untuk membantu menghancurkan agen patogen yang berukuran besar yang
tidak dapat difagositosis. Dari beberapa penelitian pada coba yang diinfeksi
oleh cacing nematoda menunjukkan bahwa eosinofil dapat melawan parasit
dengan kondisi yang lemah atau pada cacing yang hampir mati. Namun pada
parasit cacing yang hidup dan kondisinya akan menghambat intesa eosinofil
(Chernin jack, 2000). pertumbuhan dan perbedaan eosinofil dirangsang oleh
sitokin yang diproduksi oleh sel T, yaitu IL-5 dan aktivasi dari sel T ini akan
7 |R e s p o n I m u n T e r h a d a p H e l m i n t h
menyebabkan akumulasi eosinofil pada tempat infestasi parasit dan reaksi
alergi. Eosinofil bergerak ke arah sel target karena rangsangan mediator yang
diproduksi sel T, mastosit dan basofil yang disebut sebagai faktor kemotaksis
eosinofil dari anafilaksis (ECF-A).A ktivasi eosinofil akan menghasilkan
protein dasar utama (MBP) serta bermuatan protein positif yang dapat
merusak membran sel target yang tidak dapat merusak dengan fagositosis.
Selain itu eosinofil mengeluarkan enzim yang dapat menghancurkan berbagai
mediator yang dapat dilihat oleh basofil dan mastosit. Karena hal tersebut,
eosinofil dapat merusak sel target, juga diduga bekerja untuk mengendalikan
atau mengurangi reaksi hipersensitifitas (Mitre Edward and
Nutman.B.Thomas, 2006)
2.4 Mastosit
Sel ini biasanya didapatkan jaringan dan epitel mukosa, memiliki inti
berlobus tunggal, granula basofil yang jumlahnya lebih banyak dari basofil
dan berukuran lebih kecil dari basofil. Sel ini berperan dalam imunitas
bawaan dan adaptif. Pada permukaan membran sel mast terdapat reseptor
terhadap IgE, IgG, C3a, dan C5a yang bertindak sebagai sensor terhadap
berbagai perubahan (kerusakan, perubahan suhu, konsentrasi oksigen atau
keberadaan agen patogen). Atas rangsangan perubahan tersebut menyebabkan
degranulasi sel mast. Granula yang terdapat didalam sel mast merupakan
mediator yang menyebabkan terjadinya reaksi anafilaktik.
Sel mast mukosa memerlukan mediator untuk maturasi yang
dilepáskan oleh sel T. Terdapat 4 macam sitokin yaitu IL-3, IL-4, IL-9 dan IL-
10 (yang disebut sebagai cytokine synthesis inhibitory factor atau CSIF), yang
bersifat sebagai rangsangan independen atau memberi rangsangan secara
bersama-sama pada perkembangan dan diferensiasi sel secara in vitro.
Mastositosis merupakan peningkatan jumlah dari sel mast , fenomena ini
biasanya berkaitan dengan infeksi parasit cacing dan reaksi alergi(Mitre
Edward and Nutman.B.Thomas, 2006). Peran sel mast secara pasti pada
infeksi parasit masih menjadi berguna. keberadaan sel mast ini pemeriksaan
dengan proses expulsi/pengeluaran cacing, namun dari penelitian yang
dilakukan untuk memastikan fungsi dari sel mast terhadap infeksi cacing
8 |R e s p o n I m u n T e r h a d a p H e l m i n t h
belum menunjukkan fungsi sel mast secara pasti. Pada tikus yang diinfeksi
Hymenolepis diminuta menunjukkan bahwa keberadaan sel mast ini
menyebabkan kerusakan baik pada parasit jaringan maupun pada jaringan
hospes (Ivan, 2003).
2.5 Respon Imun Spesifik
9 |R e s p o n I m u n T e r h a d a p H e l m i n t h
2.6 Respon Imun Humoral
Sel B berperan utama pada respons imun ini dan bekerja dalam
pertahanan terhadap patogen ekstraseluler. Respon dimulai dengan
differensiasi sel B menjadi sel plasma yang memproduksi dan mensekresi
antibodi spesifik ke dalam darah. Selain itu pada respon humoral membentuk
sel B memori. Antibodi akan berikatan dengan antigen kompleks antibodi-
antigen yang dapat mengaktivasi komplemen sehingga antigen dapat
membentuk. Proses diferensiasi sel B memerlukan bantuan sel Thelper
(mendapat sinyal dari APC) untuk memproduksi antibodi. Keseimbangan
produksi antibodi ini selain diatur oleh Thelper juga diatur oleh T supresor
(Kesno Boedina Siti, 2001).
2.7 Sitokin
10 |R e s p o n I m u n T e r h a d a p H e l m i n t h
Interleukin yang berkaitan dengan infeksi cacing adalah IL-4, IL-5, IL-
9, IL-10 dan IL 13.
a. Interleukin 4
IL-4 diproduksi olch sel T, mastosit dan sel BCD5+ (sumber
utama IL-4 adalah sel T CD4, khususnya TH-2), IL-4 memudahkan
terjadinya pergantian kelas menjadi IgG-1 dan IgE sementara menekan
pembentukan IgM, IgG3, IgG2a dan IgG2b. Selain itu IL-4 bekerja
sebagai imunoregulator pada respon imun yang diperantarai oleh IgE dan
sel mastosit dan eosinofil.
b. Interleukin 5
Sitokin ini diproduksi oleh selT dan mastest yang teraktivasi.
Salah satu fungsi dari sitokin ini adalah membangkitkan pertumbuhan dan
differensiasi cosinofil dan mengaktivasi eosinofil.
c. Interleukin 9
Sitokin ini memiliki 2 zat yang berbeda yaitu leukimia inhibitory
factor (LIF) dan P40. Substansi yang berkaitan dengan infeksi cacing
adalah P40, dimana sitokin ini diproduksi sel T CD4. Fungsi sitokin
secara in vitro akan mendukung pertumbuhan beberapa klon sel dan
meningkatkan respons mastosit di atas rangsangan IL-3.
d. Interletkin 10
Sitokin ini diproduksi oleh sel Th-2 da memiliki kemampuan
untuk menghambat produksi sitokin oleh sel Th-1. Fungsi sitakin ini
adalah menghambat produksi beberapa sitakin (TNF, IL-1, IL-12 dan
chemokine), menghambat fungsi makrofag, membantu aktivasi sel T dan
bekerja sama dengan sitokin lain kita mengaktifkan proliferasi selB dan
sel mastos pada mukosa (Kesno Boedina Siti, 2001)
2.8 Ig E
11 |R e s p o n I m u n T e r h a d a p H e l m i n t h
tidak disertai fungsi efektor sekunder(fungsi efektor sekunder yang terpenting
adalah memacu aktivasi komplemen dan meningkatkan histamin oleh basofil
atau mastosit dalam reaksi hipersensitivitas tipe segera Opsonisasi antigen
oleh imunoglobulin akan meningkatkan fagositosis, memudahkan APC
memproses dan menyajikan antigen kepada sel T dan meningkatkan fungsi sel
NK dalam mekanisme ADCC.(9) IgE dapat ditemukan dalam serum dengan
kadar yang sangat rendah yaitu 0,0004% dari kadar imunoglobulin total. IgE
memiliki kemampuan untuk melekat pada permukaan mastosit atau basofil
melalui reseptor Fc. IgE dikenal sebagai reaksi reaksi dari hipersensitifitas tipe
segera karena kemampuannya untuk membuka sel yang tertutupnya jika
terpapar allergen akan melepaskan mediator reaksi hipersensitifitas yang
sangat poten (Kesno Boedina Siti, 2001) (Hang Tuah M. J, 2008)
12 |R e s p o n I m u n T e r h a d a p H e l m i n t h
BAB II
PEMBAHASAN
seluler. Sel T terdiri atas beberapa subset sel dengan fungsi yang
berlainan yaitu sel CD4+ (Th1, Th2, Th17, Treg), CD8. Fungsi
dimana IL-10 menekan fungsi APC dan aktivasi makrofag atau sel
13 |R e s p o n I m u n T e r h a d a p H e l m i n t h
sitokin Th2 oleh leukosit dasrah perifer sebagai respons terhadap
yang melibatkan sel-sel sistem kekebalan dan sitokin. Antigen parasit akan
Cacing akan merangsang subset Th2 dan sel CD4+ yang melepas sitokin
IL-4 dan IL-5. IL-4 akan merangsang produksi IgE dan IL-5 akan
14 |R e s p o n I m u n T e r h a d a p H e l m i n t h
Antibodi dan sitokin yang diproduksi sebagai respon terhadap
difagositosis, dan reaksi sel mast yang tergantung IgE untuk melokalisir
tipe sel T-helper yaitu Th1, Th2, Th17 dan Treg. Cacing ini mengeluarkan
antigen yang akan mengaktifasi respon sel Th2. Sel Th2 mengelurkan
15 |R e s p o n I m u n T e r h a d a p H e l m i n t h
sitokin berupa interleukin 4 (IL- 4), IL-5, IL-9, IL-13 yang akan
sel mast dan sel goblet hyperplasia. Bahkan basofil dan sel mast teraktifasi
yang berada pada permukaan sel. Kemudian kedua sel ini akan
16 |R e s p o n I m u n T e r h a d a p H e l m i n t h
C3 sebagai protein komplemen utama yang bersirkulasi di darah
dengan C3b dan C3a. C3b merupakan suatu protein reaktif yang akan
sudah berikatan dengan C3b, maka akan ada protein komplemen lain yang
itu sendiri, dikonvert menjadi seperti awal yaitu C3a dan C3b
17 |R e s p o n I m u n T e r h a d a p H e l m i n t h
Molekul C3bBb akan menempel pada tubuh heminth, semakin
C5 ketika bertemu dengan dimer C3bBb, maka dia akan bisa diubah
menjadi suatu molekul C5b dan C5a . C5b akan menempel pada
bergabung juga bersama dengan komplemen lain (C6, C7, C8, dan 6
helminth bocor dan mati. Proses ini disebut dengan mekanisme lisis.
Dalam hal ini helminth dapat menghindari proses lisis untuk dapat
dengan cara lain yaitu permukaan helminth menyerap protein hospes yang
18 |R e s p o n I m u n T e r h a d a p H e l m i n t h
Figure 5. Mekanisme helmith menghindari Lisis
19 |R e s p o n I m u n T e r h a d a p H e l m i n t h
Proses inflamasi non spesifik ini terjadi pada masa awal infeksi
cacing, di mana sel Th2 yang akan mengeluarkan sitokin pro inflamasi
(IL-4, IL-5, IL-9 dan IL-13) dan dibantu oleh Tumor Necrosis
Factor dan beberapa sitokin lain yang dihasilkan oleh Th1 sehingga
lumen usus. Reaksi fisiologis tersebut dapat berupa produksi mukus oleh
sel goblet, hiperkontraksi otot polos pada usus dan peningkatan aliran
cairan usus.
menjadi sel Th1 dan Th2. Proses proliferasi dan ekspresi sitokin oleh sel
menjadi Th1 dan Th2 dengan dominasi ke arah Th2. Sel Th1 yang
untuk menghasilkan IgE. Sel Th2 akan mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-9
dan IL-13. IL-9 dan IL-13 berperan dalam Non Specific Inflammatory
Process dan Specific T- Dependent Process. IL-4 yang dihasilkan oleh sel
pada infeksi cacing ini berperan dalam proses interaksi yang disebut
20 |R e s p o n I m u n T e r h a d a p H e l m i n t h
antibody dependent cell mediated cytotoxicity / cytolytic dimana sitolisis
baru terjadi bila dibantu oleh antibodi. Dalam hal ini antibodi berfungsi
pada sel atau antigen sasaran. Opsonisasi ini terjadi karena fragmen Fab
dari IgE dapat mengenal epitop cacing sedangkan fragmen Fc dari IgE
respon Th2. Berbeda dengan nfeksi kronis pada infeksi kronik terdapat
IgG4 ini akan mneghambat degranulasi sel efektor sehingga atopi tidak
terjadi . TGF beta berperan dalam menekan respon seluler baik Th1
maupun Th 2.
21 |R e s p o n I m u n T e r h a d a p H e l m i n t h
Figure 6. Respon Imun Spesifik Pada Infeksi Cacing. (Sumber: Maizels,
2003)
22 |R e s p o n I m u n T e r h a d a p H e l m i n t h
Produksi kontak usus dan diare oleh mediator sel mast
3.7.1 Schistomiasis
Ram08 \l 1033 ]
23 |R e s p o n I m u n T e r h a d a p H e l m i n t h
Cacing usus dapat merangsang respons sistemik melalui sistem
sel T helper 2 (Th2). Pada saat yang sama, produk ekskresi/sekresi cacing
respon imun tipe 2 adaptif. Penyebaran produk ES dan sel yang diaktifkan
respons sistemik dan peningkatan sel Th2 di hati, limpa, dan peritoneum.
usus yang bermigrasi dari kulit melalui pembuluh darah ke paru-paru dan
kemudian usus juga menginduksi respon lokal di situs tambahan ini yang
insulin 1
3.8 Filariasis
24 |R e s p o n I m u n T e r h a d a p H e l m i n t h
mencapai perlindungan. Sementara tikus yang kekurangan IL-4- atau IL-5
3.9
25 |R e s p o n I m u n T e r h a d a p H e l m i n t h
BAB II
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
infeksi akut, pada infeksi kronik terdapat keterlibatan sel Treg. Sel Treg
IgG4 ini akan menghambat degranulasi sel efektor sehingga atopi tidak
terjadi. TGF-β berperan dalam menekan respon seluler baik sel Th1
maupun Th2.
26 |R e s p o n I m u n T e r h a d a p H e l m i n t h
DAFTAR PUSTAKA
Chernin jack. (2000). Life Lines Parasitology. Taylor and Francis publisher.
Hang Tuah M. J. (2008). medical jurnal volume 6 Nomor 2 Mei 2008.pdf (pp. 43–116).
Hang Tuah University Press.
Ivan, R. M. (2003). Essential Immunology. penerbit Widya Medika.
Kesno Boedina Siti. (2001). imunologi : Diagnosis dan prosedur Laboratorium. FK-UI.
Mitre Edward and Nutman.B.Thomas. (2006). Lack of Basophilia in Human Parasitic
Infections. American Journal Tropical Medicine, 69, 87–91.
Ulukanligil M, Seyrek A, Asian G, Ozbilgeh, Atay S, 2001. Environmental pollution with
Soil Transmitted Helminths in Saliurfa, Turkey. Mem Inst Oswaldo Cruz, Rio de
Jenairo 2001; 96(7): 903-909.
Dewayani RB. Albendazole pada Soil Transmitted Helminth. Bagian Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. E-USU Repository.
Universitas Sumatera Utara. 2004
Elmi. Status Gizi dan Infestasi Cacing Usus pada Anak Sekolah Dasar. Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. E-USU
Repository. Universitas Sumatera Utara. 2004.
Cooper JP. Intestinal Worm and Human Allergy. Parasite Immunology 2004; 16: 1-2.
Yazdanbakhsh M, Kremsner GP, Ree VR. IgE, Eosinophil and Mast Cell in Helminth
Infection. Ned Tijdschr Klin Chem 1996; 21 (4): 213.
Maizels RM, Yazdanbakhsh. Immune Regulation by Helminth Parasites. Cellular and
Molecular Mechanism. Nature Review 2003; 3: 733-44.
Wilson MS, Maizels RM. Regulation of Allergy and Autoimmunity in Helminth Infection.
Clin Rev. Allergy Immunol 2006; 26: 35-49.
Mulcahy G, O’Neil, Donnely S, Dalton JP. Helminth at Mucosal Barriers – Interaction
with the Immune System. Advanced Drug Delivery Reviews. 2004; 56: 853-868.
Wills M, Santeliz J, Karp CL. The germless theory of allergic disease: revisiting the
hygiene hypothesis. Nature Review Immunology 2001;1 (69): 75.
26 | P r a k t i k u m T e c h n o p r e n e u r s h i p