Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN RESMI

PRAKTIKUM FARMAKOKINETIK
PENGARUH RUTE PEMBERIAN TERHADAP FARMAKOKINETIKA
SULFAMETOKSAZOL MENGGUNKAN DATA DARAH KELINCI

DisusunOleh :

Nama : Fajri Nurhidayat


NPM : 1618000871
Kel/SMT : C/IV

PRODI S1 FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PEKALONGAN
2020
I.1. PENGARUH RUTE PEMBERIAN TERHADAP FARMAKOKINETIKA

SULFAMETOKSAZOL MENGGUNKAN DATA DARAH KELINCI

I.2. TUJUAN

1. Mahasiswa dapat memperlajari biovailabilitas dari sediaan suspense per oral

dibandingkan dengan larutan injeksi intramuskular dan intravena menggunakan data

kadar dalam darah kelinci.

2. Mahasiswa dapar menganalisa biovaibilitas obat dengan berbagai rute pemberian

yang berbeda.

I.3. PRINSIP PRAKTIKUM

Perbedaan profil biovailibilitas suatu obat dalam tubeh ditentukan diantaranya

oleh rute pemberian. Perbedaan rute pemberian akan menyebabkan perbedaan kecepatan

pencapaikan obat dalam sirkulasi sistemik. Oleh sebab itu pola kadar obat dalam darah

setiap waktu tertentu dari rute pemberian yang berbeda akan berbeda juga shinga

biovaibilitas akan berbeda. Dalam percobaan ini dianalisis perbedaan profil biovaibilitas

suatu obat yang diberikan melalui rute peroral, intramuskular, dan intravena
I.4. DASAR TEORI

Rute pemberian obat dibagi 2, yaitu enternal dan parenteral. Jalur Enternal Jalur

enteral berarti pemberian obat melalui saluran gastrointestinal (GI), seperti pemberian

obat melalui sublingual, bukal, rektal, dan oral. Pemberian melalui oral merupakanjalur

pemberianobat paling banyak digunakankarena paling murah, paling mudah, dan paling

aman. Kerugian dari pemberian melalui jalur enternal adalah absorpsinya lambat, tidak

dapat diberikan pada pasien yang tidak sadar atau tidakdapat menelan. Kebanyakan obat

diberikan melalui jalur ini, selain alasan di atas jugaalasan kepraktisan dan tidak

menimbulkan rasa sakit. Bahkan dianjurkan jika obatdapat diberikan melalui jalur ini dan

untuk kepentingan emergensi (obat segera berefek), obat harus diberikan secara enteral.

(Priyanto, 2008)

Parenteral berarti tidak melalui enteral. Termasuk jalur parenteral

adalahtransdermal (topikal), injeksi, endotrakeal (pemberian obat ke dalam

trakeamenggunakan endotrakeal tube), dan inhalasi. Pemberian obat melalui jalur ini

dapatmenimbulkan efek sistemik atau lokal.

Bioavailabilitas adalah jumlah dan kecepatan obat yang diabsorpsi melalui jalur

pemberian tertentu masuk ke sirkulasi sistemik (Batubara, 2008). Untuk suatu dosis

intravena dari obat, bioavailabilitas adalah sama dengan satu (Holford, 1998), atau

dianggap 100% masuk ke dalam tubuh (Batubara, 2008). Untuk obat yang diberikan

peroral, bioavailabilitas dapat berkurang 100% karena absorpsi yang tidak lengkap dan

eliminasi first-pass (Holford, 1998).

Menurut (Mutschler, 1999), konsep bioavailabilitas pertama kali diperkenalkan

oleh Osser pada tahun 1945, yaitu pada waktu Osser mempelajari absorpsi relatif sediaan

vitamin. Istilah yang dipakai pertama kali adalah availabilitas fisiologik, yang kemudian

diperluas pengertiannya dengan istilah bioavailabilitas. Dimulai di negara Amerika

Serikat, barulah pada tahun 1960 istilah bioavailabilitas masuk ke dalam arena promosi
obat. Hal ini disebabkan oleh semakin banyaknya produk obat yang sama yang

diproduksi oleh berbagai industri obat, adanya keluhan dari pasien dan dokter di man

obat yang sama memberikan efek terapeutik yang berbeda, kemudian dengan adanya

ketentuan tidak diperbolehkannya Apotek mengganti obat yang tertulis dalam resep

dengan obat merek lainnya. Sebagai cabang ilmu yang relatif baru, ditemukan berbagai

definisi tentang bioavailabilitas dalam berbagai literatur. Bagian yang esensial dalam

konsep bioavailabilitas adalah absorpsi obat ke dalam sirkulasi sistemik. Ada 2 unsur

penting dalam absorpsi obat yang perlu dipertimbangkan, yaitu :

a. kecepatan absorpsi obat

b. jumlah obat yang diabsorpsi

Ke dua faktor ini sangat kritis dalam memperoleh efek terapeutik yang diinginkan

dengan toksisitas yang minimal. Atas dasar kedua faktor ini dapat diperkirakan

bagaimana seharusnya definisi tentang bioavailabilitas. Dua definisi berikut ini

merupakan definisi yang relative lebih sesuai dengan kedua faktor di atas adalah:

Definisi 1: Bioavailabilitas suatu sediaan obat merupakan ukuran kecepatan absorpsi obat

dan jumlah obat tersebut yang diabsorpsi secara utuh oleh tubuh, dan masuk ke dalam

sirkulasi sistemik.

Definisi 2 : Bioavailabilitas suatu sediaan obat merupakan ukuran kecepatan absorpsi

obat dan jumlah obat tersebut yang diabsorpsi.

Menurut (Shargel, 2005), parameter yang harus diperhatikan ketika menggunakan data

darah adalah sebagai berikut:

a. T maks

Waktu kadar plasma mencapai puncak dapat disamakan dengan waktu yang

diperlukan obat untuk mencapat kadar maksimum. Pada T maks absorbsi adalah

terbesar dan laju absorbsi sama dengan laju eliminasi obat.

b. Cp maks
Kadar plasma puncak menunjukan kadar obat maksimum dalam darah setelah

pemberian obat secara oral. Cp maks memberi suatu petunjuk bahwa obat cukup

diabsoorbsi secara sistemik untuk memberikan respon terapetik.

c. AUC

AUC adalah kadar obat dalam plasma terhadap waktu, yaitu suatu ukuran dari

jumlah bioavailabilitas suatu obat.

Untuk mendapatkan data yang benar dari parameter tersebut, maka data darah yang

dipakai harus memenuhi persyaratan yang ditentukan yaitu:

Pengambilan darah harus kontinyu selama paling sedikit tiga atau lebih baik lima kali

dari waktu paruh biologiknya

Waktu pengambilan sampel harus menggambarkan tiga titik fase absorbsi, fase puncak

dan fase distribusi (untuk kompartemen dua), serta fase eliminasi.

I.5. ALAT DAN BAHAN

N ALAT BAHAN
O
1 Spektrofotometer Sulfametoksazol
2 Sentrifuge Asam Trikhloro Asetat 15%
3 Disposable Syringe 1 cc Natrium Nitrit 0,1%
4 Kandang Kelinci/Wadah Kelinci Ammonium Sulfanat 0,5%
5 Vortex N (natril) etilen diamina
dihidrokhlorida 0,1%
6 Alat Pencukur
7 Alat Gelas
8 Sonde

I.6. CARA KERJA

I.6.1 Pembuatan larutan baku kerja sulfametoksazol

I.1.1 Buat larutan baku induk 1000 mcg/ml dari 100 mg

sulfametoksazol dilarutkan dalam NaOH 0,1 N dan H2SO4 4 N (1:5)-->

kemudian tambahkan aquadest sampai 100 ml


Buat larutan baku kerja sulfametoksazol dengan cara mengencerkan

larutan baku induk dengan aquadest sampai didapat larutan dengan kadar

10,20,30,50 dan 100 mcg/ml

I.6.2 Penentuan panjang gelombang maksimum

I.1.3 Panjang gelombang maksimum ditentukan dengan menggunakan

larutan baku kerja 10 dan 100 mcg/ml.

Reaksikan larutan baku kerja 10 dan 100 mcg/ml sesuai prosedur

penetapan kadar sulfametoksazol dan amati nilai serapan pada panjang

gelombang antara 520 – 560 nm

I.6.3 Pembuatan kurva baku

Lakukan pengamatan absorban dari larutan baku kerja pada poin 1 yang

telah direaksikan seperti pada metode penetapan kadar sulfametoksazol

dalam darah dengan metode Azotasi dari Bratton Marshal

Lakukan pengukuran absorban pada panjang gelombang maksimum yang

telah diperoleh pada poin 2

I.6.4 Penetapan kembali kadar sulfametoksazol yang ditambahkan dalam daerah

(recovery)

I.1.5 Digunakan larutan baku kerja dengan kadar 10; 20; 30; 50; dan 100

µg/mL
Caranya: 0,5 mL larutan baku kerja dan 0,5 mL darah ditambah 7,0 mL

aquadest, divortex hingga homogen lalu didiamkan selama 15 menit --> +

2 mL TCA 15% --> divortex dan disentrifuge 2500 rpm selama 10 menit

Ambil supernatannya sebanyak 5 mL --> + 0,5 mL NaNO2 0,1% divortex

dan didiamkan selama 3 menit --> + 0,5 mL amonium sulfamat 0,5% dan

divortex selama 2 menit --> 2,5 mL N (naftil) etilen diamina

dihidroklorida 0,1% divortex dan didiamkan selama 10 menit. Diukur

absorbannya pada λmaks


I.6.5 Metode penetapan kadar sulfametaksazol dalam darah dengan metode

azotazi daro Bratton Marshal

I.1.7 0,5 mL sampel darah ditambah 7,5 mL aquadest --> divortex ad

homogen dan didiamkan selama 15 menit

hasil no (1) + 2L TCA 15% --> divortex dan sentrifuge 3000 rpm selama

10 menit; jika supernatan belum jernih, pindahkan supernatan ke tabung

baru kemudian sentrifuga lagi 3000 rpm, 10 menit

ambil 5 mL supernatan --> + 0,5 mL NaNO2 0,1% --> vortex dan diamkan

selama 3 menit

+ 5 mL amonium sulfamat 0,5% --> vortex selama 2 menit --> + 2,5 mL N

(naftil) etilen diamin dihidroklorida 0,1% --> vortex dan diamkan selama

10 menit.
amati absorbannya pada λ maks yang telah dtentukan sebelumnya

I.6.6 Prosedur pada hewan uji

1. Pemberian per oral

Timbang berat kelinci. Hitung dosis dan volume suspensi yang akan

diberikan per oral Dosis 50 mg/kg BB (5 mL suspensi = 200 mg

sulfametoksazol)

Berikan obat secara per oral sesuai dengan cara pemberian obat per

oral pada hewan coba

2. Pemberian intramuskular
Timbang berat kelinci .Hitung dosis dan volume larutan yang akan

diinjeksikan secara intramuskular Dosis 50 mg/kg BB (1 mL larutan =

250 mg sulfametoksazol)

Injeksikan ke dalam paha bagian atas, apabila volume larutan yang

diberikan melebihi volume maksimum pemberian intramuskular maka

sisa obat diinjeksikan di lokasi lain secara intramuskular juga

3. Pemberian Intravena

Timbang berat kelinci. Hitung dosis dan volume larutan yang akan

diinjeksikan secara intravena Dosis 20 mg/kg BB ( 1 mL larutan = 80

mg sulfametoksazol)
Injeksikan melalui telinga kelinci

Anda mungkin juga menyukai