Akhir tahun 2019 tepatnya pada bulan desember, dunia dihebohkan dengan sebuah kejadian yang membuat banyak masyarakat resah yaitu dikenal dengan virus corona (covid- 19). Kejadian tersebut bermula di Tiongkok, Wuhan. Pada awalnya virus ini diduga akibat paparan pasar grosir makanan laut huanan yang banyak menjual banyak spesies hewan hidup. Penyakit ini dengan cepat menyebar di dalam negeri ke bagian lain China. Tanggal 18 Desember hingga 29 Desember 2019, terdapat lima pasien yang dirawat dengan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). Sejak 31 Desember 2019 hingga 3 Januari 2020 kasus ini meningkat pesat, ditandai dengan dilaporkannya sebanyak 44 kasus (Putri, 2020). Virus corona atau covid-19 adalah keluarga besar virus yang dapat menginfeksi burung dan mamalia, termasuk manusia. Menurut World Health Organization (WHO), virus ini mengakibatkan penyakit mulai dari flu ringan hingga infeksi pernapasan yang lebih parah seperti MERS-CoV dan SARS-CoV.(Ayu Kurniawati et al., 2020) Para peneliti di Institute of Virology di Wuhan telah melakukan analisis metagenomics untuk mengidentifikasi virus corona baru sebagai etiologi potensial. Mereka menyebutnya novel coronavirus 2019 (nCoV-2019).Selanjutnya, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) menyebut virus corona sebagai 2019 novel coronavirus (2019-nCoV) dan sekarang penyakitnya populer dengan istilah coronavirus disease-19 (COVID-19) (Beniac et al., 2006) Virus corona termasuk superdomain biota, kingdom virus. Virus corona adalah kelompok virus terbesar dalam ordo Nidovirales. Semua virus dalam ordo Nidovirales adalah non- segmented positive-sense RNA viruses. Virus corona termasuk dalam familia Coronaviridae, sub familia Coronavirinae, genus Betacoronavirus, subgenus Sarbecovirus. Pengelompokan virus pada awalnya dipilah ke dalam kelompok- kelompok berdasarkan serologi tetapi sekarang berdasar pengelompokan filogenetik. Lebih jauh dijelaskan bahwa subgenus Sarbecovirus meliputi Bat-SL-CoV, SARS-CoV dan 2019-nCoV. Bat- SL-CoV awalnya ditemukan di Zhejiang, Yunan, Guizhou, Guangxi, Shaanxi dan Hubei, China. Pengelompokan yang lain memperlihatkan bahwa virus corona grup beta meliputi Bat coronavirus (BcoV), Porcine hemagglutinating encephalomyelitis virus (HEV), Murine hepatitis virus (MHV), Human coronavirus 4408 (HCoV-4408), Human coronavirus OC43 (HCoV-OC43), Human coronavirus HKU1 (HCoV-HKU1), Severe acute respiratory syndrome coronavirus (SARS- CoV) dan Middle Eastern respiratory syndrome coronavirus (MERS-CoV) (Beniac et al., 2006). Virus corona berbentuk bulat dengan diameter sekitar 125 nm seperti yang digambarkan dalam penelitian menggunakan cryo-electron microscopy. Partikel virus corona mengandung empat protein struktural utama, yaitu protein S (spike protein) yang berbentuk seperti paku, protein M (membrane protein), protein E (envelope protein), dan protein N (nucleocapside protein). Protein S (~150 kDa),(7) protein M (~25– 30 kDa), protein E (~8–12 kDa), sedangkan protein N terdapat di dalam nukleokapsid.(Beniac et al., 2006) Analisis filogenetik mengungkapkan bahwa virus corona termasuk dalam subgenus Sarbecovirus dari genus Betacoronavirus, dengan panjang cabang yang relatif panjang untuk kerabat terdekat bat-SL-CoVZC45 dan bat-SL-CoVZXC21, dan secara genetik berbeda dari SARS-CoV. Khususnya, pemodelan homologi mengungkapkan bahwa virus corona memiliki struktur receptor- binding domain yang sama dengan SARS-CoV, meskipun terdapat variasi asam amino pada beberapa residu utama. Meskipun virus corona lebih dekat ke bat-SL- CoVZC45 dan bat-SL- CoVZXC21 di tingkat genom keseluruhan, tetapi melalui analisis filogenetik dari receptor-binding domain ditemukan bahwa virus corona lebih dekat dengan garis keturunan SARS-CoV. Dewasa ini WHO memberi nama severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) yang menjadi penyebab penyakit COVID-19.(Beniac et al., 2006) Indonesia adalah negara berkembang dan terpadat keempat di dunia, dengan demikian diperkirakan akan sangat menderita dan dalam periode waktu yang lebih lama. Ketika coronavirus novel SARS-CoV2 melanda Cina paling parah selama bulan-bulan Desember 2019 – Februari 2020. Pada 27 Januari 2020, Indonesia mengeluarkan pembatasan perjalanan dari provinsi Hubei, yang pada saat itu merupakan pusat dari COVID- 19 global, sementara pada saat yang sama mengevakuasi 238 orang Indonesia dari Wuhan. Presiden Joko Widodo melaporkan pertama kali menemukan dua kasus infeksi COVID-19 di Indonesia pada 2 Maret 2020. Pasien yang terkonfirmasi covid-19 di Indonesia berawal dari suatu acara di Jakarta dimana penderita kontak dengan seseorang warga Negara asing (WNA) asal Jepang yang tinggal di Malaysia. Setelah pertemuan tersebut penderita mengeluh demam, batuk dan sesak nafas. (Putri, 2020) WHO mengumumkan COVID-19 pada 12 Maret 2020 sebagai pandemic. Jumlah kasus di Indonesia terus meningkat dengan pesat, hingga Juni 2020 sebanyak 31.186 kasus terkonfirmasi dan 1851 kasus meninggal. Kasus tertinggi terjadi di Provinsi DKI Jakarta yakni sebanyak 7.623 kasus terkonfirmasi dan 523 (6,9%) kasus kematian. WHO mengeluarkan enam strategi prioritas yang harus dilakukan pemerintah dalam menghadapi pandemic covid-19 pada tangal 26 Maret, yang terdiri dari Perluas, latih, dan letakkan pekerja layanan kesehatan; Menerapkan sistem untuk dugaan kasus; Tingkatkan produksi tes dan tingkatkan layanan kesehatan; Identifikasi fasilitas yang dapat diubah menjadi pusat kesehatan coronavirus; Mengembangkan rencana untuk mengkarantina kasus; dan Refokus langkah pemerintah untuk menekan virus. (Putri, 2020) Indonesia saat ini terkena dampak pandemi virus baru, bahkan bukan hanya di Indonesia tetapi secara global di berbagai Negara telah terkena dampak yang sangat hebat dari virus ini. World Health Organization memberi nama virus ini Severe Acute Resporatory Syndrome coronavirus-2 (SARS-CoV-2) dengan nama penyakitnya yakni Coronavirus disease 2019 (Covid-19). Pandemi covid-19 ini akan berdampak secara sosial dan ekonomi. Dalam hal ini Indonesia harus bersiap siaga dalam menghadapinya terutama dalam hal sistem kesehatan yang ada.(Putri, 2020) Beberapa himbauan yang digunakan pemerintah untuk mengurangi penyebaran COVID- 19 yang secara langsung mengubah perilaku sosial, seperti, stay at home, social distancing, physical distancing, cuci tangan, menggunkan masker, dan sebagainya. Pembatasan pergerakan sosial mempengaruhi masyarakat dalam berperilaku. Misalkan, pemerintah menekankan bekerja di rumah bagi ASN, Guru dan Siswa. Semua cara itu dilakukan guna mengurangi penyebaran COVID-19. Apakah itu efektif? Menurut Kurniawan (2020) social distancing belum maksimal diterapkan di Indonesia. Berdasarkan pengamatan selama 7 hari (25 – 31 Maret 2020), maka disimulasikan bahwa Social Distancing di Indonesia dapat menghambat ±596 atau ±28% kasus COVID-19 yang baru. Tetapi berdasarkan pengamatan terakhir tanggal 09 April 2020 bahwa grafik kasus per hari semakin meningkat. Beberapa ahli memprediksi, data yang terkena COVID-19 di Indonesia akan terus meningkat dan mengalami puncak pada akhir April atau Mei (https://www.bbc.com/indonesia/). Bahka n ketika lockdown diterapkan, butuh 2 bulan lebih untuk melewati masa krisis seperti di Wuhan China.(Agung, 2020)
B. Tinjauan Umum Tentang KIPI
Health Organization World (WHO) mendefinisikan KIPI sebagai kejadian medis yang tidak diinginkan setelah imunisasi dan yang tidak selalu memiliki hubungan sebab akibat dengan penggunaan vaksin. Efek samping dapat berupa tanda yang tidak menyenangkan atau tidak diinginkan, temuan laboratorium, gejala atau penyakit yang abnormal (Hafizzanovian et al., 2021) Meskipun vaksin semua yang digunakan dalam program imunisasi nasional aman dan efektif jika digunakan dengan benar, namun dalam praktiknya, tidak ada vaksin yang benar-benar bebas risiko dan kadang- kadang efek samping dapat terjadi setelah imunisasi.12 Lima subkategori definisi spesifik penyebab KIPI telah didefinisikan oleh WHO, yaitu reaksi terkait produk vaksin, reaksi terkait defek pada kualitas vaksin, reaksi terkait kesalahan pada imunisasi, reaksi terkait ansietas pada imunisasi, dan kejadian coincidental:(Hafizzanovian et al., 2021) 1. Vaccine product-related reaction: KIPI yang disebabkan atau dipicu oleh vaksin karena satu atau lebih sifat yang melekat pada produk vaksin. Sebagai contoh; pembengkakan ekstremitas ekstensif setelah vaksinasi DTP. Kategori ini dapat dibedakan menjadi ringan, berat, dan serius. 2. Vaccine quality defect-related reaction: KIPI yang disebabkan atau dipicu oleh vaksin yang disebabkan oleh satu atau lebih cacat kualitas produk vaksin, termasuk perangkat administrasinya, seperti yang disediakan oleh produsen. 3. Immunization error-related reaction: KIPI yang disebabkan oleh penanganan, peresepan atau pemberian vaksin yang tidak tepat dan dengan demikian, menurut sifatnya, dapat dicegah. 4. anxiety-related reaction: KIPI yang timbul karena kecemasan terhadap imunisasi. Individu bereaksi sebagai antisipasi yang dihasilkan dari injeksi apa pun. Reaksi ini tidak terkait dengan vaksin, tetapi takut terhadap injeksi. 5. Coincidental event: KIPI yang disebabkan oleh hal lain selain produk vaksin, kesalahan imunisasi atau kecemasan imunisasi.
C. Tinjauan Umum Tentang Kandungan Vaksin Covid-19