Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi) adalah setiap kejadian
medis yang tidak diinginkan, terjadi setelah pemberian imunisasi, dan
belum tentu memiliki hubungan kausalitas dengan vaksin. Gejala KIPI
bisa berupa gejala ringan yang dirasakan tidak nyaman atau berupa
kelainan hasil pemeriksaan laboratorium. (WHO, 2021)

Corona Virus Disease di tahun 2019 (COVID-19) telah menjadi


pandemic global semenjak diumumkan oleh WHO ppada tanggal 11
Maret 2020. Awal kemunculan Virus Corona atau biasa disebut
COVID-19 ini ditemukan di Wuhan China pada akhir tahun 2019, yang
secara resmi di laporkan oleh China kepada Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) pada 31 Desember 2019. Yang kemudian berkembang
pesat dan tidak terkontrol di berbagai Negara termasuk Indonesia.
Tercatat sudah lebih 213 negara yang terkonfirmasi terinfeksi virus
corona dengan jumlah kasus di dunia yang terinfeksi hingga 15
agustus 2021 tercatat ada 207.446.107 kasus. Dari angka tersebut
4.365.962 orang dengan status meninggal dunia, sementara yang
sembuh mencapai 185.974.336 jiwa.(kompas.com)

Wilayah kota Wuhan dari China melaporkan kemunculan virus


corona baru sejak Desember 2019 yang kemudian dinamai Sindrom
Pernafasan Akut Parah Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). SARS-CoV-2
merupakan virus yang menghasilkan sekelompok pneumonia atipikal,
menyebar dengan cepat ke seluruh dunia dan dikenal di seluruh dunia
sebagai penyakit Coronavirus 2019 (COVID-19) (Kim et al. 2020).
WHO (2020) mengatakan pada 30 Januari 2020 pandemi COVID-
19 menjadi perhatian internasional (PHEIC), darurat COVID-19
dinyatakan sebagai darurat kesehatan masyarakat keenam oleh
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Pada 11 Maret 2020, WHO
menyatakan COVID-19 secara resmi menjadi pandemi. Gejala yang
terkait dengan COVID-19 termasuk batuk, demam, diare, sesak napas,
myalgia, sakit tenggorokan, sakit kepala, dan kelelahan. Komplikasi
penyakit ini termasuk pneumonia, sindrom gangguan pernapasan
berat akut, gagal ginjal, atau bahkan kematian pada kasus tertentu
(V’kovski et al. 2021).

Kasus Covid-19 yang tak lain merupakan pandemi global jelas


telah menyebabkan kekhawatiran di berbagai kalangan, terkhusus di
kalangan masyarakat. Kekhawatiran masyarakat semakin sangat
terasa dengan melihat lonjakan kasus yang cukup cepat dan melihat
kurangnya kesiapan beberapa elemen yang cukup vital guna
“memerangi” virus corona. Melihat kasus persebaran virus corona
yang semakin meningkat, mengharuskan pemerintan untuk segera
mengambil langkah strategis, dengan menetapkan kebijakan-kebijakan
antisipatif untuk mengatasi dampak dari Covid-19. (Aprista Ristyawati,
2020)

Tanda dan gejala umum infeksi Covid -19 antara lain gejala
gangguan pernapasan akut seperti demam, batuk dan sesak napas.
Masa inkubasi rata-rata 5-6 hari dengan masa inkubasi terpanjang 14
hari. Pada kasus Covid -19 yang berat dapat menyebabkan
pneumonia, sindrom pernapasan akut, gagal ginjal, dan bahkan
kematian. Tanda-tanda dan gejala klinis yang dilaporkan pada
sebagian besar kasus adalah demam, dengan beberapa kasus
mengalami kesulitan bernapas, dan hasil rontgen menunjukkan infiltrat
pneumonia luas di kedua paru (Kemenkes RI, 2020).
Seiring dengan peningkatan kasus yang terus menerus, serta
kemungkinan bahwa virus COVID-19 tidak bisa 100% dihilangkan,
mulai muncul wacana untuk hidup berdampingan dengan virus COVID-
19. Karena itu untuk mengurangi angkat morbiditas dan mortalitas
penduduk, beberapa autoritas kesehatan kemudian berlomba-lomba
untuk menciptakan vaksinasi. Terbilang pada tahun 2020 telah muncul
berbagai vaksin yang telah lolos uji klinis fase 2 dan mendapat
Emergency Authority dalam penggunaannya sehingga siap untul
disebarluaskan dan digunakan (World Health Organization, 2021).

Vaksin merupakan antigen berupa mikroorganisme yang tak hidup,


masih hidup tapi dilemahkan, bagian tubuh mikroorganisme yang
bagiannya telah di olah, berupa toksin mikroorganisme yang telah
diolah menjadi toksoid, protein rekombinan yang apabila diberikan
kepada seseorang akan menimbulkan kekebalan yang spesifik secara
aktif terhadap penyakit infeksi tertentu.

Pada bulan Januari 2021, dilakukan vaksinasi pertama COVID-19


di Indonesia dengan menggunakan vaksin SinoVac selama dua kali
dosis pemberian. Vaksinasi tersebut diawali oleh presiden dan
diprioritaskan kepada tenaga Kesehatan (Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2021). Pada rencana ke depan, Indonesia
mentargetkan dapat melakukan vaksinasi kepada minimal 70%
penduduk untuk membentuk kekebalan kelompok. Meskipun demikian,
terdapat beberapa tantangan dalam penerapan program tersebut
seperti gerakan antivaksin, disinformasi atau hoax, ketakutan akan
kemananan dan kejadian ikutan pasca imunisasi, dan ketakutan akan
jarum suntik. (Rani Tiyas Budiyanti et al, 2021)
Sebagai upaya meningkatkan cakupan vaksinasi, dibutuhkan
kerjasama dari berbagai sektor. Pemerintah berperan dalam
menyusun kebijakan dan menyediakan sumber daya yang diperlukan,
namun juga diperlukan peran serta stakeholder lain dan masyarakat
agar pemberian vaksinasi dapat berjalan lancar dan mempercepat
tercapainya target cakupan imunisasi (Dewi, 2021). Untuk menerapkan
kebijakan terkait vaksinasi COVID-19, seharusnya dilakukan upaya
sosialisasi yang persuasif kepada masyarakat. Hal ini dapat dilakukan
misalnya melalui tokoh masyarakat atau yang lain untuk membantu
pemerintah mengajak masyarakat agar bersedia berpartisipasi dalam
vaksinasi COVID-19 (Gandryani and Hadi, 2021).

Informasi yang simpang siur terutama terkait keamanan vaksin dan


kejadian ikutan pasca imunisasi memerlukan manajemen dan
penanganan yang serius demi menyukseskan program vaksinasi yang
dilakukan. Informasi mengenai vaksinasi COVID-19 termasuk
mengenai Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) yang tidak tepat
merupakan salah satu penyebab masyarakat ragu-ragu untuk
mendapatkan vaksin (Sukmana et al., 2021).

Terkait kejadian KIPI pasca vaksinasi Covid-19, tidak semua orang


yang di vaksinasi Covid-19 akan mengalami reaksi atau kejadian
ikutan pasca imunisasi (KIPI), namun jika muncul kejadian KIPI atau
reaksi itu adalah hal yang wajar. KIPI atau reaksi yang muncul setelah
vaksinasi jauh lebih ringan dibandingkan terkena virus corona.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah
dalam penelitian ini adalah apakah ada faktor yang berhubungan
dengan kejadian KIPI pasca Vaksinasi COVID-19 di wilayah Antang.

C. TUJUAN PENELITIAN
1. Tujuan Umum
a. Untuk mengetahui efek samping dari Vaksin COVID-19
b. Untuk mengetahui penyebab KIPI pasca Vaksin COVID-19

2. Tujuan Khusus
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor
yang berhubungan dengan kejadian KIPI pasca vaksinasi
Covid-19 pada masyarakat Antang.

D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat Bagi Peneliti
Untuk menambah pengetahuan dan pengalaman belajar yang
sangat berharga bagi peneliti tentang manfaat penelitian dalam
menyusun dam melaksanakan penelitian serta dapat
mengaplikasikan ilmu yang diperoleh pada bangku perkuliahan,
khususnya ilmu Epidemiologi.
2. Manfaat Teoritis
a. Memperkaya referensi dan literature kepustakaan mengenai
Vaksin dan KIPI
b. Memberikan sudut pandang yang berbeda mengenai vaksin
c. Memberikan masukan bagi semua pihak yang memerlukan
pada penelitian terkait.
3. Manfaat Praktis
a. Bagi F
b. Untuk memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti.
c. Untuk menerapkan secara dinamis ilmu yang sudah di
peroleh.
d. Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan yang di
perlukan kepada peneliti selanjutnya yang memiliki
penelitian sejenis dikesempatan lain.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Covid-19


1. Pengertian Covid-19
Coronavirus merupakan keluarga besar virus yang
menyebabkan penyakit pada manusia dan hewan. Pada manusia
biasanya menyebabkan penyakit infeksi saluran pernapasan, mulai
flu biasa hingga penyakit yang serius seperti Middle East
Respiratory Syndrome (MERS) dan Sindrom Pernafasan Akut
Berat/ Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). Coronavirus
jenis baru yang ditemukan pada manusia sejak kejadian luar biasa
muncul di Wuhan Cina, pada Desember 2019, kemudian diberi
nama Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-
COV2), dan menyebabkan penyakit Coronavirus Disease-2019
(COVID-19) (kemenkes, 2022).
Namun, beberapa jenis virus corona juga bisa menimbulkan
penyakit yang lebih serius, seperti:
 Middle East Respiratory Syndrome (MERS-CoV).
 Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS-CoV).
 Pneumonia (dr. Rizal Fadli, 2021)
SARS yang muncul pada November 2002 silam di Tiongkok
menyebar ke beberapa negara lain. Mulai dari Hongkong, Vietnam,
Singapura, Indonesia, Malaysia, Inggris, Italia, Swedia, Swiss,
Rusia, hingga Amerika Serikat. Epidemi SARS yang berakhir
hingga pertengahan 2003 itu telah menjangkiti sebanyak 8.098
orang di berbagai negara. Setidaknya sekitar 774 orang mesti
kehilangan nyawa akibat penyakit infeksi saluran pernapasan berat
tersebut (dr. Rizal Fadli, 2021).
Virus corona atau covid-19 adalah keluarga besar virus yang
dapat menginfeksi burung dan mamalia, termasuk manusia.
Menurut World Health Organization (WHO), virus ini
mengakibatkan penyakit mulai dari flu ringan hingga infeksi
pernapasan yang lebih parah seperti MERS-CoV dan SARS-CoV.
(Ayu Kurniawati et al., 2020)
2. Faktor Penyebab Infeksi Covid-19
Infeksi virus Corona atau COVID-19 disebabkan
oleh Coronavirus, yaitu kelompok virus yang menginfeksi sistem
pernapasan. Pada sebagian besar kasus, Coronavirus hanya
menyebabkan infeksi pernapasan ringan sampai sedang, seperti
flu. Namun, virus ini juga bisa menyebabkan infeksi pernapasan
berat, seperti pneumonia, MERS (Middle-East Respiratory
Syndrome) dan SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome) (dr.
Pittara, 2022).
Ada dugaan bahwa virus Corona awalnya ditularkan dari
hewan ke manusia. Namun, kemudian diketahui bahwa virus
Corona juga menular dari manusia ke manusia. Seseorang dapat
tertular COVID-19 melalui berbagai cara, yaitu:
 Tidak sengaja menghirup percikan ludah (droplet) yang keluar
saat penderita COVID-19 batuk atau bersin
 Memegang mulut atau hidung tanpa mencuci tangan terlebih
dahulu setelah menyentuh benda yang terkena cipratan ludah
penderita COVID-19
 Melakukan kontak jarak dekat dengan penderita COVID-19 (dr.
Pittara, 2022)

Virus Corona juga bisa menular melalui benda-benda yang


sering disentuh, misalnya uang, gagang pintu, atau permukaan
meja. Virus Corona dapat menginfeksi siapa saja,
tetapi efeknya akan lebih berbahaya atau bahkan fatal bila terjadi
pada orang lanjut usia, ibu hamil, orang yang memiliki penyakit
tertentu, perokok, atau orang yang daya tahan tubuhnya lemah,
misalnya pada penderita kanker (dr. Pittara, 2022).
Karena mudah menular, virus Corona juga berisiko tinggi
menginfeksi para tenaga medis yang merawat pasien COVID-19.
Oleh sebab itu, para tenaga medis dan orang-orang yang sering
kontak dengan pasien COVID-19 perlu menggunakan alat
pelindung diri (APD) (dr. Pittara, 2022).
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh WHO, terdapat
beberapa varian SARS-CoV-2 penyebab COVID-19. Varian yang
dimaksud dibagi menjadi dua jenis, yaitu variant of concern (VOC)
dan variant of interest (VOI) (dr. Pittara, 2022).

VOC adalah varian virus SARS-CoV-2 yang dapat


meningkatkan risiko penularan COVID-19 dengan cepat,
memperparah gejala, dan mengurangi efektivitas terapi. Berikut ini
adalah jenis variant of concern tersebut:

 Varian Alfa (B.1.1.7) yang pertama kali ditemukan di Inggris


pada September 2020.

 Varian Beta (B.1.351/B.1.351.2/B.1.351.3) yang pertama kali


ditemukan di Afrika Selatan pada Mei 2020.

 Varian Gamma (P.1/P.1.1/P.1.2) yang pertama kali ditemukan di


Brazil pada November 2020.

 Varian Delta (B.1.617.2/AY.1/AY.2/AY.3) yang pertama kali


ditemukan di India pada Oktober 2020.

 Varian Omicron (B.1.1.529) yang pertama kali ditemukan di


beberapa negara pada November 2021 (dr. Pittara, 2022).

Sementara itu, VOI adalah varian yang saat ini sedang


diteliti karena dicurigai berpotensi menjadi VOC. Jenis varian
tersebut adalah:
 Varian Lamda (c.37) yang pertama kali ditemukan di Peru pada
Desember 2020.

 Varian Mu (B.1621) yang pertama kali ditemukan di Kolombia


pada Januari 2021 (dr. Pittara, 2022).
3. Gejala Infeksi Virus Corona
Virus corona bisa menimbulkan beragam gejala pada
pengidapnya. Gejala yang muncul ini bergantung pada jenis virus
yang menyerang dan seberapa serius infeksi yang terjadi. Berikut
ini beberapa ciri-ciri awal corona:

 Hidung beringus.
 Sakit kepala.
 Batuk.
 Sakit tenggorokan.
 Demam.
 Merasa tidak enak badan.
 Hilangnya kemampuan indera perasa dan penciuman (dr.
Rizal Fadli, 2021).
Hal yang perlu ditegaskan, beberapa virus corona dapat
menyebabkan gejala yang parah. Infeksinya dapat berubah
menjadi bronkitis dan pneumonia (disebabkan oleh COVID-19),
yang mengakibatkan gejala seperti:

 Demam yang mungkin cukup tinggi bila pengidap mengidap


pneumonia.
 Batuk dengan lendir.
 Sesak napas.
 Nyeri dada atau sesak saat bernapas dan batuk (dr. Rizal
Fadli, 2021).
Infeksi bisa semakin parah bila menyerang kelompok
individu tertentu. Contohnya, orang dengan penyakit jantung atau
paru-paru, orang dengan sistem kekebalan yang lemah, bayi, dan
lansia. Beberapa pengidap COVID-19 juga mengalami gejala yang
sebenarnya bersifat ringan (dr. Rizal Fadli, 2021).
Akhir tahun 2019 tepatnya pada bulan desember, dunia
dihebohkan dengan sebuah kejadian yang membuat banyak
masyarakat resah yaitu dikenal dengan virus corona (covid-19).
Kejadian tersebut bermula di Tiongkok, Wuhan. Pada awalnya virus
ini diduga akibat paparan pasar grosir makanan laut huanan
yang banyak menjual banyak spesies hewan hidup. Penyakit
ini dengan cepat menyebar di dalam negeri ke bagian lain
China. Tanggal 18 Desember hingga 29 Desember 2019, terdapat
lima pasien yang dirawat dengan Acute Respiratory Distress
Syndrome (ARDS). Sejak 31 Desember 2019 hingga 3 Januari
2020 kasus ini meningkat pesat, ditandai dengan dilaporkannya
sebanyak 44 kasus(Putri, 2020).

Indonesia adalah negara berkembang dan terpadat keempat


di dunia, dengan demikian diperkirakan akan sangat menderita dan
dalam periode waktu yang lebih lama. Ketika coronavirus novel
SARS-CoV2 melanda Cina paling parah selama bulan-bulan
Desember 2019 – Februari 2020. Pada 27 Januari 2020,
Indonesia mengeluarkan pembatasan perjalanan dari provinsi
Hubei, yang pada saat itu merupakan pusat dari COVID- 19 global,
sementara pada saat yang sama mengevakuasi 238 orang
Indonesia dari Wuhan. Presiden Joko Widodo melaporkan pertama
kali menemukan dua kasus infeksi COVID-19 di Indonesia pada 2
Maret 2020. Pasien yang terkonfirmasi covid-19 di Indonesia
berawal dari suatu acara di Jakarta dimana penderita kontak
dengan seseorang warga Negara asing (WNA) asal Jepang yang
tinggal di Malaysia. Setelah pertemuan tersebut penderita
mengeluh demam, batuk dan sesak nafas. (Putri, 2020)
WHO mengumumkan COVID-19 pada 12 Maret 2020
sebagai pandemic. Jumlah kasus di Indonesia terus meningkat
dengan pesat, hingga Juni 2020 sebanyak 31.186 kasus
terkonfirmasi dan 1851 kasus meninggal. Kasus tertinggi terjadi di
Provinsi DKI Jakarta yakni sebanyak 7.623 kasus terkonfirmasi
dan 523 (6,9%) kasus kematian. WHO mengeluarkan enam strategi
prioritas yang harus dilakukan pemerintah dalam menghadapi
pandemic covid-19 pada tangal 26 Maret, yang terdiri dari
Perluas, latih, dan letakkan pekerja layanan kesehatan;
Menerapkan sistem untuk dugaan kasus; Tingkatkan produksi tes
dan tingkatkan layanan kesehatan; Identifikasi fasilitas yang
dapat diubah menjadi pusat kesehatan coronavirus;
Mengembangkan rencana untuk mengkarantina kasus; dan
Refokus langkah pemerintah untuk menekan virus. (Putri, 2020)
Indonesia saat ini terkena dampak pandemi virus baru,
bahkan bukan hanya di Indonesia tetapi secara global di
berbagai Negara telah terkena dampak yang sangat hebat dari
virus ini. World Health Organization memberi nama virus ini
Severe Acute Resporatory Syndrome coronavirus-2 (SARS-CoV-
2) dengan nama penyakitnya yakni Coronavirus disease 2019
(Covid-19). Pandemi covid-19 ini akan berdampak secara sosial
dan ekonomi. Dalam hal ini Indonesia harus bersiap siaga
dalam menghadapinya terutama dalam hal sistem kesehatan yang
ada.(Putri, 2020)
Beberapa himbauan yang digunakan pemerintah untuk
mengurangi penyebaran COVID-19 yang secara langsung
mengubah perilaku sosial, seperti, stay at home, social distancing,
physical distancing, cuci tangan, menggunkan masker, dan
sebagainya. Pembatasan pergerakan sosial mempengaruhi
masyarakat dalam berperilaku. Misalkan, pemerintah menekankan
bekerja di rumah bagi ASN, Guru dan Siswa. Semua cara itu
dilakukan guna mengurangi penyebaran COVID-19. Apakah itu
efektif? Menurut Kurniawan (2020) social distancing belum
maksimal diterapkan di Indonesia. Berdasarkan pengamatan
selama 7 hari (25 – 31 Maret 2020), maka disimulasikan bahwa
Social Distancing di Indonesia dapat menghambat ±596 atau
±28% kasus COVID-19 yang baru. Tetapi berdasarkan
pengamatan terakhir tanggal 09 April 2020 bahwa grafik kasus per
hari semakin meningkat. Beberapa ahli memprediksi, data yang
terkena COVID-19 di Indonesia akan terus meningkat
dan mengalami puncak pada akhir April atau Mei (https://www.bbc.
com/indonesia/). Bahkan ketika lockdown diterapkan, butuh 2
bulan lebih untuk melewati masa krisis seperti di Wuhan China.
(Agung, 2020)

B. Tinjauan Umum Tentang KIPI


1. Pengertian KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi)
Health Organization World (WHO) mendefinisikan KIPI
sebagai kejadian medis yang tidak diinginkan setelah imunisasi
dan yang tidak selalu memiliki hubungan sebab akibat dengan
penggunaan vaksin. Efek samping dapat berupa tanda yang
tidak menyenangkan atau tidak diinginkan, temuan laboratorium,
gejala atau penyakit yang abnormal (Hafizzanovian et al., 2021).
KIPI merupakan respon tubuh terhadap vaksin yang
disuntikkan ke dalam tubuh. Gejalanya bervariasi di setiap orang.
KIPI dikategorikan menjadi 2 jenis yaitu KIPI ringan dan KIPI
berat(Sari, 2021).
Meskipun vaksin semua yang digunakan dalam program
imunisasi nasional aman dan efektif jika digunakan dengan benar,
namun dalam praktiknya, tidak ada vaksin yang benar-benar
bebas risiko dan kadang- kadang efek samping dapat terjadi
setelah imunisasi. Lima subkategori definisi spesifik penyebab KIPI
telah didefinisikan oleh WHO, yaitu reaksi terkait produk vaksin,
reaksi terkait defek pada kualitas vaksin, reaksi terkait
kesalahan pada imunisasi, reaksi terkait ansietas pada imunisasi,
dan kejadian coincidental:
a. Vaccine product-related reaction: KIPI yang disebabkan atau
dipicu oleh vaksin karena satu atau lebih sifat yang melekat
pada produk vaksin. Sebagai contoh; pembengkakan
ekstremitas ekstensif setelah vaksinasi DTP. Kategori ini dapat
dibedakan menjadi ringan, berat, dan serius.
b. Vaccine quality defect-related reaction: KIPI yang
disebabkan atau dipicu oleh vaksin yang disebabkan oleh
satu atau lebih cacat kualitas produk vaksin, termasuk
perangkat administrasinya, seperti yang disediakan oleh
produsen.
c. Immunization error-related reaction: KIPI yang disebabkan
oleh penanganan, peresepan atau pemberian vaksin yang
tidak tepat dan dengan demikian, menurut sifatnya, dapat
dicegah.
d. anxiety-related reaction: KIPI yang timbul karena kecemasan
terhadap imunisasi. Individu bereaksi sebagai antisipasi yang
dihasilkan dari injeksi apa pun. Reaksi ini tidak terkait dengan
vaksin, tetapi takut terhadap injeksi.
e. Coincidental event: KIPI yang disebabkan oleh hal lain selain
produk vaksin, kesalahan imunisasi atau kecemasan
imunisasi (Hafizzanovian et al., 2021).

KIPI bersifat ringan dan bersifat sementara, antara lain:


(UNICEF, 2021)
a. Demam yang ditandai dengan suhu di atas 37,8˚C
b. Mual atau muntah
c. Menggigil
d. Rasa lelah
e. Sakit kepala atau nyeri otot
f. Nyeri sendi
g. Nyeri pada lengan, di tempat suntikan

2. Penyebab KIPI
Berdasarkan penyebabnya,KIPI dibagi menjadi 5 yaitu:
a. Reaksi KIPI terkait komponen vaksin. Komponen vaksin antara
lain adjuvant, antiobiotik, antigen, pelarut, pengawet, stabilizer
dan bahan lainnya.
b. Reaksi KIPI terkait cacat mutu vaksin. KIPI jenis ini terkait cacat
mutu pada vaksin, maupun alat pemberian yang disediakan
produsen.
c. Reaksi KIPI terkait kesalahan prosedur. Penyebab KIPI jenis ini
yaitu kesalahan saat pelarutan vaksin maupun pemberian
vaksin.
d. Reaksi KIPI akibat kecemasan karena takut disuntik.
e. Reaksi KIPI akibat kejadian koinsiden. Reaksi KIPI jenis ini
diakibatkan oleh hal-hal yang tidak terkait empat hal di atas,
contohnya demam yang muncul sebelum atau saat vaksinasi
(Sari, 2021)

3. Kategori KIPI
Menurut WHO, KIPI dikelompokkan ke dalam lima kategori.
Kategori KIPI di antaranya adalah:
a. KIPI yang terkait produk vaksin
KIPI kelompok ini diakibatkan atau dicetuskan oleh satu atau
lebih komponen yang terkandung di dalam produk vaksin.
Contohnya pembengkakan luas di tungkai setelah imunisasi
DTP.
b. KIPI terkait dengan cacat mutu vaksin
KIPI yang terkait dengan cacat mutu vaksin disebabkan atau
dicetuskan oleh satu atau lebih cacat mutu produk vaksin,
termasuk alat pemberian vaksin yang disediakan oleh
produsen. Contohnya kegagalan yang dilakukan oleh produsen
vaksin pada waktu melakukan inaktivasi lengkap virus polio
saat proses pembuatan vaksin IPV Vaksin polio inaktivasi
(IPV).
c. KIPI terkait kekeliruan prosedur imunisasi
kekeliruan prosedur imunisasi disebabkan oleh cara
penanganan vaksin yang tidak memadai, penulisan resep atau
pemberian vaksin yang sebetulnya dapat dihindari. Contoh dari
KIPI ini adalah penularan infeksi karena vial multidosis yang
terkontaminasi.
d. KIPI terkait kecemasan terkait imunisasi
KIPI ini terjadi karena kecemasan pada waktu pemberian
imunisasi. Contohnya terjadinya vasovagal syncope (Sinkope
vasovagal). Ini merupakan reaksi neurovaskuler yang
menyebabkan pingsan pada remaja saat atau sesudah
imunisasi.
e. KIPI terkait kejadian koinsiden
KIPI ini disebabkan oleh hal-hal di luar produk vaksin,
kekeliruan imunisasi atau kecemasan akibat imunisasi.
Kejadian koinsiden mencerminkan peristiwa sehari-hari dari
masalah kesehatan di masyarakat yang sering dilaporkan (Dwi
Zain Musofa, 2021).

4. Jenis KIPI
a. KIPI non serius
KIPI non serius adalah kejadian medik yang terjadi setelah
imunisasi dan tidak menimbulkan risiko potensial pada
kesehatan si penerima. Dilaporkan rutin setiap bulan
bersamaan dengan hasil cakupan imunisasi.
b. KIPI serius
KIPI serius adalah setiap kejadian medik setelah imunisasi
yang menyebabkan rawat inap, kecacatan, dan kematian, serta
yang menimbulkan keresahan di masyarakat. Oleh karena itu,
KIPI serius perlu dilaporkan segera setiap kejadian secara
berjenjang. Selanjutnya diinvestigasi oleh petugas kesehatan
yang menyelenggarakan imunisasi untuk dilakukan kajian serta
rekomendasi oleh Komda dan atau Komnas PP KIPI, yang terdiri
dari para ahli epidemiologi dan profesi.

5. Gejala KIPI
Gejala KIPI bisa berupa gejala ringan yang dirasakan, rasa
tidak nyaman atau berupa kelainan hasil pemeriksaan laboratorium
(Dwi Zain Musofa, 2021).
Beberapa KIPI ringan ini contohnya adalah pusing, mual,
nyeri otot (myalgia), nyeri sendi (arthralgia), nyeri di tempat
suntikan, kelelahan, malaise (perasaan lelah, tidak nyaman, dan
kurang enak badan), dan demam (Dwi Zain Musofa, 2021).
Sementara KIPI berat adalah istilah yang termasuk KIPI
serius dan reaksi berat lainnya. Yang termasuk KIPI berat seperti
kejang, trombositopenia, Hypotonic Hyporensponsive Episode
(HHE), hingga menangis terus menerus (pada anak) (Dwi Zain
Musofa, 2021).

6. KIPI Covid-19
Menurut Prof. DR.Dr.Hindra Irawan Satari,SpA(K),MtropPae
d selaku Ketua Komnas KIPI dalam paparan tertulisnya, KIPI COVI
D-19 adalah KIPI dengan perhatian khusus (Adverse Event Special
Interest/AESI). Deteksi dan pelaporan kejadian ikutan pasca imunis
asi COVID-19 yang tepat waktu adalah langkah pertama dalam
memastikan keamanan vaksin (Dwi Zain Musofa, 2021).

Deteksi KIPI Covid dilakukan melalui surveilans pasif. Hal ini


melibatkan penerima vaksin, penyedia layanan kesehatan dan staf
di fasilitas perawatan kesehatan atau imunisasi yang mendeteksi
KIPI dan melaporkannya secara berjenjang sesuai SOP di PMK
12/2017 (Dwi Zain Musofa, 2021).
Pasien yang mengalami gangguan kesehatan KIPI diberikan
pengobatan dan perawatan selama proses investigasi dan
pengkajian kausalitas (Dwi Zain Musofa, 2021).

C. Tinjauan Umum Tentang Vaksin


1. Pengertian Vaksin
Vaksin adalah produk biologi yang berisi antigen berupa
mikroorganisme atau bagiannya atau zat yang dihasilkannya
yang telah diolah sedemikian rupa sehingga aman, yang apabila
diberikan kepada seseorang akan menimbulkan kekebalan
spesifik secara aktif terhadap penyakit tertentu (QUESTION
( FAQ ) PELAKSANAAN VAKSINASI COVID-, n.d.).
Vaksinasi adalah proses di dalam tubuh, dimana seseorang
menjadi kebal atau terlindungi dari suatu penyakit sehingga
apabila suatu saat terpajan dengan penyakit tersebut maka
tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan,
biasanya dengan pemberian vaksin (QUESTION ( FAQ )
PELAKSANAAN VAKSINASI COVID-, n.d.).
Vaksin bukanlah obat, vaksin mendorong pembentukan
kekebalan spesifik tubuh agar terhindar dari tertular ataupun
kemungkinan sakit berat. Selama belum ada obat yang defenitif
untuk COVID-19, maka vaksin COVID-19 yang aman dan efektif
serta perilaku 3M (memakasi masker, mencuci tangan dengan
sabun dan menjaga jarak) adalah upaya perlindungan yang
bisa kita lakukan agar terhindar dari penyakit COVID-19
(QUESTION ( FAQ ) PELAKSANAAN VAKSINASI COVID-,
n.d.).
Vaksinasi adalah proses di dalam tubuh, dimana
seseorang menjadi kebal atau terlindungi dari suatu penyakit
sehingga apabila suatu saat terpajang dengan penyakit tersebut
maka tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan,
biasanya dengna pemberian vaksin. Vaksinasi bertujuan untuk
memberikan kekebalan spesifik terhadap suatu penyakit
tertentu sehingga apabila suatu saat terpajan dengan penyakit
tersebut maka tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit
ringan. Pandemi Covid-19 sejak tahun 2 Maret 2020
diumumkan kasus pertama di Indonesia telah menyebar dengan
cepat. Salah satu strategi penanggulangan bertujuan untuk
memperlambat dan menghentikan laju transmisi/penularan, dan
menunda penyebaran penularan. Vaksinasi Covid-19
merupakan bagian dari strategi penanggulangan Covid-19.
Pelaksanaan vaksinasi COVID-19 bertujuan untuk melindungi
masyarakat dari infeksi SARS-CoV-2 yang dapat menyebabkan
kesakitan dan kematian akibat COVID-19.(Ritunga et al., 2021)

2. Jenis Vaksin
Ada berbagai jenis vaksin yang beredar. Jenis vaksin yang
berbeda mempunyai formulasi yang berbeda. Formulasi yang
berbeda ini mempengaruhi cara penggunaannya dan
penyimpanannya. Kalau ternyata berbagai vaksin yang berbeda
jenisnya tersebut efektif dan aman untuk diberikan maka sikap
petugas harus mengenal berbagai jenis vaksin yang berbeda ini
dan tahu cara pengelolaan dan penanganannya (WHO, 2022).
a. Vaksin Hidup Yang Dilemahkan (LAV)
Vaksin Hidup Yang Dilemahkan (LAV-Live Attenuated
Vaccine) sudah ada sejak tahun 1950, merupakan suatu
vaksin yang dibuat dari miikroorganisme hidup (sekarang
tersedia virus dan bakteri) yang telah dilemahkan di
laboratorium. Vaksin ini akan bereplikasi dalam tubuh
seseorang yang telah divaksinasi, pada umumnya
menimbulkan sakit ringan atau tidak sakit. Contoh: Bakteri
(Tuberkulosis/BCG) Virus Vaksin (Polio Oral, Campak,
Rotavirus, Demam Kering).
b. Vaksin Sel Utuh Yang Diinaktivasi (anitgen mati)
Vaksin ini dibuat dari mikroorganisme (virus,bakteri dan lain-
lain) yang telah dimatikan dengan proses menggunakan
bahan kimia tertentu atau secara fisik. Mikroorganisme yang
sudah mati ini tidak dapat menyebabkan penyakit. Contoh:
Bakteri (Pertusis) Virus (Virus Polio yang Diinativasi).
c. Vaksin Subunit (Antigen Murni)
Vaksin subunit, seperti vaksin inaktivasi sel utuh, tidak
mengandung komponen patogen hidup. Berbeda
dengan vaksin inaktivasi yang berisi sel utuh,vaksin subunit
hanya mengandung sebagian dari komponen patogen.
Bagian dari patogen ini dapat merangsang pembentukan
respon kekebalan.
d. Vaksin Toksoid
Vaksin toksoid dibuat dari toksin yang dihasilkan oleh bakteri
tertentu (tetanus atau difteri). Toksin ini masuk dalam aliran
darah dan menyebabkan gejala penyakit. Toksin berbasis
protein tidak berbahaya (toksoid) dan digunakan sebagai
antigen yang dapat merangsang kekebalan (WHO, 2022).
3. Tujuan Vaksinasi
a. Membentuk kekebalan kelompok
b. Menurunkan kesakitan dan kematian akibat COVID-19
c. Melindungi dan memperkuat sistem kesehatan secara
menyeluruh
d. Menjaga produktifitas dan meminimalkan dampak sosial dan
ekonomi (Timur, n.d.)
BAB III
KERANGKA KONSEP
A. Dasar Pemikiran Variabel Yang Diteliti
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada tinjauan
pustaka, maka telah diidentifikasikan variabel dalam kerangka
konsep penelitian, baik variabel dependen (variabel terikat) yaitu
kejadian KIPI, serta variabel independent (variabel bebas) adalah
Vaksinasi Covid-19.
Vaksinasi merupakan kombinasi variabel atau kegiatan yang
merupakan inti dari

proses di dalam tubuh, dimana seseorang menjadi kebal


atau terlindungi dari suatu penyakit sehingga apabila suatu
saat terpajan dengan penyakit tersebut maka tidak akan sakit
atau hanya mengalami sakit ringan, biasanya dengan pemberian
vaksin

B. Bagan Kerangka Konsep


C. Hipotesis Penelitian
D. Definisi Konsep
BAB IV

METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
C. Populasi
D. Sampel
E. Besar Sampel
F. Teknik Pengambilan Sampel
G. Pengumpulan Data
H. Sumber Data
I. Pengolahan dan Analisis Data
J. Penyajian Data
K. Langkah-Langkah Penelitian
L. Organisasi Penelitian

Anda mungkin juga menyukai