Anda di halaman 1dari 18

PROPOSAL

“PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN SANKSI

TERHADAP PELAKU TINDAKAN PIDANA PERDAGANGAN

ORANG “

(Studi Kasus Perkara Nomor: 155/Pid.B/2009.Pn.Mlg)

..

Diajukan Oleh :

ILHAM RAMADHAN

1910012111070

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BUNG HATTA
PADANG
2022

i
DAFTAR ISI

A. Latar belakang ................................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ........................................................................................... 4

C. Tujuan Penelitian ............................................................................................. 5

D. Metode Penelitian............................................................................................ 5

E. Tinjauan Pustaka.............................................................................................. 7

Daftar Pustaka.................................................................................................... 16

ii
A. Latar belakang

Salah satu fungsi hukum dinyatakan adalah sebagai perlindungan kepentingan

manusia.1 Efektivitas hukum berkaitan erat dengan masalah kepatuhan hukum.

Hukum menjadi berarti apabila perilaku manusia dipengaruhi oleh hukum dan

apabila masyarakat menggunakan hukum sebagai pengendali perilakunya. Hukum

diharapkan mampu menjadi pengendali perilaku masyarakat, terlebih lagi diera

perkembangan tekhnologi yang semakin pesat saat ini, karena seiring dengan

perkembangan tehnologi maka disisi lain kejahatan jugaikut berkembang.

Salah satu bentuk konflik yang ditemui dalam masyarakat adalah kejahatan

perdagangan orang (human trafficking) yang dapat dikategorikan sebagai

“perbudakan modren”. Perdagangan orang (human trafficking) adalah merupakan

persoalan global sangat serius2, yang juga merupakan permasalahan pelanggaran

terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Perlindungan terhadap Hak Azasi Manusia

menekankan bahwa setiap orang dilahirkan memiliki kebebasan, dengan harkat dan

martabat yang sederajat, serta berhak atas perlindungan tanpa diskriminasi.

Undang-Undang Dasar 1945 dalam rumusan salah satu pasalnya menyebutkan

mengenai “hak untuk tidak diperbudak”.3 Untuk mewujudkan perlindungan hak

tersebut, maka Pemerintah Indonesia memandang perlu untuk melakukan

pengaturan tersendiri mengenai tindak pidana perdagangan orang (human

trafficking).

1
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, “Bab-bab Tentang Penemuan Hukum”,
(Yogyakarta: Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 1
2
Karen E. Bravo, “Human Trafficking: Global and National Responses To The Cries for
Freedom,” Article, (Westlaw: University of St. Thomas Law Journal, 2009), hal. 2
3
UUD 1945 Pasal 28 ayat (1), hasil amandemen ke-2, tanggal 18 Agustus 2000

1
Perdagangan orang (human trafficking) bukan merupakan bentuk kejahatan

yang baru dikenal. Dalam sejarah bangsa Indonesia, perdagangan orang pernah

terjadi yaitu melalui perbudakan atau perhambaan. Pada masa kerajaan,

perdagangan perempuan merupakan bagian pelengkap dari sistem pemerintahan

feodal.4 Perdagangan orang lebih terorganisir dan berkembang pesat pada masa

penjajahan Belanda, hal ini terlihat dari adanya perbudakan tradisional dan

perseliran untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Eropa. Perdagangan orang ini

dapat berbentuk kerja rodi, penjualan anak perempuan untuk mendapatkan imbalan

materi dan kawin kontrak.5 Demikian juga halnya dengan masa penjajahan Jepang.6

Pada awal perkembangannya perdagangan orang belum merupakan tindak

pidana, sehingga tidak ada hukuman yang diberikan pada para pelaku perdagangan

orang tersebut. Kemudian, pada masa kemerdekaan perdagangan orang dinyatakan

sebagai tindakan yang melawan hukum. Pemerintah Indonesia mengkriminalisasi

perdagangan orang dengan Pasal 297 Kitab Undang-undang Hukum Pidana

(KUHP) yang secara eksplisit mengatur tentang perdagangan orang, dalam pasal

itu dinyatakan memperniagakan perempuan dan memperniagakan laki-laki yang

belum dewasa, dihukum penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun. Pasal-pasal yang

sering dipakai sebagai dasar hukum untuk menjerat pelaku human trafficking

(perdagangan orang) adalah Pasal 285, Pasal 287-298, Pasal 324, dan Pasal 506

KUHP. Pengaturan dalam KUHP masih membutuhkan penyempurnaan agar dapat

menjerat setiap kegiatan atau modus baru perdagangan orang, kemudian hal ini

4
Farhana, Aspek Hukum Perdagangan Orang Di Idonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,2010),
hal. 1.
5
Ibid., hal. 2
6
Ibid., hal. 3,

2
terjawab dengan lahirnya UndangUndang Nomor 21 Tahun 2007 tentang

pemberantasan tindak pidana perdagangan orang.

Kehadiran Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana

Perdagangan Orang, ternyata belum menjadi jaminan bahwa tindak pidana

perdagangan orang dapat diberantas. aparat hukum masih belum bisa

memaksimalkan perannya dalam memberantas perdagangan orang. Hal ini dapat

terjadi karena ringannya hukuman yang diberikan kepada para pelaku perdagangan

orang di Indonesia. Akibatnya kasus perdagangan orang bukannya dapat diatasi

tetapi sebaliknya makin meningkat.

Peningkatan ini juga terjadi karena beberapa faktor seperti adanya kelemahan

pada perangkat hukum (peraturan perundang-undangan) dan juga adanya faktor-

faktor di luar peraturan perundang-undangan. Kelemahan pada perangkat hukum

disebabkan adanya peraturan yang sulit untuk diterapkan pada kasus-kasus human

trafficking yang ditangani oleh aparat penegak hukum. 7

Faktor-faktor di luar peraturan perundang-undangan misalnya adanya

pandangan masyarakat tentang perempuan yang menganggap bahwa bila ada

kejahatan yang terjadi pada dirinya, maka hal itu merupakan kesalahannya sendiri.

Selain itu ada juga pandangan masyarakat yang enggan terlibat dengan masalah

orang lain terutama yang berhubungan dengan polisi karena akan merugikan diri

sendiri, alasan lainnya ada kecendrungan paradigma pemerintah yang memandang

tenaga kerja sebagai komoditi penghasil devisa negara, kemudian adanya faktor-

faktor sosial yang berkembang di masyarakat, misalnya masih adanya diskriminasi

terhadap perempuan. Ada juga kelemahan yang datang dari aparat penegak hukum

7
Ibid., hal. 137

3
yang disebabkan ketidaktahuan mereka tentang masalah trafficking (perdagangan

orang).8 Menghadapi kondisi ini, maka diperlukan kebijakan yang lebih dapat

mengatur secara komprehensif mengenai pencegahan, penanganan,

penanggulangan, dan penegakan hukum atas tindak pidana perdagangan orang.

Berdasarkan uraian diatas maka penulis berniat untuk menulis penelitian tentang

“PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN SANKSI

TERHADAP PELAKU TINDAKAN PIDANA PERDAGANGAN ORANG

(Studi Kasus Perkara Nomor: 155/Pid.B/2009.Pn.Mlg)”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis merumuskan masalah sebagai

berikut :

1. Bagaimanakah penjatuhan sanksi terhadap pelaku Tindak Pidana

Perdagangan Orang (Studi Kasus Studi Kasus Perkara Nomor:

155/Pid.B/2009.Pn.Mlg)?

2. Bagaimanakah pertimbangan hakim pada Putusan Perkara Nomor:

155/Pid.B/2009.Pn.Mlg?

8
Ibid

4
C.Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang dalam latar belakang dan permasalah yang

telah dirumuskan maka secara keseluruhan tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk menganalisis penjatuhan sanksi terhadap pelaku Tindak Pidana

Perdagangan Orang (Studi Kasus Studi Kasus Perkara Nomor:

155/Pid.B/2009.Pn.Mlg).

2. Untuk menganalisis pertimbangan hakim pada kasus Tindak Pidana

Perdagangan Orang (Studi Kasus Studi Kasus Perkara Nomor:

155/Pid.B/2009.Pn.Mlg)

D.Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian

yuridis normatif. Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum

doctrinal. Pada penelitian hukum jenis ini, hukum dikonsepkan sebagai apa yang

tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum

dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku

manusia yang dianggap pantas.9

2. Sumber Data

Sumber data yang dipakai adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh atau

dikumpulkan dari berbagai sumber yang telah ada sebelumnya. Data sekunder

terdiri dari :

9
Amiruddin, Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum,
Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 118.

5
a. Bahan Hukum Primer, yakni data yang mempunyai kekuatan hukum tetap,

seperti :

a) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana

Perdagangan Orang.

b) Pasal 297 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

c) Putusan Pengadilan Negeri Malang Nomor 155/Pid.B/2009.Pn.Mlg.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan

terhadap bahan hukum primer, misalnya: rancangan undang-undang, hasil-hasil

penelitian, hasil karya dari pakar hukum, dan sebagainya. 10

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberi petunjuk dan

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Misalnya:kamus,

ensiklopedia, indeks kumulatif, dan sebagainya.11

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan penulis adalah studi dokumen, yaitu

pengumpulan data yang diperoleh dengan mempelajari, membaca, dan mencatat

buku-buku literatur, peraturan perundang-undangan, serta artikel-artikel penting

dari media internet dan erat kaitannya dengan pokok-pokok masalah yang di

gunakan untuk menyusun penulisan ini yang kemudian dikategorisasikan menurut

kelompok yang tepat.

4. Analisis Data

Analisis data yang dipakai adalah secara kualitatif. Analisis data kualitatif

adalah kegiatan peneliti untuk menguraikan, mengklasifikasi, memberi makna

10
Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta,
hlm. 23.
11
Ibid, hlm. 24.

6
berdarsarkan perspektif tertentu dan akhirnya menemukan formulasi baru baik

berupa konsep atau teori. 12

E.Tinjauan Pustaka

1. Tinjauan Tentang Pembuktian

a. Pengertian Pembuktian

Sistem pembuktian hukum acara pidana bertujuan untuk menilai alat bukti

dalam perkara yang sedang diperiksa. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan

yang berisi pedoman tata cara yang dibernarkan Undang-undang untuk

membuktikan kesalahan yang didakwakan terhadap terdakwa. Pembuktian

merupakan bagian terpenting dalam sidang pengadilan karena dengan

pembuktian akan tampak apakah terdakwa bersalah atau tidak bersalah.

Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan Undang-

undang tidak “tidak cukup kuat” membuktikan kesalahan yang didakwakan

maka terdakwa “dibebaskan” dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan

terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebut dalam Pasal 184

KUHAP maka terdakwa dinyatakan “bersalah”, kepadanya akan dijatuhkan

hukuman. 13

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pembuktian ialah

perbuatan pembuktian yang bertujuan untuk memberikan atau memperlihatkan

12
M. Syamsudin, 2021, Mahir Meneliti Masalah Hukum, Kencana, Jakarta,
hlm. 184.
13
Litigasi, 2018, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Pidana,
https://litigasi.co.id/hukum-acara/115/hukum-pembuktian-menurut-hukum-acara-
pidana, diakses pada tanggal 1 November 2021, pukul 20.25 wib.

7
bukti guna menimbulkan keyakinan hakim untuk memutuskan perkara di

pengadilan atas suatu tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa.14

Berdarsarkan Pasal 183 KUHAP, bahwa untuk menjatuhkan putusan

pidana kepada terdakwa, hakim harus memperoleh keyakinan yang timbul dari

persyaratan minimal dua alat bukti yang sah dalam persidangan. Mengenai alat

bukti itu sendiri adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu

perbuatan, di mana dengan alat-alat bukti tersebut dapat dipergunakan sebagai

bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya

suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.

b. Sumber-sumber Formal Hukum Pembuktian

Sumber hukum pembuktian adalah sebagai berikut :

1) Undang-undang

2) Doktrin atau pendapat para ahli hukum; dan

3) Yurisprudensi/putusan pengadilan

Karena hukum pembuktian merupakan sebagian dari hukum acara

pidana, sumber hukum yang utama adalah Undang-undang No.8 Tahun

1981, tentang Hukum Acara Pidana atau KUHAP, Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1981 No.76 dan penjelasannya yang dimuat

dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No.3209.

Apabila di dalam praktik menemui kesulitan dalam penerapannya atau

menjumpai kekurangan atau untuk memenuhi kebutuhan, dipergunakan

doktrin atau yurisprudensi. 15

14
Rahman Amin, 2020, op.cit, hlm. 25.
15
Alfitra, 2011, op.cit, hlm. 22.

8
c. Teori-teori Pembuktian

1) Teori Pembuktian Berdarsarkan Undang-undang Secara Positif =

Positief Wettelijke Theori

a) Teori pembuktian ini didasarkan melalui kepada alat-alat bukti yang

disebut Undang-undang.

b) Menurut Simons, sistem atau teori ini berusaha menyingkirkan

pertimbangan subjektif hakim dan dan mengikat hakim secara ketat

menurut peraturan pembuktian yang keras.

c) Kelemahan teori ini: Mengesampingkan keyakinan hakim, sehingga

hakim tidak bias bergerak secara bebas untuk memutus tenang

kebenaran perkara yang dihadapi.

d) Kelebihan: Dengan alat bukti yang sudah ditentukan dan mengikat

hakim, maka hakim harus tunduk pada peraturan Undang-undang

yang mengatur masalah pembuktian.

e) Teori sudah tidak dianut oleh Negara-negara di dunia.

2) Teori Pembuktian Berdarsarkan Keyakinan Hakim saja = Conviction

Intime

a) Teori pembuktian ini didasarkan melalui kepada keyakinan hakim

atau hati nurani hakim, sehingga pemidanaan dimungkinkan tanpa

atau didasarkan kepada alat-alat bukti dalam Undang-undang.

b) Sistem ini dianut oleh Perancis.

c) Kelemahan sistem/teori ini: Terlalu memberi kebebasan yang besar

kepada hakim, sehingga sulit diawasi. Disisi yang lain, terdakwa

juga sulit melalukan pembebasan.

9
d) Kelebihan sistem/teori ini: Ditangan hakim yang jujur, berdedikasi

dan bermoral, akan bias diharapkan putusan yang adil bagi terdakwa

maupun dirasakan oleh masyarakat.

3) Teori Pembuktian Keyakinan Hakim atas Alasan yang Logis = La

Conviction Rais Onne

a) Teori pembuktian ini didasarkan kepada keyakinan hakim sampai

batas tertentu. Menurut teori ini hakim dapat memutuskan seseorang

bersalah berdasar keyakinannya yang didasarkan kepada dasar-

dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan. Teori ini pecah

menjadi dua yaitu:

(1) Teori pembuktian keyakinan hakim atas alasan yang logis.

(2) Teori pembuktian berdasar Undang-undang secara negatif.

4) Teori Pembuktian Berdasar Undang-undang secara Negatif = Negatief

Wettelijke Bewijstheorie

Teori ini berbeda dengan teori pembuktian berdarsarkan keyakinan atas

alasan yang logis, pangkal tolaknya ketentuan Undang-undang.

Didasarkan pada ketentuan Undang-undang yang menyebutkan secara

limitatif. 16

2. Tinjauan Tentang Saksi

a. Pengertian Saksi

Saksi adalah : “orang yang mengetahui dengan jelas mengenai sesuatu

karena melihat sendiri atau karena pengetahuannya”. 17

16
Didik Endro Purwoleksono, 2015, Hukum Acara Pidana, Airlangga
University Pers, Surabaya hlm. 124.
17
J.C.T. Simorangkir DKK, 2009, Kamus Hukum, Sinar Grafika, Jakarta,
hlm 151.

10
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam

Pasal 1 angka 26 saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan

guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu

perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.

Berdarsarkan pengertian dari Pasal 1 angka 26 Kitab Undangundang

Hukum Acara Pidana (KUHAP) dapat disimpulkan beberapa syarat saksi

yaitu :

1) Orang yang mendengar sendiri terjadinya suatu tindak pidana

2) Orang yang melihat atau menyaksikan langsung kejadian suatu tindak

pidana

3) Orang yang yang mengalami atau orang yang menjadi korban langsung

dari suatu tindak pidana

Pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa saksi yang memberikan

kesaksiannya didalam persidangan dapat secara langsung memberikan

kesaksiannya di muka persidangan. Pembuktian tentang benar atau tidaknya

merupakan hal yang terpenting dalam acara pidana. Dapat diketahui

keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangat bergantung kepada alat

bukti yang berhasil dimunculkan dalam proses persidangan, terutama alat

bukti yang bersangkutan dengan saksi.

b. Macam-macam Saksi

a) Saksi Memberatkan (a charge)

Saksi yang keterangannya memberatkan terdakwa dan biasanya

diajukan oleh penuntut umum.

b) Saksi Meringankan (a de charge)

11
Saksi yang diajukan oleh terdakwa untuk melakukan pembelaan atas

dakwaan yang ditujukan pada dirinya.

c) Saksi Mahkota

Tersangka/terdakwa yang dijadikan saksi untuk tersangka/terdakwa lain

yang bersama-sama melakukan suatu perbuatan pidana.

d) Saksi Alibi

Pengertian saksi alibi tidak diatur dalam KUHAP. Pada praktiknya,

saksi alibi disamakan dengan pengertian saksi meringankan (a de

charge).18

3. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang

a. Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang

Perdagangan orang (trafficking) adalah bentuk modern dari perbudakan

manusia. Perdagangan orang juga merupakan salah satu bentuk perlakuan

terburuk dan pelanggaran harkat dan martabat manusia, dengan sendirinya

merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Perdagangan orang merupakan

suatu perbuatan pidana yang melanggar UndangUndang Nomor 21 Tahun

2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Berdasarkan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang

Tindak Pidana Perdagangan Orang menyatakan bahwa :

Tindak pidana perdagangan orang dianggap dilakukan oleh korporasi

apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orangorang yang bertindak

untuk dan/atau atas nama korporasi atau untuk kepentingan korporasi, baik

18
Kartika Law Firm, 2020, Macam-Macam Saksi,
http://kartikanews.com/macam-macam-saksi/, diakses pada tanggal 27 Oktober
2021, pukul 15.25 wib.

12
berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam

lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

adalah dasar hukum tertulis yang didalamnya memuat HakHak Asasi

Manusia Indonesia serta kewajibankewajiban yang bersifat dasar pula,

namun istilah perkataan Hak Asasi Manusia itu sendiri sebenarnya tidak

dijumpai dalam UUD 1945.

4. Tinjauan tentang Pidana dan Pemidanaan

a. Pengertian Pidana dan Pemidanaan

Dalam hukum, pidana adalah perbuatan pidana yang pada intinya diatur

dalam aturan Buku ke-II Kitab Undang-undang hukum pidana dan dalam

aturan-aturan lain di luar KUHP, dinyatakan di dalamnya itu sebagai tindak

pidana. 19 Dapat disimpulkan pidana ialah suatu bentuk penderitaan yang

sengaja dijatuhkan oleh Negara kepada pelaku tindak pidana sebagai akibat

hukum dari perbuatannya yang telah melanggar aturan larangan hukum

pidana.

Sedangkan yang dimaksud dengan Pemidanaan adalah upaya

penjatuhan pidana (sentencing) yang dilandaskan oleh hukum untuk

memberikan sanksi yang menderita secara sengaja ditimpakan kepada

seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum atas perbuatannya

melalui proses peradilan pidana serta telah terbukti bersalah melalukan

tindak pidana berdarsarkan hukum.

19
Tina Asmarawati, 2014, Pidana dan Pemidaan Dalam Hukum Indonesia,
Deepublish, Yogyakarta, hlm. 69.

13
b. Teori Pemidanaan

Ada berbagai macam pendapat mengenai teori-teori pemidanaan ini,

namun pada umumnya hanya dikelompok menjadi 3 bentuk teori, yaitu :

1) Teori Absolut/Teori pembalasan (Vergeldings Theorien). Menurut teori

ini pidana dijatuhkan sematamata karena orang telah melakukan tindak

pidana. Teori ini diperkenalkan oleh Kent dan Hegel. Teori Absolut

didasarkan pada pemikiran bahwa pidana tidak bertujuan untuk praktis,

seperti memperbaiki penjahat tetapi pidana merupakan tuntutan mutlak,

bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan,

dengan kata lain hakikat pidana adalah pembalasan (revegen).

2) Teori Relatif atau Tujuan (Doel Theorien) Teori relatif atau teori tujuan,

berpokok pangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk

menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Teori ini berbeda

dengan teori absolut, dasar pemikiran agar suatu tindak pidana dapat

dijatuhi hukuman artinya penjatuhan pidana mempunyai tujuan tertentu,

misalnya memperbaiki sikap mental atau membuat pelaku tidak

berbahaya lagi, dibutuhkan proses pembinaan sikap mental.

3) Teori Gabungan/modern (Vereningings Theorien) Teori gabungan atau

teori modern memandang bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural,

karena menggabungkan antara prinsip-prinsip relatif (tujuan) dan

absolut (pembalasan) sebagai satu kesatuan. Teori ini bercorak ganda,

dimana pemidanaan mengandung karakter pembalasan sejauh

14
pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral dalam menjawab tindakan

yang salah. 20

20
Admin Website, 2020, Teori-teori Pemidanaan dan Tujuan Pemidanaan,
https://www.lawyersclubs.com/teori-teori-pemidanaan-dan-tujuan-pemidanaan/ ,
diakses pada tanggal 06 November 2021, pukul 00:01 wib.

15
Daftar Pustaka

A. Buku-buku

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, “Bab-bab Tentang Penemuan


Hukum”, (Yogyakarta: Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 1
Karen E. Bravo, “Human Trafficking: Global and National Responses To
The Cries for Freedom,” Article, (Westlaw: University of St.
Thomas Law Journal, 2009), hal. 2
Farhana, Aspek Hukum Perdagangan Orang Di Idonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika,2010), hal. 1.
Amiruddin, Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian
Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 118.
Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika,
Jakarta, hlm. 23.
M. Syamsudin, 2021, Mahir Meneliti Masalah Hukum, Kencana,
Jakarta, hlm. 184.
Rahman Amin, 2020, op.cit, hlm. 25.
Alfitra, 2011, op.cit, hlm. 22.
Didik Endro Purwoleksono, 2015, Hukum Acara Pidana,
Airlangga University Pers, Surabaya hlm. 124.
J.C.T. Simorangkir DKK, 2009, Kamus Hukum, Sinar Grafika,
Jakarta, hlm 151.
Tina Asmarawati, 2014, Pidana dan Pemidaan Dalam Hukum
Indonesia, Deepublish, Yogyakarta, hlm. 69.

B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak


Pidana Perdagangan Orang
UUD 1945 Pasal 28 ayat (1), hasil amandemen ke-2, tanggal 18 Agustus 2000

C. Sumber Lain

Litigasi, 2018, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Pidana,


https://litigasi.co.id/hukum-acara/115/hukum-pembuktian-menurut-
hukum-acara-pidana, diakses pada tanggal 1 November 2021, pukul
20.25 wib.
Kartika Law Firm, 2020, Macam-Macam Saksi, http:/ /kartikanews. com/
macam - macam-saksi/, diakses pada tanggal 27 Oktober 2021, pukul
15.25 wib.
Admin Website, 2020, Teori-teori Pemidanaan dan Tujuan Pemidanaan,
https://www.lawyersclubs.com/teori-teori-pemidanaan-dan-tujuan-
pemidanaan/ , diakses pada tanggal 06 November 2021, pukul 00:01
wib.

16

Anda mungkin juga menyukai