Anda di halaman 1dari 56

PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU BALITA TENTANG

STUNTING PADA ANAK DI WILAYAH


KERJA PUSKESMAS BUNOBOGU
KECAMATAN BUNOBOGU
KABUPATEN BUOL

PROPOSAL

DIAJUKAN OLEH:

ANDIKA NOFRIAWAN SAPUTRA


PK 115 016 002

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN


INDONESIA JAYA
PALU, 2020

1
DAFTAR ISI
Isi Hal

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... ii
DAFTAR ISI..................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 1
A. Latar Belakang................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah............................................................................... 4
C. Tujuan penelitian.............................................................................. 4
D. Manfaat penelitian............................................................................. 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................... 6


A. Tinjauan Umum Tentang Stunting..................................................... 6
B. Tinjauan Umum Tentang Pengetahuan.............................................. 26
C. Tinjauan Umum Tentang Sikap......................................................... 31
D. Tinjauan Umum Tentang Ibu............................................................. 36
E. Tinjauan Umum Tentang Balita......................................................... 37
F. Landasan Teori................................................................................... 40
G. Kerangka Pikir................................................................................... 41

BAB III METODOLOGI PENELITIAN........................................................ 42


A. Jenis Penelitian................................................................................... 42
B. Waktu Dan Lokasi Penelitian.............................................................. 42
C. Variabel Dan Defenisi Operasional...................................................... 42
D. Jenis Data Pengumpulan Data............................................................. 44
E. Pengolahan Data.................................................................................. 44
F. Analisa Data....................................................................................... 45
G. Penyajian Data................................................................................... 46
H. Populasi dan sampel.......................................................................... 46

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 50
LAMPIRAN

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendek diidentifikasi dengan membandingkan tinggi seorang anak dengan

standar tinggi anak pada populasi yang normal sesuai dengan usia dan jenis

kelamin yang sama. Anak dikatakan pendek (stunting) jika tingginya berada

dibawah -2 SD dari standar WHO (Dewey & Begum, 2010 dan WHO, 2005,

dalam Trihono, 2015).

Indonesia merupakan salah satu negara dengan prevalensi stunting cukup

tinggi. Riskesdas melaporkan prevalensi stunting secara Nasional dari tahun ke

tahun berturut-turut dari tahun 2007, 2010 dan 2013 dan 2018 adalah 36,8 persen;

34,6 persen dan 37,3 persen, 30,8 persen. Data hasil pemantuan status gizi (PSG)

yang dilakukan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2017

menunjukkan prevalensi balita dengan masalah underweight adalah 17,5 persen,

stunting sebesar 30,6 persen dan balita wasting sebesar 10,1 persen. Istilah

underweight sendiri merupakan kondisi gabungan pada masalah gizi yang menitik

beratkan pada hasil penimbangan berat badan berdasarkan umur antara gizi buruk

dan gizi kurang (BB/U <-2 SD), stunting merupakan kondisi gabungan pada

masalah gizi yang menitikberatkan pada hasil pengukuran tinggi/panjang badan

3
berdasarkan umur antara sangat pendek dan pendek (TB/U <-2 SD) sedangkan

wasting merupakan kondisi gabungan pada masalah gizi yang menitikberatkan

pada hasil penimbangan berat badan dibandingkan hasil pengukuran

tinggi/panjang badan antara sangat kurus dan kurus BB/TB <-2 SD (Dinas

kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah, 2018)

Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menunjukan

prevalensi stunting dalam lingkup nasional sebesar 30,8 persen, terdiri dari

prevalensi pendek sebesar 19,3 persen dan sangat pendek sebesar 11,5 persen. Hal

ini menunjukan adanya penurunan prevalensi stunting dibandingkan tahun 2013

37,2 persen (Riskesdas, 2018).

Studi-studi saat ini menunjukkan bahwa anak pendek sangat berhubungan

dengan prestasi pendidikan yang buruk, lama pendidikan yang menurun dan

pendapatan yang rendah sebagai orang dewasa. Anak-anak pendek menghadapi

kemungkinan yang lebih besar untuk tumbuh menjadi dewasa yang kurang

pendidikan, miskin, kurang sehat dan lebih rentan terhadap penyakit tidak

menular. Oleh karena itu anak pendek merupakan prediktor buruknya kualitas

sumber daya manusia yang diterima secara luas, yang selanjutnya menurunkan

kemampuan produktif suatu bangsa di masa yang akan dating (Trihono, 2015).

Pendek (stunting) merupakan tragedi yang tersembunyi. Pendek terjadi

karena dampak kekurangan gizi kronis selama 1.000 hari pertama kehidupan anak.

Kerusakan yang terjadi mengakibatkan perkembangan anak yang irreversible

4
(tidak bisa diubah), anak tersebut tidak akan pernah mempelajari atau

mendapatkan sebanyak yang dia bisa (Trihono, 2015).

Di Indonesia, sekitar 37% (hampir 9 Juta) anak balita mengalami stunting

(Riset Kesehatan Dasar/ Riskesdas 2013) dan di seluruh dunia, Indonesia adalah

negara dengan prevalensi stunting kelima terbesar. Balita/Baduta (Bayi dibawah

usia Dua Tahun) yang mengalami stunting akan memiliki tingkat kecerdasan tidak

maksimal, menjadikan anak menjadi lebih rentan terhadap penyakit dan di masa

depan dapat beresiko pada menurunnya tingkat produktivitas. Pada akhirnya

secara luas stunting akan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan

kemiskinan dan memperlebar ketimpangan (TNP2K,2017)

Berdasarkan dari hasil penelitian Ade Nita Haerunnisa 2019, gambaran

pengetahuan ibu balita tentang stunting di wilayah kerja puskesmas baregbeg

kabupaten ciamis tahun 2019, menunjukkan bahwa pengetahuan ibu balita tentang

stunting di Wilayah Kerja Puskesmas Baregbeg Kecamatan Baregbeg Kabupaten

Ciamis Tahun 2019 hampir sebagian responden memiliki pengetahuan kurang

sebanyak 41 orang (42,7%).

Masalah kekurangan gizi secara global sampai saat ini masih mendapatkan

perhatian utama, terutama di sebagian negara berkembang. Masalah gizi tersebut

meliputi underweight, stunting, wasting dan defisiensi mikronutrien. Menurut

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 untuk Nasional, Prevalensi

underweight 17,7 persen , stunting 30,8 persen , wasting 12,2 persen serta tingkat

5
Provinsi Sulawesi Tengah underweight 19,6 persen,stunting 32,2 persen,wasting

12,2 persen (Dinas kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah, 2018).

Berdasarkan data awal yang didapatkan di Puskesmas Bunobogu, jumlah

balita stunting yang ada di wilayah kerja Puskesmas Bunobogu pada tahun 2020

berjumlah 19 orang balita (Puskesmas Bunobogu).

Hasil wawancara awal peneliti dengan 5 orang ibu balita, 3 orang ibu balita

mengatakan sama sekali tidak mengetahui apa itu stunting dan bagaimana cara

pencegahanya, sedangkan 2 ibu balita lainya sudah mengetahui apa itu stunting

namun tidak mengetahui cara pencegahanya.

Dari latar belakang masalah diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan

sebuah penelitian tentang “Pengetahuan Ibu balita tentang Stunting pada anak di

Wilayah Kerja Puskesmas Bunobogu”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang di atas maka penulis merumuskan

masalah dalam penelitian ini yaitu : “Bagaimanakah pengetahuan dan sikap ibu

balita tentang stunting pada anak di wilayah kerja Puskesmas Bunobogu”.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah diketahuianya Pengetahuan ibu balita

tentang stunting pada anak di wilayah kerja Puskesmas Bunobogu.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Puskesmas Bunobogu

6
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan masukan

bermanfaat bagi Puskesmas Bunobogu, pengetahuan ibu balita tentang stunting

pada anak di wilayah kerja Puskesmas Bunobogu.

2. Bagi STIK Indonesia Jaya palu

Sebagai bahan referensi perpustakaan dan bahan kajian ilmiah bagi

mahasiswa maupun peneliti lain.

3. Bagi Peneliti

Penelitian ini dapat dijadikan sebagai pengalaman dan dapat

memperluas wawasan tentang masalah yang terjadi di masyarakat yang

berkaitan dengan pengetahuan ibu balita tentang stunting.

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Stunting

1. Pengertian Stunting

Stunting (kerdil) adalah kondisi dimana balita memiliki panjang atau

tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan umur. Kondisi ini diukur

dengan panjang atau tinggi badan yang lebih dari minus dua standar deviasi

median standar pertumbuhan anak dari WHO. Balita stunting termasuk

masalah gizi kronik yang disebabkan oleh banyak faktor seperti kondisi sosial

ekonomi, gizi ibu saat hamil, kesakitan pada bayi, dan kurangnya asupan gizi

pada bayi. Balita stunting di masa yang akan datang akan mengalami

kesulitan dalam mencapai perkembangan fisik dan kognitif yang optimal

(Kemenkes RI, buletin jendela data informasi kesehtan 2018).

Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat dari

kekurangan gizi kronis sehingga anak menjadi terlalu pendek untuk usianya.

Kekurangan gizi dapat terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa

awal setelah anak lahir, tetapi baru nampak setelah anak berusia 2 tahun, di

mana keadaan gizi ibu dan anak merupakan faktor penting dari pertumbuhan

anak. Periode 0-24 bulan usia anak merupakan periode yang menentukan

8
kualitas kehidupan sehingga disebut dengan periode emas. Periode ini

merupakan periode yang sensitif karena akibat yang ditimbulkan terhadap

bayi masa ini bersifat permanen, tidak dapat dikoreksi. Diperlukan

pemenuhan gizi adekuat usia ini. Mengingat dampak yang ditimbulkan

masalah gizi ini dalam jangka pendek adalah terganggunya perkembangan

otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme

dalam tubuh. Jangka panjang akibat dapat menurunnya kemampuan kognitif

dan prestasi belajar, dan menurunnya kekebalan tubuh (Branca F, Ferrari M,

2002; Black dkk, 2008 dalam Atikah Rahayu, 2018).

Masalah gizi pada anak secara garis besar merupakan dampak dari

ketidakseimbangan antara asupan dan keluaran atau sebaliknya, di samping

kesalahan dalam memilih bahan makanan untuk dikonsumsi (Arisman,2010).

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1995/MENKES/SK/XII/2010

tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak, pengertian pendek

dan sangat pendek adalah status gizi yang didasarkan pada indeks Panjang

Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) yang

merupakan padanan istilah stunted (pendek) dan severely stunted (sangat

pendek). Balita pendek (stunting) dapat diketahui bila seorang balita sudah

diukur panjang atau tinggi badannya, lalu dibandingkan dengan standar, dan

hasilnya berada di bawah normal.

9
Stunting menggambarkan status gizi kurang yang bersifat kronik pada

masa pertumbuhan dan perkembangan sejak awal kehidupan. Keadaan ini

dipresentasikan dengan nilai z-score tinggi badan menurut umur (TB/U)

kurang dari -2 standar deviasi (SD) berdasarkan standar pertumbuhan menurut

WHO (WHO, 2010). Stunting didefinisikan sebagai indeks tinggi badan

menurut (TB/U) kurang dari minus dua standar deviasi (-2 SD) atau dibawah

rata-rata standar yang ada dan serve stunting didefinisikan kurang dari -3 SD

(ACC/SCN, 2000).

Salah satu indikator gizi bayi lahir adalah panjang badan waktu lahir

disamping berat badan adalah panjang badan waktu lahir. Panjang bayi lahir

dianggap normal antara 48-52 cm. Jadi, panjang lahir <48 cm tergolong bayi

pendek. Namun bila ingin mengaitkan panjang badan lahir dengan risiko

mendapatkan penyakit tidak menular waktu dewasa nanti, WHO (2005)

menganjurkan nilai batas <50 cm. Berat dan panjang badan lahir di catat atau

disalin berdasarkan dokumen/catatan yang dimilki dari sampel balita, seperti

buku KIA, KMS, atau buku catatan kesehatan anak lainnya. Tinggi badan

merupakan parameter yang penting untuk keadaan sekarang maupun keadaan

yang lalu, apabila umur tidak diketahui dengan tepat. Selain itu, tinggi badan

merupakan ukuran kedua yang penting, sebab dengan menghubungkan berat

badan menurut tinggi bada, faktor umur dapat ditiadakan. Pengukuran tinggi

badan untuk balita sudah bisa berdiri tegak menggunakan alat pengukur

mikrotoa (microtoise) dengan ketelitian 0,1 cm (Supariasa, 2012).

10
2. Dampak Stunting

Dampak jangka pendek yaitu pada masa kanak-kanak, perkembangan

menjadi terhambat, penurunan fungsi kognitif, penurunan fungsi kekebalan

tubuh, dan gangguan sistem pembakaran. Pada jangka panjang yaitu pada

masa dewasa, timbul risiko penyakit degeneratif, seperti diabetes mellitus,

jantung koroner, hipertensi, dan obesitas. Menurut laporan UNICEF (1998)

beberapa fakta terkait stunted dan dampaknya antara lain sebagai berikut:

a. Anak-anak yang mengalami stunted lebih awal yaitu sebelum usia

enam bulan, akan mengalami stunted lebih berat menjelang usia dua

tahun. Stunted yang parah pada anak-anak akan terjadi defisit jangka

panjang dalam perkembangan fisik dan mental sehingga tidak mampu

untuk belajar secara optimal di sekolah, dibandingkan anak- anak dengan

tinggi badan normal.

b. Anak-anak dengan stunted cenderung lebih lama masuk sekolah dan lebih

sering absen dari sekolah dibandingkan anak-anak dengan status gizi

baik. Hal ini memberikan konsekuensi terhadap kesuksesan anak dalam

kehidupannya dimasa yang akan datang.

c. Pengaruh gizi pada anak usia dini yang mengalami stunted dapat

mengganggu pertumbuhan dan perkembangan kognitif yang kurang.

Anak stunted pada usia lima tahun cenderung menetap sepanjang hidup,

11
kegagalan pertumbuhan anak usia dini berlanjut pada masa remaja dan

kemudian tumbuh menjadi wanita dewasa yang stunted dan

mempengaruhi secara langsung pada kesehatan dan produktivitas,

sehingga meningkatkan peluang melahirkan anak dengan BBLR. Stunted

terutama berbahaya pada perempuan, karena lebih cenderung

menghambat dalam proses pertumbuhan dan berisiko lebih besar

meninggal saat melahirkan.

Stunting memiliki dampak pada kehidupan balita, WHO

mengklasifikasikan menjadi dampak jangka pendek dan dampak jangka

panjang:

1. Concurrent problems & short-term consequences atau dampak jangka

pendek:

a. Sisi kesehatan: angka kesakitan dan angka kematian meningkat.

b. Sisi perkembangan: penurunan fungsi kognitif, motorik, dan

perkembangan bahasa.

c. Sisi ekonomi: peningkatan health expenditure, peningkatan

pembiayaan perawatan anak yang sakit.

2. Long-term consequences atau dampak jangka panjang:

a. Sisi kesehatan: perawakan dewasa yang pendek, peningkatan

obesitas dan komorbid yang berhubungan, penurunan kesehatan

reproduksi.

12
b. Sisi perkembangan: penurunan prestasi belajar, penurunan

learning capacity unachieved potensial.

c. Sisi ekonomi: penurunan kapasitas kerja dan produktifitas

kerja.

3. Diagnosis dan Klasifikasi

Balita pendek (stunting) dapat di ketahui bila seseorang balita sudah di

ukur panjang dan tinggi badannya, lalu di bandingkan dengan standar dan

hasilnya berada di bawah normal. Secara fisik balita akan lebih pendek di

bandingkan balita seumurnya (Kemenkes,2016).

Kependekan mengacu pada anak yang memiliki indeks TB/U rendah.

Pendek dapat mencerminkan baik variasi normal dalam pertumbuhan ataupun

defisit dalam pertumbuhan. Stunting adalah pertumbuhan linier yang gagal

mencapai potensi genetik sebagai hasil dari kesehatan atau kondisi gizi yang

sub obtimal (Anisa,2012). Berikut klasifikasi status gizi stunting berdasarkan

tinggi badan/panjang badan ditunjukan dalam tabel 2.1

Tabel 2.1 Kategori Ambang Batas Status Gizi Berdasarkan Indeks

(PB/U)(TB/U).

Indeks Kategori Status Gizi Ambang Batas (z-score)


Panjang badan menurut umur Sangat prndek <-3SD
Pendek -3SD sampai dengan <-2SD
(PB/U) atau Normal -2SD sampai dengan 2SD
Tinggi >2SD
Tinggi badan menurut unur

(TB/U)

Anak Umur 0-60 bulan

13
Sumber: Standar Antopometri Penilaian Status Gizi Anak (Kemenkes RI,

2011)

4. Faktor – faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting pada balita

a. jenis kelamin

Jenis kelamin menentukan besarnya kebutuhan gizi bagi

seseorang sehingga terdapat keterkaitan antara status gizi dan jenis

kelamin (Apriadji, 1986). Perbedaan besarnya kebutuhan gizi tersebut

dipengaruhi karena adanya perbedaan komposisi tubuh antara laki- laki

dan perempuan. Perempuan memiliki lebih banyak jaringan lemak dan

jaringan otot lebih sedikit daripada laki- laki. Secara metabolik, otot

lebih aktif jika dibandingkan dengan lemak, sehingga secara

proporsional otot akan memerlukan energi lebih tinggi daipada lemak.

Dengan demikian, laki- laki dan perempuan dengan tinggi badan, berat

badan dan umur yang sama memiliki komposisi tubuh yang berbeda,

sehingga kebutuhan energi dan gizinya juga akan berbeda (Almatsier,

2001 dalam Atikah Rahayu, 2018).

Faktor budaya juga dapat mempengaruhi status gizi pada anak

laki- laki dan perempuan. Pada beberapa kelompok masyarakat,

perempuan dan anak perempuan mendapat prioritas yang lebih rendah

dibandingkan laki- laki dan anak laki- laki dalam pengaturan konsumsi

pangan. Hal tersebut mengakibatkan perempuan dan anak perempuan

merupakan anggota keluarga yang rentan terhadap pembagian pangan

14
yang tidak merata. Bahkan, pada beberapa kasus, mereka memperoleh

pangan yang disisakan setelah angota keluarga prima makan

(Soehardjo, 1989 dalam Atikah Rahayu, 2018).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa presentase gizi kurang

pada balita perempuan lebih tinggi (17,9%) dibandingkan dengan

balita laki- laki (13.8%) (Suyadi, 2009). Penelitian lain menunjukkan

bahwa presentasi kejadian stunting pada balita laki- laki lebih besar

daripada kejadian stunting pada perempuan. Hal ini boleh jadi

disebabkan karena balita laki- laki pada umumnya lebih aktif daripada

balita perempuan. Balita laki- laki pada umumnya lebih aktif bermain

di luar rumah, seperti berlarian, sehingga mereka lebih mudah

bersentuhan dengan lingkungan yang kotor dan menghabiskan energi

yang lebih banyak, sementara asupan energinya terbatas (Martianto

dkk, 2008 dalam Atikah Rahayu, 2018).

b. Pendidikan Orang Tua

Pada penelitian Astari, Nasoetion dan Dwiriani (2005) tingkat

pendidikan ayah pada anak stunting lebih rendah dibandingkan dengan

anak normal, hal ini menunjukkan pendidikan orang tua akan

berpengaruh terhadap pengasuhan anak karena dengan pendidikan

yang tinggi pada orang tua akan memahami pentingnya pernanan

orang tua dalam pertumbuhan anak. Selain itu dengan pendidikan yang

baik diperkirakan memiliki pengetahuan gizi yang baik pula, ibu

15
dengan pengetahuan gizi yang baik akan tahu bagaimana mengolah

makanan, mengatur menu makanan serta menjaga mutu dan

kebersihan makanan dnegan baik. Pendidikan tinggi dapat

mencerminkan pendapatan yang lebih tinggi dan ayah akan lebih

mendapat perhatian gizi anak. Ibu yang berpendiidkan diketahui lebih

luas pengetahuannya tentang praktik perawatan anak sesuai dengan

penelitian Siti Wahdah (2015).

c. Pekerjaan Orang Tua

Pekerjaan merupakan faktor penting dalam menentukan

kualitas dan kuantitas pangan, karena pekerjaan berhubungan dengan

pendapatan dengan demikian terdapat asosiasi antara pendapatan

dengan gizi, apabila pendapatan meningkat maka bukan tidak mungkin

kesehatan dan masalah keluarga yang berkaitan dengan gizi

mengalami perbaikan. Faktor ibu yang bekerja di luar rumah biasanya

sudah mempertimbangkan untuk perawatan anaknya, namun tidak ada

jaminan untuk hal tersebut. Sedangkan ibu yang bekerja di rumah tidak

memilki alternative untuk merawat anaknya. Terkadang ibu memilki

masalah dalam pemberian makanan untuk anak kurang diperhatikan

juga, karena ibu merasa sudah merawat anaknya, misalnya dalam

pemberian ASI eksklusif (on demand). Menurut survey awal pada

penilitian ini banyak ibu yang berkerja di luar rumah yang membuat

pengasuhan anak dialihkan oleh nenek namun dengan masalah apabila

16
anak tidak mau makan nasi beserta lauk nenek akan memberi makanan

ringan bahkan permen atau apapun yang diinginkan anak tanpa

memperhatikan asupan gizi yang dibutuhkan oleh anak sehingga masih

banyak anak stunting dengan berat badan yang rendah, sesuai dengan

penelitian Siti Wahdah (2015).

d. Pendapatan Keluarga

Pendapatan keluarga adalah jumlah penghasilan riil dari

seluruh anggota rumah tangga yang digunakan untuk memenuhi

kebutuhan bersama maupun perseorangan dalam rumah tangga.

Pendapatan keluarga adalah sebagai pendapatan yang diperoleh dari

seluruh anggota yang bekerja baik dari pertanian maupun dari luar

pertanian (Subandi, 2001 dalam Geti Wulandari, 2015).

Besarnya pendapatan yang diperoleh atau diterima rumah

tangga dapat menggambarkan kesejahteraan suatu masyarakat. Namun

demikian, data pendapatan yang akurat sulit diperoleh, sehingga

dilakukan pendekatan melalui pengeluaran rumah tangga. Pengeluaran

rumah tangga dapat dibedakan menurut pengeluaran makanan dan

bukan makanan, dimana menggambarkan bagaimana penduduk

mengalokasikan kebutuhan rumah tangganya. Pengeluaran untuk

konsumsi makanan dan bukan makanan berkaitan erat dengan tingkat

pendapatan masyarakat. Di Negara yang sedang berkembang,

17
pemenuhan kebutuhan makanan masih menjadi prioritas utama,

dikarenakan untuk memenuhi kebutuhan gizi (Atikah Rahayu, 2018).

Dengan karakteristik ekonomi yang rendah pada kelompok

anak stunting dan normal, ternyata kelompok anak normal yang miskin

memiliki pengasuhan yang lebih baik dibandingkan dengan kelompok

anak stunting dari keluarga kurang mampu (Astari, dkk, 2005).

Peningkatan pendapatan rumah tangga berhubungan dengan penurunan

drmatis terhadap probabilitas stunting pada anak. Beberapa studi

menunjukkan bahwa peningkatan pendapatan pada penduduk kurang

mampu adalah strategi untuk membatasi tingginya kejaidan stunting

dalam sosio-ekonomi rendah pada segmen populasi. Malnutrisi

terutama stunting lebih dipengaruhi oleh dimensi sosio-ekonomi

sehingga harus dilihat harus dilihat dalam koteks yang lebih luas dan

tidak hanya dalam ranah biomedis (Zere & McIntyle, 2003). Proporsi

anak yang stunting lebih banyak terjadi pada rumah tangga dengan

pendapatan keluarga yang tergolong rendah sesuai dengan penelitian

Siti Wahdah (2015).

e. ASI Eksklusif

ASI Eksklusif adalah cairan yang diberikan pada bayi yang

baru lahir sebagai asupan pertama kali. ASI diberikan pada bayi sejak

lahir sampai umur enam bulan tanpa menambahkan makanan

tambahan lain kecuali obat dan vitamin. Pemberian ASI Eksklusif

18
dapat memenuhi kebutuhan gizi bayi serta melindungi bayi dari

berbagai penyakit seperti diare dan infeksi saluran pernafasan

(KEMENKES RI, 2010; Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun

2012). ASI sebaiknya diberikan sesuai kemauan dari bayi tanpa adanya

batasan waktu maupun frekuensinya (Riskesdas, 2010).Manfaat

pemberian ASI eksklusif tidak hanya dirasakan oleh bayi, tetapi juga

oleh ibu, lingkungan bahkan negara. Manfaat ASI, sebagai berikut:

1. Sumber gizi terbaik dan paling ideal dengan komposisi yang seimbang

sesuai dengan kebutuhan bayi pada masa pertumbuhan

2. ASI mengandung berbagai zat kekebalan sehingga bayi akan jarang

sakit, mengurangi diare, sakit telinga, dan infeksi saluran pernafasan.

3. ASI mengandung asam lemak yang diperlukan untuk pertumbuhan

otak sehingga bayi yang mendapatkan ASI eksklusif potensial akan

lebih unggul pada prestasi/meningkatkan kecerdasan.

4. ASI sebagai makanan tunggal untuk memenuhi kebutuhan

pertumbuhan sampai usia enam bulan.

Guna menjamin anak akan protein yang bermutu tinggi,

sehingga terhindar dari baya kwahiokor, Jelliefe menganjurkan

penggunaan 3 sumber protein secara maksimal yaitu:

1. Anak diberi ASI selama mungkin sepanjang ASI masih keluar.

2. Anak diberi campuran protein nabati dari biji-bijian (serelia) dan

kacang-kacangan (leguminosa).

19
3. Berikan bahan makanan sumber protein hewani setempat yang

mudah didapat dan murah harganya (dapat dijangkau masyarakat).

Risiko menjadi stunting 3,7 kali lebih tinggi pada balita yang

tidak diberi ASI eksklusif (ASI <6 bulan) dibandingkan dengan balita

yang diberi ASI eksklusif (>6bulan) (Hien dan Kam, 2008, dalam

Atika Rahayu, 2018). Hal ini mungkin disebabkan karena kolostrum

memberikan efek perlindungan pada bayi baru lahir dan bayi yang

tidak menerima kolostrum mungkin memiliki insiden, durasi dan

keparahan penyakit yang lebih tinggi seperti diare yang berkontribusi

terhadap kekurangan gizi. Penelitian lain juga menyebutkan pemberian

kolustrum pada bayi berhubungan dengan kejadian stunting (Kumar, et

al., 2006 dalam Atika Rahayu, 2018 ). Hal ini sesuai dengan penelitian

siti Wahdah (2015). Penyebab tidak diberikannya ASI esksklusif:

1. Ibu meninggal saat melahirkan atau saat masih masa menyusui

bayinya.

2. ASI yang menyusui mengalami sakit berat tang secara medis tidak

diperbolehkan menyusui bayinya.

3. Pengetahuan ibu tentang ASI eksklusif yang masih rendah sehingga

menimbulkan rasa tidak percaya diri saat menyusui yang menyebabkan

ASI tidak keluar.

4. Dukungan keluarga tentang ASI eksklusif yang masih rendah.

f. Pola Pemberian Makan

20
Pola makan pada balita sangat berperan penting dalam proses

pertumbuhan pada balita, karena dalam makanan banyak mengandung

gizi. Gizi menjadi bagian yang sangat penting dalam pertumbuhan.

Gizi didalamnya memiliki keterkaitan yang sangat erat hubungannya

dengan kesehatan dan kecerdasan. Jika pola makan tidak tercapai

dengan baik pada balita maka pertumbuhan balita akan terganggu,

tubuh kurus, pendek bahkan bisa terjadi gizi buruk pada balita.

Stunting sangat erat kaitannya dengan pola pemberian makanan

terutama pada 2 tahun pertama kehidupan, pola pemberian makanan

dapat mempengaruhi kualitas konsumsi makanan balita, sehingga

dapat mempengaruhi status gizi balita. Pemberian ASI yang kurang

dari 6 bulan dan MP-ASI terlalu dini dapat meningkatkan risiko

stunting karena saluran pencernaan bayi belum sempurna sehingga

lebih mudah terkena penyakit infeksi seperti diare dan ISPA. Pola

pemberian makanan anak balita terdiri dari tingkat asupan makanan

dan frekuensi pemberian makanan, hal ini sesuai dengan penelitian

Wanda Lestari (2014).

Frekuensi konsumsi pangan per hari merupakan salah satu

aspek dalam kebiasaan makan. Frekuensi konsumsi pangan pada anak,

ada yang terikat pada pola pemberian makanan 3 kali per hari tetapi

banyak pula yang mengkonsumsi pangan antara 5 sampai 7 kali per

hari atau lebih. Frekuensi pola pemberian makanan yang ideal menurut

21
Suryansyah (2012) adalah 3 kali sehari dengan jam makan yang teratur

seperti pola jam 8, jam 12 dan jam 18.

Frekuensi konsumsi pangan bisa menjadi salah satu cara untuk

mengetahui tingkat kecukupan gizi, artinya semakin tinggi frekuensi

konsumsi pangan, maka peluang terpenuhinya kecukupan gizi semakin

besar. Faktor yang mempengaruhi pola pemberian makanan yang

terbentuk sangat erat kaitannya dengan kebiasaan makan seseorang.

Secara umum faktor yang mempengaruhi terbentuknya pola pemberian

makanan adalah faktor ekonomi, sosial budaya, agama, pendidikan dan

lingkungan.

1. Faktor Ekonomi

Variabel ekonomi yang cukup dominan dalam meningkatkan

peluang untuk membeli pangan dengan kuantitas dan kualitas yang

lebih baik, sebaliknya penurunan pendapatan akan menyebabkan

menurunnya daya beli pangan yang baik secara kualitas maupun

kuantitas. Meningkatnya taraf hidup (kesejahteraan) masyarakat,

pengaruh promosi melalui iklan serta kemudahan informasi, dapat

menyebabkan perubahaan gaya hidup dan timbulnya kebutuhan

psikogenik baru dikalangan masyarakat ekonomi menengah ke atas.

Tingginya pendapatan yang tidak diimbangi pengetahuan gizi yang

cukup, akan menyebabkan seseorang menjadi sangat konsumtif dalam

pola makannya sehari-hari, sehingga pemilihan suatu bahan makanan

22
lebih didasarkan kepada pertimbangan selera dibandingkan aspek gizi.

Kecenderungan untuk mengkonsumsi makanan impor, terutama jenis

siap santap (fast food), seperti ayam goreng, pizza, hamburger dan

lain-lain, telah meningkat tajam terutama dikalangan generasi muda

dan kelompok masyarakat ekonomi menengah ke atas. (Purwani &

Mariyam, 2013).

2. Faktor Sosial Budaya

Pantangan dalam mengkonsumsi jenis makanan tertentu dapat

dipengaruhi oleh faktor budaya/kepercayaan. Pantangan yang didasari

oleh kepercayaan pada umumnya mengandung perlambangan atau

nasihat yang dianggap baik ataupun tidak baik yang lambat laun akan

menjadi kebaisaan/adat. Kebudayaan suatu masyarakat mempunyai

kekuatan yang cukup besar untuk mempengaruhi seseorang dalam

memilih dan mengolah pangan yang akan dikonsumsi. Budaya

mempengaruhi seseorang dalam menentukkan apa yang akan dimakan,

bagaimana pengolahannya, persiapan dan penyajiannya serta untuk

siapa dan dalam kondisi bagaimana pangan tersebut dikonsumsi.

Tidak sedikit makanan yang dianggap tabu adalah baik jika

ditinjau dari kesehatan, salah satu contohnya adalah anak balita tabu

mengkonsumsi ikan laut karena dikhawatirkan akan menyebabkan

cacingan. Padahal dari segi kesehatan berlaku sebaliknya

mengkonsumsi ikan sangat baik bagi balita karena memiliki

23
kandungan protein yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan bila

kekurangan protein akan berdampak pada kejadian anak pendek atau

stunting. Terdapat 3 kelompok anggota masyarakat yang sering

memiki pantangan terhadap makanan tertentu yaitu balita, ibu hamil,

dan ibu menyusui.

3. Pendidikan

Pendidikan dalam hal ini biasanya dikaitkan dengan

pengetahuan, akan berpengaruh terhadap pemilihan bahan makanan

dan pemenuhan kebutuhan gizi. Salah satu contih, prinsip yang

dimiliki seseorang dengan pendidikan rendah biasanya adalah yang

penting mengenyangkan, sehingga porsi bahan makanan sumber

karbohidrat lebih banyak dibandingkan dengan kelompok dengan

orang pendidikan tinggi memiliki kecenderungan memilih bahan

makanan sumber protein dan berusaha menyeimbangkan dengan

kebutuhan zat gizi lain.

4. Lingkunggan

Faktor lingkungan cukup besar pengaruhnya terhadap

pembentukan pola pemberian makanan. Lingkungan yang di maksud

dapat berupa lingkungan keluarga serta adanya promosi melalui media

cetak, kebiasaan makan dalam keluarga sangat berpengaruh besar

terhadap pola pemberian makan seseorang, kesuakaan seseorang

terhadap makanan terbentuk dari kebiasaan yan terdapat dalam

24
keluarga. Lingkungan sekolah, termasuk didalamnya para guru, teman

sebaya dan keberadaan tempat jajan sangat mempengaruh

terbentuknya pola makan.

g. Penyakit Infeksi

Penyebab langsung malnutrisi adalah diet yang tidak adekuat

dan penyakit. Manifestasi malnutrisi ini disebabkan oleh perbedaan

antara jumlah zat gizi yang diserap dari makanan dan jumlah zat gizi

yang dibutuhkan oleh tubuh. Hal ini terjadi sebagai konsekuensi dari

terlalu sedikit mengkonsumsi makanan atau mengalami infeksi, yang

meningkatkan kebutuhan tubuh akan zat gizi, mengurangi nafsu

makan, atau mempengaruhi penyerapan zat gizi di usus.

Kenyataannya, malnutrisi dan infeksi sering terjadi pada saat

bersamaan. Malnutrisi dapat meningkatkan risiko infeksi, sedangkan

infeksi dapat menyebabkan malnutrisi yang mengarahkan ke lingkaran

setan. Anak kurang gizi, yang daya tahan terhadap penyakitnya rendah,

jatuh sakit dan akan menjadi semakin kurang gizi, sehingga

mengurangi kapasitasnya untuk melawan penyakit dan sebagainya. Ini

disebut juga infectionmalnutrition (Maxwell, 2011 dalam atikah

rahayu, 2018).

Status kesehatan balita meliputi kejadian diare dan infeksi

saluran pernafasan akut (ISPA) pada balita. Diare adalah buang air

besar dengan frekuensi yang meningkat dan konsistensi tinja yang

25
lebih lunak dan cair yang berlangsung dalam kurun waktu minimal 2

hari dan frekuensinya 3 kali dalam sehari. Bakteri penyebab utama

diare pada bayi dan anak-anak adalah enteropathogenic escherichia

coli (EPEC). Menurut Levine dan Edelman, Bakteri EPEC juga

diyakini menjadi penyebab kematian ratusan ribu anak di negara

berkembang setiap tahunnya. Hal ini juga diungkapkan oleh Budiarti,

bahwa di Indonesia 53% dari bayi dan anak penderita diare terinfeksi

EPEC. Oleh karena itu, penyakit diare merupakan salah satu masalah

kesehatan utama dibanyak negara berkembang, termasuk Indonesia.

Hasil penelitian Astari, et al (2005) menemukan bahwa praktek

sanitasi pangan mempengaruhi kejadian stunting melalui peningkatan

kerawatan terhadap penyakit diare, sementara praktek sanitasi

lingkungan mempengaruhi kejadian stunting melalui peningkatan

kerawanan terhadap penyakit ISPA (Astari, L.D., Nasoetion, A., dan

Dwiriani, C.M., 2005 dalam atikah rahayu, 2018).

Sanitasi di daerah kumuh biasanya kurang baik dan keadaan

tersebut dapat menyebabkan meningkatnya penularan penyakit infeksi.

Di negara berkembang penyakit infeksi pada anak merupakan masalah

yang kesehatan yang penting dan diketahui dapat mempengaruhi

pertumbuhan anak. Beberapa contoh infeksi yang sering dialami yaitu

infeksi enterik seperti diare, enteropati, dan cacing, dapat juga

disebabkan oleh infeksi pernafasan (ISPA), malaria, berkurangnya

26
nafsu makan akibat serangan infeksi, dan inflamasi (Masithah,

Soekirman, dan Martianto, 2005 dalam Atikah Rahayu, 2018).

h. Pencegahan Stunting

Tercamtum pada Buku Kerangka Kebijakan Gerakan Nasional

Sadar Gizi (2012) dalam rangka penanganan stunting pada tingkat

internasional PBB mencanangkan Scaling Up Nutrition (SUN)

Movement. SUN adalah gerakan global dengan prinsip semua orang di

dunia berhak mendapatkan makanan dan gizi yang baik. Anggota sun

terdiri dari berbagai negar, masyarakat madani, lembaga donor,

pengusaha, dan peneliti. Sedangkan pada tingkat nasional, maka untuk

mempercepat upaya penurunan prevalensi stunting pemerintah

menerbitkan Peraturan Presiden No. 42 tahun 2013 Tentang Gerakan

Nasional Percepatan Perbaikan Gizi dengan fokus pada 1.000 hari

pertama kehidupan. Gerakan Nasional tersebut merupakan upaya

bersama antara pemerintah dan masyarakat untuk bersama – sama

menurunkan prevalensi stunting dengan memenuhi kebutuhan dasar

ibu hamil dan anak usia 0-2 tahun. Bentuk nyata pencegahan stunting

yang telah dan akan di lakukan meliputi :

1. Pemenuhan kebutuhan zat gizi bagi ibu hamil. Ibu hamil harus

mendapatkan makanan yang cukup gizi, suplementasi zat gizi ( tablet

zat besi atau fe ) dan terpantau kesehatanya.

27
2. ASI Eksklusif sampai umur 6 bulan dan setelah umur 6 bulan diberi

makanan pendamping ASI (MPASI) yang cukup jumlah dan

kualitasnya.

3. Memantau pertumbuhan balita di posyandu merupakan upaya yang

sangat strategis untuk mendeteksi dini terjadinya ganguan

pertumbuhan.

4. Meningkatkan akses terhadap air bersih dan fasilitas sanitasi, serta

menjaga kebersihan lingkungan (BKKSGNSG 2012)

B. Tinjauan Umum Tentang Pengetahuan

1. Pengertian

Menurut (Notoatmodjo, 2012), pengetahuan adalah merupakan hasil

“tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu

objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra

penglihatan, pendengaran, penciuman, perasaan dan perabaan. Sebagain

pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.

2. Tingkat pengetahuan

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting

untuk terbentuknya tindakan seseorang (over behavior). Dari pengalaman dan

penelitian ternyata prilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih

langgeng dari pada prilaku yang tidak didasari pengetahuan, pengetahuan

yang cukup didalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan, yaitu

(Notoatmodjo, 2012).

28
a. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai kemampuan untuk materi yang telah dipelajari

sebelumnya, termasuk dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat

kembali (reccal) sesuatu yang spesifik dan seluruh bahan yang dipelajari atau

rangsangan yang diterima. Seseorang dapat dikatakan tahu bila ia dapat

menyebutkan, menguraikan, mendefenisikan, menyatakan dan menguraikan

dari materi yang dipelajari.

b. Memahami (comprenhensio)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara

benar tentang obyek yang diketahui, seseorang dapat dikatakan paham bila ia

dapat menjelaskan, menyimpulkan contoh ataupun menyimpulkan obyek

materi atau obyek yang dipelajari.

c. Aplikasi (application)

Aplikasi dapat diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan

materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi nyata. Contohnya dapat

menggunakan prinsip-prinsip siklus pencegahan masalah (problem solving

cycle) didalam memecahkan masalah kesalahan dari kasus yang diberikan.

d. Analisa (analysis)

Analisa diartikan sebagai kemampuan menjabarkan suatu obyek

kedalam komponen-komponen yang masih ada. Kaitanya misalnya dapat

menggambarkan, membedakan, memisahkan, mengelompokan dan

sebagainya.

29
e. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjukan suatu kemampuan untuk menyusun atau

menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

Misalnya dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkas dan

sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.

f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi adalah kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap

suatu obyek atau kegiatan berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri

atau kriteria yang telah ada (Notoatmodjo, 2012).

3. Proses perilaku “tahu”

(Notoatmodjo, 2012) mengungkapkan bahwa sebelum orang

mengadopsi perilaku baru (berprilaku baru), didalam diri orang tersebut

terjadi proses yang berurutan,yakni:

a. Awareness (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari dalam arti

mengetahui stimulus (obyek) terlebih dahulu.

b. Interest (merasa tertarik), yakni orang yang mulai tertarik terhadap

stimulus.

c. Evaluation (mempertimbangkan), yakni menimbang-nimbang baik dan

tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Hal in berarti sikap responden

sudah lebih baik.

d. Trial, orang yang telah mencoba perilaku baru.

30
e. Adaption, subyek telah berprilaku baru sesuai dengan pengetahuan,

kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus. Subyek telah berprilaku baru

sesuai dengan pengetahuan, kesadaranya terhadap stimulus.

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan

a. Faktor Internal

1. Pendidikan

Pendidikan berarti bimbingan seseorang terhadap

perkembangan orang lain menuju kearah cita-cita tertentu yang

menentukan manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupan untuk

mencapai keselamatan dan kebahagiaan. Pendidikan diperlukan untuk

mendapatkan informasi misalnya hal-hal yang menunjang kesehatan

sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup. pendidikan dapat

mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku seseorang. Pola

hidup terutama dalam memotivasi untuk sikap berperan serta dalam

pembangunan, dan tingkat pendidikan turut menentukan seseorang

menyerap dan memahami pengetahuan yang diperoleh. Pada umumnya

makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi.

2. Pekerjaan

Pekerjaan adalah kebutuhan yang harus dilakukan terutama

untuk menunjang kehidupanya dan kehidupan keluarga. Pekerjaan

bukanlah sumber kesenangan, tetapi lebih bayak merupakan cara

mencari nafkah, berulang dan banyak tantangan. Sedangkan pekerjaan

31
umumnya merupakan kegiatan yang menyita waktu. Pekerjaan

seseorang dapat mencerminkan kualitas dan kualifikasi pengetahuan

serta tingkat pendidikanya.

3. Umur

Usia adalah umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan

sampai ulang tahun, semakin cukup umur, tingkat kematangan dan

kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja. Dari

segi kepercayaan masyarakat seseorang yang lebih dewasa dipercaya

dari orang yang belum tinggi kedewasaanya. Hal ini sebagai dari

pengalaman dan kematangan jiwa. Akan tetapi proses perkembangan

tidak secepat ketika berumur muda.

b. Faktor Eksternal

1) Faktor Lingkungan

Lingkungan merupakan suatu kondisi yang ada disekitar

manusia baik lingkungan fisik, biologis, maupun social. Lingkungan

yang dapat mempengaruhi perkembangan dan proses masuknya

pengetahuan kedalam individu atau kelompok. Hal ini terjadi karena

adanya interaksi timbal balik ataupun respon dari pengetahuan setiap

individu.

2) Sosial Budaya

Kebiasaan dan tradisi yang dilakukan orang tanpa melalui

penalaran yang dilakukan baik atau buruk. Sistem sosial budaya yang

32
ada pada masyarakat dapat mempengaruhi dari sikap dalam menerima

informasi (Notoatmodjo 2007, dalam Wawan dan Dewi, 2011).

5. Pengukuran tingkat pengetahuan

Pengukuran dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang

menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau

responden (Notoadmojo, S. 2012)

Cara pengukuran pengetahuan menurut Arikunto yaitu :

1. Kategori baik, jika skor jawaban responden 76 % - 100 %

2. Kategori cukup, jika skor jawaban responden 56 % - 75 %

3. Kategori kurang, jika skor jawaban responden < 56 %

C. Tinjauan Umum Tentang Sikap

1. Pengertian

Allport (1924) dalam Notoatmodjo (2014) menyebutkan bahwa sikap

merupakan konsep yang sangat penting dalam komponen sosio-psikologis,

karena merupakan kecenderungan bertindak, dan berpersepsi. Sikap adalah

respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah

melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang – tidak

senang, setuju – tidak setuju, baik – tidak baik dan sebagainya).

2. Tingkatan Sikap

Menurut Notoatmodjo (2012), tingkatan sikap terbagi menjadi 4 yaitu :

a. Menerima (receiving)

33
Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan

stimulus yang diberikan objek.

b. Merespon (responding)

Memberi jawaban bila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas

yang diberikan atau suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha

untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas diberikan, terlepas dari

pekerjaan itu benar atau salah, berarti bahwa orang menerima ide itu.

c. Menghargai (valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu

masalah atau suatu indikasi sikap tingkat tiga.

a. Bertanggung jawab (responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan

segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.

3. Komponen Sikap

Menurut Azwar (2012), struktur sikap terdiri dari tiga komponen yang

saling menunjang yaitu :

a. Komponen kognitif (cognitive)

Disebut juga komponen perceptual, yang berisi kepercayaan individu

yang berhubungan dengan hal-hal bagaimana individu berpresepsi terhadap

objek sikap, dengan apa yang dilihat dan diketahui (pengetahuan), pandangan,

keyakinan, pikiran, pengalaman pribadi, kebutuhan emosional, dan informasi

dari orang lain.

34
b. Komponen efektif (affective)

Merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional dan

subjektifitas individu terhadap objek sikap, baik yang positif (rasa senang)

maupun negatif (rasa tidak senang).

c. Komponen konatif (konative)

Merupakan aspek kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri

seseorang, berkaitan dengan objek sikap yang dihadapinya.

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap

Menurut Azwar (2012) faktor-faktor yang mempengaruhi sikap

terhadap suatu objek antara lain :

a. Pengalaman pribadi

Pengalaman pribadi yang terjadi secara tiba-tiba atau mengejutkan

yang meninggalkan kesan paling mendalam pada jiwa seseorang. Kejadian-

kejadian dan peristiwa-peristiwa yang terjadi berulang-ulang dan terus-

menerus, lamakelamaan secara bertahap diserap ke dalam individu dan

mempengaruhi terbentuknya sikap.

b. Pengaruh orang lain yang dianggap penting

Dalam pembentukan sikap pengaruh orang lain sangat berperan,

misalnya dalam kehidupan masyarakat yang hidup di pedesaan, mereka akan

mengikuti apa yang diberikan oleh tokoh masyarakat.

35
c. Kebudayaan

Dimana kita hidup mempunyai pengaruh yang besar terhadap

pembentukan sikap. Dalam kehidupan di masyarakat diwarnai dengan

kebudayaan yang ada di daerahnya.

d. Media masa

Media masa elektronik maupun media cetak sangat besar pengaruhnya

terhadap pembentukan opini dan kepercayaan seseorang. Dengan pemberian

informasi melalui media masa mengenai sesuatu hal akan memberikan

landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap.

e. Lembaga pendidikan

Dalam lembaga pendidikan dan lembaga agama berpengaruh dalam

pembentukan sikap, hal ini dikarenakan keduanya meletakkan dasar

pengertian dan konsep moral dalam diri individu.

5. Pembentukan sikap

Ada dua faktor yang mempengaruhi sikap, yaitu faktor interisik

individu diantaranya kepribadian, intelegensi, bakat, minat, perasaan, serta

kebutuhan dan motivasi seseorang dan faktor ekstrisik antara lain adalah

faktor lingkungan, pendidikan, ediologi, ekonomi, dan politik. Selain itu ada

berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap diantaranya

pengalaman pribadi, kebudayaan orang lain, media massa, institusi atau

lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta emosi dalam diri individu

(Notoatmodjo, 2010).

36
6. Pengukuran Sikap

Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung ataupun tidak

langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau

pernyataan responden terhadap suatu objek. Secara tidak langsung dapat

dilakukan dengan pertanyaan-pertanyaan hipotesis, kemudian ditanyakan

pendapat responden (Notoatmodjo, 2012).

Salah satu aspek yang sangat penting guna memahami sikap dan

perilaku manusia adalah masalah pengungkapan (assessment) atau

pengukuran (measurement) sikap. Ada beberapa metode pengukuran sikap

antara lain dengan observasi perilaku, pertanyaan langsung, pengungkapan

langsung dan skala sikap. Skala sikap (attitude scale) berupa kumpulan

pertanyaan-pertanyaan mengenai suatu obyek sikap. Respon subyek pada

setiap pernyataan ini kemudian dapat disimpulkan mengenai arah dan

intensitas sikap seseorang. Salah satu sifat dari skala sifat adalah isi

pernyataannya berupa pernyataan langsung yang jelas tujuan ukurannya dan

responden.

Cara pengukuran sikap menurut Arikunto yaitu :

1. Kategori baik, jika skor jawaban responden 76 % - 100 %

2. Kategori cukup, jika skor jawaban responden 56 % - 75 %

3. Kategori kurang, jika skor jawaban responden < 56 %

37
D. Tinjauan umum tentang Ibu

1. Pengertian Ibu

Ibu menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah wanita yang telah

melahirkan seseorang, maka anak harus menyayangi ibu, sebutan untuk

wanita yang sudah bersuami. Panggilan yang takzim kepada wanita baik yang

sudah bersuami maupun yang belum.

Ibu adalah seseorang yang mempunyai banyak peran, peran sebagai

istri, sebagai ibu dari anak-anaknya, dan sebagai seseorang yang melahirkan

dan merawat anak-anaknya. Ibu juga bisa menjadi benteng bagi keluarganya

yang dapat menguatkan setiap anggota keluarganya (Santoso, 2009).

2. Peran Ibu

Peran dan tanggungjawab seorang ibu adalah memelihara dan menjaga

kesehatan anggota keluarganya. Peran ibu adalah tingkah laku yang dilakukan

seorang ibu terhadap keluaganya untuk merawat suami dan anak – anaknya

(Santoso, 2010). Menurut Effendy (1998), peran ibu didefinisikan sebagai

kemampuan untuk mengasuh, mendidik, dan menentukan nilai kepribadian

anaknya.

peran ibu penting dalam proses pertumbuhan dan perkembangan anak,

terutama pada masa remaja awal. Melalui ibu, remaja mengenal berbagai

38
proses seksual yang terjadi pada tubuhnya. Santrock (2011), juga memaparkan

bahwa anak perempuan akan memberitahu pertama kalinya kepada 11 ibunya.

Peran ibu sangat penting dalam pemberitahuan informasi, dalam hal

menstruasi ibu adalah sumber pertama informasi pada anaknya (Suryati,

2012). Mengenai perawatan menstruasi orang tua atau ibu dapat memberikan

pengetahuan tentang merawat tubuh terutama pada daerah kemaluan (Boeree,

2010).

E. Tinjauan umum tentang Balita

1. pengertian balita

Balita adalah kelompok anak yang berada pada rentang usia 0-5 tahun

(Adriani dan Wijatmadi, 2012). Menurut prasetyawati (2011), masa balita

merupakan periode penting dalam proses tumbuh kembang manusia

dikarenakan tumbuh kembang berlangsung cepat. Perkembangan dan

pertumbuhan di masa balita menjadi faktor keberhasilan pertumbuhan dan

perkembangan anak di masa mendatang. Adapun menurut WHO, kelompok

balita adalah 0-60 bulan (Adriani dan Bambang, 2014).

Menurut Sutomo. B. dan Anggraeni. DY, (2010), Balita adalah istilah

umum bagi anak usia 1-3 tahun (batita) dan anak prasekolah (3-5 tahun). Saat

usia batita, anak masih tergantung penuh kepada orang tua untuk melakukan

kegiatan penting, seperti mandi, buang air dan makan. Perkembangan

39
berbicara dan berjalan sudah bertambah baik. Namun kemampuan lain masih

terbatas.

Masa balita merupakan periode penting dalam proses tumbuh kembang

manusia. Perkembangan dan pertumbuhan di masa itu menjadi penentu

keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan anak di periode selanjutnya.

Masa tumbuh kembang di usia ini merupakan masa yang berlangsung cepat

dan tidak akan pernah terulang, karena itu sering disebut golden age atau masa

keemasan.

2. Karakteristik Balita

Septiari (2012) menyatakan karakteristik balita dibagi menjadi duayaitu:

a. Anak usia 1-3 tahun

Usia 1-3 tahun merupakan konsumen pasif artinya anak menerima

makanan yang disediakan orang tuanya. Laju pertumbuhan usia balita lebih

besar dari usia prasekolah, sehingga diperlukan jumlah makanan yang relatif

besar. Perut yang lebih kecil menyebabkan jumlah makanan yang mampu

diterimanya dalam sekali makan lebih kecil bila dibandingkan dengan anak

yang usianya lebih besar oleh sebab itu, pola makan yang diberikan adalah

porsi kecil dengan frekuensisering.

b. Anak usia prasekolah (3-5 tahun)

Usia 3-5 tahun anak menjadi konsumen aktif, anak sudah mulai memilih

makanan yang disukainya. Pada usia ini berat badan anak cenderung

40
mengalami penurunan, disebabkan karena anak beraktivitas lebih banyak dan

mulai memilih maupun menolak makanan yang disediakan orangtuanya.

c. Pertumbuhan dan Perkembangan

Pertumbuhan bersifat kuantitatif seperti pertambahan sel, pertambahan

tinggi, dan berat badan. Sedangkan perkembangan bersifat kualitatif dan

kuantitatif, contohnya adalah kematangan suatu organ tubuh

(Soetjiningsih,2015).

Faktor-faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang anak antaranya

adalah keturunan dan lingkungan. Keturunan akan berpengaruh pada

kematangan struktur dan fungsi yang optimal, sedangkan lingkungan akan

menentukan bagaimana potensi anak akan terpenuhi (Dodge et al, 2010).

3. Tumbuh Kembang

Soetjiningsih (2012) menjelaskan tumbuh kembang adalah suatu proses

yang berkelanjutan dari konsepsi sampai dewasa di pengaruhi oleh faktor

genetic dan lingkungan. Pertumbuhan paling cepat terjadi pada masa janin

usia 0-1 tahun. Sedangkan tumbuh kembang yang dapat dengan mudah

diamati. pada saat tumbuh kembang setiap anak mempunyai pola

perkembangan yang sama, akan tetapi kecepatanya berbeda.

Pada masa balita termasuk kelompok umur paling rawan terhadap

kekurangan energi dan protein, asupan zat gizi yang baik sangat di perlukan

untuk proses pertumbuhan dan perkembangan. Zat gizi yang baik adalah zat-

zat gizi yang berkualitas tinggi dan jumlahnya mencukupi kebutuhan. Apabila

41
zat gizi tumbuh kembang tidak terpenuhi dapat meyebabkan beberapa dampak

yang serius, contohnya gagal dalam pertumbuhan fisik serta perkembangan

yang tidak optimal (Waryana 2010)

F. Landasan Teori

Menurut Lawrence Green (1980) ada tiga faktor yang mempengaruhi

perilaku seseorang, yakni Faktor Predisposisi (Predisposing factor), Faktor

Pemungkin (Enabling factor), dan Faktor Pendukung (Reinforcing factor). Faktor

Predisposisi (Predisposing factor) ini mencakup pengetahuan dan sikap seseorag

terhadap sesuatu. tradisi dan kepercayaan seseorang terhadap hal-hal yang

berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat

pendidikan, tingkat sosial ekonomi dan sebagainya. perilaku seseorang atau

masyarakat tentang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan,

tradisi, dan sebagainya dari orang atau masyarakat yang bersangkutan. Di

samping itu, ketersediaan fasilitas, sikap, dan perilaku para petugas kesehatan

juga akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku kesehatan.

Perilaku seseorang di pengaruhi oleh pengetahuan dan sikap yang

dimilikinya. Sama halnya dengan pengetahuan dan sikap ibu balita tentang

stuntik pada anak, apabila pengetahuan dan sikap ibu balita baik, maka ibu balita

bisa mencegah terjadinya stunting pada anak, namun apabila pengetahuan dan

sikap ibu balita buruk, akan mempengaruhi tumbuh kembang anak sehingga anak

beresiko terkena stunting.

42
G. Kerangka Pikir

Bila pengetahuan dan sikap ibu balita baik tentang stunting pada anak di

wilayah kerja puskesmas bunobogu, maka stunting pada anak akan bisa di atasi.

Kerangka pikir dalam penelitian ini dapat di lihat sebagai berikut :

Pengetahuan
Stunting

Sikap

Gambar 2.1 Skema Kerangka Pikir

43
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah deskriptif, yaitu bertujuan untuk

menggambarkan objek sesuai dengan apa adanya (Notoadmodjo, 2012) dengan

menggambarkan pengetahuan dan sikap ibu balita tentang stunting pada anak di

wilayah kerja Puskesmas Bunobogu Kecamatan Bunobogu Kabupaten Buol.

B. Waktu Dan Lokasi Penelitian

1. Waktu Penelitian

Waktu penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juli 2020

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di setiap desa wilayah kerja Puskesmas

Bunobogu.

C. Variabel dan Definisi Operasional

1. Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini adalah pengetahuan dan sikap ibu balita tentang

stunting pada anak di wilayah kerja Puskesmas Bunobogu

44
2. Defenisi Operasional

a. Pengetahuan ibu balita

Pengetahuan yang dimaksud pada penelitian ini adalah segala sesuatu

yang diketahui dan dipahami oleh ibu balita tentang stunting dalam

menjawab pertanyaan yang terdapat dalam kuesioner.

Alat ukur : Kuesioner

Cara ukur : Pengisian Kuesioner

Skala ukur : Ordinal

Hasil ukur : 2 :Tingkat Pengetahuan baik bila skor 76 - 100%

1 :Tingkat Pengetahuan cukup bila skor 56 - 75%

0 : Tingkat Pengetahuan kurang bila skor <56%

b. Sikap

Sikap yang dimaksud pada penelitian ini adalah tanggapan atau reaksi

ibu balita tentang stunting

Alat ukur : Kuesioner

Cara ukur : Pengisian Kuesioner

Skala ukur : Ordinal

Hasil ukur : 2 = Baik, jika skor jawaban responden 76 - 100 %

1 = Cukup, jika skor jawaban responden 56 - 75 %

0 = Kurang, jika skor jawaban responden < 56 %

45
D. Jenis Data Pengumpulan Data

1. Jenis data

a. Data primer

Data primer didapat dari hasil wawancara mengunakan kuesioner

pada dresponden yang menjadi sampel dalam penelitian.

b. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang secara tidak lansung diperoleh dari

subyek peneliti tapi berupa data dokumentasi. Data sekunder dalam

penelitian ini di dapat dari posyandu dan Puskesmas Bunobogu untuk

melihat data jumlah balita di lokasi penelitian

2. Pengumpulan data

Cara pengumpulan data yaitu cara yang digunakan untuk mendapatkan

data yang diperlukan yaitu dengan menggunakan alat ukur kuesioner.

E. Pengolahan Data

Pengolahan data yang diperoleh dari hasil penelitian ini dikerjakan melalui

beberapa tahapan sebagai berikut, yaitu :

1. Editing, yaitu melakukan pemeriksaan kesalahan atau kekurangan

kelengkapan data yang dijawab oleh responden. Hal ini dilakukan dengan

memeriksa tiap lembar kuesioner pada waktu menerima responden.

46
2. Coding, yaitu dilakukan dengan member kode nomor jawaban yang dianggap

oleh responden. Dalam daftar pertanyaan, pemberi kode dilakukan untuk

memudahkan penelitian dalam proses tabulasi.

3. Tabulating, yaitu pada tahap ini peneliti mengelompokkan data dalam bentuk

tabel berdasarkan variabel yang diteliti.

4. Entry data, memasukkan data kedalam program komputer untuk kebutuhan

analisis.

5. Cleaning, yaitu membersihkan data dengan melihat variabel yang digunakan

apakah data sudah benar atau belum.

6. Describing, yaitu menggambarkan/menjelaskan semua jenis data yang ada

atau data yang telah dikumpulkan

F. Analisis Data

Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan

karakteristik setiap variabel penelitian. Pada umumnya dalam analisis ini hanya

menghasilkan distribusi frekuensi dan presentase dari tiap variabel (Notoatmojo,

2012).

f
Dengan menggunakan rumus : P ¿ x 100 %
n

Keterangan :

P : Persentase atau proporsi

f : Jumlah jawaban

n : Banyaknya responden

47
G. Penyajian Data

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan dari objek peneliti atau objek yang diteliti

(Notoatmodjo, 2012). Populasi dalam penelitian ini adalah ibu balita di

posyandu wilayah kerja puskemas bunobogu berjumlah 1120 orang ibu balita.

2. Sampel

Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Arikunto,

2013). Pengambilan sampel dalam penelitian ini dengan menggunakan rumus

slovin.

Rumus slovin :

N
n= 2
1+ N .( d )

Ket :

n = jumlah sampel

N = jumlah populasi

d = derajat peny

impangan

Presentasi ditetapkan 15 % atau 0,15:

48
N
n=
1+N .(d 2 )

1120
n=
1+0 . 1120.(0 .0225 )

1120
n=
1+1120.(0 . 0225)

1120
n=
1+25 . 2

1120
n=
26 .2

n=43

Pembagian sampel untuk masing-masing Desa dengan menggunakan

rumus Sugiono (2007):

x
n= xN 1
n

Keterangan :

n = Jumlah sampel yang diinginkan setiap Desa

N = Jumlah seluruh populasi ibu balita di Kecamatan bunobogu

X = Jumlah populasi ibu balita setiap Desa

a. Desa Kenamukan jumlah ibu balita 76 orang

76
n= x 43=3
1120

b. Desa Inalatan jumlah ibu balita 92 orang

49
92
n= x 43=4
1120

c. Desa Ponipingan jumlah ibu balita 101 orang

101
n= x 43=4
1120

d. Desa Domag jumlah ibu balita 125 orang

125
n= x 43=5
1120

e. Desa Bunobogu Selatan jumlah ibu balita 121 orang

121
n= x 43=5
1120

f. Desa Tamit jumlah ibu balita 98 orang

98
n= x 43=3
1120

g. Desa Lona jumlah ibu balita 122 orang

122
n= x 43=5
1120

h. Desa Pokobo jumlah ibu balita 85 orang

85
n= x 43=3
1120

i. Desa Bunobogu jumlah ibu balita 164 orang

164
n= x 43=6
1120

j. Desa Botugolu jumlah ibu balita 142 orang

50
142
n= x 43=5
1120

k. Jumlah sampel pada penelitian ini adalah sebanyak 43 ibu balita, yang

terdiri Desa Kenamukan jumlah ibu balita 3, Desa Inalatan jumlah ibu

balita 4 orang, Desa Ponipingan jumlah ibu balita 4 orang, Desa Domag

jumlah ibu balita 5 orang, Desa Bunobogu Selatan jumlah ibu balita 5

orang, Desa Tamit jumlah ibu balita 3 orang, Desa Lona jumlah ibu balita

5 orang, Desa Pokobo jumlah ibu balita 3 orang, Desa Bunobogu jumlah

ibu balita 6 orang, Desa Botugolu jumlah ibu balita 5 orang, Pengambilan

sampel bukan secara acak (Non Probability Sampling) dengan tekhnik

Proporsive Sampling.

a.   Kriteria Inklusi :

1)     Ibu yang mempunyai anak balita

2)   Ibu balita yang bersedia jadi responden

b.   Kriteria Ekslusi ;

1)      Sedang tidak berada di Kecamatan bunobogu

2) Sedang di rawat di rumah sakit

51
DAFTAR PUSTAKA

ACC/SCN. 2000. “4Th Report The World Nutrition Situation: Nutrition throughout
the Life Cycle”. Geneva. Diakses dari www.unscn.org

Arisman. 2010. Gizi Dalam Daur Kehidupan : Buku Ajar Ilmu Gizi, Edisi 2. jakarta :
EGC

Azwar, Saiffudin. 2012. Sikap Manusia : Teori dan Pengukuranya. Yogyakarta :


Liberty.

Adriani M, Bambang W. 2014. Gizi dan Kesehatan Balita. Jakarta : Kencana

Boeree, D.C. 2010. Psikologi social, Yogyakarta : Primasohpie.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). 2012. Kerangka


kebijakan : Gerakan Nasional Sadar Gizi Dalam Rangka Seribu Hari Pertama
Kehidupan (gerakan 1000 HPK). Jakarta.

Budiman, Agus Riyanto. 2013. Kapita selekta kuesioner pengetahuan dan sikap
dalam penelitian kesehatan. Salemba medika. Jakarta.

Buku Referensi, 2018, Study Guide–Stunting Dan Upaya Pencegahannya Bagi


Mahasiswa Kesehatan Masyarakat. CV Mine. Yogyakarta

Dewi dan Wawan. 2011. Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Manusia. Nuha Medika.
Yogyakarta.

Departemen Gizi dan Kesehtan Masyarakat Fakultas Kesehtan Masyarakat


Universitas Indonesia. 2011. Gizi dan kesehatan masyrakat. Jakarta.

Dinas kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah. 2018. Profil kesehatan provinsi sulawesih
tengah. http://dinkes.sultengprov.go.id. Palu

52
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Arti Kata Ibu. Diakses dari
http/kbbi.web.id/ibu.

Kemenkes RI. 2010. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :


1995/Menkes/Sk/xii/2010 Tentang Standart Antropometri Penilaian Status Gizi
Anak.

Kemenkes RI. 2010. Riset Kesehatan Dasar (RIKESDAS). Jarkarta

Kemenkes RI, 2011. Buletin Jendela Data Dan Informasi Masalah Kesehatan Situasi
Diare di Indonesia . Vol 2 (2) : Kemenkes RI

Kemenkes RI. 2016. Situasi Gizi di Indonesia. Pusat data dan informasi kemenkes
RI. Jakarta.

Kemenkes RI, bulletin jendela data dan informasi kesehatan 2018, situasi balita
pendek di Indonesia, kemenkes RI. Jakarta

Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan . Rineka Cipta. Jakarta.

Notoadmojo, S. 2010. Pendidikan dan prilaku kesehatan. Rineka cipta. Jakarta

Notoatmodjo, S. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan . Rineka Cipta. Jakarta.

Notoatmodjo, S. 2012. Promosi Kesehatan Dan Perilaku Kesehatan. PT Rineka


Cipta. Jakarta.

Notoatmodjo, S. 2014. Ilmu Perilaku Kesehatan. PT Rineka Cipta. Jakarta.

Purwani E. dan Mariyam. 2013. Pola Pemberian Makan Dengan Status Gizi Anak
Usia 1 Sampai 5 Tahun di Kabunan Taman Pamalang. Jurnal Keperawatan
Anak, 1(1)

Santoso. 2010. Peran Wanita Dalam Menciptakan Ketahanan Keluarga. Diakses dari
http://prov.bkkbn.go.id

Sutomo, B dan Anggraini, DY. 2010. Menu Sehat Alami Untuk Balita. Jakarta. PT.
Agromedia Pustaka

53
Septiari, B. 2012. Mencetak Balita cerdas dan pola Asuh Orang Tua. Yogyakarta :
Nuhu Medika

Supariasa. 2012. Penilaian Status Gizi. Jakarta : EGC.

Suryansyah. 2012. Porsi Makan Untuk Bayi Dan Balita.


http/health.detik.com/dokter/768.

Soetjiningsih dan Ign. N. Gede Ranuh. 2015. Tumbuh Kembang Anak. Edisi 2. Jakarta
: Buku Kedokteran EGC

Soetjiningsih. 2012. Perkembnagan Anak dan Permasalahanya Dalam Buku Ajar 1


Ilmu Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta

Siti Wahdah M. juffrie EH. 2015. Factor Resiko Kejadian Stunting Pada Anak Umur
6-36 Bulan di Wilayah Pedalaman Kecamatan Silat Hulu, Kalimantan Barat.
jurnal gizi dan diet indones. 3(2) : 119-130.

Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. 2017. 100 kabupaten/Kota


Prioritas untuk intervensi anak Kerdil (Stunting). Jakarta.

Trihono, dkk. 2015. Pendek (Stunting) di Indonesia, Masalah dan Solusinya.


Balitbangkes. Jakarta

Wayana. 2010. Gizi Reproduksi. Yogyakarta : Pustaka Rahima

Wanda Lestari, Ani Margawati, M. Rahfiludin. 2014. Factor Resiko Stunting Pada
Anak Umur 6-24 Bulan di Kecamatan Penangalan Kota Subulussalam, Provinsi
Aceh. Jurnal Gizi Indonesia, Vol 3 No. 1 37-45

54
KUISIONER RESPONDEN

PENGETAHUAN IBU BALITA TENTANG STUNTIN PADA ANAK DI


WILAYAH KERJA PUSKESMAS BUNOBOGU KECAMATAN BUNOBOGU
KABUPATEN BUOL

A. Identitas Responden

1. No. Responden :

2. Umur :

3. Jenis kelamin :

4. Pendidikan terakhir :

5. Alamat :

B. Pertanyaan Tentang Pengetahuan

Jawaban
No Pertanyaan
Ya Tidak
1. Apakah ibu mengetahui mengetahui apa itu stunting stunting ?
Apakah ibu pernah mendengar mendengar istilah istilah
2.
stunting stunting ?
Apakah ibu memberikan memberikan ASI Eksklusif Eksklusif
3.
selama 6 bulan ?
pada saat masa kehamilan apakah ibu pernah memeriksakan
4.
kehamilan di pelayanan kesehatan (puskesmas atau bidan) ?
Menurut ibu apakah penting anak mendapatkan mendapatkan
5.
gizi yang baik?
6. Apakah ibu sering membawa anak ke posyandu posyandu ?
7. Apakah imunisasi anak ibu lengkap lengkap ?
8. Apakah ibu mengetahui apa itu periode emas?
9. Menurut ibu apakah periode emas pertumbuhan dan
perkembangan anak terjadi sejak masa kandungan hingga usia

55
2 tahun?
Apakah ibu sering membawa bayi untuk ditimbang di
10.
posyandu?

C. Pertanyaan Tentang Sikap

Jawaban
No Pertanyaan
Ya Tidak
Saya akan memberikan ASI saja pada anak saya sejak baru
1.
lahir sampai umur 6 bulan
Saya perlu mengetahui jenis sumber makanan yang di
2.
perlukan balita?
Seorang ibu mengetahui kebutuhan makanan anak sesuai
3.
umur dan perkembanganya?
Menurut pendapat saya anak balita itu perlu diberikan aneka
4.
ragam makanan agar gizinya tercukupi?
Sebelum menyuapi anak balita saya akan selalu mencuci
5.
tangan dengan sabun?
Saya akan selalu mengontrol makanan anak balita walaupun
6.
yang memberikan orang lain/pengasuh ?
Menurut saya, dalam memberikan makanan kepada anak
7.
balita yang penting anak kenyang?
Saya harus menimbangkan anak balita ke posyandu setiap
8.
bulan agar bisa mengetahui pertumbuhannya?
Saya akan konsultasi kepada petugas kesehatan jika berat
9. badan anak balita turn di banding bulan lalu dan berada pada
pita merah?
10. Saya akan membawa anak saya setiap kali ada posyandu?

56

Anda mungkin juga menyukai