Anda di halaman 1dari 44

HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP

KESEMBUHAN KLIEN GANGGUAN HALUSINASI

DI RUMAH SAKIT JIWA MADANI PALU

PROPOSAL

DIAJUKAN OLEH:

HUSNUL IKRIMA

PK 115019086

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

INDONESIA JAYA

PALU 2021

1
HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP

KESEMBUHAN KLIEN GANGGUAN HALUSINASI

DI RUMAH SAKIT JIWA MADANI PALU

PROPOSAL

DIAJUKAN OLEH:
HUSNUL IKRIMA
PK 115019086
Telah disetujui untuk di seminarkan oleh:

Dosen Pembimbing I

Ns. Freny R. Mbaloto, M.Kep Tanggal ........................ 2021


NIDN. 0904028602

Dosen Pembimbing II

Ns. Jumain, M.Kep Tanggal ........................ 2021


NIDN. 0904028602

Ketua STIK Indonesi Jaya

Dr, Erson Sirait, SE.,M.Kes Tanggal.......................2021


NUPN. 99 94144 71

2
DAFTAR ISI
Isi Hal
HALAMAN JUDUL......................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN........................................................................... ii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah......................................................................... 6
C. Tujuan Penelitian............................................................................ 6
D. Manfaat Penelitian......................................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.Tinjaun Umum Halusinasi............................................................. 8
B.Tinjaun Umum Konsep Keluarga.................................................. 15
C.Tinjauan Umum Tingkat Kesembuhan......................................... 25
D.Landasan Teori............................................................................... 29
E.Kerangka Pikir................................................................................ 29
F.Hipotesis......................................................................................... 30
BAB III METODE PENILITIAN
A. Jenis Penelitian............................................................................. 31
B. Waktu Dan Lokasi Penelitian........................................................ 31
C. Variabel Dan Definii Operasional................................................. 31
D. Jenis Dan Cara Pengumpulan Data............................................... 33
E. Pengelolaan Data.......................................................................... 35
F. Analisa Data................................................................................. 36
G. Populasi Dan Sampel................................................................... 37
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan jiwa menurut Undang-Undang Republik Indonesia No 18 Tahun

2014 adalah kondisi di mana seorang individu dapat berkembang secara fisik,

mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan

sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu

memberikan kontribusi untuk komunitasnya. Kesehatan jiwa adalah keadaan

sejahtera yang ditandai dengan perasaan bahagia, keseimbangan, merasa puas,

pencapaian diri dan harapan (Stuart, Keliat & Pasaribu, 2016).

Menurut Diagnostic Statistic Mental (DSM) IV gangguan jiwa adalah pola

perilaku individu yang menyebabkan disfungsi dan penderitaan sehingga terjadi

kerugian dan konflik di masyarakat. Menurut Pedoman Penggolongan Diagnosis

Gangguan Jiwa (PPDGJ) III bahwa gangguan jiwa adalah pola perilaku yang

menyebabkan terjadinya penderitaan dan keterbatasan (Maslim, 2013).

Data Badan Kesehatan Dunia World Health Organization (WHO) 2017

mencatat jumlah penderita gangguan jiwa di Indonesia mencapai 35 juta orang,

sedangkan di Jawa Barat penderita gangguan jiwa 10.638 orang. Salah satu

kesehatan jiwa yang sering terjadi dan menimbulkan perilaku menyimpang yang

cukup misalnya halusinasi. Halusinasi merupakan tanggapan indera terhadap

rangsangan yang datang dari luar, dimana rangsangan tersebut dapat berupa

rangsangan penglihatan, penciuman, pendengaran, pengecapan, dan perabaan.

Interpretasi terhadap rangsangan yang datang dari luar itu dapat mengalami

4
gangguan sehingga terjadilah salah tafsir (missing in terpretation). Salah tafsir

tersebut terjadi antara lain karena adanya efek yang luar biasa, seperti marah,

takut,tercengang (excited) sedih dan nafsu yang memuncak sehingga terjadi

gangguanatau perubahan persepsi.

Menurut World Health Organization / WHO (2012) kekambuhan yang

sering terjadi dapat memperburuk kondisi penderita gangguan jiwa. Gangguan

jiwa ini sering disertai dengan kekambuhan bahkan saat pengobatan dan

perawatan. Langkah penanganan adalah bersama-sama mengembangkan dan

menerapkan teknik pengaturan gejala yang mencegah kekambuhan dan

mempromosikan (Stuart, 2013). Oleh karena itu begitu pentingnya penanganan

kekambuhan gangguan jiwa karena dapat memperburuk proses penyembuhan.

peran serta keluarga adalah satu usaha untuk mengurangi angka kekambuhan

penderita halusinasi. Mengingat keluarga merupakan pendukung utama yang

memberikan perawatan langsung pada setiap keadaan sehat sakit penderita.

(muftar 2011).

Keluarga merupakan unit paling dekat dengan penderita, dan merupakan

“perawat utama” bagi penderita. Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat

hidup sendirian tanpa bantuan orang lain. Kebutuhan fisik (sandang, pangan,

papan), kebutuhan social (pergaulan, pengakuan, sekolah, pekerjaan) dan

kebutuhan psikis termasuk rasa ingin tahu, rasa aman, perasaan religiusitas, tidak

mungkin terpenuhi tanpa bantuan orang lain. Apalagi jika orang tersebut sedang

menghadapi masalah, baik ringan maupun berat. Pada saat menghadapi masalah

seseorang akan mencari dukungan sosial dari orang-orang di sekitarnya,

5
sehingga dirinya merasa dihargai, diperhatikan dan di cintai. Contoh nyata yang

paling sering dilihat dan dialami adalah bila ada seseorang yang sakit dan

terpaksa dirawat di rumah sakit, maka sanak saudara ataupun teman-teman

biasanya datang berkunjung. Dengan kunjungan tersebut maka orang yang sakit

tentu merasa mendapat dukungan sosial.

Dukungan sosial ( social support ) Rook ( dalam Andarini & Fatma, 2013)

mengatakan bahwa dukungan sosial merupakan salah satu fungsi dari ikatan

sosial, dan ikatanikatan sosial tersebut menggambarkan tingkat kualitas umum

dari hubungan interpersonal.

Dukungan sosial adalah informasi atau umpan balik dari orang lain yang

menunjukkan bahwa seseorang dicintai dan diperhatikan, dihargai dan dihormati

oleh orang lain dan ia juga merupakan anggota dalam suatu kelompok yang

berdasarkan kepentingan bersama. Dukungan sosial bersumber antara lain :

orangtua, saudara kandung, anak-anak, kerabat, pasanga hidup, sahabat, rekan

kerja, atau juga dari tetangga. Dukungan tersebut biasanya diinginkan dari

orang-orang yang signifikan seperti keluarga, saudara, guru, dan teman, dimana

memiliki derajat keterlibatan yang erat. Selain itu, dukungan sosial merupakan

pemberian hiburan, perhatian, penghargaan atau bantuan yang diterima

seseorang dari orang lain atau kelompoknya. ( muttar, 2011 )

Penderita gangguan jiwa sering mendapatkan stigma dan diskriminasi

yang lebih besar dari masyarakat disekitarnya dibandingkan individu yang

menderita penyakit medis lainnya. Mereka sering sekali disebut sebagai orang

6
gila (insanity atau madness). Perlakuan ini disebabkan karena ketidaktahuan atau

pengertian yang salah dari keluarga atau anggota masyarakat mengenai

halusinasi. Hal itu menyebabkan penderita halusinasi yang sudah sehat memiliki

kecenderungan untuk mengalami kekambuhan lagi sehingga membutuhkan

penanganan medis dan perlu perawatan di Rumah Sakit Jiwa lagi.

Menurut penulis, penderita halusinasi yang mendapatkan dukungan

keluarga mempunyai kesempatan berkembang kearah positif secara maksimal,

sehingga penderita akan bersikap positif, baik terhadap dirinya maupun

lingkungannya karena keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang

dikenal. Dengan dukungan keluarga yang seimbang bagi penderita diharapkan

baginya agar dapat meningkatkan kesembuhan.

Sementara itu, Sarafino (2011) menyebutkan bahwa dukungan sosial

keluarga dapat dibedakan menjadi 5 jenis, antara lain : dukungan emosional,

dukungan instrumental, dukungan penghargaan, dukungan informasi, dukungan

jaringan. jumlah sampel 80 responden di dapatkan bahwa dukungan keluarga pada

kategori dukungan rendah sebanyak 47 orang (58,8%), sisanya kategori dukungan

tinggi sebanyak 33 orang ( 41,2%). Apabila variabel duk ungan keluarga naik

sebesar satu satuan, maka akan menurunkan akan menurunkan tingkat

kesembuhan sebesar 0, 589 satuan dan sebaliknya apabila dukungan keluarga

turun satu satuan maka angka kesembuhan meningkat 0,589 satuan. Kesembuhan

dan kekambuhan penderita gangguan jiwa sangat dipengaruhi oleh peran atau

dukungan keluarga terhadap penderita gangguan jiwa.

7
di Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki angka

gangguan jiwa yang relatife tinggi. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013

menyebutkan bahwa prevalensi gangguan jiwa berat pada penduduk Indonesia

sebesar 1.7 permil, artinya ada satu sampai dua penduduk dari 1000 penduduk di

Indonesia menderita gangguan jiwa berat

Rumah Sakit khusus Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Palu adalah satu-satunya

Rumah Sakit Jiwa yang ada di Palu, survay awal di lakukan pada hari sabtu

tanggal 22 mei 2021 di Rumah Sakit Jiwa Madani Palu, Berdasarkan data dari

Rekam medik Rumah Sakit Daerah Jiwa Madani Provinsi Sulawesi Tengah

Palu, pasien halusinasi yang di rawat pada tahun 2020 dari bulan januari sampai

desember rata-rata 12 orang setiap beberapa bulan terakhir sedangkan untuk

tahun 2021 dan bulan januari sampai mei rata-rata 14 orang setiap beberapa

bulan terakhir ( Sumber Buku Registrasi Rekam Medik ).

Oleh karena itu peneliti tertarik untuk meneliti tentang Hubungan

Dukungan Keluarga Dengan Tingkat Kesembuhan Klien Halusinasi di Wilayah

Kerja Rumah Sakit Jiwa Madani Palu.

B. Rumusan Masalah

Bagaimanakah hubungan dukungan keluarga terhadap tingkat

kesembuhan pasien halusinasi di Rumah Sakit Jiwa Madani Palu?

C. Tujuan Penelitian

a. Tujuan umum

8
Untuk mengetahui adanya hubungan dukungan keluarga terhadap tingkat

kesembuhan pasien halusinasi di Rumah Sakit Jiwa Palu

a. Tujuan khusus

1. Untuk mengidentifikasi karakteristik keluarga pasien halusinasi di Instalasi

Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit Jiwa Madani Palu

2. Untuk mengetahui dukungan keluarga emosional dalam merawat anggota

keluarga pasien halusinasi di Instalasi Pelayanan Kesehatan di Rumah

Sakit Jiwa Madani Palu

b. Manfaat Penelitian

1. Manfaat bagi Rumah Sakit Jiwa Madani Palu

Hasil penelitian ini merupakan salah satu sumber informasi bagi instansi

terkait dalam upaya peningkatan sosialisasi pada keluarga pasien gangguan

jiwa.

2. Manfaat bagi Stik IJ Palu

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya ilmu pengetahuan dan

merupakan salah satu bahan bacaan bagi peneliti berikutnya

3. Manfaat bagi peneliti

Hasil penelitian ini merupakan pengalaman berharga bagi peneliti dalam

mengaplikasikan ilmu yang diperoleh selama mengikuti pendidikan

4. Manfaat bagi masyarakat

Hasil ini dapat menambah pengetahuan para keluarga akan pentingnya

dukungan bagi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa halusinasi

terhadap tingkat kesembuha

9
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Halusinasi

1. Pengertian

Halusinasi merupakan terganggunya persepsi dari panca indera seseorang

dalam membedakan rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia

luar), di mana klien memberi persepsi tentang lingkungan tanpa adanya suatu

objek (Yosep, 2013), sekitar 70% halusinasi yang di alami oleh pasien gangguan

jiwa yaitu halusinasi dengar, 20% mengalami halusinasi penglihatan dan 10%

mengalami halusnasi penghidu, pengecap, perabaan, Mula-mula klien merasakan

halusinasi sebagai pengalaman nyata, tetapi kemudian dalam proses penyakit

tersebut, dia dapat mengakuinya sebagai halusinasi marah tanpa sebab, biacara

atau tertawa sendiri, ketakutan pada sesuatu yang tidak jelas, maka perawat harus

mempunyai cukup pengetahuan tentang strategi pelaksanaan yang tersedia,tetapi

informasi ini harus digunakan sebagai satu bagian dari pendekatan holistik pada

asuhan klien peran perawat dalam menangani halusinasi antar lain melakukan

penerapan standar asuhan keperawatan, terapi aktifitas kelompok, dan melatih

keluarga untuk merawat klien dengan halusinasi.

Menurut Keliat (2007) Strategi pelaksanaan pada klien halusinasi mencakup

kegiatan mengenal halusinasi, mengajarkan klien menghardik halusinasi, minum

obat dngan teratur, bercakap-cakap dengan orang lain saat halusinasi muncul,

serta melakukan aktivitas terjadwal untuk mencegah halusinasi (Afnuhazi, 2015)

10
Halusinasi yang di alami oleh individu dapat disebabkan melalui faktor

pred isposisi dan presipitasi. Hal ini di dukung pernyataan dari Stuart, Keliat, dan

Pasaribu (2016).

Dan ke tiga pengertian di atas maka penulis menyimpulkan bahwa halusinasi

adalah persepsi yang timbul tanpa stimulus eksternal serta tanpa melibatkan

sumber dari luar yang meliputi semua system panca indra salah satu gangguan

jiwa yang pasien mengalami perubahan sensori persepsi, serta m erasakan sensasi

palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan, atau penciuman. pasien

meraakan stimulus yang sebetulnya tidak ada. Pasien gangguan jiwa mengalami

perubahan dalam hal orientasi realitas ( Yusuf, risky 2015 ).

2. Proses terjadinya halusinasi

Menurut Yosep (2010) dan Trimeilia (2011) tahapan halusinasi ada lima fase

yaitu:

a. Stage I (Sleep Disorder)

Fase awal seseorang sebelum muncul halusinasi.

Karakteristik : Klien merasa banyak masalah, ingin menghindar dari lingkungan,

takut diketahui orang lain bahwa dirinya banyak masalah. Masalah makin terasa

sulit karena berbagai stressor terakumulasi, misalnya kekasih hamil, terlibat

narkoba, dikhianati kekasih, masalah di kampus, di drop out, dst. Masalah terasa

menekan karena terakumulasi sedangkan support sistem kurang dan persepsi

terhadap masalah sangat buruk. Sulit tidur berlangung terus-menerus sehingga

11
terbiasa menghayal. Klien menganggap lamunan-lamunan awal tersebut sebagai

pemecahan masalah.

a. Stage II (Comforting Moderate Level of Anxiety) Halusinasi secara umum

ia terima sebagai sesuatu yang alami.

Karakteristik :

Klien mengalami emosi yang berlanjut, seperti adanya perasaan cemas,

kesepian, perasaan berdosa, ketakutan dan mencoba untuk memusatkan

pemikiran pada timbulnya kecemasan. Ia beranggapan bahwa pengalaman

pikiran dan sensorinya dapat ia kontrol bila kecemasannya diatur, dalam

tahapan ini ada kecenderungan klien merasa nyaman dengan

halusinasinya. Perilaku yang muncul biasanya dalah menyeringai atau

tertawa yang tidak sesuai, menggerakkan bibirnya tanpa menimbulkan

suara, gerakan mata cepat, respon verbal lamban, diam dan dipenuhi oleh

sesuatu yang mengasyikkan.

b. Stage III (Condemning Severe Level of Anxiety) Secara umum halusinasi

sering mendatangi klien.

Karakteristik : Pengalaman sensori klien menjadi sering datang dan

mengalami bias. Klien mulai merasa tidak mampu mengontrolnya dan

mulai berupaya untuk menjaga jarak antara dirinya dengan objek yang

dipersepsikan klien. Klien mungkin merasa malu karena pengalaman

sensorinya tersebut dan menarik diri dari orang lain dengan intensitas watu

yang lama. Perilaku yang muncul adalah terjadinya peningkatan sistem

syaraf otonom yang menunjukkan ansietas atau kecemasan, seperti :

12
pernafasan meningkat, tekanan darah dan denyut nadi menurun,

konsentrasi menurun

c. Stage IV (Controling Severe Level of Anxiety) Fungsi sensori menjadi

tidak relevan dengan kenyataan.

Karakteristik :

Klien mencoba melawan suara-suara atau sensori abnormal yang datang.

Klien dapat merasakan kesepian bila halusinasinya berakhir. Dari sinilah

dimulai fase gangguan psikotik. Perilaku yang biasanya muncul yaitu

individu cenderung mengikuti petunjuk sesuai isi halusinasi, kesulitan

berhubungan dengan orang lain, rentang perhatian hanya beberapa

detik/menit.

d. Stage V (Concuering Panic Level of Anxiety) Klien mengalami gangguan

dalam menilai lingkungannya.

Karakteristik :

Pengalaman sensorinya terganggu. Klien mulai terasa terancam dengan

datangnya suara-suara terutama bila klien tidak dapat menuruti ancaman

atau perintah yang ia dengar dari halusinasinya. Halusinasi dapat

berlangsung selama minimal empat jam atau seharian bila klien tidak

mendapatkan komunikasi terapeutik. Terjadi gangguan psikotik berat.

Perilaku yang muncul adalah perilaku menyerang, risiko bunuh diri atau

membunuh, dan kegiatan fisik yang merefleksikan isi halusinasi (amuk,

agitasi, menarik diri).

3. klafikasi halusinasi

13
Menurut Trimeilia ( 2011 ) jenis-jenis halusinasi adalah sebagai berikut :

a. Halusinasi pendengaran ( auditory )

Mendengar suara yang membicarakan, mengejek, mentertawakan,

mengancam, memerintahkan untuk melakukan sesuatu (kadang-kadang hal

yang berbahaya). Perilaku yang muncul adalah mengarahkan telinga pada

sumber suara, bicara atau tertawa sendiri, marah-marah tanpa sebab,

menutup telinga, mulut komat-kamit, dan ada gerakan tangan.

b. Halusinasi penglihatan ( visual )

Stimulus penglihatan dalam bentuk pancaran cahaya, gambar, orang atau

panorama yang luas dan kompleks, bisa yang menyenangkan atau

menakutkan. Perilaku yang muncul adalah tatapan mata pada tempat

tertentu, menunjuk ke arah tertentu, ketakutan pada objek yang dilihat.

c. Halusinasi penciuman ( olfactory )

Tercium bau busuk, amis, dan bau yang menjijikan, seperti bau darah,

urine atau feses atau bau harum seperti parfum. Perilaku yang muncul

adalah ekspresi wajah seperti mencium dengan gerakan cuping hidung,

mengarahkan hidung pada tempat tertentu, menutup hidung.

d. Halusinasi pengecapan ( gustatory )

Merasa mengecap sesuatu yang busuk, amis dan menjijikan, seperti rasa

darah, urine atau feses. Perilaku yang muncul adalah seperti mengecap,

mulut seperti gerakan mengunyah sesuatu, sering meludah, muntah.

e. Halusinasi perabaan ( taktil )

14
Mengalami rasa sakit atau tidak enak tanpa stimulus yang terlihat, seperti

merasakan sensasi listrik dari tanah, benda mati atau orang. Merasakan ada

yang menggerayangi tubuh seperti tangan, binatang kecil dan makhluk

halus. Perilaku yang muncul adalah mengusap, menggaruk-garuk atau

meraba-raba permukaan kulit, terlihat menggerakkan badan seperti

merasakan sesuatu rabaan.

f. Halusinasi sinestetik

Merasakan fungsi tubuh, seperti darah mengalir melalui vena dan arteri,

makanan dicerna atau pembentukan urine, perasaan tubuhnya melayang di

atas permukaan bumi. Perilaku yang muncul adalah klien terlihat menatap

tubuhnya sendiri dan terlihat seperti merasakan sesuatu yang aneh tentang

tubuhnya.

4. Faktor – faktor penyebab halusinasi

Stuart dan Sundeen dalam Yusuf dkk (2015) menyebutkan bahwa faktor

predisposisi, faktor presipitasi, penilaian terhadap stressor, sumber koping,

dan kemampuan koping yang dimiliki pasien adalah aspek yang harus digali

selama proses pengkajian.

a. Faktor predisposisi

1) Biologis

Gangguan perkembangan dan fungsi otak, susunan syaraf–syaraf pusat

dpat menimbulkan gangguan realita. Gejala yang mungkin timbul adalah :

hambatan dalam belajar, berbicara, daya ingat dan muncul perilaku

menarik diri.

15
2) Psikologis

Keluarga pengasuh klien dan lingkungan lien sangat mempengaruhi respon

psikologis klien, sikap atau keadaan yang dapat mempengaruhi gangguan

orientasi realitas adalah : penolakan atau tindakan kekerasan dalam

rentang hidup klien.

3) Sosial budaya

Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita sperti :

kemiskinan, konflik sosial budaya ( perang, kerusuhan, bencana alam ) dan

kehidupan yang terisolasi di sertai stress.

b. Faktor presipitasi

1) ) Stressor sosial budaya

Stress dan kecemasan akan meningkat bila terjadi penurunan stabilitas

keluarga, perpisahan dengan orang yang penting atau diasingkan dari

kelompok dapat menimbulkan halusinasi.

2) Faktor biokimia

Berbagai penelitian tentang dopamin, norepinetrin, indolamin, serta zat

halusigenik diduga berkaitan dengan gangguan orientasi realitas termasuk

halusinasi.

3) Psikologis

Intensitas kecemasan yang ekstrem dan memanjang disertai terbatasnya

kemampuan mengatasi masalah memungkinkan berkembangnya gangguan

orientasi realitas. Pasien mengembangkan koping untuk menghindari

kenyataan yang tidak menyenangkan.

16
4) Perilaku

Perilaku yang perlu dikaji pada pasien dengan gangguan orientasi realitas

berkaitan dengan perubahan proses pikir, afektif persepsi, motorik, dan

sosial.

5. Tanda dan gejala halusinasi

a. Menarik diri

b. Duduk terpaku dengan pandangan mata pada satu arah tertentu

c. Tersenyum, tertawa atau berbicara sendiri

d. Gelisah

e. Melakukan gerakan seperti sedang menikmati sesuatu

f. Bingung

g. Mendengar, melihat atau merasakan stimulus yang tidak nyata

h. Menggerak-gerakan bibir

i. Perbuatan yang tidak wajar

j. Perilaku menisolasi diri

k. Berbicara dengan mengatakan mereka

l. Berbicara adanya halusinasi

m. Ketakutan dan kecemasan

n. Tidak dapat membadakan hal yang yata dan tidak nyata

o. Tidak dapat memusatkan perhatan / konsentrasi

p. Pembicaraan kacau kadang tidak masuk akal

q. Sikap curiga dan bermusuhan, merusak diri / orang lain / lingkungan

r. Sulit membuat keputusan

17
s. Tidak mampu melaksanakan asuhan mandiri : mandi, sikat gigi, ganti

pakaian, berhias yang rapi

t. Menyalahkan diri sendiri / orang lain

u. Muka merah kadang pucat

v. Tekanan darah dan nadi meningkat

w. Napas terengah - engah

x. Banyak keringat. Mekanisme koping yang sering digunakan klien

dengan halusinasi adalah :

1) regresi, malas untuk beraktifitas sehari-hari

2) proyeksi, mencoba menjelaskan gangguan persepsi dengan

mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain atau sesuatu benda.

3) Menarik diri, sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimulus

internal.

6. Pentalaksaan Pada halusinasi

Penatalaksanaan pada pasien halusinasi dengan cara :

1. Menciptakan lingkungan yang terapeutik untuk mengurangi tingkat

kecemasan, kepanikan dan ketakutan pasien akibat halusinasi , sebaiknya

pada permulaan pendekatan di lakukan secaa individual dan usahakan agar

terjadi dan usahakan agar terjadi kontak mata, kalau bisa pasien di sentuh

atau di pegang. Pasien jangan di isolasi baik secara fisik atau

emosional.setiap perawat masuk ke kamar atau mendekati pasien,

bicaralah dengan pasien. Begitu juga bila akan meninggalkannya pasien di

beritahu. Pasien di beritahu tindakan yang akan di lakukan.di ruangan itu

18
hendaknyq di sediakan sarana yang dapat merangsang perhatian dan

dorongan pasien untuk berhubungan dengan realitas, misalnya jam

dinding, gambar atau hiasan dinding dan permaian.

2. Melaksanakan program terapi dokter sering kali pasien menolak obat yang

di berikan sehubungan dengan rangsangan halusinasi yang di terimanya.

Pendekatan sebaiknya secara persuatif tapi instruktif. Perawat harus

mengamati agar obat yang di berikan betul di telannya, serta reaksi obat

yang di berikan.menggali masalah pasien yang merupakan penyebab

timbulnya halusinasi serta membantu mengatasi masalah yang ada.

Pengumpulan data ini juga dapat melalui keterangan keluarga pasien atau

orang ain yang dekat dengan pasien.

3. Menggali permasalahan pasien dan membantu mengatasi masalah yang

ada setelah lebih koperatif dan komunikatif, perawat dapat menggali

masalah pasien yang menyebabkan timbulnya halusinasi serta membantu

mengatasi masalah yang ada. Pengumpulan data ini juga dapat melalui

keterangan keluarga pasien atau orang lain yang dekat dengan pasien.

4. Memberi aktivitas pada pasien, pasien di ajak mengaktifkan diri untuk

melakukan gerakan fisik, misalnya berolahraga, bermain atau melakukan

kegiatan. Kegiatan ini dapat membantu mengarahkan pasien kehidupan

nyata dan memupuk hubungan dengan orang lain. Pasien di ajak

menyusun jadwal kegiaan dan memilih kegiatan yang sesuai.

5. Melibatkan keluarga dan petugas lain dalam proses perawatan keluarga

pasien dan petugas lain sebaiknya di beritahu tentang data pasien agar ada

19
prsamaan pendapat dan kesinambungan dalam proses keperawatan,

misalnya dari percakapan dengan pasien di ketahui bila sedang sendirian ia

sering mendengar laki-laki yang mengejek yang mengejek. Tapi bila ada

orang lain di dekatnya suara-suara itu tidak terdengar jelas. Perawat

menyarankan agar pasien jangan menyendiri dan menyibukkan diri dalam

permainan atau aktivitas yang ada. Percakapan ini hendaknya di

beritahukan pada keluarga pasien dan petugas lain agar tidak membiarkan

pasien sendirian dan saran yang di berikan tidak brtentangan (Kris, 2009).

B.Tinjauan umum Konsep Keluarga

1. Definisi Keluarga

Keluarga adalah dua atau lebih dari dua individu yang tergabung karena

hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan dan mereka

hidup dalam satu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dan didalam

peranannya masing-masing menciptakan serta mempertahankan kebudayaan

( Friedman, 2010 ).

Keluarga adalah sekumpulan orang dengan ikatan perkawinan, kelahiran dan

adopsi yang bertujuan untuk menciptakan, mempertahankan budaya dan

meningkatkan perkembangan fisik, mental emosional serta sosial dari tiap anggota

(Duval & Logan Tahun 1989 dalam Salvari, 2013).

Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa

keluarg adalah dua atau lebih dari dua individu yang tergabung karena hubungan

perkawinan, kelahiran dan adopsi yang hidup dalam satu rumah tangga,

berinteraksi satu sama lain dan memiliki tujuan untuk menciptakan,

20
mempertahankan budaya serta meningkatkan perkembangan fisik dari setiap

anggotanya.

2. fungsi keluarga

Menurut Friedman (2010) terdapat lima fungsi keluarga, yaitu :

a. Fungsi afektif ( The Affective Function ) Fungsi afektif berkaitan dengan

fungsi internal keluarga yang merupakan basis kekuatan keluarga. Fungsi

afektif berguna untuk pemenuhan kebutuhan psikologis. Keberhasilan

fungsi afektif tampak melalui keluarga yang gembira dan bahagia.

b. Fungsi sosialisasi

Proses perkembangan dan perubahan yang dilalui individu yang

menghasilkan interaksi sosial dan belajar berperan dalam lingkungan

sosialnya. Sosialisasi dimulai sejak lahir. Fungsi ini berguna untuk membina

sosialisasi pada anak, membentuk norma-norma tingkah laku sesuai dengan

tingkat perkembangan anak dan meneruskan nilai-nilai budaya keluarga.

c. Fungsi reproduksi ( The Reproduction Function ) Keluarga berfungsi untuk

mempertahankan kontinuitas keluarga selama beberapa generasi dan untuk

berlangsungnya hidup masyarakat.

d. Fungsi Ekonomi ( The Economic Function ) Keluarga berfungsi untuk

memenuhi kebutuhan keluarga secara ekonomi dan tempat untuk

mengembangkan kemampuan individu meningkatkan penghasilan untuk

berlangsungnya hidup masyarakat.

21
e. Fungsi perawatan atau pemeliharaan kesehatan ( The Health Care Function)

Keluarga berfungsi untuk mempertahankan keadaan kesehatan anggota

keluarga agar tetap memiliki produktivitas yang tinggi.

3. Tugas keluarga dalam bidang kesehatan

Untuk dapat mencapai tujuan kesehatan keluarga, keluarga harus memiliki

tugas dalam memelihara kesehatan anggotanya dan saling memelihara. Tugas

kesehata yang harus dilakukan oleh keluarga ( Freeman, 1981 dikutip dari

Effendy, 2005 ) yaitu :

a. Mengenal gangguan perkembangan kesehatna setiap aggotannya. Keluarga

mengenal perkembangan emsional anggota keluarga dan tingkah laku

ataupun aktivitas yang normal atau tidak untuk dilakukan. Hal ini erat hu

bungannya dengan pengetahuan keluarga akan gejala – gejala gangguan jiwa.

b. Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat. Segera setelah

keluarga mengetahui bahwa ada kondisi anggota keluarga tidak sesuai dengan

normal maka sebaiknya keluarga memutuskan dengan cepat tindakan yang

harus dilakukan untuk keseimbangan anggota keluarganya dengan segera

membawanya ke petugas kesehatan.

c. Memberikan pertolongan kepada anggota keluarganya yang sakit dan yang

tidak membantu diri sendiri karena cacat fisik ataupun mental. Karena

penderita penderita gangguan jiwa tidak bisa mandiri untuk memenuhi

kebutuhan aktivitas hidupnya.

d. Mempertahankan suasanan di rumah yang menguntungkan kesehatan dan

perkembangan kepribadian anggota keluarga. Keluarga membuat iklim yang

22
kondusif bagi penderita gangguan jiwa dilingkungan rumah agar merasa

nyaman dan merasa tidak dikucilkan dari keluarga.

e. Mempertahanakan hubungan timbal balik antara keluarga dan lembaga –

lembaga kesehatan yang menunjukkan pemanfaatan dengan baik fasilita –

fasilitas kesehatan yang ada. Untuk kesembuhan penderita gangguan jiwa,

keluarga harus memiliki banyak informasi mengenai kesehatan jiwa anggota

keluarganya dari lembaga kesehatan yang ada.

4. ketidakmampuan keluarga melaksanakan tugas kesehatan terdiri atas :

a. ketidaksanggupan mengenal masalah kesehatan keluarga karena

1) kurangnya pengetahuan / ketidakmampuan fakta akan penyakit angguan

jiwa.

2) Takut akibat masalah yang di hadapi serta aib yang harus dihadapi

membuat keluarga tidak fokus dalam mengenal masalah gangguan jiwa

yang dihadapi eanggota keluarga.

b. ketidaksanggupan keluarga mengambil keputusan dalam mengambil

keputusan dalam melakukan tindakan yang tepat karena :

1) tindakan memahami mengenal sifat, berat dan luasnya masalah gangguan

jiwa yang di hadapi keluarga.

2) Keluarga tidak snaggup memecahkan masalah karena kurang pengetahuan

dan kurang baik itu dalam hal biaya, tenanga dan waktu dalam penanganan

anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa.

3) Tidak sanggup memilih tindakan di antara beberapa pilihan.

4) Tidak tahu tentang fasilitas kesehatan yang ada

23
5) Sikap negatif terhadap masalah kesehatan yang ada

6) Fasilitas kesehatan yang tidak terjangkau terutama bagi keluarga yang ada

di pedesaan.

c. ketidakmampuan merawat anggota keluarga yang sakit, disebabkan karena :

1) tidak mengetahui keadaan penyakit misalnya sifat, penyebabnya, gejala

dan perawatannya

2) kurang atau tidak ada fasilitas yang diperlukan untuk perawtan

3) tidak seimbang sumber – sumber yang ada dalam keluarga, misalnya

keluarga dan fasilitas fisik untuk perawatan.

5. Dukungan keluarga

Dukungan keluarga menurut Friedman (2010) adalah sikap, tindakan penerimaan

keluarga terhadap anggota keluarganya, berupa dukungan informasional,

dukungan penilaian, dukungan instrumental, dan dukungan emosional.

Sedangkan menurut Smet (1994, dalam Christine, 2010) dukungan keluarga

didefinisikan sebagai informasi verbal atau non verbal, saran, bantuan yang nyata

atau tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan subjek di

dalam lingkungannya atau yang berupa kehadiran dan hal - hal yang dapat

memberikan keuntungan emosional dan berpengaruh pada tingkah laku

penerimanya.

Keluarga merupakan suatu sistem terbuka yang terdiri dari semua unsur

dalam sistem, mempunyai struktur tujuan atau fungsi dan mempunyai organisasi

internal, seperti sistem yang lain. Bila salah satu anggota keluarga mengalami

24
gangguan, hal ini akan mempengaruhi anggota keluarga yang lain (Indriaty,

2004). Keluarga juga merupakan suatu matriks dari perasaan beridentitas dari

anggota-anggotanya, merasa memiliki dan berbeda. Tugas utamanya adalah

memelihara pertumbuhan psikososial anggotanya dan kesejahteraan selama

hidupnya ( Friedman dan Marllyn, 1998 ). Secara umum keluarga juga

membentuk unit sosial yang paling kecil mentransmisikan tuntutan-tuntutan dan

nilai-nilai dari suatu masyarakat, dan dengan demikian melestarikannya. Keluarga

harus dapat beradaptasi dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat sementara

keluarga juga membantu perkembangan dan pertumbuhan anggotanya sementara

itu semua menjaga kontuinitas secara cukup untuk memenuhi fungsinya sebagai

kelompok referensi dari individu. dan menghadapikematian. Keluarga juga

berperan dalam membantu pertumbuhan dan perkembangan anggota keluarganya

(Dwi, 2001).

Dukungan sosial keluarga adalah sebuah proses yang terjadi sepanjang

masa kehidupan, sifat dan jenis dukungan social berbeda dalam berbagai tahap-

tahap siklus kehidupan. Dukungan sosial keluarga dapat berupa dukungan social

internal, seperti dukungan dari suami, istri atau dukungan dari saudara kandung,

dan dapat juga berupa dukungan keluarga eksternal bagi keluarga inti. Dukungan

sosial keluarga membuat keluarga mampu berfungsi dengan berbagai kepandaian

dan akal. Sebagai akibatnya, hal ini meningkatkan kesehsatan dan adaptasi

keluarga (Friedman dan Merllyn, 1998).

25
Caplan menerangkan bahwa keluarga memiliki empat fungsi suportif, antara

lain :

1. Dukungan inforasional : keluarga sebgai sebuah kolektor dan penyebar

informasi tentang dunia. Dukungan ini meliputi jaringan komunikasi dan

tanggung jawab bersama, termasuk di dalmmnya memberikan solusi dari

maslah yag dihadapi pasien di rumh atau rumh sakit jiwa, memberikn nasehat,

pengarahan, saran, atau umpan balik tentang apa yang di lakukan oleh

seseorang. Keluatga dapat menyesiakan informasi dengan menyarankan

tempat, dokter, dan terapi yang baik bagi diriny dan tidnakan spesifik bagi

individu untuk melawan stressor. Pada dukungan keluarga sebagai

penghimpuanan informasi dan pemberi informasi.

2. Dukunga penelitian : keluarga sebagai sebuah bimbigan umpan balik,

membimbing dan menangani pemecahan maslah dan sebagai sumber dan

validator identitas keluarga

3. Dukungan instrumental : keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan

praktis dan kongkrit. Dukungan ini meliputi penyediaan dukungan jasmaniah

seperti pelayanan, bantuan finansial dengan menyediakan dana untuk biaya

pengobatan, dan material berupa bantuan nyata ( intrumental Suport / material

Suport ), suatu kondisi dimanan bend atau jasa akan membantu memcahkan

masalah kritis, termasuk di dalmnya bantuan langsung seperti saat seseorang

membantu pekerjaan sehari – hari, menyediakan informasi dan

fasilitas,menjaga dan merawat saat sakit serta dapat membantu menyelesaikan

masalah. Pada dukungan nyata, keluarga sebagai sumber untuk mencapai

26
tujuan praktis. Meskipun sebenarnya, setiap orang dengan sumber – sumber

yang tercukupi dapat memberi dukungan dalam bentuk uang atau perhatian

yang bertujuan untuk proses pengobatan. Akan tetapi akan lebih efektif bila

dihargai oleh penerima dengan tepat.

4. Dukungan emosional : keluarga sebagai sebuah tempat yang aaman dan

damai untuk istrahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap

emosi ( Caplan dan Sadock, 1995 ). Dukungan emosioanl memberikan pasien

perasaan nyaman, merasa dicintai meskipun saat mengalami suatu maslah,

bantuan dalam bentuk semangat, empati, rasa percaya, perhatian sehingga

individu yang mnerimanya merasa berharga. Pada dukungan emosional ini

keluarga menyediakan tempat istrahat dan memberikan semangat kepada

pasien yang di rawat di rumah atau di rumah sakit jiwa. Jenis dukungan bersifat

emosional atau menjaga keadaan emosi atau menjaga keadaan emosi atau

ekspresi.

Yang termkasud dukungan emosional ini adalah ekpresi dan empati,

kepudulian, dan perhatian ke pada individu. Memberikan individu perasaan

nyaman, jaminan rasa memiliki, dan merasa dicintai saat mengalami masalah.jika

stress mengurangi perasaan seseorang akan hal yang dimiliki dan dicinta maka

dukungan dapat menggantikannya sehingga akan dapat mengutkan kembali

perasaan seseorang akanhal yang dimiliki dan dicintai makan dukungan dapat

mengantikannya sehingga dapatmenguatkan kembali perasaan dicintai tersebut.

Apabila dibiarkan terus menerus dan tidak terkontrol maka akan berakibat

hilangnya harga diri. Pada keluarga yang mempunyai anggota keluarga dengan

27
penyakit kejiawaan, mempunyai tuntutan pengorbanan ekonomi, sosial, psikologis

yang lebih besar dari pada keluarga yang mempunyai anggota keluarga dengan

penyakit kejiwaan, mempunyai tuntutan pengorbanan ekonomi, sosial, psikologis

yang lebih besar dari pada keluarga yang normal. Dukungan keluarga dalam

mencegah terjadinya kekambuhan pada penderita gangguan jia antara lain :

1) Menciptakan lingkungan yang sehat jiwa bagi penderita

2) Mencintai dan mnghargai penderita

3) Membantu dan memberi penderita

4) Memberi pujian kepada penderita untuk segala perbuatannya yang baik

dari pada menghukumnya pada waktu berbut kesalahan

5) Menghadapi ketegangan dan tenang serta menyeleaikan maslah kritis /

darurat secara tuntas dan wajar yang berhubungan dengan keadaan

penderita

6) Menunjukkan empati serta memberi bantuan kepada penderita

7) Menghargai dan mempercayai pa da penderita

8) Mau di ajak berekreasi bersama penderita dengan anggota keluarga

B. Tinjauan umum Tingkat Kesembuhan

1. Definis Sembuh

Secara umum kondisi sembuh umum diklasifikasikan ke dalam macam,

yaitu sembuh sempurna, sembuh dengan cacat, sembuh dengan pembawa, dan

meninggal dunia (Daldiyono : 2006 ) sembuh dengan sempurna yaitu kondisi

dimana fungsi tubuh menjadi pulih seperti sebelumnya atau kembali dalam

28
keadaan semula. Dalam kasus tertentu kesembuan ini dpat berlangsung dengan

tidak sempurna sehingga menimbulkan cacat. Keadaan inilah yang di sebut

sebagai sembuh dengan cacat.

Menurut Sorensen ( 2009 ), sembuh secara sosial berkaitan dengan

penerimaan oleh masyarakat sekita dimana seseorang hidup. Sehat secara psikis

orang dikatakan sembuh ketika dia menjadi pendengar yang baik bagi orang yang

berada di sekelilingnya. Sedangkan sembuh secara medis adalah kondisi yang

didasarkan atas pengukuran / standar yang pasti berupa diagnosa dan uji

laboratorium yang menggunakan alat – alat medis modern.

Istilah remisi (sembuh bebas gejala) menunjukkan pasien, sebagai hasil

terapi medikasi terbebas dari gejala-gejala halusinasi, tetapi tidak melihat apakah

pasien itu dapat berfungsi atau tidak. Istilah recovery (sembuh tuntas) biasanya

mencakup disamping terbebas dari gejala-gejala halusinasi, delusi dan lain-lain,

pasien juga dapat bekerja atau belajar sesuai harapan keadaan diri pasien

masyarakat sekitarnya. Untuk mencapai kondisi sembuh dan dapat berfungsi,

seorang pasien halusinasi memerlukan medikasi, kokonsultasi psikologis,

bimbingan social, latihan keterampilan kerja, dan kesempatan yang sama untuk

semuanya seperti anggota masyarakat lainnya. Selain cara dengan perawatan di

rumah sakit (umum atau jiwa) dan rawat jalan, ada cara alternatif, yaitu dirawat

hanya pada siang atau malam hari saja di rumah sakit, sebagian hari lainnya

pasien berada di rumah bersama dengan keluarga atau di sekolah atau tempat

kerja bersama teman-temannya. Selain itu ada program terapi residensial, yaitu

tempat semacam asrama bagi pasien halusinasi yang sudah relatif tenang atau

29
mencapai keadaan remisi (tetapi masih memerlukan rehabilitasi, latihan

keterampilan lebih lanjut) dapat hidup dalam suasana lingkungan seperti keluarga

(bersama-sama pasien lainnya) dalam mana ia dapat mempraktekkan pengetahuan

dan keterampilan yang telah dipelajarinya di tengah-tengah lingkungan yang

mendukung sehingga ia kemudian juga terampil menjalani kehidupan ini di luar

Rumah Sakit, di tengah-tengah masyarakat luas seperti anggota masyarakat pada

umumnya. Semuanya memerlukan semacam dukungan sosial (sosial support) dari

komuniti atau lingkungan masyarakatnya. Secara tuntas, untuk terapi holistic

diperlukan perhatian baik untuk fisiknya (makanan, istirahat, medikasi, latihan

fisik), mental-emosionalnya (psikoterapi, konseling psikologis), dan bimbingan

sosial (cara bergaul, latihan keterampilan social) serta lingkungan keluarga dan

social yang mendukung). Disamping terapi okupasional (kegiatan untuk mengisi

waktu) diperlukan juga terapi /rehabilitasi vokasional (untuk melatih keterampilan

kerja tertentu yang dapat digunakan pasien untuk mencari nafkah). Semua ini

membutuhkan jalinan kerja sama seluruh lapisan masyarakat/komuniti, dan tidak

mungkin dilakukan oleh satu kelompok komuniti saja, banyak pihak harus terlibat

dan saling bekerja sama dengan satu tujuan yaitu membawa pasien kepada

keadaan bebas penyakit dan terampil menjalani kehidupan secara mandiri

30
2. Kriteria Sembuh Pada Halusinasi

Menurut Abdul (2015) evaluasi yang di dapatkan pada klien dengan halusinasi

adalah sebagai berikut :

1) Klien dapat mengungkapkan perasaannya dan kondisinya secara verbal.

2) Klien dapat membedakan hal yang nyata dan yang idak nyata.

3) Klien dapat menyebutkan situasi, isi, dan waktu timbulnya halusinasi.

4) Klien dapat mengungkapkan respon prilakunya saat halusinasi terjadi.

5) Klien dpat menyebutkan tindakan yang dapat di lakukan pada saat terjadi

halusinasi

6) Klien dapat menyebutkan 2 dari 3 cara mengatasi halusinasi.

7) Klien dapat menerima kehadiran perawat

3. Evaluasi

Dalami, dkk ( 2009 ) menguraikan tentang evaluasi yatu :

a. Pengertian

Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan u tuk menilai efek dari tindakan

keperawatan pada klien. Evaluasi terus menerus pada respon klien terhadap

tindakan yang telah di lakukan.

b. Jenis Evaluasi

Evaluasi dapat di bagi 2 jenis yaitu evaluasi proses tau formatif dilakukan

selesai melakukan tindakan, evaluasi hasil atau sumatif di lakukan dengan

membandingkan respon klien pada tujuan umum dan tujuan khusus yang

telah ditentukan.

31
4. Evaluasi Tindakan Halusinasi

Evalusi dapat di lakukan dengan menggunakan pendekatan SOAP :

S : Respon subjektif Klien terhadap tindakan kperawatn yang telah di

lakukan.

O : Respon objektif terhadap tindakan keperawatan yang telah dilakukan

A : Analisa ulang atas subjektif dan objektif untuk menyimpulkan apakah

masalah tetap atau muncul masalah baru atau ada data yang kontra

indikasi dengan masalah yang ada.

P : Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisa pada respon klien

D. Landasan Teori

halusinasi adalah persepsi yang timbul tanpa stimulus eksternal serta tanpa

melibatkan sumber dari luar yang meliputi semua system panca indra

( Maramus, 2004 ). sekitar 70% halusinasi yang di alami oleh pasien gangguan

jiwa yaitu halusinasi dengar, 20% mengalami halusinasi penglihatan dan 10%

mengalami halusnasi penghidu, pengecap, perabaan, Mula-mula klien

merasakan halusinasi sebgai pengalaman nyata, tetapi kemudian dalam proses

penyakit tersebut, dia dapat mengakuinya sebagai halusinasi marg tanpa sebab,

biacara atau tertawa sendiri, ketakutan pada sesuatu yang tidk jelas, maka

perawat harus mempunyai cukup pengetahuan tentang strategi pelaksanaan

yang tersedia,tetapi informasi ini harus digunakan sebagai satu bagian dari

pendekatan holistik pada asuhan klien peran perawat dalam menangani

halusinasi antar lain melakukan penerapan standar asuhan keperawatan, terapi

32
aktifitas kelompok, dan melatih keluarga untuk merawat klien dengan

halusinasi.

E. Kerangka Pikir

Kerangka pikir merupakan jalur pemikiran yang dirancang berdasarkan

kegiatan peneliti yang dilakukan. Menurut Mujiman (dalam skripsi Diah,

2011:30) menyatakan bahwa kerangka pikir adalah merupakan konsep

berisikan hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat dalam rangka

memberikan jawaban sementara

Variabel indipendent Variabel dependent

Dukungan keluarga

1. Dukungan Tingkat kesembuhan


informasional Pasien halusinasi
2. Dukungan penilaian
3. Dukungan
instrumental

Gambar 2.1 kerangka pikir

33
F. HIipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap suatu permasalahan. Oleh

karena itu masih perlu diuji kebenarannya. Suharsimi (2010:110)

Hipotesis pada penelitian ini adalah :

a. Hipotesis alternatif ( Ha )

Ha : ada hubungan dukungan keluarga terhadap kesembuhan klien

gangguan halusinasi di Rumah Sakit Jiwa Madani Palu

34
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian survey analitik dengan

rancangan ‘’cross sectional study’’ yang bertujuan untuk melihat apakah ada

hubungan dukungan keluarga terhadapa kesembuhan klien gangguan halusinasi

di Rumah Sakit Jiwa Madani Palu.

B. Waktu dan lokasi penelitian

Waktu penelitian akan dilaksnakan pada bulan juli 2021, penelitian akan

di lakukan di ruangan Poliklinik Rumah Sakit Daerah Jiwa Madani Palu.

Penelitian ini dilakukan pada pengunjung keluarga pasien yang sedang

membawa klien berobat dengan tetap selalu mengikuti protokol kesehatan yang

sudah di tetapkan.

Alasan peneliti memilih lokasi ini karena hanya satu-satunya rumah sakit

jiwa yang ada di sulawesi tengah dan lebih memudahkan peneliti untuk

melakukan penelitian.

C. Variabel dan definisi operasional

1) Variabel penelitian

Variabel penelitian ini adalah suatu atribut atau nilai dari orang, objek, atau

kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang di tetapkan oleh peneliti

untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiono, 2015)

35
2) Variabel bebas ( independent ). Variabel bebas adalah stimulus aktif dan

dimanipulasi peneliti untuk menciptakan dampak ( Nursalam, 2013 ). Pada

penelitian ini variabel indipendentnya adalah dukungan keluarga.

3) Variabel terikat ( dependent ). Variabel terikat adalah variabel yang di

pengaruhi variabel bebas ( Notoatmodjo, 2010 ). Pada penelitian ini variabel

dependentnya adalah kesembuhan klien halusinasi

4) Definisi operasional

Definisi operasional adalah definisi berdasarkan karakteristik yang diamati

dari sesuatu yang didefinisikan tersebut. Karakteristik yang dapat diamati

artinya memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi atau pengukuran

secara cermat terhadap suatu obyek atau fenomena yang kemungkinan dapat

diulangi lagi oleh orang lain (Nursalam, 2013).

a. dukungan keluarga adalah tindakan yang dilakukan dalam bentuk

memberi dukungan tehadap klien halusinasi

Cara ukur : Pengisian Kuesioner

Alat ukur : Kuesioner

Skala : ordinal

Hasil ukur :

Baik= T ≥ mean

Kurang = T ≤ me an

( Nursalam, 2013 ).

36
b. Kesembuhan gejala halusinasi Tahap kembalinya seseorang pada suatu

kondisi kenormalan setelah menderita gejala Halusinasi

Cara ukur : sembuh = 1

Tidak sembuh = 0

Alat ukur : lembar observasi

Skala : nominal

Hasil ukur :

Sembuh : Jika klien menunjukan seluruh tanda-tanda kesembuhan,

yaitu mampu memutuskan halusinasi, mampu mengetahui tentang

halusinasinya, mampu meminta bantuan ketika halusinasi datang, mampu

berhubungan dengan orang lain.

Tidak sembuh : Jika klien tidak menunjukan satu atau lebih tandatanda

kesembuhan, yaitu tidak mampu memutuskan halusinasi, tidak mampu

mengetahui tentang halusinasinya, tidak mampu meminta bantuan ketika

halusinasi datang, tidak mampu berhubungan dengan orang lain.

( Nursalam, 2013 ).

D. Jenis dan cara pengumpulan data

1. Jenis data

Data dalam penelitin adalah faktor terpenting yang menjadi

pertimbangan dalam penentuan metode pengumpulan data. Sumber

dari peneliti terdiri dari data primer dan data sekunder. ( Sugiyono,

2013 ).

37
a. Data primer

Data primer adalah data yang di peroleh atau di kumpulkan peneliti secara

langsung sumbernya. Data primer juga bisa di sebut sebagai data asli atau

data baru. Tehnik yang di gunakan peneliti untuk mengummpulkan data

primer yaitu melalui kuesinor observasi, wawancara yang di berikan pada

responden.

b. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang di peroleh atau data yang dikumpulkan

peneliti dari berbbagai sumber yang sudah ada atau peneliti sebagai tangan

kedua. Data sekunder data yang di peroleh dari rumah sakit daerah jiwa

madani palu.

2. Cara pengumpulan data

Prosedur pengumpulan data ini dilakukan setelah mendapatkan izin dari

instansi pendidikan STIK Indonseia Jaya Palu kemudian mengirimkan

surat permohonan izin penelitian ke Rumah Sakit Dareah Madani Palu,

setelah mendapatkan izin kemudian peneliti menjelaskan kepada calon

responden tentang tujuan, manfaat, prosedur pelaksanaan dan cara

pengisian kuesioner penelitian. Apabila responden setuju maka responden

di minta untuk mendatangani informend consent, kemudian membagikan

kuesioner untuk di isi. setelah kuesioner di isi oleh responden selanjutnya

peneliti memeriksa semua item pernyataan yang telah di isi responden.

38
Setela di lakukan penelitian semua kuesioner teriisi dengan lengkap

kemudian peneliti mengumpulkan kuesioner kembali.

E. Pengelolaan data

Pengolahan Data Data yang diperoleh merupakan data mentah sehingga

belum memberikan gambaran yang diharapakan, oleh karena itu perlu di

olah untuk mendapatkan hasil yang di inginkan. Adapun langkah-langkah

dalam pengolahan data yang telah di ambil yaitu :

a. Editing

Editing adalah Setelah data terkumpul maka dilakukan pemeriksaan

kembali dengan mengoreksi, pemeriksaan setiap lembar kuesioner

kelengkapan data, keseragaman data.

b. Coding

Coding adalah Dilakukan untuk memudahkan pengolahan data yaitu

memberikan simbol - simbol dari setiap apa yang diamati.

c. Entry data ( memasukkan data )

proses pengisian kolom-kolom atau kotak-kotak pada lembar kode

sesuai dengan jawaban dari masing-masing pertanyaan.

d. Tabulating ( tabulasi )

Tabulating adalah proses pembuatan tabel-tabel data dan

mengelompokkan data secara teratur dan teliti sesuai dengan jawaban-

jawabannya, kemudian dihitung, dijumlahkan, dan kemudian di sajikan

dalam bentuk tabel.

e. Cleaning

39
Cleaning adalah proses penghilangan data yang di anggap tidak perlu

f. Describing

Describing adalah proses menggambarkan atau menjelaskan data yang

telah terkumpul.

F. Analisa data

1. Analisa univariat

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis univarat, yaitu

analisis yang dilakukan terhadap variabel dan hasil penelitian

( Notoatmodjo, 2018)

f
p= × 100%
n

Keterangan

P = presentase

F = jumlah jawaban yang benar

N = jumlah soal

2. Analisa bivariat

Untuk melihat hubungan tiap-tiap variabel independent terhadap

variabel dependent, maka digunakan uji statistic Chi-square dengan

kemaknaan α < (0,05). Hubungan variabel independen dan variabel

dependen digunakan rumus Chi-squaresebagai berikut :

( 0−E ) 2
Rumus chi-square : x=∑
E

Keterangan

40
x 2=chi-square

O= hasil observasi

E = nilai yang di harapkan

G. Populasi dan sampel

1. Populasi

Populasi adalah setiap objek (misalnya manusia, pasien) yang memenuhi

kriteria yang telah ditetapkan (Nursalam, 2008). Populasi dalam penelitian

ini adalah keluarga dan klien yang menderita halusinasi di ruangan

Poliklinik Rumah Sakit Daerah Jiwa Madani Provinsi Sulawesi Tengah

Palu. Yang jumlah populasi penelitian adalah 12 orang.

2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah keluarga dan klien halusinasi di Rumah

Sakit Daerah Jiwa Madani Provinsi Sulawsi Tengah Palu. (Sugiyono,2108)

jumlah sampel penelitian ini adalah anggota keluarga dan klien sebanyak

12 orang klien gangguan jiwa halusinasi dengan cara porposive sampling

adalah suatu teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel

diantara populasi sesuai dengan yang dikehendaki peneliti (tujuan/masalah

dalam penelitian), sehingga sampel tersebut dapat mewakili karakteristik

populasi yang telah dikenal sebelumnya (Nursalam, 2008).

a. Kriteria sampel

1. Inklusi

41
a) Semua keluarga dan pasien dengan gangguan halusinasi di Rumah

Sakit Daerah Jiwa Madani Provinsi Sulawesi Tengah Palu.

b) Klien yang sedang di antar untuk berobat

c) Keluarga yang bisa membaca dan menulis

d) Pasien di ruangan poliklinik

2. Kriteria Ekslusi

a) Klien yang mengalami gangguan lain selain halusinasi

b) Tidak bersedia menjadi responden

c) Keluarga yang tida bisa membaca dan menulis

42
DAFTAR PUSTAKA

Andarini, S.R. Fatma, A. (2013). Hubungan antara Distres dan Dukungan Sosial
dengan Prokrastinasi Akademik pada Mahasiswa dalam Menyusun Skripsi.
Talenta Psikologi. Vol. II, No, 2, diakses pada tanggal 16 juni 2016/pdf.
Anonim Kesehatan Jiwa. (Online) http://www.Kesehatan-Jiwa.pdf akses 12
februari 2011
Caplan Halord, Sadock Benjamin, 1998. Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat. EGC.
Jakarta.
Christine, M. 2010. “Hubungan Dukungan Keluarga dengan Respon Cemas Anak
Usia Sekolah terhadap Pemasangan Intravena di Rumah Sakit Advent
Medan tahun 2010”. Skripsi.
Deden.D, Rusdi. 2013. Keperawatan Jiwa. Penerbit Buku Gosyen Publishing.
Yogyakarta
Friedman. 2010. Buku Ajar Keperawatan Keluarga: Riset, Teori, dan Praktek.
Edisi ke-5. Jakarta: EGC.
Gusti Salvari. 2013. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Keluarga. Jakarta Timur:
CV Trans Info Media
Halusinasi.http://asuhankeperawatan-pada-pasiendengan_halusinasi_09.html.
Diakses pada tanggal 16 Februari 2011
Hubungan Antara Dukungan Keluarga Dengan Kepatuhan Minum Obat Klien
Dengan Halusinasi di Poliklinik Rumah Sakit Jiwa Soeharto Heerdjan
Jakarta Tahun 2014 Apriana Nona Linggu, Ice Yulia Wardan
Jurnal Kesehatan Bakti Tunas Husada : Jurnal Ilmu Ilmu Keperawatan, Analis
Kesehatan dan Farmasi Volume 19 Nomor 2 Agustus 2019
Jurnal Kesehatan Perintis (Perintis’s Health Journal) Volume 5 Nomor 1 Tahun
2018
Muttar, M. 2011. “Hubungan dukungan keluarga terhadap kesembuhan klien
gangguan halusinasi di Rumah Sakit Khusus daerah (RSKD) Provinsi
Sulawesi Halusinasi.http://asuhankeperawatan-pada-
pasiendengan_halusinasi_09.html. Diakses pada tanggal 16 Februari 2011
Maramis. 2004. Ilmu Kedoktera Selatan. Skripsi. Online.
Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta
Sarafino, E.P. (2011). Healty Psychology: Biopsychososial Interaction

43
Suharismi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Edisi Revisi 14.
Jakarta: Rineka Cipta. , 2008.
Trimeilia. 2011. Asuhan Keperawatan Klien Halusinasi. Jakarta Timur: CV. Trans
Info Media
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 2014 tentang kesehatan jiwa.
Diakses dari: http://binfar.kemkes.go.id/?
wpdmact=process&did=MjAxLmhvdGxpbms
Universitas islam negeri maulana malik ibrahim pusat perpustakaan. hubungan
dukungan sosial oleh F maziah 2015
Yusuf, dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba
Medika.
Yusuf, rizky fitryasarin pk, hanik endang nihayati. 2015 buku ajar keperawatan
kesehatan jiwa. jakarta : salemba medika.

44

Anda mungkin juga menyukai