Anda di halaman 1dari 7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Post Trauma Stress Disorder (PTSD)

2.1.1 Definisi

Post traumatic Stress Disorder (PTSD) adalah gangguan kecemasan yang dapat terjadi

setelah mengalami atau menyaksikan suatu peristiwa traumatik (Nutt, 2009). Peristiwa yang

menimbulkan trauma termasuk fisik atau pelecehan seksual atau penganiayaan, cedera,

kekerasan di jalanan, kecelakaan lalulintas, trauma perang, luka bakar yang parah, dan bencana

alam lainnya (Nutt, 2009)

Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) adalah sindrom yang muncul setelah seseorang

melihat, mendengar atau terlibat dalam stresor traumatis yang ekstrem. PTSD terjadi karena

paparan peristiwa traumatis dan didefinisikan berdasarkan cluster gejala yang berbeda antara lain

kembali merasakan sedang dalam peristiwa trauma atau flashback, menghindar, emosi

tumpul/numbing dan gejala tersebut tetap bertahan selama lebih dari 1 bulan. (Sadock, B.J .&

Sadock, V.A., 2007).

Stresor ekstrem yang memiliki risiko menimbulkan PTSD antara lain serangan teroris,

peperangan, kecelakaan lalu lintas berat, dan bencana alam seperti tsunami dan gempa bumi

(Santiago et al. 2013).

2.1.2 Epidemiologi

Prevalensi PTSD pada wanita lebih tinggi dari pria. Prevalensi pada wanita berkisar 10-

12% dan 5-6% pada pria. Walaupun PTSD dapat muncul pada usia berapapun, tetapi
kebanyakan sering terjadi pada dewasa muda karena cenderung lebih mudah terpapar. Gangguan

ini cenderung terjadi pada orang yang belum memiliki pasangan, bercerai, janda, dikucilkan dari

lingkungan atau sosial ekonomi yang rendah. Faktor risiko gangguan ini yaitu pada tingkat

keparahan trauma, durasi, serta trauma yang dialami individu. Trauma yang sering muncul pada

pria antara lain kekerasan, sedangkan pada wanita yaitu pemerkosaan (Sadock, B.J. & Sadock,

V.A., 2010).

2.2.3 Etiologi

Stresor merupakan faktor utama yang menyebabkan stres akut dan PTSD. Tidak semua

peristiwa traumatis yang dialami oleh individu dapat menyebabkan PTSD. Peristiwa traumatis

dapat menimbulkan PTSD jika peristiwa tersebut menjadi stesor yang kuat dalam kehidupan

individu. Sresor tersebut dapat timbul dari pengalaman perang, kekerasan, bencana alam,

pemerkosan, dan kecelakaan lalu lintas yang serius. Kriteria suatu peristiwa menjadi stresor

untuk mendiagnosis PTSD yaitu ; ancaman serius terhadap keselamatan individu baik secara

fisik maupun psikologis, menyaksikan ancaman kekerasan dan kematian, kerusakan yang terjadi

tiba-tiba baik rumah dan komunitas. Kriteria tersebut dapat menimbulkan respon subjektif antara

lain ketakutan (terror dan horror) serta intensitas maupun durasi dari suatu peristiwa traumatis

yang mempengaruhi kepribadian individu sehingga menimbulkan distress.(Nurtanty, N.D., 2009)

2.2.4 Patofisiologi

Pada PTSD dapat mengakibatkan terjadinya perubahan yang memengatur memori dan

emosi. Ditinjau dari aspek biologis, PTSD terjadi karena adanya proses yang terjadi di otak.

Individu dengan PTSD akan mengalami perubahan yang terjadi pada fisik. Kondisi ini

mempengaruhi sistem saraf pusat dan sistem saraf otonom. Selain itu akan terjadi penurunan
ukuran dari hipokampus dan amigdala yang over reaktif. Dalam hal ini, komponen yang paling

penting adalah memori karena kejadian traumatis akan berulang terus menerus melalui memori.

Hipokampus dan amigdala adalah kunci dari memori manusia (Schiraldi, 2009).

Amigdala merupakan fear center dari otak. Sehingga penderita PTSD akan mengalami

amigdala yang over reaktif. Amigdala membantu otak dalam membuat hubungan antara situasi

yang menimbulkan ketakutan di masa lalu. Kondisi ini dapat berpasangan dengan situasi saat ini

yang bisa saja netral. Individu dengan gangguan ini akan mempertahankan kondisi waspada yang

konstan pada saat situasi yang tidak tepat karena pada saat itu otak memerintahkan individu

bahwa dalam situasi yang aman pun individu sedang menghadapi ancaman (Sun et al. 2013).

Hipokampus adalah bagian yang menciptakan harapan terhadap situasi yang akan

memberikan reward atau situasi traumatis yang kita alami berdasarkan pada memori dan

pengalaman belajar dari masa lalu. Penderita PTSD dengan kerusakan hipokampus, akan

mengalami kesulitan untuk belajar dan menciptakan harapan baru untuk berbagai situasi yang

terjadi setelah kejadian traumatis (Erwina Ira., 2010).

Selain itu pada penderita PTSD juga terjadi derajat hormon stres yang tidak normal.

Individu dengan PTSD memiliki hormon kortisol yang rendah jika dibandingkan dengan

individu yang tidak mengalami PTSD dan hormon epinefrin dan norepinefrin dalam jumlah yang

lebih dari rata-rata. Ketiga hormon tersebut berperan penting dalam menciptakan respon flight or

fight terhadap situasi stres. Ini berarti bahwa individu dengan PTSD akan selalu berada dalam

kondisi flight or fight. Individu dengan PTSD juga memiliki kadar natural opiate yang tinggi.

Kondisi ini akan membuat individu untuk mengalami kembali trauma dalam hal untuk mencapai

respon dari opiate (Erwina Ira., 2010).


2.2.5 Faktor Risiko

Faktor risiko merupakan faktor pendukung bagi individu untuk mengalami PTSD.Faktor

risiko untuk PTSD meliputi tetap hidup setelah mengalami kejadian berbahaya dan traumatis,

memiliki riwayat penyakit mental, mengalami kecelakaan, perasaan tertekan, tidak berdaya dan

ketakutan yang amat sangat, melihat orang lain terluka atau meninggal, menghadapi banyak

stresor setelah kejadian traumatis yang dialami, seperti kehilangan anggota keluarga, kehilangan

pekerjaan atau tempat tinggal (Markowitz et al. 2015).

Selain itu faktor risiko lain yang memperberat PTSD yaitu jenis kelamin. Berdasarkan

epidemiologinya, wanita memiliki risiko lebih besar untuk mengalami PTSD daripada pria. Hal

ini disebabkan kerana rendahnya sintesis serotonin serta tingginya prevalensi wanita untuk

menjadi korban dalam peristiwa traumatis seperti pemerkosaan dan kekerasan. Sedangkan faktor

yang memperberat PTSD pada individu antara lain masalah kesehatan yang dimiliki, penggunaan

alkohol, sosial ekonomi yang rendah, perasaan yang tidak aman, tingkat pendidikan yang rendah,

status sebagai minoritas, dan banyaknya jumlah tanda atau gejala yang dialami (Erwina Ira.,

2010).

2.2.6 Diagnosis

Menurut Levers (2012) menyatakan bahwa PTSD ditandai oleh tiga set gejala inti, yaitu

reexperiencing, penghindaran, dan hyperarousal, yang bertahan selama lebih dari 1 bulan.

Selama perawatan psikologis, atau dalam kinerja aktivitas sehari-hari, gejala inti dapat

menyebabkan kecemasan berlebihan, yang dapat menimbulkan hambatan dalam

mengekspresikan emosi perasaan, keyakinan, dan reaksi yang tidak bisa dilakukan secara
signifikan. Selain itu PTSD ditandai dengan sekelompok gejala yang mencakup pikiran yang

terus menerus terganggu, penghindaran, dan hyperarousal.

Diagnosis Post Traumatic Stress Disorder dapat ditegakkan berdasarkan Diagnostic and

Statistical Manual of Mental Disorder 5th Edition dan PPDGJ-III. Menurut DSM – 5 Post

traumatic Stress Disorder digolongkan kedalam Traumaand Stressor Related Disorders.

Sedangkan dalam PPDGJ-III gangguan ini dimasukan kedalam golongan Gangguan Neurotik,

Gangguan Somatoform dan Gangguan Terkait Stres pada kategori Reaksi Terhadap Stres Berat

dan gangguan Penyesuaian (F.43) (Maslim, R ., 2013).

Sementara itu penegakan diagnosis untuk Post Traumatic Stress Disorder dapat melalui

kriteria diagnosis menurut PPDGJ-III yaitu :

· Diagnosis baru ditegakan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun waktu 6 bulan

setelah kejadian traumatis berat (masa laten yang berkisar antara beberapa minggu sampai

beberapa bulan, jarang sampai melampaui 6 bulan). Kemungkinan diagnosis masih dapat

ditegakkan apabila tertundanya waktu mulai saat kejadian dan onset gangguan melebihi waktu 6

bulan, asal saja manifestasi klinisnya adalah khas dan tidak didapat alternatif kategori gangguan

lainnya.

· Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang - bayang atau mimpi-

mimpi dari kejadian traumatis tersebut secara berulang - ulang kembali ( flashback).

· Gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah laku semuanya dapat

mewarnai diagnosis tetapi tidak khas.


· Suatu “sequelae” menahun yang terjad lambat setelah stres yang luar biasa, misalnya

saja beberapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasikan dalam kategori F62.0 (perubahan

kepribadian yang berlangsung lama setelah mengalami katasfora).

2.2.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan penderita PTSD dapat dilakukan dengan farmakoterapi dan Psikoterapi.

Pemberian farmakoterapi merupakan pegobatan penting untuk penderita PTSD dengan

disesuaikan berdasarkan tingkat keparahan gejala dan gejala spesifik yang dialami penderita.

a. Farmakoterapi

Pemberian SSRI atau Selective Serotonin Re- uptake Inhibitor merupakan obat

lini pertama. Obat golongan ini akan bekerja sebagai penghambat pengambilan kembali

serotonin di celah sinaps sehingga jumlah serotonin dicelah sinaps semakin bertambah.

Sehingga golongan ini efektif untuk semua gejala penderita PTSD dan memiliki efek

samping paling minimal. Ada lima golongan SSRI yang dapat digunakan untuk penderita

PTSD, yaitu Zoloft (setraline), Paxil (paroxetine), Prozac (fluoxetine), Luvox

(Fluvoxamine), Celaxa (citalopram) (Rosss, D ., 1999).

Selain itu terdapat golongan psikotropika lain yang juga diajurkan untuk

mengobati gejala PTSD yang timbul seperti golongan anti-depresi trisiklik (Amitriptyline

dan Imipramine), mood stabilizers, golongan SNRI (Venlafaxine) dan antiansietas

(Benzodiazepine) (Nurtanty, N.D., 2009).

b. Psikoterapi
Pendekatan psikoterapi setelah mengalami peristiwa traumatis harus bersamaan

dengan edukasi dan pembentukan mekanisme koping serta penerimaan terhadap

peristiwa yang dialami. Ketika mengalami gangguan PTSD dapat dilakukan dua

pendekatan yaitu membayangkan peristiwa traumatis untuk meningkatkan mekanisme

koping. Pendekatan kedua yaitu penatalaksanaan stres yang dialami dengan teknik

relaksasi dan pendekatan kognitif. Terapi individual, terapi kelompok dan terapi keluarga

juga efektif dalam penatalaksanaan PTSD. Penatalaksanaan dengan psikoterapi lainnya

yang dapat digunakan untuk penderita PTSD antara lain, Cognitive Behavioral Therapy

(CBT), Prolonged Exposure, Stress inoculation Training, Imagery Rehearsal Theraphy

(IRT), CPT, EMDR, Psychodinamic therapy, Hypnosis dan Debriefing. Penatalaksanaan

psikoterapi tersebut menggunakan pendekatan fungsi kognitif pasien untuk mengurangi

gejala yang terjadi pasca trauma (Markowitz et al. 2015).

2.2 Terapi Realitas

Anda mungkin juga menyukai