Anda di halaman 1dari 341

adalah salah satu lini produk penerbit Hikmah yang menghadirkan buku-buku

umum dan populer yang bertujuan meningkatkan motivasi, menggugah semangat,


serta mencerahkan secara intelektual dan spiritual.
50 Great Business Ideas from Indonesia
Gebrakan Perusahaan-Perusahaan Indonesia
yang Mendunia

Karya M. Ma’ruf

Copyright © M. Ma’ruf, 2009


Hak cipta dilindungi undang-undang
All rights reserved

Penyunting: H. Sogir
Penyelaras Aksara: Ike Sinta Dewi, Indah N.
Desain Sampul: Ade Fery Riantara
Penata letak: Alia Fazrillah

Penerbit Hikmah (PT Mizan Publika)


Anggota IKAPI
Jln. Puri Mutiara No. 72
Cilandak Barat, Jakarta Selatan 12430
Telp. (021) 75915762-63 – Faks. (021) 75915759
http://www.mizan.com/hikmah
E-mail: hikmahku@cbn.net.id,
hikmah_publisher@yahoo.com

ISBN: 978-979-3714-64-6

Cetakan I: Maret 2010

Didistribusikan oleh Mizan Media Utama (MMU)


Jln. Cinambo (Cisaranten Wetan) No. 146
Ujungberung, Bandung 40294
Telp.: (022) 7815500 (hunting) Fax.: (022) 7802288
E-mail: mizanmu@bdg.centrin.net.id
_________________________________________________________
JAKARTA: Telp. 021-7874455, Faks.: 021-7508945 ~ SERANG: Telp./Faks.:
0254-214254 ~ SURABAYA: Telp.: 031-8281857, 031-60050079, Faks.:
031-8289318 ~ MALANG: Telp./Faks.: 0341-567853 ~ BALI: Telp./Faks.:
0361-462214 PEKAN­BARU: Telp.: 0761-20716, 0761-29811, Faks.: 0761-
20716 ~ MEDAN: Telp./Faks.: 061-7360841 ~ PALEMBANG: Telp./Faks.:
0711-815544 ~ YOGYAKARTA: Telp.: 0274-885485, Faks.: 0274-885527 ~
MAKASSAR: Telp./Faks.: 0411-873655.
Ucapan Terima kasih

U ntuk mengatasi keterbatasan waktu, buku ini ba­


nyak memakai sumber-sumber sekunder, sehingga
akan tampak kisah yang ditulis merupakan kompilasi
dari berbagai sudut cerita yang dikemas ulang dari su­
dut pandang penulis. Beberapa konfirmasi secara tidak
langsung telah dijawab oleh berbagai media dan sumber
penulisan yang dikutip penulis. Karenanya, dengan
sega­la kerendahan hati, penulis mengucapkan terima
kasih kepada media-media yang tidak bisa disebutkan
satu per satu di sini. Penulis juga mengucapkan banyak
terima kasih kepada perusahaan-perusahan atas infor­
masi yang telah diberikan.
Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih
kepada beberapa teman jurnalis yang memberikan sum­
bangan ide dan bahan tulisan. Irvin Avriano (Bisnis
Indonesia) atas tulisan mengenai dunia film Multivision,
Susi Susanti (copy editor Seputar Indonesia) dan
Ahmad Wahid Fauzie (Kontan) mengenai cara-cara me­
nulis “yang lebih santai”, Andreas Ismar (Reuters) pe­
rihal ide-ide perusahaan yang patut dipertimbangkan
dalam buku ini. Tak dapat dilupakan pula rekan-rekan

v
wartawan di desk ekonomi Harian Seputar Indonesia.
Terakhir adalah penerbit Hikmah, Iqbal Santosa dan
Hasanah Putri Melati yang sangat menentukan hasil
akhir penulisan buku ini.
M. MA’RUF

vi
Isi Buku

Ucapan Terima kasih — v

Bagian I: Lihatlah Bagaimana Mereka


Melakukannya
Edward Forrer
Temukan Bakat Anda — 2

Lion Air
Kalau Bisa Murah, Mengapa Harus Mahal? — 8

Bloop, Bloopaka, Endorse


Sepotong Kaos Akan Mahal Bila Dipakai Artis — 13

Sosro
Belajarlah dari Kesalahan — 19

Multivision Plus
Jangan Dengarkan Kata Orang — 25

Kapal Api
Rasa Bukanlah Segalanya, Dibutuhkan Inovasi — 30

vii
Bagian II: Orang-Orang Spesial; Para
Pionir
Aqua
Sebuah Kejadian Tidak Menyenangkan adalah Ide Bisnis yang
Menggiurkan — 36

Detikcom
Jangan Latah dan Berhati-hatilah — 43

Kem Chicks
Paksalah Orang-orang Membeli Secara Sukarela — 50

National Gobel
Sebuah Ide Besar Perlu Bantuan Orang Besar — 57

4848
Jadilah yang Pertama — 62

C59
Percayalah, Ide Original Akan Lebih Laku — 66

Olympic Furnitures
Terbangkan Imajinasimu Setinggi-tingginya — 70

Bagian III: Biarkanlah Otak Anda Bekerja


Primagama
Sukses Harus Dimulai dari Bodoh dan Malas — 78

Es Teler 77
Yang Penting Heboh — 83

Sido Muncul
Orang Gila Sekalipun Tahu Jamu yang Enak — 90
M. MA’RUF

Jawa Pos Group


Perlu 1000 Kesalahan untuk Membuat Koran yang Laris — 95

Ayam Bakar Wong Solo


Pers, Gosip, dan Kontroversi adalah Iklan Murah — 102

viii
Bagian IV: Gagasan-gagasan Cerdas
Bagteria
Anda Tidak Hanya Membeli Sebuah Tas Tangan Anda Membeli
Sebuah Karya Seni — 110

J.CO
Ini Donat Asli Lokal — 114

NCS
Lihatlah Bagaimana Komputer Mengubah Nasib Anda — 118

Hotline Advertising
Hidup ini Seperti Tumpeng — 121

B&B Inc
Anak Muda Selalu Ingin Bergaya — 126

Mizan
Kombinasi yang Pas: Kualitas, Momentum, dan
Keberuntungan — 130

Bagian V: Duet-duet Maut ala Semar dan


Petruk
Purwacaraka Music Studio
Indahnya Musik Justru Karena Duet Bebunyian Alat yang
Berbeda — 138

Kompas
The Dynamic Duo — 142

Ciputra Development
Bangku Kuliah Tetap Bagian Penting dari Sebuah Bisnis
Besar — 152

TEMPO
Bersatu Kita Teguh, Bercerai Tetap Utuh — 159
Isi Buku

ABC
Anak Muda Selalu Bisa Diandalkan — 167

CNI
Empat Sekawan — 172
ix
Bagian VI: Cinta Itu Dampaknya Luar Biasa
Susi Air
Nurani Bisa Menuntun pada Jalan Bisnis Baru — 180

Java Musikindo
Hobi dan Bisnis adalah Kombinasi yang Dahsyat — 185

Maspion
Membeli Produk Lokal Juga Sebuah Sikap Nasionalisme,
Bung! — 188

Log Zhelebour Production


Idealisme dan Komersialisme Rupanya Bisa Akur — 192

Bagian VII: Sedikit Rahasia itu Perlu


Wings
Stt... Ada Katuari di Dalam Sabunmu — 198

Mitra Adiperkasa
Siapa Kami, Bukan Urusan Anda — 205

Ceres
Darah Kami Cokelat — 211

Bagian VIII: Selalu Ada Jalan untuk


Berubah
Harvest
Periksa Kembali Diary-mu, Mereka Menyukainya — 218

Tung Desem Waringin


Belajarlah dari yang Terbaik — 225
M. MA’RUF

Mustika Ratu
Alam adalah Sumber Kesehatan dan Bisnis — 233

Rudy Hadisuwarno
Tandailah Keberhasilan Sejak Awal — 239
x
Sahid Hotel
Menjadi Pegawai Negeri Sipil Tak Akan Membuatmu
Kaya — 244

Martha Tilaar
Ada Hal-hal Positif yang Bisa Dikerjakan — 251

Bagian IX: Tidak Ada Pemenang Abadi


Matahari
Ada Orang yang Ditakdirkan Hanya untuk Mencipta — 258

Astra Internasional
Ada yang Lebih Bernilai daripada Angka-angka
Triliunan — 264

MQ Corp
Sebuah Bisnis Berbasis Figur itu Seperti Mode — 273

Bakrie & Brothers


Dari Krisis ke Krisis; Bisnis adalah Komidi Putar Kawan — 281

Alfamart
Tunggulah Saat yang Tepat untuk Lepas dari
Bayang-bayang — 289

Blue Bird
Jangan Remehkan Seorang Janda Sekalipun dalam Sebuah
Kompetisi — 294

Indofood
Selalu Ada Kesempatan untuk Berubah — 300

Penulis: Never Too Old to Learn — 307

Catatan-Catatan — 309
Isi Buku

xi
Lihatlah
Bagaimana
Mereka
Melakukannya

bagian 1
Edward Forrer

Temukan Bakat Anda

P astikan Anda sudah mengetahui apa sebetulnya


bakat Anda. Itu sangat perlu dan penting. Setidak­
nya ini pesan pendiri dan pemilik sepatu merek Edward
Forrer asal kota Kembang yang kini memiliki penggemar
fanatik di luar negeri. Dia pada mulanya adalah anak
muda miskin, dan seperti lulusan SMA di Tanah Air yang
tanpa keahlian, hanya memiliki satu pilihan; bekerja
sebagai buruh kasar. Lalu, bagaimana dia bisa menyulap
bakatnya menjadi bisnis miliaran rupiah?
Edward atau kerap dipanggil Edo pada usia 22
tahun masih seorang buruh bagian gudang sebuah pabrik
sepatu di Bandung, Jawa Barat. Suatu hari, sebuah artikel
di koran mengenai pengembangan talenta mengubah
hidup Edo untuk selamanya. Artikel itu dibacanya ber­
ulang-ulang dan memaksanya berkontemplasi untuk
waktu yang cukup lama guna menemukan sebuah bakat.
Pencarian ini berakhir dengan temuan bahwa sejak
sekolah dasar dia sudah sangat menyenangi pelajaran
menggambar. Dia pintar menggambar apa saja. Itu satu-
satunya bakat yang dimiliki dan telah dilupakannya.

2
Tidak sulit baginya menghidupkan bakat itu lagi
dengan objek baru yang sudah tidak asing lagi, sepatu.
Edo mengamati model-model sepatu di gudang tempat
dia bekerja tampak begitu membosankan dan kuno.
Dia mereka-reka desain sepatu pertamanya. Bermodal
memodifikasi bertumpuk-tumpuk sepatu yang sehari-
hari dilihatnya dengan sedikit tambahan imajinasi dan
kreasi. Hasil desain sepatunya itu tampak lebih bagus.
Bahkan, sang bos pun sebetulnya suka, tapi lebih memilih
menolak tawaran agar desain itu diproduksi. Penolakan
itu tidak membuat Edo jera. Dia tetap rajin membuat
desain-desain baru untuk disimpan di laci meja.
Pada 1989, dia mengambil keputusan, setelah
melihat tidak adanya peluang mengubah nasib dari
bagian gudang menjadi desainer. Anak muda ini nekat
mengundurkan diri setelah 11 bulan bekerja. Kepada
bosnya, Edo mengaku akan membangun usaha yang
sama, tapi bersumpah tidak akan menjadi pesaing. Ini
keputusan yang cukup gila untuk orang miskin pada

Bagian 1 – Lihatlah Bagaimana Mereka Melakukannya


zamannya, menjual sepatu hanya dengan gambar! Yup,
hanya itu pilihan yang tersedia, tanpa sepeser pun uang.
Dengan sepeda kumbang, Edo memulai aksi penjualan
door to door, berkeliling kompleks menawarkan sketsa
sepatu, dari pintu rumah tetangga, kerabat, dan teman.
Sial bagi Edo, cara penjualan nan unik ini malah dianggap
aneh. Banyak orang yang ditawarinya langsung menolak
mentah-mentah. Menjual gambar benar-benar ide gagal.
Terlebih lagi, Edo mensyaratkan uang muka untuk
sebuah pesanan sepatu virtual itu, sehingga sejumlah
ibu-ibu ketakutan dan menganggapnya penipu.
Akhirnya Edo menemukan pelanggan pertama dari
orangtua murid les privat-nya. Les ini dia buka untuk
menutupi biaya hidup, setelah berbulan-bulan penjualan
sepatu tidak membuahkan hasil. Mungkin karena belas
kasihan, orangtua itu memesan sepasang sepatu dan
bersedia membayar sejumlah uang muka untuk membeli 3
bahan kulit. Edo girang bukan main saat mengerjakan
pola, menjahit, menempel sol, hingga akhirnya meng­
antarkan sepatu untuk pemesan pertama. Sepatu itu
sebenarnya tidak mudah dikerjakan, sebab Edo yang
piawai mendesain, tidak begitu pintar mengesol sepatu.
Karena itu, Edo terlebih dahulu belajar membuat sepatu
dengan mesin jahit pinjaman. Produk perdana itu tidak
lazim, tetapi orangtua anak didiknya itu puas.
Sepatu itu unik dan terkesan kokoh karena dibuat
dengan tangan. Model baru yang tidak ditemukan
di toko itu dengan cepat mengundang rasa penasaran
orang. Dari arisan ke arisan, obrolan gosip ibu-ibu,
produk sepatu customized Edo mulai menjadi buah
bibir yang memicu serangkaian pesanan. Ide Edo me­
manfaatkan peluang kecenderungan sepatu pabrikan
yang dibuat massal membuat rekomendasi sepatu yang
eksklusif jatuh ke tangannya. Apalagi, Edo lebih senang
bila konsumennya memberikan ide seperti apa bentuk
sepatu yang diinginkan. Selama setahun, dari hanya
lima order seminggu menjadi lima pesanan dalam se­
hari. Berbekal uang hasil pesanan sekitar Rp 200.000
pada 1990, Edo mulai merekrut dua orang karyawan
dengan sebuah mesin jahit milik sendiri.
Pesanan semakin banyak karena konsumen mu­
lai berdatangan ke rumah sehingga Edo tidak lagi ber­
keliling dengan sepeda kumbang tuanya. Dia meng­
ubah ruang tamu rumahnya yang berukuran 2 x 2
meter menjadi sebuah bengkel kerja dan ruang pamer
(show room). Usaha Edo terus berkembang dan dia
berhasil mengumpulkan dana untuk menyewa sebuah
M. MA’RUF

toko di Jalan Saad, Bandung. Empat tahun kemudian,


dia membuka gerai yang jauh lebih besar dan apik di
Jalan Veteran No. 44, Bandung—sekarang menjadi
kantor pusat Edward Forrer. Penjualan melalui sketsa
lama-kelamaan ditinggalkan karena tidak sanggup lagi
4 memenuhi padatnya jadwal produksi, kecuali untuk
beberapa pelanggan tetap dan orang-orang cacat. Per­
ubahan pola produksi ini tidak memengaruhi penjual­
an karena Edo berjanji sepatu-sepatu itu masih dibuat
dengan tangan dengan jumlah terbatas—hampir mus­
tahil Anda bertemu bawahan di kantor pada sebuah
pesta dengan memakai sepatu yang sama.
Model yang unik dan eksklusif ini membuat sepa­
tu Edward Forrer yang tadinya menyasar kelompok
masyarakat menengah ke bawah justru berbalik. Gerai
distribution outlet atau distro mulai dibanjiri orang-
orang dari Jakarta. Selain desain sepatu yang modis,
orang-orang di luar Bandung itu tampaknya juga sangat
nyaman dengan merek sepatu yang dilabeli dengan nama
lengkap Edo; Edward Forrer. Mereka yang tidak tahu
mungkin menyangka itu adalah sepatu impor mahal
dari Italia. Padahal, sepatu-sepatu itu dibuat di Bandung
dengan sejumlah bahan baku dari luar negeri.
Sepatu itu laku keras, sehingga melecut koleksi
produk yang semula hanya untuk wanita dewasa, ber­

Bagian 1 – Lihatlah Bagaimana Mereka Melakukannya


tambah dengan sepatu ABG wanita. Sejak toko besarnya
di Jalan Veteran dibuka, Edo memanfaatkan sisa-sisa
bahan sepatu tak terpakai untuk memproduksi sepatu
pria dan tas. Hingga lima tahun pertama, sepatu-sepatu
itu masih kuat diproduksi sendiri, tetapi kemudian Edo
kewalahan sehingga dipakai sistem pemasok dengan
sejumlah standar ketat, mulai dari desain khusus,
proses pengerjaan dan pilihan bahan baku berkualitas
tinggi. Lambat laun, model produksi maklon ini justru
mengembalikan Edo kepada khitahnya untuk cukup
menempatkan sepatu Edward Forrer sebagai bisnis
merek, bukan pabrik sepatu.
Edo membentuk tim kreatif desain sebagai bagian
paling penting dalam bisnis ini, sementara dia baru
turun tangan bila diperlukan untuk memberi sentuhan
terakhir pada sebuah desain baru. Meski ada saja karya­
wan yang mengeluh dengan sejumlah aturan besi, seperti 5
sanksi pemecatan bila ketahuan merokok di kantor, tim
kreatifnya tidak pernah mati gaya. Manajemen luwes
dan tegas ini justru cukup berhasil untuk memastikan
keluarnya 2 model sepatu dan sandal baru untuk setiap
10 hari di setiap gerai Edward Forrer yang memasang
poster We Innovate Everyday. Sejumlah cara cerdik,
seperti tidak mau berurusan dengan bank untuk per­
modalan dan prosedur pembelian bahan baku dengan
sistem menumpuk di gudang—40% di antaranya adalah
impor—membuat bisnis Edo selamat dari krisis moneter
1997. Stok bahan baku kulit yang cukup banyak, pekerja
melimpah, dan kurs rupiah terpuruk dengan sendirinya
memukul para pesaing. Alhasil, di saat para produsen
sepatu terkapar oleh krisis, omzet Edo justru meloncat
tiga kali lipat lantaran untuk setiap sepatu dan sandal
dengan kualitas bahan baku sama, tidak ada kenaikan
harga.
Namun, karena sikap bisnisnya yang sangat konser­
vatif, baru pada 2003 Edo bisa memecah tabungan
untuk membiayai ekspansi besar-besaran menambah
gerai baru di berbagai sudut kota besar di Tanah Air dan
luar negeri. Dimulai dari kawasan ramai di sudut-sudut
kota Kembang, lalu menjalar ke seluruh kota besar di
Jawa, Bali, Sumatera, dan Sulawesi. Uniknya, dia tetap
enggan memakai jasa kredit bank dan lebih memilih
mewaralaba gerai-gerai itu untuk mempercepat penetrasi
pasar. Ide ini cukup berhasil berkat andil Hermana
Yusuf, Direktur Waralaba Pemasaran yang masuk pada
1999. Lulusan Institut Kepariwisataan Nusantara ini
menggodok konsep waralaba Edward Forrer dari nol
M. MA’RUF

dan sekarang sedang menggenjot penjualan on line via


internet.
Edo sang pemimpi kini telah memiliki gerai pen­
jualan di luar negeri untuk mengawali kenyataan seba­
gai pembuat sepatu terbaik di dunia. Satu gerai ada
6 di Malaysia dan Hawaii, dan dua di Australia yang
dijadikan sebagai kantor pusat urusan luar negeri
yang tidak diwaralabakan. “Saya ini pemimpi dan vi­
sioner. Saya selalu punya mimpi dan berusaha untuk
mewujudkan mimpi itu,” kata Edo.
Impian itu timbul dari masa-masa kecil yang diliputi
kepedihan. Sering kali dia menyaksikan bagaimana ibu­
nya harus membujuk adik-adiknya meminum air yang
banyak untuk mengganjal perut.
Sementara visi itu muncul saat pekerjaannya sebagai
buruh sudah tidak memadai menopang statusnya sebagai
kepala keluarga—Edo sudah menjadi tulang punggung
keluarga ketika ayah dan ibunya bercerai. Kesengsaraan
itu pula yang mungkin membuatnya sampai sekarang
tidak pernah percaya pada prinsip bisnis, menunggu
waktu yang tepat untuk memulai sebuah rencana besar.
Edo lebih banyak menikmati hidupnya di Australia dan
sesekali terbang ke Bandung untuk memecahkan masalah
yang tak mampu dilakukan enam direkturnya.[]

Bagian 1 – Lihatlah Bagaimana Mereka Melakukannya

7
Lion Air

Kalau Bisa Murah,


Mengapa Harus Mahal?

M enjual tiket pesawat seharga sepotong celana


jins—low cost carrier—bukan hal baru dalam
bisnis maskapai penerbangan sipil. Bisnis ini pertama
kali diperkenalkan oleh Southwest Airlines di Amerika
Serikat, pada 1971. Tiga tahun beroperasi, pendirinya,
Herb Kelleher selalu meraup untung dengan penerbangan
jarak pendek antara satu hingga dua jam, tanpa makan.
Konsep itu kemudian ditiru oleh banyak pebisnis lain,
seperti Stelios Haji-Ioannu yang memulai penerbangan
EasyJet dengan dua pesawat Boeing 737-200 di Eropa.
Di Asia, jasa ini dirintis oleh eksekutif Warner Music
Group Tony Fernandes, yang mengubah maskapai bang­
krut menjadi Air Asia, si penguasa langit Asia karena
tarif murahnya.
Di Indonesia, awalnya itu adalah sebuah mimpi
melihat kenyataan bepergian dengan pesawat terbang
adalah milik orang-orang kaya—naik Garuda dan
Merpati tentunya. Mimpi itu dibangunkan oleh dua
bersaudara Rusdi dan Kusnan Kirana pada 20 Juni 2000
yang menjual tiket pesawat sama seperti tiket kereta api,
kapal laut, dan bus.

8
Rusdi adalah pria yang rendah hati, berkumis tebal
dan suka mengkhayal sejak sekolah dasar, terutama
sebelum tidur. “Mengkhayal tentang sesuatu yang positif
itu sangat berguna,” katanya yang mengaku impian
bisa mendorong seseorang melampaui kemampuannya.
Pria kelahiran 1963 ini mengenal bisnis perjalanan
ketika bekerja di biro perjalanan sembari kuliah di
Fakultas Ekonomi Universitas Pancasila. Setelah lulus,
dia mempersiapkan bisnis travel agent-nya, Lion Tour.
Sampai dengan 10 tahun kemudian, orang-orang mas­
kapai masih mengenal Rusdi sebagai pemesan tiket
pesawat untuk konsumen biro perjalanannya. Orang-
orang mungkin tidak tahu dalam benaknya terpendam
khayalan tingkat tinggi, memiliki sebuah maskapai
yang bisa memberi diskon lebih, plus tarif lebih murah,
sehingga banyak orang bisa bepergian ke Kalimantan
atau Sumatera dalam beberapa jam saja.
Kesempatan itu datang ketika Departemen Perhu­
bungan membuat terobosan deregulasi industri pener­

Bagian 1 – Lihatlah Bagaimana Mereka Melakukannya


bangan pada 1999. Bagaimana kemudian Rusdi bisa
menemukan hitung-hitungan ala pedagang Pasar Glo­
dok untuk mendirikan maskapai murah tidak banyak
diketahui—mungkin dari orang-orang visioner macam
Kelleher dan Fernandes. Entah dari mana nyali itu da­
tang, pada mulanya, Rusdi memang benar-benar meng­
ajak para koleganya, sejumlah pedagang di Pasar Glodok
untuk ikut menanam modal pada bisnis barunya ini. Ada
yang tidak percaya, tetapi ada pula yang yakin bahwa
penjelasan Rusdi memang masuk akal. Katanya, dengan
memangkas banyak ongkos-ongkos siluman, bisnis yang
rakus modal dan irit laba ini bisa sangat menguntungkan.
Sebagian dari mereka kemudian turut memodali uang
Rp 80 miliar untuk investasi awal Mentari Lion Airlines
yang didirikan pada 2 September 1999.
Perusahaan itu sebagian sahamnya dikuasai Rusdi
yang menjadi Presiden Direktur, merangkap sejumlah 9
kursi direktur dan selebihnya Kusnan yang tampak lebih
berperan di belakang layar. Lion Air adalah nama yang
mungkin sudah terpikirkan sejak lama, sama dengan
Lion Tour yang masih dikelola. Ini tampaknya lebih
kepada kesepakatan kakak beradik itu bahwa mereka
memang berbintang Leo, sehingga mencontek kepala
singa sebagai logo di ekor pesawat
Markas Lion Air pertama adalah sebuah rumah
toko sewaan seluas 5 x 20 meter di kawasan Harmoni,
Jakarta Pusat. Hari bersejarah itu terjadi pada Juli 2000,
setelah delapan bulan Rusdi dibuat lemas dan menangis
oleh para pesaing yang tidak rela tarif-pesawat diobral.
Menggunakan pesawat Boeing 737-200 sewaan, Lion
Air terbang perdana dari Bandara Soekarno Hatta,
Cengkareng ke Bandara Supadio, Pontianak. Tahun
pertama adalah kondisi yang paling sulit, terlebih orang
dengan mudahnya memberi contoh Awair dan Indonesia
Air yang gugur tak lama setelah resmi dioperasikan,
meskipun didirikan oleh orang-orang yang lama berkutat
di bisnis penerbangan. Satu-satunya pengalaman Rusdi
di bisnis maskapai adalah mantan calo tiket di Terminal
II Bandara Soekarno Hatta.
Setahun berjalan, cibiran itu berlalu dan berganti
dengan isu keselamatan. Lion misalnya tidak memiliki
keistimewaan dengan tarif murah itu, karena telah
mengorbankan dana cadangan pemeliharaan setiap pe­
sawat. Para kritikus dan pesaing menganggap beberapa
tahun lagi Rusdi tidak akan memiliki modal untuk
peremajaan armada.
Rusdi adalah tipe orang yang tidak banyak cakap
M. MA’RUF

dan peduli pada gosip-gosip itu. Sejak awal semua sudah


diperhitungkan sampai detail, termasuk menyelesaikan
tingginya biaya dengan banyak ide brilian. Sekadar
contoh, pemilihan rute penerbangan Lion Air ditentukan
dengan cukup mencari data rekap lalu lintas sambungan
10 telepon jarak jauh. Bila dirasa cukup sibuk dan masuk
hitungan, Rusdi akan membukanya. Dana anggaran
mini diakali dengan iklan-iklan yang bombastis—selain
harga tiket itu sendiri—mulai dari tiket berhadiah mobil
BMW hingga membayar penyelenggara Miss Universe
dan Putri Indonesia untuk menggunakan Lion Air se­
bagai maskapai resmi. Tak lupa, janji We Make People
Fly yang benar-benar dipenuhi dengan tarif 10–20%
lebih murah dari pesaing.
Pernah, dia memerintahkan anak buahnya mema­
sang 500 spanduk di sepanjang jalan protokol di Ibu Kota
Provinsi Sumatera Utara, ketika hendak merintis jalur
penerbangan Medan-Jakarta. Ditulis besar-besar, harga
tiket Rp 500.000, jauh lebih murah dari tiket kapal laut
yang Rp 600.000 dan maskapai lain yang Rp 1,2 juta.
Kehebohan yang membuatnya diserbu orang yang sejak
lama bermimpi naik pesawat. Rusdi yang serbabisa,
mengerjakan sendiri pelbagai pekerjaan, mulai logo,
desain pakaian pramugari dan yang terpenting promosi
yang heboh.

Bagian 1 – Lihatlah Bagaimana Mereka Melakukannya


Sementara itu rumusan-rumusan baku low cost
carrier, seperti tidak ada makanan untuk penerbangan
jarak pendek, atau mengganti nasi dengan roti guna
menggerus biaya pembelian bungkus nasi (alumunium
foil) diterapkan. Segala cara dipakai untuk memangkas
ongkos-ongkos siluman, disertai kebijakan-kebijakan
yang berbeda dengan para pesaing. Lion misalnya selalu
membeli suku cadang secara tunai, memakai aplikasi
reservasi sendiri, dan tentu saja terus mencari pesawat
berbadan lebar. Secara bertahap, Rusdi mengganti
Boeing 737-200 dan Yak 42 buatan Rusia ke jenis MD
82—produksi Mc Douglas yang kini milik Boeing—
sehingga bisa memuat kursi lebih banyak.
Pada Agustus 2004, Lion Air sudah mengoperasikan
24 pesawat jenis Boeing 737-400, MD 82, dan Dash-8.
Delapan burung besi jenis MD 82 tidak lagi dise­
wa, tetapi sudah dimiliki setelah melunasi cicilan 11
sebesar USD5 juta per pesawat. Tahun itu pula, Rusdi
membuat banyak orang mulai curiga dari mana dia
bisa mendapatkan banyak modal, setelah memesan 60
pesawat Boeing 737-900 ER—sebuah pemesanan ter­
banyak maskapai Indonesia yang pernah ada. Ini mem­
buat Lion mencatatkan diri menjadi pengguna pertama
pesawat berkapasitas 158 kursi itu di dunia. Tiga tahun
berselang, Rusdi datang ke International Paris Airshow
2007 di Le Bourget, Paris, dan memesan lagi 40 unit
jenis pesawat serupa seharga USD3 miliar. Tahun lalu, di
Singapore Airshow dia menambah 56 unit lagi sehingga
total armada Boeing 737-900 ER yang dipesan Lion Air
menjadi 178 unit.
Serangkaian kejutan ini kembali membuat Rusdi
diterpa isu. Dia dikait-kaitkan dengan Singapore Airline
sehingga bisa memiliki cukup banyak dana mendiskon
tarif untuk menghancurkan industri penerbangan lokal.
Atau juga isu peran keluarga Katuari si pemilik Wings
Group, yang namanya dihubung-hubungkan dengan
Wings Air, anak usaha Lion Air yang melayani rute
Indonesia Timur. Bahkan, banyak orang yang mengira
Rusdi sebenarnya merugi. Menanggapi hal itu, dia hanya
berkata,“Kalau gue rugi, kenapa gue bayar pajak?”
Sekarang, Rusdi telah mewujudkan impiannya un­
tuk benar-benar membuat banyak orang terbang. Pada
2001 penumpang penerbangan nasional hanya 6 juta
orang, kemudian melonjak hingga 34 juta pada 2007—
tentu saja dibantu oleh banyak maskapai yang mengikuti
cara kerja Lion Air.
Kesuksesan Lion Air sebagai pelopor low cost
M. MA’RUF

carrier mendapat pengakuan melalui penghargaan


Best Brand Award 2004 dari Majalah SWA. Kini, Lion
Air merupakan maskapai kedua di Tanah Air yang ter­
banyak membawa orang terbang, tepat di bawah Garuda
Indonesia.[]
12
Bloop, Bloopaka, Endorse

Sepotong Kaos Akan Mahal


Bila Dipakai Artis

J ika ditanya, manakah kawasan Tebet, Jakarta Selatan


yang paling macet? Orang-orang yang biasa melintasi
jalanan di sana pastinya akan kompak menjawab, Jalan
Tebet Utara Dalam. Beberapa tahun lalu, jalanan itu
masih seperti kawasan pemukiman lainnya di Tebet yang
sepi. Pengendara mobil dan motor dapat melewati­nya
tanpa banyak mengeluh. Kemacetan di jalan itu masih
bisa ditebak, saat jam berangkat atau pulang seko­
lah SMP 115 dan lembaga bimbingan SSC. Sekarang,
hampir setiap hari, terlebih akhir pekan, anak baru gede
(ABG) dan remaja tanggung seantero Jabodetabek rajin
menyerbu kawasan yang beralih fungsi menjadi tempat
belanja dan hang out tersebut. Bahkan, karena sering
macet, sopir Bajaj hanya bersedia melintasi kawasan itu
jika ongkosnya dinaikkan.
Adalah A. Kardjono yang menemukan bisnisnya
setelah puluhan tahun bekerja pada sebuah perusahaan
swasta terkemuka di Jakarta. Dia mengajukan pensiun
dini untuk menyemangati tiga anaknya yang sedang
belajar memulai bisnis. Lima tahun berjalan, keluarga
ini tampak kompak seperti kisah keluarga super hero

13
di film The Incredibles, tetapi dalam bisnis distribution
outlet (distro), restoran dan makanan siap saji yang
menguasai Jalan Tebet Utara Dalam.
Pasangan Kardjono dan FR Siwi dianugerahi anak-
anak berbakat wirausaha sejak kecil dengan kemam­
puan yang saling melengkapi. Martin Sunu Susetyo
yang dipanggil Martin, ahli menemukan barang-
barang bagus yang akan disukai orang. Alumni Cabra
College, Adelaide, Australia Selatan ini kreatif serta
pandai bergaul sehingga pintar menemukan orang
yang bisa menciptakan produk bagus, tetapi tidak bisa
menemukan konsumen. Adiknya, Bertolomeus Saksono
Jati—dipanggil Berto—memiliki insting manajer yang
baik. Berto yang lulusan GS Fame Institute of Business,
Jakarta ini paham soal pengembangan bisnis, keuangan,
dan sumber daya manusia. Adapun si bungsu Theresia
Alit Widyasari atau Sari, setelah menimba ilmu fashion
marketing di London, dia bisa memberi tahu mana
saja produk yang akan membosankan dan desain yang
diinginkan konsumen. Tak lupa ibu mereka, Siwi, adalah
koki terbaik yang dimiliki keluarga ini.
Martin pernah berbisnis sapi potong yang dida­
tangkan dari Solo dan kemudian distributor rokok.
Keduanya gagal karena ditipu relasi dagang. Prestasi
buruk juga diperoleh saat berbisnis tambak udang dan
bandeng di Rengasdengklok. Sementara Berto pernah
gagal merintis usaha distro di daerah Kelapa Gading,
kedai martabak di kawasan Pulomas, serta lembaga
pendidikan bahasa asing. “Setiap kali memulai bisnis,
kami meminta bantuan Papa. Tapi, karena sudah berkali-
M. MA’RUF

kali gagal, kami enggak berani untuk meminta bantuan


Papa lagi,” kenang Sari.
Toh, karena tidak juga bisa menemukan orang
yang mau meminjamkan modal, ketiga kakak beradik
itu kembali kepada ayahnya. Supaya berhasil, mereka
14 mengajak sang ayah ke Bandung, melihat bagaimana
suasana pengunjung mendatangi distro yang mirip
antrean penerima dana bantuan langsung tunai (BLT).
Kardjono terkesima dengan pemandangan itu.
Mo­dal Rp 50 juta untuk kesekian kalinya keluar dari
pinjaman bank atas nama Kardjono. Dana tersebut
digunakan untuk mendirikan distro bernama Bloop.
Menurut Sari, Bloop (baca: Blup) terdengar mirip
bebunyian ketika kita berendam di bathtube, lantas ada
udara yang keluar dari dalam air. Selain melambangkan
harapan hidup, bunyi blup juga mudah disebut dan
diingat.
Bloop, yang dicetuskan Berto, semula berdiri di
Kalimalang pada September 2003. Mereka memasok
barangnya dengan sistem jual putus dari produsen kaos-
kaos pemasok distro di Bandung yang sudah terkenal
seperi Cosmic, Ouval, dan Airplane. Setelah melalui
masa-masa sulit dan nyaris gagal, Bloop menemukan
titik terang setelah Berto menemukan tempat yang lebih
strategis, yaitu di Jalan Tebet Utara Dalam. Jalan itu

Bagian 1 – Lihatlah Bagaimana Mereka Melakukannya


dilalui kendaraan dan dekat dengan tempat tinggal artis.
“Kalau ada ATM, pasti pihak bank sudah menyurvei
bahwa tempat itu memang ramai,” kata Berto.
Kepindahan ini adalah awal bagi mereka untuk
mengundang lebih banyak pengunjung. Dalam hitungan
bulan, kaus, baju, dan jaket-jaket laku keras. Untuk
menahan distro yang bermunculan, dibuka gerai baru
bernama Endorse yang memasang sandang usia remaja
dan kuliahan, sementara Bloop yang sejak awal untuk
konsumen anak-anak SMP-SMA tetap dipertahankan—
pada akhirnya pemisahan ini gagal dan keduanya justru
dibuat bersaing satu sama lain.
Awal 2004, Martin mulai memasarkan dagangan
merek sendiri. Sekarang mereka menjual 200 merek
dari berbagai clothing—pembuat, atau malah hasil
kreasi karyawannya sendiri, termasuk milik Kardjono
dan teman-teman pensiunannya. Selain Endorse, Bloop, 15
ada pula merek Major, dan Babo. Sepotong kaos
dijual bervariasi antara Rp 75.000-200.000 dan setiap
hari satu gerai bisa menjual sekitar 5.000 potong. Ini
ditambah dengan order beli putus ribuan potong per
bulan oleh pembeli dari pelosok daerah, plus masa panen
setahun sekali menjelang Lebaran, Natal, dan Tahun
Baru. Dengan cepat barang-barang Bloop dan Endorse
menembus kawasan lain mulai dari ujung Sumatera
hingga Timur Indonesia. Termasuk pembelian besar dari
Singapura dan Malaysia lewat agen tunggal Bloop dan
Endorse di sana.
Desain garmen yang dijual tidak melulu menunggu,
tetapi diciptakan dengan riset mendalam untuk meng­
hasilkan baju, kaos, dan sepatu yang lebih modis dan
variatif. Sari yang merangkap Direktur Pemasaran Bloop
sering kali menyamar sebagai pembeli untuk mendengar
komentar, kritik atau ungkapan jujur dari bisik-bisik
antarkonsumennya. Dari info rahasia ini, dia mencipta­
kan desain-desain baru sesuai keinginan pembeli. Ka­
dang kala, digelar undian nonton konser di luar negeri
atau Wow Factor Strategy yang menghebohkan—keti­
ka se­dang berbelanja, konsumen diberi amplop berisi
voucher hingga Rp 1,5 juta tetapi harus dihabiskan
dalam lima menit. Promosi ini cukup efektif membuat
para gadis-gadis histeris, dan rela menghabiskan waktu
lebih lama di sana.
Desain kaos yang dipajang juga hanya bertahan tiga
bulan untuk menjaga agar pengunjung tidak bosan. Bila
tidak laku, disimpan di gudang dan diobral saat liburan
panjang sekolah atau menjelang akhir tahun seharga
M. MA’RUF

pokok. Kardjono juga mewariskan kebiasaan ketika


masih bekerja di perusahaan, dengan membuat forum
setiap hari Rabu. Tetapi, promosi paling efektif justru
muncul dari pergaulan luas Martin dan Sari dengan para
selebritas Tanah Air. Mereka meyakinkan pembelinya
16 bahwa kaos, jaket atau tas mereka itu adalah pakaian
yang dipakai para pujaan remaja itu—tanpa banyak
mengeluarkan ongkos promosi. Martin sering mengajak
temannya yang artis nongkrong di distronya. Sebut saja
Natalie Sarah, Nirina Zubir, Peggy Melati Sukma, Ichsan
dan Dirly Indonesia Idol, termasuk sejumlah grup band
seperti Ada Band, Peterpan, Naif dan Nidji. Sementa­
ra Sari cukup akrab dengan awak band Seventeen,
D’Massive, artis Okky Lukman, Sandra Dewi, Tora
Sudiro, dan Donnie vokalis Ada Band. “Produk kami
dipakai oleh VJ MTV yang saat itu sedang naik, yaitu
Nirina. Orang sering sekali datang ke toko dan mencari
kaus yang dipakai Nirina,” ungkap Sari.
Lagipula, dengan banyaknya manajemen artis dan
rumah produksi (production house) yang bermarkas
di Tebet, tak sulit menemukan selebritas wira-wiri di
sana. Ini sangat menguntungkan. Martin tidak perlu
membayar mahal manajemen artis, karena kaos atau
topi itu diberikannya secara pribadi. Terserah teman-
temannya itu mau memakainya ketika berjalan-jalan

Bagian 1 – Lihatlah Bagaimana Mereka Melakukannya


di mal, konser atau manggung di televisi atau tidak.
Majalah-majalah mode yang memakainya untuk proper­
ti pemotretan turut membantu sebagai iklan gratis. Ini
berlanjut ke rumah produksi macam MD Entertainment,
Avant Garde, Sinemart, juga Extravaganza Trans TV
ikut-ikutan bekerja sama untuk mendapatkan properti
yang sedang naik daun.
Bisnis distro akan mati lima tahun lagi. Ini adalah
jawaban yang diterima ketiganya saat merayu sejumlah
teman untuk memodali Bloop, Endorse, dan sekarang
bertambah Bloopaka. Mereka sudah membuktikan pre­
diksi itu salah. Setelah distro, Martin lantas memiliki
ide untuk menyewa bekas warung steak di sebelah ge­
rai Bloop yang sudah tutup. Martin awalnya ingin
membuka cafe yang dinamai DeJons Cafe untuk para
pelanggan yang datang hanya sekadar kongkow. Ketika
tidak kunjung ramai pada Februari 2006, cafe itu diubah 17
menjadi DeJons Burger yang menjual burger, dan dengan
segera menjadi meeting point ABG Jakarta.
Menyusul pada Mei 2007 didirikan Rumah Makan
Bebek Ginyo—yang pembukaannya dihadiri sejumlah
artis. Ginyo adalah nama depan mendiang kakek Martin,
Genyodihardjo, pembuat keris di Yogyakarta. Rumah
makan baru itu diberi interior ala Jawa tempo dulu
untuk menyasar konsumen yang lebih tua. Munculnya
Bebek Ginyo secara tidak langsung membuat usaha
keluarga ini seperti area belanja terintegrasi. Jika anak-
anak asyik memilih belanjaan di Bloop dan nongkrong
di DeJons, para orangtua yang menunggu lebih memi­
lih waktu masuk restoran Ginyo sambil bernostalgia.
Konsumen-konsumen tua itu dilayani ayah dan ibu
Martin bersaudara yang lebih banyak terlibat untuk
urusan ini. Mereka menyediakan lima menu, bebek
goreng, bebek bakar, bebek kremes (dibalut tepung dan
digoreng renyah), bebek balado (dibalut sambel cabe
merah), serta bebek sambal hijau (dibalut sambal cabe
hijau).
Sang ayah kini lebih berperan sebagai konsultan dan
mediator bagi ketiga anaknya, dan merencanakan bisnis
baru dengan hitungan setiap tahun satu. Sementara
Martin sedang mempersiapkan waralabanya. “Kalau
sudah menikah, kami ingin mempunyai toko masing-
masing yang lebih besar dengan nama Bloop. Pokoknya,
kami ingin membuat Bloop seperti Topshop di Inggris
atau Zara di Spanyol yang terkenal di seluruh dunia,”
tutur Sari.[]
M. MA’RUF

18
Sosro

Belajarlah dari Kesalahan

D ua puluh tahun pertama, penjualan Teh Botol


Sosro tidak langsung laris manis se­perti sekarang.
Penemunya, Sosrodjojo pertama kali menjualnya pa­
da 1940, dalam bentuk kemasan teh kering siap saji
bermerek dari sebuah kota kecil di Jawa Tengah, Slawi,
ke sejumlah pasar di sana. Ini mulanya adalah strategi
menghadapi penjualan hasil panen daun teh perkebunan
milik sendiri yang terus merosot harganya, sehingga
Sosrodjojo berupaya menjualnya secara eceran. Teh
siap seduh merek Teh Cap Botol, yang merupakan
jenis jasmine tea—campuran teh hijau dan bunga me­
lati—itu sebetulnya terasa enak dan segar, hanya saja
cara-cara meracik minuman yang buruk kerap kali
menenggelamkan cita rasanya.
Ini mendorong anak-anak Sosrodjojo berkampanye
mengenai takaran pas meracik teh yang enak. Hasilnya
adalah sebuah kegagalan—karena pembeli rupanya
tidak terlalu menganggap itu penting—tetapi dari situ
keluarga ini justru menemukan ide penjualan yang
lebih brilian, membotolkan teh! Kisah pembotolan Teh
Sosro yang sukses ini sendiri tampak seperti dejavu

19
legenda pembotolan Coca-Cola oleh dua pengacara asal
Chattanooga, Tennessee, Amerika Serikat, Benjamin
Thomas dan Josephe Witehead pada 1899. Bedanya,
Coca Cola pada awalnya sudah dijual dalam gelas plastik
siap minum, dan dua pengacara itu sama sekali tidak
memiliki hubungan dengan John Stith Pemberton—
penemu ramuan Coca Cola.
Satu versi bercerita bila gagasan pembotolan itu
diilhami oleh kebiasaan anak sekolah di Slawi yang
kerap membawa minuman teh dalam botol. Namun,
versi yang lebih resmi seperti dipasang dalam situs resmi
Sosro menyebutkan ide pembotolan lahir dari beberapa
kali kegagalan dalam mempromosikan teh itu ketika
melakukan ekspansi penjualan ke Jakarta oleh anak-
anak Sosrodjojo pada 1953. Sosrodjojo mewariskan
perkebunan dan pabrik teh itu kepada empat anaknya;
Soetjipto, Soegiharto, Soemarsono (meninggal dalam
usia muda), dan Surjanto.
Surjanto yang baru pulang dari sekolah di Jerman,
diserahi tugas membantu memasarkan ke pasar-pasar
dan pusat keramaian dengan program Cicip Rasa.
Program itu adalah semacam demo menyeduh teh yang
benar sekaligus memberikan bukti teh wangi adalah
minuman yang enak. Secara rutin tim promosi yang
dipimpin Soetjipto mendatangi tempat-tempat keramaian
membagi-bagikan teh siap minum. Mereka mengendarai
mobil dan memutar lagu-lagu, mengundang dengan
pengeras suara bahwa ada pembagian teh gratis. Setelah
banyak orang terkumpul, para staf mulai mendemokan
cara menyeduh Teh Cap Botol dengan benar. Para
M. MA’RUF

penonton menyukai teh itu, tetapi menunggu segelas teh


untuk 30 menit tampak bukan promosi yang bagus. Lagi
pula, membuat teh tidak membutuhkan keahlian khusus
sehingga promosi itu menjadi tidak efektif. Orang-orang
menjadi bosan dan tanpa apresiasi.
20
Beberapa waktu kemudian, masalah itu diakali
dengan memperpendek durasi demonstrasi menyeduh
teh. Tidak ada jadwal merebus air dan menyeduh teh di
lokasi. Air teh terlebih dahulu disiapkan di kantor, dan
kemudian diangkut dengan panci-panci ke lokasi. Cara
ini pada mulanya lebih efektif, tetapi masih menimbul­
kan masalah karena jalanan Jakarta yang berlubang
membuat teh-teh dalam panci berceceran di kendaraan
saat perjalanan. Baru pada cara ketiga ditemukan meto­
de paling jitu, dengan masukkan teh siap minum itu
dalam botol-botol bekas limun yang telah dibersihkan
terlebih dahulu. Cara ini cukup sukses dan promosi
dijalankan beberapa tahun tanpa menyadari ada potensi
besar di balik pembotolan itu.
Lama-kelamaan konsumen justru ketagihan dengan
teh siap minum yang ditawarkan dalam Cicip Rasa.
Sopir dan orang-orang yang lalu lalang di sekitar Jalan
Gajah Mada, Bandar Kemayoran, dan Pasar Senen,
Jakarta Pusat yang tadinya malas mencicip lama-lama

Bagian 1 – Lihatlah Bagaimana Mereka Melakukannya


bergerombol ketika mobil promosi yang khas dengan
lagu-lagu datang. “Lama-lama terasa lebih efisien kalau
teh diseduh di rumah untuk kemudian disuguhkan
kepada calon konsumen di pasar. Kebetulan, disajikan
dalam botol-botol,’’ kata Soetjipto.
Pada 1969, keluarga Sosrodjojo memulai penjualan
teh siap minum dalam kemasan botol. Botol-botol limun
yang awalnya dipakai untuk promosi diberi label tulisan
Teh Cap Botol Soft Drink Sosrodjojo, mendompleng
merek teh seduh Cap Botol. Di masa masa awal, pem­
botolan dilakukan secara manual. Teh dimasukkan
memakai gayung, memakai corong plastik dan desain
botol yang dipakai masih sangat sederhana. Pada
1972, masih dengan botol yang sama, label Teh Cap
Botol diubah dengan penulisan “Cap” yang lebih kecil,
sepintas orang hanya akan membaca Teh Botol—seperti
yang kerap dibicarakan orang. Tulisan Soft Drink juga 21
dihilangkan dan kata Sosrodjojo dipangkas menjadi
Sosro dalam logo bulat merah.
Ketika pengiriman mencapai 100 krat per hari (satu
krat berisi 24 botol) pada 1974, keluarga sepakat men­
dirikan Sinar Sosro, untuk mengelola pabrik pembotolan
di kawasan Ujung Menteng (waktu itu masuk wilayah
Bekasi, tetapi sekarang masuk wilayah Jakarta). Setiap
jam, pabrik mampu mengemas 6.000 botol per jam.
Desain botol diubah seperti yang ada sekarang. Usaha
ini sekaligus memisahkan dari induk usaha Perkebunan
Teh Gunung Slamet yang memiliki ribuan hektar ladang
di Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Soetjipto memiliki
cara unik memberi harga
yang pas untuk setiap botol
di tingkat agen dan eceran.
Sebotol teh dihargai tidak
melebihi harga parkir, Rp
25 ditingkat pengecer,
dan pedagang kaki lima
boleh menjual hingga
dua kali lipatnya. Tetapi
terobosan besar baru
dimulai pada 1981 ketika
mereka membagi-bagikan
kotak pen­dingin (cooler
box) di atas roda dorong
kepada para pengecer, mulai dari perempatan Coca-
Cola (sekarang ITC Cempaka Mas), sampai kawasan
Pasar Senen. Teh yang dingin semakin menonjolkan
M. MA’RUF

kesegaran Teh Botol Sosro di tengah udara Jakarta yang


panas. Hubungan manis antara penjual yang diberi
margin keuntungan tinggi itu pada mulanya sebagai
kompensasi setelah toko-toko besar masih menganggap
aneh minuman teh dalam botol. Kedekatan dengan para
22 pedagang kaki lima justru amat menentukan kesuksesan
Teh Botol Sosro.
Sosro membangun rantai distribusi yang sedemikian
tertata dan terukur tanpa preseden kehabisan stok. Di
titik ini, jalur distribusi Sosro memiliki tiga jenjang;
agen, sub agen, dan pengecer. Sejak awal, inventaris
botol-botol perusahaan telah ditetapkan minimal dua
kali lipat dari jumlah teh botol yang berada di tangan
distributor, sehingga terdapat proporsi seimbang antara
botol di pabrik dengan botol di pasaran. Demikian pula,
tenaga-tenaga penjual ditempatkan secara proposional
disesuaikan dengan jumlah truk pengangkut krat-krat
yang menyalurkannya ke 400 pos distribusi di Tanah Air.
Sistem distribusi yang dikelola oleh tujuh perusahaan
pribadi milik sendiri itu hampir menyentuh seluruh
level kabupaten dan kota di Nusantara sehingga akan
sulit disabotase oleh pesaing. Dengan sistem itu, kecua­
li ditilep oleh pesaing, Teh Botol Sosro selalu ada keti­
ka diminta konsumen. Pada 1984, Sosro bisa menjual
40.000 krat teh botol dan kardus setiap bulannya.
Mereka menguasai 80% pasaran minuman sejenis dan
menyisakan 20% lainnya bagi 11 merek saingan.
Pangsa pasar Sosro nyaris tidak berubah, meski Bagian 1 – Lihatlah Bagaimana Mereka Melakukannya
dikepung oleh merek-merek teh yang disokong per­
usahaan global legendaris, terutama Coca Cola dan
Pepsi. Keperkasaan Sosro menghajar soft drink merek
impor itu lebih tampak pada perebutan pengaruh di
gerai-gerai makanan cepat saji (fast food). Kesan ini
muncul setelah Rekso Nasional Food milik keluarga
Sosrodjojo mengakuisisi Mc Donald. Ini pukulan telak
bagi Coca Cola karena selama 18 tahun keberadaannya
di Indonesia, restoran bermenu utama ayam itu hanya
menyuguhkan minuman produksi Coca Cola. Di tahun
lalu, Sosro telah mengalahkan Coca Cola Indonesia,
yang di-back up penuh oleh Coca Cola Company. “Kami
berada di atasnya,” kata Presiden Direktur Sinar Sosro
Yoseph Sosrodjojo yang menyebut keuntungannya pada
2008 mencapai Rp 1,8 triliun.
23
Kekaisaran bisnis Sosrodjojo, yang kini masuk gene­
rasi ketiga, kuat, dengan taksiran aset lebih dari Rp 10
triliun. Hanya perpecahan di tubuh keluarga yang bisa
menghancurkan bisnis tersebut. Sejak berdiri, kepemilikan
perusahan tidak pernah keluar dari ling­karan empat
putra Sosrodjojo. Bahkan ketika ahli waris Soemarsono
dan keluarga Surjanto melepas saham pada 1989 dan
1992, mereka hanya menjual kepada Soegiharto yang di
masa tuanya menikmati 11,7% saham Sinar Sosro. Kini
hanya dua putra Sosrodjojo yang menguasai Sosro, yakni
Soegiharto bersama istri serta lima putranya dan Soetjipto
bersama dua putranya.[]
M. MA’RUF

24
Multivision Plus

Jangan Dengarkan
Kata Orang

O rang seperti Raam Jethmal Punjabi akan sangat


rentan terhadap tudingan di balik moral masyarakat
yang cenderung turun. Sinetron dan film-filmnya kerap
dianggap telah menyebabkan keluarga Indonesia kehi­
langan rasionalitas dan menjadi naif akan kehidupan
yang sebetulnya abu-abu, bukan hitam dan putih. Para
kritikus akan sepakat bahwa sinetron-sinetron yang
ditayangkan hampir 24 jam di layar kaca itu secara
berlebihan telah mengeksploitasi cerita-cerita mistis,
percintaan, dan religi. Tetapi, kritikus-kritikus tidak
akan bisa mengelak bahwa Raam-lah orang terdepan
yang menghidupkan industri film lokal dan menciptakan
tren baru untuk tayangan hiburan di televisi.
Lahir di Surabaya 6 Oktober 1943, Raam mulai
bekerja di sebuah perusahaan tekstil pada 1964 hingga
akhirnya meninggalkan sama sekali bisnis kain itu pada
1969. Kisah hidupnya mengingatkan kita pada jalan cerita
film Nuovo Cinema Paradiso (1988) karya Giuseppe
Tornatore, yang menggambarkan kedekatan seorang
anak dengan dunia film di negeri pizza, Italia. Salvatore,
si anak kecil, menjalin hubungan pertemanan dengan

25
Alfredo, seorang proyeksionis bioskop dari sebuah kota
kecil di Pulau Sisilia. Dari Alfredo-lah, Salvatore kecil
mendekatkan dirinya pertama kali dengan dunia layar
lebar hingga akhirnya menuai sukses menjadi sutradara
film kenamaan di ibukota Roma. Beda halnya dengan
Raam kecil yang tertarik dengan layar film ketika dirinya
dekat dengan seorang penjaga pintu bioskop. Tak jarang
Raam digratiskan masuk dengan imbalan pinjaman
sepedanya. “Pernah sepeda saya dipinjam hingga tengah
malam, sehingga saya terlambat pulang dan dimarahi,”
ungkap Raam.
Ketertarikan itulah yang akhirnya mengikat batin
dan menarik Raam ke dunia perfilman. Perjalanan hi­
dup Raam Punjabi, yang sekarang sudah tenar sebagai
saudagar sinetron dan jagad perfilman, memang tak jauh
dari kisah si anak penjaga gedung bioskop.
Langkah pertama Raam di ranah perfilman dimulai
pada 1967, saat bersama Dhammoo Punjabi dan Gobind
Punjabi mendirikan perusahaan importir film, Indako
Film, dengan modal Rp 30 juta. Berselang tiga tahun,
Raam yang tidak puas akhirnya mendirikan Panorama
Film yang hanya bertahan tak lebih dari enam tahun.
Rumah produksi itu bersama Aries Internasional Film,
memelopori film nasional pertama yang menggunakan
seluloid 70 milimeter, yaitu Mama (1972) karya Wim
Umboh. Meski demikian, film itu tidak laku di pasaran
dan mereka rugi jutaan rupiah. Namun, jiwa bisnis
putra Jethmal Tolaram Punjabi dan Dhanibhai Jethmal
Punjabi itu membuatnya tak kehabisan akal.
Kesuksesan baru menjumpai ketika Raam mengon­
M. MA’RUF

trak Trio Warkop DKI; Dono, Kasino, dan Indro untuk


memainkan skenario-skenario lucu yang kasar. Lelucon-
lelucon garing dibalut wanita-wanita cantik dengan
berpakaian seksi, rupanya memicu orang kembali rajin
pergi ke bioskop. Mengenai wajah-wajah rupawan yang
26 mendominasi sinetron dan filmnya, barangkali ini terkait
pengalaman unik di masa lalunya. Masih pada usia
belasan, setelah ayahnya meninggal dunia, dengan restu
sang ibu, Raam nekat pindah ke Jakarta untuk mengadu
nasib. Awal kehidupan di Jakarta dia lalui dengan menjadi
pegawai toko kain di kawasan Pasar Baru. Setelah itu
Raam mencoba berjualan sendiri dengan cara door to
door, menjual kemeja bermerek, dilanjutkan menjajakan
lingerie alias pakaian dalam wanita. Berjualan lingerie
itu sering dianggap sebagai bagian dari kesukaan Raam
pada segi-segi kecantikan wanita. Dalam kurun waktu
17 tahun awal kariernya sebagai produser, Ram telah
memproduksi lebih
dari 100 film, termasuk
lewat PT Parkit Film
yang didirikan pada
1981. Tetapi, kritikus
film sangat kejam
kepada Raam. Malah,
dia acap kali dituduh
sebagai perusak tren
Bagian 1 – Lihatlah Bagaimana Mereka Melakukannya
perfilman nasional dan
gaya candanya dianggap
semakin vulgar. Tokoh-
tokoh agama semakin
keras bersuara pada
beberapa seri Warkop
akhir ‘90-an.
Sekitar 1989, kondisi perfilman Indonesia benar-
benar hancur oleh film-film impor yang membanjiri
bioskop. Lagi-lagi Raam tidak kehilangan akal. Dia
beralih ke dunia sinetron yang pada saat itu relatif
baru bagi mayoritas penduduk Indonesia yang hanya
mengenal TVRI dan siaran TV nasional negara tetang­
ga lewat parabola. Munculnya stasiun televisi swasta
pertama, RCTI, membuat Raam melihat peluang yang
lebih besar bagi perkembangan bisnisnya yang mulai
27
suram. Itulah dunia sinetron yang mulai digelutinya
pada 1990 dengan mendirikan rumah produksi baru,
Tripar Multivision Plus. Langkah itu terbukti dengan
suksesnya serial sinetron komedi Gara-Gara. Setelah
Gara-gara yang memopulerkan nama Jimmy Gideon
dan Lydia Kandou, siapa yang tidak mengikuti sinetron
Lika-Liku Laki-Laki yang mengangkat kembali nama
grup Empat Sekawan, Jin dan Jun yang memperkenalkan
Syahrul Gunawan, atau Tuyul dan Mbak Yul yang
melambungkan nama Onni Syahrial?
Tak luput, sinetron drama yang menjadi langganan
ibu-ibu rumah tangga setiap sore kala itu, seperti Pelangi
di Hatiku, Bela Vista, Saat Memberi Saat Menerima,
Shangrila, Untukmu Segalanya, Tersanjung, atau Janjiku.
Memasuki era 2000-an, muncul rumah produksi sinetron
lain yang mulai meramaikan sinetron. Namun, Raam
memiliki strategi lain, dengan memasang judul-judul
baru yang lebih menarik dan terus memasok sinetron
baru dengan jumlah yang mencengangkan. Tercatat,
sampai Agustus 2005, Raam telah memproduksi lebih
dari 200 judul sinetron.
Hingga kini, tidak ada yang bisa menyaingi ke­
besar­an Raam Punjabi dalam industri hiburan televisi,
terutama film dan sinetron. Ini sempat membuatnya
dijuluki kartel India dalam industri sinetron, karena
setiap drama yang keluar di televisi itu tidak bisa lepas
dari bayang-bayang keluarga Punjabi, dengan Raam
yang berada di singgasana. Produksi sinetron Raam
disertai beragam resep dan bumbu-bumbu yang tak
jarang memicu konflik bagi sebagian orang. Mulai dari
ide cerita yang dianggap menjiplak film maupun sinetron
M. MA’RUF

hingga pengandalan wajah-wajah rupawan.


Kritikus sosial menganggap sinetron-sinetron itu mu­
rah­­an dan hanya menjual mimpi serta kehidupan me­wah
kepada mayoritas pemirsa televisi yang miskin. Orang-
orang cukup mencemaskan fenomena dampak sinetron
28 Raam yang dapat merusak moralitas generasi muda.
Tetapi, pasar melawan opini ini dengan tinggi­nya rating
sinetron-sinetron tersebut, sehingga Raam mene­mukan
banyak alasan untuk menangkis kritikan yang ditujukan
kepadanya. Baginya tidak ada rumah produksi yang
memiliki tujuan dan niat merusak moral dan akhlak bang­
sa, serta merusak jalan pikiran orang. Dalam kamus­nya,
mimpi tersebut tidak jelas, tetapi merupa­kan harapan
yang dapat menjadi kenyataan. Harap­an serta semangat
itu yang ingin dibangkitkan Raam sehingga terlihat jelas
dalam film-film yang di­pro­duk­sinya.[]

Bagian 1 – Lihatlah Bagaimana Mereka Melakukannya

29
Kapal Api

Rasa Bukanlah Segalanya,


Dibutuhkan Inovasi

A pa persamaan sabun mandi dengan kopi? Tanya­


kanlah kepada Soedomo Margonoto, dan dia akan
menjawab bahwa mengemas kopi bubuk dalam kemasan
mungil seukuran sabun telah membuatnya menjadi
kaya raya. Itu ditemukan pada 1975, ketika anak kedua
dari tujuh bersaudara dari pasangan almarhum Go Soe
Loet dan Too Goan Cuan itu tertarik dengan kemasan
sabun mandi Lux yang berukuran segenggaman tangan.
“Setelah saya amati, kok enak ya dijual satu per satu,”
ujar dia. ””
Domo—panggilannya—mengujicobakan model ke­
masan itu pada bubuk kopi dengan bentuk kemasan
contongan. Tiap contong diisi bubuk kopi dengan berat
100 gram, menyusul kemudian 250 gram, 500 gram,
dan sachet.
Dari kemasan-kemasan kecil yang mudah diecerkan
itu, Domo baru sadar bahwa orang-orang mungkin
sudah lama suka dengan cita rasa kopi Kapal Api yang
diproduksi sejak 1927. Alasan kopi itu tidak memiliki
reputasi penjualan yang bagus tampaknya lebih karena
kopi itu oleh ayahnya dikemas dalam karung seberat

30
satu sak semen—kemasan kaleng seberat 50 kg—se­
hingga untuk membuat secangkir kopi tentu orang akan
berpikir dua kali.
Konsumen betul-betul menyukai kopi Kapal Api
dalam kemasan baru tersebut, tak pelak, Kapal Api
langsung mengungguli merek-merek yang sudah mapan
dan jauh lebih tua, seperti Kopi Kedung Laju, Kopi Cap
Gadis, Kopi Supiah, Kopi Wanita Utama, Kopi Gelatik,
dan Kopi Cap Oto Terbang.
Tetapi bagi Domo, yang kabarnya lebih menyukai
kemeja seharga seratus ribuan, inovasi soal kemasan
adalah satu dari beberapa ide yang membuatnya merajai
sekurang-kurangnya 65% pasar kopi nasional.
Ayah Domo adalah pemain anyar dan harus ber­
simbah peluh untuk menjajakan kopi racikannya dari
toko ke toko di Surabaya, Jawa Timur. Kopi merupakan
minuman wajib waktu itu, dan di setiap daerah nyaris
sudah ada orang yang memproduksinya. Tapi bagi
perantau Go Soe Loet yang menyeberang ke Jawa—

Bagian 1 – Lihatlah Bagaimana Mereka Melakukannya


ia berasal dari Pulau Fujian, China Daratan—masih
ada peluang untuk berjualan kopi. Tentu untuk kelas
masyarakat yang susah, sehingga di antara tumpukan
sayur-mayur dagangannya diselipkanlah kopi yang di­
campur jagung yang dapat dijual dengan harga lebih
terjangkau. Kopi itu diberi merek HAP Hootjan, yang
dalam bahasa Indonesia berarti kapal api. Merek itu
diilhami dari jenis teknologi kapal bertenaga ketel uap
yang membawanya ke Jawa. Meski bukan kopi kelas
premium, mencatut nama kapal api yang waktu itu adalah
teknologi terbaru bisa menutupi kekurangannya.
Usaha keluarga itu kemudian diserahkan kepada
Domo yang sejak dini sudah rajin berjualan kopi dengan
sepeda ontel berkeliling Pelabuhan Tanjung Perak,
Surabaya dan keluar-masuk kampung. Dia senang
berbisnis kopi dan mulai paham tentang seluk-beluk
kopi dan mesin produksinya. Pada 1975, Domo memulai 31
proyek ambisius untuk membangun pabrik kopi yang
lebih modern. Mempercanggih mesin penggorengan,
mempercantik kemasan eceran, promosi yang lebih
agresif, dan memperbaiki pabrik adalah daftar utama
restrukturisasi perusahaannya. Dia menyewa bangunan
pabrik di Jalan Panggung IX/12, Surabaya, dan membeli
mesin goreng lokal seharga Rp 150.000 serta mesin giling
seharga Rp 10.000. Sementara waktu itu memecahkan
masalah, tetapi lama-kelamaan tidak cukup.
Inovasi mencari teknologi modern pengolah kopi-
kopi Indonesia mungkin dimulai dari tangan Domo.
Mula-mula dia membandingkan kopi Kapal Api dengan
kopi kemasan asal Eropa dan mendapati aromanya jauh
di bawah standar kopi olahan impor yang boleh jadi
bahan bakunya dari Indonesia. Belakangan dia baru
tahu dari Lembaga Ikatan Indonesia Jerman bahwa
mesin pengolahan kopi miliknya sudah kedaluwarsa.
“Begitu dapat kiriman, saya terkejut. Yang kami punya
ternyata produksi tahun 1800-an,” kata Domo yang
langsung mendatangi pameran mesin pengolahan kopi
di Dusseldorf, Jerman pada 1978. Tetapi, dia tidak
menyangka bahwa mesin ukuran sedang itu ternyata
berharga Rp 123 juta, jauh dari yang dibayangkannya.
Apa yang ada di benaknya seketika itu adalah mencuri
metode kerja mesin mahal itu dan membawanya pulang
ke Surabaya—Domo hanya mengingat detail mesin,
karena pengunjung tidak diperbolehkan membawa
kamera di area pameran.
Walaupun kemudian dia bisa membuat mesin baru
rekaan dengan modal Rp 870.000 dan mampu mengolah
M. MA’RUF

kopi sebanyak 180 kg/jam, itu tidak menyelesaikan


masalah. Aroma kopi hasil ide curian itu sama sekali
tidak mirip dengan produksi mesin aslinya. Satu-
satunya jalan mencari pinjaman. Bank Pembangunan
Indonesia—dan sejumlah koleganya—adalah pihak-
32 pihak yang menganggapnya sudah tidak waras dengan
proposal kredit untuk sebuah mesin penggilingan kopi
seharga Rp 123 juta rupiah, yang buatan lokalnya hanya
Rp 1,75 juta. Apalagi, produksi Kapal Api saat itu baru
200-300 kg/hari. “Ghendeng (gila) kamu, Domo. Kopi
lokal saja pakai diproduksi dengan mesin Jerman,”
kenangnya mengenai komentar orang kala itu.
Akhirnya, lewat serangkaian negosiasi panjang
dengan Triasa, agen mesin itu, Domo memiliki mesin
modern pertamanya. Berton-ton stok kopi kemudian
berhasil diolah dengan mesin baru itu.
Domo memang banyak akal. Dialah pemilik pabrik­
an kopi pertama yang berpikir memasang iklan di
televisi akan memberi efek luar biasa bagi penjualan.
Pemirsa TVRI era 1980 pastinya masih ingat bintang
lawak Srimulat, Paimo—dia memerankan wewe gom­
bel—yang dikontrak Domo mengiklankan Kapal Api.
Meski kemudian Departemen Perdagangan menghenti­
kan program niaga di TVRI, iklan kopi itu sudah ter­
lanjur terkenal dan pada akhirnya kebijakan ini justru

Bagian 1 – Lihatlah Bagaimana Mereka Melakukannya


menguntungkan, karena pesaing yang baru tersadar
tidak bisa lagi mengikuti cara promosi baru ini. Iklan
pendek itu kemudian mempermudah penjualan kopi
Kapal Api di Bandung, Semarang, Palembang, Medan,
Pontianak, Makassar hingga Denpasar. Pada 1985, kopi
Kapal Api mulai diekspor ke Timur Tengah dan menyusul
kemudian ke Taiwan, Hong Kong, dan Malaysia.
Satu masa di mana Domo harus berpikir ekstra
adalah ketika Sinar Sosro—produsen Teh Botol Sosro—
ingin menjajal bisnis kopi bubuk setelah sukses merajai
bisnis teh. Domo tampak khawatir dengan rencana
itu, sehingga memburu penjualan merek baru, kopi
ABC, yang kemudian berhasil menghalau keluarga
Sosrodjojo nimbrung di bisnis ini. Pada 1992 Domo
mengembangkan kedai kopi (coffee shop) Excelso untuk
kalangan atas. Mula-mula hanya ada dua gerai, di Plaza
Indonesia (Jakarta) dan Plaza Tunjungan II (Surabaya). 33
Kini, 36 gerai Excelso tersebar di beberapa kota besar
Indonesia serta hadir di Vhina dan Taiwan. Namun,
Excelso menghadapi persaingan serius dari kedai kopi
asal Amerika Serikat, Starbucks, yang kini punya 62
gerai. Tampaknya ladang ini sulit dikuasai Domo kecuali
dia kembali menelurkan inovasi yang brilian.
M. MA’RUF

34
Orang-Orang
Spesial;
Para Pionir

bagian 2
Aqua

Sebuah Kejadian Tidak


Menyenangkan adalah Ide
Bisnis yang Menggiurkan

P ada 1972, tidak ada yang sanggup mem­bayangkan


bisa menjual sebotol air dengan banderol lebih
mahal dari harga seliter bensin. Bagaimana mungkin
menjual air, padahal setiap orang memiliki sumur di
rumah? Adalah Tirto Utomo yang menemukan visi
bahwa orang-orang masa depan akan lebih memilih
mengeluarkan beberapa lembar pecahan ribuan untuk
membeli sebotol air di jalan, daripada membawa air
matang rebusan dari rumah. Tentu saja, ada kisah di
balik visi itu.
Awal 1970-an, Tirto adalah pegawai Pertamina
yang sedang berpikir keras mengenai cara terbaik meng­
hilangkan kesan buruk tamu-tamu penting sehabis
berkunjung ke perusahaan pelat merah itu. Dia bekerja
serabutan di bawah tekanan Jenderal Pattiasina, meng­­
urusi hubungan masyarakat, masalah legal, meng­
koordinir keamanan, menghitung gaji karyawan,
hingga urusan pertunjukan orkes untuk sebuah pesta.
Walaupun bukan pejabat penting, perannya banyak
menentukan keberhasilan kontrak bagi hasil minyak
dan gas yang di­rintis Pertamina dengan perusahaan-

36
perusahaan asing. Pekerjaan itu kerap membuatnya
tidak bisa tidur nyenyak, harap-harap cemas karena
sebuah kontrak penting rupanya ditentukan oleh hal-
hal kecil.
Pada 1971, sebuah negosiasi kontak bagi hasil
minyak Pertamina dengan sebuah perusahaan Amerika
Serikat berantakan gara-gara insiden istri ketua dele­
gasinya sakit perut. Kemungkinan diare, karena dokter
yang memeriksanya menemukan istri Reimond Todd itu
mengonsumsi air yang tidak bersih. Negosiasi itu gagal
total, lantaran Tood lebih memilih pulang ke negaranya
untuk mencari pengobatan. Meski beberapa tahun
kemudian kontrak itu berhasil diperoleh Pertamina,
kejadian sangat memalukan itu membuat Tirto semakin
berpikir keras. Ini bukan kali pertama dia mengantarkan
para tamu pergi ke dokter.
Solusi baru muncul setelah diketahui orang-orang
bule itu tidak biasa meminum air sumur yang direbus,
tetapi air yang telah disterilkan. “Saya lalu berpikir,
bagaimana menyediakan air bersih dalam botol yang
praktis,” kata dia.
Dia mengumpulkan saudara-saudaranya untuk
Bagian 2 – Orang-Orang Spesial; Para Pionir

mempelajari bagaimana cara memproses air mineral


dalam kemasan (AMDK) yang belum ada di Indonesia
waktu itu. Sebetulnya ilmu itu tidak sulit diperoleh
karena pekerjaannya yang berhubungan dengan orang-
orang asing banyak memberikannya kontak orang-
orang penting dari pelbagai bidang. Mulanya, Tirto
yang tidak mengerti sama sekali akan proses pemurnian
air mengutus adiknya, Slamet Utomo, untuk magang
di Polaris, perusahaan AMDK yang sudah beroperasi
16 tahun di Thailand. Tidak mengherankan bila pada
mulanya semua hal mengenai Aqua menjiplak Polaris.
Mulai dari bentuk botol kaca ukuran 500 mililiter
sampai merek mesin pengolahan air dan mesin pencuci
botol serta pengisi air. 37
Tirto dan Slamet memulai proyek ambisius dengan
membeli sebidang tanah bekas sawah di Pondok Ungu,
Bekasi. Mereka menamai pabrik itu Golden Mississippi
dengan kapasitas produksi enam juta liter per tahun dan
jam kerja maksimal tiga jam sehari. Dua tahun berselang,
Tirto berhasil menjual Aqua perdananya. Air-air itu
dikemas dalam botol kaca ukuran 950 mililiter dan dijual
seharga Rp 75—saat itu seliter (1.000 mililiter) bensin
cuma dihargai Rp 46. Sasaran konsumen pertama adalah
ekspatriat atau orang asing yang tinggal di Jakarta.
Keputusan ini tepat karena mereka relatif sudah paham
pentingnya membeli produk Tirto. Di negeri asalnya,
mereka sudah terbiasa membeli AMDK yang dikenal
sebagai bottled water atau mineral water. Beda dengan
penerimaan warga Jakarta yang justru menertawakan.
“Bayangkan, meski dibagikan gratis, saat itu banyak
orang yang menolak” kenang Willy Sidharta—menantu
penunggu rumah Tirto yang diangkat sebagai sales dan
perakit mesin pabrik pertama Aqua.
Soal nama, Tirto sempat ragu memberi nama
perusahaannya dengan Golden Mississippi yang akan
terdengar asing. Tetapi itu jelas lebih keren dan cocok
dengan promosi kualitas air yang dijualnya sebagai pure
artesia water. Sementara untuk nama produk, awalnya
dipakai Puritas (asal katanya “purity”) dengan alasan
bakal menunjukkan secara langsung makna kemurnian.
Tetapi, konsultan asal Indonesia yang bermukim di
Singapura, Eulindra Lim, berpikir lain. Menurut dia,
nama Aqua mengandung asosiasi yang lebih tinggi
terhadap imej air dalam kemasan botol. Lagi pula, lidah
M. MA’RUF

konsumen tidak mudah keselo mengucapkannya. Tirto


setuju memakai nama temuan konsultannya itu.
Baru pada 1982, Tirto memutuskan mengganti
bahan baku yang semula dari sumur bor ke mata air
pegunungan yang mengalir sendiri, self flowing spring.
38 Para konsumen diperkenalkan sebuah positioning baru,
tak perlu susah-susah mendaki gunung hanya untuk
menengguk air yang murni dari sumbernya. Apalagi
berbagai temuan klinis juga mendukung bahwa mata air
pegunungan mengandung komposisi mineral alami yang
sangat kaya nutrisi, seperti kalsium, magnesium, pota­
sium, zat besi, dan sodium. Tirto menganggap masalah
bahan baku ini penting, meski sampai sekarang Aqua
tidak pernah menggunakan mata air yang menyembur
alami. Yang dilakukan adalah melakukan penelitian di
sekitar mata air asli tersebut, baru ditentukan titik bor
untuk sumur yang kemudian menjadi mata air buatan.
Olahraga dan Aqua tidak terpisahkan, seperti halnya
Tirto dengan bulu tangkis, golf, dan renang. Promosi
ini pas dan cocok dengan kampanye hidup sehat yang
diusungnya. Iklan-iklan di layar kaca, cetak, hingga
sponsorship itu begitu efektif. Saking populernya, wa­
jar bila kemudian sampai sekarang orang menyebut air
mineral sebagai Aqua. Nyaris tiada kegiatan olahraga
level nasional dan internasional yang tidak digarap
Aqua sebagai ajang promosi. Mulai dari Pekan Olahraga
Nasional, Sea Games, Thomas & Uber Cup, World
Cup, hingga World Golf Competition. Promosi paling
Bagian 2 – Orang-Orang Spesial; Para Pionir

spektakuler adalah mendatangkan pemain sepak bola


legendaris asal Prancis, Zinedine Zidane.
Sejarah Aqua mungkin akan mencatat Tirto se­
bagai legenda. Tetapi di tangan orang cekatan di balik
pengiriman-pengiriman Aqua yang tepat waktu, seperti
Willy-lah Aqua bisa menjadi raksasa. Si perakit mesin
pada masa-masa awal pabrik beroperasi itu menemukan
sistem pengiriman kemasan galon yang diproduksi
khusus untuk rumah tangga modern dan kantor-kantor.
Sampai dengan diangkat menjadi Presiden Direktur
pada 1977 (sampai 2004) tidak banyak yang tahu peran-
peran penting Willy dibalik kesuksesan membangun
jaringan distribusi Aqua. Bekas pedagang roti dan buruh
pabrik biskuit Nissin inilah yang membangun sistem 39
awal delivery door to door dan menjadi cikal bakal
sistem pengiriman langsung Aqua. Konsep pengiriman
kardus-kardus serta galon-galon Aqua memakai truk
yang didesain khusus, kuat, dan disiplin itu membuat
penjualan Aqua secara konsisten terus menanjak.
Willy mulai membangun armada pengiriman de­
ngan memisahkan bagian pengiriman pertama yang di­
tugasi membagi-bagikan dispenser gratis. Petugas bagi­
an pengiriman pertama ini dibekali pengalaman untuk
bisa menjelaskan apa itu manfaat air mineral yang akan
membuat peminumnya hidup lebih lama daripada air
rebusan. Bagian ini lalu memberikan laporan dan data
kepada bagian pengiriman rutin, apabila konsumen ber­
sangkutan sudah ketagihan. Prestasi ini membuatnya
menjadi orang kepercayaan Tirto dan sudah dianggapnya
sebagai saudara. Toh, walaupun Willy adalah manajer
terbaik yang pernah dimiliki Tirto, hubungan keduanya
tidak pernah semesra yang bisa dibayangkan orang.
Sangat amat formal, berbeda dengan orang dekat lain
yang bisa ikutan bermain golf atau ngobrol sambil ngopi
atau berkunjung ke rumah Tirto.
Ketegangan keduanya berangsur-angsur mencair
dan Willy dipercaya melakukan pelbagai ekspansi
yang meroketkan angka penjualan menyentuh empat
miliar per tahun. Ini setelah pendirian pabrik kedua
di Pandaan, Jawa Timur, pada 1984 hingga mampu
mendekati dua triliun rupiah. Efisiensi biaya lewat cara
cerdas mendekatkan konsumen dengan sumber bahan
baku membuat Aqua dengan cepat memiliki modal
untuk mengembangkan konsep lisensi dalam ekspansi
M. MA’RUF

baru dengan masif. Lisensi itu dalam rangka ekspansi


ke luar negeri tanpa ekspor, tetapi langsung mendirikan
pabrik di Filipina dan Brunei Darussalam. Sementara
ekspor air Aqua memakai kapal laut sudah dirintis medio
1987 dimulai dari Singapura, Malaysia, Maldives, Fiji,
40 Australia, Timur Tengah, dan Afrika. Tahun itu pula
Tirto setuju untuk segera menghambat sejumlah pesaing
baru yang mulai muncul dengan mengakuisisi Varia
Industri Tirta yang mempoduksi AMDK merek VIT.
Hingga Willy mundur setelah 22 tahun menjadi
Presi­den Direktur Aqua pada Juni 2008, ia masih
meng­gunakan meja kerja yang dipakai Tirto pada
Bagian 2 – Orang-Orang Spesial; Para Pionir

1973. Salah satu kegagalannya adalah mengembalikan


status kepemilikan Aqua Golden Mississippi kembali
sepenuhnya pada keluarga, setelah terlanjur melepas
beberapa persen saham Aqua di bursa saham pada 1990
seharga Rp 7.500 saham per lembar. Usaha merayu para
pemilik saham tak pernah berhasil, karena manajemen
hanya mau membeli balik saham-saham itu tiga belas
kali dari harga pertama. Namun, itu tidak aneh, karena
para pemilik saham publik Aqua yang hanya berjumlah
350 orang dengan kepemilikan setara 7,4% total saham,
tentunya tidak mau dianggap gila. Siapa yang rela me­
lepas hak milik atas produsen AMDK dengan volume
penjualan terbesar di dunia? Mereka baru bersedia
melepas saham itu seharga satu juta rupiah per lembar! 41
Pada Maret 1994, Tirto yang lahir dengan nama Kwa
Sin Biauw pada 9 Maret 1930 di Wonosobo, Jawa Tengah,
mengembuskan napas terakhir setelah menyerahkan
kendali kepemilikan Aqua kepada putrinya, Lisa Tirto
Utomo. Berkat jasa-jasanya mengembangkan industri
AMDK di Asia, namanya diabadikan dalam “Hall of
Fame” industri air kemasan dunia, pada Oktober 1992,
di Cincinnati, AS.
Tirto mewariskan dua usaha yang berstatus non­
publik, Tirta Sebayakindo dan Tirta Investama sebagai
induk perusahaan Sepeninggalan Tirto, Lisa menjual
Aqua kepada grup Danone, produsen makanan raksasa
asal Prancis melalui proses-proses negosiasi alot yang
berakhir pada 2001 dan hanya menyisakan beberapa
persen kepemilikan. Menurut Willy akuisisi itu adalah
pilihan yang perlu, setelah beberapa cara pengembangan
tidak cukup kuat membesarkan Aqua dari ancaman-
ancaman pesaing baru. Dia yakin Aqua tidak sebesar
sekarang kalau masih 100% dimiliki keluarga. Setelah
akuisisi, kepemilikan keluarga Tirto memang tinggal
26% tapi produksi Aqua melonjak tajam, dari 1 miliar
liter setahun menjadi 3,5 miliar liter. Pada 2005, Aqua
memproduksi Mizone yang segera menjadi fenomena
baru di semua lapisan masyarakat.[]
M. MA’RUF

42
Detikcom

Jangan Latah dan


Berhati-hatilah

A da cerita menggelikan yang senantiasa membang­


gakan Budiono Darsono bila mengenang awal-awal
merintis Detikcom. Adalah seorang komandan militer di
Jakarta yang sangat membutuhkan berita terbaru di saat
kegentingan melanda Ibu Kota setelah Soeharto lengser.
“Coba tolong carikan detikcom, ada berita penting di
situ!” perintahnya kepada bawahan.
“Siap. Laksanakan Komandan,” jawab prajurit de­
ngan sigap lalu lari terbirit-birit mencari detikcom. Di
setiap perempatan jalan, dia berhenti dan menanyakan
kepada loper koran. “Ada Detikcom nggak?”
Prajurit itu memperoleh jawaban yang sama pada
semua loper koran yang dijumpainya. “Tidak ada,”
dan tidak tahu, apa itu Detikcom. Mungkin dipikirnya
media yang diinginkan komandannya itu sangat laris,
prajurit itu menuju agen koran, tetapi kemudian tetap
mendapatkan jawaban yang sama.
Setelah putus asa, prajurit itu kembali dengan
tangan hampa dan melapor pada komandannya, “Lapor
komandan, Detikcom habis!”

43
Ini adalah satu dari sekian banyak kisah lucu
awal mula detikcom berdiri. Terjadi pasca tergulingnya
Soeharto dari kursi kepresidenan pada Mei 1998 yang
menimbulkan kondisi genting, huru-hara dan rumor di
mana-mana. Banyak orang waswas dan menunggu apa
yang akan terjadi dengan negara ini lewat berita-berita
di media esok hari. Koran, majalah, tabloid, selebaran
muncul bak cendawan di musim hujan. Pada saat itu,
kata “internet” bagi kebanyakan orang memang lebih
dekat pengertiannya ke “eternit”—plafon atap rumah!.
Sebaliknya, bagi sedikit orang yang melek teknologi,
berita-berita pendek Detikcom terus dipantau.
Situs berita Detikcom awalnya adalah proyek pri­
badi sebuah perusahaan penyedia jasa konsultasi, pe­
ngem­bangan, dan pengelolaan web, Agranet Multicitra
Siberkom—disingkat Agrakom—untuk menghindari ke­
bangkrutan saat krisis ekonomi 1997. Agrakom, seperti
banyak perusahaan lain, juga menghadapi per­soalan.
Order jasa web site terhenti, sementara proyek-proyek
e-commerce yang sudah di tangan ditunda oleh klien.
Programmer-programmer bergaji mahal meng­anggur.
Padahal, Agrakom baru berdiri dua tahun dengan investasi
lumayan serius pada Oktober 1995. Dia termasuk salah
satu pelopor industri bermuatan teknologi tinggi yang
menyasar kue internet yang mulai dikenal di Indonesia
pada 1993. Agrakom sempat beberapa kali mengecap
manisnya kue bisnis itu dari beberapa klien besar seperti
Kompas Gramedia yang meluncurkan Kompas Cyber
Media untuk berita koran versi internet, dan sejumlah
situs perusahaan seperti United Tractors, World Bank,
M. MA’RUF

dan Ciputra Group. Tetapi krisis membuyarkan semua


impian.
Pendirinya adalah sejumlah wartawan, Budiono
Darsono (eks wartawan DeTik), Yayan Sopyan (eks
wartawan DeTik), Abdul Rahman (mantan wartawan
44 Tempo), dan Didi Nugrahadi (bukan wartawan, tetapi
tetangga rumah Budiono yang tinggal di Pamulang,
Tangerang). Empat sekawan ini berpikir keras mencari
konsep jasa web baru yang tetap laku dalam situasi krisis.
Ada cerita lain, bahwa ide ini sebetulnya adalah paket
layanan baru dan pernah ditawarkan kepada salah satu
penerbit koran besar, namun ditolak. Klien itu justru
menyarankan agar Budiono dan kawan-kawannya
menggarapnya sendiri.
Dari serangkaian pertemuan, nongkrong di berbagai
tempat, akhirnya konsep itu ditemukan. Yaitu sebuah
media yang 100% berbasis internet dan memanfaatkan
semaksimal mungkin keunggulannya—tersedia setiap
saat dan interaktif. Namun, gagasan ini masih prematur,
karena Budiono dan kawan-kawan masih bingung se­
perti apa wujudnya.
Terdapat beberapa alternatif matang dan tinggal
menjiplak saja. Misalnya memanfaatkan pengetahuan
umum netter—pengguna internet—lokal yang ketika
membuka internet, pastinya menuju halaman Yahoo!,
atau sekadar email-email gratisan lain. Akan tetapi, pi­
lihan yang ada itu sama sekali tidak mungkin dilakukan,
lantaran empat sekawan ini sebetulnya lebih unggul di­
Bagian 2 – Orang-Orang Spesial; Para Pionir

bidang jurnalistik daripada teknologi. Mungkin insting


jurnalistiklah yang kemudian menyadarkan mereka ada
potensi besar dari sebuah teknologi world wide web yang
dikawinkan dengan berita-berita. Mereka berkesimpulan
harus menawarkan sesuatu yang tak ada di tempat lain,
yang khas Indonesia. Pilihannya jatuh kepada situs yang
menyediakan berita-berita hebat, susul-menyusul dalam
hitungan detik, bukan lagi harian seperti koran. Budiono
sangat yakin orang-orang sedang membutuhkan berita
macam begini. Gagasan itu sepertinya mencontek gaya
breaking news televisi CNN tetapi ala internet. Sama juga
seperti Yahoo! yang sebetulnya sudah memakai konsep
itu dengan berita update langganan dari pelbagai kantor
berita. Sayangnya, mesin pencari ini masih berbahasa 45
Inggris. Berapa sih yang menguasai bahasa Inggris di
Indonesia?
Budiono mengaku mulanya adalah gampang-gam­
pang susah. Dari sisi keunikan memang unik. Jangankan
di Indonesia, di seluruh dunia pun waktu itu tidak
ada portal macam itu, kata dia. Mula-mula, Budiono
menjabat sebagai pemimpin redaksi sekaligus reporter
dengan satu tape recorder. Lalu merekrut beberapa
reporter, sembari rajin menelepon bekas teman-teman
wartawan di media lain untuk ‘menyumbang’ berita.
Beritanya tidak panjang-panjang, cukup sepenggal saja.
Orang yang sering ‘diteror’ Budiono adalah A Sapto
Anggoro, redaktur di harian Republika, yang kerap
memberi info baru di lapangan kepadanya. Tidak lama,
Sapto justru keluar dari koran itu dan bergabung—
sekarang tercantum sebagai dewan redaksi Detikcom.
Delapan hari setelah Soeharto lengser, 30 Mei 1998,
server Detikcom sudah siap diakses, namun baru mulai
on line dengan sajian lengkap pada 9 Juli 1998. Berita-
beritanya segar, anyar, dan terus-menerus diperbarui
dalam hitungan detik—itulah mengapa dipakai nama
Detik. Desain website berbalut warna khas yang agak
norak, hijau, biru, dan kuning. Warna ini sampai seka­
rang dipertahankan sebagai trademark. Baru sebulan,
ada sekitar 15.000 hits alias yang mengklik situs baru
itu. Perkiraan itu akhirnya terbukti karena dalam waktu
singkat Detikcom menjadi sangat dicari. Satu tahun
kemudian, jumlah pengunjungnya meledak hingga
50.000 orang per hari—sebuah pencapaian luar biasa
menimbang pengguna internet yang baru sedikit saat
M. MA’RUF

itu.
Banyak cerita yang mengungkapkan betapa sulitnya
para wartawan Detikcom menyajikan berita-berita itu
tepat waktu itu. Belum ada gadget macam blackberry,
atau smarthphone yang bisa mengirimkan email berita
46 dengan sekali pencet. Telepon genggam (handphone),
apalagi PDA dan smartphone 11 tahun yang lalu
amat mahal, dan terbatas. Satu-satunya jalan adalah
memanfaatkan telepon umum dan setiap pagi para kuli
tinta Detikcom terlebih dulu diwajibkan untuk masuk
ke kantor mengambil beberapa kantung uang recehan.
Yang terjadi adalah antrean panjang telepon umum dan
para wartawan itu sering kena omel para pengguna
telepon. Akhirnya, berita yang dikirimkan disiasati lebih
singkat dan pendek.
Detikcom melakukan revolusi cara pandang orang
mengenai jagad maya, dan melecut demam internet di
Tanah Air pada pertengahan 1999—situs forum inter­
aksi sepantarannya adalah Kaskus. Ini mengundang
kecemburuan banyak konglomerat media yang me­
rasa kecolongan, tidak memanfaatkan kesempatan
emas di waktu yang sulit itu. Lagi pula, membangun
sebuah situs tidak perlu modal yang banyak, seperti
mendirikan pabrik. Beberapa perusahaan internet yang
serius didirikan—tentunya Anda masih ingat—seperti
Satunet, Astaga!com. James Riyadi pemilik Lippo Life
membuat Lippo e-Net dan Lippostar. Adapula Mweb,
Kopitime, dan BolehNet. Bedanya, alumni-alumni
Bagian 2 – Orang-Orang Spesial; Para Pionir

portal seangkatan dengan Detikcom, banyak yang


didirikan hanya untuk mendapatkan keuntungan sesaat.
Investasi awal jor-joran dengan menawarkan pelbagai
fasilitas canggih berbiaya besar yang digratiskan seperti
email, chatting, kirim pesan singkat (SMS) dan bahkan
webfax gratis, untuk mengundang pengunjung. Setelah
mencatat banyak hits, mereka melepas kepemilikan di
bursa saham untuk mendapatkan dana.
Dikepung oleh pemodal besar membuat Agrakom
pada akhirnya melepas 15% kepemilikannya pada akhir
1999. Setenar apa pun situs itu, rupanya tidak mampu
membiayai berbagai peralatan mahal untuk bersaing,
karena pemasukan murni hanya mengandalkan iklan.
Investor asal Hong Kong, Pacific Tech membeli 15% 47
saham itu seharga USD2 juta. Uang sebanyak itu
berpuluh kali lipat dari investasi awal Detikcom yang
hanya Rp 40 juta. Dana sebesar itu membuat Detikcom
nervous harus seberapa besar pendapatan yang diperoleh
kalau investasinya saja sudah hampir menginjak belasan
juta dolar?
Akhirnya, diputuskan belanja teknologi dikeluarkan
seperlunya. Tenaga penjual iklan direkrut. Bahkan, iklan
dotcom lain diterima, termasuk dari kompetitor! Awal
Januari 2000, Detikcom merilis email gratis, chatting,
ruang diskusi, dan menambah sejumlah kanal baru. Ciri
khas jurnalistik lebih dipertajam dengan serangkaian
kerja sama—di antaranya dengan organisasi kampus
untuk memasok berita di daerah. Fasilitas SMS dan
webfax gratis yang biaya operasinya mahal ditiadakan.
Tidak ada promosi miliaran rupiah. Tidak ada content
management system seharga ratusan ribu dolar, tetapi
mengembangkannya sendiri. Langkah meniru nan hati-
hati itu akhirnya bisa menyelamatkan.
Di awal milenium, krisis dotcom meledak di
Amerika Serikat (dikenal dengan dotcom bubble).
Saham-saham perusahaan berbasis teknologi amblas.
Kekecewaan investor bahwa jaringan internet ternyata
tidak mendatangkan keuntungan seperti yang dijanjikan
terbukti sudah oleh kiamat dotcom yang datang lebih
cepat. Dari sisi pendapatan, krisis dotcom tahun 2000
telah menyebabkan bukan hanya investor, melainkan
banyak pemasang iklan tidak lagi mempercayai media
berbasis internet. Satu per satu alumni portal yang
tumbuh setelah reformasi gulung tikar karena tidak
M. MA’RUF

mampu memiliki penggemar. Maka, mulai awal 2001,


situs-situs milik para pengusaha besar itu kehabisan
modal (cobalah ketik nama-nama situs yang dulu
populer itu, niscaya sekarang sudah tidak ada).
Budiono dan kawan-kawan bertahan dengan modal
48 pas-pasan setelah menutup kembali fasilitas “ikut-ikutan
itu”. Detikcom masih memiliki napas hasil menyisakan
modal dan sedikit dari penghasilan iklan—Oktober
2000 pendapatan iklan mereka mencapai lebih dari Rp
500 juta. Berita yang tak banyak pembacanya dan tak
me­narik pemasang iklan dihentikan. Serangkaian bidang
usaha baru dirilis—memanfaatkan demam teknologi se­
luler yang mulai menjadikan handphone seperti kacang
goreng, laris manis. Memasuki 2003, terlihat bahwa
dari beberapa bidang usaha baru, mobile data (layanan
pengiriman berita melalui SMS) adalah yang paling
cepat memberi hasil.
Selanjutnya, Detikcom melenggang sendirian tanpa
lawan. Khalayak media mengacungkan jempol, lantaran
media ini mungkin satu-satunya yang bisa bertahan
pada era industri media yang mulai bergerak ke arah
konglomerasi. Ada Kompas Gramedia, Media Group,
Para Group, MNC, Jawa Pos Group, dan Visi Media
Asia. Namun, yang terjadi pada akhirnya adalah raksasa-
raksasa ini justru mengekor kepada semut. Kompas, me-
reborn Kompas.com-nya, MNC mendirikan Okezone.
com, Visi Media milik Grup Bakrie melahirkan Vivanews.
com, Tempo Inti Media mengaktifkan Tempointeraktif.
Bagian 2 – Orang-Orang Spesial; Para Pionir

co.id. Ini belum termasuk portal baru lain, seperti Inilah.


com, Wartaone.com, dan lain-lain.
“Dulu pun kami menghadapi pemain dengan modal
besar, tapi Detik bisa menghadapinya. Bisnis ini dibangun
dengan semangat jurnalistik, bukan dengan uang dan
modal,” kata Budiono menanggapi banyaknya portal
berita yang muncul.
Konon, seorang politisi pernah mendatangi Budiono
di kantornya dengan menawari sebuah koper berisi
Rp 300 miliar untuk Detikcom. Budiono hanya ber­
kata, “Datanglah ketika Anda sudah membawa tiga
triliun!”[]

49
Kem Chicks

Paksalah Orang-orang Membeli


Secara Sukarela

P akar manajemen dan kewirausahaan akan sulit


menemukan nama selain Bambang Mustari “Bob”
Sadino di urutan teratas orang sukses yang memulai
usaha dari nol di negeri ini. Bob—panggilannya—juga
adalah orang kaya yang langka dalam mengumpulkan
pundi-pundi uangnya. Dia menyandang dua status yang
banyak dimiliki orang di negeri ini; pengusaha dan
petani. Benar bahwa ada banyak pengusaha dan petani
di sini, tetapi Bob mungkin pionir pengusaha yang sukses
dari berjualan produk pertanian dan peternakan.
Kunci sukses Bob sebetulnya adalah ide-ide brilian­
nya soal menciptakan pasar, atau dalam bahasa teori
ekonominya supply creates its own demand­. Bob yang
mengaku bodoh sudah terbukti sukses menerapkan
Hukum Say ini. Dimulai ketika dia menemukan cara
paling jitu menjual sekilo kangkung lebih mahal
dari harga daging yang ada di pasar tradisional. Bob
memasarkan sayur-sayuran, berkualitas terbaik kepada
para tetangga-tetangganya langsung dari pintu ke
pintu. Bersama istrinya, berkeliling dengan gerobak di
kawasan Kemang, Jakarta Selatan yang banyak didiami
ekspatriat, pada 1970-an. Bob memanfaatkan kesulitan

50
orang-orang bule yang tidak mudah mencari bahan
pangan berkualitas di pasar-pasar Jakarta.
Tetapi, produk fenomenal Bob yang pertama bu­
kanlah sayur-mayur, melainkan telur ayam. Mula-mula
adalah ayam telur dalam negeri dan ayam impor. Ide itu
mengalir begitu saja, karena Bob yang pernah melihat
ukuran telur lebih besar dari telur ayam lokal, ketika
tinggal di Amsterdam, merasa telah menemukan ide
yang lebih baik. Tidak ada satu pun telur ayam Indonesia
yang bisa berukuran lebih besar dari telur ayam bule.
Dia berkirim surat kepada temannya di negeri Belanda
untuk dikirimi anak-anak ayam petelor dan beberapa
pekan kemudian anak-anak ayam pedaging. Jadilah Bob
yang tidak pernah memiliki pengetahuan soal ternak itu
menjadi peternak ayam petelur dan pedaging, atau yang
sekarang tenar dengan nama broiler. “Sayalah orang
pertama yang mengenalkan telur kepada bangsa ini,”
kata Bob bangga.
Telur-telur berukuran setengah lebih besar dari telur
lokal itu ada yang berwarna cokelat dan putih sehingga
sudah mengundang selera. Mula-mula memang tidak
laku untuk konsumen lokal, tetapi sangat diminati untuk
Bagian 2 – Orang-Orang Spesial; Para Pionir

keluarga ekspatriat. Apalagi, dia membungkusnya dalam


kemasan plastik disertai setangkai bunga anggrek.
Ketekunan Bob menjaga hubungan baik dengan
kritik-kritik pedas pelanggan yang dijawab perbaikan
kualitas, membuat penjualan telur yang semula hanya
satu-dua kilogram, terus melonjak. Dagangannya kemu­
dian semakin beragam, tidak hanya telur tetapi sayur-
mayur, merica, garam, dan belakangan berkembang
ke bisnis daging olahan seperti sosis. Pada fase ini,
Bob menganggap dirinya telah menemukan pekerjaan
sebagaimana dia harapkan, dari pada bekerja untuk orang
lain atau menghambur-hamburkan uang warisan.
Bob muda adalah seperti impian banyak pe­muda,
young and rich tetapi rebel. Dia lahir di Tanjung­ 51
karang, Lampung, Maret 1933. Sejak kecil dia hidup
berkecukupan dari keluarga pegawai pemerintah
Hindia Belanda. Ayahnya, Sadino, yang menjadi kepala
sekolah SMA di Tanjungkarang meninggal saat dia
berusia berusia 19 tahun. Sebenarnya Bob adalah anak
yang cerdas, tetapi dia tampak mendewakan kebebasan.
Setelah lulus SMA di Jakarta, sekitar 1953, Bob bekerja
di Unilever selama beberapa bulan. Terpengaruh ajakan
teman, dia memutuskan berhenti dan kuliah di Fakultas
Hukum Universitas Indonesia. Status mahasiswa jaket
kuning hanya disandangnya beberapa bulan, dia keluar
lagi dan kembali bekerja di Unilever.
Setelah beberapa tahun bekerja di perusahaan asal
Inggris itu, Bob menemukan kabar baik untuk menya­
lurkan jiwa petualangannya. Dia mendengar sebuah
perusahaan pelat merah bidang pelayaran, Djakarta
Lloyd, membutuhkan pegawai baru. Bob diterima dan
dengan kapal uap, SS Jakarta Raya dan SS Djatinegara
milik perusahan itulah, Bob merasakan dinginnya salju
Eropa. Selama sembilan tahun dia tinggal di Hamburg,
Jerman dan Amsterdam, Belanda. “Tahun 1964 di
Eropa, saya masih banyak main, ngabisin uang, karena
saya dapat uang warisan. Jadi, bukan untuk keperluan
bisnis,” kenang Bob.
Bob mendirikan toko Kem Chick pertamanya di
Kemang pada 1969—nama ini menampakkan jelas per­
paduan antara lokasi dan ayam. Produk sayur-mayur
menyusul sekitar 1982 dengan jenis yang sama sekali
belum dikenal konsumen lokal. Dia mengenalkan sayur-
mayur yang ditanam dalam sebuah pot berisi air, tanpa
M. MA’RUF

tanah atau sekarang dikenal dengan nama hidroponik.


Ketika gaya cocok tanam yang tidak lazim itu sudah
ramai dibicarakan dan menjadi demam baru petani
berteknologi tinggi, dia memilih meninggalkannya. Bob
kemudian memilih menanam sayur-mayur yang benar-
52 benar bersih dari pestisida atau organik—murni dari
alam. Bob pula yang mula-mula membanjiri tokonya
dengan impor berton-ton ragam sayur-mayur segar
langsung dari Eropa dan Jepang. Sayur-mayur yang
berukuran rata-rata jumbo, berbentuk tidak lazim di
mata para ibu-ibu domestik itu didatangkan untuk
memenuhi kekangenan para pelanggan ekspatriat.
Dia memasarkan jagung manis, di saat orang ti­
dak tahu ada jagung muda yang rasanya seperti gula.
Memasarkan buah yang masih famili cucurbitaceae,
genus cucumis, atau kita kenal sebagai melon yang
kabarnya berasal dari daerah tropis Afrika. Dari
Jepang didatangkan pula terong berukuran jumbo yang
berwarna-warni, putih, hitam, dan jingga. Orang-orang
lokal juga terheran-heran dengan cabe berbentuk cebol-
gendut, yang ragamnya seperti lampu lalu lintas; Paprika.
Selain impor, Bob berangsur-angsur menanam sendiri
buah segar dan sayur-mayur di lahan ratusan hektare di
Jawa. Dia juga memproduksi sendiri aneka ragam daging
beku berbentuk sosis, burger, bakso. Tidak kurang dari
1.300 karyawan menggantungkan hidupnya dari usaha
milik Tuan Sadino ini—belakangan dia lebih memilih
pola kemitraan dengan petani dan peternak dan lebih
berkonsentrasi pada pemasaran.
Bagian 2 – Orang-Orang Spesial; Para Pionir

Sayur buah, telur, dan daging beraneka jenis itu


dipajang begitu saja di gerai Kem Chick, tanpa perlu
merancang promosi yang aneh-aneh. “Saya suruh orang
mencoba jagung manis saya, kemudian ada permintaan
saya lanjutkan. Begitu juga orang saya suruh coba melon
saya, terus dibeli. Dari permintaan ke permintaan begitu
terus-menerus. Begitu pasar yang saya ciptakan ....” kata
Bob.
Tidak ada biaya promosi gila-gilaan di media yang
menghabiskan dana besar, semuanya berjalan lambat
tetapi menanjak. Catatan penjualan Kem Chick di awal
1985 menunjukkan, rata-rata per bulan antara 40-50
ton daging segar, 60-70 ton daging olahan, dan 100 ton
sayuran segar ludes dibeli pelanggan. 53
Supermarket spesialis sayur-mayur, buah, dan da­
ging itu melenggang sendirian puluhan tahun tanpa
saingan berarti. Bob yang tampak tidak memiliki am­
bisi besar, hanya membuka satu gerai dia beralasan,
“Rumah biasanya cuma ada satu. Kalau banyak, nanti
jadi vila dan apartemen.” Sifat ini di luar kelaziman para
pengusaha besar yang begitu sukses, punya penyakit
kesetanan berekspansi dengan mempertaruhkan diri
ke bank, untuk membangun gerai-gerai baru, atau di­
waralabakan biar cepat menjamur.
Toh, keyakinan Bob berubah setelah bertemu Suzy
Dharmawan yang anak pendiri jaringan ritel Matahari—
ikon peritel Indonesia, Hari Dharmawan. Keduanya
menjadi mitra mengembangkan gerai Kem Chicks di
Pacific Place Sudirman. Ini pun setelah satu-satunya
gerai di Kemang itu mendapat saingan dari pemain baru,
Ranch Market, yang muncul pada 1998.
Bob kini adalah pemilik tunggal Kems Grup (KG),
perusahaan yang dibangunnya lebih dari 30 tahun silam.
Dari berjualan telur, dia kini menguasai agrobisnis dari
hulu ke hilir melalui Boga Caturrata (ritel/Kem Chicks),
Kemang Foods Industries (produksi pengolahan ma­
kanan) dan Kems Farm Indonesia (perkebunan). Boga
Caturrata bahkan sudah berekspansi ke luar jalur per­
tanian, lewat beberapa anak usaha, yaitu Lambung
Andal (katering, restoran, kafe), Andal Citra Promotion
(percetakan dan majalah), serta Kemang Nusantara
Travel (agen perjalanan).
Dalam berbagai kesempatan, Bob selalu mengatakan,
tidak ada ilmu manajemen canggih yang digunakannya
M. MA’RUF

saat merintis bisnis. Dia lebih sering menyebutnya se­


bagai tindakan nekat dan bodoh, tetapi berhasil begitu
saja. “Hal-hal bodoh itu” diajarkan dalam banyak ke­
sempatan seminar-seminar kewirausahaan, yang men­
jadikannya ikon sukses tanpa gelar. “Saya hidup dari
54 fantasi,” kata Bob melukiskan keberhasilan usahanya.
Perjalanan bisnisnya sudah banyak ditulis dan dikutip
dalam teori-teori manajemen kontemporer. Sjamsoe’oed
Sadjad menulis buku berjudul Agribisnis yang Membumi
- Kisah Sukses Bob Sadino yang diterbitkan Grasindo,
tahun 2001. Sementara Edy Zaqeus menulis buku Bob
Sadino: Mereka Bilang Saya Gila! yang diterbitkan
Kintamani Publishing, 2009.
Sosok di balik Bob yang keras kepala dan mem­
buatnya tidak cengeng atas duka lara pada saat me­
mulai usaha itu adalah perempuan muda cantik,
Soelami Soejoed yang bekerja sebagai sekretaris di
Bank Indonesia cabang New York. Mereka berpacaran
beberapa tahun setelah pertemuan mengesankan di
Amsterdam, dan memutuskan pulang ke Jakarta untuk
menikah pada 31 Juli 1967. Saat itu Bob dan Soelami—
yang kemudian dikaruniai dua anak perempuan Myra
Andiani dan Shanti Dwi Ratih—masih terikat kerja
di Jakarta Lyod dan Bank Indonesia. Entah mengapa,
Bob memutuskan segala macam kemewahan itu dan
memilih menetap di Jakarta dan berhenti bekerja untuk
memulai segalanya dari nol—istrinya hanya menjawab
dengan diam keputusan gila ini. Bob menjual satu dari
Bagian 2 – Orang-Orang Spesial; Para Pionir

dua sedan Mercedes buatan 1960-an, hasil bekerja di


Belanda untuk membeli sebidang tanah di Kemang,
Jakarta Selatan. Satu lagi dipakai untuk taksi gelap. Bob
sendiri sopirnya.
Masa-masa pahit adalah ketika sedan mobil satu-
satunya sumber penghasilan itu disewakan dan mengalami
kecelakaan. Meski kehilangan sumber penghasilan satu-
satunya, Bob masih berkeras tidak mengizinkan istrinya
kembali bekerja, dan memilih menjadi kuli bangunan
dengan bayaran Rp 100.000 per bulan sampai tahun
1970. Dia memang mengaku tidak pernah menyesali
keputusan berhenti bekerja setelah menikah, tetapi
Bob yang keras kepala mengalami depresi hebat setelah
kehilangan mobil itu. Sampai suatu saat dia berkenalan 55
dengan Sri Mulyono Herlambang yang memberinya
50 ekor ayam untuk dipelihara, sebagai obat depresi
katanya. Mulyono sendiri bukan sembarang orang, tetapi
bekas Panglima Angkatan Udara TNI yang pensiun.
Hadiah obat depresi dari Mulyono itulah yang memberi
jalan sukses bagi pria yang tidak bisa melepaskan celana
pendeknya ini.[]
M. MA’RUF

56
National Gobel

Sebuah Ide Besar Perlu


Bantuan Orang Besar

W alapun Bapak Televisi dinisbatkan kepada Paul


Nipkow, seorang mahasiswa di Berlin yang
menemukan gagasan mengenai televisi sebagai transmisi
elektrik dari elemen gambar dan suara secara simultan
pada 1884, tetapi semua orang Indonesia yang menikmati
layar televisi harus berterima kasih kepada Thayeb
Mohammad Gobel. Gobel yang lahir di Gorontalo,
12 September 1930, menciptakan radio transistor per­
tamanya pada usia 24 tahun dan 8 tahun kemudian
membuat “kotak ajaib” agar masyarakat Indonesia bisa
menyaksikan tayangan spektakuler Asian Games IV di
Jakarta dari rumahnya. Pada waktu itu, televisi adalah
barang yang sangat langka dan benda mewah. Orang-
orang tua bercerita bagaimana di pelosok daerah, orang
harus berkerumun di halaman kantor kecamatan atau
kabupaten untuk menyaksikan siaran televisi.
Gobel semula adalah tengkulak pisang di kampung
halamannya. Setelah lulus Fakultas Ekonomi Universitas
Krisnadwipayana, dia meniti karier dari tenaga admi­
nistrasi di Makassar, menjadi salesman di Dasaad Musin
Concern, dan tercatat pernah menjadi kepala cabang di
Fasco Surabaya. Tidak banyak diketahui, bagaimana

57
perjalanan Gobel dari Makasar, Jawa Timur dan kemu­
dian ke Jakarta. Yang pasti, pada 1954 dia sudah men­
dirikan perusahaan Transistor Radio Manufacturing
dengan pabrik pertama di daerah Cawang, Jakarta, dan
menamai radio transistor pertamanya dengan merek
daerah itu, Cawang. Radio itu berbentuk kotak, dengan
tombol frekuensi besar di sudut kanan atas, dan tombol
satu lagi untuk volume. Orang-orang tua saat ini, masih
percaya kejernihan suara radio Cawang tidak pernah
tersaingi.
Dialog yang banyak dikutip sampai saat ini adalah
ketika suatu kali Presiden Soekarno menanyakan kepada
Gobel alasan memilih usaha pembuatan radio. Dia men­
jawab, agar rakyat bisa mendengarkan pidato luar biasa
Presiden Soekarno. Jawaban itu menyenangkan hati
Bung Karno. Sekitar 1 juta unit radio transistor Cawang
berhasil diproduksi dan dipasarkan dalam kurun wak­
tu 1954-1964. Oleh pemerintah, Gobel diajukan se­
bagai penerima beasiswa Colombo Plan—sebuah orga­
nisasi bentukan negera maju dan berkembang untuk
menyekolahkan anak-anak muda negara miskin ke
Jepang. Di negeri Sakura itu, mahasiswa dari tanah
bekas jajahan yang berusia 27 tahun itu mendapat ke­
sempatan bertemu secara langsung dengan pendiri
dan pemilik Matsushita Electric Industrial Co. Ltd,
Konosuke Matsushita yang kala itu sudah berusia 64
tahun. Anak muda dari bekas negeri jajahan Jepang ini
cukup memberi kesan mendalam kepada Konosuke yang
memulai usahanya pada pada 1927 sebagai produsen
lampu sepeda bermerek National.
M. MA’RUF

Saat itu, Matsushita adalah produsen elektronik


terbesar di Jepang dan pelbagai produk elektronik ke­
luarannya sudah dipasarkan di beberapa negara, sehingga
amat terkenal di Amerika dan Eropa—Konosuke menjadi
sampul majalah Time edisi 23 Februari 1962, dengan
58 judul Industrialist Matsushita. Dia orang di balik Sanyo
Electric yang didirikan adik iparnya.
Pertemuan industrialis beda usia itu berlanjut ke
tahap yang lebih serius, dengan kesediaan Konosuke
memberi Gobel bantuan teknik untuk pengembangan
teknologi baru; televisi. Bagi Matsushita sendiri, ini ada­
lah peluang ekspansi yang luar biasa, setelah hubungan
bilateral Jepang-Indonesia yang memburuk. Pertemuan-
pertemuan dengan Konosuke menambah pengetahuan
Gobel mengenai televisi. Ini tampak seperti botol
yang menemukan tutupnya, sebab Bung Karno sedang
merancang sebuah perhelatan akbar, Asean Games
yang ditargetkan bisa menjadi hiburan oleh seluruh
rakyat yang tengah kesusahan. Setelah pertemuan
dengan Presiden, Gobel mengusulkan kepada Menteri
Penerangan Maladi agar membangun pemancar televisi
di Indonesia. Televisi Republik Indonesia pun didirikan
pada 1961.
Gobel mendapat berkah luar biasa dari usulan ini
dan segera menghubungi Konosuke. Tak lama kemudian,
televisi merek National tiba di Tanjung Priok. Sejumlah
tenaga teknik dari Jepang didatangkan ke Jakarta un­
tuk merakitnya. Order dadakan pertama datang dari
pemerintah yang memesan 10.000 unit dan harus ram­
Bagian 2 – Orang-Orang Spesial; Para Pionir

pung sebelum Asean Games dimulai. Pesanan dapat dise­


lesaikan dengan televisi pertama diberikan kepada ibu
negara, Fatmawati Soekarno.
Selama 10 tahun kemudian, kerja sama bantuan
teknik itu terus ditingkatkan berkat sukses penjualan
televisi National. Tetapi, Gobel tidak sendiri mengurus
bisnis yang sudah semakin menggelembung ini, ada
Barlianta Harahap dan Lukman Hakim sebagai tangan
kanan dan kirinya.
Kesepakatan besar diambil kedua belah pihak pada
27 Juli 1970 dengan mendirikan perusahaan patungan
yang mengambil nama merek televisi Konosuke dan
marga Gobel, National Gobel. Dengan modal awal
USD 15 juta (40% Gobel, 60% Matsushita) dan Gobel 59
menjabat direktur utama. Empat tahun kemudian,
didirikan Met Gobel, sebagai agen impor produk dari
Matsushita ke Indonesia. Met juga mengimpor produk-
produk elektronik yang tidak diproduksi oleh National
Gobel.
Sabtu, 21 Juli 1984, beberapa jam setelah menye­
lesaikan salat Isya dalam posisi berbaring, Gobel
meninggal akibat komplikasi penyakit jantung, gagal
ginjal, dan tekanan darah tinggi. Sejam sebelum meng­
embuskan napas terakhir, dia mengumpulkan ketujuh
anaknya dari istrinya yang pertama (Annie Nento,
wafat tahun 1968). Orang-orang merasa berduka atas
wafatnya industrialis generasi pertama republik ini,
termasuk Presiden Soeharto dan istrinya yang tampak
hadir melayat. Sebuah kisah nyata yang menggambarkan
kecintaan karyawannya kepada Gobel seperti dialami
sesorang asal Makassar bermarga Gobel yang naik
angkutan kota ke arah perumahan Lembah Hijau di
daerah Cimanggis-Depok—tahun lalu.
Pengemudi angkot jurusan Kampung Rambutan-
Cisalak itu adalah seorang pensiunan karyawan pabrik
National Gobel di daerah Gandaria, Jakarta Selatan.
Sopir itu menebak bahwa si penumpang yang bernama
Amril Taufik Gobel itu adalah saudara pendiri National
Gobel, lantaran menyebut akan turun di daerah Lembah
Hijau. Dia bercerita, Gobel itu begitu disiplin, rendah
hati dan sangat memperhatikan kesejahteraan karyawan.
“Beliau menjadi panutan sekaligus kebanggaan kami
semua,” kata si sopir. Ketika turun dari angkot, si sopir
itu menolak ongkos yang diberikan. Baginya, kata penge­
M. MA’RUF

mudi itu, adalah sebuah kehormatan mengangkut salah


satu anggota keluarga dari pemilik perusahaan di tempat
saya pernah bekerja dulu. Amril—cucu dari pamannya
Gobel—tak pernah bisa menghilangkan pengalaman itu.
“Saya terpana dan baru tersadar saat angkot yang tadi
60 saya tumpangi berlalu,” kata dia.
Sepeninggalan Gobel, posisi puncak National Gobel
silih berganti. Hubungan antara Matsushita dan Gobel
juga mengalami pasang surut kepemilikan. Ini tampak
pada beberapa pergantian nama perusahaan, seperti
1980 berubah menjadi Gobel Dharma Nusantara, dan
1991 berubah menjadi National Panasonic Gobel dan
akhirnya mulai 1 April 2004 berganti nama menjadi
Panasonic Gobel Indonesia (PGI). Menurut Presiden
Direktur PGI Ichiro Sagunama, perubahan terakhir
terjadi seiring dengan perubahan komposisi pemegang
saham yakni 60% Matsushita Electric dan 40% Gobel
International. Sementara Rachmat Gobel—anak kelima
dari tujuh anak Gobel—menjadi komisaris utama.
Gobel yang aktif di Kamar Dagang dan Industri
ini sering mengampanyekan antipenyelundupan ba­
rang elektronik asal China yang membanjiri pasar
dalam negeri. Saat ini, lewat Gobel International yang
dipimpinnya, generasi kedua ini mulai merambah bisnis
telekomunikasi, melalui kemitraan dengan Qatar Tele­
com, yang kini menjadi pengendali Indosat (Rachmat
Gobel saat ini juga menjabat Komisaris Indosat). Se­
mentara Matsushita Electric Industrial Ltd yang sudah
Bagian 2 – Orang-Orang Spesial; Para Pionir

berganti menjadi Panasonic Corporation adalah peng­


huni urutan ke-59 deretan 500 Forbes Global 2007.
Pada 2004, penjualan PGI mencapai Rp 2,5 triliun
dan menguasai 20% pasar elektonik nasional. Mereka
menghadapi tekanan besar dari produk-produk asal
Jepang yang lain, Korea, Taiwan, dan Eropa—yang
masuk ke pasar Indonesia sejak awal 1990-an. Dari
sekadar radio dan televisi, kini duet merek “National-
Gobel” nyaris ditemukan untuk semua perabotan elek­
tronik rumah tangga, mulai dari alat perekam, hair
dryer, sampai kulkas.[]

61
4848

Jadilah yang Pertama

S angat sulit membayangkan untuk bisa memiliki usaha


taksi antarkota atau travel yang trayeknya bukan la­
gi antarkota seperti Jakarta-Bandung, melainkan antar­
kota di Arab Saudi atau di Negeri Paman Sam. Dulunya
obsesi itu juga tidak pernah terbayangkan oleh Irawan
Sarpingi yang anak juragan petani dan pedagang di
Bandung. Namun, 4848 yang didirikan Irawan setelah
perang kemerdekaan, kini bukan lagi travel dengan jalur
tetap Bandung-Jakarta, tapi telah menghubungkan kota-
kota di Singapura, Kuala Lumpur-Malaysia, Jeddah-
Saudi Arabia, Los Angeles dan New York. Pada awal
2007, mereka sudah mempersiapkan jalur di Toronto,
Vancouver, Las Vegas, San Diego, San Francisco, Dubai
dan Kairo.
Lahir di Singaparna, Jawa Barat, 13 November
1926, Irawan kecil sudah menyenangi delman dan
gerobak kuda milik orangtuanya—dia kerap ikut
ayahnya, M Sarpingi mengantarkan barang dan orang
ke luar kota. Saat itulah Irawan kecil mulai memahami
bahwa sarana angkutan sangat diperlukan banyak
orang. Konsep transportasi itu semakin terasah dengan

62
keterlibatannya pada masa perang kemerdekaan dan
pecahnya pemberontakan Partai Komunis Indonesia
di Madiun pada 1948. Dalam peperangan, mobilisasi
para pejuang rupanya sangat menentukan kemenangan
sebuah pertempuran.
Mobilisasi tentara pada masa perang telah memberi
ide Irawan untuk menawarkan pelayanan premium
antar jemput door-to-door dari rumah penumpang
sampai tempat tujuan. Pada 1958, Irawan mendirikan
perusahaan jasa angkutan bernama 4848 dengan modal
satu unit Chevrolet Apache, bantuan dari komandannya,
Mayor M. Riva’i dan Letkol Imam Sukarto. Ia bertindak
sebagai sopir, dibantu karyawannya yang pertama,
Hamidan. Trayek pertama adalah Bandung-Jakarta
dengan pemesanan tiket di Bandung beralamat di
Padalarang, sementara di Jakarta di Jalan Trunojoyo.
Soal nama, Irawan memakai nomor telepon rumahnya
4848, karena terlanjur familier bagi penumpangnya.
Layanan ini amat disukai, mengingat moda trans­
portasi masih sangat minim sementara orang-orang kaya
di Jakarta dan Bandung takut berlama-lama di terminal
atau kemalaman di jalan. Permintaan di segala penjuru
Bagian 2 – Orang-Orang Spesial; Para Pionir

dan bisnis travel yang masih perawan membuat Irawan


dapat dengan mudah membuka trayek-trayek baru
seperti ke Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Solo,
dan Yogyakarta. Sementara untuk memenuhi kebutuhan
armada tambahan, dimanfaatkan mobil dosen-dosen
Institut Teknologi Bandung (ITB) dan mobil menganggur
milik sekolah tentara dan polisi untuk mendapatkan
komisi 10% pada setiap mobil yang disewakan.
Tahun 1971 Irawan sekeluarga pindah ke Jakarta
dan mengalihkan pusat usahanya ke Jalan Prapatan.
Berangsur-angsur, 4848 meremajakan armadanya un­
tuk memanjakan konsumen. Mobil Chevrolet diganti
dengan jenis Holden Kingswood—karenanya 4848 turut
menjadikannya mobil itu sebagai legenda otomotif. 63
Sayangnya, mobil ini boros bahan bakar dan lambat
laun menjadi persoalan serius. Khususnya pada 1982,
ketika harga premium naik Rp 100 menjadi Rp 240 per
liter. Untuk jarak tempuh pergi-pulang Jakarta-Bandung,
Kingswood menghirup premium Rp 12.000. Sementara
mobil berbahan baku solar seperti Mercy diesel 240D
hanya butuh Rp 2.000 rupiah. Dari waktu ke waktu,
masalah bahan bakar memang selalu menjadi masalah
dan menjadi musuh utama.
Ini masalah, tetapi servis-servis tambahan seperti
inisia­tif kenek 4848 yang sigap membantu penumpang
de­ngan bawaan, cukup menenangkan konsumen de­
ngan tarif—yang terus disesuaikan. Setiap hari, Holden
Kingswood 4848 rata-rata masih sanggup mem­
berangkatkan 600 orang ke Bandung. Padahal, tiap
penumpang dipungut tarif Rp 5.000—dua kali tarif KA
Parahiyangan atau 10 kali karcis bus antarkota.
Rupanya, Irawan cukup pintar dengan memberikan
sejumlah potongan diskon tarif hotel yang efektif merayu
penumpang-penumpang dari Bandung yang hendak ke
Jakarta. Sampai sekarang, potongan-potongan ini masih
diteruskan, seperti untuk penumpang 4848 yang singgah
di executive lounge dan restoran di Bandara Soekarno
Hatta, pastinya mendapat bonus diskon.
Sejak 2002, 4848 tidak lagi melenggang sendiri.
Lebih-lebih setelah Jalan Tol Cikampek-Purwakarta-
Padalarang (Cipularang) dibuka. Saingan tidak hanya
datang dari pemain profesional dan travel amatiran,
tapi juga dari pelanggan sendiri. Buat apa naik mobil
orang kalau ke Jakarta cuma dua jam, begitu pikir
M. MA’RUF

mereka. Untuk masalah ini, biarlah generasi kedua


yang mengatasinya—Irawan wafat awal tahun 2009,
setelah mengidap kanker kantung kemih dan tumor
otak. Ratusan pelayat menghadiri pemakaman pejuang,
pebisnis dan politisi lokal ini.
64
Walapun telah lama dipersiapkan sebagai putra
mahkota, tidak mudah bagi Dadan Pahlawan Irawan
Sarpingi langsung nyetel dengan gaya “kolonialisme”
ayahnya. Dadan yang sekolah di Jurusan Bisnis Inter­
nasional Universitas San Diego, Amerika Serikat, tidak
langsung mendapatkan kursi direktur utama setelah
lulus pada 1990. Ayahnya sempat mengujicobakan
kunci kontak, alias disuruh mengangkut penumpang.
Lepas jadi sopir, diberi tugas belajar menghitung jumlah
paket barang yang ada dan masih dibebani sejumlah
pekerjaan kasar. “Model mendidik yang dipakai bapak
saya itu berpola Jepang,” ujar Dadan.
Buahnya adalah 4848 yang go international. Sejak
Juli 2006, Dadan membawa taksinya ke berbagai kota
mancanegara. Membayangkan logo 4848 di kaca de­
pan mobil yang berpelat asing di negaranya tentu tidak
sembarangan. Dadan mengaku butuh dua tahun untuk
memulai persiapan, dari menguji pasar, memilih mitra
bisnis, menyiapkan sumber daya manusia, hingga
membangun prosedur standar.
Karena perbedaan iklim usaha, 4848 tidak mengen­
dalikan penuh bisnisnya di luar negeri. Di Singapura
Bagian 2 – Orang-Orang Spesial; Para Pionir

dan Malaysia investor lokal memiliki dan mengelola


sendiri taksi 4848, sementara Dadan hanya menentukan
standar minimum, seperti pelayanan dan kualifikasi-
kualifikasi mobil yang layak pakai. Untuk model mirip
franchise ini, 4848 mendapatkan bagian untung 30%.
Sementara model kedua adalah kerja sama modal atau
usaha patungan, seperti di Arab Saudi, AS, dan Kanada.
Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah mencoba layanan
4848 di Arab Saudi yang menggandeng Shaayer, anak
usaha Grup Showlaq, perusahaan transportasi milik
pengusaha lokal yang berpengalaman 28 tahun pada
bisnis serupa di sana.[]

65
C59

Percayalah, Ide Original Akan


Lebih Laku

K etika kuliah di Bandung, Marius Widyarto sebe­


narnya hanya ingin membuktikan bahwa dia
bisa membuat sendiri sebuah kaos dengan desain yang
lebih bagus. Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas
Parahyangan ini agak memandang aneh kegemaran
teman-temannya pada desain-desain gambar asing di
kaosnya. Beberapa teman di kampus sering tampak
over acting dengan kaos bergambar Patung Liberty, artis
bule atau sekadar gedung-gedung pencakar langit New
York. Maurius yang memiliki keahlian menggambar di
atas rata-rata dan menguasai cara-cara menyablon itu
membuat sebuah desain imitasi yang hasilnya malah jauh
lebih bagus. Gara-gara ini, dia kemudian lebih terkenal
di kampus sebagai jago desain kaos. Sampai dengan
bekerja di sebuah perusahaan kontraktor, Marius masih
dikenal sebagai pembuat kaos yang bagus.
Hobinya ini dibuat serius setelah menikahi pacarnya,
Maria Goreti Murniati. Kado pernikahan dilego untuk
modal membeli satu mesin jahit dan dua mesin obras.
Di rumah petakan yang terletak di Gang Caladi 59, di
salah satu sudut Kota Kembang, kedua pasangan muda

66
itu mulai mengepak mimpi. Anda bisa mengerti, bahwa
nama C59 adalah singkatan gang bernama Caladi 59 itu.
Marius memulai memproduksi kaos C59 dari orderan
sekolah-sekolah dan instansi pemerintah untuk kaos-
kaos olahraga. Desain gambar kaos itu masih disablon
memakai tinta biasa, sehingga kualitasnya masih kurang
bagus, kasar, dan bila dikucek pada waktu mencuci
membuat gambarnya semakin kabur. Tapi, memang
baru teknologi itulah yang tersedia. Baru pada 1985,
teknologi cetak timbul memakai teknik sablon karet
dan separasi warna membuat desain-desain C59 tampak
semakin bagus. Meskipun produksinya masih memakai
sistem order pesanan, bersama Maria, Marius mulai
bergerilya mencari klien.
Sebuah kebetulan membuatnya tersadar. Dia baru
tahu banyak orang yang menyukai desain unik C59, ke­
tika melempar stok barang di gudang yang tidak diambil
oleh pemesan dan sisa kaos bekas sortiran ke toko-toko
eceran. Barang-barang itu rupanya laku keras dan memicu
serangkaian pemesanan dari distro (distribution outlet)
yang menjamur di Bandung. Dia lantas memindahkan
pabriknya dari Gang Caladi ke jalan Tikukur No. 10
Bagian 2 – Orang-Orang Spesial; Para Pionir

Bandung, dan memborong beberapa rumah di sana untuk


dijadikan sebagai kantor sekaligus showroom pertama.
Seorang konsumen yang tertarik dan mengubah
cara kelola C59 adalah Robbie Djohan, Direktur Bank
Niaga. Dari kesan puas atas pesanannya, Bank Niaga
memberikan kredit bank untuk memperluas pabrik di
atas tanah seluas 4.000 meter persegi di daerah Cigadung,
Bandung. Tahun itu Maurius mengangkat dirinya se­
bagai Direktur Utama PT Caladi Lima Sembilan dan
membuka sejumlah toko di Jakarta, Balikpapan, Bali,
Yogyakarta, Ujung Pandang, Medan, Padang, Lampung,
Malang. Dia juga memasarkan kaosnya di Ramayana
dan Matahari Department Store. Pada periode inilah,
orientasi desain mulai berubah dari basic t-shirt atau 67
kaos oblong menjadi fashion apparel dengan segmentasi
kalangan remaja usia 14-24 tahun.
Kekuatan desain kaos Maurius adalah kreativitasnya
yang orisinal. Untuk itu, bagian tim kreatif diberikan
sedikit privilege agar gagasan-gagasan mengalir. Mereka
dibolehkan tidak masuk kerja, menghabiskan jam kerja
dengan berjalan-jalan ke mana mereka suka, asalkan
ketika kembali sudah mendapatkan ide desain baru.
Se­tiap desain yang akan dikeluarkan harus dipresen­
tasikan lebih dulu, dipilih, baru dilanjutkan dengan
proses pro­duksi. Dia memiliki tim riset dan desain yang
diwajibkan membaca arah tren. “Intinya, kreativitas
jangan pernah mati dan kita harus jeli melihat pasar,”
kata Maurius yang sekarang menempatkan C59 seperti
perancang-perancang fashion dengan edisi-edisi khusus.
Dia mulai menggarap pasar khusus yang mengangkat
tema-tema suku-suku di Indonesia ke dalam desain kaos,
misalnya suku Asmat. Kemudian isu-isu aktual, seperti
korupsi, batik, dan wayang, atau peristiwa yang menjadi
sorotan publik. Begitu pula dengan tema-tema sosial
seperti gambaran kota Bandung yang terkenal dengan
kecantikan kaum hawanya.
Untuk konsumen luar negeri, mula-mula ceruk pasar
ekspor ini diketahui dari stafnya yang bersekolah di luar
negeri dan membawa oleh-oleh kaos C59. Setelah survei
mendalam, pasar ekspor rupanya gurih. Karena ada
empat musim, desain C59 tidak hanya yang menempel
pada kaos, tapi juga sweater dan jaket.
Krisis moneter 1997 sempat memukul C59 dan
sebanyak 1.500 orang karyawan terancam menganggur.
M. MA’RUF

Untuk mengatasi penurunan order, Maurius bersedia


membuat kaos orderan pengusaha lain, baik sampai jadi
atau hanya sekadar order cetak, jahit, atau sekadar obras
kaos. Sementara untuk menekan biaya produksi, dia
mengeluarkan kebijakan yang meminta karyawannya
68 bekerja di rumah masing-masing agar menghemat biaya
listrik. Bagaimana Maurius memerhatikan karyawannya
adalah dengan cara mendirikan koperasi yang sekaligus
menjadi mitra usaha dengan omzet saat ini sekitar Rp
600 juta. Sekitar tahun 2000, C59 mulai memasarkan
produknya ke Eropa Tengah. Di mancanegara, C59 me­
miliki puluhan showroom yang tersebar di Singapura,
Malaysia, Timur Tengah dan bahkan kini sudah me­
rambah Slowakia, Polandia, dan Republik Ceko.
Dia adalah orang yang ekspresif. Maurius akan
senang bila orang-orang datang untuk menyaksikan
bagaimana dia mewujudkan ide menjadi sebuah barang.
Dia membuat divisi khusus untuk mengelola jadwal-
jadwal kunjungan turis berwisata ke pabrik C59.
Karena kreativitas tidak bisa dicuri, dengan senang hati
para pemandu akan memperlihatkan bagaimana proses
kreatif mulai dari pembuatan desain, penyablonan,
menjahit, sampai proses pengepakan kaos C59. Ini
adalah salah satu cara untuk menambah klien. C59
juga memberikan tempat magang di pabrik dan tampak
membuatnya terbantu mendapatkan staf yang cerdas.
Kini, C59 bertahan dengan 300 karyawan resmi
dan ratusan rekanan. Omzet mencapai 50.000 lembar
Bagian 2 – Orang-Orang Spesial; Para Pionir

kaos per bulan dan pada musim musim panen seperti


pemilihan kepala daerah Bandung tahun lalu, C59 bisa
mendapatkan pesanan sampai 8 juta potong.
Sekarang Maurius menikmati kekayaannya dengan
sesekali melakukan kegiatan touring Harley Davidson—
dia adalah Ketua Harley Davidson Club Indonesia
Chapter Bandung. Menikmati statusnya sebagai guru
dari mayoritas pemilik usaha kaos di Bandung, karena
kebanyakan dari mereka adalah bekas karyawannya
yang dibantu untuk mandiri. Mereka-mereka ini rekan­
an C59 bila kebanjiran order. Maurius sendiri oleh
Yoris Sebastian—si General Manager termuda di Asia—
disebut sebagai pionir untuk kategori yang sekarang ini
populer disebut sebagai industri kreatif.[] 69
Olympic Furniture

Terbangkan Imajinasimu
Setinggi-tingginya

B rilian dan bervisi masa depan. Au Bintoro adalah


satu dari segelintir orang-orang hebat yang bisa
mengubah imajinasi tentang sebuah meja belajar praktis
menjadi bisnis furnitur revolusioner beromzet triliunan
rupiah. Buah idenya itu sekarang membantu jutaan
orang di dunia memiliki perabotan rumah yang ringkes,
murah, dan bagus.
Semua itu diawali pada 1980, ketika Au menemu­
kan fakta toko furnitur terlalu banyak membebani
konsu­men dengan ongkos kirim untuk sebuah sebuah
meja belajar yang terbuat dari kayu. Karena berat,
untuk mengangkut satu pesanan saja dibutuhkan
beberapa orang. Belum lagi, sebuah truk kecil hanya
bisa mengangkut satu meja belajar sehingga tidak
efisien. Bayangkan, bila meja-meja itu harus diantarkan
ke alamat pelanggan yang berada di pelosok-pelosok
daerah. Padahal, Indonesia ini terdiri atas ribuan pulau,
sehingga bukan tidak mungkin biaya pengiriman akan
lebih mahal dari harga meja belajar itu. Gara-gara
pengamatan itu pula, Au bisa menyimpulkan bisnis
mebel itu tak lebih dari usaha rumahan yang bakal

70
sulit berkembang. Soalnya, mana mungkin melayani
konsumen yang berada jauh di luar daerah. Pandangan
kritis ini memutar keras otaknya agar bisa menemukan
meja belajar yang lebih praktis, ringan, dan bisa diangkut
dalam jumlah yang lebih banyak dalam satu truk.
Sebuah visi masa depan menghampiri Au bahwa
orang-orang modern adalah manusia pragmatis dan
tidak mau repot. Dia menemukan ide sebuah meja
belajar bongkar pasang yang mudah dirangkai sendiri
oleh konsumen setibanya di rumah. Idenya itu malah
beberapa langkah lebih maju, karena akan memudahkan
pemiliknya ketika pindah rumah.
Namun, Au yang sejak 1975 lebih dikenal sebagai
pembuat box speaker masih memerlukan perenungan
panjang untuk mewujudkan meja belajar versi bongkar
pasangnya itu. Ini lantaran pemakaian kayu sebagai
bahan meja rupanya tetap tidak efisien, karena bobot
meja itu tidak akan bisa lebih ringan sehingga ditemui
kesulitan membuat pasak-pasak yang cukup kuat untuk
merekatkan bagian-bagian meja.
Solusinya tidak jauh dari tempat dia berpijak.
Suatu ketika, dia tidak bisa lagi menemukan alternatif
Bagian 2 – Orang-Orang Spesial; Para Pionir

lain, kecuali papan partikel berbahan baku serbuk kayu


yang telah bertahun-tahun dipakainya untuk membuat
box speaker. Setelah menemukan desain yang cocok,
Au tidak banyak mengalami kesulitan untuk mengutak-
atik papan itu menjadi sebuah meja yang ukurannya
lebih kecil dari biasanya. Perpaduan bahan yang ringan
serta desain bongkar pasang itu benar-benar ide brilian.
Meja belajar baru itu tersusun dari serpihan-serpihan
papan partikel dengan perekat sekrup yang bisa di
cucuk-cabut. Setiap bagian diberi tanda khusus untuk
mencocokkannya dengan bagian lain. Ini mirip dengan
mainan bongkar pasang anak-anak.
Desain bongkar pasang itu kemudian juga memu­
dahkan para penjual yang cukup merakit satu meja 71
belajar sebagai display. Adapun barang-barang pasokan
yang ada di gudang tidak perlu dirakit, karena dalam
setiap pembungkus telah disertakan selembar buku
manual sebagai petunjuk pemasangan. Dengan itu,
tidak diperlukan keahlian sekaliber tukang. Siapa pun
pembelinya, bahkan ibu rumah tangga sekalipun, ting­
gal mengikuti instruksi, pasti jadi. Ini pastinya akan
menjadi sebuah meja yang laris manis, seperti produk
box speaker yang murah, enteng, dan bersuara bagus.
Walau begitu, Au tampak belum cukup nyali untuk
menjualnya secara eceran dan lebih memilih penjual­
an berdasarkan pesanan. Suatu kali, dia dibuat girang
oleh seorang konsumen yang memesan ribuan meja
belajar ala bongkar pasang itu. Setelah harga disepakati,
pengerjaan meja dilakukan 24 jam nonstop agar selesai
tepat waktu. Tiba-tiba kabar buruk datang karena order
itu dibatalkan sepihak di tengah jalan, sehingga berkubik-
kubik papan partikel itu harus menumpuk di gudang.
Setelah menunggu tiga bulan tanpa kepastian, Au nekad
menjual meja pesanan itu secara eceran ke toko-toko
furnitur. Ternyata, laku keras hingga semuanya habis
terjual. Setelah peristiwa ini, Au semakin percaya diri
bahwa konsumen telah lama menantikan sebuah meja
belajar yang lebih praktis seperti buatannya.
Pada 1983, Au lebih berkonsentrasi kepada produk
furnitur dan mulai melupakan box speaker-nya. Setahun
sebelumnya dia telah meresmikan sebuah pabrik Cahaya
Sakti Multi Intraco yang khusus memproduksi meja.
Menyusul kemudian tempat tidur, meja serbaguna,
lemari hias, lemari pakaian, rak televisi, meja kantor, dan
M. MA’RUF

hampir semua jenis furnitur, mulai tahun 1990. Sampai


sekarang, ide dan kreativitas para manajer Olympic
telah menghasilkan lebih kurang 2.000 desain.
Mengenai nama Olympic Furniture, Au menemu­
kannya tidak sengaja, terinspirasi Olimpiade XXIII
72 yang berlangsung di Los Angeles pada 1984. Gaung
perhelatan olahraga akbar yang dibuka di Stadion
Los Angeles Coliseum itu begitu populer, menyedot
perhatian masyarakat dunia termasuk Indonesia. Bahkan
beberapa tahun sebelum Olimpiade itu dibuka secara
resmi, gemanya sudah ada di mana-mana. Au mengutip
momen olahraga itu sebagai label dengan harapan
Olympic akan mewarisi spirit ajang tersebut—tentu
saja ini tampak disebabkan oleh pemanfaatan momen­
tum. Inspirasi yang lagi-lagi tidak salah karena kuping
konsumen lokal akan mengenalinya sebagai produk
impor. Padahal, serpihan-serpihan perabot itu semuanya
dibuat di pabrik yang berlokasi di Bogor dengan pekerja
lokal. Lambat laun, furnitur yang modis-modis dengan
nama ala barat itu menyebabkan tren mebel berbahan
kayu akhirnya bergeser.
Toh, Au pernah terempas hebat oleh krisis moneter
1997 yang menyungkurkan nilai tukar rupiah. Ongkos
pembelian bahan baku membengkak gila-gilaan dan
karyawan menginginkan kenaikan gaji, sementara rata-
rata 5 dari 10 konsumen membatalkan pembelian.
Seperti banyak perusahaan lain, bisnis Au mengalami
masa-masa paling suram untuk pertama kalinya dan
Bagian 2 – Orang-Orang Spesial; Para Pionir

membuat sejumlah rencana besar terbengkalai begitu


saja. Gara-gara krisis, Au terpaksa menjual separuh
lahan beserta gedung di daerah Sentul Jawa Barat yang
direncanakan sebagai pusat produksi terpadu, mulai
dari pengolahan kayu hingga pembuatan.
Perlahan dia bangkit dengan serangkaian gebrakan
penjualan. Bila sebelumnya mengandalkan toko-toko
mebel, sejumlah kemitraan dibuat dengan para peritel
modern, seperti Carrefour dan Giant. Kursi, meja
dan semua produk furniture Olympic Furniture juga
tampak menjejali gerai-gerai kredit Columbia di seluruh
Indonesia dengan skema penjualan kredit. Penetrasi
ekspor dilakukan ke sejumlah negara tetangga dan
belahan bumi lain. Memasuki 2003, dia menggandeng 73
perusahaan furnitur raksasa asal Jerman, Garant Mobel
International. Garant Mobel berpengalaman di industri
mebel sejak 1948 dan memiliki sekitar 4.000 gerai di
Eropa dan Asia. Keduanya bersepakat mendirikan
Garant Mobel Indonesia (GMI) dengan 75% saham
dimiliki Olympic. GMI bertindak sebagai pemberi hak
waralaba yang menghubungkan pemasok dan para
peritel mebel untuk produk Garant asal Jerman, dan
merek kelas atas milik Olympic. Usaha ini menciptakan
merek baru MER untuk diwaralabakan dengan biaya
minimal Rp 500 juta beserta show room seluas 100
meter persegi. Kerja sama ini mencatatkan Au sebagai
peritel furnitur pertama di Indonesia.
Sepuluh tahun belakangan, Au mulai mengibarkan
merek-merek baru untuk mengepung pasar. Misalnya,
Solid Furniture, Albatros, Procella, Olympia, dan
furnitur berharga murah Jaliteng. Diversifikasi merek
ini mewakili ketebalan dompet pembeli. Sejak mulai
dipasarkan pada 2000, Albatros misalnya mencoba
menampilkan desain klasik dan minimalis yang
disesuaikan dengan tren perkembangan desain rumah
masyarakat kelas atas yang berselera ala Eropa dan Asia
modern.
Bagaimana Au seorang bisa mengoordinir puluh­
an bagian perusahaan, mulai dari suplai, desain, per­
gudangan, distribusi dan penjualan adalah seperti yang
dikemukakannya dalam suatu kuliah terbuka, 18 April
2007—di hadapan mahasiswa pasca sarjana Institut
Teknologi Bandung (ITB). Dia memaparkan trust mana­
gement yang ditemukannya melalui pergulatan antitesis
M. MA’RUF

sikap ayahnya yang sulit memberikan kepercayaan ke­


pada anak buah. Sikap curiga itu, katanya justru mem­
buat orangtuanya kerap marah, kecewa, mudah stres,
dan bisnisnya tidak maju-maju. Ketika sikap itu dibalik,
Au mengakui hal tersulit bukanlah tentang bagaima­
74 na menyerahkan kewenangan, tetapi menata hati agar
ikhlas dan pasrah setelah pendelegasian. Pikiran akan
tergoda untuk memunculkan syak wasangka kepada
anak buah, selalu muncul selepas tanggung jawab itu
diserahkan. Tetapi, ini harus dicoba berulang-ulang
sampai berhasil, karena hasilnya terbukti cukup bagus
bagi Olympic. “Trust management dapat menurunkan
biaya, meningkatkan efisiensi, dan efektivitas,” jelas
Au.
Tetapi, Olympic tetaplah bisnis keluarga. Kisah
sukses Au menguasai setidaknya 70% pasar furnitur
dengan omzet Rp 2 triliun sebetulnya tidak lepas dari
peran adiknya, Simarba Atong Tjia. Au, yang lahir di
Tembilahan, Riau, 1 Agustus 1952 memang berasal
dari “keluarga perabotan rumah” yang awalnya me­
nekuni produk busa untuk kasur, sofa, dan matras di
Palembang. Pada 1979, Au pindah ke Bogor untuk me­
nekuni usaha box speaker dan merekrut Atong sebagai
direktur pemasaran sampai tahun 1995. Adiknya ini
cukup berjasa besar mengatur distribusi produk-produk
Olympic sampai bisa menembus ke daerah-daerah yang
lain. Setelah keluar, Atong berbisnis produk yang tidak
kalah populer yaitu kursi plastik merek Napolly dan
Bagian 2 – Orang-Orang Spesial; Para Pionir

spring bed merek Bigland. Adapun Edi kini menekuni


bisnis properti.
Au, sekarang duduk manis sebagai komisaris utama
dan lebih banyak terlibat kegiatan filantropis. Dia
mengaku imajinasi meja belajar itu tampak memiliki
kaitan erat dengan bakat kreatifnya sejak sekolah dasar
(SD). Nilai seni prakaryanya tidak pernah di bawah
sembilan. “Dulu saya memang cerdas di bidang seni
prakarya sebab nilai tertingginya hanya delapan, tetapi
saya dikasih nilai sembilan,” kata ayah Miss Indonesia
2005, Imelda Fransisca ini.
Sekarang dia mengontrol 20 anak usaha di bawah
Olympic Group yang tersebar di seluruh nusantara
melalui kantornya di Kawasan Industri Sentul. Di waktu 75
luang, dia melakukan ceramah-ceramah kewirausahaan
di berbagai tempat untuk mengajarkan apa yang di­
sebutnya sebagai kebajikan kapitalis spiritual.[]
M. MA’RUF

76
Biarkanlah
Otak Anda
Bekerja

bagian 3
Primagama

Sukses Harus Dimulai


dari Bodoh dan Malas

B agi kebanyakan siswa, tes masuk perguruan tinggi


negeri adalah milestone masa depan, sehingga cara
apa pun akan ditempuh untuk bisa lulus. Tetapi, bagi
Purdi E Chandra, anak tukang jahit di desa Tanggul
Angin, Kecamatan Punggur, Kabupaten Lampung Te­
ngah, Provinsi Lampung, masuk Universitas Gadjah
Mada, saja seperti memasuki sebuah mal, tak perlu
repot. Malah, dengan mudah, Purdi dengan bangga
mengatakan kepada bapaknya bahwa dia diterima
kuliah pada empat fakultas yang kesemuanya berstatus
negeri (dia diterima di Jurusan Psikologi, Elektro, Sastra
Inggris, dan Farmasi di Universitas Gadjah Mada,
[UGM] dan IKIP).
Apa yang terjadi selanjutnya adalah Purdi justru
memutuskan untuk keluar kuliah. Ide itu mengalir
begitu saja, bahwa membantu siswa-siswa kurang
pintar memecahkan soal-soal ujian masuk perguruan
tinggi negeri itu pastinya menjadi sebuah bisnis yang
gurih. Lagipula, sebagai anak rantau, hanya itu yang
bisa membuatnya bertahan di Kota Gudeg. Purdi
meninggalkan empat bangku kuliah untuk lebih serius

78
memulai sebuah bimbingan belajar yang memberi
garansi para siswa, 100% uang kembali bila tidak lulus
ujian masuk. Ini terdengar sangat menjanjikan dan pasti.
Pada 10 Maret 1982, bersama teman-temannya, Purdi
membuka lapak les di rumah petakan sewaan yang kecil
dan disekat menjadi dua, bernama Lembaga Bimbingan
Tes Primagama. Dia memodali usahanya ini dengan
melego sepeda motor. Murid pertama adalah dua anak
tetangga sebelah rumah indekos.
Janji uang kembali bila tidak lulus sangat manjur
sebagai iklan. Untuk mengatasi kerugian-kerugian atas
promo itu, Purdi lebih dulu merekrut mahasiswa-maha­
siswa UGM yang paling cerdas sebagai tutor paruh
waktu. Hasilnya, 90% peserta bimbingannya lulus ujian
masuk. Berita ini dengan cepat menyebar dari mulut
ke mulut lewat selebaran di majalah dinding (mading)
sekolah. Lima tahun kemudian, Purdi membuka cabang
di Bandung, Jakarta, dan kota besar lain di Indonesia.
Dia juga mewaralabakan merek bimbingan belajar
(bimbel) Primagama untuk kota yang jauh, seperti
Pekanbaru, Sampit, dan Tangerang. Cara ini dilakukan
dengan agresif, sampai-sampai dalam waktu singkat
Primagama masuk catatan Museum Rekor Indonesia
Bagian 3 – Biarkanlah Otak Anda Bekerja

(MURI) sebagai bimbel dengan cabang terbanyak di 96


kota besar di Indonesia. Siswanya mencapai 100.000
siswa tiap tahun. Sasaran Primagama tidak berpusat
hanya kepada siswa-siswa kelas tiga SMA, melainkan
semua kelas, termasuk siswa SD. Mereka menyediakan
bimbingan mata pelajaran yang kurang dikuasai atau
sekadar memberikan layanan tambahan membantu
menyelesaikan pekerjaan rumah (PR) dari sekolah.
Sekarang Purdi adalah Presiden Direktur Primagama
Group yang sudah menjadi holding company dengan
lebih dari 20 anak perusahaan. Bergerak di berbagai
bidang, seperti pendidikan formal melalui IMKI dan
AMIKOM, dan Sekolah Tinggi Psikologi di Yogyakarta.
79
Dia juga merambah bisnis telekomunikasi, biro perja­
lanan, katering, supermarket, asuransi, hingga lapangan
golf.
Salah satu orang di balik kesuksesannya adalah
Wien Widjanarko, mahasiswa lulusan Fakultas Geologi
UPN Veteran Yogyakarta. Meski masih menjadi tangan
kanan Purdi, Wien dianjurkan mendirikan bisnisnya
sendiri pada 1999 dengan mendirikan Yayasan Unggul
Pasopati yang mula-mula menggarap pendidikan kom­
puter dan informatika, tapi kemudian banting stir
sebagai Pusat Pengembangan SDM Farma Indonesia.
Wien mengaku memakai ilmu-ilmu dari bekas bosnya—
sebagaimana disarankan—dan kini tak kurang 70 per­
usahaan berhasil dirangkul menjadi klien untuk me­
masok karyawan.
Bagaimana Primagama sukses adalah hasil eksperi­
men teori manajemen yang menghasilkan antitesa ins­
piratif tetapi mengejutkan. Purdi mungkin satu-satunya
pakar manajemen yang menganjurkan suami-istri untuk
bekerja dalam satu kantor. Ketika aturan yang ditentang
mayoritas perusahaan itu diterapkan pada bisnisnya,
hasilnya cukup mencengangkan; omzet Primagama naik
60%.
Ide yang lebih gila, sebagaimana pakar manajemen
ulung Rhenald Kasali menyebutnya, yaitu menyuruh
anak buahnya memiliki usaha sendiri, di luar jam kantor.
Contohnya adalah Wien dengan bisnis pendidikan far­
masinya itu.
Nasihat penting untuk sukses bagi orang-orang—
yang juga diberikan kepada dua anaknya—adalah pilih­
M. MA’RUF

an mengenai masa depan itu perlu ditentukan lebih awal


untuk menentukan seseorang perlu menjadi pintar di
sekolah atau tidak. Purdi adalah orangtua yang tidak
memberi iming-iming sepeda baru agar Faisa Muhammad
dan Zidane Muhammad semangat menyabet rangking
di sekolah, tetapi akan menghadiahkannya bila kedua
80 anaknya itu menemukan ide-ide hebat tentang sesuatu.
Katanya, sebagai orangtua dia hanya ingin anaknya
sekolah untuk mengisi otak kiri, dan karenanya tidak
memerlukan anak yang rajin, apalagi pintar di sekolah.
Rajin dan pintar di sekolah adalah pilihan bagi orang-
orang yang hanya ingin bercita-cita sebagai buruh atau
bahasa kerennya profesional. Sekarang, si sulung Faisa
yang belum genap 17 tahun sudah cakap mengelola se­
buah restoran di Semarang.
Pendidikan yang dimaksud Purdi adalah kecerdas­
an-kecerdasan ilmu jalanan—sreet smart, yang tidak
membutuhkan gelar. Menurut teori ekstremnya ini—
dengan bangga dia menyebut dirinya wirausaha ja­
lanan—kesuksesan justru harus dimulai dari sifat ma­
las. “Kalau kita rajin, jangan harap usaha akan ber­
kembang. Paling-paling kita akan menjadi karyawan
seumur hidup,” katanya. Idealnya, tak perlu bersimbah
peluh hingga tua untuk kaya raya. Lebih baik, cukup
menemukan ide hebat, dilaksanakan dan ketika sudah
berjalan serahkan saja kepada orang lain yang mampu
mengerjakan.
Purdi benar-benar menerapkan teori-teori ekstrem­
nya ini. Sekarang dia lebih banyak menyerahkan semua
urusan bisnis kepada direktur-direkturnya dan lebih asyik
Bagian 3 – Biarkanlah Otak Anda Bekerja

dengan hobinya yang baru; dakwah enterpreneurship.


Ya, pekerjaan barunya adalah motivator kewirausahaan
dengan mendirikan Enterpreneur University. Di sana tak
ada nilai, ijazah maupun gelar, karena bisnisnya adalah
mencetak pengusaha. Awalnya Entrepreneur Univer­
sity yang kini membuka cabang di Jakarta, Bandung,
Cirebon, Pasuruan, Bojonegoro hingga Sumatera ini
adalah seminar-seminar yang diasuh sendiri oleh Purdi.
Syarat masuk universitas ini unik, karena tanpa perlu
riwayat pendidikan, dan kalaupun punya, diutamakan
yang memiliki indeks prestasinya rendah. Sebagai pakar,
dialah penemu tiga resep manjur yang bisa dijadikan
orang merintis kekayaan: BODOL, BOTOL atau 81
BOBOL. Bodol adalah Berani, Optimis, Duit, Orang
Lain. BOTOL adalah Berani, Optimis, Tenaga, Orang
Lain. Adapun BOBOL adalah Berani, Optimis, Bisnis,
Orang, Lain.[]
M. MA’RUF

82
Es Teler 77

Yang Penting Heboh

S ukyatno Nugroho akan dikenang sebagai pen­jual es


teler terhebat sepanjang masa. Tetapi, dia bukanlah
pencipta adonan minuman es berisi potongan buah
alpukat, kelapa muda, nangka matang, dan santan
kelapa encer dengan pemanis berupa sirup itu. Bukan
pula mertua Sukyatno, Ny Murniati Widjaja yang
resepnya menjuarai lomba es teler Majalah Gadis
pada Maret 1982. Es teler itu diciptakan oleh Tukiman
Darmowijono, pedagang es campur dengan gerobak di
Jalan Semarang, Jakarta Pusat, pada 1980-an. Es kreasi
Tukiman itu laku keras, sehingga anak-anak muda
yang sangat menggemarinya menambahi dengan istilah
“teler”—seperti akibat mengonsumsi narkoba.
Sementara Sukyatno mulai berjualan es teler pada
7 Juli 1982 bermodalkan uang Rp 1 juta dan resep
mertuanya yang memenangi lomba itu. Ini adalah bisnis
keluarga yang melibatkan istrinya, Yenny Setia Widjaja,
dan kedua mertuanya; Murniati Widjaja dan Trisno
Budijanto. Dagangannya digelar di emperan pusat per­
belanjaan Duta Merlin, Harmoni, Jakarta Pusat dan
mulai buka pukul lima pagi hingga larut malam. Sampai

83
beberapa tahun kemudian dia masih menjual Es Teler
77—angka itu disebut sebagai angka keberuntungan—
dengan berpindah-pindah tempat, karena kerap ada
razia penertiban pedagang kali lima.
Bermodal nekat, pada 1987 Sukyatno membuka
waralaba (franchise) Es Teler 77 di Solo dan Semarang,
Jawa Tengah, sampai sekitar seratus buah. “Penghasilan
tidak cukup, baru tujuh cabang, tiap hari tekor, tidak
punya deposito, orang edan enggak?” katanya—bela­
kangan dia mengakui penjualan hak pemasaran itu
gara-gara kebutuhan mendesak untuk membiayai se­
kolah anak-anaknya. Tetapi, kenekatannya itu justru
membuatnya tercatat dalam sejarah sebagai pembuka
jaringan waralaba makanan di Indonesia, karena fast
food seperti Kentucky Fried Chicken dan McDonald’s
dari Amerika Serikat baru masuk ke Indonesia pada
1979 dan 1991. Sukyatno sebenarnya tidak mengerti
sama sekali apa dan bagaimana sistem waralaba, seperti
masalah pembagian hak atas keuntungan dan posisi­
nya sebagai pemilik. Dia mengetahuinya sepenggal-
sepenggal dari literatur franchise yang kala itu masih
berbahasa Inggris. Untungnya, Sukyatno yang hanya
berkemampuan bahasa Inggris lulusan SMP masih bisa
mengerti dari bagan dan skema di lembaran buku-buku
itu.
Tetapi, bagaimana kemudian dia bisa menaikkan
derajat dagangan es campur kelas emperan menjadi
minuman elite konsumen perlente adalah keyakinannya
yang amat kuat terhadap kekuatan imej. Sukyatno
amat yakin apa pun produknya bisa sangat dahsyat bila
M. MA’RUF

disertai kemampuan-kemampuan mengarahkan persepsi


konsumen. Ini memaksanya mula-mula fokus hanya
menjajakan menu es teler dan secara bertahap sejak 1994
memindahkan gerai-gerai Es Teler 77 ke plaza, atau mal.
Pun, untuk membedakan diri dari penjual kaki lima—dia
84 berdalih untuk melindungi penjual es teler kaki lima—
Es Teler 77 mematok harga esnya lebih mahal. Karena
gengsi pula—dan ini demi imej—Sukyatno hanya butuh
waktu lima menit untuk menyetujui proposal anaknya
Andrew Nugroho untuk membuka gerai di gedung
megah Wisma BNI lantai 46 dan 47, di Jalan Jenderal
Sudirman. “Padahal biaya yang saya keluarkan itu sama
dengan beribu-ribu juta kelapa selama berpuluh-puluh
tahun saya berjualan es teler, baru bisa untuk modal
satu restoran (di sana). Saya orangnya edan, ini tempat
tertinggi di Indonesia, berarti Juara Indonesia juga, pasti
bisa membuat nilai plus,” tuturnya pada 2003.
Simbol-simbol prestisius itulah ciri khas Sukyatno
dalam memopulerkan Es Teler 77. Dia adalah jenis
manusia heboh yang paling banyak masuk catatan
Museum Rekor Indonesia (Muri). Orang-orang pasti­
nya tidak lupa bagaimana Sukyatno merancang ide
unik lomba lukis anak-anak tuna netra (Anda bisa mem­
bayangkan hasil lukisan itu!) di Manado yang membuat
Sukyatno dan Es Teler 77 ditulis oleh media serta masuk
rekor Muri sebagai lomba pertama kategori itu. Atau
saat membuat lomba membuat gado-gado khusus
untuk istri tukang becak di Jakarta, dengan dalih ingin
membantu orang-orang menemukan resep terbaik gado-
Bagian 3 – Biarkanlah Otak Anda Bekerja

gado—seperti dia menemukan resep mertuanya.


Entah apa pula hubungan es teler dengan kekerasan
Israel di Timur Tengah, tetapi Sukyatno bisa-bisa saja
memanfaatkan momentum masalah itu. Kali ini, dia
mengumpulkan ratusan anak tuna netra untuk menye­
rukan perdamaian dalam tiga bahasa dari “warung
es”-nya. Tidak lupa, kampanye dilengkapi dengan su­
rat kepada kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
di New York, Amerika Serikat. Puluhan sensasi yang
dia ciptakan memang masih pada batas normal, tetapi
beberapa ide publikasi itu tampak lebih efektif sebagai
iklan gratis di media massa. Gagasan dan ide-ide pro­
mosi tampaknya memang sudah dipakai Sukyatno 85
sejak menandai tenda Es Teler 77-nya dengan “Juara
Indonesia”, mengutip kemenangan mertuanya yang di­
anggap sebagai perlombaan kelas nasional itu. Slogan
ini kemudian ditambah menjadi “Juara Indonesia-
Singapura-Malaysia-Australia”, saat gerai Es Teler 77
muncul di tiga negara tersebut.
Namun, belakangan banyak klaim-klaim itu tam­
pak seperti bluffing tanpa ukuran yang jelas dan dapat
di­pertanggungjawabkan—untungnya tidak ada yang
menempuh jalur hukum. Pengamat wirausaha Bondan
Winarno adalah salah satu sahabat Sukyatno yang
cukup kritis mengulas isi buku 18 Jurus Sakti Dewa
Mabuk Membangun Bisnis yang dalam sampulnya
ditulis karya Sukyatno—tetapi anehnya ghost writer
buku itu juga dicantumkan. Buku yang tercatat Muri
sebagai buku pertama yang sudah dicetak empat kali
pada saat peluncurannya itu mengandung banyak para­
doks—setiap cetakan rupanya diborong perusahaan-
perusahaan, termasuk Es Teler 77. Buku itu menceritakan
bagaimana kerasnya hidup Sukyatno memulai usaha di
Jakarta dan memaparkan 18 jurus baru untuk menjadi
wirausaha sukses.
Bondan menyebut klaim peringkat ke-40 di antara
50 murid di saat menjadi siswa SMP yang selalu dipakai
Sukyatno untuk menunjukkan betapa bodohnya dia
ketika sekolah tetapi bisa sukses di kemudian hari
tampak sumir. “Seingat saya sebagai orang seusia dia,
pada masa itu belum ada kebiasaan untuk melakukan
pemeringkatan di sekolah,” kata Bondan. Pun, di salah
satu halaman buku itu, Sukyatno mengklaim jurus
M. MA’RUF

“77P-nya lebih ampuh dari pada konsep pemasaran 4P-


nya Philip Kotler, tanpa disertai penjelasan. Apa pun itu,
Bondan menyebut buku bisnis yang ditulis dengan gaya
buku silat tetapi kerap tidak nyambung itu merupakan
contoh keunikan sahabatnya.
86
Walaupun begitu, Sukyatno tidak terbukti hanya
pintar membuat pengakuan-pengakuan menghebohkan.
Beberapa persoalan bisa dipecahkan dengan sempurna,
seperti komplain-komplain konsumen yang langsung
ditanggapi. Dia pernah mengalami bahwa tempat yang
lebih mewah tidak selalu sesuai dengan ekspektasi,
karena menu tunggal es rupanya tidak dapat menarik
pekerja kantoran mampir ke gerainya pada jam ma­
kan siang. Pada 1997, masalah ini dipecahkan dengan
menggabungkan gerai mi tek-tek miliknya dengan Es
Teler 77 sehingga menu semakin lengkap. Sekarang, ada
menu-menu lain seperti mi ayam, mi baso, nasi goreng,
roti bakar, pisang bakar, dan bahkan Es Teler 77 telah
mengubah gerainya menjadi gerai restoran, bukan lagi
sekadar penjual es. Sejak penggabungan menu, Es Teler
77 juga mulai melakukan serangkaian penyempurnaan
sistem franchise, standardisasi mutu dan menyiapkan
pusat pelatihan untuk calon rekanan.
Orang yang dikenal dengan humor-humor segar
ini juga tidak banyak mengalami kesulitan merangkul
banyak pewaralaba. Bisa diduga, ini berkah dari fleksi­
bilitas mengejar pertumbuhan gerai-gerai. Tidak ada
ketentuan tunggal mengenai cara-cara pembeli waralaba
Bagian 3 – Biarkanlah Otak Anda Bekerja

membuat adonan Es Teler 77, dan Sukyatno kerap kali


malah menyarankan investornya yang jauh dari Jakarta,
menambah takaran-takaran pemanis, atau mencampur
adonan dengan tepung lokal. Mungkin, berkat keluwesan
itulah Es Teler 77 bisa dengan cepat memiliki cabang
di Malaysia, Singapura, Australia, dengan total pekerja
lebih dari 3.000 orang.
Tetapi, dari bukunya bisa diketahui, kesuksesan
Sukyatno diperoleh setelah melalui kesulitan-kesulitan
hidup. Ini dimulai ketika Sukyatno diungsikan oleh
ayahnya ke rumah pamannya di Jakarta. Pamannya yang
sengaja tidak mengarahkan Sukyatno untuk kembali
bersekolah—seperti keinginan ayahnya—diakuinya se­ 87
bagai guru wirausaha. Sukyatno muda justru menjadi
tukang catut keliling barang kelontong, seperti kancing
baju, sisir, obat China, produk kimia, elektronik, pompa
air, hingga kondom. Inilah kalimat yang dia kenang
sepanjang hayatnya, ”Kalau kamu datang sekali enggak
bisa, datangi seribu kali. Kalau itu saja kamu enggak bisa,
berarti kamu goblok,” kata Sukyatno menirukan nasi­
hat pamannya. Penghasilannya sebagai perantara tran­
saksi itu dilanjutkan dengan membuka biro bangunan
dan percetakan.
Pada 1978, pengalaman pahit kembali menempanya.
Sebagai pemborong, dia memenangkan tender pem­
bangunan rumah dinas sebuah departemen. Namun,
ketika bangunan sudah hampir jadi, penduduk kampung
sekitar berniat mengeroyoknya, karena ternyata tanah
tempatnya membangun berstatus sengketa. Kerugian itu
membuatnya tertimbun utang yang tidak sedikit, hingga
membayar sekolah ketiga anaknya saja dia tak mampu.
Semasa menjadi tukang catut itulah Sukyatno me­
nemukan cintanya di hati Yeni Setia Widjaja, pedagang
elektronik di bilangan Kota. Hubungan yang singkat
itu berlanjut ke pelaminan pada 1971. Pernikahan itu
dikisahkan mampu membawa keberuntungan pada
Sukyatno yang juga percaya pada keberuntungan sesuai
dengan kombinasi angka kelahiran. Kombinasi hari
lahirnya pada 3 Agustus ’48 dan istrinya pada 27 Januari
’53 dalam hitungan primbon menghasilkan formasi
“Satria Wibawa”, yang artinya akan memperoleh ke­
muliaan dan keluhuran. Pernikahan pembawa keber­
untungan itu membuahkan tiga orang anak; Felicia,
M. MA’RUF

Andrew, dan Fredella.


Setelah menyerahkan bisnisnya kepada tiga anak­­
nya, penyandang gelar doktor honoris causa ini meluang­
kan waktu berceramah di banyak universitas tentang
bis­nis franchise, dan lebih memilih di belakang meja.
88 Dan ketika Sukyatno mengembuskan napas terakhir,
kedekatannya dengan banyak lapisan masyarakat mem­
buat banyak orang merasa kehilangan—ratusan rang­
kaian duka cita dari semua kolega dipasang berderet
mulai dari ruas jalan di samping rumah duka, pelataran
parkir, hingga lantai tiga gedung di kawasan Pluit
Jakarta—termasuk mantan Presiden, Abdurrahman
Wahid yang secara khusus menyampaikan ucapan
belasungkawa. Ketika meninggal di usia 59 tahun, pada
11 Desember 2007, Sukyatno mewariskan hampir 300
gerai Es Teler 77 di empat negara dan sejumlah jaringan
bisnis kepada tiga anaknya.[]

Bagian 3 – Biarkanlah Otak Anda Bekerja

89
Sido Muncul

Orang Gila Sekalipun Tahu


Jamu yang Enak

S ido Muncul bila diartikan dalam bahasa Inggris adalah


dreams come true, atau impian yang terwujud. Entah
ada hubungannya atau tidak nama merek itu dengan
Irawan Hidayat, namun ketika mewarisinya pada 1972,
usaha jamu yang baru berkembang itu sudah di ambang
kehancuran. Padahal, Irawan yang pernah bekerja di
sebuah perusahaan farmasi sejak lama mengimpikan
sebuah pabrik jamu yang setara dengannya. Namun,
berbekal ketidaktahuan dan keberuntungan, Irawan yang
sampai sekarang diabadikan gambarnya dalam setiap
kemasan jamu Sido Muncul—logo ibu menggendong
bayi pada kemasan jamu Sido Muncul itu adalah Irawan
kecil yang digendong neneknya—akhirnya mampu
mewujudkan impian masa mudanya.
Irawan masih “bau kencur” ketika usaha jamu yang
dirintis Nyonya Rakhmat Sulistio—nenek Irawan—
pada 1940-an di Yogyakarta, sedang terlilit utang yang
nilainya lebih besar dibandingkan aset-aset pabrik yang
dimiliki. Pabrik pertama yang baru didirikan pada 1951
menanggung utang bahan baku jamu yang bila dikalkulasi
baru lunas dengan hasil penjualan jamu dua setengah

90
tahun ke depan. Dengan pabrik yang hanya menampung
100 pekerja, tanpa satu pun mesin, Sido Muncul benar-
benar kritis. Situasi ini di luar kemampuan Irawan yang
sejak membantu ibunya, tidak pernah bekerja dengan
serius. Lulusan SMA berambut gondrong itu tampak
lebih cuek, tidak menghiraukan seluk beluk jejamuan,
dan bekerja seenaknya sendiri. Mentang-mentang anak
bos, dia bisa masuk kerja pukul 10.00, lalu main catur
di kantor dan pukul 13.00 pulang, sore hingga malam
hari berkumpul dengan teman-temannya. “Itu masa
lalu yang membuat geli bila mengingatnya,” kenang
Irawan.
Banyak kesalahan-kesalahan yang tidak perlu akibat
ketidakpedulian pada waktu muda itu membuat usaha
itu sulit berkembang. Irawan masih meneruskan resep
warisan jamu bubuk, seperti Jamu Tolak Angin yang pahit
dan tidak enak. Berpuluh-puluh tahun dia dan empat
saudaranya bertahan dari persaingan produsen jamu
yang semakin banyak, seperti Nyonya Item dan Nyonya
Kembar keluaran Ambarawa, atau Nyonya Meneer
dari Semarang. Pada mulanya, berbagai modifikasi
jamu dan upaya Irawan belajar kepada banyak orang
untuk memperbaiki volume penjualan tidak kunjung
Bagian 3 – Biarkanlah Otak Anda Bekerja

menemukan hasil bagus. Padahal, kualitas jamu Sido


Muncul tidaklah buruk, seperti jamu tolak angin yang
sudah terbukti bisa mengobati masuk angin.
Titik balik masa depan Sido Muncul sebagai pionir
di bidang industri jamu herbal berawal di suatu hari pada
1993 di pinggir jalan. Mungkin, Irawan yang sudah nyaris
putus asa oleh orang-orang dianggap sudah kehilangan
akal sehat ketika diketahui berbicara dengan orang gila
dan menyuruhnya mencicipi racikan jamu bubuk itu.
“Orang gila itu dengan terus terang mengatakan jamu
saya pahit, tidak enak,” ungkap Irawan. Jawaban polos
orang gila itu membuatnya berpikir cukup dalam untuk
waktu yang lama. Bersama keempat adiknya yang turut 91
diserahi meneruskan warisan ini, dia membahas soal
jamu Sido Muncul yang pahit. Sebetulnya, tidak ada
yang aneh dari jawaban itu. Seperti juga obat, mana
ada jamu yang tidak pahit? Tetapi, semuanya sepakat
agar perusahaan melakukan revolusi produk, yakni
bagaimana memproduksi jamu enak diseduh. Riset
aneh ini menuntun Irawan mencari reramuan baru agar
rasa jamunya lebih manis dan dia begitu bersemangat
karena tampak sebagai jalan untuk mendongkrak gengsi
jamu menjadi setara dengan obat-obat modern keluaran
pabrik farmasi. Miliaran rupiah dia keluarkan untuk
riset-riset ilmiah meniru tren yang sudah ada di China;
obat herbal alami tanpa bahan kimia.
Sekali lagi, ketidaktahuannya tentang masalah-
masalah ekonomi dan krisis moneter justru membuat­
nya bisa mewujudkan impiannya itu. Irawan memba­
ngun laboratorium modern untuk riset ramuan jamu
herbal di tanah seluas 3.000 meter persegi di Ungaran,
Semarang dengan biaya Rp 2,5 miliar rupiah justru di
saat banyak perusahaan Tanah Air bangkrut oleh krisis
ekonomi 1997. Irawan mengaku, ketidaktahuan justru
menyelamatkannya, meskipun kemudian berakibat pada
pembengkakan ongkos pembangunan pabrik hingga
dua kali lipat dari anggaran semula.
Pabrik di Ungaran itu selesai pada November 2000
dan diresmikan oleh Menteri Kesehatan dan Ke­sejah­
teraan Sosial, Achmad Sujudi. Hari itu mimpi pertama
Irawan terwujud dengan dua sertifikat yang diberikan
Depkes kepadanya, yaitu sertifikat Cara Pembuatan Obat
Tradisional yang Baik (CPOTB) dan Cara Pembuatan
M. MA’RUF

Obat yang Baik (CPOB) setara dengan farmasi. Sertifikat


ini memosisikan Sido Muncul sebagai satu-satunya
pabrik jamu yang berstandar farmasi. Dari pabrik yang
dibangga-banggakan itu, Irawan mulai memproduksi
jamu-jamu yang lebih enak, alami, dan lebih higienis.
92 Jamu-jamu dengan istilah unik, seperti Susu Telor Madu
Jahe plus ginseng atau populer dengan singkatan ESTE-
EMJE mulai dipasarkan. Ada pula Kuku Bima, Tolak
Angin—yang rasanya lebih manis—Kunyit Asem, Jamu
Komplit, Jamu Instan, Anak Sehat, dan lain-lain.
Sebuah momentum kebetulan sekali lagi memban­
tu gagasan Sido Muncul, yaitu bermunculannya riset
ilmiah yang menyadarkan masyarakat bahwa ada efek
negatif dari mengonsumsi obat modern berbahan kimia.
Di lain sisi, harga obat-obat modern melambung karena
krisis moneter melecut biaya bahan baku impor. Ini turut
berjasa memberi jalan bebas hambatan bagi Irawan
memasarkan produk jamunya ke lapisan masyara­
kat paling tidak beruntung. Harga yang lebih murah
dibandingkan obat dokter membuatnya bisa dengan
cepat merangkul masyarakat yang sedang kesusahan
dihajar krisis ekonomi. Orang-orang menengah ke ba­
wah waktu itu sangat terbantu oleh jamu-jamu ini, mulai
dari tukang becak, sopir angkot dan bus kota, sampai
kuli bangunan.
Pemasaran dilakukan dengan agresif melalui ja­
ringan distribusi secara langsung. Irawan setidaknya
sudah menemui langsung puluhan ribu distributor, agen,
pedagang jamu gendong atau pemilik kios jamu. Dia
Bagian 3 – Biarkanlah Otak Anda Bekerja

tampak bersemangat untuk turun ke lapangan, melepas


jas dan dasi untuk keluar-masuk pasar tradisional, termi­
nal atau penjual jamu di pinggir jalan untuk memas­
tikan peta pasar produk-produk Sido Muncul dari para
p­esaing. Irawan—sepertinya mengulangi pertemuan de­
ngan orang gila itu—dalam setiap perjumpaan dengan
penjual jamu menanyakan berbagai persoalan yang di­
hadapi para agen penjual dengan berdialog dan bertatap
muka secara langsung. Hasilnya cukup bagus karena
sampai 2004, ada 60 distributor tersebar di setiap
kabupaten di Pulau Jawa menjadi mitranya. Ditunjang
oleh sekitar 130.000 pedagang jamu gendong dan 30.000
depot jamu. Berbagai program untuk mengundang 93
simpati penjual jamu dirilis, seperti mudik gratis bagi
agen dan penjual jamu di Jakarta sejak 1999.
Selanjutnya, promosi ambisius berbiaya miliaran
rupiah tidak segan-segan dikeluarkan dari kantong per­
usahaan agar citra jamunya segera naik. Irawan meng­
aku, krisis justru waktu yang tepat untuk menggembar-
gemborkan produk lewat layar kaca, media elektronik
dan cetak. Dengan begitu, Sido Muncul lebih mudah
diingat konsumen, karena pada saat yang sama produsen
lain memilih tiarap. Iklan ESTE-EMJE misalnya, cukup
familiar di telinga pendengar radio-radio hingga ke pe­
losok pedesaan. Begitu juga dengan iklan produk Kuku
Bima yang menampilkan Mbah Maridjan, Juru kunci
Gunung Merapi, juara tinju dunia Chris John, dan
binaragawan Ade Rai.
Sementara untuk jingle “Orang Pintar Minum
Tolak Angin” tercatat, pernah dibintangi budayawan
Setiawan Djodi, Sophia Latjuba, Agnes Monica hingga
pakar pemasaran Rhenald Kasali. Jingle iklan jamu
Tolak Angin yang dikemas dalam tablet dan cair itu
seolah mengatakan, adalah hanya orang bodoh yang
tidak meminumnya bila sedang masuk angin. Ide-ide
kreatif promosi ini pernah membuat Sido Muncul me­
raih penghargaan Cakram Award 2002 dari Majalah
Periklanan Cakram.
Impian jamu herbal telah mengokohkan Irawan
sebagai pengusaha jamu papan atas, dengan omzet
setengah triliun rupiah hanya dari produk andalan
Tolak Angin dan Kuku Bima. Belakangan impian itu
bahkan meluas menjadi tren industri produk-produk
M. MA’RUF

herbal yang menyeret masuk para produsen obat, seperti


Soho Industri Farmasi, Dexa Medica, Darya Varia, dan
Pharos.[]

94
Jawa Pos Group

Perlu 1000 Kesalahan untuk


Membuat Koran yang Laris

H arian Jawa Pos yang sudah terbit 33 tahun itu


su­dah bangkrut pada 1982, bila saja “Si Oom”
panggilan Soeseno Tedjo, pemiliknya, tidak menjual
koran itu ke Grafiti Pers. Eric Samola, Direktur Utama
Grafiti Pers adalah orang kepercayaan pengusaha
properti Ciputra yang mengurus masalah pembelian
itu. Sebelumnya, Eric telah sukses mengorganisir se­
kelompok seniman dan aktivis, seperti Goenawan
Muhammad, Fikri Jufri, Putu Wijaya, dan kawan-kawan
untuk membuat majalah Tempo. Tidak diketahui pasti,
mengapa kemudian Eric memilih Dahlan Iskan untuk
mengurusi koran yang hampir bangkrut itu. Mungkin,
dia yang dianggapnya paling tepat, karena Dahlan adalah
orang asli Jawa Timur, dan waktu itu sudah menjabat
sebagai Kepala Biro Majalah Tempo di Surabaya.
Oplah Jawa Pos sedang terjun bebas, tinggal sekitar
6.000 eksemplar per hari, dan Dahlan dikejar oleh
waktu. Sepuluh tahun kemudian, oplah koran pagi yang
terbit di Surabaya itu menjadi berlipat-lipat dan tercatat
sebagai harian dengan pertumbuhan oplah tercepat di
Asia.

95
Dahlan adalah orang yang tidak suka mengumbar
bagaimana manajemen ala maverick style-nya mampu
mendongkrak oplah Jawa Pos. Maverick style adalah
gaya mengelola bisnis yang suka mendobrak aturan
tradisional dan umum dalam bisnis. Orang ini penuh
kejutan, dan nyeleneh dalam penampilan—dia lebih
sering terlihat memakai kemeja lengan panjang yang
tampak kedodoran, dan membiarkan ujung baju di
luar celana panjang. Pernah, suatu ketika Dahlan me­
nyampaikan tugas penting dari bangku penonton saat
menyaksikan pertandingan sepak bola kesebelasan
Persebaya di Balikpapan. Pada mulanya, anak buahnya
itu hanya diajak untuk menemaninya menonton, tetapi
di situlah dia menyerahkan tugas akuisisi koran lokal di
Kalimatan. Hasilnya adalah Grup Kaltim Post (GKP),
yang kemudian beranak pinak menjadi Samarinda Pos,
Pos Metro Balikpapan, Radar Banjarmasin, Radar
Tarakan, Radar Sulteng, dan Kalteng Pos dan beromzet
Rp 30 miliar pada 2003.
Tidak jarang pula dia menempatkan orang tanpa
tengok kanan-tengok kiri. Dahlan sempat menggeser
seorang redaktur senior, yang lulusan SMA ke bagian
keuangan. “Yang penting tertib, rapi, pelit, cerewet, dan
peduli terhadap masalah-masalah sepele,” kata Dahlan.
Dahlan memperlakukan orang-orang kepercayaan­
nya itu seperti anak ayam yang disapih. Tanpa job
description yang jelas, tetapi memberi limit-limit ter­
tentu, seperti sampai batas kapan subsidi dari pusat
akan dihentikan. Prinsip ini diberlakukan dengan
ketat, sampai-sampai menimbulkan efek tidak sedap—
M. MA’RUF

kesejahteraan karyawan dan standar etika jurnalistik.


Sampai dengan ulang tahun ke-60 Jawa Pos,
Dahlan tetap yakin dia tidak perlu menceritakan kisah
suksesnya. Setiap generasi memiliki zamannya sendiri,
karena setiap zaman mempunyai generasinya sendiri.
96 Apa yang di masa lalu sukses dilakukan, belum tentu bisa
sukses untuk dilaksanakan sekarang. “Bahkan, saya bisa
memastikannya: mustahil,” kata dia. Cerita-cerita sukses
seperti isi buku ini, hanya akan membuat orang-orang
sekarang terlalu mengagung-agungkan masa silam, lalu
terlena untuk memikirkan masa depan. Kisah sukses itu
seperti racun yang meneror generasi baru. Adalah lebih
baik menceritakan kisah gagal dan Dahlan mengingin­
kan orang mengundangnya untuk topik “Kisah-Kisah
Kesalahan dan Kegagalan Dahlan Iskan”. Kesalahan-
kesalahan itu banyak dilakukannya—dia menyebut
angka 1.000 yang bila diuangkan seharga lebih dari Rp
150 miliar—telah diperbuatnya selama mengelola Jawa
Pos Group. Keberhasilan Jawa Pos sekarang adalah
trial and error berulang-ulang dan kerugian-kerugian
itu wajar sebagai “biaya sekolah” yang tidak bisa tidak
harus dibayar. “Itulah biaya sekolah yang harus dipikul
perusahaan untuk “menyekolahkan” saya hingga bisa
menjadi seperti sekarang,” ujar Dahlan
Orang-orang mungkin sudah lupa bagaimana se­
orang wartawan senior Jawa Pos membuat kesalahan
fatal dengan menulis laporan fiktif, wawancara istri
Dr Ashari via telepon. Kredibilitas Jawa Pos langsung
dipertanyakan, ketika beberapa hari kemudian diketahui
Bagian 3 – Biarkanlah Otak Anda Bekerja

wawancara itu palsu, karena istri teroris ahli perakit bom


itu rupanya memiliki penyakit radang akut sehingga
tidak memungkinkan diajak berbicara. Tokoh-tokoh
pers mengkritik bagaimana Jawa Pos mengabaikan etika
jurnalistik untuk mendapatkan berita-berita eksklusif.
Pada awal merintis Jawa Pos, Dahlan juga tidak sepi oleh
tudingan-tudingan miring seperti masalah kesejahteraan
karyawan. Mantan Direktur Keuangan PT Jawa Pos
Radar Timur—salah satu anak perusahaan Jawa
Pos—Widjojo Hartono alias Tony, yang dipecat pernah
bercuap ke media dan melaporkan keburukan Dahlan
mengelola koran. Mulai dari dugaan menerbitkan surat
utang palsu, penggelapan pajak, rekayasa laporan
97
keuangan, sampai tidak melindungi karyawan Jawa Pos
dengan Jaminan Sosial
Tena­ga Kerja. Tony, ber­­­
teriak bagaimana Dahlan
membangun sistem oto­
riter, tanpa kompromi
dengan pi­lihan tunduk,
dipecat tanpa pesangon—
se­perti dirinya yang sudah
22 tahun bekerja—atau
mengundurkan diri. “Se­
mua itu bohong besar,”
tepis Dahlan.
Toh, Dahlan meng­­­
akui sistem pem­berian
gaji murah dengan te­
kanan kerja berlebihan di
Jawa Pos. Tidak mungkin
membayar mahal wartawan yang andal dengan modal
pas-pasan, sehingga Dahlan lebih memilih sumber daya
bergaji murah ketika membangun korannya—di koran
daerah bahkan sering tidak dibekali pelatihan memadai.
“Tapi, saya punya semacam “dendam” bahwa kalau
suatu saat Jawa Pos sudah mampu, kami akan merekrut
tenaga-tenaga yang hebat,” kata dia. Pada akhirnya,
janji itu mulai dipenuhi saat ini.
Dahlan adalah jurnalis yang biasa saja, bukan
pula punggawa Tempo yang menonjol. Lagi pula dia
belum pernah memiliki pengalaman memimpin sebuah
perusahaan media—kecuali sebuah biro saat ditunjuk
Eric mengepalai Jawa Pos. Dia mengaku tidak memiliki
M. MA’RUF

warisan jiwa kewirausahaan kecuali mendapatkannya


dari proses penularan yang intensif, dari Ciputra meng­
alir ke Eric, lalu mengalir kepadanya. Pesan moralnya
adalah berkawanlah dengan orang yang tepat. Mula-
mula upaya menggenjot oplah itu diterapkan dengan
98 gagasan yang menukil salah satu parameter berita;
kedekatan, antara objek berita dan pembaca atau disebut
proximity. Prinsip ini dia jadikan sebagai terobosan
dalam bisnis media, di tengah rata-rata bisnis koran
yang seperti raja-raja kecil di daerah. Satu per satu dia
mendirikan koran di daerah, sebagian berkongsi de­
ngan investor setempat. Koran-koran lokal ini—umum­
nya memakai nama Radar di depannya—bermunculan
di setiap daerah. Dahlan membeli media lokal yang
nyaris bangkrut, atau mendirikan koran baru, nyaris
di setiap jengkal administrasi pemerintahan. Mulai dari
cakupan provinsi, kota, kabupaten, dan bahkan media
komunitas.
Koran-koran lokal—beberapa termasuk televisi
lokal—ini ada di mana-mana, dari Aceh hingga Papua,
menggurita dengan kepalanya ada di Graha Pena Sura­
baya yang berdiri megah. Jawa Pos di tangan Dahlan
telah menjadi jaringan media terbesar di Indonesia, yang
memimpin pasar koran-koran lokal dengan jumlah saat
ini mencapai sedikitnya 134 penerbitan, mengepung
harian Kompas yang tampak hanya berjaya di Ibu Kota,
dan memukul koran-koran lokal. Daripada memba­ngun
sebuah koran besar yang tersentralistik, Dahlan memi­lih
terobosan luar biasa, karena setiap daerah membutuhkan
Bagian 3 – Biarkanlah Otak Anda Bekerja

berita versi masing-masing. Pembaca akan lebih senang


membaca berita korupsi pejabat pemerintah setem­
pat daripada pejabat di daerah lain. Lagi pula, banyak
pemasang iklan yang tidak mungkin membayar mahal
untuk sebaris iklan kolom pada koran yang tidak terbit
di kotanya.
Bagaimana Dahlan membuat laku korannya adalah
dengan memasang banderol eceran sangat murah untuk
promo yang seperti candu bagi pembaca. Ini karena biaya
operasional bisa ditekan seminimal mungkin melalui
efisiensi besar yang dijalankan dengan membeli sendiri
mesin cetak di daerah dan membangun infrastruktur berita
murah lewat Jawa Pos National Network (JPNN). JPPN 99
ini mampu memasok berita-berita berharga murah dari
dan untuk seluruh jaringan korannya sendiri di daerah-
daerah, tanpa perlu membeli dari Lembaga Kantor
Berita Antara. Jawa Pos juga membangun sendiri pabrik
kertas koran untuk memasok kertas cetakan. Pabriknya
yang kedua—di bawah Adiprima Sura Perinta—mampu
memproduksi kertas koran 450 ton per hari. Selebihnya,
lokasi koran di daerah memungkinkan Jawa Pos Group
membayar gaji wartawan lebih murah, dari pada di ibu
kota.
Pendirian koran baru dilakukan dengan membentuk
tim kecil atau semacam pilot project untuk mendirikan
koran itu di daerah. Menempatkan orang-orang keper­
cayaan yang ahli dari pusat—mereka-mereka ini redak­
tur atau sekelasnya yang telah mapan di harian Jawa
Pos—untuk memimpin. Orang-orang lokal direkrut
untuk menjadi bagian dari tim, dan setiap posisinya
ditentukan oleh kedudukan dalam investasi koran
daerah. Berkat pendekatan manajemen yang tidak lazim
ini, Dahlan membuka era baru konglomerasi media.
Dia disebut sebagai salah satu raja media, mungkin
tidak berlebihan menyebutnya sebagai Rupert Murdoch
dari Indonesia. Khusus untuk Jawa Pos yang menyasar
pembaca di Jawa (di Jakarta diterbitan Indo Pos), dalam
10 tahun oplahnya mencapai 600.000 eksemplar per
hari.
Dahlan adalah seorang wartawan yang memulai
kariernya sebagai calon reporter sebuah surat kabar ke­
cil di Samarinda, Kalimantan Timur, pada 1975. Setahun
kemudian, dia diterima sebagai wartawan majalah
M. MA’RUF

Tempo. Dahlan lahir bertepatan pada perayaan hari


kemerdekaan Indonesia keenam, dari sebuah keluarga
miskin di Magetan. Dia tidak memiliki cita-cita, ke­
cuali kesukaannya kepada jurnalistik, sejak nyantri
di pesantren dan lulus Madrasah Aliyah Pesantren
100 Sabilil Muttaqien, Takeran, Magetan. Melanjutkan
kuliah di Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel cabang
Samarinda sampai tahun kedua, sebelum memulai karier
kewartawanannya.
Sifat workaholic ketika membangun Jawa Pos—
Dahlan dikabarkan bekerja keras tanpa libur, hampir
selama 15 tahun—membuatnya kehilangan hati. Penya­
kit ini meneror Dahlan—dengan vonis hidup tak lebih
enam bulan—terlebih sebelumnya tokoh cendekiawan
Nurcholish Madjid gagal setelah melakukan trans­
plantasi, dan meninggal ketika dirawat di sebuah ru­
mah sakit di Singapura. Sejak 7 Agustus 2007 Dahlan
hidup dengan liver baru, hasil pencakokan di sebuah
rumah sakit di Tianjin, China. Kini dia mempunyai
dua “Mercy”. Satunya adalah mobil Mercedes seri 500
seharga Rp 3 miliar. Mercy yang lain adalah lambang di
perutnya, bekas operasi transplantasi hati yang harga­
nya konon lebih dari harga mobil itu.[]

Bagian 3 – Biarkanlah Otak Anda Bekerja

101
Ayam Bakar Wong Solo

Pers, Gosip, dan Kontroversi


adalah Iklan Murah

P uspo Wardoyo menjadi musuh bersama nyaris


seluruh perempuan saat memprakarsai Poligami
Award 2003—penghargaan yang diberikan kepada laki-
laki yang memiliki banyak istri. Di luar keyakinannya
bahwa itu dianjurkan agama, Presiden Masyarakat
Poligami Indonesia itu begitu yakin salah satu kemajuan
bisnis rumah makan Ayam Bakar Wong Solo adalah
karena dia memiliki empat istri. Karena itu, dia santai
saja dengan kampanye-kampanye poligami yang terang-
terangan menantang kelompok feminis, dan memicu
serangkaian boikot terhadap rumah makannya. Sampai-
sampai istri Gus Dur, Sinta Nuriyah memprotes makanan
yang dihidangkan pada Muktamar Nahdlatul Ulama
di Solo, pada 28 November 2004, gara-gara hidangan
dipesan dari rumah makan milik Puspo.
Gagasan mendirikan organisasi untuk orang-orang
yang terlibat poligami ini sebetulnya juga tidak disetujui
komunitas poligami. Sahabat Puspo, Direktur Grup
Rufaqa—holding dari Hawariyun—Mohamad Rizal
Chatib termasuk yang menyayangkan hal itu. Tetapi,
Puspo tidak ambil pusing dan terus berkampanye bahwa

102
suatu bisnis bisa sukses dengan banyak istri. Dia adalah
bukti nyata bahwa polemik adalah promosi yang luar
biasa. “Saya harus menciptakan konflik terus-menerus
di benak orang supaya orang membicarakan saya. Ini
positif dan paling efektif. Karena ada kebenaran, tapi tak
semua orang berani mengungkapkannya,” ujar Puspo.
Pada akhirnya, teori ini terbukti dan setiap orang yang
membicarakan poligami, Puspo beserta Ayam Bakar
Wong Solo turut menjadi buah bibir, hingga keluar
negeri.
Sejak kecil Puspo yang anak pedagang daging
ayam di pasar pagi Kota Solo sudah terbiasa menentang
kelaziman. Puspo sendiri heran mengapa ayahnya yang
hanya pedagang tetapi mampu menyekolahkan delapan
anak sampai SMA—dengan empat di antaranya tamat
perguruan tinggi, termasuk Puspo—justru berpikir
Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah profesi yang hebat.
Padahal, Puspo sebetulnya mengagumi profesi ayahnya
yang menjual daging ayam ke pasar pada pagi hari,
dan siang hingga malam membuka warung ayam di
dekat kampus Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo.
Warung makan itu menyediakan menu siap saji seperti
ayam goreng, ayam bakar, garang asem ayam, dan
Bagian 3 – Biarkanlah Otak Anda Bekerja

masakan ayam lain yang memiliki banyak pelanggan


fanatik. Puspo kecil yang umur 13 tahun telah bangun
pagi-pagi selepas shalat subuh. Membersihkan ayam
untuk dimasak bersama saudara-saudaranya yang lain.
Dia berhenti ketika jam sudah menunjukkan waktu
berangkat sekolah. Ini membuatnya kehilangan banyak
waktu untuk bermain-main, meski itu kemudian dibayar
oleh kemampuan interaksi yang baik, karena rata-rata
pembeli ayam di toko adalah pelanggan yang sama.
Dia kemudian benar-benar membuat orangtuanya
bahagia setelah menjadi PNS guru pendidikan seni
di SMA Negeri I Blabak Muntilan setelah lulus dari
UNS. Mula-mula dia merasakan enaknya menjadi 103
PNS dengan gaji yang pasti setiap bulan dan mendapat
kehormatan. Namun, setelah tiga tahun mengajar, dia
tidak menemukan gairah dalam statusnya ini. “Hati
kecil mulai gelisah. Kok rasanya mulai tidak cocok
dengan panggilan jiwa saya, dan itu terus menghantui
jiwa saya,” kenang Puspo. Banyak orang, termasuk
teman dan handai taulan menganggap Puspo kehilangan
akal sehat, ketika secara mendadak menyatakan telah
menanggalkan status PNS dan memilih pulang kampung
ke Solo untuk membuka warung ayam goreng di seputar
pasar tradisional Kleco, Solo, pada 1986.
Masa-masa setelah itu adalah fase yang berat bagi
Puspo karena gagasan memiliki warung ayam yang
lebih laris daripada ayahnya rupanya tidak mudah.
Perkembangan bisnisnya datar, karena kota kecil itu
sudah dikepung oleh sedemikian banyak rumah makan
yang rata-rata juga mengandalkan menu ayam. Orang-
orang telah mengenali Puspo sebagai orang keras kepala
yang telah termakan oleh khayalan menjual sepotong
ayam bakar biasa membuatnya jadi orang kaya.
Sampai suatu ketika Puspo bertemu dengan seorang
perantau yang baru pulang dari Medan, Sumatera
Utara. Tukang bakso itu bercerita bagaimana mudahnya
menghabiskan dagangannya di sana. Peluang bisnis
masih terbuka lebar, lebih-lebih untuk ayam bakar milik
Puspo yang dipastikan bakal laku keras, karena belum
ada makanan seperti itu di sana. Dengan enteng, tukang
bakso itu juga mengatakan, pergi ke Medan tidak lebih
jauh dari jarak Solo-Semarang. Angin surga itu begitu
saja dipercayai oleh Puspo dan menemukan kembali
M. MA’RUF

obsesinya menjadi penjual ayam bakar. Lagi lagi ke­


putusan ganjil dia ambil dengan menyerahkan usaha
lesehan ayam bakarnya kepada seorang teman dan per­
gi ke Jakarta. Tanah impian Medan juga membuatnya
terpaksa menjilat ludah setelah terlebih dulu menjadi
104 guru di Perguruan Wahidin di daerah Pelabuan Bagan
Siapi-api, Sumatera Utara, yang dijalaninya antara 1989–
1991 untuk mengumpulkan modal. Di situlah Puspo
bertemu rekan sejawat Rini Purwanti dan menikahinya.
Ketika memutuskan pindah ke kota Medan, Puspo
dan Rini bermodal hasil tabungan bekerja dua tahun
sebagai guru sebesar Rp 2,4 juta. Uang itu hampir habis
untuk menyewa rumah kontrakan dan membeli sepeda
motor. Hanya tersisa Rp 700.000 untuk modal kerja
berjualan ayam bakar seperti di Solo, menyewa tempat
di Jl. SMA 2 Padang Golf Polonia, Medan. Tempat ini
ramai karena dekat dengan Bandara Polonia.
Mengapa tetap ayam bakar? Menurut Puspo bi­
dang itu merupakan wasiat langsung dari almarhum
ayahnya. Tiga hari sebelum meninggal, dia berpesan
kepada Puspo agar meneruskan profesi berjualan ayam
bakar. Tekanan mental terhadap Puspo kembali datang,
setelah istrinya yang diterima sebagai dosen di Politeknik
Universitas Sumatera Utara merasa malu dengan status
Puspo sebagai pedagang ayam bakar Puspo. “Mertua
saya pernah pesan kepada istri saya, agar saya bertobat
berdagang dan menjadi guru kembali,” ungkap Puspo.
Lambat laun, warung makan Puspo yang hanya
Bagian 3 – Biarkanlah Otak Anda Bekerja

menyajikan menu Ayam Bakar berkembang. Puspo hanya


menjual nasi dan ayam bakar, dengan rata-rata penjual­
an tiga sampai empat ekor per hari. Ini dilakukannya
sendiri hampir satu tahun, tanpa keterlibatan Rini. Dia
mulai tampak berhasil—dan ini adalah sebuah awal—
ketika telah merekrut dua karyawati pada 1992.
Suatu hari, salah satu karyawati itu berkeluh kesah
kepada Puspo setelah rumah keluarganya akan disita
karena terjerat utang kepada rentenir. Puspo dan istrinya
kemudian merelakan sebagian tabungan sebesar Rp
800.000 untuk melunasi utang itu. Tidak lama berselang,
Puspo didatangi seorang wartawan lokal dari Harian
Waspada. Belakangan diketahui, kuli tinta ini adalah
kawan dari suami karyawati yang ditolongnya. Sebuah 105
tulisan feature di rubrik profil berjudul Puspo Wardoyo,
Sarjana Membuka Ayam Bakar Wong Solo di Medan
dimuat di koran itu. Sepotong artikel itu pada keesokan
harinya membuat 100 potong ayam di warungnya ludes
terjual, dan omzetnya terus membengkak dari hari ke
hari. Tahun itu, dalam sehari Puspo mengantongi pen­
dapatan Rp 350.000 “Dari sini saya sadar dampak
pemberitaan,” kata dia. Selebihnya, kisah pelunasan
utang rentenir itu dibakukan dengan menyisihkan 10%
keuntungan untuk kegiatan sosial.
Puspo menikah lagi pada 1996 dengan Supiyati,
gadis berusia 26 tahun yang bekerja sebagai karyawati di
restorannya. Pernikahan ini tanpa sepengetahuan Rini,
yang belum siap dimadu. Ibu enam anak ini menangis,
sampai akhirnya menerima dan menemani Puspo dan
madunya itu mencatatkan perkawinan ke kantor urusan
agama. “Sebagai muslimah, saya menerima kehalalan
poligami. Cuma, waktu itu saya belum siap,” tutur
Rini.
Setelah Supiyati melahirkan seorang anak, Puspo
lagi-lagi menikahi karyawatinya bernama Anisa Nasu­
tion yang saat itu berumur 24 tahun. Pernikahan ini
ditentang orangtua Anisa, meski kemudian berlang­
sung mulus setelah Rini kembali turun tangan mendam­
pingi Puspo melamar Anisa. Pada 1999, rumah makan
ayam bakar milik Puspo bertambah menjadi empat
dan karenanya dia segera mengawini istri keempatnya,
Intan Ratih atas pilihan istri keduanya. Intan adalah
karyawan restoran Ayam Bakar Wong Solo cabang
Semarang, Jawa Tengah. Korelasi kuantitatif inilah
M. MA’RUF

yang kemudian membuat Puspo mengeluarkan tagline


“banyak istri banyak rejeki”. Sampai April 2003, dari
keempat istrinya Puspo dikaruniai 10 anak, sementara
restorannya beranak-pinak menjadi 26 cabang di kota-
kota besar di Indonesia.
106
Kisah sepotong artikel di Medan mendorong Puspo
mulai mendalami cara kerja media. Dia mulai paham,
untuk muncul ke media secara gratis tidak harus
dengan membayar iklan yang mahal, melainkan mem­­
beri isu hangat kepada para jurnalis. Dia mulai me­
ngerti mengapa jurnalis rela menunggu puluhan jam
agar tidak ketinggalan suatu peristiwa hangat. Dari sini,
muncul ide untuk membuat sensasi, sekaligus—menurut
keyakinannya—bagian dari dakwah. Jadi, sekali men­
dayung, mulai dakwah, bisnis dan ketenaran dapat
terlampaui. Teori ini diterapkannya pada 2003 dengan
merogoh kocek hingga Rp 2 miliar untuk biaya Poligami
Award. “Ini puncak promosi saya,” ujar Puspo. Untuk
program kampanye ini, Puspo membentuk sejumlah
tim yang terdiri atas para wartawan di beberapa kota,
antara lain Jakarta, Badung, Surabaya, Solo, Malang,
Bali dan Medan. Setiap dua pekan tim itu rapat untuk
menetapkan isu dalam satu bulan. Gagasan ini sendiri
cukup berhasil, dan nama Puspo tiba-tiba meroket bah­
kan jauh di atas popularitas Ayam Bakar Wong Solo.
Ini tentunya menjadi masalah. Dia lantas mengangkat
isu mengenai sosok Puspo yang baik, sabar, penuh kasih
sayang dengan keluarga, dan dermawan. Ini untuk
Bagian 3 – Biarkanlah Otak Anda Bekerja

meredam dendam kesumat kaum feminis, dan boikot


terhadap produk Ayam Bakar Wong Solo yang mulai
berdampak. Mungkin, ini kurang terpikirkan oleh
Puspo, boikot itu lambat laun tampak memengaruhi
bisnis ayamnya. Seorang blogger pada September 2007
menulis dengan judul Wong Solo Bangkrut? Penulis
itu iseng mengirimkan SMS kepada sepuluh temannya
dengan pertanyaan apa yang terlintas di benak Anda
ketika melintas di depan Rumah Makan Ayam Bakar
Wong Solo. Enam di antaranya menjawab poligami.
Namun, lambat-laun masyarakat mulai lupa dan
sekarang boikot itu tidak bergema.[]

107
Gagasan-
Gagasan
Cerdas

bagian 4
Bagteria

Anda Tidak Hanya Membeli


Sebuah Tas Tangan. Anda
Membeli Sebuah Karya Seni

N ancy Go tidak pernah mengira Paris Hilton akan


meluangkan waktu beberapa menit di stan kecilnya
pada sebuah perhelatan Fashion Week di New York,
Amerika Serikat. Apa yang membuat ratu pesta itu
tertarik adalah tas-tas display Bagteria yang desainnya
unik, beda dari yang lain. Sang selebritas menatap
cukup lama untuk sebuah tas, menimbang-nimbang
dan mengatakan ingin memilikinya. “Padahal, kami
belum ada cadangan produksi lainnya, ya kami beri
saja,” kata Bert, suami Nancy mengenang. Kisah manis
itu tidak pernah terlupakan oleh suami istri Nancy Go
dan Bert Ng sebab dari situ selebritis Hollywood lain
mulai menunggu koleksi-koleksi terbatas Bagteria.
Sekarang, Emma Thompson, Princess Zara Phillips,
Martine McCutcheon, Audrey Tautou, dan Anggun C.
Sasmi kerap kali dipergoki paparazzi menenteng tas
Bagteria. Paris misalnya langsung mengenakan tas itu
begitu dibeli, sementara Anggun menentengnya saat
menghadiri Festival Film Cannes di Prancis.
Para pesohor dunia itu barangkali tidak tahu, se­
bagaimana banyak orang Indonesia tidak mengenal

110
bahwa tas-tas itu dibuat di sebuah rumah di Jakarta
Barat. Pun, Bagteria sebetulnya sudah dijual di dua
gerai; Plaza Indonesia dan SEIBU Departement Store.
Mungkin karena harga tas itu cukup mahal, dijual paling
murah Rp 2,5 juta dan bisa sampai Rp 10 juta. Nancy
mengisahkan bagaimana seorang pemilik butik asal
Korea Selatan terkejut mengetahui Bagteria adalah tas
buatan Indonesia, bukan dari negeri pizza sebagaimana
awalnya dia kira. Tetapi gara-gara ini, pemilik butik
itu menawar harga tas Bagteria separuh dari harga
yang dibandrol di luar negeri—tetapi Nancy menolak
penawaran itu. Bagi Nancy ini wajar karena Bagteria
memang lebih banyak dijual di luar negeri, melalui 30
butik yang tersebar di Amerika, Prancis, Jerman, Swiss,
Kuwait, Inggris, Spanyol, Jepang, dan negara-negara
maju lainnya, di mana harga Bagteria bisa lebih mahal
tiga kali dari harga di Indonesia.
Ada banyak alasan yang menurut Nancy membuat
Bagteria begitu disukai oleh para penggila mode. Ciri
tas-tas itu tampak berkesan vintage sehingga tidak akan
pernah lekang di makan waktu. “Anda tidak hanya
membeli sebuah tas tangan. Anda membeli sebuah karya
seni,” kata dia. Sebuah tas bagi seorang perempuan bukan
hanya sebagai wadah untuk meletakkan berbagai barang,
Bagian 4 – Gagasan-Gagasan Cerdas

tapi lebih bersifat personal, begitu prinsip Nancy dalam


membuat setiap rancangan. Bagi kaum hawa, tepatnya,
adalah gengsi untuk menyatakan jika tas yang ada di
genggamannya hanyalah tas biasa dan kemungkinan
besar mirip dengan tas yang berada di genggaman
perempuan lainnya. Selain itu, sebuah tas juga bisa
mengekspresikan karakter pribadi pemiliknya. Di sinilah
arti sentuhan pribadi itu menjadi sangat berarti karena
setiap orang memiliki kepribadian berbeda. Termasuk
tingkat eleganitas dan eksklusivitas. Setidaknya hal ini
pula yang mengilhami sebuah tas bermerek Bagteria—
nama ini mulanya dipilih untuk menampakkan kesan
111
humor, tetapi mengandung harapan mewabah seperti
kata asli sebelum dipelesetkan, bakteri.
Semuanya berawal ketika Nancy memperhatikan
betapa bagus dan indahnya tas buatan tangan ibu
dan tantenya meskipun sudah dipakai sejak keduanya
berumur remaja. Desain tas itu tetap unik dan kekuatan
jahitannya tidak kendor meski telah dimakan usia.
Ketika dia mencoba membuat, banyak yang terkagum-
kagum. Keahlian membuat tas diperoleh sejak ia
menyukai merajut kain pada usia 10 tahun. Ketika di
sekolah, Nancy sudah dekat dengan guru pelajaran
PKK (Pendidikan Keterampilan Keluarga) dan karena
keterampilannya, sering ditunjuk sebagai asisten. Pada
mulanya anak kelima dari tujuh bersaudara ini lebih
tertarik kepada desain baju. Dia pernah belajar di
sekolah mode Bunka School of Fashion di Jakarta, dan
melanjutkan ke sekolah mode Susan Budihardjo setelah
lulus SMA dan tercatat sebagai mahasiwa Akademi
Kesenian Jakarta. Di situ dia berkenalan dengan si pe­
ran­cang mode perfeksionis Adrian Gan, dan sekarang
melakukan fashion show bersama.
Pada 2000, Nancy dan suaminya menyewa sebuah
rumah di seberang tempat tinggalnya di Jakarta Barat
untuk mengerjakan tas dengan lebih serius. Dia mem­
pekerjakan lima pekerja untuk merajut material-material
mahal, seperti gading mammoth atau gajah purba dari
Siberia dan kulit ikan impor asal Islandia. Ada pula kulit
burung unta yang didatangkan dari Afrika, dan kristal
Swarovski. Termasuk pernak pernik lain macam mother
of pearls, tanduk rusa, dan perhiasan mahal lainnya. Dia
M. MA’RUF

mencari barang-barang tersebut langsung ke daerahnya,


dan memanfaatkan momen refreshing ke Venezia atau
Lake Como saat mampir ke Eropa untuk mencari bahan
asli tasnya. Kini, Nancy memiliki 3 rumah produksi
dengan 250 karyawan dan mampu memproduksi hingga
112 1.000 tas per bulan bulan. Dari jumlah itu, hanya 100
tas yang dijual di Indonesia, selebihnya diekspor ke
butik-butik mancanegara. Dia menjaga kualitas dan
nama besar Bagteria dengan pembuatan yang detail dan
jumlah yang terbatas. Setiap jenis tas hanya dipro­duksi
299 buah dengan warna yang terbatas. Untuk produk
tertentu, kadang hanya tiga buah untuk seluruh dunia.
[]

Bagian 4 – Gagasan-Gagasan Cerdas

113
J.CO

Ini Donat Asli Lokal

J .Co hadir di Indonesia dengan membawa revolusi


yang membuat bisnis donat menjadi fenomenal.
Donat-donat dengan nama eksentrik seperti Da Vin
Cheez, MONA PIZA, Alcapone, dan Why nut. Interior
cantik semisal menggunakan cangkir yang disusun
secara asimetris seperti kancing. Tak ketinggalan, ben­
tuk promosi yang unik (setiap gerai J.Co di Jakarta
pernah memasang replika penjara Al Capone untuk
mempromosikan donat Alcapone).
Di setiap gerai, pembeli juga bisa melihat langsung
proses pembuatan donat, mulai dari pengadonan sam­
pai siap disajikan. Konsep toko donat yang open
kitchen ini belum pernah ada di Indonesia sebelum J.Co
memperkenalkannya—Krispy Kreme dikenal sebagai
restoran donat yang gerainya open kitchen, tetapi itu di
Amerika dan Kanada. Wajar banyak orang yang kecele
saat Johnny Andrean membuka gerai donat dan kopinya
yang pertama di Supermal Karawaci Tangerang. Banyak
orang yang berpikir J.Co adalah waralaba dari luar
negeri. “Lihat saja konter minumannya. Mirip Starbucks
Coffee kan?” kata seorang pelanggan setia setahun lebih
setelah gerai pertama J.Co dibuka.

114
Johnny menciptakan
waralaba donat dan kopi
lokal berskala inter­nasional,
J.Co Donuts and Coffee
pada 26 Juli 2005. Mulanya,
pemi­lihan gerai pertama di
Super­mal Karawaci untuk
menjalankan konsep awal
yang telah dipersiapkan
sejak beberapa tahun, yaitu
menyasar pembeli ber­
kantong tebal dari kalangan
anak muda usia sekolah dan
universitas, serta ekspatriat.
Pusat perbelanjaan itu dekat
dengan Sekolah Pelita Harap­
an—sekolah elite milik Lippo Group. Beberapa bulan
kemudian, donat itu justru menjadi tren yang meluas,
dan kelembutannya memikat ibu-ibu muda. Perkiraan
awal bahwa donat itu hanya akan dibeli sekelompok
orang tertentu telah meleset. Semua kalangan tampak
antusias dengan sensasi donat-donat J.Co. Pada tahun
yang sama, J.Co sudah membuka dua gerai di Kuala
Lumpur dan satu di Singapura. Di Tanah Air, gerai J.Co
Bagian 4 – Gagasan-Gagasan Cerdas

tumbuh seperti bayi ajaib—dalam waktu dua tahun


telah berdiri 24 gerai, dan setahun kemudian jumlahnya
menjadi dua kali lipat. Tahun ini diperkirakan gerai J.Co
mencapai 100.
Tiba-tiba saja, kafe butik J.Co yang menjual donat­
nya lebih mahal menjadikan Dunkin’ Donuts yang
sudah ada di Tanah Air sejak 1985 tampak lebih kuno,
dan turun kelas. Beberapa orang menyebut rasa donat
Johnny itu terasa lebih luar negeri dari produk asal
Amerika Serikat itu. Mungkin dengan kelembutan tangan
dan kepekaan perasaan Johnny, donat-donat itu terasa
lembut di mulut—Anda seperti memakan kapas. Donat-
115
donat yang lebih lembut itulah ciri khas J.Co. Johnny
menciptakan rasa orisinal seperti tren baru yang diburu,
mirip potongan rambut baru yang dikenalkan kepada
para pelanggan di salon. Bagaimana dia melakukan­
nya tidak lain karena Johnny adalah seorang stylist.
“Agar donat bisa menjadi life style,” katanya. Ketika
mendirikan J.Co, Johnny lebih dikenal sebagai pemilik
200-an gerai Johnny Andrean Salon. Tahun 2007, dia
membawa 35 gerai waralaba roti merek BreadTalk dari
Singapura ke Indonesia.
Bagi anak rantau ini adalah sebuah kesuksesan
yang luar biasa. Dilahirkan separuh abad silam, di
Singkawang, Kalimantan Barat, Johnny adalah anak
seorang penjual hasil bumi dan pengelola salon. Johnny
menuju Jakarta tahun 80-an berbekal ilmu salon dari
ibunya dan mampu bertahan hidup dengan mendiri­
kan salon kecil di Jakarta Utara. Berbagai temuan gaya
rambut dan rias wajah itu dipelajarinya di Vidal Sasson
Academy London, Alexander de Paris, Prancis, Tony
& Guy Academi London serta Trevor Sorbie Academi
London. Gita Herdi, sahabat dekat Johnny sekaligus
Public Relation Johnny Andrean Corporate mencerita­
kan, bosnya itu pada mulanya terinspirasi donat-donat
yang ditemuinya saban kali pergi ke Amerika Serikat.
Mulanya, Johnny ingin melengkapi bisnis waralaba
BreadTalk yang telah lebih dulu sukses sehingga tinggal
mengulangi lagi dengan konsep serupa; membeli satu
waralaba donat di Amerika Serikat dan membukanya
di Indonesia. Namun, donat yang hendak dibeli hak
waralabanya itu terlihat memiliki banyak kelemahan,
mulai bahan baku hingga proses produksi yang kurang
M. MA’RUF

menjaga kualitas.
Entah dari mana kepiawaian memasak donat yang
lebih enak itu datang. Tetapi Johnny akhirnya lebih
memilih mengambil beberapa konsep penjualan donat di
luar negeri dan memodifikasi proses pembuatan donat di
116 negeri itu. Sepulangnya ke Indonesia, dikembangkanlah
toko donat dengan konsep, bentuk, dan rasa yang mirip
dengan toko-toko donat di Negeri Paman Sam. Donat-
donat itu dibuat dengan menggunakan mesin modern,
mulai dari adonan, memasak hingga pengglasuran
dan menutup permukaan donat dengan bahan-bahan
yang menjadi ciri-ciri setiap jenis donatnya. Hampir
separuh bahan baku diimpor, cokelat dari Belgia dan
susu didatangkan dari Selandia Baru. Biji kopi untuk
minuman didatangkan dari Italia dan Kosta Rika.
Gerai J.Co adalah gabungan dari berbagai konsep
yang dipelajarinya dari berbagai belahan dunia, Eropa
untuk memelajari urusan penyajiannya, serta Jepang
untuk urusan display.
Untuk menu-menu baru, Johnny memiliki bebe­
rapa spesialis donat dan kopi. Para spesialis yang di­
tampung dalam pusat pengembangan dan riset ini se­
macam ilmuwan yang bertugas menemukan donat dan
minuman baru. Usaha ini juga banyak dijalani oleh
anak-anak muda. Fase manusia yang menurut Johnny
tidak merepotkan karena tidak mudah ber­politik.
“Kalau sudah senior, biasanya dia akan berpo­litik. Ini
mengganggu pekerjaan,” kata dia. Untuk memasar­
kannya, Johnny lebih percaya kekuatan public rela­
tions daripada iklan-iklan mahal di televisi dan koran.
Bagian 4 – Gagasan-Gagasan Cerdas

Sistem getok tular tampak lebih efektif seperti membuat


halaman fans di situs jejaring facebook.
Ke depan, Johnny masih ingin bereksperimen
dengan kue. Dia menyiapkan konsep kafe J. Lato dengan
mengirimkan tim risetnya ke Remini dan Bologna
Italia. “Remini itu pusat gelato paling enak,” tukas­nya.
“Saya akan ciptakan gelato dengan rasa ketan item.
Ini orisinal rasa Indonesia,” kata dia. Bila ini berhasil,
maka akan tercatat sebagai bisnis keempat yang semakin
mengokohkan kemampuan Johnny menggabungkan
dandanan dan makanan dalam satu gaya hidup.[]
117
NCS

Lihatlah Bagaimana Komputer


Mengubah Nasib Anda

B udiyanto Darmastono, anak guru di Karang Anyar


adalah orang yang menganggap bekerja dengan
orang selama 15 tahun terlalu lama untuk bisa menjadi
kaya. Ini dibuktikan dengan cara mengundurkan diri
dari pekerjaannya sebagai akuntan perusahaan kartu
kredit berlisensi internasional, Dinners Club, untuk
menekuni usaha mengantar surat. Tak sampai 15 tahun
kemudian, omzet bisnisnya sudah lebih dari Rp 9 miliar
per bulan, dan Budiyanto bisa lebih sering menikmati
aktivitas barunya sebagai politisi—dia Ketua Umum
Partai Sejahtera Indonesia.
Ide mengantar surat itu muncul tidak jauh dari
tempat dia bekerja. Bertahun-tahun perusahaan yang
menawarkan kartu kredit selalu membutuhkan orang—
biasanya mengendarai sepeda motor dan masuk ke
kantor tanpa melepas jaket—yang mengantar invoice,
atau sekadar buletin bulanan. Pada mulanya, dia
mengincar bank yang memang memiliki banyak nasabah
kartu kredit dengan menawarkan jasa kurir.
Sampai dengan 1997, jumlah pemegang kartu
kredit masih di bawah angka 1 juta orang (pada 2008

118
jumlahnya sudah melampaui 11 juta). Waktu itu,
jasa kurir pengiriman surat-surat sudah ada, namun
Budiyanto menemukan cara tepat untuk bisa memberi
fitur pelayanan yang lebih baik dan berbeda.
Desember 1994, dia mendirikan NCS, singkatan
dari Nusantara Card Semesta dengan modal pinjaman
sebesar Rp 24 juta. Dia mengontrak rumah di Jalan Tali,
Jakarta Barat, untuk dijadikan kantor. Awal 1995, kantor
NCS mulai beroperasi dan dikelola oleh istrinya, Reni
Sitawati Siregar dengan beberapa staf, sementara tugas
mencari klien dikerjakan Budiyanto dari kantor—dia
menjadi sering berdalih sakit untuk mendapatkan izin
tidak masuk. Tahun-tahun itu, kinerja Budiyanto sangat
buruk dengan banyaknya absen, tetapi bosnya tidak
mengetahui itu. Pada 1996 dia memutuskan keluar dari
pekerjaannya, meskipun istrinya khawatir keputusan
itu salah, karena omzet pengiriman surat masih kecil.
Budiyanto lebih serius dan memperbaiki proses kerja
pengiriman surat dengan mengoptimalkan komputer.
Mungkin terinspirasi sistem kerja perusahaan ekspedisi
besar, macam DHL dan TNT yang sudah lama memiliki
fasilitas online tracking—untuk mengecek status barang
kiriman klien.
Gagasan briliannya itu mengandalkan dua komputer
Bagian 4 – Gagasan-Gagasan Cerdas

yang selama ini tampak hanya seperti pajangan kantor


semata. Mula-mula Budiyanto memasukkan setiap data
pengiriman surat milik klien ke komputer ke dalam satu
kelompok database dan pelaporan. Setidaknya dengan
itu dia bisa menjawab secara langsung bila sewaktu-
waktu kliennya menelepon dan menanyakan status
suratnya. Komputer ini membuatnya bisa bekerja lebih
efektif, dan mengurangi kekhawatiran pelanggan. “Saya
berpikir bahwa sistem computerized pasti akan lebih
cepat, tepat, dan dipercaya klien” ujar Budiyanto.
Dengan fitur baru ini, satu per satu klien mulai
berpindah ke NCS, karena nilai tambah yang diberikan. 119
Dengan informasi itu, para kliennya bisa menyampai­
kan kepada nasabah-nasabahnya tentang status “per­
jalanan” surat-surat yang akan diterimanya. Hasilnya,
hampir semua bank papan atas kini menjadi klien,
seperti Citibank, HSBC, BCA, Bank Mandiri, Bank
Permata, Bank Bukopin, dan Bank Danamon. Kemudian
Budiyanto merambah klien lain, perusahaan asuransi,
yang pasti mengirimkan laporan bulanan unit link mi­
lik nasabahnya. Bisnis NSC kemudian semakin berkem­
bang. Karena kecepatan informasi yang ditawarkannya,
pelanggan tidak hanya ingin mengirimkan surat, tetapi
juga barang ke seluruh Indonesia, seperti produsen
elektronik Sharp Indonesia dan Olympus.
Sekarang, sistem komputerisasi pengiriman diper­
canggih dengan investasi miliaran rupiah. Satu cara
yang membuat kecanduan bagi klien adalah instal gratis
program untuk mengecek status barang kirimannya. Ini
membuat pelanggan bisa mengecek setiap hari ratusan
item barangnya dari kantor. Pelaporan-pelaporan yang
akurat dan tepat waktu itu begitu disukai klien. Ini
adalah layanan yang benar-benar membedakan mereka
dengan kompetitor, lebih-lebih promo satu bulan gratis
yang membuat mereka dikenal sebagai kurir yang tidak
mata duitan, tetapi mementingkan pelayanan terlebih
dahulu. Selain sistem komputer yang banyak membantu,
Budiyanto memperkuat tenaga kurir yang kuat. Pada
setiap kelurahan di Jakarta, terdapat empat kurir yang
bertugas mengantar surat dan barang.
Walaupun sukses di dunia kurir, kepiawaian
Budiyanto mendapatkan hati konsumen belum cukup
M. MA’RUF

men­jadikannya sebagai politisi andal. Partai yang


didirikan sebagai kontestan baru tidak terdengar
gaungnya, meskipun NCS tampak berperan banyak
dalam mengembangkan jaringan di daerah dalam waktu
hanya setahun sehingga lolos verifikasi untuk mengikuti
120 Pemilu 2009.[]
Hotline Advertising

Hidup ini Seperti Tumpeng

T iga baris kata, Bersama Kita Bisa, mampu mem­


buat mantan menteri yang dipecat menga­lahkan
presidennya pada pemilihan umum presiden 2004. Se­
mentara pilihan kata tidak lazim seperti Coblos Kumis­
nya, juga manjur memoles wakil gubernur incumbent
yang susah tersenyum, mengatasi pesaing baru yang
tampak lebih ramah dan didukung partai di basis pe­
milihnya—Partai Keadilan Sejahtera—pada pemilihan
kepala daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2007.
Itulah yang dikerjakan Subiakto Priosoedarsono
dan istrinya Aan Anggraeni di Hotline Advertising,
sebuah perusahaan pembuat iklan yang didirikan 1989.
Kata kunci yang menyegel kemenangan itu dibuat sangat
simpel, dan efektif justru karena kesederhanaannya.
Memoles kembali—istilah Subiakto adalah rebrand­
ing—pejabat publik yang sudah dikenal menjadi orang
yang benar-benar lebih baik di mata pemilih adalah
pekerjaannya. “Semakin sederhana justru semakin sulit
pengerjaannya,” katanya.
Pada 21 April 2004 dia diundang tim sukses pasangan
Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla—Kemudian

121
dua nama ini dia permak menjadi lebih singkat; SBY-JK
yang masih dikenal publik sampai keduanya pisah pada
Pilpres 2009. Subiakto disodori daftar tim kampanye
dan setelah riset diketahui, keduanya kurang piawai
dalam hal politik, namun memiliki keahlian di bidang
masing-masing. Kekurangan itu rupanya bisa ditutupi
dengan slogan yang dia ciptakan, Bersama Kita Bisa.
Rumus serupa dipakai saat disewa Fauzi Bowo dan
Prijanto memenangi Pilkada DKI Jakarta.
Untuk menggarap segmen politic marketing,
Subiakto membentuk divisi khusus, Brand In Action
(BIA). Pilpres 2004 adalah pengalaman pertama Subiakto
me­nangani klien untuk urusan “memasarkan orang”,
dan meskipun sudah berpengalaman 25 tahun di dunia
kreatif, dia banyak menemukan kesulitan. Ada pameo
di dunia periklanan bahwa iklan tak bisa membuat
produk jelek menjadi baik, sebaliknya produk baik bisa
jadi jelek karena iklan yang salah strategi. Dia bekerja
siang malam untuk itu. Setelah mengamati spesifikasi
kliennya dan mendapati bahwa Foke sudah bertahun-
tahun bekerja di pemerintah daerah dengan jabatan
terakhir wakil Sutiyoso, sebuah hadis Nabi memberinya
ide besar. “Apabila engkau menyerahkan urusan bukan
kepada ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya.”
Maka jadilah slogan Serahkan Pada Ahlinya untuk men­
dampingi slogan resmi Jakarta untuk Semua. Iklan ini
cukup telak menohok saingannya, Adang Daradjatun.
Sehari menjelang hari pencoblosan, Subiakto mengatur
Foke makan siang di warung makan Soto Pak Kumis di
Jalan Blora, Jakarta. Kliennya ini akhirnya menang.
M. MA’RUF

Dua klien kampanye politik ini cukup untuk


membuat nama Hotline Advertising harum, setelah
menghabiskan waktu puluhan tahun di belakang layar.
Sebelum SBY dan Foke, sudah ratusan produk terjual
untuk memberikan keuntungan luar biasa bagi para
122 klien-kliennya. Hotlinetama Sarana yang menaungi
Hotline Advertising didirikan pada 1989 sebagi sebuah
konsultan agensi periklanan dengan seorang sekretaris
dan satu pesuruh kantor. Anda tentunya masih ingat
bunyi iklan, Sakura lebih indah dari warna aslinya.
Orang dewasa sekarang juga masih ingat kapan
pertama kali model cantik yang kemudian tenar Elma
Theana mengucapkan Xon-Ce-nya maaannna? untuk
memopulerkan tablet isap vitamin C keluaran Kalbe
pada awal 1990-an. Atau, jingle Digitec memang mooi”
untuk produk televisi dan kalimat “Extra Joss, ini
biangnya buat apa beli botolnya”, dari Bintang Toedjoe
untuk memasarkan minuman energi di tengah kepungan
kemasan botol seperti Kratingdaeng.
Di situs resmi perusahaan terpampang, klien-klien
besar seperti Bank Mandiri, Telkomsel, dan Gubernur
Sumatera Selatan Syamsul Arifin—yang didukung
PKS—dan kemudian memenangi Pilkada 2008 dengan
slogan Ayo Besarkan Sumatera Utara!
Subiakto mengibaratkan perjalanan kariernya se­
bagai tumpeng, dan ingin selalu menjadi katak besar
di kolam yang besar. Pria kelahiran Probolinggo, 24
Agustus 1949 ini jago membuat komik, dan masih
mengerjakan hobinya itu sebagai kerja paruh waktu.
Gambar komiknya memikat pemilik Guru Indonesia—
Bagian 4 – Gagasan-Gagasan Cerdas

perusahaan milik investor Eropa yang memproduksi


pembungkus—yang kemudian menawari kerja penuh
waktu. “Dia tanya berapa saya harus dibayar kalau
bekerja fokus? Saya bilang, ya harus dibayar juga dengan
penghasilan saya kalau bikin komik,” kata Subiakto.
Perusahaan itu setuju, dan di usia yang masih belia,
sekitar 1970-an, Subiakto mengantongi gaji USD 2.000
per bulan sebagai art director. Salah satu buah pikirnya
di situ adalah kemasan deterjen Rinso, susu merek Ultra,
dan Teh Botol Sosro, yang sampai sekarang botolnya
belum diubah. Tetapi, klien Sinar Sosro itu sebetulnya
adalah proyek pribadi, karena dia berperan bukan saja 123
pada kemasan tetapi mengubah huruf Teh Botol yang
meliuk seperti huruf merek Coca Cola.
Ide-ide cerdas Subiakto itu membuat Menteri Per­
industrian mengirimnya untuk belajar desain produk
di JK Design Centre, Tokyo, Jepang. Setelah Guru, dia
pernah bekerja dalam posisi yang sama di PT Nirwana
Ohoto dan akhirnya keluar berwiraswasta dengan ko­
leganya membuat konsultan agensi periklanan bernama
B & B Advertising. Sepuluh tahun kemudian, pria
yang masih memelihara rambut panjang dan bekas
anak band ini mendirikan Hotlinetama Sarana, setelah
melihat peluang besar di balik pendirian televisi swasta
pertama, RCTI, yang mengudara pertama kalinya de­
ngan memasang sekitar 70.000 buah dekoder dengan
waktu tayang selama 18 jam per hari pada 1989.
Momen ini dimanfaatkan untuk mengembangkan
jasa, dari sekadar agen periklanan hingga membangun
rumah produksi sendiri. Subiakto menggarap ide-ide
kreatif untuk produksi iklan sendiri, atau program di
televisi-televisi swasta. “Saya tak cukup puas untuk men­
jual ide, tetapi bagaimana menjual story board yang
hanya dua halaman bisa bernilai miliaran rupiah, itulah
sebuah tantangan sebenarnya,” kata dia.
Saat krisis ekonomi 1997, Hotline masih bisa bertahan
dengan beberapa iklan-iklan layanan masyarakat,
seperti “Yaa Nabi Yaa Salam”, “Indonesia Bersatu”,
“Pemberantasan Nyamuk Berdarah” dan “Aku Anak
Sekolah” yang kerap menghiasi layar kaca. Pada 1998,
omzet Hotline masih bisa mencapai Rp 40 miliar. Tetapi
memasuki era milenium, Subiakto yang sakit parah, dan
M. MA’RUF

perusahaan yang sangat tergantung kepada sosoknya itu


nyaris bangkrut dengan utang hingga Rp 4 miliar, serta
ditinggalkan oleh banyak tenaga profesionalnya. “Wah,
aset kami habis satu per satu untuk melunasi utang”
kenang Subiakto mengenai masa-masa sulit itu.
124
Subiakto kini melibatkan seluruh anggota keluarga­
nya. Istrinya, Aan Anggraeni kini menjabat sebagai
komisaris, produser eksekutif, dan manajer operasio­
nal. Sementara dia sendiri memangku jabatan Presiden
Direktur. Ketiga anaknya kini juga bekerja sebagai
profesional. Tya bertanggung jawab dalam pembuatan
jingle iklan. Adapun Dion dan Sati dilibatkan pada
pengelolaan keuangan, produksi, dan pascaproduksi.
Selain pemasaran politik, Hotline Advertising tetap
menawarkan jasa rumah produksi musik untuk jingle
iklan, juga mencakup bisnis rumah produksi TVC dan
program on air, coorporate positioning dan riset merek,
public relation, dan lainnya dengan jumlah pegawai
hampir 200 orang.[]

Bagian 4 – Gagasan-Gagasan Cerdas

125
B&B Inc

Anak Muda Selalu


Ingin Bergaya

P endiri dan pemilik Blessed and Blessing Incorpora­


tion mungkin tidak seterkenal tas-tas punggung
buatannya. Ya, siapa yang tidak kenal dengan merek-
merek Eiger, Exsport, Neosack, dan Bodypack? Tetapi
amat jarang orang mengenal pribadi low profile Ronny
Lukito, seorang yang justru sukses membalas dendam
kegagalannya melanjutkan kuliah, dengan mengawali
sebagai pembuat tas yang disukai anak sekolahan pada
1980-an di Bandung, Jawa Barat.
Kisah Ronny adalah satu dari puluhan kisah
peng­usaha yang merintis perusahaannya dari nol—
kini dia memiliki klub kuda, bisnis properti, resor,
karaoke, hingga kelab malam di Bali. Anak ketiga
pasangan Lukman-Kurniasih, ini ketika masih sekolah
sudah memiliki bakat berusaha. Berjualan susu yang
dibungkus dengan plastik-plastik kecil, diikat dengan
karet untuk dijual kepada teman sebayanya. Selepas
lulus Sekolah Teknik Mesin pada 1979, entah dari
mana ide itu berasal—tetapi Bandung adalah pusatnya
produksi jeans dan dia adalah anak penjual tas di Jalan
ABC, Bandung—Ronny memulai impiannya dengan

126
melego barang-barang pribadi, seperti radio tape, untuk
membeli dua mesin jahit guna membuat tas. Kekurangan
modalnya ditambal dari arisan dengan rekan-rekannya,
sehingga terkumpul dana Rp 300.000.
Ronny menggagas ide pembuatan tas setelah meng­
amati model tas anak-anak sekolah tampak membosan­
kan, jadul. Bagi anak-anak perempuan berseragam putih
abu-abu, ini adalah persoalan serius karena tanpa tas-tas
yang modis akan sangat kesulitan untuk tampil berbeda.
Nah, tas mungkin satu-satunya aksesori yang bisa tampil
beda tanpa sensor para guru. Maka lahirlah kemudian
sebuah tas model baru yang tidak lazim dari Ronny.
Tas itu aneh karena tidak biasanya berada di samping,
melainkan di punggung. Tas desain Ronny adalah tas
punggung dengan desain yang unik dengan kesan sangat
sporty—anak-anak muda sangat menyukai sebutan ini.
Tas itu memiliki desain yang simpel, pilihan warna yang
tidak norak dan jahitan yang rapi tetapi kuat. Material
kain juga lebih bagus dari yang ada di pasaran.
Tiba-tiba saja, tas itu menjadi tren yang meluas dari
hanya di lingkungan pelajar SMA ke bangku kuliah,
tempat sebagaimana impian Ronny setelah STM. Di
awal-awal, penggunaan label tas dengan kata Exxon
(perusahaan minyak dan gas asal Amerika Serikat, Exxon
Bagian 4 – Gagasan-Gagasan Cerdas

Mobile) sebetulnya untuk menambah kesan kebarat-


baratan dan memang cukup membantu penjualan—
sebenarnya ini salah, sebab, imej kebarat-baratan lebih
cocok dengan istilah import. Nama itu pada mulanya
hasil keisengan Ronny dari sebuah katalog berisi profil
perusahaan-perusahaan terkemuka di dunia, milik saha­
batnya yang baru pulang dari Amerika. Namun, ketika
tas itu menjadi booming segera menimbulkan masalah
karena manajemen Exxon keberatan namanya dicatut,
dan meminta agar merek itu diubah. Oleh Ronny kata
Exxon diubah menjadi Exsport, dengan menghilangkan
suku kata xon. “Tambahan kata ‘sport’ itu menunjukkan 127
produk tas kita cocok untuk kalangan muda yang
sportif,” kata Ronny.
Pada 1987, Ronny mendirikan pabrik yang lebih
modern di daerah Kopo, Bandung, dan memulai ser­
angkaian diversifikasi model tas secara lebih serius.
Rupanya, gagasan tas yang sportif sudah tidak bisa lagi
menampung kompleksitas mode anak-anak sekolahan
yang terbagi menjadi tiga, SLTP, SMA, dan kuliahan.
Setiap fase disadari memunculkan kebutuhan masing-
masing akan sebuah tas yang generik. Ini adalah ceruk
pasar yang luar biasa, sehingga tas Exsport mulai di­
khususkan untuk pembeli remaja putri putih abu-abu
dan kuliahan. Dia lantas merilis merek baru, Neosack
bagi anak-anak SLTP yang tampak lebih membutuhkan
fungsi-fungsi tambahan daripada sekadar gaya. Adapula
Bodypack yang masih mengusung desain-desain sportif
tetapi lebih unik dan simpel menyasar anak muda
jalanan.
Ronny membuat puber kedua pada bisnis tasnya
setelah merilis tas Eiger yang mulai diproduksi pada
1993—brand ini mencatut sebuah nama gunung di
Swiss. Tampaknya dia terlalu pintar untuk ditandingi
ratusan pembuat tas di Bandung, karenanya dia bisa
membaca pergeseran tren jiwa anak muda yang kian
menggandrungi aktivitas olahraga yang lebih menantang,
dan ekstrem rupanya adalah pasar baru yang luar biasa.
Dalam tempo singkat, tas ini merajalela di kampus-
kampus, mungkin terdorong oleh imej pemberani dan
rebel bila memakainya. Para mahasiswa justru menyukai
pelbagai keruwetan aksesori tas Eiger yang kadang
M. MA’RUF

terlalu banyak saku dan tali, karena memang didesain


untuk bisa mengangkut barang pendaki gunung. Bahkan
sejumlah aksesori mulai dari topi, baju, kaos, sandal
gunung hingga dompet lipat menjadi incaran, karena
tentu saja murah dan bagus. Malah, percaya atau tidak,
128 sekarang ini akan lebih mudah menemukan pekerja
muda kantoran yang memakai tas punggung daripada
koper ala eksekutif 1980-an.
Saking tingginya permintaan, Ronny mendirikan
anak usaha baru untuk memproduksi tas Eiger, setelah
pesanan ala maklon membuat mutu Eiger merosot.
Orang di balik tas fenomenal Eiger adalah Mamay S.
Salim, seorang konsultan khusus yang dibayar Ronny
untuk menciptakan desain tas-tas Eiger. Awalnya dengan
mempelajari tas-tas mountainering dan climbing buatan
luar negeri lalu memodifikasinya.
Hanya butuh waktu dua tahun untuk mem-
booming-kan tren tas baru ini, dengan tidak menggusur
Exsport. Salah satu caranya adalah promosi murah
dengan mensponsori para pecinta alam. Ini rupanya
praktik promosi jitu yang lebih efektif dan murah
ketimbang beriklan di televisi. Popularitas Eiger juga
terbantu oleh department store yang marak menjelang
1990-an, meski Ronny sempat ditolak hingga 13 kali oleh
manajemen Matahari untuk bisa memasarkan Exsport
di sana. Dari sini meluas ke mana-mana, Ramayana,
Robinson, Carrefour, hingga jaringan toko-toko buku
seperti Gramedia, dan Gunung Agung. Belum lagi toko-
toko resmi di setiap daerah.
Sampai dengan 2006, Blessed and Blessing In­
Bagian 4 – Gagasan-Gagasan Cerdas

corporation lewat pabrik Exsport dan Eiger melempar


puluhan ribu tas di pasar untuk dikonsumsi anak-
anak sekolahan yang tidak pernah habis. Desain tas
juga semakin beragam mulai dari tas kasual hingga se­
lempang. Mereka sudah menjual tasnya itu ke Libanon,
Singapura, Filipina, dan Jepang. Baik Exsport maupun
Eiger adalah produk premium, dan dijual agak lebih
mahal dari produk sejenis. Sebagian bahan baku
masih diimpor, yang menjadi hambatan besar Ronny
mengalahkan produk tas buatan China yang sekarang
membanjiri 80% pasar tas dunia.[]
129
Mizan

Kombinasi yang Pas:


Kualitas, Momentum, dan
Keberuntungan

S iapa yang tidak tahu “Laskar Pelangi” baik versi ce­


tak maupun layar lebar? Kisah masa kecil Andrea
Hirata, karyawan Telkom Bandung, di Pulau Belitong
yang ditulisnya dalam beberapa pekan itu bak mantra
baru yang menyihir semua orang, tua, muda dan re­
maja, entah itu penikmat sastra maupun orang yang
baru pertama kali membaca novel. Pembacanya terbuai
oleh gaya bertutur Andrea, dan terinspirasi oleh bagai­
mana pria lulusan Universitas Sorbonne, Prancis ini
mengisahkan pendidikan di bangku sekolah dasar.
Sementara versi bukunya diapresiasi pembaca de­
ngan sangat antusias, sebanyak 1,5 juta penonton men­je­
jali pemutaran perdana versi film itu di bioskop-bioskop
dalam dua pekan. Adapun Andrea yang baru pertama
kali menulis novel itu tak kurang langsung melejit
sebagai novelis papan atas.
Itu semua sepertinya mimpi yang menjadi kenyataan
atau kebetulan, sebagaimana banyak diungkap bahwa
kolega Andrea—teman di kantornya yang mengirimkan
naskah itu ke Penerbit Bentang, Yogyakarta—sebagai
kunci novel terbaik itu bisa dibaca jutaan orang. Tetapi

130
bila menyebutnya sebagai keberuntungan, Haidar Bagir­
lah yang tampak sebagai pemilik pintu yang berse­dia
membukakan gemboknya. “Ketika ke Yogya, saya ditun­
jukkan naskah buku itu. Saya langsung bilang, terbitkan.
Sudah dengan judul Laskar Pelangi,” kenangnya.
Haidar sekarang adalah CEO Mizan Group, induk
usaha yang menaungi Penerbit Bentang. Dia berkata,
keberhasilan buku Andrea itu adalah gabungan antara
buku yang berkualitas, hadir di saat yang tepat, dan faktor
keberuntungan yang jelas-jelas tidak bisa dimungkiri.
Lepas dari segala gemerlap kesuksesan buku ter­
bitannya itu, tampaknya ketiga kombinasi sukses itu
adalah dejavu Mizan ketika didirikannya bersama Ali
Abdullah, dan Zaenal Abidin pada 1983 di Bandung.
Ketiganya adalah anak-anak muda, aktivis Islam masjid
yang tengah menikmati arus besar perubahan paradigma
Islam di Indonesia, dan lebih memilih menyisihkan uang
bulanan untuk membeli buku-buku. Bedanya mereka
dengan cepat menangkap bahwa kegemaran mencari
referensi baru untuk berdiskusi mengenai Islam adalah
peluang bisnis masa depan.
Tahun 1982, saat masih kuliah di Jurusan Teknik
Industri Institut Teknologi Bandung, Haidar, Ali, dan
Zaenal merintis Mizan—dengan dukungan modal dan
Bagian 4 – Gagasan-Gagasan Cerdas

manajemen dari dua mentornya, Abdillah Toha dan


Anis Hadi. Buku terbitan perdana mereka adalah Dialog
Sunnah-Syi’ah yang langsung membetot mata pembaca
muslim, lantaran sentimen anti-syiah yang tengah me­
landa umat.
Pada tahun pertama, menyusul Dialog Sunnah-
Syi’ah langsung terbit enam buku terjemahan lain karya
ideologis yang menggugah, Ali Syariati, Murtadha
Muthahari, dan Muhammad Husain Thabathai. Buku-
buku itu, bersama 22 terbitan lain pada tahun kedua
membuat Mizan langsung tercatat sebagai penerbit
131
bermutu, lantaran menerbitkan buku dengan bobot ke­
ilmuan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Mizan bukanlah pioneer dalam urusan menerbit­
kan buku-buku bertema pemikiran Islam. Ada Pustaka
Salman (1980) yang telah lebih dulu populer setelah
menerbitkan karya-karya populer Fazlur Rahman, dan
Edward Said. Di Yogyakarta, tahun 1983 juga muncul
Shalahudin Press yang juga lahir dari rahim aktivis
masjid Salman di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Keempatnya—bersama Gema Insani Press (1986) adalah
penerbit yang muncul karena permintaan, seperti halnya
paradoks hukum ekonomi demand created own supply.
Dekade itu, kalangan terpelajar Islam, terutama di
kampus-kampus “sekuler” tengah jengah dengan per­
tikaian Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang tak
M. MA’RUF

132
kunjung padam. Pun, depolitisasi kampus dan Islam
oleh kebijakan Orde Baru justru membuat mereka ke­
ranjingan mencari pelampiasan aktualisasi nilai-nilai
di luar dunia politik. Lebih-lebih keberhasilan revolusi
Islam di Iran 1979 menggulingkan rezim Syah Pahlevi
dukungan Amerika Serikat telah membakar semangat
revolusioner kaum muda Islam Indonesia. Alhasil
buku-buku impor intelektual dan ulama Timur Tengah
laris manis—antara 1984 sampai 1987 ribuan buku-
buku Islam beredar di pasaran—dan itulah momentum
kejayaan pertama yang tidak pernah mereka lupakan.
Tetapi bisnis penerbitan tidak pernah bisa dijalan­
kan dengan mudah, terutama untuk bangsa dengan
rerata minat baca rendah. Lebih-lebih menemukan pe­
nulis bermutu yang sudah seperti mencari jarum dalam
tumpukan jerami. Mizan misalnya harus berburu pe­
nulis, jemput bola dan memesan sebuah naskah untuk
diterbitkan—belum lagi, porsi keuntungan yang lebih
besar justru diperoleh agen penjual.
Ini misalnya dilakukan Haidar ketika harus berburu
penulis lokal di Yogyakarta saat merintis usahanya—
ini masih dilakukan sampai sekarang oleh anak-anak
usaha Mizan. Seperti dituturkan Hernowo—staf redaksi
pertama Mizan—yang mengenang bagaimana pada ta­
Bagian 4 – Gagasan-Gagasan Cerdas

hun kedua Mizan lahir, Haidar menyambangi dirinya di


rumah adiknya di Jalan Nyai H.A. Dahlan dan meng­­
utarakan niatnya untuk mendatangi para tokoh inte­
lektual di sana agar mau menulis untuk Mizan.
Strategi jemput bola ini cukup efektif, menemukan
naskah-naskah yang sesuai karakter buku yang dise­
nangi Mizan. Adalah intelektual muslim macam Cak
Nun (Emha Ainun Nadjib), Nurcholish Madjid, Harun
Nasution dan lain sebagainya menghiasi terbitan Mizan,
dan memuncak pada 1986 dengan “Seri Cendekiawan
Muslim” yang menggulirkan karya-karya pemikiran
Islam lokal. Sebut saja, buku berjudul Merambah Jalan 133
Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia
Masa Orde Baru, karya Fachry Ali dan Bahtiar Effendi.
Atau karya modernis Islam lain yang mewakili masing-
masing kelompok seperti Amien Rais dan Ahmad Syafii
Maarif (Muhammadiyah), Alie Yafie dan Masdar F
Mas’ud (NU), Deliar Noer dan Jalaluddin Rakhmat
(Syiah). Pun penulis yang tidak lekat oleh paham ter­
tentu.
Tema-tema yang pas, disesuaikan dengan kebutuhan
umat, menepis sikap sektarian, tampak membuat Mizan
terus mampu beradaptasi dengan perubahan permintaan
bacaan pembaca.
Adalah fase di mana penerbit buku Islam angkatan
1980-an gugur satu per satu, karena masalah-masalah
internal dan kekakuan atas “mazhab” yang dianut da­
lam memilih naskah terbitan. Menghadapi perubahan
wacana, dan tren bacaan pola-pola adaptasi Mizan dila­
kukan tampak bisa menyelamatkannya dari situasi yang
dihadapi oleh Penerbit Salman dan Shalahudin Press
yang tenggelam oleh waktu.
Haidar memilih strategi merestrukturisasi organi­
sasi usaha, untuk menjawab kebutuhan akan perubahan.
Dia memecah-mecah tim-tim redaksi yang awalnya men­
dapat bagian satu tema menjadi perusahaan terpisah.
Jadilah Mizan Pustaka sebagai perusahaan yang kokoh
dengan karya-karya kuat seperti Dunia Sophie, Sheila
(Qanita), dan kini berjaya dengan serial anak-anak
KKPK (Kecil-Kecil Punya Karya) di bawah naungan
DAR! Mizan; sedangkan Al-Bayan (untuk tema-tema
keislaman praktis)—suatu strategi untuk mengisi ke­
M. MA’RUF

butuhan pasar yang berbeda, Hikmah Publishing (tema-


tema akhlak, kesalehan, dan spiritualitas), Pelangi
Mizan yang mengeluarkan buku-buku referensi khusus
seperti Ensiklopedia Balita yang tak lekang dimakan
waktu, Lingkar Pena dengan kekuatan penulis-penulis
134 lokalnya seperti Asma Nadia, Helvy Tiana Rossa, dll,
hingga Penerbit Bentang yang tengah sukses dengan
novel Laskar Pelangi-nya.
Masih ada usaha lain yang bersifat mendukung
seperti pendistribusian buku sendiri (Mizan Media
Utama) yang kini telah menempatkan cabang di ber­
bagai kota-kota besar di Indonesia, usaha percetakan
(Mizan Grafika Sarana), dan usaha penjualan langsung
(Mizan Dian Semesta). Malah, kini, unit usaha yang
tengah dikembangkan oleh Mizan Group adalah MP
Book Point—sebuah toko buku yang dirancang berbasis
komunitas dan bersifat terbuka—Mizan Production—
unit usaha dalam bidang event organizing dan pro­­duct­
ion house—dan Mizan New Media—unit usaha baru
yang akan memastikan produk-produk Mizan dapat
diakses dengan berbagai media dan pada berbagai
kesempatan. Atas kemampuan mengelola ini, Haidar
sempat diganjar “Top Ten The Best CEO 2008” versi
Majalah SWA.
Di luar kemampuan adaptasi pada tuntutan zaman,
boleh jadi posisi Mizan mengambil “mazhab” lah yang
tampak di luar kasat mata menentukan keberhasilan­
nya. Mizan, “Kami tidak tertarik menerbitkan buku
yang berhubungan dengan pendekatan syariah karena
biasanya pendekatan hukum menyebabkan eksklusi­
Bagian 4 – Gagasan-Gagasan Cerdas

visme. Bukan hanya antara orang Islam dengan orang di


luar Islam, tetapi juga internal Islam sendiri. Atau buku
yang memojokkan kelompok lain dari sudut pandang
keagamaan,” katanya.
Bahwa, ada tujuan-tujuan yang lebih mulia ketim­
bang membanggakan diri atas sebuah buku kontroversial
yang merusak tetapi laris di pasaran. Dalam buku 20
Tahun “Mazhab” Mizan, Haidar menjelaskan mazhab
Mizan, yang selalu dipakai sebagai tolok ukur menye­
tujui sebuah naskah untuk diterbitkan sangatlah seder­
hana, yaitu arti kata Mizan itu sendiri: Timbangan.
“Akhirnya, hampir-hampir tak perlu ditegaskan lagi 135
bahwa, kalau pun ada sesuatu yang bisa disebut sebagai
mazhab Mizan itu, maka ia selamanya akan tentatif,”
kata Haidar.
Namun, akankah ketaatan akan mazhab ‘tengah’
ini akan terus dipegang teguh adalah waktu yang
akan menjawabnya. Sebab, pendulum waktu saat ini
tampaknya tengah memaksa Mizan berada pada pilihan
antara bisnis dan idealisme. Meski tidak sama sekali
mengesampingkan buku-buku serius dan ilmiah, Mizan
kini lebih banyak menerbitkan buku-buku tradisional
dan populer yang menekankan pada kesalehan pribadi
dan sosial, serta self-help.[]
M. MA’RUF

136
Duet-duet
Maut ala
Semar dan
Petruk

bagian 5
Purwacaraka Music Studio

Indahnya Musik Justru


Karena Duet Bebunyian Alat
yang Berbeda

S etelah menamatkan SMA, Purwacaraka tidak bisa


melanjutkan impiannya ke sekolah musik. Ayah­nya
yang tentara tetapi penyuka musik—dan telah men­
jerumuskan Purwa pada dunia itu—masih berpendapat
musikus bukanlah profesi yang tepat untuk masa depan.
Padahal, Purwa yang masih berseragam abu-abu sudah
memainkan pianonya hingga ke Malaysia dan Singapura.
Purwa menyerah, dan memilih Jurusan Teknik Industri
di Institut Teknologi Bandung (ITB). Pilihan ini adalah
solusi tengah, karena dengan ini dia masih bisa ber­main
musik sementara keinginan orangtuanya sudah terpe­
nuhi. Di kampus, Purwa mulai membisniskan kemam­
puan­nya pada pesta-pesta pernikahan hingga reuni anak-
anak sekolahan. “Ketika ujian skripsi, yang nggak bisa
tidur babe gue. Dia khawatir tidak lulus, kita tenang-
tenang aja,” kata Purwa—tetapi kemudian dia lulus
dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) di atas tiga.
Kegemarannya pada musik tidak luntur setelah
kuliah dan malah menjadi-jadi, karena dalam darahnya
memang mengalir jiwa seni yang diwarisi ayahnya,
Soedjono Atmotenojo. Purwa adalah anak sulung dari
tiga bersaudara, yang lahir di Beograd, Yugoslavia, 31

138
Maret 1960—adik bungsunya adalah penyanyi Trie
Utami. Sejak berusia empat tahun, Purwa sudah memiliki
ritual wajib sebelum makan. Dia akan terlebih dulu
menuju tempat di mana gramofon berada, dan meminta
sebuah piringan hitam koleksi ayahnya ketika bertugas
di Amerika Serikat diputar. Ketika berusia tujuh tahun,
ayahnya memberikan kejutan dengan sebuah piano,
dan membayar Alfons Becalef, seorang guru piano
berkebangsaan Hongaria yang tinggal di Bandung untuk
mengajari piano klasik.
Kepiawaian Purwa bermain piano sebetulnya sudah
terdengar oleh kolega bapaknya dari Amerika ketika
suatu kali bertandang ke rumah. Bule itu kagum oleh
bunyi piano yang dimainkan Purwa dan menyarankan
agar meneruskan sekolah di luar negeri, tetapi hal ini
ditentang ibunya. Purwa mengembangkan sendiri bakat­
nya dan sukses dengan Big Band. Pada masa keemasan­
nya, Big Band berulang kali mengiringi penyanyi-
penyanyi top di Indonesia. Dia, Elfa Secioria Hasbullah,
dan Addie Muljadi Sumaatmadja adalah musisi-musisi
kondang ketika televisi masih didominasi TVRI. Bila Bagian 5 – Duet-duet Maut ala Semar dan Petruk
dicatat, bersama Big Band, rata-rata Purwa manggung
15 kali dalam sebulan dengan tarif Rp 25-50 juta per
jam.
Ide untuk mendirikan Purwacaraka Music Studio
(PMS) itu tidak datang tiba-tiba. Sebelumnya, Purwa
pernah bekerja di sekolah musik Lori Organ selama
tujuh tahun dengan posisi terakhir sebagai Direktur
Musik. Tetapi dia memutuskan untuk mendirikan seko­
lahnya sendiri, yang disebutnya sebagai sumbangan
bagi pengembangan musik di Tanah Air. Berbekal ta­
bungan sebesar Rp 12 juta untuk biaya sewa rumah di
Jalan Mangga, Bandung. Namanya yang sudah tenar
membantu PMS cepat mendapatkan murid. Dengan
permintaan murid sampai 300 orang per tahun, Purwa
mampu membuka gerai kedua di Bandung. 139
Walaupun begitu, sekolahnya masih kalah tenar
dengan Sekolah Musik Yamaha yang jauh lebih tua.
Ini memaksanya menanggalkan ketenaran sebagai mu­
sisi dengan memasang iklan dan biaya kursus yang
lebih murah untuk kursus sepanjang 6 atau 12 bulan.
Biaya kursus setiap siswa antara Rp 200.000-300.000
per bulan dengan pilihan olah vokal dan instrumen,
seperti piano, kibor, biola, dan drum. Bisnis sekolah
musik Purwa terbilang seret, untuk musisi sekelas dia.
Hingga 2002, baru memiliki tiga cabang—dua milik
pribadi di Bandung, dan satu cabang di Jakarta yang
dibangun pertengahan 1990-an hasil kerja sama dengan
rekan musisi. Tahun 1994 sekolah itu malah menjadi
beban keuangan Purwa dan sudah ditutup bila dia tidak
ingat tujuan awal membukanya. “Sebab, tak pernah
mendatangkan untung,” kata dia.
Di masa sulit itu, di tempat dan situasi yang sama
sekali bertolak belakang, mantan manajer Bursa Efek
Jakarta Koma Untoro sedang meniti karier barunya. Dia
adalah salah satu murid terbaik Entrepreneur University
di bawah asuhan langsung Purdi E. Chandra. Koma se­
dang diminta melaksanakan salah satu dari tiga ramuan
magic Purdi, yakni Bobol alias Berani Optimis Bisnis
Orang Lain. Ini jurus memulai usaha bagi orang nekad
yang tak memiliki modal besar. Koma sama sekali tidak
mengenal dunia musik, ketika Purdi mempertemukan­
nya dengan Purwa yang sedang dirundung persoalan.
Koma adalah orang yang ahli di bidang keuangan, dan
sedang ingin memiliki bisnis sendiri. “Ketika saya datang
tahun 2002 dengan mengusung konsep waralaba, ga­yung
M. MA’RUF

memang bersambut,” ujar Koma. Butuh waktu sekitar


enam bulan sebelum keduanya bisa menemukan konsep
waralaba yang diinginkan. Satu tidak paham waralaba,
satunya lagi bukan pemusik, sehingga diputuskan prima
waralaba—Koma mengurus manajemen dan pemasaran,
sedangkan Purwa tetap mengelola urusan musik.
140
Akhir 2002 keduanya mulai menawarkan PMS
ke berbagai daerah tetapi hasilnya masih mengecewa­
kan, dengan peminat tak lebih dari 10 investor akibat
banyaknya syarat dan modal yang musti dipenuhi.
Selain lokasi, pembeli waralaba harus menyediakan
modal awal hingga Rp 400 juta. Guru juga tidak boleh
asal comot, melainkan diseleksi langsung oleh Purwa.
Pun tempat kursus juga memiliki standar tertentu.
Momentum tampaknya berpihak kepada kedua orang
ini ketika Akademi Fantasi Indosiar di Indosiar, disusul
Indonesian Idol di RCTI membuat demam selebritas
karbitan menggilai rakyat jelata. Rating-rating program
adu bakat ini membuat banyak remaja putra-putri tiba-
tiba yakin memiliki suara emas. Anak-anak itu lantas
menyerbu kursus dan sekolah musik, seperti PMS.
Permintaan kursus musik melonjak di mana-mana, dan
investor mulai mencari Koma dan Purwa. Selama empat
tahun, jumlah waralaba PMS sudah mencapai 65 gerai,
tersebar dari Medan hingga Makassar. Belakangan, para
pembeli waralaba harus mengantre untuk disetujui. Baik
Bagian 5 – Duet-duet Maut ala Semar dan Petruk
Purwa maupun Koma berbagi royalti 10% dari pen­
dapatan bulanan tiap gerai waralaba. “Bisnis ini bukan
bisnis yang bombastis. Hasilnya sedang-sedang saja,”
kata Purwa merendah.[]

141
Kompas

The Dynamic Duo

B agi orang-orang seperti Sri Mulyani Indrawati


(menteri), Sofjan Wanandi (pengusaha), Anis
Baswedan (intelektual) atau sebagian besar pembacanya,
Kompas memiliki ceritanya masing-masing. Menteri Sri,
ketika kecil tidak melewatkan karikatur Oom Pasikom,
atau cerita bersambung seperti Musashi, dan Ronggeng
Dukuh Paruk, meskipun waktu itu di Semarang, Kom­
pas pagi, sampai di rumahnya pukul empat sore. Atau
bagaimana kritik Sofjan yang memandang terkadang
kisah humanis—ini adalah julukan bagaimana Kom­
pas mengemas sebuah berita—hanya berhenti pada me­
nitikkan air mata dan mengundang rasa iba. Semen­tara
bagi Anis, ciri khas gaya penulisan yang mendidik, tidak
sensasional, tetapi substansial adalah bagian penting
yang membuat koran berusia 44 tahun ini paling laku.
Setiap orang memiliki pandangannya pada koran
yang paling berpengaruh ini. Tetapi, kisah bagaimana
Kompas bisa tetap eksis sampai sekarang banyak di­
tentukan keadaan dan keberuntungan. Di antaranya
kehati-hatian membuat berita—kebijakan redaksinya
dinilai sebagai jurus kepiting—dalam mengatasi sensor-

142
sensor Orde Lama dan tekanan Orde Baru, serta yang
lebih penting kisah dua sahabat yang secara kebetulan
mendapatkan berkah dari ide Jenderal Ahmad Yani
mem­bendung propaganda Partai Komunis Indonesia
(PKI).
Lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat pada 25
Juli 1920, Peng Koen Auw Jong adalah anak seorang
perantau dari Pulau Quemoy—kini Taiwan—yang ber­
nama Jong Pauw. Meski hidup berkecukupan sebagai
anak juragan tembakau, Auw Jong dan 11 saudaranya
dididik untuk hemat. Dikisahkan, mereka tidak boleh
menyisakan sebiji nasi dalam piring setelah makan.
Ketertarikan Auw Jong pada dunia jurnalis muncul saat
merantau ke Jakarta untuk bersekolah di Hollandsche
Chineesche Kweekschool Meester Cornelis, yang ter­
letak di Jalan Bekasi Timur, Jakarta. Di Asrama Auw
Jong tidak hanya melahap habis berita-berita koran dan
majalah, melainkan dengan saksama memperhatikan
isi tajuk rencana, dan gagasan-gagasan tulisan kolom.
Penampilannya yang kurus, dengan kacamata tebal
semakin membuatnya identik dengan pelesetan nama­ Bagian 5 – Duet-duet Maut ala Semar dan Petruk
nya Auw Jong, yang bila diucapkannya dengan aksen
Padang akan berbunyi ouwe jongen alias perjaka tua.
“Ia sering terlalu serius menanggapi segala hal. Kalau
melucu, leluconnya kering,” kata Oei Tjoe Tat, teman
kuliah Auw Jong yang kemudian menjadi politisi di era
Soekarno.
Guru jurnalis Auw Jong—dan sekaligus guru spi­
ritualnya—adalah seorang tawanan Jepang yang dibe­
baskan Sekutu pada 1945 dari Penjara Cimahi, bernama
Khoe Woen Sioe. Selepas dari terali besi, Khoe yang
sudah berumur 40-an beserta staf redaksi, kembali
menghidupkan Harian Keng Po yang dibredel Jepang,
sekaligus mendirikan majalah mingguan Star Weekly.
Pria berpostur tubuh kecil dengan wajah agak masam—
yang digambarkan Aw Jong berhati emas ini—merekrut 143
Auw Jong untuk bekerja di Star Weekly. Karier Auw
Jong berjalan dengan cepat. Meniti sebagai penulis
lepas dia kemudian diberi kepercayaan sebagai redaktur
pelaksana Star Weekly, dan setelah lulus dari Fakultas
Hukum—yang diambilnya ketika menjadi wartawan—
diangkat menjadi pemimpin redaksi. Posisinya sebagai
pimpinan media membuatnya memiliki kolega yang luas,
mulai dari pejabat negara, politisi, ekonom, serta mulai
aktif di pelbagai organisasi sosial warga Tionghoa.
Di luar kewartawanan, Auw Jong lebih dikenali seba­
gai aktivis asimilasi, terutama pascarencana pemerintah
membuat undang-undang yang akan menganggap per­
anakan Tionghoa memiliki kewarganegaraan rangkap.
Pemerintah memberi pilihan, kalau mau menjadi WNI,
harus aktif menolak kewarganegaraan China. Dia sen­
diri kemudian mengubah namanya menjadi terdengar
lebih Indonesia; Petrus Kanisius Ojong, disingkat PK
Ojong—perubahan huruf Auw menjadi O kabarnya ka­
rena kesalahan penulisan sewaktu di sekolah. Aktivitas
ini mempertemukannya dengan Jakob Oetama yang
me­­miliki riwayat hidup hampir mirip dengannya. Pria
ke­lahiran Borobudur, 27 September 1931, itu selepas
menamatkan SMA Seminari di Yogyakarta, menekuni
profesi sebagai guru di Jawa Barat dan kemudian di
SMP Van Lith Jakarta. Jakob yang anak pensiunan guru
di Sleman adalah alumni Perguruan Tinggi Publisistik
Jakarta tahun 1959 dan Fakultas Ilmu Sosial Politik
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta pada 1960. Di­
sela-sela mengajar, Jakob juga bekerja sebagai redaktur
mingguan Penabur.
M. MA’RUF

Persahabatan Ojong dan Jakob semakin kental,


karena mereka memiliki banyak pandangan-pandangan
yang sama soal sejarah, kebangsaan dan masalah asi­
milasi. Keduanya digambarkan sebagai pribadi yang
berbeda namun melengkapi. Jakob adalah sosok sangat
144 teliti dan penuh perhitungan, sementara Ojong pin­
tar memainkan strategi dan mengelola sumber daya
manusia. Pada awal 1960-an, Ojong dan Jakob masuk
dalam kepengurusan Ikatan Sarjana Katolik Indonesia.
Jakob menjabat ketua dan Ojong sebagai bendahara.
Seiring kuatnya cengkeraman PKI di tubuh peme­
rintahan Soekarno, lambat laun tekanan pembredelan
semakin besar. Majalah Star Weekly termasuk media
yang terakhir diberangus oleh Soekarno, meski sudah
menasional dengan tiras 60.000. “Wij zijn dood (kita
semua mati),” kata Ojong, mengumumkan kepada anak
buahnya sepulang dipanggil pihak yang berwenang,
yang memang dikuasai PKI. Tetapi, isolasi pers itu juga
membuat berbagai koran asing disensor sehingga warga
Indonesia praktis buta informasi.
Ojong mencari gagasan bersama dengan Jakob
untuk mencari celah yang lebih aman memiliki media
baru. Diterima pasar, tetapi tidak bermain api dengan
penguasa karena ongkos yang dibayar akan terlalu
mahal; dibredel. Kebetulan, dunia internasional telah
digegerkan oleh majalah berukuran 14 x 16,5 cm yang
dibuat sepasang kekasih DeWitt dan Lila Wallace di Bagian 5 – Duet-duet Maut ala Semar dan Petruk
Amerika Serikat, Reader’s Digest. Majalah yang diisi
oleh hasil kliping setumpuk majalah bekas dan sebuah
gunting itu sedang laku keras dan pada waktunya dapat
mengalahkan oplah majalah bergengsi Time. Jakob dan
Ojong sepakat membuat majalah seperti itu dengan
nama Intisari.
Beritanya jauh berbeda dari yang ada, dan yang
pernah di buat Ojong di Star Weekly, yaitu tentang
artikel feature yang menyentuh dan jauh dari hiruk pikuk
berita politik. Ini sekaligus menolong percetakan PT
Kinta yang turun drastis setelah Star Weekly diberangus.
Sebagai balasan, PT Kinta menyediakan bekas kantor
Ojong yang lama dan mengurus administrasi dan
sirkulasi. Pengurusan izin yayasan ke Komando Distrik
Militer Jaya diserahkan kepada Jakob yang praktis 145
belum dikenal dan masuk daftar hitam Orde Lama.
Akhirnya disepakati didirikan Yayasan Intisari, sebagai
perusahaan penerbit Majalah Intisari dengan Pemimpin
Redaksi Jakob dan Ojong sebagai pengasuh, disertai
orang baru bernama Josephus Adisubrata. Teman baru
ini dikenal oleh Jakob dan Ojong sebagai anak muda
lulusan Universitas Leuven Belgia tahun 1962 yang fasih
dan menguasai bahasa Inggris, Prancis, Belanda, dan
Latin.
Intisari terbit perdana pada 17 Agustus 1963 dengan
cetakan hitam-putih tanpa kulit muka. Ukuran lebarnya
sama dengan Reader’s Digest, hanya lebih panjang satu
sentimeter, dengan tebal 128 halaman. Edisi perdana
yang dicetak 10.000 eksemplar laris meski dijual seharga
jual 60 perak untuk Jakarta dan 65 perak di luar Jakarta.
Sampai di sini, Jakob dan Ojong belum berpikir kembali
ke media politik, karena hanya dalam dua tahun pertama
keduanya mampu menjaga oplah Intisari menembus
angka 11.000 eksemplar. Intisari tidak ambil pusing
dengan eskalasi politik yang semakin memanas setelah
PKI terus merebut posisi kuat di samping Soekarno.
Kompas lahir dari gagasan Menteri/Panglima Ang­
katan Darat Jenderal Ahmad Yani. Militer yang mulai
khawatir dengan propaganda koran-koran milik PKI
seperti Harian Rakyat ingin mengimbangi kekuatan
itu—selain sudah ada Berita Yudha yang paling laris
waktu itu. Dia melontarkan gagasan kepada Frans Seda
agar kalangan Katolik juga memiliki sebuah koran,
agar menambah kekuatan melawan propaganda koran-
koran merah itu. Frans menanggapi serius ide itu dan
M. MA’RUF

membicarakannya dengan koleganya di partai Katolik,


Ignatius Josef Kasimo. Keduanya kemudian mendekati
Ojong dan Jakob yang sudah terkenal dengan majalah
barunya dan sepakat merealisasikannya.
Yang terjadi kemudian, adalah kisah serupa Keng Po
146 melahirkan Star Weekly, karena harian baru yang akan
diberi nama Bentara Rakyat itu menumpang fasilitas
Intisari, mulai dari mesin ketik hingga ruangan kantor.
Namun, proses perizinan tetap tidak diperoleh dengan
mudah karena pihak aparat mensyaratkan koran itu
harus punya 3.000 pembeli untuk bisa terus terbit. Ini
hampir mustahil untuk koran baru, sebelum akhirnya
Frans menemukan ide untuk pulang ke daerahnya,
Flores, mengumpulkan 3.000 nama, lengkap dengan
alamat dan tanda tangan.
Sementara nama Kompas disematkan Presiden
Soekarno yang mendengar Frans akan menerbitkan
koran baru. Soekarno menjelaskan, Kompas adalah na­
ma yang cocok karena itu adalah alat penunjuk arah,
dan itu harapan ke depan kepada koran baru ini; agar
mampu dijadikan pegangan. Dengan modal awal Rp
100.000 yang sebagian diperoleh dari Intisari, Kompas
edisi perdana pada 28 Juni 1965 dengan moto Amanat
Hati Nurani Rakyat terbit. Pada masa awal, mereka
harus mengantre cetak bersama koran-koran yang su­
dah lebih dulu berlangganan cetak di Eka Grafika yang
terletak di Jalan Kramat Raya, Jakarta, sehingga sering Bagian 5 – Duet-duet Maut ala Semar dan Petruk
kesiangan sampai ke pembaca. Sampai dengan me­miliki
percetakannya sendiri, Kompas memiliki julukan, Komt
pas morgen, yang artinya besok baru datang. Salah
cetak dalam berita maupun iklan masih sering terjadi
pada koran yang dicetak 4.800 eksemplar itu. Setelah
satu bulan, mereka pindah ke percetakan Masa Merdeka
milik BM. Diah, pemilik koran Merdeka. Percetakan
yang digunakan ini lebih baik dan sudah memakai media
rotasi, sehingga daya cetaknya lebih cepat.
Perkembangan Kompas ini memicu propaganda PKI
yang berdalih Kompas—karena didirikan oleh unsur
pimpinan beberapa organisasi Katolik—membawa misi
katolik, sehingga Kompas tidak lain adalah singkatan
dari Komando Pastor. Tetapi, Ojong dan Jakob tidak
menanggapinya dengan frontal dan lebih memilih ber­ 147
hati-hati dalam menulis, menjauhi sikap partisan, dan
berpegang kepada fakta. Berita-beritanya malah lebih
menekankan nilai human interest. Model penulisan
berita ini membuatnya disukai banyak pembaca dari
latar belakang yang berbeda.
Kompas membuat Ojong kembali bersemangat.
Sebelum pukul enam pagi dia sudah terlihat menjemput
para karyawan dengan Opel Caravan. ”Jangan datang
pukul sembilan, kalau ingin karyawan datang pukul
tujuh,” katanya. Dua tahun pertama, pembaca Kompas
menikmati tulisan Ojong dalam rubrik Kompasiana
yang mengkritik pelbagai hal, baik situasi itu sendiri
maupun pemerintah. Dia meneruskan gaya rubrik Gam­
bang Kromong di Star Weekly dengan tulisan sederhana,
kadang jenaka, tapi kritis, sehingga membuat rubrik itu
cepat populer dan berpengaruh. Misalnya pada edisi per­
dana membahas mengenai kebebasan pers, mengkritisi
korupsi pembuatan KTP, sampai topik perbandingan
Orde Lama dan Orde Baru rupanya tidak mengubah
tabiat pemerintah. Entah karena alasan apa—menurut
Jakob alasan kesibukan—rubrik itu hilang.
Keputusan paling berat diambil pada akhir 1965,
karena menjelang kudeta Gerakan 30 September, PKI
yang semakin kuat memberi pilihan kepada semua me­
dia. Semua pimpinan media diminta untuk menentukan
sikap menyatakan kesetiaan atau dibredel bila menolak.
Untuk ini Ojong menolak berkompromi. “Jakob, kita
tidak akan melakukannya. Sama saja ditutup sekarang
dan mungkin juga menderita sekarang atau beberapa
hari lagi,” tegasnya. Keputusan ini benar karena pem­
M. MA’RUF

berontakan itu gagal dan seluruh media yang mendu­


kung kudeta itu diberangus. Ini menguntungkan Kom­
pas karena jumlah media yang ada jauh berkurang.
Hasil audit SGV Utomo pada 1969 menyebutkan, ti­
ras Kompas melewati koran-koran lain di Indonesia,
148 mengalahkan oplah harian paling laris waktu itu; Berita
Yudha. Hasil yang sebenarnya tidak begitu disukai
oleh Ojong, karena dengan status itu, Kompas menjadi
perhatian sensor Orde Baru. “Biar orang lain saja yang
tirasnya paling tinggi. Kita menjadi nomor dua terbesar
saja,” katanya.
Pada 1971 Kompas mendidirikan percetakannya di
kawasan Palmerah Selatan, Jakarta. Mungkin, karena
teringat masa kelam dibredel, dan juga modal yang
semakin banyak ke usaha baru. Pada 1972, mereka
mendirikan radio Sonora dengan program unggulan­
nya Anda Meminta Kami Memutar. Lalu dua rubrik di
Kompas mengenai anak-anak dan remaja disapih men­­
jadi majalah Bobo, dan Hai. Pada 1976, sempat didiri­
kan Gramedia Film. Perusahaan ini menghasilkan film
Suci Sang Primadona dan sempat diganjar Piala Citra.
Kompas yang menjadi induk mulai membeli hotel-hotel
kecil di Bandung, Semarang, dan Bali yang kemudian
disatukan dalam jaringan Hotel Santika.
Ojong meninggal secara mendadak pada 31 Mei
1980 di samping benda kesayanganya, buku. Setahun
kemudian, Gramedia menerbitkan kumpulan artikel Bagian 5 – Duet-duet Maut ala Semar dan Petruk
Kompasiana dalam bentuk buku setebal 813 halaman.
Judulnya Kompasiana: Esei Jurnalistik tentang Berbagai
Masalah. Peninggalan lain yang kemudian menggurita
adalah Toko Buku Gramedia yang didirikan pada 1970.
Awalnya hanya ingin menjual buku-buku paperbacks,
namun setelah penerbit Gramedia didirikan pada 1974,
Toko Buku Gramedia mulai menjual buku terbitan
sendiri, dan lambat laun mengalahkan Gunung Agung.
Situasi yang lebih buruk dihadapi ketika topeng asli
Orde Baru terbuka dengan kebijakan stabilisasi yang
memberangus partai politik. Jakob yang menggantikan
peran Ojong tampak lebih kalem dalam menghadapi
perangai Soeharto yang menerapkan sensor lebih ketat.
Sifat Jakob yang tidak seagresif Ojong tampaknya me­
nyelamatkan Kompas dari gelombang pembredelan ke­ 149
dua yang terjadi pada Juni 1994. Waktu itu menimpa
majalah dan tabloid mingguan, masing-masing Tempo,
Editor, dan Detik.
Ignatius Haryanto dalam Majalah Pantau edisi Juni
2002 menyebut keberhasilan Kompas melewati Orde
Baru dengan sebuah artikel berjudul Jurnalisme Kepiting
Jakob Oetama. Ini mengutip wartawan senior Rosihan
Anwar yang pernah menyebut jenis jurnalisme Kompas
ini sebagai “jurnalisme kepiting”. Kepribadian Kompas
bergerak ala kepiting, mencoba melangkah setapak
demi setapak untuk mengetes seberapa jauh kekuasa­
an memberikan toleransi kebebasan pers yang ada.
Jika aman, kaki kepiting bisa maju beberapa lang­kah,
jika kondisi tak memungkinkan, kaki kepiting pun bisa
mundur beberapa langkah. Sesuatu kesimpulan yang
kemudian ditolak oleh Jakob. Pendapat lebih keras di­
kemukakan Benedict R.O’G Anderson dari Universitas
Cornell, yang menyebut Kompas sebagai koran yang
sangat Orde Baru (“New Order’s newspaper par exel
lence”). Itulah strategi Kompas untuk menyiasati risiko
pembredelan, mengingat statusnya adalah pemimpin
pasar. Tetapi Jakob mengatakan sikap berhat-hati itu
ditempuh untuk sekadar menahan diri, menunggu waktu
yang tepat yakni kebebasan pers. “Kami tidak hanyut
sama sekali tapi juga jangan mati. Kalau mati percuma,
media jadi tidak berfungsi,” kata Jakob.
Di bawah Jakob, sukses diversifikasi di awal 1980-
an membuat Kelompok Kompas Gramedia (KKG) men­
jadi kerajaan bisnis pers terbesar di Indonesia. Dengan
42 anak perusahaan yang bernaung di bawah payung
M. MA’RUF

KKG, omzet pada 2001 diperkirakan mencapai lebih


dari Rp 1 triliun. Kompas juga mengamankan diri dari
sepak terjang Jawa Pos News Network milik Dahlan
Iskan dengan terus memperkuat jaringan pers di daerah
lewat label yang umumnya bernama depan Tribun.
150
Jakob yang menurut para karyawannya sangat
ngemong dan tidak mengambil jarak dengan satpam
kantor ini memang menggaji para jurnalisnya jauh di
atas rata-rata jurnalis koran lain. Kabarnya tertinggi
dan hanya disaingi oleh koran Bisnis Indonesia. Kom­
pas sendiri di masanya telah mengalami dua kali per­
gantian pemimpin redaksi, Suryopratomo—yang kini
menyeberang ke Media Indonesia, dan sekarang Rikard
Bangun. Konon, ini sempat menimbulkan sedikit gesek­
an panas di level manajemen, namun ini masih bisa
dilewati dengan keberadaan Jakob yang kini berusia 77
tahun.[]

Bagian 5 – Duet-duet Maut ala Semar dan Petruk

151
Ciputra Development

Bangku Kuliah
Tetap Bagian Penting dari
Sebuah Bisnis Besar

J alan penuh liku Ciputra menjadi konglomerat me­


rupakan satu dari sekian banyak kisah klise rata-
rata taipan keturunan Tionghoa di negeri ini. Biasanya
dimulai dari prolog; merantau dari daratan China,
atau ke­kurangan sejak kecil karena lahir dari sebuah
keluarga miskin. Tumbuh dewasa dengan tekanan dan
kecurigaan sentimen anti China Orde Lama, hingga
hidup di bawah ketiak penguasa Orde Baru. Sebagai
epi­log; saban tahun masuk daftar Forbes sebagai orang
paling kaya. Tetapi apa yang membuat Ciputra berbeda
adalah evolusi perjalanan hidupnya yang sempurna.
Masa kecil nelangsa, berjuang menyelesaikan kuliah,
merintis karier hingga menjadi pebisnis ambisius nan
sukses. Lalu ditutup dengan taubat dan mendekatkan
diri kepada Tuhan, sembari mendermakan ilmu kewira­
usahaan.
Ciputra lahir di Parigi, Sulawesi Tengah, pada 24
Agustus 1931 dengan nama Tjie Tjin Hoan. Dia bungsu
dari tiga anak pasangan Tjie Sim Poe dan Lie Eng Nio
yang memiliki toko kelontong yang sekaligus menjadi
tempat tinggal di kota kecil bernama Bumbulan, sekitar

152
150 kilometer sebelah barat Kota Gorontalo. Sampai
1990-an kota itu masih cukup dikenal, namun setelah
pemekaran Gorontalo, kota Bumbulan seperti hilang
ditelan bumi. Dulu di situ ada objek wisata Pantai
Bumbulan Indah. Ciputra kecil hidup dengan keindahan
pantai itu.
Sebuah peristiwa menyedihkan terjadi pada ke­
luarganya saat Ciputra menginjak 12 tahun. Orang-
orang pribumi suruhan tentara Jepang tanpa penjelas­an
menyeret ayahnya dari rumah ke pantai, atas tuduhan
sebagai mata-mata Belanda. Anak kecil itu ketakutan
dan terguncang, ibunya histeris mengejar laju para
penculik, tetapi gagal. “Ketika ayah akhirnya diseret ke
kapal dia tidak melihat ke laut, tetapi ke arah kami. Itu
lambaian tangan terakhir,” kenang Ciputra. Delapan
bulan kemudian, beberapa orang yang juga diciduk
kembali dan mengabarkan. Tjie Sim Poe telah meninggal
beberapa bulan sebelumnya. Kisah ini membekas dan
memengaruhi hidup Ciputra.
Ciputra kecil sempat diasuh oleh tantenya dan
mencatatkan kisah hidupnya seperti dongeng “bawah Bagian 5 – Duet-duet Maut ala Semar dan Petruk
putih dan bawang merah”. Dia selalu kebagian pekerjaan
yang berat atau menjijikkan, seperti membersihkan
tempat ludah. Tetapi, ketika tiba menikmati es gundul—
hancuran es diberi sirop—dia harus mengantre keluar­
ga tantenya kenyang. Kisah getir itu tidak membuat
Ciputra kehilangan semangat menimba ilmu, dan malah
keranjingan sekolah meski harus melewati dua kali du­
duk di kelas dua sekolah setingkat SD. Pertama pada za­
man Belanda, Ciputra yang nakal tidak naik kelas tiga,
dan kedua saat Jepang menguasai Indonesia dirinya
ha­nya boleh belajar di sekolah khusus untuk anak ke­
turunan Tionghoa mulai kelas dua. Ciputra satu-satunya
murid berumur 12 tahun di kelas dua kala itu.
Ciputra menempuh puluhan kilometer berjalan
dengan telanjang kaki ke sekolah. Pagi buta memper­ 153
siapkan makanan untuk semua ternaknya, dan tiba di
rumah pukul 14.00. Bila langit menangis, bertam­bah
pula kesialan Ciputra. Agar baju sekolah itu tidak basah,
dia menepi, melepas dan membungkusnya dengan daun
woku—semacam daun palem yang besar. Kira-kira re­
maja, Ciputra sudah biasa berlomba lari dengan 17 ekor
anjing miliknya untuk berburu babi dan rusa di hutan.
Otot-ototnya kekar, dan tubuh itu menjadi atletis oleh
didikan alam. Alhasil ketika SMA dengan mudahnya dia
terpilih menjadi pelari 800 dan 1.500 meter, mewakili
Sulawesi Utara dalam ajang Pekan Olah Raga Nasional
ke II di Jakarta, Oktober 1951.
Sementara, ratusan kilometer dari pantai Bumbul­
an yang indah. Pada masa pergolakan kemerdekaan,
sekitar tahun 1940-an, Budi Brasali yang lahir dengan
nama Lie Toan Hong dan seisi rumahnya di sebuah desa
daerah Purwokerto, Jawa Tengah, lolos dari jemputan
malaikat maut. Sebuah bom meledak hebat tidak jauh
dari rumahnya dan memanggang beberapa rumah te­
tangga beserta isinya. “Saya merasa, jiwa saya adalah
hasil saringan yang diselamatkan Tuhan,’’ tutur Budi.
Mungkin kesamaan nasib itulah yang menjebol se­
kat identitas daerah ketiga pria rantau ini; Ciputra, Budi,
dan Ismail Sofyan yang kelahiran Sigli, Aceh, menjadi
te­man karib di bangku kuliah. Keterbatasan dana mem­
buat ketiga mahasiswa ITB tingkat empat itu memutar
otak untuk mengais rezeki di zaman kelangkaan uang.
Mereka lalu menggagas sebuah perusahaan konsultan
perencanaan bernama PT Perentjana Djaja pada 1959—
berkantor di sebuah garasi. Pak Ci—panggilan Ciputra
M. MA’RUF

sekarang, Budi, dan Sofyan mencari order perencanaan


pembuatan gedung, rumah, dan semacamnya. Pak Ci
tampak paling lihai, dia bekerja penuh di perusahaan
baru itu, dan setahun kemudian, nyambi di sebuah per­
usahaan kontraktor. Perusahaan PT Perentjana Djaja itu
154 masih ada sampai sekarang
Saat itu, Presiden Soekarno tengah gencar-gencar­
nya membangun pelbagai monumen bersejarah. Berba­
gai mega proyek yang diprakarsai Soekarno menarik
tiga lulusan ITB tahun 1960 itu merantau ke ibukota.
Ciputra beserta istrinya, Dian Sumeler, tinggal di
Kebayoran Baru. “Kami belum punya rumah. Kami
berpindah-pindah dari losmen ke losmen,” tutur Dian.
Tidak diketahui dengan pasti bagaimana kemudian
arsitek baru lulus itu bisa bertemu dengan pejabat
sekaliber Gubernur DKI Jakarta, Soemarno, untuk ikut
tender proyek pembangunan Pasar Senen. Tetapi dengan
berbagai cara, akhirnya sebuah proposal proyek ber­
hasil melewati meja birokrasi untuk dibaca Soemarno.
Pak Gubernur setuju, setelah terlebih dahulu dirapat­
kan dengan Presiden Soekarno. Syaratnya, Ciputra
yang masih hijau bisa mengerjakan proyek itu bersama-
sama pengusaha ternama kala itu, Hasyim Ning dan
AM Dasaat—Hasyim waktu itu dijuluki Henry Ford
dari Indonesia. Selain itu, ada pula syarat menyertakan
sejumlah saham atas nama milik pemerintah DKI, untuk
kemudian mendirikan perusahaan patungan bernama Bagian 5 – Duet-duet Maut ala Semar dan Petruk
PT Pembangunan Jaya dan menunjuk Ciputra sebagai
pelaksana.
Selesai membangun Pasar Senen, nama Ciputra mu­
lai dikenal sebagai kontraktor, tetapi mulai benar-benar
melambung setelah mampu mengubah kawasan rawa-
rawa di kawasan utara Jakarta menjadi salah satu dari
10 besar theme park di dunia. Pada mulanya, Ciputra
hanyalah kontraktor kesekian yang mencoba mena­war­
kan diri melanjutkan proyek pembangunan taman hi­
buran lengkap di Ancol yang sudah terbengkalai be­berapa
tahun. Proyek ini tersendat gara-gara manajemen taman
hiburan impian terlengkap di dunia, Disneyland, tidak
kunjung menyetujui permintaan untuk membangun
satu theme park-nya di Jakarta. Niatnya, Soekarno ingin
segera menonjolkan Indonesia di Asia lewat bangunan 155
megah—melengkapi Stadion Gelora Bung Karno, dan
Monumen Nasional. Tetapi, jangankan investasi, pihak
Disneyland tidak pula mengizinkan pemakaian nama
untuk mega proyek itu. Ciputra mengambil tantangan
tersebut dan pada akhirnya bisa menyulap rawa-rawa
itu menjadi sebuah kawasan yang luas dan menjadi
pusat hiburan terintegrasi pertama di Indonesia, Taman
Impian Jaya Ancol. Sekarang, Ancol memiliki jumlah
pengunjung yang lebih banyak dibandingkan theme
park Disneyland yang dibangun di Hong Kong.
Sejak proyek fenomenal itu—setiap warga Jakarta
dan orang Indonesia pastinya mengenal Ancol—
Ciputra mulai merambah bisnis properti residensial.
Ini me­nempatkan dirinya sebagai pionir dalam bis­
nis pengembang di nusantara. Bekasnya sampai seka­
rang antara lain kawasan Pondok Indah, Bintaro Ja­
ya, dan Bumi Serpong Damai. Ciputra tidak hanya
dikembangkan dengan fisik semata, tetapi meniupkan
ruh yang membuat setiap bekas proyeknya itu punya
karakteristik yang khas. Pondok Indah adalah kawasan
elit, Bintaro Jaya dikenal sebagai perumahan dan ko­
mersial menengah atas yang terpadu, sementara Bumi
Serpong Damai sebagai sebuah kota mandiri.
Dia kembali merangkul Sofyan dan Budi dengan
mendirikan PT Metropolitan Development—dan se­
jumlah konglomerat untuk memasok modal. Selain
Pondok Indah—dibangun oleh Metropolitan Kencana
yang kemudian mendirikan Puri Indah—Metropolitan
Development juga menggarap beberapa proyek pro­
perti, seperti Wisma Metropolitan dan Wisma World
M. MA’RUF

Trade Centre, Mal Metropolitan, dan Hotel Horison.


Megapolitan Jakarta adalah buah tangan orang-orang
ini.
Mengutip resep Purdi E. Chandra pendiri Entre­
preneur University, tampaknya resep BOBOL—berani
156 optimistis bisnis orang lain—yang ditemukannya bela­
kangan ini, sudah dilakukan Ciputra waktu itu. Modal
dengkul—yang penting—otak kreatif. Ciputra hanya
menjual ide bahwa kawasan itu di masa depan adalah
ikon perumahan mewah dengan segala kelengkapan
kehidupan manusia seperti pusat belanja, perkantoran,
fasilitas rekreasi, lapangan olahraga, hotel, fasilitas
pendidikan, dan tempat ibadah. Inspirasi dan imajinasi
ini ditawarkan kepada pemodal seperti Sudono Salim.
Ini membuatnya bisa menjadi pemegang saham tanpa
modal yang harus disetor di depan.
Catatan minus Ciputra sebagai kontraktor salah
satunya seperti diberitakan Majalah Berita Mingguan
Tempo Edisi 05/XXXI 01 April 2002 yang menulis
ju­dul besar, Janji-Janji Kosong Ciputra. Ini lantaran,
Pantai Indah Kapuk (PIK) dituding sebagai salah-
satu penyebab banjir di Jakarta awal 2002. Majalah
yang didirikan atas modal Ciputra itu—sekarang dia
masih memilikinya—menulis kembali ucapan Ciputra
10 tahun sebelumnya. “Monyet tak akan berkurang.
Saya akan lebih banyak menanam bakau, ketapang ....
Jika kelak kerusakan lingkungan terbukti, saya siap Bagian 5 – Duet-duet Maut ala Semar dan Petruk
dihadapkan ke meja hijau. Saya mempertaruhkan se­
gala­nya: nama baik, moral, bank guarantee,” ujar
Ciputra. Majalah itu mewawancarai Ciputra kembali
pada April dan memperoleh jawaban. “Saya tak pernah
mengatakannya,” aku dia. Kasus PIK adalah salah sa­tu
cacat yang tidak lepas hingga usia senja Ciputra. Dia
mengaku capek mengomentari tudingan orang ten­
tang PIK, dan sekarang lebih memilih mencurahkan
waktunya dalam kegiatan sosial dan keagamaan. Salah
satunya, aktif sebagai ‘guru’ tentang kewirausahaan di
Universitas Ciputra.
Pada kerusuhan Mei 1998, dia menemukan dirinya
adalah pebisnis yang terlalu serakah. Pengalaman krisis
moneter yang hampir membuat bangkrut itu—Ciputra
masuk 50 besar pengutang kakap di negeri ini—menurut 157
para karyawannya, membuat Ciputra sekarang memi­
liki karakter-karakter yang makin menyenangkan. Lebih
sa­bar, lebih ramah. “Sekarang saya tetap bekerja keras
namun bedanya saya meminta pimpinan dan berkat
Tuhan,” kata dia. Sebuah proyek amal pembangun­
an patung Kristus tertinggi di Asia di kota Manado,
Sulawesi Utara dengan dana miliaran rupiah adalah
bukti ia telah bertaubat. Patung setinggi 30 meter itu
dibangun di kawasan pemukiman Citraland. Musium
Rekor Indonesia mengakui tugu itu sebagai patung
Kristus tertinggi di Asia—melampaui Patung Cristo Rei
di ibukota Timor Leste, Dili—yang menjulang 27 meter
itu.[]
M. MA’RUF

158
TEMPO

Bersatu Kita Teguh,


Bercerai Tetap Utuh

P embaca tidak hanya butuh berita terbaru, tetapi apa


yang sebenarnya terjadi di balik peristiwa tersebut.
Mereka akan rewel pada perwajahan yang buruk, dan
menginginkan sebuah tulisan yang enak dibaca tiba
tepat waktu di depan pintu—tidak peduli sedang apa
suasana batin wartawan. Majalah Tempo edisi perdana
pasca pembredelan, Oktober 1998, tampil ngejreng
dan tampak lebih muda. Meski petinggi dan pemodal
tidak berubah—diperkirakan investasi awal sekitar Rp
6 miliar—hanya tampilan luarnya saja yang berubah.
Logotype di sampul depan berganti dengan huruf
Baeurbodoni, dan teks judul memakai keluarga huruf
Franklin Gothic yang tampak lebih modern. Sementara
garis merah di sekeliling halaman depan yang menjadi
ciri khas majalah Time dan ditiru oleh Tempo lama,
dihapus.
Setelah beberapa tahun terbit dengan wujud se­
perti hantu—lewat dunia maya di www.tempo.co.id
karena dibredel—majalah Tempo versi cetak edisi per­
dana pasca pembredelan mengangkat laporan utama
mengenai pemerkosaan perempuan Tionghoa pada

159
kerusuhan yang membakar Jakarta pada Mei 1998.
Sampul depan menampilkan close-up gambar “mata
yang menangis”—mata itu sengaja dibikin agak sipit
untuk menggambarkan kaum perempuan dari etnis
China di Indonesia. Edisi perdana itu laku 100.000
eksemplar, serta memicu empati atas etnis Tionghoa
yang banyak menjadi korban kerusuhan Mei dan men­
dorong munculnya tim-tim pencari fakta. Pada edisi
kedua, Tempo tampak bersemangat membalaskan den­
dam dengan mengangkat kembali liputan panjang soal
skandal 39 kapal perang eks Jerman Timur. Ini terbit di
saat BJ Habibie menjadi Presiden—satu versi menyebut
pembredelan Tempo karena Habibie yang anak emas
Soeharto itu marah besar dengan judul Tempo edisi
11 Juni 1994, yang menulis di sampul depan kalimat;
Habibie dan Kapal itu.
Majalah Tempo edisi sekarang masih memper­
tahankan jurnalisme investigasi yang dalam sejarah
mereka harus dibayar mahal. Bahkan, sampai sekarang,
ada lelucon; mengapa produk liputan yang bagus-
bagus itu tidak kunjung membuat Tempo kaya? Tidak
lain karena habis dipakai untuk membayar pengacara.
Prospek kinerja keuangan Tempo dengan berbagai ka­
sus itu, menjadi lebih sulit ditebak—bisa saja mereka
mendapat beban tambahan akibat kalah di pengadilan.
Pengusaha Tommy Winata, Sukanto Tanoto, dan Menteri
Aburizal Bakrie pernah menggugat ke pengadilan, karena
kecewa dan marah dengan pemberitaan Tempo.
Tempo sendiri lahir dari orang-orang yang kecewa
pada zamannya. Mulanya, Gunawan Muhammad yang
M. MA’RUF

seniman mulai jenuh dengan rutinitas di harian KAMI


dan menginginkan sebuah media yang lebih substansial.
dan penting. Kegelisahan ini juga dirasakan Fikri Jufri
yang mantan aktivis antirezim Soekarno dan memiliki
cita-cita menjadi ekonom. Kala itu Fikri bekerja di harian
160 Pedoman—dipimpin oleh Rosihan Anwar. Mereka ber­
dua dan sejumlah seniman macam penyair Taufiq Ismail
membayangkan memiliki majalah mingguan yang isi­
nya lebih ‘dalam’ seperti Time di Amerika Serikat atau
i’Express di Prancis. Majalah-majalah itu memberikan
kualitas dan sudut pandang pemberitaaan yang lebih
baik. Gagasan meniru ini bukan hal baru, karena PK
Ojong dan Jakob Utama juga mengutip konsep Reader’s
Digest di Amerika Serikat dalam menerbitkan majalah
Intisari yang terbit perdana pada Agustus 1963
Pada 1969, Gunawan dan Fikri mengundurkan diri
dan merealisasikan gagasan-gagasan itu dengan me­
nerbitkan majalah Ekspres yang dimodali BM Diah.
Majalah ini seperti diperkirakan tidak berumur pan­
jang, setelah BM Diah yang pro-Soeharto memecat
Gunawan. Pemecatan ini gara-gara surat pernyataan
Gunawan yang tidak mendukung keputusan Ali
Moertopo—asisten Pribadi Soeharto—yang menunjuk
BM Diah sebagai Ketua Persatuan Wartawan Indonesia.
Faktanya, Kongres PWI justru mengangkat Rosihan
Anwar. Sekelompok bekas wartawan dan seniman itu
kemudian lebih banyak menghabiskan waktu di Balai Bagian 5 – Duet-duet Maut ala Semar dan Petruk
Budaya, kawasan Menteng. Sampai kemudian ditawari
pengusaha properti Ciputra, untuk membuat media
baru.
Sebuah negosiasi alot terjadi, meski kemudian maja­
lah Tempo dengan modal Rp 20 juta bisa terbit perdana
tahun 1971. Majalah ini bisa terbit setelah proses berliku
mendapatkan Surat Izin Terbit (SIT)—Gunawan saat itu
sudah masuk daftar hitam penguasa. Sejumlah nama
yang sekarang tenar ada di jajaran redaksi Tempo waktu
itu. Gunawan menjabat sebagai ketua dewan direksi,
Bur Rasuanto sebagai wakil, dan Fikri Jufri masuk
dalam anggota. Putu Wijaya, Lukman Setiawan—bekas
wartawan Kompas, Syub’ah Asa ada bersama Fikri
dalam dewan redaksi. Adapun Ciputra menempatkan
Eric Samola untuk mengontrol dengan jabatan direktur 161
perusahaan. Gagasan segar dan baru yang diklaim
Gunawan rupanya tidak mudah diterima, terutama oleh
bagian pemasaran. Mungkin karena banyak dikerjakan
oleh seniman, sehingga pemilihan sudut penulisan berita
pada edisi perdana itu berbeda. Di luar dugaan, edisi
perdana laku 10.000 eksemplar.
Konfik pertama muncul ketika majalah itu semakin
laris. Pada 1974 Grafiti Pers yang didirikan sebagai
perusahaan penerbit majalah Tempo adalah gabungan
dari Yayasan Jaya Raya milik Ciputra dan Pikatan yang
merupakan perusahaan kertas—tidak memiliki usaha
dan hanya representasi 17 pendiri Tempo, di antaranya
Gunawan Muhammad, Fikri Jufri, Lukman Setiawan,
dan Harjono Trisnadi. Pendirian Pikatan mulanya ada­
lah sebagai gagasan untuk menempatkan karyawan da­
lam struktur permodalan, agar pangalaman buruk di
Ekspres tidak terulang. Alhasil, komposisi pemilik sa­
ham Tempo waktu itu adalah Pikatan dan Ciputra. Tidak
lama, beberapa kekecewaan mengenai kesejahteraan
memicu masalah dan karyawan menuntut pembagian
saham Pikatan secara lebih adil. Para wartawan muda
itu marah dengan status kepemilikan karyawan yang
dimiliki orang-orang di jajaran direksi secara pribadi.
Konflik ini selesai begitu saja, tetapi menjadi bara ter­
pendam.
Masalah kembali terjadi. Kali itu, Bur Rasuanto yang
wakil pemimpin redaksi terlibat pertikaian secara pribadi
dengan Gunawan. Kasus ini berakhir dengan keluarnya
Bur dari Tempo, setelah konflik itu memuncak dan
terkenal dalam sejarah internal Tempo sebagai peristiwa
M. MA’RUF

lempar gelas—Bur melemparkan secangkir kopi ke arah


Gunawan. Tidak lama, masalah kesejahteraan kembali
muncul dan menjadi guncangan paling hebat. Pada
1987, sebanyak 33 karyawan yang dikomandoi Saur
Hutabarat, Syu’bah Asa, Eddy Herwanto, dan Marah
162 Sakti hengkang akibat masalah gaji yang terlalu kecil.
Para wartawan tidak puas dengan penghasilan yang
diterima, dan menuding
manajemen ter­lalu pelit
un­­tuk Tempo yang sedang
berada di zaman keemas­
an.
Eksodus kedua kem­
bali terjadi empat tahun
sebelum pembredelan. Se­
kitar 20 wartawan hijrah
ke majalah Prospek dan
Berita Buana. Ini dipicu
oleh rayuan gaji yang le­
bih tinggi di media lain,
dan isu kristenisasi di
internal Tempo, menyusul
diangkatnya seorang ber­­
agama Katolik di sa­
lah satu posisi redaksi
yang penting—ini dibantah oleh Gunawan. Kelompok
eksodus itu kemudian mendirikan majalah Editor dan
langsung terlibat persaingan secara head to head merebut Bagian 5 – Duet-duet Maut ala Semar dan Petruk
hati pembaca yang sama. Namun, eksodus ini dianggap
oleh manajemen Tempo murni soal gaji, karena tawaran
gaji di Editor memang jauh lebih tinggi dibandingkan
di Tempo. Masalah-masalah kesejahteraan ini memang
selalu timbul di tubuh Tempo sampai sekarang. Terbaru
adalah hengkangnya sejumlah awak Koran Tempo ke
harian Kontan dan situs berita vivanews.com.
Gunawan yang seniman mengakui kewalahan
menge­lola manajerial. Konflik itu lambat laun
membuatnya mau belajar membentuk sistem kerja yang
mapan, dan secara gradual mengubah organisasi—ini
mendapat banyak tentangan. Sampai-sampai dia ikut
Lembaga Pendidikan dan Pembinaan Manajemen.
“Kami sama sekali tidak mengerti bagaimana organisasi
redaksi diatur. Rapat saja tidak tahu,” katanya. 163
Di luaran konflik internal dan tekanan orde baru,
Tempo menjelma menjadi media mingguan yang amat
populer. Liputan-liputan investigasinya sering membuat
merah kuping penguasa, dan menggemparkan publik.
Tahun 1975, investigasi yang dipimpin Fikri Jufri meng­
gegerkan semua orang setelah membeberkan skandal
keuangan Pertamina yang terbelit utang USD10 miliar.
Dengan utang sebesar itu, negara bahkan bisa bang­krut
sehingga laporan itu dikutip oleh media lain hingga ke
luar negeri. Awal 1981, Tempo menggegerkan publik
setelah mengungkap mark up pembelian kapal penum­
pang Tampomas II. Ini menjadi sorotan, karena bebe­
rapa bulan sebelumnya kapal itu tenggelam di kepulau­
an Masalembo dan menewaskan 142 penumpangnya.
Tahun 1980-an oplah Tempo sudah tembus 100.000
eksemplar.
Berkat pemberitaan itu pula, untuk pertama kali­
nya pemerintah membekukan Tempo gara-gara li­
putan seputar kampanye Golkar, pada April 1982. Na­
mun, pembekuan ini bisa dicairkan setelah Gunawan
menyampaikan permohonan maaf, dan bersedia dibina
oleh pemerintah. Tetapi versi lain menceritakan, pem­
bekuan ini adalah ide Harmoko—dari harian Pos Kota—
ketua PWI yang tidak senang dengan Tempo. Akhirnya,
laporan mengenai pembelian kapal bekas dari Jerman
Timur itu menyebabkan mereka dibredel pada 26 Juni
1994 bersamaan dengan Editor, dan tabloid DeTIK,
yang merupakan anak yang lahir dari peristiwa ekso­
dus 1987. Peristiwa ini mengundang protes di seluruh
Tanah Air, dan mendorong lahirnya Aliansi Jurnalis
M. MA’RUF

Independen (AJI) saingan PWI. Sebagian wartawan


Tempo pascapembredelan bergabung dengan Majalah
Gatra yang dimodali Bob Hasan. Sementara sebagain
lagi, pada 1996 tetap menerbitkan Tempo dalam versi
online dan menjadi majalah berita di internet pertama
di Indonesia.
164
Baik karena eksodus maupun pembredelan, kon­
flik di tubuh Tempo sendiri justru membuatnya sebagai
ibu dari media-media baru yang menyemarakkan in­
dustri media Tanah Air. Awak-awak mereka bertebar­
an di pelbagai majalah dan harian baru seperti Prospek,
Buana, Editor, Republika, dan sebagainya. Grafiti
Press juga beranak pinak, dan memodali sejumlah me­
dia baru, seperti Jawa Pos, majalah Matra, majalah
Swasembada—sekarang SWA—dan usaha lain. Sampai
sekarang, citra Tempo sulit dilepaskan dari Gunawan
Muhammad. Tempo tahun 1971, selalu identik dengan
duet maut Gunawan-Fikri. Gunawan melepaskan ja­bat­an
pemimpin redaksi setahun setelah Tempo kembali terbit
dan menyerahkan estafet kepemimpinan kepada bekas
kepala Biro di Washington DC, Bambang Harymurti
yang sudah lama dipersiapkan. Tempo sekarang tengah
berupaya melepas perlahan bayang-bayang Gunawan.
Dia yang lahir di Karangasem Batang, Jawa Tengah,
pada 29 Juli 1941 itu memiliki nama lengkap Goenawan
Susatyo Mohamad. Pada masa mudanya lebih dikenal
sebagai seorang penyair dan pernah ikut menanda­tangani Bagian 5 – Duet-duet Maut ala Semar dan Petruk
Manifesto Kebudayaan 1964 yang mengakibatkan­nya
dilarang menulis di berbagai media umum. Gunawan
sudah menerjemahkan puisi penyair wanita Amerika,
Emily Dickinson di usia 19 tahun. Setelah lepas dari
keredaksian, Gunawan memiliki rubrik wajib yang tak
tergantikan, Catatan Pinggir, dan aktif kembali kepada
minat lamanya, seniman.
Sementara koleganya, Fikri Jufri, yang lahir di
Jakarta, 25 Maret 1936 adalah orang yang selalu
menganggap dirinya seorang reporter, tak peduli jabatan
yang sudah disandangnya. Mungkin, keterlibatannya
dalam jurnalistik adalah sebuah ketidaksengajaan. Suatu
ketika Fikri memergoki sebuah kerusuhan di kawasan
Kota, Jakarta dan menelepon kantor redaksi harian
KAMI. Esok harinya laporan kerusuhan itu menjadi 165
head line dan dia ditawari kartu pers.
Sementara pilihan Ciputra untuk tidak ikut cam­
pur urusan redaksi pada akhirnya justru membuat
media yang dimodalinya ini berkembang—meskipun
tidak banyak memberinya keuntungan, dibanding bis­
nis propertinya. Malah dia kerap dihajar balik oleh
awak Tempo yang menurunkan berita pedas seputar
proyek-proyeknya—majalah Tempo edisi April pernah
menulis; Janji-Janji Kosong Ciputra yang mengumbar
aib pengusaha itu dalam proyek Pantai Indah Kapuk.
Malah, Ciputra pernah terjepit pada kasus pertikaian
Tempo dengan Tomy.
Pada September 2000, Arsa Raya Perdana yang
menaungi majalah Tempo berubah menjadi Tempo Inti
Media, dan menawarkan sahamnya ke publik. Ini di­
lakukan sebagian besar untuk memodali pendirian Ko­
ran Tempo, yang oleh sebagian kritikus media dianggap
sebagai kesalahan karena menciptakan perang produk
dengan majalah Tempo. Sejauh ini, nama besar Tempo
tidak berbanding lurus dengan kinerja keuangannya.
Koran Tempo masih membebani keuangan dan berba­
gai gugatan hukum terus membayangi proyeksi keun­
tungan. Setidaknya pada 2003 perseroan masih merugi
Rp 10 miliar, dan Rp 6 miliar pada 2006. Mereka baru
mencetak laba pada 2007 sebesar Rp 2,5 miliar, namun
kembali merugi di awal 2009. Selembar saham mereka
di pasar modal juga tak pernah lebih dari setengah harga
sebungkus korek api kayu.[]
M. MA’RUF

166
ABC

Anak Muda Selalu


Bisa Diandalkan

P engusaha Chandra Djojonegoro asal Medan tampak


kesal dengan sikap Husain yang tidak pernah mau
serius di sekolah. Dia sebenarnya memiliki harapan besar
agar anaknya ini lebih pintar dalam urusan manajemen
bisnis. Kekesalan itu memuncak dan ia menghukum anak
keempat dari tujuh orang anaknya itu bekerja sebagai
salesman di sebuah pabrik sandal di Jakarta selepas
SMA. Husain hendak diberi pelajaran hidup yang le­
bih keras sebagai penjual sandal, tetapi justru di situlah
bakat penjualannya terasah. Dia kembali ke Medan
setelah melihat adanya peluang bisnis dari kegilaan baru
masyarakat terhadap kotak ajaib yang sedang booming,
setelah Thayeb Muhammad Gobel memproduksi radio
lokal buatan dalam negeri pertama merek Cawang pada
1954 di Jakarta. Di lokasi seluas empat hektar di Medan,
dia menggandeng pamannya mendirikan Everbright
Battery Factory yang memproduksi baterai kering.
Nama batere itu ABC, yang dikenang Husain sebagai
ide sederhana agar mudah dihafal oleh orang-orang.

167
Chandra masih tampak sibuk mengurusi bisnis
anggur (wine) merek Orang Tua miliknya dan mem­
biarkan Husain melayani permintaan baterai yang terus
melonjak. Pada waktu itu, dia masih menikmati sukses
penjualan anggur tradisional yang dikemas dalam botol-
botol. Dia mendirikan bisnis ini pada pada 14 Februari
1950 bersama tiga orang keturunan Tionghoa asal
Semarang.
Baru pada 1968, Chandra merasakan bisnis anak­
nya lebih menggiurkan dan mulai ikut-ikutan terjun
dengan memodali pendirian usaha pemasok bahan-
M. MA’RUF

bahan pembuat baterai kering, International Chemical


Industrial Co. Ltd yang pengelolaannya diserahkan ke­
pada Husain. Kolaborasi bapak dan anak ini kemudian
membuat ABC menguasai pasar baterai-baterai setelah
aksi-aksi korporasi miliaran rupiah dari hasil akumulasi
168 bisnis anggur. Terakhir waktu itu adalah membeli saham
saingan beratnya yang mengganjal penjualan ABC di
kawasan pulau Jawa bagian timur, Hari Terang Industrial
Co. Ltd pada 1982. Akuisisi ini melengkapi pencaplokan
dua produsen baterai sebelumnya sehingga mencatatkan
Chandra dan Husain sebagai konglomerat baru. Tanpa
banyak publikasi, ABC menguasai hingga 70% pasar
baterai nasional. Melalui sistem toll manufacturing,
orang-orang di luar sana tidak akan tahu bahwa batere-
batere buatan Husain kini ada di lebih dari 50 negara.
Bisnis keluarga ini menggurita dalam keheningan
media. Sebelum Chandra meninggal pada 1988, ia men­
dirikan ABC Central Food Industry sebagai jabang
bayi pada bisnis makanan dan minuman yang saat itu
dikuasai Indofood. Pria bertinggi tubuh 180 centimeter
ini dengan cepat membesarkan bisnis itu dengan cara
yang sudah-sudah, dimulai awal 1990-an. Husain
membeli sejumlah perusahaan-perusahaan kecil yang
potensial untuk disatukan dalam satu atap. Misalnya.
membeli mayoritas saham produsen mi instan Asiatic
Union Perdana dan produsen makanan ringan Ultra
Prima Pangan Makmur, serta membeli pabrik Rajuli Bagian 5 – Duet-duet Maut ala Semar dan Petruk
Reksa yang awalnya memproduksi shampoo.
Pabrik-pabrik kecil itu kemudian disulap sebagai
embrio-embrio untuk bersaing pada segmen produk yang
diincar, seperti Indofood pada makanan dan Unilever
untuk produk toiletries. Hasilnya, Ultra Prima Pangan
Makmur kini adalah tambang uang Husain dengan
omzet lebih dari Rp 1 triliun setelah memproduksi bis­
kuit wafer Tango yang menghebohkan itu. Tango yang
sukses besar karena disajikan dalam potongan-potongan
yang lebih kecil sehingga memudahkan untuk dikudap
konsumen, mampu menggusur wafer-wafer impor. Pada
bisnis minuman, Husain dengan sigap menggaet mitra
asing TC Pharmaceutical Ltd asal Thailand untuk menjual
Red Bull yang diganti dengan nama Kratingdaeng di
Indonesia. 169
Di balik nama besar Husain, grup Orang Tua
dan ABC memiliki tokoh-tokoh independen. Husain
yang tampak lebih akur dengan sepupunya, Kogan
Djojonegoro, mampu menjalin kemitraan dengan pro­
dusen besar asal Amerika Serikat, HJ Heinz, untuk
meleburkan bisnis makanan dan minumannya menjadi
Heinz ABC Indonesia. Heinz adalah perusahaan multi­
nasional dan pemilik merek kecap terkemuka di dunia
yang omzetnya mencapai USD1,5 miliar. Bisnis ini ba­
nyak dipercayakan kepada Kogan yang ligat menyasar
pasar dengan menyediakan saus dan kecap tanpa merek
untuk McDonald’s, Pizza Hut, KFC, dan Hoka-Hoka
Bento. Sementara kecap dan saus ABC merajai pasaran
sebelum kemudian menemukan saingan berat Kecap
Bango milik Unilever. Adapun adik Husain, Hamid
Djojonegoro, lebih enjoy mengurusi bisnisnya sendiri
tanpa banyak campur tangan dari kakaknya. Hamid
yang kerap tidak sejalan dengan Husain memiliki pabrik
permen dan minuman kesehatan, seperti Kiranti, larutan
penyegar Panjang Jiwo, dan larutan penyegar Orang
Tua, serta permen Tango. Tahun 1984, ayah dua putra
dan satu putri ini mendirikan Brushindo Cemerlang yang
memproduksi sikat gigi dan pasta gigi merek Durodont,
ABC, dan Formula Junior. Di samping itu, Hamid-lah di
balik distribusi-distribusi kuat segala produk ABC dan
Orang Tua.
Ketegangan antara bisnis keluarga itu menjadi ton­
tonan sekaligus kengerian para karyawannya. Husain
yang temperamental, bila sudah tidak bisa lagi menahan
kemarahannya tidak akan segan-segan membanting
M. MA’RUF

LCD seharga 40 juta hancur berkeping-keping. Dia


dika­barkan langsung memecat 25 manajer ketika pe­
masaran perdana mi ABC gagal. Pernah suatu waktu,
Husain membatalkan iklan komersial yang sudah selesai
dibuat dan siap tayang di televisi. Alasannya sepele,
dia mendadak merasa kurang sreg dengan iklan tadi.
170
Lucunya, seminggu sesudahnya, dia berbalik arah dan
meminta iklan itu ditayangkan. Akibatnya, terbuanglah
uang ratusan juta, dan sialnya, di akhir tahun bagian
keuangan kena damprat gara-gara ada pembengkakan
biaya. Para manajer ABC juga tidak berani menginte­
rupsi keputusan Hamid mengeluarkan biaya-biaya me­s­
ki itu tanpa sepengetahuan Husain. Sebab, Hamid juga
memiliki saham di perusahaan kakaknya itu. Tetapi
semua kisah itu tidak pernah bisa dikonfirmasi media,
dan hanya menjadi gosip-gosip semata.
Dari Medan, keluarga ini sekarang memiliki pu­
luhan bisnis tanpa banyak diketahui orang. Mungkin
ini karena Chandra melakukannya tanpa banyak ber­
hubungan dengan keluarga Cendana, sehingga ketika
Soeharto jatuh mereka tidak mengalami kebangkrut­
an seperti pengusaha karbitan di zaman itu. Demikian
pula serangkaian akuisi terhadap perusahaan tertutup
membuat keluarga ini nyaris tidak tersentuh oleh kuli
tinta. Tetapi satu alasan paling kuat mengapa kemudian
keluarga ini masuk keluar daftar orang paling kaya se-
Nusantara adalah konsistensinya membangun merek.
Husain dan Hamid adalah tipe pengusaha indus­ Bagian 5 – Duet-duet Maut ala Semar dan Petruk
trialis yang low profile atau lebih tepat disebut tertutup.
Keduanya menciptakan produk-produk baru untuk ke­­
mudian diserahkan kepada para manajer untuk dipa­
sarkan dengan baik. Mereka hanya memasang target-
target tertentu untuk dicapai. Tetapi dalam keseharian,
Husain tidak tampak mewah di hadapan karyawan dan
lebih menyukai mengendarai kijang ke kantor. Dia lebih
senang menghabiskan kekayaannya secara diam-diam
di Singapura dengan mengendarai Porsche dan meleng­
kapi rumah mewahnya dengan pelbagai koleksi porselen
mahal.[]

171
CNI

Empat Sekawan

A gung Handaya adalah satu dari jutaan agen penjual­


an langsung CNI (Centra Nusa Insancemerlang),
pionir bisnis multi-level marketing (MLM) di Tanah Air.
Pria kelahiran Bantul Yogyakarta, dan alumnus Fakultas
Geologi Universitas Gadjah Mada, ini banyak dijadikan
contoh sebagai sales penjualan langsung yang sukses.
Kisah kariernya yang dramatis, dengan keputusan tidak
masuk akal, membuat motivasinya meresap pada agen-
agen MLM. Dia telah meraih gelar Master of Science
dan kemudian bekerja sebagai dosen Fakultas Teknik
Universitas Trisakti, Jakarta. Kariernya tidak buruk,
karena diberi jabatan pembantu dekan, sehingga banyak
yang menyebutnya gila ketika banting setir menjadi
agen CNI. Baru pada Juni 1999 orang-orang terkagum-
kagum setelah Agung meraih Double Diamond Agency
Manager dan menikmati bonus mobil mewah. Sejak
saat itu Agung laris manis disewa sebagai pembicara
pelatihan kepemimpinan dan seminar motivasi.
Ada lagi cerita tukang sol, Mat Zeni yang menjadi
anggota CNI pada 1995 dan delapan tahun kemudi­
an ke mana-mana sudah mengendarai mobil mewah

172
baru, memiliki rumah dan berpendapatan Rp 55 juta
sebulan. Atau, kisah Pek Keng Leong salah satu top
agen distributor CNI di Malaysia yang menikmati hari
tua dengan Baby Benz dan Mitsubishi Pajero setelah
bergabung kurang dari tiga tahun.
Tiga cerita itu satu dari sekian banyak sukses bisnis
MLM yang mengubah orang dari “bukan siapa-siapa”
menjadi “siapa-siapa”, yang selalu menarik disimak—
meski kadang dilebih-lebihkan dan pastinya lebih ba­
nyak yang gagal daripada berhasil. Kisah agen-agen
men­dapatkan kekayaan dari CNI justru lebih menarik
dibandingkan bagaimana empat sekawan di Bandung
bersepakat meniru cara-cara Sun chlorella dari Jepang
menjual healty food-nya di Malaysia.
Adalah S. Abrian Natan, pebisnis otodidak sejak
SMA dengan menjadi makelar mobil bekas untuk
membiayai sekolah dan melanjutkan kuliah di Kota
Kembang. Ketika mahasiswa, pria kelahiran Bandung,
Oktober 1962 ini sudah memiliki show room mobil dan
memulai bisnis sampingan menjual minuman ringan dan
makanan kecil. “Boleh jadi saya pencetus pertama jual Bagian 5 – Duet-duet Maut ala Semar dan Petruk
minuman ringan pakai gerobak saat itu. Saya menjadi
agen untuk ritel tradisional dan agen es jolly,” kata dia.
Sementara itu, Ginawan Chondro sedang terheran-
heran dan takjub dengan bisnis baru yang diperkenal­
kan teman asal Malaysia-nya, Yanky Regan. Ginawan
ditawari untuk menjual produk-produk makanan
kese­hatan atau healthy food merek Sun chlorella dari
Jepang secara langsung di Indonesia. Ginawan tertarik
dengan model penjualan langsung yang belum pernah
dijumpainya di Bandung, apalagi pada target-target
penjualan tertentu akan disertai bonus-bonus menarik,
dan tentu saja janji-janji pensiun dini—meskipun dia
yakin ada orang lain yang bakal lebih antusias dan bisa
menjual produk itu ketimbang dirinya. Setelah masuk
pada 1985, Ginawan merekrut Abrian, yang tidak lain 173
adalah adik iparnya. Dia juga menawarkan kepada
kakak kandungnya, Wirawan Chondro yang rupanya
berminat. Tiga bersaudara dan satu kawan dari Malaysia
itu memilih untuk mendirikan Nusantara Sun Chlorella
Tama di Bandung sebagai agen untuk memasarkan
produk-produk asal Jepang itu. Modal didapat dari
Chondro bersaudara, yang menye­diakan beberapa
ruangan di tokonya sebagai kantor dan Regan yang pada
akhirnya menikah dengan gadis setempat mengurusi
bagian keuangan, dan mentor MLM. Sementara ope­
rasional secara penuh dilimpahkan kepada Abrian,
yang diberi enam karyawan, bagian administrasi, dan
gudang.
Menjual Sun chlorella tidak lebih mudah daripada
menjual mobil bekas atau es jolly. Tidak ada yang
mengenali produk itu, lagi pula kenapa ada makanan
kesehatan, bukankah selama ini orang-orang sudah tahu
makanan yang sehat? Produk ini adalah hasil makanan
kesehatan alami berasal dari ganggang hijau yang dapat
dikonsumsi untuk segala umur, membantu memper­kuat
daya tahan tubuh. Ini sesuatu yang baru bagi konsu­men,
termasuk Departemen Kesehatan yang kebingung­an
mengeluarkan izin, karena tidak ada kategori untuk Sun
Chlorella sebagai healthy food. Ada juga kategori obat
atau vitamin. “Saya harus berargumentasi lebih dulu
dengan pihak Badan POM,” kenang Abrian.
Lima tahun Abrian dicurigai oleh konsumennya
sen­diri. Sangat aneh misalnya menawarkan bisnis
baru dengan harus membeli dulu barang sebagai tanda
mendaftar. Lebih lagi orang baru akan memandang dari
M. MA’RUF

mana datangnya biaya untuk iming-iming bonus, sepeda


motor hingga kapal pesiar mewah. Abrian menawarkan
dua hal. Pertama, menawarkan produk yang bernutrisi
tinggi sehingga orang akan menjadi lebih sehat. Kedua,
dengan bisnis ini, orang yang tidak sekadar meminum
174 tetapi mau menjadi agen bisa meningkatkan taraf
hidupnya. Dia memulai gerilya secara door to door,
mengumpulkan beberapa orang untuk mendengarkan
ceramahnya hingga ke luar Pulau Jawa dan meninggalkan
resep getok tular.
Usaha ini cukup berhasil dengan adanya agen-agen
setiap di setiap daerah, yang sekaligus sebagai simpul-
simpul untuk merekrut orang-orang baru. Pada 1987
kantor pindah dari Bandung ke kawasan niaga Duta
Merlin, Jakarta Pusat dan nama perusahaan diubah
menjadi PT Citra Nusa Insancemerlang (CNI). Setidaknya
ada enam produk yang dijual selain makanan kesehatan,
seperti Sun Chlorella tablet dari Jepang, dan Ester-C
vitamin C dari Amerika—yang belakangan membayar
mahal artis terkenal Luna Maya untuk iklan. CNI mulai
memperkenalkan produk perawatan diri, dan kebutuhan
rumah tangga seperti serbuk cuci consentrate detergent,
multi purpose cleaner, softener and brightener. Karena
banyak konsumennya di desa, mereka juga menjual
produk obat untuk pertanian dan perikanan.
Beberapa program penjualan dibuat menarik,
seperti penerapan jaminan mutu dan 100% money Bagian 5 – Duet-duet Maut ala Semar dan Petruk
back guarantee mempercanggih fasilitas kantor, dan
pelebaran jalur distribusi barang melalui sistem point
operator (tempat distributor dapat memperoleh suplai
produk.). Termasuk membiayai berbagai penelitian
un­tuk mendapatkan pernyataan para ahli guna memi­
kat konsumen. Misalnya penelitian dari Universitas
Padjadjaran, RS Cipto Mangunkusumo, atau Persatuan
Ahli Gizi Indonesia (Persagi). Kutipan seperti ini lazim
dicantumkan pada brosur atau menjadi senjata ampuh
setiap kali agen menjajakan produk. “Pengalaman pri­
badi mengonsumsi 10 tablet Sun Chlorella per hari seki­
tar dua bulan menurunkan tekanan darah tinggi mende­
kati normal dan membuat tubuh mencapai kondisi yang
optimal”. Selain kutipan dari pernyataan Dr. Muhilal,
Ketua Persagi ini, mereka juga rajin menampilkan 175
kutipan pendapat ahli dari luar negeri.
Ledakan bisnis CNI justru terjadi ketika banyak
pemutusan hubungan kerja (PHK) pada 1997. Meski­
pun nilai tukar rupiah ambrol, pertumbuhan penjual­
an CNI waktu itu malah tercatat paling tinggi dalam
sejarah perusahaan, mencapai 70%, dua kali lipat dari
tahun-tahun sebelumnya. Jumlah agen pun meledak
sama besarnya. Sudah lebih dari satu dekade CNI
merambah luar negeri, Malaysia, Singapura, Hong
Kong, Brunei Darussalam, dan India. Ini membuat
produsen Sun Chlorella, YSK International Corp mau
menginvestasikan dana untuk membangun kolam seluas
50 hektare untuk membiakan bahan baku Chlorella di
Pasuruan, Jawa Timur meskipun pengolahan tetap ada
di Jepang. Pada 2003, CNI membangun gedung kantor
pusat yang dimiliki sendiri di Kompleks Green Garden,
Arteri Kedoya, Jakarta Barat yang megah.
Seiring menjamurnya MLM, persaingan antaragen
pun tidak terhindarkan. Antar MLM mulai saling menge­
luhkan tren pembajakan agen-agen yang sudah memiliki
banyak anak buah. CNI pernah digugat salah seorang
distributornya, Arif Wirawan, sebesar Rp 43,3 miliar
pada 2004, karena dianggap mencabut keanggotaan
semena-mena. Sementara pihak manajemen sendiri ber­
alasan Arif telah melanggar kode etik. CNI sekarang
memiliki ratusan perusahaan penjualan langsung dengan
bonus-bonus yang lebih menarik.
Empat sekawan pendiri CNI, Ginawan, Wirawan,
Regan, dan Abrian sudah menikmati hasilnya dan ber­
giliran memangku jabatan tertinggi di sana. Mereka
tidak hanya berhasil menjual produk-produk yang
M. MA’RUF

awalnya tidak dikenal menjadi amat familiar. Pun, men­


ciptakan “artis-artis” baru bidang pemasaran. Pakar
ma­najemen Universitas Indonesia, Rhenald Kasali dalam
buku berjudul River Company, Apa yang Mem­beda­
kan CNI dengan Perusahaan Kubangan, menuturkan
176 sejarah perjalanan dan filosofi bisnis CNI, sebagai se­
buah perusahaan pelopor MLM di Indonesia. River
Company adalah perusahaan yang didirikan bukan
semata-mata untuk mencari keuntungan, melainkan
untuk memperbarui dan menyejahterakan kehidupan.
Tiga yang masuk kategori ini adalah produsen mobil
asal Amerika Ford, produsen telepon genggam Nokia,
dan DuPont, sebuah perusahaan science-chemical di
Negeri Paman Sam. Selanjutnya, kata Rhenald, CNI
dari Indonesia masuk kategori ini.[]

Bagian 5 – Duet-duet Maut ala Semar dan Petruk

177
Cinta Itu
Dampaknya
Luar Biasa

bagian 6
Susi Air

Nurani Bisa Menuntun


pada Jalan Bisnis Baru

S usi Pudjiastuti pertama kali dikenal publik bukan


sebagai pengusaha yang mengundang decak kagum
karena kegigihannya merintis ekspor lobster dari
Pangandaran menggunakan pesawat pribadi ke Jepang.
Perokok berat dan penyuka kopi pahit itu justru amat
populer sebagai orang berhati emas saat bencana gempa
dan tsunami meluluhlantakkan Aceh pada 26 Desember
2004. Harian Kompas edisi Jumat, 14 Januari 2005
menulis dengan judul Perempuan Pemberani Itu Susi
Namanya. Majalah Gatra di hari yang sama menulis
Nekat, dalam rubrik Apa dan Siapa. Beberapa media
lain juga menurunkan artikel feature yang tidak begitu
berbeda.
Susi dan suaminya Christian von Strombeck, di­
kenal sebagai pahlawan karena kebaikan hati dan ke­be­
raniannya, sebagai orang yang pertama kali men­darat­
kan pesawatnya di Aceh untuk memberikan bantuan
pribadi. Mereka berdua membuka isolasi Aceh yang
porak-poranda oleh air bah dengan mendaratkan pesa­
wat Cessna di Bandara Tjut Nyak Dien, Meulaboh, pada
28 Desember 2004. Kisah ini mengharu biru, menyebar

180
dengan cepat ke dunia maya dan menjadi inspirasi ba­
nyak orang. Keberhasilannya mengilhami pesawat ber­
badan kecil milik Polri dan TNI-AL untuk melakukan
hal sama. Bahkan, Mike dan Joe, warga Amerika Serikat
juga menerbangkan pesawat mereka dari Guam, AS
ke Meulaboh untuk mengirimkan bantuan. Karyawan
pesawat Cessna di AS juga menitipkan bantuan dana
USD 50.000 untuk disalurkan ke korban lewat Susi.
“Saya katakan bahwa kami jauh-jauh datang
tidak mau bunuh diri, apalagi mengorbankan pesawat
seharga Rp20 miliar, kami mau membantu orang,” kata
Susi saat mencoba meyakinkan Dirjen Perhubungan
Udara yang semula tak memberikan izin mendarat. Susi
dan suaminya akhirnya nekat dan berhasil mendarat di
landasan sepanjang 550 meter dan lebar 10 meter, dengan
sisi kanan-kiri yang retak akibat gempa. Kisah berani
ini kemudian membuat banyak pihak mempercayakan
penerbangan ke Aceh lewat pesawat Susi.
Susi sama sekali tidak bermaksud menjadikan pe­
nerbangan Tsunami di Aceh sebagai operasi bisnisnya.
Meskipun, ASI Pudjiastuti Aviation, sebuah perusahaan
pesawat carteran yang menaungi dua pesawat Cessna
Bagian 6 – Cinta Itu Dampaknya Luar Biasa

Grand Caravan telah didirikan sebulan sebelum tragedi


itu terjadi. Awalnya adalah murni memberikan bantuan
pribadi, kemudian membantu menerbangkan bantuan
pihak lain dan relawan, tetapi selanjutnya banyak yang
membayar untuk bantuannya ini. Bagi Susi, peristiwa
ini membukakan peluang bisnis pesawat carteran
yang masih perawan untuk geografis Indonesia yang
berkepulauan.
Dia makin serius dengan menyediakan 15 pesawat
yang melayani jasa carteran dan tujuh rute penerbangan
komuter. Di Sumatera, dia membuka rute Medan ke
Simeuleu, Medan-Meulaboh, Medan-Aek Godang dan
Medan-Blang Pidie. Lalu di Kalimantan, Susie Air me­
layani rute Banjarmasin-Muara Teweh, Muara Teweh- 181
Palangkaraya dan Balikpapan-Sebuku. Pada 2006, Susi
membuka cabang di Jayapura, dan kemudian Balik­
papan. Dalam waktu singkat, omzet Susi Air sudah Rp
40 miliar.
Susi adalah perempuan kampung yang tak ta­
mat SMA, namun sukses berbisnis hasil laut hingga
m­ampu membeli pesawat. Perempuan Jawa kelahiran
Pangandaran 15 Januari 1965 itu memutuskan berhenti
dari sekolah SMA Negeri I Yogyakarta untuk menekuni
dagang, bermodal Rp 750.000 dari hasil menjual gelang,
kalung, dan cincin miliknya. Ia memulai dengan berjual­
an bed cover. “Saya sempat tidak disapa oleh almarhum
ayah selama dua tahun, gara-gara kecewa karena saya
memilih berhenti sekolah waktu itu,” ungkap Susi.
Dia kembali ke Pangandaran setelah melihat ba­
nyak tangkapan laut dijual sangat murah oleh para ne­
layan. Susi mengumpulkan ikan, cumi, dan udang itu
dari nelayan langsung untuk dijual ke pasar. Waktu itu
dia baru sanggup membeli 1 kg, besoknya 2 kg, lusa
5 kg. Dalam tempo setahun, produk ikan segar Susi
sudah memasuki pasar Cilacap dan Jakarta, dari semula
hanya Cirebon. Lama-kelamaan, dia dikenali sebagai
Susi Gila dari Pangandaran karena aktivitasnya ikut
dalam truk pengangkut lobster dari Pangandaran ke
Cirebon, Cilacap, dan Jakarta, hingga kembali lagi ke
Pangandaran. Tiap hari, aktivitas Susi dimulai pukul
15.00, di mana dia harus sudah siap berangkat ke
Jakarta untuk menyetorkan ikan dan lobster ke restoran-
restoran. Di tengah jalan, dia mampir ke Cikampek untuk
mengambil kodok. Sampai di Jakarta sudah malam.
M. MA’RUF

Setelah mandi, langsung balik ke Pangandaran. Susi pun


kemudian menjadi penyalur tetap hasil laut ke beberapa
pabrik besar dan restoran di Jakarta. Dia mulai membina
nelayannya sendiri dengan menyewakan perahu untuk
mencari ikan dan mobil untuk pengiriman.
182
Lambat laun Susi kesal dengan konsumen pabrik
yang seenaknya mengendalikan harga. Akhirnya dia
mencari konsumen yang mau membayar dengan harga
lebih tinggi. Pada 1996, dia mendirikan Andhika Sa­
mudra International (ASI) Pudjiastuti di atas tanah
warisan untuk lokasi pabrik pengolahan ikan. Krisis
ekonomi 1997 sempat membuat pembangunan pabrik
ini sempat terbengkalai. Di lain sisi, bisnis ekspor Susi
justru meroket karena nilai tukar rupiah yang turun
hingga empat kali lipat. Hasilnya, dia bisa membangun
pabrik kedua dengan investasi tak kurang dari Rp 35
miliar.
Pabrik ini bisa memproses dan menyimpan stok
ikan maupun udang 15-20 ton per hari. Teknologi
yang digunakan semuanya modern dan impor agar
ikan, udang, dan lobster yang dikirim tetap segar. Ini
membuatnya sangat dikenal oleh pembeli-pembeli dari
Jepang yang selalu menginginkan ikan dengan tingkat
kesegaran tertentu, dan tentu saja ramah lingkungan.
Bagaimana Susi mempraktikkan pengolahan ikan yang
ramah lingkungan pernah disadur majalah perikan­
an terbesar dari Autralia, Austasia Aquaculture. Saat
Bagian 6 – Cinta Itu Dampaknya Luar Biasa

itu, merek dagang Susi Brand mampu menguasai


56% impor lobster di Jepang, dan mulai merambah
Singapura serta Hongkong. Untuk hasil laut yang lebih
segar dan ramah lingkungan, para konsumennya di luar
negeri rela membayar tiga kali lebih mahal dari harga
ikan segar yang ditetapkan Organisasi Pangan Dunia
(FAO). Isu pemanasan global juga membuat Susi Brand
direkomendasikan, karena semua proses pengolahan
ramah lingkungan, bebas kimia, dan pemakaian amo­
niak untuk pendingin, bukan freon yang merusak ozon.
Pada 2000, Susi menemukan ide yang cukup gila
didengarkan oleh bankir. “Saya dibilang gila saat meng­
ajukan kredit beli pesawat untuk mengangkut ikan dan
lobster dari Pangandaran ke Jepang,” ungkap Susi. 183
Menurut dia, meski ikan dan lobsternya masih segar
ketika keluar dari pabrik, proses pengangkutan dengan
kapal yang lama membuat harga produknya turun di
Jepang. Padahal, jika sampai ke Jepang kurang dari 24
jam, harganya bisa dua kali lipat lebih mahal.
Misalnya, ikan laut yang biasanya dihargai USD
3 per kilogram (kg) menjadi USD 8. Berulang kali Susi
memberi penjelasan itu kepada bank, tetapi sesering itu
pula dianggap aneh dan bukan ide brilian. Baru setelah
empat tahun bergerilya, ada bank yang akhirnya mau
memberinya kredit. Akhirnya, lobster Susi terjual USD
7,8 per kg, mendekati harga tertinggi di Australia.
Saat ini setiap bulan perusahaannya mampu men­
jual hasil laut ke beberapa negara di Asia, Eropa, dan
Amerika, antara 50-60 ton dan melonjak hampir dua
kali lipat sejak merebaknya wabah daging sapi gila dan
flu burung. Ekspor via pesawat ini dengan bangga di­
sebutnya mampu mendongkrak omzet dari USD 2 juta
menjadi USD 5 juta dolar per tahun. Dengan alasan-
alasan harga dan penghargaan, sampai sekarang Susi
lebih memilih menjual produknya ke luar negeri dengan
porsi hingga 95% dari total produksi dengan produk
utama lobster, udang, kakap, dan tuna.
Susi menikah dengan pria berkebangsaan Jerman,
Christian, pada 1997. Pernikahan seolah takdir
menuju bisnis penerbangan, karena suaminya adalah
seorang pilot. Pasangan ini dikaruniai tiga anak, Panji
Hilmansyah, Nadine Pascale, dan Alvy Xavier. Susi dan
Christian, sedang menghitung hari, membesarkan anak-
anaknya dan mengumpulkan uang pensiun sembari
M. MA’RUF

mengelola restoran sea food di kota mode Milan.[]

184
Java Musikindo

Hobi dan Bisnis adalah


Kombinasi yang Dahsyat

A drie Nurmianto Subono sangat menikmati masa-


masa tinggal bersama pamannya, BJ Habibie, di
Jerman Barat antara 1970-1978. Pamannya itu telah
menetap di sana sejak kuliah hingga bekerja di sebuah
perusahaan pesawat terbang. Adrie begitu menikmati
dinginnya salju Eropa bukan karena bisa lebih bebas,
tetapi karena bisa sering menonton konser-konser musik
kesukaannya di sana. Hobi itu tidak bisa hilang meski
dia kemudian kembali ke Indonesia untuk menekuni
bisnis alat transportasi laut dan properti. Sialnya, amat
mustahil menyaksikan konser-konser penyanyi dan
band top dunia manggung di Indonesia. Alhasil, setiap
perjalanan ke luar negeri, Adrie pasti mencuri waktu,
menyelinap untuk menonton konser-konser. Almarhum
King of Pop Michael Jackson adalah salah satu penyanyi
favoritnya. Keinginan yang menggebu-gebu pada konser
itu lambat laun mendorong Adrie pada peluang bisnis,
yaitu menggelar konser musisi asing di Indonesia. Tetapi
dia sama sekali tidak memiliki seluk-beluk bisnis ini.
Promotor-promotor pertunjukan yang ada, baru sekelas
lokal, dan tidak ada buku-buku manual untuk memulai
sebuah konser.

185
Hasrat ini terpendam sekian lama sampai pada
1994, seorang teman dari radio Prambors mengajaknya
untuk mendatangkan band rock asal Amerika Serikat
yang sedang naik daun, Saigon Kick. Tanpa pikir pan­
jang Adrie bergabung untuk konser yang langsung di­
selenggarakan di empat kota itu, Jakarta, Bandung,
Surabaya dan Bali. Konser itu dapat dibilang tidak gagal,
tetapi Adrie merugi dalam jumlah besar. Banyak hal yang
masih belum diketahuinya, mulai pemilihan gedung yang
salah, penjualan tiket, dan lemahnya promosi. Dia tidak
kapok dan berselang setahun kemudian mendatangkan
Supergroove. Dia kembali merugi namun justru nekat
menanggalkan bisnis perkapalan yang sudah 23 tahun
dilakoni untuk mendirikan Java Musikindo.
Bagi Adrie profesi ini lebih menjanjikan dan menye­
nangkan. Kerugian di awal-awal dianggapnya sebagai
ongkos belajar karena dia memang tidak pernah belajar
dan memiliki guru kecuali pengetahuan secara otodidak.
Lagi pula, dengan menjadi promotor pertunjukan dia
bisa melepas jas dan dasi untuk berganti dengan sera­
gam yang lebih membuatnya nyaman; jins, kaos oblong,
dan topi yang kesemuanya berwarna hitam. Style-nya
ini entah kapan akan berubah.
Selepas Supergroove yang digelar di M Club, di
lantai paling atas Blok M Plaza, Adrie sempat menggelar
konser musisi lokal, Pas Band dan Nugie. Tetapi sejak
Foo Fighter pada Januari 1996, dan menyusul lima
bulan kemudian Mr Big, Java makin sering mengundang
artis asing ke Tanah Air. Sejak saat itu hingga sekarang
hampir tidak ada artis beken luar negeri yang tidak
M. MA’RUF

dikontrak Java untuk manggung di Indonesia. Lambat


laun dia mulai mengerti bagaimana mengelola konser
bintang-bintang dengan profesional dan hemat. Banyak
kerugian itu rupanya karena semua ongkos kedatangan
musisi asing ditanggung sendiri.
186
Adrie lalu menemukan cara lebih hemat melalui
kongsi dengan promotor di negara tetangga, seperti
dari Malaysia, Singapura, dan Filipina. Cara ini sangat
berguna untuk mengontrak artis-artis yang berharga
mahal. Soalnya, hanya untuk bayaran artis saja, tarifnya
bisa seharga satu mobil BMW terbaru, be­lum termasuk
tetek bengek yang lain. Misalnya, biaya permintaan yang
aneh-aneh atau yang sering di­sebut sebagai riders, baik
dari musisi maupun manajemen artis. Adrie kenyang
pengalaman seperti ketika artis seksi Mariah Carey
datang ke Indonesia pada 2004. Penyanyi bertubuh
molek itu mengajukan banyak se­kali permintaan,
seperti ada tangga di tengah-tengah panggung seharga
Rp 50 juta—yang dipakai oleh Mariah tak lebih dari
lima menit, sampai warna kamar menginap Mariah di
president suite Hotel Mulia yang harus diubah menjadi
pink.
Banyak keruwetan dalam bisnis ini sehingga ke­
mudian muncul ujar-ujaran, there’s no business like
showbiz. Tetapi semua itu mampu ditangani dengan
tangan dingin Adrie, yang mempekerjakan delapan staf
di kantor mungil di kawasan Mega Kuningan, Jakarta
Bagian 6 – Cinta Itu Dampaknya Luar Biasa

Selatan. Jumlah itu membengkak hingga ratusan bila


Java sedang menggelar konser.
Sekarang Andrie mulai bangga dengan kemunculan
para promotor baru yang mengikuti jejaknya. Di sela-
sela absen pertunjukan, Adrie kini justru membagi-
bagikan rahasia dengan menerbitkan buku berjudul
WOW, mengenai kisah suksesnya sebagai promotor.
Waktu luangnya kini lebih banyak dihabiskan untuk
menghadiri undangan seminar-seminar kewirausahaan
karena kisah kesuksesan dan statusnya yang tidak lulus
SMA itu.[]

187
Maspion

Membeli Produk Lokal


Juga Sebuah Sikap
Nasionalisme, Bung!

S eorang pria berumur kira-kira 19 tahun meninggal­


kan kampung halamannya di Desa Xi Jiang,
Kecamatan Gao Shan, Kota Fuqing, Provinsi Fujian,
China dan me­nyeberangi lautan selama 40 hari menuju
kota Pasuruan, Jawa Timur. Mungkin, anak muda yang
kemudian mengganti namanya menjadi Alim Husin itu
terinspirasi oleh Laksanama Ceng Ho yang datang ke
Nusantara abad 14 Masehi. Di Pasuruan, Alim bertahan
hidup dari berjualan kain. Pria pemilik banyak ide ini
lalu merintis pembuatan lampu teplok dengan teknologi
baru pada 1954 bersama rekannya, Gunardi.
Lampu buatan Alim dan Gunardi tidak mudah
padam karena sekeliling sumbu api ditutupi kaca. Din­
ding rumah para pembeli juga tidak hitam karena bagian
pengaitnya dilapisi seng. Orang-orang era 1970-an tentu
akan paham lampu ini, karena di lempengan seng itu
ada gambar artis-artis mandarin yang tersenyum manis,
tetapi panas membara bila disentuh. Dengan delapan
orang karyawan, Alim mampu memproduksi 300 lusin
lampu teplok, mulai dari jenis rumahan sampai lampu
badai untuk para nelayan.

188
Pada 1971, Alim mulai mengalihkan usahanya
untuk memproduksi perabotan dapur seperti ember,
baskom, dan loyang berbahan plastik. Produk itu laris
dengan merek Maspioneer. Namun, sekitar 1966, ada
produk lain yang juga memakai merek Pioneer se­
hingga mengajukan komplain. Maspioneer kemudian
dipotong ekornya menjadi hanya Maspion. “Sekarang
nama Maspion malah jadi hoki. Oleh karena buntutnya
dipotong, malah jadi manusia sempurna ... hahaha,”
kata si sulung, Alim Markus yang panjang akal kemu­
dian sangat bangga menemukan makna yang pas untuk
Maspion. M=Mengajak A=Anda S=Selalu P=Percaya
I=Industri O=Olahan N=Nasional.
Hoki keluarga Alim tampak dimulai dari tangan
Markus yang pada 1971 diberi jabatan sebagai Direktur
Utama sampai sekarang. Pria tidak tamat SMP ini me­
mang sudah terlibat sejak remaja, mulai dari cleaning
services, administrasi, bagian keuangan, hingga menjual
lampu-lampu itu. Di angannya, Maspion Group ber­
ekspansi ke segala lini, beranak pinak menjadi lusinan
perusahaan yang terbagi atas lima hingga tujuh bisnis
andalan. Mulai dari bisnis utama produk kebutuhan
Bagian 6 – Cinta Itu Dampaknya Luar Biasa

ibu rumah tangga, seperti panci teflon, termos plastik,


kulkas, kompor gas, pompa air, dan kipas angin sam­
pai bidang konstruksi material, properti hingga sebuah
Kawasan Industri Maspion di Surabaya seluas 100 hek­
tar. Ini belum termasuk sejumlah bisnis jasa keuangan
dan perusahaan patungan dengan investor asing. Di
luar urusan bisnis ini, Markus yang masih suka bermain
tenis meja sejak muda menjadikan olahraga sebagai
program wajib bagi para pekerja Maspion. Pada 2007,
keluarganya sudah menikmati status baru sebagai satu
dari 40 orang kaya di Indonesia dengan taksiran ke­
kayaan USD 100 juta dolar.
Menonjolnya Maspion sebagai merek lokal domi­
nan untuk perkakas rumah tangga adalah buah cerdik 189
Markus seperti dikatakan pakar pemasaran AB Sutanto.
Markus merangkul sejumlah produsen top asing un­
tuk membangun pabrik di Indonesia dengan tujuan
awal sebagai strategi co-branding. Alih-alih menutupi
kekurangan dalam teknologi, cara ini kemudian juga
ampuh untuk mengatasi masalah akut orang Indonesia
yang lebih “lupa daratan” dengan produk asal luar
negeri. Misalnya, Teflon by Dupont, stiker ini menem­
pel di peralatan rumah tangga produksinya. Markus
sering bepergian ke luar negeri mendekati manufaktur-
manufaktur besar macam Samsung, Marubeni, dari
Jepang, Dupont, dan Ishizuka. Mereka-mereka ini di­
ajak membangun pabrik baru dengan pembagian
porsi saham yang sama. Karenanya, sampai sekarang
Markus masih enggan menjadi agen penjual bagi
produk asing, dan lebih memilih pola patungan itu.
Produk-produk semi asing itu dibungkus oleh slogan
“Cintailah Produk-Produk Indonesia” yang sejak lama
dipakai Markus mengampanyekan Maspion. Dia kerap
kali memerankan sendiri iklan-iklan produk-produk
Maspion di televisi—terakhir dengan Titiek Puspa.
Berbagai masalah justru banyak dijumpai pria yang
selalu menjadi inspektur upacara peringatan 17 Agustus
di kantornya ini setelah reformasi. Imbas pertama
kali dirasakan saat Markus berada di China pada 13
Mei 1998, ketika sentimen rasis antiwarga keturunan
Tionghoa memuncak dengan aksi penjarahan mulai dari
Jakarta, Surabaya hingga kota kecil di Solo. Keluarga
dan pabrik-pabriknya di Jawa Timur ikut terancam.
“Saya satu-satunya konglomerat yang kembali (dari luar
M. MA’RUF

negeri) saat kerusuhan Mei 1998” kata dia.


Demikian pula dengan 30.000 karyawan, sejak
reformasi Markus kerap menyantap sarapan pagi
dengan pemandangan demonstrasi buruh yang menuntut
kenaikan upah minimum. Para buruh semakin rajin
190 menggelar demo untuk menuntut kenaikan upah setiap
tahun—kadang berlangsung ricuh. Markus pernah di­
kepung 15.000 karyawannya yang menuntut kenaikan
gaji, dengan hanya dikawal empat polisi. Akibat krisis
1998, Markus menutup 5 dari 63 pabrik Maspion. Se­
telah itu, banjir produk-produk China yang lebih murah
dengan cepat membenamkan produk Maspion di pasar
internasional, bahkan di dalam negeri.
Sepeninggalan Alim pada 2003, Maspion seperti
ayam kehilangan induk. Tiga adik Markus, yakni Alim
Mulia Sastra, Alim Satria, dan Alim Prakarsa konon kerap
dilaporkan pasang kuda-kuda terhadap kakak tertuanya
itu. Mereka acap membuat pembagian kekuasaan di
sejumlah perusahaan sehingga aliran kebijakan yang
digariskan Markus menjadi macet. Atas masalah ini,
Markus memperketat keputusan soal pengeluaran dana
hanya melalui dirinya. Pasca wafatnya Alim, sebanyak
90% saham perusahaan dibagikan kepada anak-anak­
nya dan sisanya milik kolega Alim, Gunardi.
Markus pernah dijadikan tersangka dan dijeblos­
kan ke penjara pada kasus bank gelap, gara-gara dia
meminta jaminan atas barang yang dibeli distributor.
Dua belas orang pejabat dan tokoh masyarakat mulai
Bagian 6 – Cinta Itu Dampaknya Luar Biasa

dari CEO Jawa Pos Dahlan Iskan hingga Wakil Presiden


Jusuf Kalla ikut menjamin agar penahanan dirinya di­
tangguhkan. Kasus selesai dengan dakwaan yang gugur.
Markus yang kelahiran Surabaya, 24 September 1951
ini menikahi Sriyanti dan dikaruniai tujuh anak. Pada
waktu Abdurahman Wahid menjadi presiden, dia mulai
menyukai politik. Dalam masa kepemimpinan tokoh NU
ini, dia pernah diminta menjadi penasihat pre­siden.
Sekarang, dia bersama konglomerat Liem S. Liong
(Indofood Grup), keluarga Eka Cipta (Indah Kiat Grup),
disebut-sebut menjadi penyokong dana Susilo Bam­bang
Yudhoyono dalam pemilihan presiden 2009.[]

191
Log Zhelebour Production

Idealisme dan Komersialisme


Rupanya Bisa Akur

R ock never die! Ong Oen Log memiliki cara unik


mewujudkan musik rock sebagai mata rantai uta­
ma sejarah perkembangan industri musik Tanah Air.
Bukan dengan kemampuannya bermusik cadas—dia
bukan vokalis bersuara emas, dan bahkan tidak begitu
mahir alat musik—melainkan dengan sebuah mesin tik
tua, sepeda motor butut, dan sebuah idealisme rock.
Kecintaan musik rock itu diperoleh secara amatiran
oleh Ong muda ketika duduk di bangku SMP Pirngadi
urabaya. Tetapi, pria yang lebih memilih bermain saham
ketika order perhelatan musik rock sepi ini memulai
kariernya sebagai promotor kecil-kecilan setelah mena­
matkan seragam abu-abu di St Louis Surabaya, pada
1977. Mula-mula adalah promotor kecil-kecilan untuk
musik disko yang sedang populer pada awal 1970-an.
Sukses di situ, dia semakin bergairah ketika musik cadas
mulai meredupkan pamor disko. Log mendirikan Log
Zhelebour Production, sesuai dengan nama barunya.
Sebuah nama julukan oleh orang-orang yang melihat
penampilannya cukup selebor—dalam berbagai kesem­
patan cenderung cuek dengan kaos dan celana pendek.

192
Dengan penampilan seperti itu, Log tetaplah tipe
orang yang bisa meyakinkan orang lain. Termasuk
sponsor, tentang usahanya mementaskan musik rock
yang digandrungi anak muda tetapi rawan kerusuhan.
Promosi berbagai produk yang waktu itu dilakukan
hanya sebatas melalui radio dan spanduk. Tetapi ide-
ide segar bisa menyulap keterbatasan media promosi—
waktu itu TVRI tidak memiliki jam tayang iklan—dengan
pelbagai desain iklan dan cara berpromosi yang heboh
dan gila. Di belakang gemerlap panggung, dia memiliki
ide-ide brilian menyusun konsep pagelaran, menguasai
seluk-beluk pertunjukan mulai dari tata panggung,
sound system, lighting, hingga keluwesan melobi semua
lapisan, mulai dari pejabat untuk izin keamanan sampai
perusahaan besar sebagai sponsor. Pengamat musik
Remy Soetansyah yang pernah diundang Log sebagai
juri Festival Rock Indonesia, menyebut Log adalah pria
yang bisa melakukan apa yang tidak bisa dilakukan
promotor musik rock lain. Dia single fighter yang punya
kemampuannya komplet dan karenanya tidak terlalu
bergantung kepada orang lain, pun tidak memedulikan
apa kata orang. Bakat Log adalah intuisinya yang sangat
Bagian 6 – Cinta Itu Dampaknya Luar Biasa
tajam mengenai calon-calon rocker yang bisa diterima
penggila musik cadas.
Awal sukses karier profesional Log dimulai ketika
menjadi promotor festival rock bertajuk Rock Power
pada 1979 yang menampilkan grup rock papan atas
waktu itu, seperti SAS asal Surabaya dan Super Kid
dari Bandung. Sesekali dia menyeponsori penyanyi
rock wanita seperti Euis Darliah, Sylvia Saartje, dan
melambungkan nama Farid Harja. Cara-cara sporadis
ini kurang greget, karena hanya memberi peluang pada
calon-calon rocker potensial yang dia kenal.
Log kemudian menemukan gagasan yang lebih besar,
setelah mengetahui banyak suara emas dan band-band
tanggung di daerah-daerah yang tidak terangkat sebab 193
tidak diketahui orang. Diusunglah Festival Music Rock,
yang bisa menyatukan bisnis pertunjukan sekaligus
idealisme musik rock. Konsep itu sangat matang dan
bervisi panjang. Ajang itu didesain bagi grup rock pe­
mula yang belum sempat mendapat kesempatan tampil
ke permukaan dalam skala nasional. Mereka itulah
nanti yang menjadi pendatang baru, dan lalu menjadi
objek bisnis yang lebih besar. Semacam kawah candra
dimuka.
Festival perdana itu cukup megah, dengan dukung­
an sound-system Lasika—waktu itu sudah paling keren.
Log berhasil menggaet sponsor utama produsen rokok
Djarum. Meyakinkan bahwa produk rokok itu sangat
cocok dengan imej pagelaran. Sebagai kompromi, panitia
mewajibkan peserta membawa sebuah lagu pilihan dan
lagu wajib jingle Djarum Super. Perhelatan ini sukses
besar dan berlanjut dengan seri festival berikutnya di lo­
kasi yang berbeda. Ini mengundang berbagai promotor
baru menyelenggarakan festival serupa, entah itu rock,
dangdut atau pop. Tetapi, Log tampak paling konsis­
ten di jalur rock dan secara berkala menggelar konser
itu, sementara yang lain, timbul tenggelam. Berbagai
penghargaan disematkan sejak pertama kali diadakan,
seperti durasi 15 jam konser nonstop, dan panggung
terbesar sepanjang sejarah pertunjukan musik rock di
Indonesia waktu itu, 50 x 12 meter.
Festival itu amat menjanjikan dengan iming-iming
hadiah, kontrak album rekaman dan album kom­
pilasi 12 finalis, serta kontrak tur 20 kota dan masuk
dalam manajemen Log selama lima tahun. Pada penye­
M. MA’RUF

lenggaraan 2004, ada 800 peserta yang ma­suk kualifikasi


dari pelbagai provinsi. Namun, ajang ini sempat vakum
karena krisis ekonomi 1997, dan dukungan dana Djarum
terhenti setelah festival 2004. “Aku sudah tua, sudah
capek. Ini festival rock yang terakhir,” kata Log kala
194 itu. Tetapi rock never die, dan Log menjilat ludahnya
sendiri ketika disodori saingan Djarum, Gudang
Garam menggelar festival rock pada 2007. Dia kembali
menggagas kompetisi rock dengan titel “Gudang Garam
Rock Competition” di 15 kota dengan format yang
masih sama seperti ketika disponsori Djarum. Tetapi
Log yang semakin tua dan munculnya genre musik baru,
lambat laun menenggelamkan festi­val rock.
Dalam perjalanan konser-konser itu, lahirlah bisnis
kedua Log sebagai produser musik-musik cadas. Dapur
rekaman Log sendiri sudah mengepul sejak 1987 ketika
bertindak sebagai executive producer rekaman group
rock ternama dan melegenda, God Bless, dengan album
Semut Hitam. Setahun berselang Log mendirikan Logiss
Record yang didirikannya bersama rekannya dari Indo
Semar Sakti. Contoh nyata pertama adalah grup band
Elpamas yang di kemudian hari populer dengan hit Pak
Tua. Grup itu awalnya adalah sekumpulan anak muda
pemusik dangdut tingkat rukun tetangga di Kabupaten
Malang pada 1983. Ketika Log menyelenggarakan festi­
val perdananya ini di lapangan sepakbola 10 November,
Tambaksari, Surabaya, pada 1984, Elpamas cukup ter­
giur dengan hadiah Rp 3 juta. Hasilnya mereka hanya
Bagian 6 – Cinta Itu Dampaknya Luar Biasa

menyabet juara ketiga, tetapi belakangan justru lebih


terkenal. Setelah Elpamas, para penggila rock era 1990-
an akan sulit menemukan band-band cadas yang tidak
keluar dari school of rock ala Log itu.
Tentunya hampir sulit mengingat band-band yang
kemudian meraih sukses di blantika musika tanpa peran
Log. Sebut saja Power Metal, Boomerang, Elpamas,
Kobe, Jamrud, Slank, dan rocker wanita Mel Shandy,
serta Nicky Astria. Beberapa di antaranya ada yang
hingga kini berada di bawah manajemen Log, tetapi
banyak yang memilih berdiri sendiri.[]

195
Sedikit
Rahasia itu
Perlu

bagian 7
Wings

Stt... Ada Katuari di


Dalam Sabunmu

B ila ada lomba konglomerat Indonesia yang paling


pintar menyembunyikan diri, pastilah keluarga
Katuari masuk di dalamnya. Untung saja ada majalah
Forbes yang memberitakan bahwa pundi-pundi kekaya­
an keluarga Eddy William Katuari pada 2008 sudah
cukup mengganti separuh dana belanja Pemda DKI
Jakarta tahun ini. Dan meskipun tsunami finansial
telah membuat banyak aset-aset orang tajir di negeri ini
mengerut, nama Eddy—generasi kedua Grup Wings—
malah naik ke peringkat tujuh orang paling berduit di
negeri ini pada 2009 dengan jumlah kekayaan lebih
dari USD1 miliar, setingkat di bawah Menteri Aburizal
Bakrie.
Bak sebuah misteri, hanya publikasi aset-aset dan
aksi-aksi korporasi Grup Wings yang menjadi moncong
berita bagaimana kisah sukses ayah Eddy, Johannes
Ferdinand Katuari alias Oen Yon Khing dan koleganya
Harjo Sutanto menjadi juragan sabun. Lebih-lebih, baik
Katuari maupun Harjo sama sama luput dari media
waktu krisis moneter 1997. Tidak seperti taipan-taipan
lain yang silih berganti menjadi selebriti media, karena

198
terlilit utang segunung BLBI (Bantuan Likuditas Bank
Indonesia). Yang diketahui adalah informasi sangat
standar bahwa brangkas uang Katuari itu mulai diisi
dengan susah payah pada 1984. Usaha patungan Katuari
dan Harjo itu adalah pabrik skala rumahan yang tidak
diketahui banyak orang memproduksi sabun colek yang
dipakai warga Surabaya waktu itu. Tidak heran, karena
memang lokasi pabrik FA Wings itu begitu terpencil, di
daerah pinggiran kota Surabaya.
Kisah yang masih menjadi misteri sampai sekarang
adalah cara kedua orang itu mengetahui proses ilmu
mengolah sodium carbonate atau soda abu itu menjadi
barang berharga lebih mahal. Tampaknya, mereka ber­
sepakat konsumen hanya perlu tahu bahwa sabun cuci
baru itu diproduksi oleh FA Wings, titik. Mula-mula
sabun colek itu dijual dari pintu rumah satu ke pintu
yang lain, warung-warung kecil di pinggir jalan dan
kemudian diterima oleh agen-agen pasar. Sabun cuci
itu laku keras dan segera diterima oleh konsumen Kota
Pahlawan. Kesuksesan ini membuat Katuari dan Harjo
bersemangat membuat jenis-jenis sabun baru.
Tiba-tiba, pada 1950, Wings mengagetkan raksasa
di bidang produk konsumen, Unilever, setelah merilis
sabun mandi merek GIV. Sabun itu langsung populer
Bagian 7 – Sedikit Rahasia itu Perlu

untuk kalangan masyarakat berkantong tipis, lantaran


harga yang lebih murah. Sampai-sampai kalau orang
mandi, yang diingat adalah GIV. Meski sampul kotak
sabun itu bergambar gadis cantik yang tersenyum, lam­
bat laun orang-orang tua tidak peduli bahwa itu adalah
sabun kecantikan. Anda tentu pasti ingat, bagaimana
dulu Lidya Kandau dan kemudian Sophia Latjuba di
televisi mengaku kecantikan kulitnya karena mandi
dengan sabun itu. Berbagai gebrakan promosi lewat
iklan oleh artis-artis yang menggoda, serta kontes-
kontes kecantikan digelar oleh manajemen Wings untuk
menaikkan imej sabunnya. 199
Bagi Zeepfabrieken N.V Lever—Unilever Indonesia
yang didirikan pada 5 Desember 1933—tindakan itu
seperti undangan untuk berperang. Tak rela para gadis
direnggut GIV, Unilever belakangan membayar mahal
Tamara Bleszynski dan Dian Sastro sebagai bintang iklan
sabun Lux. Menyusul kemudian, sejumlah artis cantik
yang sedang naik daun. Berbagai varian produk sabun
Lux mulai dari sabun yang tampak belang-belang oleh
daun mawar, sampai sabun Lux versi cair diluncurkan.
GIV pun kelabakan.
Tetapi sesungguhnya ini adalah pertempuran sabun
mandi antara David dan Goliath. Unilever Indonesia
adalah anak usaha Unilever Internasional, sebuah per­
usahaan raksasa pembuat sabun dari daratan Ratu
M. MA’RUF

Elizabeth, Inggris. Sabun Lux itu sudah diperkenalkan


oleh Lever bersaudara di Inggris pada 1925. Empat
tahun berselang, mereka juga sudah memperkenalkan
selebritis nan aduhai Leela Chitnis sebagai duta Lux di
India. Malah di Amerika, sejak 30-an, sudah lebih dari
200 400 aktris ternama Hollywood seperti Jennifer Lopez,
Elizabeth Taylor, Demi Moore, sampai Marilyn Monroe
yang dibayar untuk memeragakan mandi dengan sabun
Lux di televisi dan koran.
Namun, tidak sedikit pun kebesaran Unilever itu
membuat ciut nyali pengusaha nusantara ini. Adu ke­
cantikan dalam iklan antara Sophia dengan Tamara
bahkan tidak berlangsung hanya di layar gelas Indonesia
saja. Arena perang bergeser sampai ke negeri Vietkong,
di mana Anda akan menjumpai “Miss GIV”. Sementara
deterjen-deterjen Wings merek Glu beredar Filipina,
Kamerun, dan Gabon. Wings memang telah menjual
produknya ke puluhan negara melawan gurita Univeler
yang mungkin ada di seluruh planet bumi.
Seperti memiliki napas yang panjang, Wings berani
mengajak Unilever berlari maraton. Setelah GIV versus
Lux, Nuvo diadu dengan Lifebuoy, deterjen So Klin
menantang Rinso, serta Daia berhadapan dengan Surf,
atau So Klin Pewangi menggerogoti Molto. Untuk
barisan pasta gigi, Wings meluncurkan Smile-Up guna
merebut pasar pasta gigi anak muda yang diawali
Close Up, serta Kodomo versus Pepsodent Junior. Di
mana ada Unilever di situ Wings siap mengadang. Bagi
Unilever, keberadaan Wings tampak seperti serangan-
serangan tidak kenal lelah yang dialaminya di tanah
Bagian 7 – Sedikit Rahasia itu Perlu

hindustan India. Yaitu sebuah perusahaan lokal Nirma


Ltd. yang sering membuyarkan penetrasi produk-produk
Hindustan Lever di sana.
Kedigjayaan Wings sendiri tidak diperoleh dari
langit dan ilmu-ilmu manajemen yang canggih, tetapi
lebih tampak karena keluarga Katuari memakai taktik
dan strategi perang dalam melawan Unilever. Dengan
diam-diam Wings menyergap segala macam peluang
untuk menguasai sumber-sumber bahan baku dan me­
miliki jalur distribusi sendiri. Bila perlu sama sekali
tidak bergantung kepada orang lain, termasuk urusan
pembuatan kotak sabun. Taktik ini telah dimulai pada 201
1983, ketika Ferdinand dan konglomerat Sudono Salim
beserta sejumlah investor mendirikan pabrik Unggul
Indah Cahaya, satu-satunya produsen alkylbenzene—
bahan baku aktif pembuat deterjen. Kongsi antartaipan
ini dilanjutkan oleh generasi berikutnya, antara anak
Ferdinand dan anak Salim yang membeli Ecogreen
Oleochemical, produsen bahan baku industri perawatan
tubuh, sabun dan deterjen, makanan, plastik, farmasi,
dan berbagai industri lain yang terbesar di dunia.
Ketika Orde Baru masih jaya, keluarga Ferdinand
seperti tenggelam di bawah pamor Salim yang menguasai
hampir semua bisnis. Tetapi, waktu berjalan dan balon
Orde Baru yang meledak pada 1997 merontokkan buah
durian untuk jatuh ke pangkuan keluarga Katuari. Kris­
mon memorakporandakan bisnis keluarga Salim, yang
kemudian hanya mampu menyelamatkan Indofood.
Setelah Salim ambruk, Wings sigap menubruk peluang
itu dengan merangkul Grup Lautan Luas dan produsen
rokok Djarum—milik keluarga Hartono—menguasai
Ecogreen Oleochemical. Tampak sebagai bagian yang
tidak terpisahkan dari strategi perang itu, keluarga
Hartono dan Katuari kemudian disatukan oleh pertalian
darah. Belum lama putri Eddy, Grace L. Katuari meni­
kah dengan Martin B. Hartono, generasi ketiga pemilik
Djarum. Suatu pernikahan yang oleh media waktu itu
dilukiskan bukan hanya sekadar urusan cinta, melainkan
kolaborasi imperium sabun dan rokok kretek.
Ferdinand meninggal pada awal 2004 pada usia 90
tahun, setelah merayakan pesta perkawinan intan—60
tahun—dengan istri tercintanya, Lanny Hartati. Dia
M. MA’RUF

meninggalkan lima anak, dengan Eddy sebagai putra


mahkota. Uniknya, dunia boleh berubah tetapi sikap
diam seribu bahasa tetaplah menjadi tradisi Wings yang
dipegang erat oleh Eddy sampai sekarang. Ketertutupan
itu tidak hanya ditunjukkan oleh sikap Eddy yang meng­
202 hindari ingar bingar publisitas, tetapi sampai pada lokasi
pabrik Wings yang dirahasiakan.
Siapa nyana kalau se­buah
pabrik di daerah Kebraon
Surabaya itu adalah home base
PT Karunia Alam Semesta,
anak usaha Wingfood yang
memproduksi mi instan me­
rek Mie Sedap yang meng­
hebohkan itu? Orang-orang
di luar daerah itu tidak akan
tahu bahwa pabrik yang
hanya bertuliskan KAS28
itu adalah tempat meracik
mi baru penantang raja mi
Indofood.
Menutut Eddy, yang lu­
lusan Fakultas Teknik Mesin
Institut Teknologi Surabaya,
soal pabrik yang hanya memasang papan nama itu
memang sengaja ditulis dengan singkatannya saja; KAS
kepanjangan dari Karunia Alam Semesta. Ini agar tamu
yang datang memang benar-benar tetamu Wings. “Ini
karena amanat dari almarhum Papa saya, tidak perlu
publikasi,” papar Eddy membuka teka-teki di balik pu­
luhan tahun kerahasiaan Wings.
Bagian 7 – Sedikit Rahasia itu Perlu

Kerahasiaan itu memiliki banyak dampak positif.


Dalam perjalanannya, keretakan dapur Wings, mulai
dari pabrik hingga ruang-ruang keluarga tidak pernah
diketahui publik. Kalau ada masalah, semuanya dise­
lesaikan dengan cara-cara kekeluargaan tanpa perlu
pihak berwajib, apalagi ikut campur kuli tinta. Sebuah
contoh adalah kasus yang tidak terungkap ke publik,
dikenang oleh mereka sebagai So Klin Gate pada 1996.
Waktu itu berpalet-palet So Klin—satu palet berisi 125
dos—hilang dari gudang yang tidak ditutup permanen.
Kehilangan ini tidak diketahui berbulan-bulan, karena
sistem pengecekan stok barang belum dilakukan secara 203
real time. Setelah diketahui ada kehilangan, usut punya
usut pelakunya adalah karyawan pabrik sendiri yang
memanfaatkan sebuah lubang di tembok gudang yang
ditutup tidak permanen. Tetapi manajemen tidak lang­
sung memecat pelaku, tetapi menyelesaikan secara ke­
keluargaan. Hasilnya; tidak banyak yang tahu.
Sampai sejauh ini, hampir tidak ada gosip miring
mengenai keretakan antarkeluarga, termasuk dengan
keluarga Harjo. Mungkin pesta pernikahan Grace saja
yang pernah menjadi berita paling besar dari keluarga ini.
Semuanya tampak damai dan tenteram, tanpa persoal­
an. Amanah untuk diam ini pula yang mungkin justru
menyelamatkan keluarga Katuari dari sentimen anti-
Tionghoa pada Mei 1998 yang mengakibatkan banyak
aset-aset taipan Tionghoa dijarah massa. Selebihnya, si­
kap diam itu pula yang sering membuat para konglome­
rat lain tidak bisa tidur nyenyak dan sering kelabakan
bila ada produk baru Wings. Terakhir, mereka membuat
jantung keluarga Salim Group berdegup kencang, se­
telah Mie Sedap lambat laun menggerogoti penjualan
Indomie, Sarimi, dan Supermi milik Indofood.[]
M. MA’RUF

204
Mitra Adiperkasa

Siapa Kami,
Bukan Urusan Anda

K etika pertama kali mencoba bisnis ritel modern,


Boyke Gozali tidak langsung ber­hasil. Gerai Lotus
Department Store miliknya yang dibuka pertama kali
tahun 1990-an di Jalan Hayam Wuruk, Jakarta Pusat—
terletak di gedung dengan Grup Gajah Tunggal—ti­dak
laku, dan akhirnya ditutup. Boyke kemudian bang­
kit dengan mengibarkan bisnis ritelnya lewat Java
Retailindo. Tetapi, prestasi penjualan gerai barunya ini
juga biasa-biasa saja.
Loncatan be­sar dimulai ketika Boyke membangun
Plaza Indonesia, tem­­pat belanja ber­gengsi untuk orang-
orang berduit Jakarta,
di bundaran Hotel
Indonesia, tepat di
jantung Ibu Kota. Pusat
perbelanjaan mewah ini
menempati area mahal
seluas 62.747 meter
persegi dengan empat
lantai area ritel, satu
lantai perkantoran dan
lantai parkir di bawah

205
gedung. Plaza Indonesia itu terhubung dengan Hotel
Grand Hyatt Jakarta. Sejak dibuka, pusat perbelanjaan
ini mempunyai dagangan dari berbagai label fesyen
internasional, dan restoran kelas atas. Penyewa pertama
adalah ritel waralaba kelas premium dari Jepang, Sogo
Department Store, yang lisensinya tidak lain dimiliki
paman­nya sendiri, Sjamsul Nursalim, si konglomerat
pemilik pabrik ban Gajah Tunggal.
Mula-mula ini sebe­narnya adalah usaha menyi­
nergikan bisnis antara ke­ponak­an yang me­nye­wakan
tempat untuk bisnis ritel milik pamannya. Sjamsul dan
istrinya, Itjih Nursalim waktu itu sudah menggenggam
lisensi Sogo ketika Boyke mulai merintis bisnisnya. Sogo
adalah gerai belanja paling dicari karena menyediakan
pelbagai sandang merek-merek premium, pembawa tren
baru. Separuh dagangannya adalah pakaian-pakaian
jadi orisinal bermerek yang didatangkan langsung dari
luar negeri. Gerai-gerai eksklusif dengan interior modern
menjadi tempat wanita-wanita shopaholic memuaskan
nafsu belanja. Lebih dari 500.000 orang wira-wiri setiap
bulan di setiap gerai Sogo yang membuatnya mampu
menjadi anchor tenant di sejumlah mal dan pusat
perbelanjaan yang ditempati.
Sementara itu, keluarga Gozali diketahui mendirikan
perusahaan ritel baru yang dinamai Mitra Adiperkasa
(MAP) pada 23 Januari 1995. Perusahaan ini adalah
kendaraan yang dipakai Boyke yang tampak meniru
kesuksesan pamannya membesut Sogo, tetapi lebih
mengkhususkan diri sebagai pembeli hak distribusi
merek-merek premiun dari luar negeri. Awalnya barang-
M. MA’RUF

barang yang sudah dibeli lisensinya dititipkan di Sogo,


dan ketika sudah memiliki pelanggan fanatik, melepaskan
diri menjadi gerai-gerai khusus yang terpisah. Cara-cara
ini dipakai MAP untuk mendirikan gerai khusus produk-
produk seperti Mark & Spencer dan Nautica, yang dulu
206 hanya “dititipkan” di Sogo dan Sports Station.
Beberapa lisensi merek fesyen
terkenal, seperti Giorgio Armani,
Mark & Spencer, Zara dibeli. Jaring­
an ritel produk anak-anak OshKosh
B’Gosh juga di­kendalikan MAP,
termasuk di antaranya memegang
lisensi karakter Barbie, Batman dan
Superman (Warner Brothers) dan
Baby Looney. Tidak luput, merek-
merek terkenal seperti Bandai,
Konamu, LeapFrog, Mega Bloks,
MGA Entertainment, Nikko,
Smoby, Takara, Tomy, Toybiz, dan
Wild Planet. Kehadiran Debenhams
adalah bukti kejelian MAP. Ketika
jaringan department store asal
Inggris itu mengumumkan ekspansi
ke ber­­ba­gai penjuru dunia yang
ekonominya sedang tumbuh—Indonesia masuk dalam
daftar itu—MAP langsung mengajukan diri. Seperti
di negeri asalnya, gerai Deben­hams di Indonesia ini
juga menjajakan merek eksklusif desainer Debenhams.
Misalnya, J besutan Jasper Conran, Star buatan Julien
Macdonald dan Antoni+Alison. Lain lagi cerita jaringan
Bagian 7 – Sedikit Rahasia itu Perlu

ritel sport MAP yang merajalela tanpa saingan; Planet


Sports, Athlete’s Foot, dan Sports Station. Divisi ini
menjual berbagai kebutuhan olahra­ga kelas premium,
seperti Reebok, Nike, Puma, Speedo, Adidas, Guess,
Elesse, Converse, Casio’, G-Shock, Eastpack, Jansport,
dan Kipling (adventure bag dan rucksack). Bahkan,
mereka mendirikan gerai khusus untuk perlengkapan
golf.
Namun, yang tak bisa dikesampingkan adalah
jaringan kafe asal Amerika Serikat yang kini digilai
penikmat kopi, Starbucks. Konon, MAP harus merogoh
kocek hingga USD 2 juta sebagai biaya di muka untuk
207
membeli hak ekslusif penjualan kopi Starbucks di
Indonesia. Ide menggaet kedai kopi modern ini bermula
ketika Boyke masih berada di Amerika. Tetapi, itu tidak
didapat dengan mudah karena Boyke dan koleganya,
Matheus Rukmasaleh Arif butuh lima tahun untuk
merayu kantor pusat Starbucks merelakan gerainya
dibuka di Indonesia. Sejumlah prosedur dan persyaratan
berat dilalui. Mulai dari mempresentasikan rencana
bisnis, hingga menyekolahkan sejumlah karyawannya
untuk menimba ilmu kopi. Meski sulit, tidak lama setelah
dibuka, gerai kopi itu sudah menjamur di sejumlah
kota besar di Indonesia, dan beromzet puluhan miliar
rupiah.
Pada akhir Mei 2009, total gerai MAP sudah
men­capai 683 yang tersebar di seluruh Indonesia dan
melenggang sendirian untuk gerai-gerai fashion &
lifestyle (194 gerai), sports (305 gerai), kids (51 gerai),
Starbucks Coffee (74 gerai), department stores kelas atas
(10 Sogo, 2 Debenhams, satu Seibu, dan satu Harvey
Nichols). Seabrek gerai itu telah memosisikan MAP
sebagai agen bisnis di balik layar trendsetter di Tanah
Air. Mulai dari tren memilih sandang, menikmati waktu
dengan secangkir kopi, menikmati makanan cepat saji,
mencari perlengkapan olahraga, sampai menemukan
stick golf yang dipakai pegolf dunia Tiger Woods. Gurita
bisnis dengan omzet triliunan rupiah ini terbagi menjadi
tiga lini utama, yaitu ritel, distribusi, dan manufaktur
yang sedikitnya melibatkan 30 manajer andal.
Bagaimana keluarga Gozali memiliki supermarket
khusus terbesar ini masih simpang siur sampai seka­rang,
dan lebih banyak diketahui dari sepak terjang Sjamsul
M. MA’RUF

dan Itjih Nursalim. Kontroversi oleh media-media


tidak pernah lepas, karena sosok Sjamsul yang menjadi
pesakitan akibat krisis moneter 1997. Taipan pemilik
Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI)—yang ter­
kena likuidasi saat krisis 1997—itu adalah debitor
208 besar Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Utangnya pada negara mencapai Rp 27,4 triliun—
sejumlah sum­ber menyatakan jumlahnya membengkak
dua kali lipat karena tidak kunjung dibayar. Banyak
yang percaya, MAP adalah muslihat Sjamsul menyimpan
harta karunnya dari sitaan negara.
Walaupun Boyke Gozali adalah aktor utama yang
menggelembungkan bisnis ini, tetapi jejak pamannya itu
tidak pernah bisa dihapus bahkan sejak tahun pertama
MAP berdiri. Dokumen-dokumen kepemilikan yang
tebal seperti telah diupayakan untuk menghapus jejak
Sjamsul dengan serangkaian peralihan nama pemilik.
Setelah setahun berdiri, MAP dilaporkan telah dibeli
oleh perusahaan yang mengusung Sogo Departemen
Store milik Sjamsul dan istrinya, bernama Panen Lestari
Internusa. Dalam perusahaan itu, Itjih tercantum sebagai
Direktur Utama, Juliana Gozali sebagai Direktur, dan
Sjamsul sebagai Komisaris Utama. Baik ketika mengusung
bendera Sogo Lestari Indonesia maupun Panen Lestari
Internusa, dokumen perusahaan menyebutkan alamat
pendirian perusahaan itu sama. Yaitu sebuah rumah
mewah milik Sjamsul di kawasan Simprug, Jakarta
Selatan. Hal ini kemudian berulang kali diumbar media
masa setelah Artalita Suryani alias Ayin dan Jaksa Urip
Tri Gunawan ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi
Bagian 7 – Sedikit Rahasia itu Perlu

(KPK), awal tahun lalu.


Seiring santer berita mengenai BLBI, sejak awal
milenium, nama Sjamsul dan Itjih perlahan-lahan dicuci
dari dokumen legal perusahaan. Mula-mula MAP dijual
kepada Aghadana Sentosa dan Satya Mulia Gema
Gemilang pada 2001 yang tidak menyisakan nama
Sjamsul dan Itjih. Tetapi dalam daftar pemilik baru itu
muncul nama keluarga Kolonas yang pernah tercatat
sebagai pendiri MAP. Hany saja, kepemilikan saham yang
dipecah-pecah seperti kepingan puzzle ini lambat laun
terangkai utuh setelah Boyke membeli saham Aghadana
Sentosa pada 2002. Lalu dia menjualnya kembali tahun 209
2004 pada PT Map Primier Indonesia. Penjualan ini
adalah pat gulipat kepemilikan dalam kertas, karena
sebelum menjualnya, Boyke adalah pejabat eksekutif
di Map Primier dan Satya Mulia. Setali tiga uang, dua
perusahaan itu disebut-sebut sudah dipersiapkan Sjamsul
dan Itjih untuk menampung saham yang digelontorkan
dari MAP.
Bolak-balik kepemilikan ini menjadi santapan
empuk media. Setiap kali MAP membeli lisensi baru,
selalu saja dikait-kaitkan utang-utang Sjamsul. Majalah
Tempo mungkin satu di antara media investigasi yang
berulangkali membuat taipan ini gerah. Salah satunya
ketika MAP membuka gerai Starbucks di salah satu sudut
Plaza Indonesia. Tempo Edisi 05/XXXI, 1 April 2002
menelusuri berita harian Singapura The Straits Times
yang menulis “Taipan ban Sjamsul Nursalim tengah
tercekik utang, tapi itu tak menyetop rencana pembelian
franchise Starbucks di Indonesia. Berita serupa dilansir
keesokan harinya oleh kantor berita Bloomberg dan
terjadi heboh di Tanah Air. Kuping orang Indonesia te­
rasa panas, karena pada saat yang sama Sjamsul tak kun­
jung melunasi utang-utangnya kepada negara. Sjamsul
yang telah lama di Singapura menjadi bulan-bulanan
media.
Tetapi pelbagai kontroversi seputar kepemilikan
MAP itu tidak lantas membuat buruk penjualan. Anjing
menggonggong kafilah tetap berlalu, bisnis ritel itu
malah maju pesat.[]
M. MA’RUF

210
Ceres

Darah Kami Cokelat

M C Chuang mungkin salah satu orang pa­ling


beruntung ketika Jepang menduduki Indonesia
pada 1942 dan membuat ribuan orang Belanda yang
lahir dan besar di sini lari tunggang langgang ke negeri
asalnya. Mereka yang tidak ingin ditawan secepatnya
pergi tanpa memedulikan lagi jutaan gulden pundi-
pundi kekayaan yang telah dikumpulkan dalam ratusan
tahun. Salah satunya adalah seorang belanda yang tidak
diketahui namanya, pemilik pabrik cokelat skala rumahan
di Garut bernama NV Ceres, yang menjual pabriknya
dengan diskon besar kepada Chuang. Chuang, tidak
menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Kisah jual beli itu
adalah awal bagi keluarganya menjadi produsen cokelat
nomor tiga di dunia, hanya kalah dari Mars Group dan
Hershey. Tetapi bagaimana Chuang dari Garut menjadi
konglomerat cokelat dunia adalah sebuah ikhtiar unik
tanpa henti dan keberuntungan.
Sampai sekarang, masih ada yang memperdebat­
kan apakah Chuang merupakan taipan keturunan
Thionghoa atau Burma. Dia memang tidak diketahui
asal-usulnya dan sampai akhir hayat—tidak diketahui

211
pasti kapan dia meninggal kecuali disebut-sebut tahun
1990-an—Chuang nyaris tidak tampil di depan media.
Para karyawan hanya bisa mengenang Cuang dengan
menatap patungnya yang terpaku menghadap tangga
di lobi gedung kantor Ceres di Bandung. Tetapi, bagi
orang-orang lama, sosok Chuang adalah bos besar yang
paling ramah dan bersedia menganggap buruh lapang­an
sekalipun sebagai keluarga. Orang ini low profile dan
dikenang selalu lebih dulu menegur sapa ketika ber­
papasan dengan karyawannya.
Setelah perang kemerdekaan usai, Chuang mengganti
nama NV Ceres menjadi Perusahaan Industri Ceres.
Saat Konferensi Asia-Afrika 1955, dia mendapat order
cokelat cukup banyak untuk dihidangkan dalam acara
akbar itu dan kemudian memindahkan pabriknya dari
Garut ke Bandung. Konon, saking lezatnya, Presiden
Soekarno hanya mau memakan cokelat buatan Chuang.
Cokelat racikan itu sebenarnya sederhana, berbahan
kakao, gula, dan susu yang diaduk-aduk. Tidak ada
yang istimewa dari cara Chuang membuat cokelat yang
lezat, kecuali memainkan temperatur pada alat-alat pe­
manas cokelat. Hanya saja, konon dia memiliki indra
perasa pada lidah yang sangat istimewa sehingga tahu
betul meracik sebuah cokelat yang lezat.
Bagaimana kecerdikan Chuang sudah terlihat ke­
tika menemukan oplosan bahan untuk membuat cokelat
batangan pertamanya, Silver Queen, yang dipasarkan
sejak 1950-an. Gagasan menjual cokelat dalam bentuk
batangan sebetulnya mustahil waktu itu. Sebab, belum
ada teknologi untuk membuatnya tidak meleleh ketika
M. MA’RUF

dipajang di toko karena iklim tropis Indonesia yang


panas. Chuang tidak kekurangan akal. Dia mencampur
adonan cokelatnya dengan kacang mede yang membuat
cokelat batangan seperti beton bertulang yang kuat dan
pada akhirnya justru membuat Silver Queen unik.
212
Selebihnya, Chuang membutuhkan waktu puluhan
tahun untuk mengetahui cara-cara modern membuat
sebuah adonan cokelat yang sempurna dan mengubah
Silver Queen agar berasa lebih enak. Dia melancong ke
Amsterdam, Belanda, belajar ke pabrik cokelat CJ Van
Houten yang sudah memproses kakao menjadi cokelat
jadi sejak 1828. Dia merayu manajemen Van Houten
agar memberinya hak untuk menjual merek itu. Lobi
ini sukses dan hasilnya adalah bukan hanya cokelat Van
Houten yang mulai dipasarkan pada 1986, tetapi ber­
bagai ilmu mengenai pengolahan kakao menjadi cokelat
lezat. Ilmu-ilmu itulah yang kemudian dipakai untuk
memperbaiki rasa Silver Queen yang di kemudian hari
justru lebih populer.
Silver Queen adalah produk cokelat pertama yang
mengiklankan diri di televisi Indonesia dengan jingle
“Santai belum lengkap tanpa Silver Queen.” Cokelat
batangan yang dijual lebih murah dari produk impor
itu digandrungi remaja dan sekarang sudah memiliki
pembeli fanatik. Silver Queen sekarang sudah beranak
pinak dengan varian-varian baru yang dibuat sesuai tren
muda mudi, mulai dari versi original yang berwarna
cokelat, putih, sampai dengan warna lain yang aneh-
aneh.
Bagian 7 – Sedikit Rahasia itu Perlu

Chuang dan anak-anaknya juga memiliki cara yang


lebih santai untuk menciptakan varian cokelat-cokelat
baru. Mereka tidak memanfaatkan liburan ke luar negeri
hanya untuk berleha-leha, tetapi menyempatkan waktu
memburu makanan-makanan berbahan cokelat di mana
pun mereka berada. Cokelat-cokelat itu diborong sebagai
oleh-oleh dan sebagian diserahkan pada bagian riset
perusahaan untuk dibedah komposisinya. Ini membuat
Ceres bisa menelurkan ratusan merek makanan cokelat
baru untuk segala usia dan kelas konsumen. Produk
meises misalnya, meski sama-sama berbentuk butiran-
butiran cokelat kecil, tetapi memiliki varian paling 213
lengkap yang dipisahkan berdasarkan kelas pembelinya.
Bagi pembuat martabak, mereka akan membeli meises
kalengan besar, sementara pembeli rumahan umumnya
membeli merek Ceres dan untuk orang-orang kaya dise­
diakan meises merek Ritz. Uniknya, karena kesamaan
nama, orang-orang justru mengenali pabrik Chuang
hanya sebagai produsen meises Ceres. Padahal, sampai
2001, mereka sudah memiliki 500 lebih varian produk
konsumen berbahan cokelat.
Sepeninggalan Chuang, pabrik Ceres diteruskan
oleh anak-anaknya yang kuliah di luar negeri. Di tangan
generasi kedua, John, Joseph, dan William Chuang,
omzet bisnis keluarga ini mendunia, menembus Rp 8
triliun pada 2008. John Chuang Tiong Choon yang lahir
beberapa tahun setelah ayahnya merintis Ceres, mulai
membantu usaha itu pada 1984 dengan mendirikan
Petra Foods untuk menjual cokelat Ceres pada pasar
ekspor. Ayahnya yang semakin menua memanggil pulang
John yang bekerja sebagai bankir dan telah menjabat
Vice Chairman Bank of California dan Presiden Wardley
Development Inc., California. Adapun adiknya, Joseph,
yang sempat menjadi pebisnis cokelat di Filipina, di­
panggil pulang untuk membantu distribusi cokelat di
dalam negeri. Pada awalnya, dengan modal enam kar­
yawan dan ruko sewaan di Pulo Mas, Jakarta Timur, dia
hanya memasarkan cokelat Ceres ke supermarket Gelael
dan Golden Truly.
Joseph memasarkan cokelat Ceres sehingga ter­
distribusi sampai ke pelosok Tanah Air. Dia membangun
armada distribusi yang dilengkapi teknologi pendingin.
M. MA’RUF

Sekurang-kurangnya ada 500 truk berpendingin yang


tersebar dari Banda Aceh sampai Jayapura untuk men­
distribusikan cokelat Ceres ke berbagai pasar modern,
besar maupun kecil. Ada Silver Queen, Ritz, Delfi,
Chunky, wafer Briko, Top, hingga biskuit Selamat.
214 Sementara itu dari Singapura, John membangun aliansi
dan gebrakan akuisisi sejumlah produsen cokelat di Asia
Tenggara, memotong jalur distribusi para saingan di
Filipina dengan membeli fasilitas produksi dan distribusi
milik Nestle Filipina. Dia mengakuisisi merek Hudson,
dan membeli merek Delfi dari Swiss pada 2001. Ini juga
dilakukan terhadap Nestle di Amerika Selatan. Petra
Foods juga berkongsi dengan konglomerasi terkemuka
di Malaysia, Sime Darby Group, mendirikan Ceres Sime
Confectionery Sdn Bhd, dan membentuk usaha patungan
dengan Armajaro Holdings untuk menguasai Eropa.
Cokelat, cokelat dan cokelat. Itulah konsensus peng­
amat manajemen memandang bagaimana cokelat asal
Garut itu bisa merajai penjualan cokelat di 17 negara
dan terjual di lebih dari 30 negara. Konsistensi itu di­
bangun sejak Chuang memproduksi cokelat batangan
Silver Queen, hingga memanggil pulang anak-anaknya
untuk berbisnis cokelat. Kepiawaian John soal banking
kemudian dimanfaatkan untuk menguasai bisnis hulu
kakao di level dunia—sekarang 70% pendapatan mereka
dari pengolahan kakao. Pun ketiga anak Chuang yang
terjun dalam bisnis ini, setali tiga uang soal publikasi.
Dalam setiap kesempatan bertemu para kuli tinta,
mereka lebih suka mengumbar produknya daripada
kehidupan atau kisah sukses, karenanya banyak media
Bagian 7 – Sedikit Rahasia itu Perlu

yang kesal menyebut keluarga ini terlalu low profile dan


yang ekstrem menjulukinya sebagai pengusaha ortodoks.
“Ketika bangun pagi, dalam benak saya hanya kakao;
siang dan malam hari, cuma memikirkan kakao dan
cokelat,” kata John ketika Forbes, yang menobatkannya
sebagai salah satu orang terkaya di Singapura pada
2006, mewawancarainya.
Sayang, Ceres saat ini sudah menjadi tamu di
negerinya sendiri karena sejak krisis moneter 1997, John
dan adik-adiknya mengubah status Ceres di Indonesia
menjadi perusahaan penanaman modal asing (PMA)
dan mengalihkan usahanya ke Singapura. Mereka juga 215
sudah tidak mengandalkan Indonesia lagi sebagai basis
pengolahan kakao utama, setelah memiliki pabrik di
Malaysia, Thailand, Brasil, Meksiko, dan Filipina. Petra
kemudian mencatatkan sahamnya di Bursa Singapura
dengan mempertahankan porsi kepemilikan keluarga
sampai 60%. Kabar suram juga menggelayuti masa
depan Ceres, setelah generasi ketiga anak-anak Chuang
bersaudara ini kabarnya tidak ingin meneruskan usaha
cokelat. Cucu-cucu Chuang yang juga tanpa kabar berita
ini lebih asyik dengan bisnis di sektor berteknologi tinggi.
Alhasil, sejak go public, John banyak membawa masuk
orang-orang luar untuk duduk di jajaran direksi.[]
M. MA’RUF

216
Selalu
Ada Jalan
untuk
Berubah

bagian 8
Harvest

Periksa Kembali Diary-mu,


Mereka Menyukainya

S ikap ini mungkin naif—atau lebih tepatnya meng­


gelikan—untuk orang-orang sekarang. Tetapi bagi
Andrie Wongso tingkah para aktor laga Taiwan saat dia
muda sudah benar-benar memalukan. Bertahun-tahun,
sejak kecil hingga remaja Andrie mengira aktor-aktor itu
berkelahi dengan sepenuh hati di layar lebar, nyatanya
tiga tahun Andrie menjadi aktor Kung Fu di Taiwan,
semuanya itu cuma tipuan kamera. Dia mengetahui
seluk beluk akting kung fu saat menjalani kontrak
selama tiga tahun dengan rumah produksi film laga di
Taiwan, untuk memerankan peran figuran film laga di
sana mulai 1980.
Bagi guru padepokan kung fu Hap Kun Do, ke­
nyataan di Taiwan itu amat menyedihkan. Andrie lalu
memutuskan untuk tidak memperpanjang kontraknya
dengan dan memilih pulang ke Indonesia. Meski banyak
orang menyatakan alasan kepulangan ini karena dia
telah gagal, lantaran tidak ada satu pun film yang
dibintanginya booming, tetapi dia tidak ambil pusing.
Andrie mengaku, hal positif waktu itu adalah hasrat dan
rasa penasaran menjadi jagoan kung fu di depan kamera
sudah terbayar.

218
Tanpa pekerjaan dan status artis gagal membuat
hari-hari pendekar itu terasa berat dan dia kembali me­
nekuni pekerjaan serabutannya seperti ketika pertama
kali menginjak Jakarta pada 1976. Untungnya Andrie
punya satu resep untuk memompa semangat diri me­
lewati hari-hari penuh tekanan itu dengan membaca
berulang-ulang kata-kata mutiara di buku hariannya.
Kalimat mutiara itu adalah intisari perjalanan kehidup­
an Andrie yang dirangkum dalam kalimat-kalimat pen­
dek dan berbobot. Tetapi, di balik sebuah kalimat yang
pendek, ada pengalaman jatuh bangun kehidupannya
yang cukup luar biasa.
Unik memang, seorang pendekar kung fu dengan
sebuah buku diary tentang kehidupan. Kata-kata mu­
tiara itu sudah dikumpulkan dan ditulis sejak dia belum
menjadi artis. Ini pada mulanya adalah salah satu ke­
gemaran yang tidak diketahui orang lain, dan banyak
dipakai untuk bahan ceramah-ceramah filosofi kung
fu kepada para murid padepokan Hap Kun Do. Kata-
kata mutiara itu cukup banyak karena setiap penemuan
baru lekas ditulis, baik soal kegagalan, kesedihan,
hingga refleksi sebuah kejadian. Terkadang itu muncul
Bagian 8 – Selalu Ada Jalan untuk Berubah

dari kontemplasi saat menjadi pendekar kung fu, atau


sekadar terlintas di benak begitu saja. Kata-kata itu
kemudian sanggup menemani Andrie dalam beberapa
tahun mencari pekerjaan yang benar-benar sesuai dengan
jati dirinya.
Sampai suatu hari, teman kos Andrie iseng mem­
baca buku diary-nya yang penuh dengan kata-kata
mutiara itu dan terkagum-kagum. Sekilas membaca,
kata-kata mutiara yang sebenarnya klise rupanya
mampu membakar semangat temannya yang sedang
luluh dan menyarankan agar kata-kata itu jangan di­
simpan saja, tetapi ditunjukkan pada banyak orang-
orang yang membutuhkan. Dari saran itulah muncul
ide membisniskan kalimat-kalimat pendek. Satu yang 219
terpikirkan saat itu adalah menuliskannya di sehelai
kertas pembatas buku.
Sialnya, Andrie sama sekali tidak mengetahui
seluk-beluk percetakan, karena menjual kata mutiara
tampaknya tidak bisa dengan hanya selembar pamflet.
Dalam sebuah peruntungan dia bertemu pengusaha
King Yuwono di Jakarta yang berasal dari kampung
halamannya—King Yuwono waktu itu pemilik Plaza
King—yang lebih paham mengenai bidang percetakan.
“Waktu itu saya belum kenal dekat dengan beliau, ta­
pi beliau mau mengenalkan saya pada perusahaan
percetakan,” kata dia. Pada 1985, berbekal beberapa
ratus ribu rupiah, Andrie pergi ke percetakan dan mulai
memesan sebuah cetakan. Kertas persegi panjang itu
dilabeli dengan Harvest—mencuplik gedung ketika
melamar aktor di Hong Kong yang bernama Golden
Harvest, artinya panen. Dia menjual kartu perdananya
dalam bentuk pembatas buku seharga Rp 100 per lembar,
tetapi dikemas dalam bundelan 240 lembar seharga Rp
24.000. Pembatas buku itu dipasarkan door to door,
dari satu toko ke toko.
Hasilnya, tidak satu pun pemilik toko yang percaya
bahwa sebuah pembatas buku, dengan alasan memiliki
beberapa baris kata mutiara bisa laku dijual dengan
harga semahal itu. Lama cetakan itu menumpuk di
kamar kos, sampai akhirnya Andrie menemukan pembeli
pertamanya, seorang pemilik toko di daerah Lokasari,
bilangan Jakarta Kota. “Nama toko itu Toko Peacock,
terus saya ingat karena menjadi pembeli pertama hasil
karya saya,” kenang dia. Andrie semakin giat menggali
M. MA’RUF

inspirasi di kamarnya, dan bagi dirinya yang telah


kenyang penderitaan sejak kecil itu adalah hal yang
tidak begitu menyulitkan. Dia menulis soal kegagalan
itu adalah bagian sukses yang tertunda, hingga kalimat
klise yang kerap dilupakan orang tetapi bisa menggugah
220 orang pada waktu tepat untuk tetap berpikir positif.
Ada pula kata-kata mutiara tentang cinta.
Penampilan Andrie yang macho, six pack, dengan
otot lengan yang kekar—waktu itu mirip dengan Bruce
Lee, mungkin lebih tampan—menarik hati seorang
mahasiswi fakultas hukum semester tiga di sebuah per­
guruan tinggi yang indekos di sebelah rumah Andrie.
Pribadinya yang ramah dengan senyum manis mengem­
bang, plus tampak dewasa dengan kata-kata mutiara itu
merekahkan bunga-bunga cinta gadis bernama Haryanti
Leni Y. Soeharto itu. Sebaliknya, Heni kemudian men­
jadi kata-kata mutiara hidup yang memompa inspirasi
Andrie. Setelah hubungan asmara semakin dekat, Heni
turut membantu proses pembuatan sampai pemasaran
pembatas buku itu. Mereka menikah—Leni bertugas
mengelola keuangan—dan bisnis kartu semakin ber­
kembang dengan berbagai inovasi. Bentuknya mulai
meng­ikuti kartu pos, tetapi dengan desain lebih me­
narik.
Tren jejaring sosial ala Majalah Sahabat Pena yang
diterbitkan Pos Indonesia pada 1948 mungkin banyak
membantu permintaan kartu-kartu itu. Jejaring ini
lantas berkembang menjadi tren yang sempat meng­
gila, sehingga membuat “Pak Pos” kelimpungan setelah
Bagian 8 – Selalu Ada Jalan untuk Berubah

kartu ucapan Lebaran, Natal, dan Tahun Baru menjadi


booming selama bertahun-tahun. Berbagai ungkapan
mutiara, dikutip dari kitab suci atau orang bijak ditulis
berulang-ulang di atas kartu ucapan. Jejaring itu
juga membuat para remaja rela berjam-jam memilah
kartu yang menuliskan kata mutiara paling pas untuk
mengungkapkan selamat ulang tahun, rasa rindu, cinta
dan persahabatan. Pada 2003, data Pos Indonesia me­
nunjukkan, produksi kartu ucapan tahun itu lebih dari
seperempat populasi penduduk Indonesia. Pemain baru
muncul satu per satu mengikuti jejak Andrie. Sekarang
ada Pulau Angsa Matra, Athenindo Perkasa, Ono Card,
Magenta, Dwi Karya Mandiri, Doco Grafics, Happy
Card, Edwin Galery, dan Harvindo Perkasa. Nama yang
221
terakhir itu, Harvindo adalah perusahaan Andrie yang
pada masa keemasannya antara 1980-1990 bisa menjual
sampai 10 juta lembar hanya pada saat Lebaran dan
Natal. Dia menjual kartu berlabel Harvest dan Vicky.
Kejayaan itu tidak berkelanjutkan karena teknologi
telekomunikasi seluler yang mulai pesat setelah krisis
ekonomi merenggut penjualan kartu ucapan. Masuk akal
sekali, dengan memencet keypad dan menuliskan sendiri
kata itu akan langsung sampai kepada si penerima dalam
hitungan detik, tanpa perlu ke kantor pos. Booming SMS,
pulsa seluler yang semakin murah dan lebih gila lagi,
jejaring sosial dunia maya benar-benar telah mematikan
bisnis kartu ucapan. Mula-mula para pebisnis kartu ini
bertahan dengan diversifikasi produk dan konsumen
yang kini menyasar korporat. Kartu-kartu yang tadinya
plug and play dibuat kosong sehingga bisa ditulis sendiri
oleh pembeli. Konsumen korporat pun ditawari sesuai
kebutuhan membuat brosur-brosur untuk promosi—
bisnis yang lebih mirip dengan percetakan. Pada akhirnya
mereka merangsek masuk ke bisnis percetakan, setelah
ide kata-kata mutiara mulai tidak diminati.
Harvindo sendiri melompat jauh dari produk awal
dengan berbisnis stationery—segala macam perleng­
kapan kantor—dan perusahaan mainan, dan pengelola
beberapa foodcourt. Andrie juga mencoba mengenalkan
tren baru berupa kartu-kartu hologram yang disukai
anak-anak. “Kami malah mendapat lisensi untuk
memproduksi karakter Power Puff Girl, Smiley, Magical
Doremi yang disukai anak-anak dan remaja,” kata dia.
Walaupun bisnis kartu telah senja, tetapi belum
untuk Andrie. Saat itu dia menemukan kisah hidupnya
M. MA’RUF

adalah kata-kata mutiara yang tidak cukup dikemas


hanya dengan selembar kartu.
Andrie lahir sebagai anak kedua dari tiga bersauda­
ra pada Desember 1954 dari keluarga miskin di kota
Malang. Sentimen anti-Tionghoa membuatnya putus se­
222 kolah dasar pada usia 11 dan tak pernah bisa memiliki
ijazah apa pun. Dia memiliki bakat dagang sejak dini.
Kegiatannya sampai remaja adalah membantu orangtua
membuat dan berkeliling menjual kue ke toko-toko
dan pasar. Ketika menyusul kakaknya di Jakarta, dia
mendapati pekerjaan yang ada sebagai salesman pabrik
sabun.
Pada 1989, mungkin Andrie sudah tahu bahwa
industri kartu ucapannya mendapat sinyal sunset. Masa-
masa ini adalah fase transformasi personal Andrie dari
penyampaian motivasi menggunakan kartu menjadi
ceramah-ceramah motivasi. Mula-mula di Harvest Fans
Club yang tersebar di berbagai kota. Sejak itu, perlahan
orang melupakan Andrie sebagai pembuat kartu, me­
lainkan motivator ulung yang kini sejajar dengan
Tung Desem Waringin, atau Mario Teguh. Pada 1992
Andrie mengubah dirinya dengan mulai lebih serius
dalam bidang motivasi, dari hasil “pencerahan” yang
didapatkannya setelah mempelajari Buddhisme secara
lebih mendalam. Dia menggagas sebuah pemikiran
filosofis Action and Wisdom Motivation Training yang
bersumber dari ajaran Buddha, yakni hukum ten­tang
pikiran, hukum tentang perubahan, dan hukum ten­
Bagian 8 – Selalu Ada Jalan untuk Berubah

tang sebab akibat, yang kemudian diperkenalkan­nya


dengan kalimat “Success is My Right”. Jutaan orang
dan ratusan perusahaan telah mengikuti pelatihan moti­
vasinya. Bisnis baru ini dijalankannya di bawah ben­
dera AW Motivation Training dan AW Publishing. Dia
juga membuka beberapa outlet AW Success Shop, toko
pertama di Indonesia yang khusus menjual produk-
produk motivasi.
Salah satu yang dikenang adalah ketika dia disewa
untuk memotivasi tim bulu tangkis Indonesia pada ajang
Thomas & Uber Cup 2000. Taufik Hidayat dan kawan-
kawan kemudian menggunduli Ji Xinpeng (China) 3-0
dalam final piala Thomas di Stadium Putra Bukit Jalil
Kuala Lumpur. Sementara Tim Uber melampaui target 223
semi final. “Sukses bukan milik orang-orang tertentu,
kesuksesan milik Anda, milik saya, dan milik siapa
saja yang benar-benar menyadari, menginginkan, dan
memperjuangkan dengan sepenuh hati,” kata Andrie.[]
M. MA’RUF

224
Tung Desem Waringin

Belajarlah dari
yang Terbaik

T ung Desem Waringin sudah merasa dalam posisi


terbaik sepanjang kariernya, waktu menjabat seba­
gai Kepala Cabang Kantor Bank Central Asia (BCA)
Surabaya pada tahun 2000. Tidak ada yang meragukan
rekam jejak lulusan terbaik Management Development
Program—pendidikan untuk karyawan baru BCA—
tahun 1992 itu. Seketika ditempatkan, dia mengubah
reputasi Kantor BCA Cabang Surabaya dari posisi no­
mor 20 menjadi nomor satu. Hanya dalam empat bulan
Tung muda yang dikirim dari Jakarta—tanpa jabatan,
anak buah dan kewenangan—mampu membenahi 22
kantor cabang pembantu di sana yang berkinerja ter­
buruk se-Indonesia. Dia hanya memakai empat bulan
dari dua tahun target maksimal untuk membalikkan
reputasi itu.
Tung menerapkan sistem hukuman dan hadiah secara
ketat. Kesalahan oleh salah satu staf tidak ditanggung
sendiri melainkan semua karyawan di unit, sehingga
memicu para bawahannya bekerja dengan kompak
dan mampu meminimalisasi kesalahan. Setelah cabang
Kupang, Nusa Tenggara Timur, kisah itu terulang enam

225
tahun kemudian di Kantor Cabang Utama Malang, Jawa
Timur. Pada 1998, BCA kolaps akibat penarikan dana
besar-besaran (rush) dan diambil alih pemerintah. Tetapi,
krisis tidak terjadi di wilayahnya, karena berbeda dengan
cabang lain yang kehabisan dana, cabang Malang justru
surplus. Karena prestasi itu, dia memperoleh bonus tiga
kali dalam setahun—hal yang tidak lazim di BCA yang
biasa memberi bonus sekali setahun. Namanya mulai
populer di kalangan bankir, dan ada sekurangnya 12
perusahaan menginginkannya dengan berbagai iming-
iming gaji besar. Tapi, Tung belum menginginkannya.
Dia masih merasa di atas awan sampai kemudian
peristiwa menyedihkan mengubah drastis hidupnya.
Ayahnya, Tatang Sutikno, jatuh sakit oleh liver dan di­
diagnosis terkena virus meticillin resistant stapelococus
aerus yang menurut dokter belum ada obatnya. Tung
bertambah depresi setelah menyadari gajinya selama
setahun sebagai manajer bank tidak cukup membayar
biaya rumah sakit ayahnya di bangsal kelas III Rumah
Sakit Mount Elizabeth selama sehari. Nilai tukar rupiah
yang jebol membuat puluhan juta rupiah simpanannya
tidak berarti. “Bayangkan, saya memiliki karier sangat
bagus di bank terbesar di Indonesia. Saya anak paling
pintar di keluarga kami dan lulus dari univesitas negeri
dengan predikat terbaik,” kata Tung.
Secara tidak sengaja, di ruang tunggu rumah sakit,
Tung membaca selembar pamflet pelatihan Anthony
Robbins, motivator bertarif termahal sedunia—USD
1 juta per seminar—asal Amerika Serikat, yang akan
menggelar seminar di sana. Entah karena apa, Tung
M. MA’RUF

merasa selembar kertas promosi itu mampu menjawab


kegelisahannya. Dia bangkrut, tetapi keinginan itu tak
terbendung. Tung menghubungi temannya, Leo Chandra,
pemilik Columbia Furniture untuk meminjam USD 5.000.
Ditambah hasil penjualan sebidang tanah di Malang dan
226 bantuan dari saudara, kemudian terkumpul dana untuk
menebus tiket seminar seharga USD 10.000. Mei 2000,
dia mengundurkan diri dari BCA setelah berhari-hari
mendengarkan seri VCD rekaman Anthony. VCD yang
semahal gaji bulanannya itu menyadarkan Tung bahwa
pekerjaan monoton tidak akan menghasilkan buah yang
tumbuh.
Tung akhirnya menerima pinangan Grup Lippo—
satu dari 12 perusahaan yang mengincarnya—sebagai
Senior Vice Presiden pada Lippo Shop, anak usaha Lippo
yang bergerak di bidang perdagangan online. Gajinya
yang berlipat rupanya tidak menyelesaikan masalah,
karena “pasak“ turut membesar mengikuti ‘tiangnya’
dan dia mengundurkan diri pada Februari 2001. Kala
itu tekad Tung sudah bulat mengikuti jejak Anthony
dan mulai mengkhususkan diri menjadi konsultan
dan motivator. Ini keputusan yang dalam berbagai
kesempatan disebut Tung sebagai breakthrough atau
terobosan yang gila seumur hidupnya.
Tujuh kali Tung mengikuti seminar-seminar moti­
vasi di luar negeri, salah satunya di Hawaii, Amerika,
dengan biaya yang tak kurang sama mahalnya. Tidak
hanya Anthony, Tung juga menjadi langganan seminar
Bagian 8 – Selalu Ada Jalan untuk Berubah

motivator macam Robert T. Kiyosaki, Bob Proctor,


dan Robert G. Allen. Dia berhasil menjadi salah satu
murid terbaik Anthony dan terpilih sebagai Exclusive
Indonesia Anthony Robbins Authorized Consultant.
Predikat serupa diperolehnya pula dari Kiyosaki. Salah
satu usahanya adalah mendatangkan Anthony ke Pekan
Raya Jakarta (PRJ) dalam seminar bertajuk “Unleash
The Power Within”. Tiket termurah seminar itu seharga
Rp 5,3 juta!
Penampilan perdana Tung di Gedung KONI Jakarta
berantakan. Tata suara (sound system) yang buruk dan
pendingin udara mati membuatnya diteriaki untuk turun
oleh seribuan karyawan Columbia Furniture. Waktu itu
dia diundang sebagai pembicara tamu. Tapi, kejadian 227
ini dibalas Tung dengan sukses menggelar seminar yang
dihadiri 4.300 peserta dari perusahaan yang sama, di
Gedung Sarbini. Hasilnya, sebulan kemudian penjual­
an barang-barang kreditan elektronik dan furniture
Columbia melonjak 40%. Lunas sudah utang Tung
kepada pemilik Columbia, Leo Chandra. Ini adalah
proyek barter karena kesulitan keuangan yang dialami
Tung sebelumnya. Kinerja moncer Columbia setelah
satu dua jam bersama Tung membuat popularitasnya
meroket. Salam dahsyat yang tampak seperti motto Tung
mulai dikenal, dan permintaan menjadi penyemangat
karyawan mulai datang satu per satu. Dia mengklaim
penjualan Darmapersadaraya Motor Industri, produsen
helm merek DNI naik berlipat-lipat, dan penjualan
sampo merek Selsun naik 200%, setelah ia berceramah.
Sementara Presiden Direktur Bentoel Daryoto Setiawan
mengabari Tung bahwa penjualan Bentoel Prima naik
59%.
Tung memasang tarif USD4.500 per tiga jam unuk
mengisi sebuah acara motivasi, dan memasang tarif cu­
kup mahal pada seminar yang digelarnya sendiri. Saking
sibuknya, karena pernah sampai 52 kali diundang dalam
sebulan, dia menyiasati bepergian dengan Helipad—
salah satu gaya berkendara yang masih jarang untuk
pebisnis lokal—hasil pakai bersama dengan perusahaan
Lippo. Jauh dari kendaraannya sembilan tahun lalu yang
Panther Miyabi. Sentuhan-sentuhan nyeleneh Tung bisa
terlihat saat menjadi konsultan Bank Rakyat Indonesia
yang berhasil meningkatkan saldo tabungan nasabah.
Program Untung Beliung memasang iklannya dengan
M. MA’RUF

menampilkan sebuah mobil Honda Jazz nyangkut di


atap halte bus di Jalan Sudirman—tentu saja ini tipuan
grafis. Hasilnya, imej BRI yang sebelumnya bank milik
orang-orang di desa sedikit terangkat dan dana terserap
semakin banyak.
228
Tung mengaku tidak hanya cuap-cuap, karena dia
memakai jurus marketing untuk produknya sendiri.
Misalnya, menjual mobil Panther Miyabi 1996 miliknya
yang terbakar hangus seharga Rp 12 juta dengan hanya
memasang iklan baris bertuliskan “Dijual, Panther
Miyabi 1996, dengan cara lelang, harga awal lima juta”.
Yang mungkin paling populer adalah “Hujan Duit” di
Stadion Sepak Bola Baladika Kesatrian, Serang Banten,
awal Juni 2008. Minggu pagi itu, Tung benar-benar me­
naburkan uang dan tiket seminarnya senilai total Rp 100
juta melalui pesawat. Promosi ini untuk menjual buku
keduanya berjudul “Marketing Revolution”. Peristiwa
ini tidak hanya membuat heboh seluruh surat kabar
di dalam negeri. Di Amerika Serikat, New York Times
menulis It’s Raining Rupiah. Sementara The Guardian,
koran ternama di Inggris memberi judul Author Drops
Cash From Plane. Meski terkagum dan salut, banyak
pula kalangan yang menganggap cara Tung berlebihan.
“Tung Desem tidak memiliki sense of crisis .... Sudah
jelas ‘hujan uang’ lebih rendah memperlakukan bangsa
ini ketimbang BLT,” ujar Sosiolog Universitas Indonesia,
Imam Prasodjo.
Bagian 8 – Selalu Ada Jalan untuk Berubah

Promosi gila juga dilakukan sebelumnya untuk


buku Financial Revolution yang berhasil mencatat
rekor Museum Rekor Indonesia (Muri) karena terjual
10.115 eksemplar pada hari pertama peluncuran.
Mengalahkan peredaran hari pertama buku Harry
Potter edisi Indonesia. Dengan menunggang kuda sambil
melambai-lambaikan poster sampul buku karangannya,
Tung Desem menyusuri Jalan Sudirman yang padat,
dan membuat jalanan macet. Lebih unik lagi, kala itu
Tung juga mengenakan baju ala Pangeran Diponegoro
berupa jubah dan berblankon. Buku yang dijual seharga
Rp 70.000 untuk soft cover dan Rp 120.000 untuk
hard cover itu masuk dalam sejarah buku terlaris di
Indonesia.
229
Banyak kalangan yang menganggap jurus marketing
Tung termasuk hard sell. Yakni merujuk pada cara ber­
promosi yang menyampaikan pesan marketing secara
langsung. Tung tidak peduli, karena dalam marke­ting
yang penting laku dan terjual dengan harga mahal.
Te­tapi dia yakin tidak ada yang benar-benar baru di
dunia ini. Tung adalah pelajar yang baik, dan tahu
betul bagaimana cara belajar yang tepat. Dia sendiri
mengaku, untuk melakukan terobosan, belajarlah ke­
pada yang terbaik. Oleh karenanya, dia percaya untuk
pemula, sebagaimana dilakukannya adalah dengan ju­
rus mencontek!! ATM = Amati, Tiru, Modifikasi.
Dilahirkan di Solo, Jawa Tengah, pada Desember
1967, Tung adalah anak ketiga dari lima bersaudara.
Dia lahir waktu ayahnya mengalami kebangkrutan
luar biasa, diceritakan uang sumbangan handai taulan
justru dipakai ayahnya membayar utang dan bukan
dipakai untuk menebus pulang dirinya dari rumah
sakit. Di sekolah dasar, predikatnya lebih dekat dengan
kelompok murid bodoh daripada rata-rata. Sampai
dengan SMP, dia bukan kumpulan “sepuluh besar”.
Tetapi Tung ingin pintar dan dia berjuang untuk masuk
satu kelas les kimia beserta murid-murid paling pintar.
Satu kali, dari 100 soal yang harus dikerjakan, Tung
hanya mampu menyelesaikan 20 soal. Hasilnya, cuma
dua yang benar. Pengajar memintanya datang lebih awal
untuk belajar lebih dulu, supaya bisa mengejar teman
sekelasnya. Tetapi hasilnya tak berubah, dan gurunya
yang kehabisan akal bertanya. “Tung, kamu dulu waktu
kecil pernah setep ya?”
M. MA’RUF

Tung bukan tipikal orang pintar dari bakat, tetapi


dia tahu bagaimana menjadi cerdas. Hasrat menjadi
pintar baru tersulut ketika dia berada di kelas tiga SMA
dan takut tidak lulus. Dia ikut les bersama murid-murid
pintar lainnya tetapi baru berhasil setelah mengulang
230 empat kali. Dia berhasil memperoleh nilai bagus karena
hafal. Ketika kuliah, dia lebih memilih bergaul dengan
mahasiswa terbaik di bidangnya, entah itu lembaga
kemahasiswaan maupun mata kuliah. Hasilnya, tidak
kurang 32 piagam penghargaan diraihnya, dan pernah
mendapat gelar mahasiswa teladan.
Menjelang akhir kuliah, Tung mulai belajar men­
jadi pedagang emas. Dia mengambil barang dari toko
kakaknya di Jakarta, dan mengampil selisih harga ke­
tika mengedarkannya di Jepara, Semarang, Salatiga,
Ambarawa, hingga Pekalongan. Dia melamar ke BCA
pada 1992 setelah lulus Universitas Sebelas Maret, Solo
dan mengalahkan 200 orang pelamar terpilih. Dari 20
orang yang akhirnya diterima, dia satu-satunya lulusan
universitas dari dalam negeri.
Kini Tung memasang tarif USD 8.000 sekali tampil,
dan rata-rata mengisi 30 kali seminar atau pelatihan
dalam sebulan. Masih sisa untuk membeli mobil BMW
seri terbaru 740Li seharga Rp 2,3 miliar. Sekarang dia
masih menerapkan alokasi yang sama untuk semua
hasil jerih payahnya itu, seperti waktu masih bergaji Rp
600.000 di BCA. Rinciannya, 10% untuk investasi yang
aman, 20% untuk cadangan biaya hidup enam bulan ke
Bagian 8 – Selalu Ada Jalan untuk Berubah

depan, dan maksimal 70% untuk kebutuhan sehari-hari.


Semakin tua, dia mengurangi porsi cadangan menjadi
10%, untuk menyisakan 10% persen lainnya sebagai
amal.
Dia membenamkan investasinya di saham, reksa
dana, surat utang, dan beberapa apartemen di Singapura.
Tung juga punya pabrik motor Torindo, pengembang
1.000 rumah anti-peluru milik TNI Angkatan Udara di
Mekarsari, Bogor, mendirikan BPR di Tangerang, dan
membangun pabrik batik bermerek Duplex di Solo. Di
luar negeri dia membuka resor baru di La Paz, sebuah
kota di Meksiko yang dekat dengan negara bagian
California, Amerika Serikat. “Luasnya 500 hektare.
231
Saya berbagi saham dengan Michael Hammer, sutradara
film Shakespeare in Love,” ungkapnya.
Sehari-hari Tung menjadi direktur pelaksana TDW
Resources yang berdiri pada 2002 dan tercatat sebagai
event organizer terbesar di Indonesia untuk bidang
acara seminar atau workshop. Dia pria yang hangat
dengan keluarga, dan tidak sulit untuk mengajak pergi
anak-anaknya dari kediamannya di perumahan elite
di kawasan Boulevard Palem Raya, Lippo Karawaci,
untuk berlibur di beberapa resor pribadinya. Misal­
nya, di Tanjung Lesung yang terletak di lereng Gunung
Krakatau atau di kepulauan Belitung. “Saya sangat
bersyukur dengan perubahan hidup ini, sehingga (saya)
bisa membelikan ibu mobil Previa, kado ulang tahun
istri mobil SLK 200K, serta ajak anak-anak ke mana
saja mereka mau,” ujar dia.[]
M. MA’RUF

232
Mustika Ratu

Alam adalah Sumber


Kesehatan dan Bisnis

G agal menjadi ratu keraton Surakarta telah me­


remukkan hati gadis cantik Mooryati Soedibyo.
Setelah menunggu berbulan-bulan, pertunangannya
dengan putra mahkota, Sunan Paku Buwono XII—Raja
Kasunanan Surakarta Hadiningrat 1945–2004—tak
kunjung berlanjut ke pelaminan. Mooryati memutuskan
pertunangan itu, dan memilih keluar dari lingkungan
keraton dengan setumpuk malu, kesal, serta kecewa.
Mooryati adalah putri keraton, cucu Paku Buwono
X yang memerintah pada 1893-1939. Ibunya, Gusti
Raden Ayu Kussalbiyah adalah anak raja yang dinikahi
bupati daerah pesisir, Kanjeng Raden Mas Tumenggung
Ario Poernomo Hadiningrat, di Brebes Jawa Tengah.
Darah RA. Kartini mengalir dari sang ayah, sehingga
Moeryati tidak pernah mempersoalkan keberadaannya
yang tidak diinginkan (ayahnya menginginkan anak
ketiganya lahir sebagai laki-laki).
Setelah keluar dari istana, perang membuatnya
lupa dengan sang pangeran. Mooryati aktif terlibat per­
lawanan melawan agresi pertama Belanda pada 1947,
sebagai Relawan Putri Surakarta, dan tercatat sebagai

233
anggota Palang Merah Indonesia. Suster can­tik itu
bertugas di Rumah Sakit Keraton Kadipolo. Di situ
dia mengeluarkan sege­nap ilmu penge­tahu­an tentang
reramuan jamu yang dipakai sebagai pengganti ke­
tiadaan obat-obatan dan perangkat medis. Air kunyit
rupanya manjur mengobati lu­ka pejuang yang ter­
kena peluru, dan daun pisang muda bisa menggantikan
M. MA’RUF

kapas. Ilmu jejamuan itu sebetulnya adalah satu dari


puluhan daftar kemampuan yang wajib dimiliki seorang
putri. Pada masa kecil, Mooryati menghafal ramuan
kecantikannya sendiri seperti bedak buatan dari bahan
tepung beras, masker dari parutan bengkuang, dan lulur
dengan campuran saripati beras, kunyit, daun pandan,
234 dan temugiring. Untuk perawatan rambut, mereka men­
cuci rambut dengan bubuk merang yang dibakar, ser­ta
conditioner dari air asam. Setiap kali keraton menye­
lenggarakan pesta, dia tidak hanya sibuk sebagai penari,
tapi juga sebagai juru rias.
Pertemuan tidak sengaja seusai perang dengan
Soedibyo—alumnus Universitas Gadjah Mada, yang
baru pulang dari Amerika Serikat untuk meraih gelar
magister—di Bandara Adi Sucipto, Yogyakarta, meng­
ubah arah hidupnya secara drastis. Mooryati menemukan
jalan atas ramalan eyang putrinya bahwa kelak, dia
akan menjadi kaya raya—satu visi yang bertentangan,
karena berbisnis adalah hal terlarang bagi putri keraton.
Keduanya menikah pada saat Mooryati cukup tua; 28
tahun. Setelah menikah, Mooryati diboyong suaminya
yang menjabat sebagai Kepala Kantor Wilayah Departe­
men Perindustrian Provinsi Sumatra Utara dan Aceh.
Awalnya ide membuat jamu itu untuk menunaikan
kewajibannya sebagai ketua perkumpulan istri pejabat
anak buah suaminya dengan program-program ber­
manfaat. Antara lain membuat lulur dan jamu yang
dibagikan secara gratis kepada para istri sejawat suami­
nya. Dengan senang hati, Mooryati memamerkan jamu
Bagian 8 – Selalu Ada Jalan untuk Berubah

Komajaya, Komaratih, Lulur, Mangir, dan Parem Leng­


kap. Ini berhasil memikat para istri-istri yang dituntut
tampil cantik meskipun bertambah usia. Setelah me­
nikmati gratis, mereka bersedia membeli.
Sampai dengan 17 tahun kemudian, Mooryati
belum menyadari bahwa jamu buatannya adalah ladang
bisnis yang luar biasa. Setelah kelima anaknya besar, dia
baru tahu bahwa kecantikan yang memudar di usia tua
adalah ancaman serius dalam rumah tangga. Mooryati
sendiri adalah iklan berjalan yang nyaris sempurna
untuk produknya. Sulit memercayai tubuhnya yang
singset, kulit nan kuning mulus itu ternyata milik ibu
rumah tangga berumur 45 tahun dengan lima anak.
Ketika orang bertanya jawabannya cuma satu, ramuan 235
jamu beras kencur buatan sendiri.
Pada 1968, suaminya dipindahkan ke pusat dan
sekeluarga pindah ke Jalan Sawo, Menteng. Menghadapi
masa pensiun di depan mata, dan kebutuhan pendi­
dikan kelima anaknya yang membengkak meyakinkan
Mooryati untuk benar-benar mengomersilkan jamu ke­
cantikannya yang sudah terkenal di kalangan istri-istri
pejabat. Di garasi rumah, uang Rp 2.500 dia belikan
sekarung kencur, kunyit, dan kayu manis. Jamu-jamu
ramuannya dimasukkan dalam botol-botol bekas dan
dijual seharga Rp 100. Ibu lima anak ini menangani­
nya sendiri, mulai keluar kota naik kereta api hingga
meramu. Dia menangani penjualan door to door lewat
arisan. Tetapi Mooryati akan sangat tersiksa bila disuruh
menghitung seberapa banyak keuntungan yang sudah
diperoleh. Dia bercerita bagaimana neraca keuangan itu
justru membuatnya sakit, sehingga lebih suka menaruh
semua uangnya entah itu modal atau untung dalam satu
rekening.
Tahun 1973, jamu-jamu itu dilabeli Mustika Ratu
untuk memayungi usaha pembuatan jamunya. Dia
membagi produknya menjadi lima, perawatan wanita,
perawatan remaja putri, sedet saliro (pelangsing tubuh),
sepetan sari (keputihan), kesepuhan (menopause), di­
tambah beberapa macam kosmetik tradisional leluhur,
seperti Mangir, Bedak Dingin, dan Air Mawar. Di sam­
ping memproduksi, Mooryati juga mengajarkan ilmu
kecantikan tradisional kepada para ahli kecantikan,
pemilik salon, dan sanggar-sanggar. Ini sekaligus men­
jadi jalan besar bagi penjualan produknya yang segera
booming, karena setelah dilatih mereka menjadi agen
M. MA’RUF

penjual yang loyal. Murid-muridnya adalah pelanggan


setia jamu kecantikan, selain sebagai iklan efektif dari
mulut ke mulut.
Di tempat yang lebih luas, daerah Ciracas, Pasar
Rebo, Jakarta Timur, Mooryati mendirikan pabrik
236 pertamanya. Tahun 1981, resmilah pabrik PT Mustika
Ratu beroperasi dengan 150 karyawan. Ini adalah
pabrik kosmetika terbesar dan terlengkap pertama di
Indonesia ketika itu. Lama-kelamaan imej juga digeser
menjadi tidak sekadar jamu kecantikan, melainkan
kosmetik yang berbahan ramuan tradisional. Penjualan
meroket setelah dia mampu merangkul berbagai kontes
kecantikan. Yayasan Putri Indonesia yang didirikannya
dan setiap tahun menggelar pemilihan Putri Indonesia,
berperan penting mempromosikan produk-produk ke­
cantikan Mustika Ratu. Lebih lagi, dengan cepat dia
mendapatkan hak waralaba Miss Universe, Miss World,
dan Miss World University.
Setidaknya butuh 10 tahun untuk mempersiapkan
generasi kedua bisnis ini. Hanya satu dari lima anaknya
yang bisa mengikuti jalan ibunya. Dua dari tiga yang
dikader rontok di tengah jalan. Setelah tiga tahun ber­
gabung Dewi Nurhandayani dan Haryo Tejo Baskoro
memilih jalan hidupnya masing-masing, Dewi menjadi
ibu rumah tangga dan Haryo hanya memilih anggota
komisaris perusahaan. Sementara calon putra mahkota, si
sulung Djoko Ramiadji hanya bertahan setahun dan lebih
memilih pekerjaan sesuai latar belakang pendidikannya
Bagian 8 – Selalu Ada Jalan untuk Berubah

sebagai insinyur. Hanya Putri Kuswisnu Wardani yang


bisa mengikuti jejak ibunya. Dia bergabung sebagai
staf junior setelah merampungkan kuliah S-1 (under
graduate)-nya di Strayer College, American University,
jurusan business administration, pada 1985.
Betapa sulitnya mencari penerus sampai-sampai
diungkapkan Mooryati dalam disertasi doktoralnya.
Karya ilmiah ini mengantarkannya meraih gelar doktor
pada usia 80 tahun di Universitas Indonesia. Mooryati
dikenal keunikannya sebagai pebisnis yang menerus­
kan sekolah di usia senja. Setelah serangkaian kursus
bahasa asing, antara 1954-1977, Mooryati mengikuti
kursus Ilmu Ahli Kecantikan Internasional Cidesco di
Vancouver, Kanada. Pada 1995, dia berhasil memperoleh 237
gelar doktor kehormatan (honoris causa) dari Pacific
Western University, Los Angeles, Amerika Serikat.
Putri adalah sosok yang menjadi bukti disertasi
Mooryati, bahwa perusahaan keluarga rentan kegagalan
saat berpindah generasi, masih bisa diatasi. Kepercayaan
atas Putri muncul ketika dia mampu menciptakan merek
khu­sus untuk produk-produk kosmetik remaja, Puteri,
yang sukses luar biasa. Ide merek khusus ini sebelumnya
berkali-kali ditolak manajer senior dan ibunya, karena
me­mang dilontarkan ketika Putri baru masuk kerja. Dia
menyimpan idenya sampai 1992 ketika sudah menjadi
mana­jer di Mustika Ratu dan meski ditentang, produk ini
dipaksakan muncul. Hasilnya ternyata luar biasa dan
seka­rang justru menjadi merek terbesar Mustika Ratu.[]
M. MA’RUF

238
Rudy Hadisuwarno

Tandailah Keberhasilan
Sejak Awal

T anyakanlah segala hal tentang rambut kepada


orang ini. Mulai dari potongan rambut yang pas
dengan kepala dan jenis rambut, style terbaru, tren
pewarnaan, sampai bagaimana cara-cara sehat merawat
atau mengobati rambut rusak telah didedikasikan Rudy
Hadisuwarno kepada perempuan-perempuan Indonesa
sejak 1970. Tetapi, bagaimana pria low profile ini be­
rangkat dari sebuah barber shop menuju gelar maestro
penata rambut Indonesia adalah kisah sebuah keluarga
perantau miskin asal Pekalongan, Jawa Tengah, yang
ingin mengubah nasib di ibu kota.
Ketika suami istri Iskandar Hadisuwarno dan Lestari
tiba di Jalan Kemakmuran—kini Jalan Hasyim Asyari,
Jakarta Pusat—tahun 1963, situasi ekonomi sedang
kacau balau. Ini menimbulkan dilema, karena pasangan
itu sudah memboyong anak-anaknya, meninggalkan
usaha salon kecil di Pekalongan untuk memulai usaha
baru berdagang kulit di Jakarta. Dua tahun kemudian,
usaha keluarga ini bangkrut. Pemberontakan PKI pecah
pada 1965 dan segera membuat ekonomi semakin sulit
dan inflasi membubung tinggi. Kisah orang-orang tua

239
yang masih hidup sekarang mengenangnya dengan pahit,
tidak ada lagi beras dan orang miskin harus memakan
bulgur—seperti gandum tapi agak merah dan kasar yang
setelah dimasak akan mengembang seperti balon. Di
negeri asalnya Amerika Serikat, konon bulgur ini adalah
makanan ternak, khususnya babi, yang didatangkan ke
Indonesia untuk bantuan kemanusiaan.
Situasi serba sulit dirasakan seisi rumah, terutama si
sulung Rudy yang sudah beranjak remaja. Siswa Sekolah
menengah kejuruan ini melamar ke beberapa salon ber­
bekal keahlian menata rambut hasil membantu ibunya
saat masih di Pekalongan. “Saya lihat tangan Rudy begitu
luwes mengerjakan rambut,” kata ayah Rudy. Selain
untuk membantu keuangan keluarga, ini adalah bekal
untuk mengejar cita-cita menjadi arsitek. Rudy berpikir
bagaimana dia dapat memperoleh uang untuk biaya
kuliah, sekaligus mengurangi beban keluarga. Setelah
menamatkan Remaja Hairdress School di Jakarta tahun
1967, dan magang di salah satu salon di kawasan Blok
M, Jakarta Selatan, Rudy membuka salonnya sendiri di
rumah pada 1978. Dimulai dengan satu meja dan satu
kursi, lalu iklan dari mulut ke mulut.
Salonnya semakin menyita waktu, dan Rudy ha­rus
memilih antara kuliah semester tiga di Jurusan Arsitek­
tur, Universitas Trisakti, atau keluar mengurusi pelang­
gan. Sampai sekarang, dia mengatakan alasan ekonomi
keluarga membuatnya mengambil pilihan kedua, meski
dia memiliki keyakinan di masa mendatang profesi penata
rambut tidak bisa dikerjakan sekadar sambilan (waktu
itu, penata rambut dianggap pekerjaan sampingan untuk
M. MA’RUF

ibu-ibu yang ingin membantu penghasilan suami).


Dia mendalami ilmu menata rambut kepada orang
bernama Robby—sekarang berkewarganegaraan Aus­
tralia—setidaknya sampai 1971. Rudy mungkin orang
yang tidak begitu yakin pengalaman bisa membuat
240 seseorang terampil dan ahli begitu saja. Mulai 1974,
berbekal tabungan, dia terbang ke London, Inggris,
hingga San Fransico Amerika Serikat untuk belajar tata
rambut dari tiga tempat berbeda: Alan International
untuk belajar menggunting rambut yang umum, Vidal
Sasson untuk belajar seni penataan rambut, dan Morris
School of Hair Design guna memperdalam teknik sang­
gul. Keahlian dan ide-ide segar tata rambut ini membuat
Rudy bisa memasang tarif tiga kali lebih mahal dari
rata-rata salon lain, yakni Rp 6.000. Karenanya,
banyak pelanggan yang mampir adalah mereka yang
menginginkan model baru dari Rudy.
Style rambut hasil kreasi Rudy memaksa tahu para
perempuan muda dan ibu-ibu bahwa salon bukan hanya
tempat untuk menggunting rambut dan mengeriting saja.
Gaya-gaya baru dikembangkan lewat perbandingan
metode pengguntingan rambut dari mancanegara, ke­
mudian diubah sesuai dengan jenis rambut dan kultur
lokal. Kaum perempuan juga diberi tahu bahwa mode
yang senantiasa berubah seperti pelurusan atau pe­
warnaan kerap kali membuat kondisi rambut rentan
sehingga butuh perawatan ekstra seperti halnya wajah.
Solusi-solusi mulai tren, perawatan hingga pengobatan
Bagian 8 – Selalu Ada Jalan untuk Berubah

itu menjadi paket komplet dari salon-salon Rudy, dan


produk yang dijual terpisah.
Rudy membuka salon mewahnya pertama kali
pada 1977 di komplek Duta Merlin, dan beberapa
tempat di Jakarta. Dari sini gerainya menyebar ke
Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Balikpapan.
Nama salon Rudy dengan logo huruf R yang senantia­
sa berubah, telah dipakai sejak membuka cabang di
Duta Merlin sebagai merek dagang. Sekarang tidak
kurang ada 150 jaringan salon milik Rudy di seluruh
Indonesia hasil mewaralabakan sejak 1980-an. Salon
Rudy Hadisuwarno untuk segmen orang-orang kaya,
Salon Rudy untuk kelas menengah, Brown Salon, bagi
para pelanggan remaja, dan Kiddy’s Cut untuk anak- 241
anak. Segmentasi ini tampak sebagai diversifikasi yang
menyisakan ruang sempit bagi kompetitor baru. Ada­
nya varian-varian berdasarkan kemampuan konsumen
ini kemudian juga bisa menyelamatkannya dari krisis
ekonomi 1997.
Apa yang disebut kunci kesukesan adalah buah
dari perencanaan yang matang. Dalam kamus Rudy,
perencanaan bukanlah potongan-potongan rencana ta­
hunan tetapi menyangkut perjalanan hidup sejak per­
tama kali membuka salon. Perencanaan-perencanaan
bisnis itu mirip perencanaan pembangunan sebuah ne­
gara. Sepuluh tahun pertama antara 1968-1978 adalah
upaya meletakkan dasar yang kuat dalam bisnis dengan
hanya mengelola satu salon. Sepuluh tahun kedua
adalah ekspansi, membuka cabang-cabang, baik untuk
salon maupun sekolah tata rambut. Sepuluh tahun
ketiga adalah realisasi rencana-rencana besar melalui
bisnis franchise untuk salon dan sekolah tata rambut,
dan 10 tahun keempat adalah pengembangan produk-
produk eksklusif, seperti shampoo, conditioner, produk
penataan, perawatan, dan pewarnaan rambut.
Bagaimana rencana itu dijalankan digambarkannya
sebagai kerja sebuah tim dan tidak ada istilah one man
show. Sesekali dia mengatakan inovasi-inovasi sangat
penting dalam bisnis ini, tetapi perlu dipagari dengan
konsistensi. “Sampai sekarang ini, saya tidak beralih ke
mana-mana, tetap pada dunia tata rambut,” kata dia.
Dengan fokus akan lebih mudah menemukan ide-ide
baru yang dipercaya orang. Orang-orang akan banyak
berterima kasih pada inovasi penting yang diciptakan­
M. MA’RUF

nya. Misalnya, creambath memakai minyak cem-ceman


atau minyak kelapa yang ditemukan Rudy pada 1974
sebagai inovasi untuk merawat rambut perempuan.
Di luar negeri, cara ini memakai minyak zaitun yang
dipanaskan. Masalahnya, dua metode ini membuat
242 rambut menjadi lengket—temuan ini hingga sekarang
adalah menu wajib salon baik di dalam maupun luar
negeri. “Sayangnya, saya masih sangat naïf waktu itu.
Jadi, tidak didaftarkan ke hak cipta,” kata Rudy.
Pengalaman itu memberi pelajaran agar reramuan
kosmetik itu dibuat lebih komersial setelah menggan­
deng Kalbe Farma, sekitar 1990-an. Rudy memasarkan
shampoo, conditioner, dan sabun muka dengan merek
Rudy Hadisuwarno. Dalam joint venture itu, Rudy
menjadi pemasarnya. Namun, serangkaian pembelian
saham oleh Martha Tilaar Group—yang membeli
semua saham Kalbe di Martina Berto—membuat Rudy
tersingkir. “Mereka beli lisensi untuk merek saja,” ucap
Rudy.
Rudy telah mendapat pengakuan internasional pada
1980 ketika diangkat sebagai anggota Intercoiffure—
sebuah perhimpunan ahli-ahli tata rambut profesio­nal
sedunia yang berpusat di Paris. Tahun-tahun berikut­nya,
satu per satu medali diperoleh untuk kompetensinya, dan
pemerintah mengadopsi kurikulum sekolahnya men­jadi
standar nasional sekolah kejuruan. Sejak 1998 hingga
kini, nama Rudy tercatat dalam buku “Who’s Who in
the World” sebagai satu dari sekian orang terkemuka
Bagian 8 – Selalu Ada Jalan untuk Berubah

dan berhasil di bidangnya masing-masing. Dia pernah


menata rambut Nyonya Mondali, istri wakil presiden
Amerika Serikat, dan Putri Lilian dari Swedia.[]

243
Sahid Hotel

Menjadi Pegawai Negeri Sipil


Tak Akan Membuatmu Kaya

S ukamdani Sahid Gitosardjono mulai tertarik me­


miliki usaha perhotelan setelah mendapatkan penga­
laman betapa sulitnya mencari sebuah penginapan
di Medan, Sumatera Utara, pada 1961. Orang solo
yang sudah beberapa tahun merantau ke Jakarta dan
memiliki usaha percetakan ini diundang ke sana untuk
menerima tanda jasa kepahlawanan dari pemerintahan
Indonesia berkat jasa-jasanya sebagai pejuang tentara
pelajar zaman kemerdekaan. Setibanya di kota terbesar
di Sumatera itu, Sukamdani baru menyadari banyak
orang seperti dirinya; kesulitan berlama-lama bepergian
ke luar daerah. Karena selama ini tinggal di Jakarta, dia
belum pernah memikirkan peluang itu.
Sukamdani baru merealisasikan idenya empat tahun
kemudian di Jalan Gajah Mada, Solo, dengan mendirikan
Hotel Sahid Raya Solo—sekarang menjadi Hotel Sahid
Jaya. Ini menjadi hotel pertama yang dibangun di Solo
setelah kemerdekaan. Sampai sekarang, arsitektur hotel
itu masih tampak seperti keraton yang menyuguhkan
sensasi bangsawan. Kamar nomor 105 adalah salah satu
kamar yang pernah dipakai Raja Solo Pakoe Boewono

244
XII sebelum meninggal pada 2004. Kamar itu adalah
satu dari tiga tempat yang disegel sepeninggalnya,
selain Dalem Brotodiningrat, dan Nganjras—kabarnya
termasuk batu bekas renovasi yang tidak dibuang karena
belum selesai tetapi ditinggal wafat Sinuhun.
Dari Solo, jaringan hotel Sahid meluas ke daerah-
daerah seperti Semarang, Yogyakarta, Surabaya,
Manado, dan Jakarta. Dia belajar mengelola manaje­
men perusahaan modern hingga ke Amerika Serikat.
Lima tahun kemudian, Sukamdani membangun hotel
pertamanya di Jakarta di atas tanah bekas rumah
kontrakan ketika pertama kali menginjakkan kaki di
ibu kota. “Dulu, rumah saya di sini,” kata dia.
Jaringan hotel Sahid berkembang di tengah gem­
puran hotel-hotel asing dan sempat mengalami pukul­
an telak pada saat krisis ekonomi 1997, yang membuat
Sahid Group terpuruk oleh utang. Bagaimana tidak,
krisis itu datang di saat sejumlah megaproyek tengah
dikembangkan, seperti proyek Apartemen Istana Sahid,
Hotel Sahid Makassar, Hotel Sahid Raya Solo, dan Me­
nara Sahid sehingga menanggung utang macet hingga
USD 40 juta dari bank investasi Schroder. “Kami saat itu
Bagian 8 – Selalu Ada Jalan untuk Berubah

sempat mengalami kesulitan untuk membayar sehing­ga


terpaksa meminta perpanjangan waktu pembayaran,
keringanan pembayaran, tukar saham, dan tukar aset,”
kata Sukamdani.
Sukamdani juga sempat diduga tersangkut kasus
korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) se­
besar Rp 218 miliar, namun pemeriksaannya dihentikan
karena tidak ada bukti.
Tahun 2008 adalah kebangkitan kembali Sahid
Group dengan sebuah rencana besar; membangun 50
hotel berbintang pada 2013. Rencana tersebut diper­
kirakan membutuhkan dana investasi tidak kurang dari
Rp 2 triliun. Tetapi, rencana-rencana itu telah diserahkan
kepada lima anaknya yang mengelola jaringan bisnis 245
sebuah universitas dan sekolah pariwisata, bisnis travel,
properti dan surat kabar ekonomi paling populer ber­
nilai triliunan rupiah, sementara Sukamdani menikmati
masa pensiunnya dengan mengelola sebuah bisnis yang
disebutnya sebagai investasi akhirat. Sebuah akhir yang
manis untuk anak manusia yang melawan kelaziman.
Sukamdani menginjakkan kaki pertama kali di
Jakarta pada 1952. Menenteng sebuah koper dan sepeda,
Sukamdani muda hendak memperbaiki nasib setelah
dinyatakan lolos tes menjadi pegawai negeri sipil (PNS)
di Kementerian Dalam Negeri. Orang-orang sampai
sekarang mengenang keputusan nekat Sukamdani muda
sebagai kegilaan yang sulit dibayangkan pada zaman
sulit Orde Lama. Ceritanya, baru dua bulan menjadi
pegawai, Sukamdani menikahi gadis pujaannya, Juliah,
Putri Mangkunagaran, Keraton Solo, dan memilih meng­
undurkan diri dari PNS.
Seperti dikatakan menteri dan pengusaha Aburizal
Bakrie saat menghadiri perayaan ulang tahun Sukamdani
ke-75 yang meriah. “Kalau umur saya baru 25 tahun,
tidak mungkin saya berani menikah dengan gadis berusia
19 tahun. Minta keluar dari pegawai negeri, kawin,
dan mendirikan usaha berdua ....” Setelah menikah,
Sukamdani diketahui lebih memilih meminjam uang
kepada mertuanya sebesar 25 perak untuk membeli
mesin cetak tangan (hand press) dan memulai usaha
percetakannya tanpa tahu sedikit pun mengenai kertas,
tinta, dan sablon.
Di Jakarta, Sukamdani mengontrak sebuah rumah
sempit berlantai tanah di pinggir Jalan Sudirman, yang
M. MA’RUF

dipakai sebagai kantor percetakan sekaligus tempat


tinggal. Pengantin baru itu berbulan madu di rumah
saja sambil mengerjakan orderan cetak yang diperoleh
secara serabutan. Mas Kam—panggilan pelanggannya—
membeli kertas ke Jalan Tiang Bendera, mengantar dan
246 menjemput pesanan cetak, termasuk menagih ongkos
cetak. “Naik turun opelet, tak heran, saya banyak ke­
nalan nonpri,” katanya mengenang. Usahanya itu se­
makin berkembang ketika dia melanjutkan sekolah ke
Akademi Perniagaan Indonesia, Jakarta. Di situ dia
memanfaatkan order pencetakan makalah atau tugas-
tugas kuliah temannya. Pada 1958, order cetakan se­
makin banyak, terutama dari Departemen Dalam Negeri,
dan Departemen Keuangan. Empat tahun kemudian,
Sukamdani sudah memiliki tiga percetakan di Jakarta,
serta satu di Solo.
Dilahirkan di Solo pada tahun Sumpah Pemuda,
Sukamdani adalah putra pasangan Raden Sahid Djogo­
sentono dan Sadinah yang lahir dengan nama Sugito di
Desa Jetis, Sukoharjo, 10 kilometer arah selatan kota
Solo. Ayahnya yang bangsawan pernah hidup terhor­
mat sebagai lurah, namun kemudian jatuh miskin. Dia
dibesarkan dengan usaha jahitan dan warung kecil-
kecil­an yang dikelola ibunya. Setelah menamatkan
Sekolah Rakyat, Sukamdani bekerja sebagai pembantu
juru tulis di kantor Kaonderan—kecamatan—Sukoharjo
pada pagi hari, dan menjadi siswa sekolah menengah
pertama pada sore hari. Ketika tamat SMA, pangkatnya
Bagian 8 – Selalu Ada Jalan untuk Berubah

dinaikkan menjadi juru tulis kepala. Namun, situasi pe­


rang kemerdekaan mendorongnya bergabung dengan
tentara pelajar, di mana kemudian dia menemukan ide
membuka usaha hotel.
Apa yang membuat Hotel Sahid mampu bertahan
dari krisis dan keberadaan hotel-hotel berbintang merek
jaringan asing adalah kemampuannya membangun staf-
staf hotel yang terampil. Dia menyiapkan sendiri sarjana-
sarjana perhotelan yang bisa memasok pekerja yang
murah dan modern. Ini adalah terobosan penting untuk
mengatasai masalah karyawan perhotelan yang masih
amat terbatas, ketika merintis usaha ini. Sukamdani
mem­bawa ilmu hotel dan mendirikan Yayasan Sahid
Jaya. Ini, katanya, memenuhi keinginannya pada prinsip 247
yang disebut keseimbangan bisa terjadi dalam bisnis
dengan membuka sekolah. Pada 23 Maret 1983 didirikan
lem­baga pendidikan tinggi yang diberi nama Akademi
Perhotelan dan Pariwisata Sahid, yang kemudian dime­
karkan menjadi Universitas Sahid. Sejumlah hotel di
Indonesia berutang SDM padanya.
Sekarang, dengan bangga dia menyebut hanya
membayar sedikit ekspatriat, itu pun hanya untuk
mengelola Hotel Sahid-nya di Jakarta. Selebihnya
adalah orang-orang pribumi yang memulai karier dari
doorman, office boy, dan room boy, dan kini menjadi
general manager. General Manager Hotel Sahid Raya
Yogyakarta Purwanto mengalami ini ketika pertama
kali masuk diterima sebagai karyawan front office hotel
Sahid di Solo pada 1987 dengan gaji Rp 52.000 per
bulan.
Sukamdani mengaku tidak memiliki rumus khusus
membangun jaringan hotel itu kecuali petuah-petuah
usang. Dalam berbagai kesempatan, dia lebih sering
mengeluarkan tiga hal yang diajarkan bapaknya, menge­
nai nilai-nilai luhur Jawa. Pitutur (nasihat), pitedah
(petunjuk), dan wulang warah (pendidikan) dari orang
tuanya. Toh, banyak yang berpendapat, kesuksesan
Sukamdani disebabkan oleh relasi bisnis yang cukup
luas pada zaman Orde Baru, dan mencapai puncaknya
saat menjabat sebagai Ketua Umum Kamar Dagang
dan Industri (Kadin) 1982-1987, mengalahkan adik tiri
Presiden Soeharto, Probosutedjo.
Saat itu dia makin sibuk—pukul lima pagi hingga
setengah delapan, menyiapkan pembagian kerja, yang
M. MA’RUF

mana untuk Sahid Group, dan yang mana untuk Kadin.


Pukul delapan berangkat ke kantor dan bekerja hingga
pukul enam petang. Tetapi dia membayarnya dengan
golf untuk menenteramkan pikiran. Saat menjadi Ke­
tua Umum Kadin 1985, Sukamdani berjasa besar me­
248 mulihkan hubungan antara pengusaha pribumi dan
keturunan Tionghoa. Salah satu prestasinya adalah mem­
buka kembali hubungan dagang langsung dengan China,
yang ditandatangani di Hotel Shangrila, Singapura, Juli
1985. Hasilnya, volume dagang RI-China melonjak lima
kali lipat.
Karena posisi itu, dia mendapat banyak keperca­
yaan oleh keluarga presiden. Dari sekadar menjadi ke­
tua panitia penyelenggara pernikahan anggota keluar­
ga Cendana, membangun makam keluarga Istana Giri
Bangun, dan mendapat proyek pembangunan Pasar
Klewer Solo dan, karya impian ibu negara, Taman Mini
Indonesia Indah (TMII). Kendati demikian, Sukamdani
selalu menepis kedekatan itu sebagai jalan tol memba­
ngun imperium bisnisnya. “Silakan ditunjukkan, mana
proyek yang saya dapat dan mendatangkan keuntungan
pribadi karena semua kedekatan itu,” tantangnya.
Orang ini kemudian dikenal dengan wawasan na­
sionalisme dalam berbisnis. Sukamdani pernah begitu
jengkel dengan investor asing karena sering mendapat­
kan ketidakcocokan, saat membuat rencana membangun
pabrik semen di Palimanan, Cirebon. Dia kemudian me­
mutuskan kerjasama itu dan berpaling kepada taipan
Bagian 8 – Selalu Ada Jalan untuk Berubah

Liem Sioe Liong—Sudono Salim—pemilik Indocement,


yang waktu itu menguasai pasar semen, sehingga dengan
segera pabrik Tridaya Manunggal Perkasa Semen yang
seharga USD 300 juta dolar bisa berdiri pada 1985. Ber­
sama pengusaha properti Ciputra, anak Liem—Anthony
Salim—Sukamdani mendirikan Jurnalindo Aksara Gra­
fika yang menerbitkan harian ekonomi Bisnis Indonesia
pada 1986.
Sukamdani adalah orang langka macam Jakob
Oetama, pemimpin umum Kompas yang sukses tidak
hanya sebagai pengusaha tetapi juga konsisten sejak
muda sebagai intelektual. Oleh pemikir Komaruddin
Hidayat, Sukamdani, sudah dianggap sebagai the li­
ving book. Selain mengacu kepada kisah hidup yang 249
mengacu falsafah urip iku nguripi—hidup itu adalah
menghidupi— Sukamdani memang penulis buku. Di hari
tuanya, Sukamdani memusatkan diri kepada investasi
akhirat dengan mendirikan sekolah agama terpadu,
mulai dari pondok pesantren modern hingga sekolah
tinggi agama di Gunung Menyan, Bogor.[]
M. MA’RUF

250
Martha Tilaar

Ada Hal-hal Positif yang


Bisa Dikerjakan

K isah bagaimana seorang ibu rumah tangga me­


mulai bisnis kosmetiknya ini mirip dengan
berbagai cerita penemuan di dunia teknologi, yaitu
dari garasi rumah. Larry Page dan Sergey Brin pada
mulanya mengerjakan tugas kuliah dan menemukan
fitur pencari google dari garasi rumah mereka di Menlo
Park, California pada 1998. Puluhan tahun sebelumnya
William Hewlett dan David Packard merakit Hewlett
Packard pada bagian ruangan rumah yang sama tahun
1938. Bill Gate dan Paul Allen juga menempati ruang­
an yang sama untuk menemukan Microsoft. Apakah
bisnis sukses memang harus dari garasi rumah, sembari
menunggu kehamilan?
Di balik semua pencapaian itu—Martha menyebut­
nya sebagai keajaiban Tuhan—pergulatan yang tidak
kalah beratnya adalah memiliki anak. Vonis dokter ke­
dua diterimanya ketika lebih dari 12 tahun berkeluar­
ga tidak kunjung dikaruniai momongan—dia menikah
di usia 28 tahun. Para ahli obstetri dan ginekologi dari
dalam negeri hingga Skotlandia, Belanda, dan Amerika
Serikat memvonisnya mandul. Pada akhirnya vonis itu

251
gugur, ketika usaha keras dan telaten selama lima tahun
meminum jamu penyubur peranakan yang diberikan
neneknya membuahkan hasil. Pada mulanya, dokter
yang memeriksa kandungan Martha menganggap mens­
truasinya yang terhenti justru sinyal dia telah memasuki
masa menopause, sebab usianya sudah memasuki kepala
empat. “Sesampainya di rumah saya langsung katakan
pada suami bahwa saya sudah mandul, kalau mau kawin
lagi silakan, tapi dengan hati hancur,” kenang Martha.
Tetapi Martha yang tidak kunjung haid, memeriksakan
diri ke laboratorium, dan hasilnya diketahui positif ha­
mil. Istri Prof. Dr. Henry A. Rudolf Tilaar, yang lahir di
Kebumen, Jawa Tengah, 4 September 1937 ini dikaruniai
empat orang anak: Bryan Emil Tilaar, Pinkan Tilaar,
Wulan Tilaar, Kilala Tilaar.
Martha remaja adalah gadis yang tomboy dan nakal.
Di usia tujuh tahun, Martha yang sering sakit-sakitan
divonis dokter akan tumbuh sebagai gadis slow learner
alias telmi—ini mungkin perbedaan kontras Martha
dengan para penemu teknologi yang cerdas-cerdas
itu. Vonis itu mendorong ibunya memberi stimulan-
stimulan mengembangkan otak sebelah kanan Martha.
Kerajinan pertama yang dikuasai Martha kecil adalah
membuat kalung dan gelang dari jali-jali dan soko telik.
“Tindakan ibu itu merupakan bentuk pendidikan untuk
membuat saya kreatif, meskipun saya bukan anak yang
pinter,” jelas Martha.
Nasib baik membawa Martha yang tumbuh men­
jadi gadis cantik ke Negeri Paman Sam, setelah menikah
dengan Henry A. Rudolf Tilaar. Martha menemani tugas
M. MA’RUF

belajar Henry di Indiana University, dan memanfaatkan


waktu kosong dengan mengambil kuliah kecantikan
di Academy of Beauty Culture, Bloomington, Indiana.
Dia bertemu seorang dosen berkebangsaan Belanda,
Van Der Hoo yang memperlihatkan sebuah buku kuno
252 mengenai Mangkunegara, terbitan 1856. Buku itu
berisi gambar-gambar cantik wanita Indonesia tem­po
dulu dan sejumlah reramuan kecantikan rahasia seba­
gai harta karun terpendam yang tidak disadari oleh
kebanyakan orang Indonesia. ‘’Lihatlah, betapa cantik
wanita Indonesia,’’ kata Van der Hoo kepada Martha.
Sejak pertemuan itu, obsesi-obsesi mengenai seni pe­
rawatan tubuh tradisional mulai bermunculan. “Saya
membayangkan, bagaimana rupa wanita Indonesia bila
dirias menurut budaya Eropa,’’ tuturnya. “Rambut bisa
dicat pirang, hidung bisa dioperasi menjadi mancung,
tetapi mata tetap hitam. Lucu sekali,’’ ujar dia.
Baru setelah lulus, Martha yang kesepian—dia
be­lum diberi momongan—memulai praktik salon ke­
cantikan untuk mengisi waktu. Dia menawarkan jasa
salon ala tradisional Indonesia tetapi dengan teknik-
teknik modern lewat brosur sederhana, door to door ke
rumah-rumah mantan dosen. Keahlian itu sebelumnya
juga diperoleh dari pekerjaan sebagai sales girl produk
kosmetika Avon yang membuat Martha setiap sore
mengetuk pintu rumah warga untuk berteriak lantang,
“Avon calling!”
Sepulang dari Amerika, Martha dan suaminya yang
Bagian 8 – Selalu Ada Jalan untuk Berubah

belum punya rumah sendiri mendirikan Martha Salon,


menempati garasi rumah ayah Martha, Yakob Handana
di Jalan Kusuma Atmaja No. 47, Menteng, Jakarta Pusat.
Salon yang mulai dibuka Januari 1970 itu menempati
ruangan garasi berukuran 6 x 4 meter. Salon itu laku
keras. Mungkin ilmu kuno yang dibalut gaya modern
ala Amerika seperti yang dia cita-citakan membuat
Martha mampu menciptakan tren tata rias baru. Dia
memadukan ilmu dari akademi dengan ilmu kecan­tikan
kuno yang diajarkan Titi Poerwosoenoe, ahli kecantik­an
tradisional di Yogyakarta. “Ibu Titi guru pertama yang
mengajar saya bersolek,” kata Martha, yang mengaku
kursus itu diberikan ibunya setelah tingkah tomboy
Martha semakin mengkhawatirkan. 253
Martha yang beberapa tahun tidak kunjung di­
karuniai anak, melupakan kerinduan tangis bayi dengan
kesibukan-kesibukan baru dengan mengikuti kursus-
kursus kecantikan, mulai dari Bangkok, Hong Kong,
Tokyo, London, Paris, New York. Pada 1972, dia ke
Eropa untuk belajar ramu-ramuan di pabrik Yves Rocher
di Prancis, Mary Quant di Inggris, dan Hartleben di
Jerman Barat. Saat kembali ke Indonesia empat tahun
kemudian, dia mendirikan Martha Griya Salon yang
mem­perkenalkan perawatan tradisional dengan sentuh­
an modern. Hasilnya adalah tren-tren tata rias. Pada
1987 Martha secara cerdik memopulerkan Senja di
Sriwedari sebagai tren warna baru dalam tata rias yang
diilhami oleh kekayaan alam dan budaya Indonesia.
Era-90-an, setiap penata rias pastinya mengenal konsep
Gaya Warna Disainer (1998) yang mengambil unsur
budaya Jawa Barat dan Kalimantan, Sumatera Bergaya
(1989) dari Sumatera. Lantas Puri Prameswari (1990)
mengambil dari etnik Cirebon dan Bali, Senandung Nyiur
(1991) dari Pantai Indonesia, Riwayat Asmat (1992)
dari Irian Jaya/Papua, Rama-Rama Toraja (1993), serta
konsep-konsep dari berbagai daerah lain seperti Banda/
Ambon, Jakarta, Aceh. Dan, puncaknya adalah tren
warna Pusako Minang dari Minangkabau.
Lahirnya sebuah tren tidak jarang diilhami oleh
situasi atau peristiwa tertentu seperti Pusako Minang
yang mendongkrak penjualan Sariayu sampai empat
kali lipat. Tata rias tersebut diluncurkan pada 1998 di
tengah masa paceklik akibat krisis ekonomi. Pemulas
bibir pada tren ini sengaja diciptakan untuk kepraktis­an
M. MA’RUF

si pemakai sesuai dengan waktu dan kesempatan. Da­


lam satu kemasan terdapat dua paduan warna. Pusako
Minang rupanya membawa berkah bagi perusahaan yang
dipimpin Martha di tengah amukan topan krisis yang
merontokkan banyak perusahaan lain hingga gulung
tikar. Tren ini menyelamatkan sejumlah karyawannya
254
dari ancaman hantu PHK.
Lompatan besar bisnis Martha bisa dibilang baru
terjadi setelah kerja sama dengan Theresia Harsini
Setiady, pemilik Kalbe Farma pada 1977. Dua perem­
puan itu mendirikan perusahaan patungan Martina
Berto yang memproduksi secara masal kosmetik Sariayu
Martha Tilaar yang mengusung produk kosmetik ber­
basis tradisional, sebagai produk pertama. Produk ini
meledak di pasaran. Pada 1999, Martha membeli seluruh
saham Theresia di Martina Berto. Akuisisi ini sekaligus
mempersempit ruang gerak pesaingnya. Semua usaha ini
dikendalikan Martha lewat induk usaha Martha Tilaar
Group.
Pada mulanya, menjual produk lokal itu tidak
mudah. Martha sering ditolak sejumlah pemilik mall dan
plaza ketika hendak menyewa tempat untuk membuka
gerai jamu dan kosmetika, karena takut standar tempat
tersebut turun. “Saya kemudian menggebrak meja. Saya
tanya dia, kamu orang apa? Kamu hidup di mana? I’m
your tenant. Kalau tidak boleh, saya akan lapor ke
Presiden,” ancam Martha kepada salah seorang yang
menolaknya.
Krisis moneter yang
Bagian 8 – Selalu Ada Jalan untuk Berubah

melambungkan ni­lai tu­­kar


rupiah nya­ris membuat
Martha Tilaar Group
bang­krut pada Desember
1997. Namun, setelah har­­
ga produk-produk kosme­
tik impor rupanya men­jadi
jauh lebih mahal, konsu­
men mulai beralih kepada
kosmetiknya. “Keuntungan
dari Rp 15 juta rupiah se­
bulan menjadi Rp 225
juta,” ujarnya. Berbagai
krisis berhasil dilewati dan 255
produk-produk Sariayu mulai leluasa mendapat tempat
di gerai-gerai milik sendiri, pasar modern, tradisional,
dan sekarang secara online di internet. Sepanjang ta­
hun lalu, penjualan kosmetik Martha Tilaar Group
mencapai Rp 820 miliar. April 2009, setelah 39 tahun
berdiri, mereka memperoleh penghargaan tertinggi di
bidang inovasi dari ASEAN Business Advisory Council
(ABAC), mengalahkan ratusan perusahaan besar di
Asia Tenggara. Kini, usaha ini dipimpin putra pertama
Martha, Bryan Emil Tilaar sebagai Presiden Direktur.
Martha mengaku resep utama kosmetiknya adalah
mengambil latar belakang warisan tradisional tetapi
membalutnya dengan riset dan pengembangan teknologi.
Dia membayar mahal doktor-doktor kecantikan dari
luar negeri untuk menemukan komposisi kosmetik yang
cocok untuk kulit Asia. Dia sendiri sudah menerima gelar
Doktor Kehormatan dalam bidang fashion and artistry
dari World University Tuscon, Arizona, AS, pada 1984.
Satu di antara 150-an produk yang dihasilkan setiap
tahun dan menjadi fenomenal adalah Sariayu Putih
Langsat. Produk ini booming karena menyediakan
impian bagi gadis-gadis melayu yang berkulit gelap
men­jadi putih—mayoritas lelaki Indonesia menyukai
ini. Produk kecantikan ini dihasilkan dari buah langsat
asal Kalimantan Selatan yang dapat mencerahkan kulit.
Setelah dilakukan penelitian, ternyata memang mengan­
dung enzim thyrosinace yang dapat mencegah pigmen­
tasi atau penggelapan kulit.
Setelah menyerahkan segala macam urusan kepada
ahli warisnya, maestro kecantikan Indonesia ini men­
M. MA’RUF

jalani hari tuanya dengan membagi pengalaman. Dia


juga lebih tampak sering hadir dalam acara-acara amal.
Dua tahun lalu, dia menerbitkan buku biografi berjudul
“Dr Martha Tilaar bagi Indonesia: Perjalanan Seorang
Perempuan Entrepreneur Mengubah Mimpi Menjadi
256 Nyata”.[]
Tidak Ada
Pemenang
Abadi

bagian 9
Matahari

Ada Orang yang Ditakdirkan


Hanya untuk Mencipta

S eberapa besar intuisi dan keberuntungan menyer­tai


Anda? Baca cerita berikut. Hari Darmawan dan Anna
Janti adalah salah satu pemilik toko di Passer Baroe—
sekarang disebut sebagai Pasar Baru—yang terletak
di bibir Kali Ciliwung, dekat Jalan Veteran dan Jalan
Juanda, Jakarta Pusat. Pasutri itu menyaksikan Passer
Baroe hancur saat pemberontakan Partai Komunis
Indonesia (PKI). Tetapi keduanya berhasil selamat,
meskipun chaos sosial akibat pemberontakan G-30 S
PKI 1965 tak akan pernah hilang dari ingatan mereka.
Trauma yang pada saatnya nanti menyelamatkan mereka
dari situasi serupa.
Toko yang dibuka lima tahun sebelum pembe­
rontakan PKI itu memiliki nama yang lucu; Mickey
Mouse. Hari jelas-jelas mencomotnya dari tokoh komik
karya kartunis asal Chicago, Amerika Serikat, Walter
Elias. Disney yang menggemparkan dunia sejak dirilis
1928. Toko Mickey Mouse yang menjual baju impor
dan merek MM Fashion, buatan tangan istrinya yang
pandai menjahit itu adalah hadiah pernikahan bersyarat
dari mertua Hari. Hari menikahi Anna saat berusia 18

258
tahun, memiliki tokonya secara mencicil seharga Rp 1
juta. Sebagaimana umumnya anak keluarga keturunan
China yang pedagang, sejak kecil hingga SMA Hari
sudah terbiasa naik turun truk mengangkut barang
dagangan. Hari adalah anak Tan A Siong pemilik toko
bahan makanan, seperti, beras, gula, ikan asin, dan hasil
bumi lainnya di Jakarta.
Penjualan Mickey Mouse tidak buruk, karena baju-
baju MM Fashion itu memiliki konsumen tersendiri.
Tapi, semenjak toko itu dibuka, hingga Hari berumur
28 tahun, dia tidak pernah bisa menghilangkan perasa­
an iri dengan toko yang terletak di sebelah Mickey
Mouse. Selama satu dasawarsa tak henti-hentinya Hari
memikirkan bagaimana caranya memiliki toko yang
namanya lebih keren itu, De Zion. Setiap hari, Hari
melirik toko itu dan tampak kesulitan menemukan cara
De Zion memiliki pelanggan-pelanggan fanatik, yang
rata-rata pejabat dan orang kaya.
Pucuk di cinta ulam tiba. Pada 1968 datang kabar
dari mulut ke mulut yang sampai ke telinga Hari. Pemilik
De Zion mengalami kesulitan keuangan dan hendak
menjual tokonya. Tak lama, De Zion berpindah tangan
dan segera diubah namanya menjadi Toko Matahari.
Bagian 9 – Tidak Ada Pemenang Abadi

“De Zion artinya kan matahari,” kata Hari


Hari muda adalah orang yang enerjik, ambisius,
berani atau lebih tepatnya kurang perhitungan dan le­
bih memercayai intuisi. Pada toko barunya itu, dia me­
nemukan cara yang lebih baik untuk menjual barang,
yaitu dengan memajang semua barang selengkap mung­
kin agar memudahkan konsumen memilih barang yang
terbaik dan termurah. Orang-orang sekarang akan
mengenang konsep toko itu sebagai department store
pertama di Indonesia. Matahari menjual berbagai macam
kebutuhan sandang dan bukan kebutuhan sembilan
bahan pokok, yang disusun dalam bagian yang terpisah-
pisah dalam bentuk counter. 259
Matahari diserbu pengunjung setiap waktu, ter­
utama akhir pekan sebagai wahana baru belanja yang
nyaman nan modern bagi orang-orang kaya Jakarta.
Delapan tahun kemudian, Hari mulai membuka gerai
Sinar Matahari di luar Jakarta disertai pasokan produk
dagangan lebih beraneka ragam, mulai dari pakaian,
perhiasan, tas, sepatu, kosmetik, peralatan elektronik,
mainan, alat tulis, buku, obat-obatan hingga kebutuhan
sehari-hari. Sampai dengan dekade 1990-an, Matahari
Department Store amat populer dan merajalela, nyaris
tanpa saingan sebagai toko serbaada yang komplet.
Meski begitu, ini tidak sampai menimbulkan isu
perang pasar modern versus pasar tradisional—seperti
kasus-kasus belakangan ini, karena sikap bersahabat
Hari pada mereka yang kurang beruntung. Lebih dari
50% pemasok barang Matahari adalah produsen skala
kecil dan menengah.
Matahari mulai mendapat ancaman serius setelah
Paulus Tumewu mengikuti jejaknya—membesarkan
se­buah toko di daerah jalan Sabang, Jakarta Pusat—
menjadi lebih modern; Ramayana Department Store.
Pesaing-pesaing membuat Hari semakin agresif, salah
satunya dengan pergi ke Australia menggandeng Leisure
& Allied Industries (LAI) untuk memperkenalkan gerai
bermain Timezone pada 1994. Hari mengakui, terobosan
itu penting agar bisa bertahan dari serangan-serangan
frontal para pemain anyar. Adanya Timezone tampak
efektif merebut hati orang-orang tua yang tidak ingin
sekadar berbelanja, tetapi juga menyenangkan anak.
Masa-masa keemasan Matahari hadir pada awal
M. MA’RUF

1990-an, seiring pembangunan pusat-pusat pertokoan,


mal-mal di Jakarta dan sekitarnya secara masif. Gerai-
gerai baru dibangun di pusat perbelanjaan menyambut
kelas masyarakat berdompet tebal yang mulai bertambah
banyak. Matahari yang tampak kalap mencari dana
260 segar membiayai investasi gerai baru, mula-mula dengan
melepaskan sejumlah saham di lantai bursa untuk meraup
dana segar tak kurang dari Rp 400 miliar—memakai
kurs sekarang pastinya tidak kurang dari Rp 1,6 triliun.
Hari merasa dana itu tidak cukup, lebih-lebih untuk
memenuhi ambisi pembangunan 1.000 gerai Matahari.
James T. Riady, bankir muda lulusan luar negeri
anak konglomerat Mochtar Riady—pemilik usaha group
Lippo—mungkin orang yang tahu betul nafsu Hari un­
tuk 1.000 gerai itu. James lalu menawarkan pinjaman
lunak agar mimpi-mimpi itu menjadi kenyataan. Tanpa
berpikir panjang, Hari menerima kucuran pinjaman dari
Bank Lippo. Entah tidak tahu atau khilaf dengan iming-
iming bunga murah, di saat yang sama, James sedang
tergila-gila dengan Wal-Mart dan JC Penney di Amerika
Serikat. Dengan dukungan modal kuat sebuah bank
milik ayahnya, James berangan-angan menerjuni bisnis
ritel yang gurih. Malah, ketika pinjaman itu akhirnya
cair, di sejumlah mal, gerai-gerai Wal-Mart milik James
memasang lokasinya secara head to head dengan gerai
Matahari.
Hari sudah memikirkan cara menahan serangan-
serangan frontal ritel milik Lippo dengan membuka
Mega Matahari (Mega M). Dalam beberapa tahun, Hari
Bagian 9 – Tidak Ada Pemenang Abadi

tampak lebih menguasai keadaan dengan bisnisnya yang


mulai beromzet dua triliun itu.
Akhir 1996, Hari membuat publik tercengang sete­
lah menerima proposal pembelian oleh James melalui
salah satu anak usaha Grup Lippo. Orang-orang terke­
jut, bagaimana Matahari yang sedang bersinar terang
bisa dijual kepada James. Ini memicu berbagai speku­
lasi liar mengenai cara-cara Lippo menguasai bisnis
ritel, setelah Wal-Mart tidak kunjung bisa menguasai
keadaan. Tersiar kabar keberadaan Mega Matahari
telah membuat Wal-Mart terus merugi, dan di pihak
lain Hari terpaksa menerima akuisisi karena terdesak
utang kepada Lippo yang nyaris mencapai Rp 1 triliun. 261
Sejumlah analis malah menuding akuisisi itu adalah
akal-akalan James mencaplok Matahari, dengan bahasa
halus aliansi strategis karena Hari masih diberi sejumlah
saham. Setelah akuisisi, Hari masih menjabat sebagai
Presiden Direktur hingga 2001.
Sampai sekarang tidak pernah ada kata penyesalan
dari mulut Hari karena dia mengaku memiliki alasan­
nya sendiri. “Saya punya pengalaman waktu ada pem­
berontakan PKI, tahun 60-an, saya melihat kejadian itu
di Pasar Baru. Saya percaya ini sinyal dari Tuhan. Kalau
Matahari tidak cepat-cepat dijual, bisa mati saya,”
M. MA’RUF

kenangnya. Trauma Gestapo 1965 itu disebut Hari te­


lah memberinya kemampuan intuisi di atas rata-rata,
membaca tanda-tanda zaman, dimulai saat peristiwa
penyerbuan kantor Partai Demokrasi Indonesia di Jalan
Diponegoro Jakarta, pada 27 Juli 1996. Peristiwa itu
menurutnya adalah sinyal jatuhnya Rezim Soeharto,
262 yang akan diakhiri kerusuhan persis seperti pengalaman
buruk Toko Micky Mouse kala itu. Intuisi itu sendiri
kemudian terbukti ketika Jakarta diguncang prahara
pada Mei 1998. Puluhan mal, plaza, dan ribuan
toko hangus terbakar dan Indonesia terjerembap
krisis ekonomi paling dalam hingga beberapa tahun
kemudian. Penjualan ritel anjlok tak terbilang, dan
banyak konglomerat jatuh miskin, terjerat utang ke
negara. Wal-Mart milik James sendiri kemudian tutup
setelah peristiwa itu.
Bila kesempatan baik itu adalah sebuah kesuksesan,
maka dia hanya datang sekali. Sejak 1997, Hari dan
keluarganya tinggal di kawasan Cisarua, Puncak, Bogor,
di atas tanah yang cukup luas dan ditumbuhi pohon-
pohon dan bunga-bunga. Hari-harinya kini disibuk­
kan untuk membantu tetangga sekitar dan berdakwah
sabda-sabda Yesus, serta meyakini kekayaan itu tidak
lebih baik dan sangat mudah didapatkan dibandingkan
hidup tenteram dan tenang. “Kalau dulu mencari uang
hanya untuk berbelanja, main perempuan, dan hidup
bermewah-mewah, tapi sekarang kita merasa malu
sekali, jika hanya bisa mencari uang untuk diri sendiri
tanpa melihat kehidupan sosial,” ungkap Hari.[]
Bagian 9 – Tidak Ada Pemenang Abadi

263
Astra Internasional

Ada yang Lebih Bernilai


daripada Angka-angka Triliunan

W illiam Soeryadjaya menemukan cinta pertama


dan terakhirnya di Bandung dengan anggota
Chinese Red Cross, Lily Anwar, dan langsung jatuh hati
pada pandangan pertama. Dia berpacaran sampai usia
24 tahun dan menikahi gadis Tionghoa pujaannya itu
dalam masa-masa agresi Belanda, tanpa pesta. “Kami
ke kantor catatan sipil naik becak dan menikah tanpa
dihadiri tamu undangan. Setelah selesai nikah, kami
pulang ke Jalan Merdeka naik becak lagi,” kenang
William.
Beberapa minggu kemudian, William berangkat
ke Belanda untuk kuliah di Leder & Schoenindustrie,
di mana dia menemukan cara penyamakan kulit. Lily
menyusul dan melahirkan putra pertamanya, Edward
Soeryadjaya di Amsterdam pada 21 Mei 1948. Mereka
bertiga hidup dari berjualan kacang dan rokok paket
kiriman dari Bandung.
Pulang ke Indonesia tahun 1949, William mendirikan
pabrik kulit, yang pengelolaannya diserahkan kepada
salah satu temannya dan selang dua tahun kemudian,
merintis usaha perdagangan dan ekspor-impor, namun

264
merugi jutaan Deutsche Mark karena ditipu rekannya.
Baru enam tahun kemudian William bisa bangkit dan
bersama adiknya, Benjamin Soeryadjaya, Tjia Kian
Tie dan kawannya, Lim Peng Hong mendirikan Astra
International Incorporated sebagai usaha yang lebih
mirip seperti toko kelontong. Mula-mula memasarkan
minuman ringan, merk Prem Club, dan kembali berke­
cimpung dengan mengekspor hasil bumi, dan mema­sok
konstruksi baja untuk proyek Jatiluhur. Selama sepuluh
tahun pertama, Astra bertahan sebagai perusahaan
limun, dan berdagang hasil bumi.
Karakter William yang progresif dan Benjamin
yang konservatif berperan sebagai rem di perusahaan
mem­buat Astra dapat berjalan seimbang. Bisnis me­
laju kencang dan kesemapatan emas datang setelah
Soeharto melengserkan Soekarno dan diangkat menjadi
pejabat presiden pada 1968. Gebrakan pembangunan
infrastruktur Orde Baru membuat kebutuhan alat ang­
kutan meningkat. Pemerintah membutuhkan ratusan
traktor dan ribuan mobil truk untuk mengangkut mate­
rial bahan bangunan jembatan dan jalan.
Sebuah kesalahan pencatatan kredit ekspor mence­
burkan Astra pada bisnis automotif. Setahun sebelum
Bagian 9 – Tidak Ada Pemenang Abadi

Soekarno lengser, tepatnya 1967, Astra mendapat tender


pengadaan generator listrik buatan General Motors
pada Perusahaan Listrik Negara. Entah mengapa terjadi
kesalahan pencatatan, sehingga proyek genset itu justru
jatuh kepada Garuda Diesel. Astra, yang terlanjur
membayar kepada General Motors, meminta ganti 800
truk Chevrolet. “Waktu itu kami mendapatkan ke­
untungan dan bunga sekitar USD 400.000. Truk sangat
dibutuhkan waktu itu, sehingga larisnya seperti pisang
goreng,” kata William.
William tampak ketagihan pada bisnis ini dan
awal­nya pontang-panting mencari lisensi agen penjual
mobil impor. Dia gagal mendapatkan izin dari General 265
Motors untuk mendatangkan mobil Chevrolet, begitu
pula Nissan dari Jepang yang tidak mau menanggapi
proposal penawaran, karena Astra tidak memiliki latar
belakang berjualan mobil.
Kesuksesan Astra mulai tampak setelah keluar per­
aturan impor mobil yang memakai sistem agen tung­
gal pemegang merek (ATPM) agar secara bertahap
pem­belian langsung secara lengkap atau built up bisa
dikurangi dengan perakitan lokal. William mengambil
peluang ini melalui pembelian pabrik bekas perakitan
Gaya Motor milik General Motors yang dinasionalisasi
setelah perang kemerdekaan. Rekomendasi pemerin­
tah kemudian membuat Astra bisa mendapat izin agen
penjual mobil-mobil Toyota Motor Company. Dari sini,
barulah Astra mampu mendapat kontrak ATPM untuk
merek mobil lain, termasuk PT Federal Motor yang
sudah mendirikan pabrik perakitan pada 1971. Sejak
itu, Astra menjadi rekanan pemerintah untuk berba­
gai kebutuhan alat berat merek Komatsu asal Jepang,
Forklifts dan Timberjack dan alat teknik pendingin
seperti Westinghouse. Astra kemudian menjadi ATPM
untuk mobil Toyota dan Daihatsu, dan sepeda motor
Honda, serta mesin kopi Xerox. Menurut William, inilah
tulang punggung Astra.
William mengumpamakan Astra sebagai pohon
beringin yang mampu menaungi segala macam
bisnisnya—seperti lambang Partai Golkar. Pembicara
Publik A.M. Lilik Agung menyebut ada tiga karakter
moral pemim­pin yang dimiliki William sehingga
bisa membesarkan Astra. Pertama, ethos yaitu
M. MA’RUF

sumber kekuatan untuk dapat memunculkan suatu


keyakinan. Kedua, pathos, merupakan kemampuan
untuk menyentuh perasaan dan menggerakkan emosi
para pengikutnya. Ketiga, logos, yakni kemampuan
untuk bisa memberikan landasan rasional bagi suatu
266 tindakan ataupun pengambilan ke­putusan. Dalam
bahasa psikologi, ethos memerlukan kecerdasan
spiritual, pathos bersinggungan dengan kecerdasan
emosional, dan logos berdasar kecerdasan intelektual.
Namun, bagi William, Astra adalah berkah dari Tuhan,
sehingga dalam manajemen benar-benar memerhatikan
kesejahteraan karyawan.
Jatuh, tumbuh dan bangun menyertai perjalanan
Astra, terutama saat pecah kerusuhan Januari 1974 (Pe­
ristiwa Malari). Salah satu gedung Astra Motor di Jalan
Sudirman dibakar massa karena mobil Toyota dianggap
sebagai antek Jepang. Keresahan sosial karena jurang
kasta ekonomi yang makin lebar adalah pemicu peristiwa
itu. Kejadian genting itu cukup membekas pada hati
William sehingga menggerakkan nurani bisnisnya untuk
mencari ladang usaha baru yang bisa merangkul orang-
orang kecil. Setidaknya, untuk mengimbangi bisnis mobil
yang masih dijadikan simbol antek neoliberal waktu itu.
Tanpa persetujuan direksi Astra, konon me­makai uang
pribadi, William mendirikan Multi Agro pada Juli 1973
yang bergerak di bidang perkebunan. Dia mengenalkan
sistem Perkebunan Inti Rakyat (PIR) untuk mengelola
jutaan hektare perkebunan karet. Gagasan itu mengubah
wajah William sebagai konglomerat yang lebih peduli
Bagian 9 – Tidak Ada Pemenang Abadi

dengan rakyat, di samping menikmati gurihnya booming


harga komoditas pada rentang waktu 1973-1987 yang
melecut keuntungan Astra menjadi berlipat-lipat. Pada
1987, ekspor karet Astra ke Amerika serikat, antara lain
memasok pabrik ban Goodyear, ikut mengumpulkan
devisa USD 97 juta. Astra dengan bisnis automotif dan
komoditas benar-benar menjadi bintang lapangan yang
patut mengundang iri.
Tidak ada kawan abadi dalam politik, begitu pula
dalam berbisnis. Orang-orang akan bersikap manis ke­
tika kita sedang berjaya, tetapi di balik topeng wajah
ramah itu selalu saja ada nafsu, iri dengki, keserakahan
dan kekejaman. Setiap bantuan ada kalkulasi untung 267
dan rugi, disertai niat-niat menguasai. Suatu malam di
pengujung 1992, William mengalami itu ketika disodori
secarik surat bantuan pinjaman triliunan rupiah yang
disampaikan utusan dari empat konglomerat koleganya.
Surat itu bisa menyelamatkan anak emasnya dari jeruji
besi, tetapi dengan syarat ditukar dengan kepemilikan
kapal induk bisnisnya, Astra International, yang telah
beranak-pinak ratusan perusahaan.
Itu adalah pilihan simalakama. Mendung meng­
gelayuti hari-hari taipan itu, karena Bank Summa harus
segera disuntik modal baru, atau anak kesayangan­
nya akan dipenjara. Sementara jalan alternatif melalui
Menteri Sumitro Djojohadikusumo mencari investor di
Jepang, yang mau membeli saham Astra tanpa menggusur
kepemilikan tidak kunjung menuai hasil. Sang maestro
bisnis automotif dan pedagang komoditas William du­
duk dikelilingi para direktur Astra International untuk
memutuskan sebuah keputusan yang amat pahit, pada
masa-masa kelangkaan uang. Dalam sekejap Astra ber­
pindah dalam genggaman konglomerat yang disebut-
sebut waktu itu sebagai The Big Five: Putra Sampoerna,
Bob Hasan, Prajogo Pangestu, dan Sudono Salim.
“Teman-teman yang saya kira mau menolong ternyata
iktikadnya sejelek itu .... Yang diincar sebenarnya Astra,”
kenang William. Caranya adalah dengan terlebih dahulu
melumpuhkan Bank Summa, milik anak kesayangannya,
Edward Soeryadjaya.
Kemalangan datang bertubi-tubi menimpa William,
karena bank itu pun akhirnya tidak bisa diselamat­kan.
Setelah menggambil alih kepemilikan dari Edward, ke­
M. MA’RUF

sehatan Bank Summa yang terlilit kredit macet Rp 1,7


triliun terus memburuk. Berita-berita buruk di koran-
koran mengundang ribuan nasabah berbondong-
bondong menarik dananya, membuat ratusan miliar
suntikan modal dari penjualan Astra seperti menggarami
268 air laut. Klimaksnya, Bank Indonesia (BI) yang ketakutan
akan terjadi krisis, melikuidasi bank itu pada Desember
1992. Nasabah-nasabah yang kecewa berdemo, mendu­
duki rumah mewah William dengan keranda mayat.
Sementara media mencaci-maki keluarga itu sebagai
koruptor.
Hubungan keluarga taipan itu retak. Majalah
Tempo merekam ketegangan di keluarga William masih
terasa panas 10 tahun setelah kejatuhan dramatis
itu berlangsung. Sorot kemarahan adiknya (adik
Edward) masih menyala ketika membahas soal sebab-
musabab kejatuhan Astra pada buku biografi William
yang ditulis Ramadhan KH. Adik-adik Edward masih
tidak sepaham mengenai bagaimana kisah kejatuhan
Astra itu diceritakan kepada orang-orang, masing-
masing berupaya mendesakkan pendapat ihwal detik-
detik keputusan itu diambil. Buku biografi itu sendiri
akhirnya diterbitkan setelah tiga tahun sengketa 20
lembar halaman mengenai topik itu diedit berulang-
ulang. Kemarahan itu sulit pudar karena kejatuhan
Astra dituding akibat tindakan sembrono Edward saat
awal-awal merasakan euforia menjadi bankir—bisnis
yang sejak awal dijauhi oleh William.
Edward yang dikuliahkan di Jerman diberi modal
Bagian 9 – Tidak Ada Pemenang Abadi

untuk mencari ladang usahanya sendiri. Pada 1984, dia


membeli Summa Handelsbank Ag, Dusseldorf, Jerman
Barat. Konon, putra sulungnya itu dikucuri USD 25 juta
untuk mendirikan Summa Internasional Bank Ltd. pada
1979 di Port Vila, Vanuatu, dan dengan cepat berekspan­
si ke Hong Kong dan Jerman. Edward yang mewarisi
sifat agresif bapaknya adalah pria cekatan yang suka me­
makai dana-dana kilat untuk cepat menggelembungkan
aset Bank Summa. Ini ditunjang Paket Oktober 88—
kebijakan pemerintah mempermudah membuat bank—
yang hanya menyaratkan modal Rp 10 miliar untuk
memiliki sebuah bank. Sebagai bankir, Edward kurang
pengalaman, dan cukup ceroboh di samping dikenal 269
royal memberikan pinjaman modal untuk teman-teman
dekat. Banknya karam setelah mendekati 1990-an BI
menerapkan kebijakan uang ketat.
Alih-alih bangkrut, pilihan William menyelamatkan
Edward waktu itu, sekarang telah menjadi legenda
teladan sikap kesatria bagaimana seharusnya konglo­
merat bertanggung jawab bila dirundung masalah.
Terlebih rakyat jelata bangsa ini sangat muak setelah
kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pasca
krisis 1998, mempertontonkan sikap pengecut banyak
konglomerat yang terjerat utang, seperti pura-pura sakit
atau lari tunggang langgang ke Singapura dan Hong
Kong. William mengakui keputusan itu adalah bisikan
nurani, sebagaimana seorang ayah melihat anaknya
menderita—tetapi kemudian dimanfaatkan oleh orang
lain.
Bagaimana William mau memasang badan atas
kebangkrutan Edward itu tampaknya terbentuk oleh
penderitaan sejak di usia dini. William yang lahir di
Kabupaten Majalengka Provinsi Jawa Barat pada 20
Desember 1922 adalah anak yang tekun dan mandiri.
Dia pernah tidak naik sekolah dua kali, tetapi akhir­
nya bisa menamatkan sekolah Meer Ultgebreid Lager
Onderwijs (MULO), atau setingkat SMP. Di sekolah,
bakat dagang ditunjukkannya lewat kesukaan meng­
ikuti dengan khidmat jam-jam pelajaran ekonomi dan
tata buku. Kegetiran hidup dimulai saat menjadi yatim
piatu hanya berselang dalam tempo dua bulan, ketika
ayahnya meninggal pada Oktober 1934 dan disusul
ibunya. William yang masih berumur 12 tahun harus
M. MA’RUF

menjadi kepala keluarga dan melakukan apa saja untuk


hidup. Mula-mula adalah kecerdikannya membaca
peluang saat kelangkaan kertas terjadi di Cirebon, Jawa
Barat. “Saya mencarinya di daerah Bandung, dan saya
mengangkut kertas itu ke Cirebon dengan truk,” kata
270 dia. Bisnis itu berjalan beberapa bulan, dan warisan
orangtua itu kemudian dipakai untuk memasok benang
untuk pabrik tenun di Majalaya, lalu beralih ke hasil
bumi, seperti minyak, kacang, beras, dan gula.
Sepeninggalan William, Astra tumbuh semakin pesat
dengan masuknya orang-orang hebat seperti Juwono
Sudarsono, Sri Mulyani Indrawati, Rini MS Soewandi,
dalam dewan komisaris. Tetapi sampai beberapa tahun
setelah kehilangan, hubungan William dengan dan Astra
terus memburuk. Seperti sebuah karma, Astra tumbang
oleh krisis moneter 1997. Adalah cerita heroik srikandi
Rini Soewandi menyelamatkan kapal besar ini dari ba­
dai kerugian hingga Rp 7,36 trilliun, yang membuat har­
ga saham Astra jatuh ke titik paling rendah sepanjang
sejarah. Rini memotong gaji para eksekutif, menutup
dealer yang tidak laku dan merumahkan 20.000 karya­
wan. Dalam setahun, posisi rugi Astra menjadi untung
Rp 800 miliar, dan mampu memperpanjang pembayaran
utang perusahaan yang mencapai USD 1 miliar.
Fondasi manajemen yang ditanam William ketika
masih menguasai kini membuat tata kelola Astra men­
jadi yang terbaik. Hampir semua kajian manajemen
di Indonesia memakai Astra sebagai rujukan, seperti
soal kualitas, dan pelayanan yang perlu dilakukan
Bagian 9 – Tidak Ada Pemenang Abadi

untuk meningkatkan performa perusahaan. Tahun lalu


misalnya, Astra meraup laba bersih sebesar Rp 9,1 triliun,
dan membagi-bagikan Rp 3,5 triliun kepada peme­gang
sahamnya. Charlotte Butler pernah melakukan peneliti­an
selama 10 tahun tentang Astra, dan dibukukan dengan
judul Dare to Do: The Story of William Soeryadjaya and
PT Astra International. Dia adalah peneliti Euro-Asia
Centre, sebuah sekolah manajemen bisnis yang terdapat
di Prancis dan Singapura. Penelitian ini, khusus meneliti
bagaimana gaya manajemen yang dilakukan William
membesarkan Astra, dan dijadikan referensi.
Seperti akhir film-film Holywood, William is back.
Ke­hilangan Astra rupanya tidak mengikis habis keka­ 271
yaannya. Keluarga ini mencuat kembali di panggung
konglomerasi mulai tahun 2000, setelah menggusur ke­
pemilikan Bambang Trihatmodjo dan Johannes Kotjo
pada Van Der Horst Indonesia. Dia mengumpulkan
kembali satu per satu asetnya yang masih tercecer pada
anak-anak usaha Astra. Setelah dibeli, nama Van Der
Host diubah kembali menjadi Siwani Makmur, William
masih memberikan Edward jabatan sebagai direktur
utama sementara dirinya mengawasi dari bilik komisaris
utama. Terakhir, Siwani berencana mengakuisisi Bank
IFI, milik Bambang Rachmadi namun gagal karena
akhirnya dilikuidasi.
Dana-dana pembelian adalah sisa-sisa kepemilik­
an pada anak usaha Astra yang tak tersentuh dalam
peristiwa akuisisi itu. Beberapa sumber menyebut aset
William rupanya mencapai 300 lebih perusahaan dengan
omzet hampir mencapai Rp 7 triliun. “Saya pertaruh­kan
nama bersih saya, nama bersih orang-orang kepercayaan
saya, untuk merealisasikan impian saya mulai dari
bawah lagi,” kata William. Sekarang, aset-aset itu telah
dibagikan secara lebih merata kepada anak-anaknya.
Putri bungsunya, Judith, bekerja sama dengan Singapore
Airlines berbisnis hotel berbintang dan memulai sektor
properti sejak 1995. Sementara Edwin, adik Edward
yang pernah membuka gerai makanan di Lantai II
Gedung Bursa Efek Jakarta pada 1995, mendapatkan
Van der Horst Ltd. (Singapura) yang kemudian diubah
menjadi Interra Resources Ltd.[]
M. MA’RUF

272
MQ Corp

Sebuah Bisnis Berbasis


Figur itu Seperti Mode

B agaimana agama dan bisnis adalah unsur yang saling


melengkapi dijelaskan orang ini. Yan Gymnastiar
lahir di Bandung pada 29 Januari 1962 dari pasangan
Letkol H. Engkus Kuswara dan Hj. Yeti Rohayati—Yan
diambil dari kata Januari dan Gymnastiar dari kata
gymnastic (senam), olahraga yang sangat disukai Engkus
Kuswara.
Meski tidak memiliki riwayat pendidikan agama
secara khusus, pada umurnya di kepala tiga, nama pria
berwajah teduh dan murah senyum ini amat populer
sebagai da’i di awal 1990-an. Popularitas da’i muda
yang kemudian terkenal dengan nama KH. Abdullah
Gymnastiar atau sering disingkat Aa Gym disebut-
sebut menyamai Buya Hamka pada 1970-an dan setara
dengan “Da’i Sejuta Umat”, Zainudin MZ, era 1980-
an. Aa Gym menggeser popularitas Zainudin seiring
keterlibatan da’i itu dengan dunia politik, selain karena
bahasa dakwah orang sunda ini yang menyentuh kalbu.
Saking populernya, aktivis islam liberal, Ulil Abshar-
Abdalla menemukan julukan bernada sinis; “Britney
Spears dalam Islam”.

273
Aa Gym mulai tampil berdakwah di layar televisi
nasional dalam program Hikmah Fajar di RCTI sekitar
tahun 2000. Tahun berikutnya, rumah produksi MQ
Corp membuat program mandiri ber­judul “Manajemen
Qolbu”. Magnet pemirsa yang luar biasa membuat
para pemilik televisi seperti antre meminta waktu untuk
menyiarkan ceramah-ceramah yang menyejukkan se­
mua pihak—SCTV tampak paling sering—lepas dari
pendengarnya muslim, dan non-muslim. Aa Gym mem­
bawa angin segar dalam syiar islam yang lebih santun
dan bersahabat. Pada tabligh akbar yang diikuti lebih
10.000 jemaah—termasuk warga Kristiani—di Masjid
Agung Darussalam Palu, saat kerusuhan antara agama
terjadi, Aa Gym mungkin satu-satunya da’i Islam yang
mampu menyejukkan suasana daerah timur Indonesia
yang sedang tercabik-cabik kerusuhan antar etnis.
Pandangan toleran dan bersahabat ini membuat
Aa Gym tampil di sejumlah acara televisi di Amerika
Serikat. Orang-orang barat terheran-heran Aa Gym
bisa menghadirkan sebuah nuansa Islam yang sejuk dan
damai, dalam situasi yang carut-marut di Maluku. Bagi
dunia, dan Indonesia khususnya, Aa Gym membawa
obat jiwa bagi banyak orang yang sedang merasakan
dahaga spiritual. Sudah tidak terhitung lagi berapa
kali media lokal mengangkat profil da’i muda ini, dari
semua sisi kehidupannya. Koran New York Times dan
majalah Time—menghabiskan empat halaman, dengan
tulisan berjudul “Holy Man”, edisi November 2002—
khusus menyajikan profil Aa Gym, dan pandangan-
pandangannya.
M. MA’RUF

Dalam berbagai kesempatan, Aa Gym mengaku


guru agama pertamanya adalah adik kandungnya,
Agung Gunmartin. Adiknya itu cacat sejak lahir dengan
tubuh yang lumpuh, mata juling, dan kurang pen­
dengaran. Namun, Agung tetap meminta kakaknya itu
274 menggendongnya untuk menghadiri kuliah dan shalat
berjamaah di masjid. “Sampai akhirnya dia meninggal
di pangkuan saya, “ kata Aa Gym. Kebersamaan dengan
adiknya memercikkan getar-getar spiritual di sanubari
Aa Gym. Dia terkenang oleh wajah adiknya yang selalu
dihiasi senyum dan tak pernah mengeluh. Sikap gigih,
tegar dan tidak kenal menyerah, serta nasihat-nasihat
sang adik membekas padanya.
Sejumlah peristiwa spiritual datang silih berganti
seperti mendorongnya mendekat kepada Tuhan. Dia
pernah bermimpi salat berjamaah bersama Rasulullah
Saw. dan empat khalifah, Abu Bakar, Umar bin Khattab,
Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. “Saya ber­
diri di samping Sayidina Ali, sementara Rasulullah
bertindak sebagai imam,” ungkap dia. Pada mimpi yang
lain, Aa Gym merasa didatangi seorang tua berjubah
putih bersih, yang mencuci mukanya dengan ekor bulu
merak bersaput madu. Dalam pelbagai kitab kuning,
mimpi bertemu dengan Nabi sendiri adalah sebuah
keistimewaan, karena dalam sebuah hadis disebutkan,
ini berarti sama dengan bertemu secara nyata dengan
beliau. Orang-orang pemimpi itu, kelak akan menjadi
orang yang mulia. Ini mendorong Aa Gym mulai men­
cari guru untuk menemukan jawaban-jawaban atas
Bagian 9 – Tidak Ada Pemenang Abadi

teka-teki itu.
Dia berguru kepada Ajengan Junaedi di Garut, Jawa
Barat. Hanya dalam tempo tiga hari, sang ajengan me­
nyatakan anak muda ini telah dikaruniai ilmu laduni—
ilmu yang langsung diperoleh dari Allah yang membuat
seseorang mampu memahami sesuatu tanpa melalui
proses belajar. Aa Gym yang masih belum begitu yakin
kemudian mengikuti nasihat Ajengan untuk berguru
ke­pada KH. Choer Affandi, ulama karismatik pemim­
pin Pondok Pesantren Miftahul Huda, Manonjaya,
Tasikmalaya. Kesimpulannya sama, anak muda ini telah
dikarunia ma’rifatullah, suatu ilmu yang tidak bisa di­
turunkan kepada sembarang orang. “Berkat ilmu itu, 275
saya bisa tiba-tiba tanpa sengaja mengetahui hal-hal
baru saat berceramah,” kata Aa Gym.
Dakwah itu diawali dari diri sendiri. Aa Gym
menikahi Ninih Muthmainnah, cucu KH. Mohamad
Tasdiqin, pengasuh Pondok Pesantren Kalangsari,
Cijulang, Ciamis Selatan, Jawa Barat, pada 1987. Pesta
pernikahan digelar dengan jamuan ala kadar, kabarnya
untuk menghemat, dipakai nampan lebar berisi penganan
untuk setiap delapan orang tamu. Aa Gym memboyong
istrinya tinggal bersama orangtuanya di Kompleks
Perumahan Angkatan Darat (KPAD) Gegerkalong,
Bandung. Pernikahan ini menjadi titik balik bagi kehi­
dupan da’i muda itu. Aa Gym yang sejak kuliah lebih
dikenal sebagai pedagang daripada mahasiswa mula-
mula bekerja serabutan. Dia berjualan buku-buku
agama di Masjid Al-Furqon, menjual kerajinan tangan
buah tangan murid-muridnya di madrasah KPAD,
dan bermitra dengan pamannya menjual bakso di Pe­
rumnas Sarijadi. Aa Gym juga merangkul anak-anak
muda dengan organisasi Keluarga Mahasiswa Islam
Wiraswasta (KMIW). Organisasi yang diisi para rekan
kuliahnya ini membuat dan menjajakan stiker, kaos
oblong, gantungan kunci, dan alat tulis-menulis yang
dibubuhi slogan-slogan religius.
Usaha-usaha itu terus berkembang dan mampu
menopang biaya dakwah Aa Gym yang semakin sibuk
dengan sejumlah undangan ceramah. Dia mendirikan
Yayasan Pondok Pesantren Daarut Tauhiid (DT) pada
1990, terinspirasi oleh organisasi dakwah Al-Arqam
di Malaysia, yang berhasil secara mandiri memenuhi
M. MA’RUF

kebutuhan sehari-hari. Ini tampaknya cocok dengan


gaya dakwahnya yang tidak menggantungkan hidup
dari tarif ceramah. “Saya ingin mendobrak pandangan
bahwa bisnis itu urusan duniawi,” kata Aa Gym.
Lokasi pondok kemudian bergeser ke sebuah ru­
276 mah indekos di Jalan Gegerkalong Girang 67, sebuah
kawasan “bronx” di bagian utara kota Bandung. Aa
Gym kemudian membeli rumah indekos yang memiliki
20 kamar tersebut seharga Rp 100 juta, dari hasil
bisnis.
Yang unik—mungkin karena bisnis adalah dak­
wah—Aa Gym menjadikan bisnisnya itu sebagai tela­
dan bagi para santrinya, tidak pernah memonopoli,
dan justru mendorong para santrinya memiliki bisnis
sendiri.
Pada September 1994, sekitar 50 santrinya bermu­
fakat mendirikan koperasi pesantren dengan modal
Rp 500.000. Sebuah ruang kecil di bawah Masjid
Daarut Tauhiid dipakai memajang kebutuhan sehari-
hari para santri. Dua tahun kemudian, warung kecil itu
disulap menjadi sebuah minimarket setelah pondok itu
mendapatkan bantuan lunak dari perusahaan otomotif
PT Astra Internasional Tbk. Koperasi itu berkembang
dengan sistem konsinyasi yang menggelembungkan
omzetnya hingga Rp 350 juta per bulan. Bisnis koperasi
santri ini meluas ke sektor keuangan seperti baitul maal
wa-tamsil (BMT), kafetaria, cottage, hingga lembaga
pelatihan ekonomi syariah. Omzetnya mencapai ratusan
miliar per tahun.
Bagian 9 – Tidak Ada Pemenang Abadi

Sukses-sukses koperasi santri itu kemudian melecut


pihak yayasan mendirikan usaha sendiri radio umat,
Lembaga Pelatihan Manajemen Qalbu, dan Pesantren
Daarut Tauhiid. Bisnis menggiurkan yayasan salah
satu­nya adalah paket-paket pelatihan motivasi dan
spiritual yang laris manis oleh peserta dari perusahaan-
perusahaan. Omzet lembaga pelatihan ini mencapai Rp
800 juta per bulan. Agama membuat aroma persaingan
ala kapitalis benar-benar tidak tercium pada bisnis
komunal ini. Bisnis koperasi dan yayasan ini unik
karena meski dalam satu wilayah, tidak saling memakan
satu sama lain. Sebagaimana konsepnya, unit usaha
yayasan dan koperasi pesantren ini tidak murni mencari 277
keuntungan, melainkan menopang kesejahteraan
penghuni pondok pesantren. Keuntungan dibagi
secara merata kepada anggota-anggotanya. Termasuk
pemimpin pondok, Aa Gym, yang menyandang status
pelindung untuk yayasan.
Sebagai entitas bisnis, Manajemen Qalbu (MQ)
Corporation justru terlahir sebagai bungsu pada akhir
2000. Perusahaan ini sepenuhnya dimiliki oleh Aa
Gym dan dikelola oleh orang-orang terdekat, seperti
Dudung Abdul Ghany, Iwan Supriadi, Feri Susanto,
Rozak dan adik kandung Aa Gym, Abdurrahman Yuri.
Lain dari keduanya, perusahaan ini murni berorienta­
si keuntungan. “Saya ingin berkhidmat kepada umat
tanpa jadi beban mereka,” katanya. Awalnya, MQ Corp
adalah sebuah usaha pribadi Aa Gym yang mempro­duk­si
karya-karyanya berlabel Mutiara Qalbun Saliim (MQS)
pada Juli 2000. Seiring ketenaran sang da’i, banyak
permintaan akan semua hal berbau Aa Gym mulai dari
buku, rekaman ceramah dalam berbagai bentuk, kaset
dan cakram video (VCD).
Konsumen mereka adalah ribuan santri-santri
musiman yang kerap datang untuk sesi-sesi pesantren
kilat, dan para aktivis muslim di pelbagai perguruan
tinggi. Hanya dalam tempo satu setengah tahun, unit
bisnis MQ Corp berkembang pesat hingga memiliki
19 unit usaha. Mulai dari distribusi kaset dan buku,
televisi dan radio, travel, penerbitan buku, cafe, hingga
rumah produksi. Pada 2001, pendapatan MQ Corp
mencapai Rp 27 miliar dengan laba bersih Rp 3 miliar.
Meski memiliki 100% saham dan menjabat presiden
M. MA’RUF

direktur, Aa Gym menyerahkan urusan operasional


kepada orang-orang dekatnya. Dia hanya mengontrol
operasional perusahaan sebulan sekali dan menggelar
rapat-rapat rutin, yang tampak seperti pemaparan
petunjuk-petunjuk pokok saja. Operasional dilakukan
278 sepenuhnya oleh orang-orang seperti Dudung (Direktur
MQ TV), Iwan (Direktur Pengelola MQ FM), Rozak
(Manajer MQ Cafe) dan Fery (Direktur MQS).
Unit-unit bisnis MQ Corp itu melesat seperti roket
yang meluncur ke angkasa. Mendompleng sayap-sayap
popularitas Aa Gym yang tidak lagi sekadar pen­
ceramah agama semata, melainkan sudah pada level
idola sempurna bagi semua lapisan masyarakat. Topik
ceramahnya membumi, ringan, sederhana, bernas, di­
selingi humor segar dan disampaikan dengan cara yang
lembut. Di luar itu, Aa Gym tetaplah manusia kaya raya
yang memiliki banyak sisi unik, seperti hobinya meng­
ikuti pelajaran menjadi pilot dengan memasang pemu­
tar DVD seharga USD 2.000 pada salah satu mobilnya,
sehingga dapat menonton pelajaran-pelajaran terbang­
nya. Dia juga tidak risih media memasang fotonya dengan
gaya pembalap mengendarai motor besar Kawasaki
Eliminator hitamnya. Termasuk aktivitas kesenangan
menyelam, menembak, terjun payung, menyanyi lagu
country, dan berkuda. Benar-benar sosok muslim yang
komplet, beriman, berilmu dan tentu saja, kaya raya.
Tetapi, kalender kesibukan Aa Gym seperti ber­­
gan­ti tinta merah seketika, saat isu pernikahan kedua­
nya benar-benar terbukti. Pada Desember 2006, Aa
Bagian 9 – Tidak Ada Pemenang Abadi

Gym meng­gelar jumpa pers di kantor MQ Corp meng­


umum­kan bahwa dia berpoligami dengan mantan
model, Alfarini Eridani, janda beranak tiga sebagai
istri keduanya. Dia meminta maaf untuk itu dan tidak
menganjurkan para lelaki mengikuti jejaknya. Ini seper­
ti petir di siang bolong setelah beberapa pekan isu itu
meresahkan para pengidola, ibu-ibu dan remaja putri—
Presiden sampai angkat bicara soal ini. Sehari setelah
jumpa pers itu, para pemirsa yang kecewa menyebarkan
pesan singkat (SMS) berisi kutipan dakwah Aa Gym
yang tidak menganjurkan poligami. Aa Gym tidak me­
nyangka, perbuatannya itu begitu menyakiti hati kaum
hawa yang kini berbalik menghujat, sampai-sampai 279
dengan kata-kata kasar dan jorok.
Poligami ini menjadikan kerajaan bisnis MQ Corp
seperti rumah kartu, ambruk dalam sekali tiupan angin.
Para pengunjung pondok pesantren Daarut Tauhiid te­
rus tergerus dari waktu-ke waktu, hingga menyisakan
30% saja dari angka normal. Produk dan jasa yang ber­
singgungan dengan banyak lapisan masyarakat seperti
terkena boikot massal. Bisnis air dalam kemasan berme­
rek MQ Jernih nyaris bangkrut, setelah serangkaian
pembatalan order. Terukur pula dari jumlah infaq dan
shadaqah yang turun drastis. Yang terjadi kemudian
adalah menghilangnya Aa Gym dari publik, berganti
dengan berita-berita pemutusan hubungan kerja (PHK)
karyawan. Walaupun, sampai sekarang manajemen
selalu membantah, dan lebih menunjuk kelemahan ma­
najemen internal sebagai biang keladi kemunduran ini.
Dalam kemunculan pertamanya sejak menghilang dari
publik, di acara talk show Aa Gym mengakui sejumlah
unit bisnisnya yang menuai masalah adalah yang masih
mengandalkan figuritas. Sementara, dirinya merasa, se­
karang lebih bisa menikmati hidup.[]
M. MA’RUF

280
Bakrie & Brothers

Dari Krisis ke Krisis; Bisnis


adalah Komidi Putar Kawan

K isah tumbuh, berkembang, jatuh, bangkit, lalu


menguasai dalam sebuah perjalanan usaha adalah
siklus klise. Namun, ketika roda takdir itu adalah
milik konglomerasi tiga generasi yang bergerak seperti
roller coaster, akan menjadi cerita menarik untuk
disimak. Inilah lika-liku laki-laki yang terjerembap oleh
triliunan utang tetapi selalu mampu bangkit lagi; Bakrie
Bersaudara. Salah satu anak perusahaannya, Bumi
Resources, di bursa saham memiliki julukan saham sejuta
umat—gelar plesetan yang pernah disematkan pada da’i
kondang KH. Zaenuddin MZ. Hampir semua manajer
investasi, masyarakat biasa, hingga pejabat negara
senang mengoleksi sahamnya, karena setiap saham Bumi
bergerak, grafik indeks harga saham gabungan (IHSG)
selalu bergeser hebat.
Lahir pada 1916, Achmad Bakrie menumpuk ke­
kayaannya dari berjualan kopi pada 1936. Masa rema­
janya dihabiskan untuk mengumpulkan karet, lada,
kopi, dan hasil bumi yang banyak dijumpai di tanah
kelahirannya Kalianda, Provinsi Lampung. Sebuah dae­
rah berjulukan Bumi Rua Jurai, terletak di ujung Pulau

281
Sumatera, yang memiliki hamparan lahan pertanian
kering di sela-sela bukit-bukit menjulang tinggi. Setelah
tamat dari Hollandsche Inlandsche School (HIS), Atuk—
panggilan akrabnya—langsung bekerja sebagai penjaja
keliling di NV Van Gorkom, sebuah perusahaan dagang
Belanda. Meski hanya dua tahun di sana, dia dengan
cepat menyerap ilmu orang-orang modern itu dan mampu
menjual barang-barang pertanian jauh lebih mahal pada
orang yang membutuhkan. Dia mengundurkan diri
setelah mengetahui jalur-jalur sutra bagi komoditas dan
mendirikan Bakrie & Brothers General Merchant and
Commission Agent di Teluk Betung, Lampung.
Semasa pendudukan Jepang, Bakrie memindahkan
usahanya ke Jakarta dan memulai ekspansi merintis
ekspor karet, lada, dan kopi ke Singapura yang kemudi­
an memberinya gelar pionir untuk eksportir komodi­
tas. Usaha ini dengan cepat memupuk modal lantaran
Bakrie tampak mewarisi bisnis VOC yang ratusan ta­
hun memonopoli perdagangan hasil bumi nusantara.
Miliaran uang terkumpul sedemikian cepat mendorong
ekspansi usaha secara masif seperti pembelian sebuah
pabrik kawat yang disulap menjadi pabrik pipa baja,
pabrik cor logam, dan pabrik karet remah. Dari sini
bisnisnya meluas hingga proyek-proyek infrastruktur.
Namun, komoditas yang kembali booming seiring lon­
jakan harga minyak dunia membuatnya kembali ber­pa­
ling ke agribisnis dan tambang. Pada 1986, Bakrie de­
ngan bangga membeli Uniroyal Sumatera Plantations—
perusahaan perkebunan milik imperialis Amerika
Serikat, Uniroyal Inc. lalu mengubahnya menjadi Bakrie
M. MA’RUF

Sumatera Plantations.
Bakrie meninggal pada 15 Februari 1988 di Tokyo
dan mewariskan usahanya kepada empat anaknya,
Aburizal Bakrie, Roosmania Kusmulyono, Nirwan D.
Bakrie, dan Indra Usmansyah Bakrie. Istrinya, Roosniah
282 Bakrie, adalah wanita berdarah Batak dengan marga
Nasution. Ketika Bakrie meninggal, usahanya sudah
meng­gurita, mulai dari agribisnis, pertambangan, indus­
tri baja, hingga konstruksi. Usaha keluarga itu kemu­
dian dikelola si sulung, Aburizal Bakrie—sebagaimana
ke­biasaan adat Lampung. Lahir di Jakarta, November
1946, Aburizal sebenarnya adalah insinyur lulusan
Teknik Elektro, Institut Teknologi Bandung, yang
diwisuda pada 1973.
Ical—panggilannya—tampak lebih agresif diban­
ding­kan ayahnya. Mulai 1989, dia memasuki bisnis
perbankan, telekomunikasi dan lima tahun kemudian
mendirikan stasiun televisi Andalas Televisi (ANTV).
Tapi, generasi kedua memiliki cara berbeda membesar­
kan bisnis keluarga ini. Ical, orang yang jarang berbasa-
basi ini membesarkan usahanya dengan utang. Dia
berani membayar mahal manajer seperti Tanri Abeng
yang dibajak satu miliar dari Multi Bintang Indonesia—
produsen bir Bintang. Bekas Menteri Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) itu bercerita, bagaimana Ical sangat
pintar dan berani bermain dengan uang orang. “Jadi,
kalau dia awalnya punya aset 100, dijadikan jaminan
untuk meminjam 400. Tapi, hasil dari 400 itu untungnya
sangat besar. Itu yang digunakan untuk membayar,” ujar
Bagian 9 – Tidak Ada Pemenang Abadi

Tanri.
Tak lebih dari sepuluh tahun Ical berjaya. Tetapi,
hanya dalam semalam, krisis ekonomi yang menghantam
pada 1997 menempatkannya sebagai salah satu pesakitan
Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Kurs
rupiah menggelembung, utang-utang perusahaan dalam
bentuk dolar membengkak hingga Rp 9,7 triliun. Sejum­
lah perusahaan di sektor perbankan, asuransi, tambang,
dan properti satu per satu tumbang untuk melunasi
utang Bank Nusa Nasional yang menikmati dana ta­
langan dari pemerintah sebesar Rp 3,6 triliun—bank
itu kemudian dilikuidasi dengan sisa utang Rp 3 triliun.
Saham-saham Bakrie Sumatera Plantations, Bakrie 283
Electronics Company,
Bakrie Kasei Corp,
Arutmin Indonesia, dan
Iridium LLC tergadai.
Saham-saham keluarga
Bakrie & Brothers susut
tinggal 2,5%. Hari-
hari itu, Ical tampak
kesulitan mencari kata
dan waktu yang paling
tepat untuk mengatakan
kepada ibundanya bah­
wa warisan itu di tubir
jurang kebangkrutan.
“Kalau kepada sauda­
ra saya gampang men­
jelaskan. Namun, ke­
pada ibu, itu cukup sulit.
Bayangkan, barang yang semula begitu besar tiba-tiba
habis,” kenang Ical.
Kebangkrutan Bakrie Group membuat negara
ikut pusing. Serangkaian lobi-lobi tingkat tinggi nan
melelahkan melibatkan Menteri Keuangan Marie
Muhammad dilaksanakan di Amerika Serikat. Pada
akhirnya, mau tidak mau, Bakrie kehilangan warisan
karena penyelesaiannya adalah menukar utang menjadi
saham, di mana pemberi utang sepakat membentuk
sebuah perusahaan khusus atau master special purpose
vehicle (MSPV) yang mengambil alih 80% aset lima
bisnis andalan Bakrie. Bisnis Bakrie tenggelam bersama
M. MA’RUF

puluhan konglomerat yang kabur ke luar negeri, tetapi


Ical lebih memilih masuk dunia intrik politik pada partai
berlogo pohon beringin rindang. Mungkin ini pula yang
turut memberinya kekuatan mengembalikan kejayaan
Bakrie & Brothers yang dalam hitungan kurang dari
lima tahun bisa kembali berjaya. Dia kembali ke jalur
284
sebagaimana ayahnya merintis usaha; barang-barang
hasil bumi. Kekayaannya naik mengikuti harga-harga
batu bara dan minyak kelapa sawit yang terus meroket.
Pada 2004, Bakrie & Brothers bisa kembali mengambil
alih Bakrie Sumatera Plantation dari tangan kreditor.
Pada tahun itu juga, Ical melepas urusan bisnis setelah
diangkat menjadi Menteri Koordinator Pereko­nomian,
dan memberikan kursi direksi kepada adiknya, Nirwan
dan anaknya Anindya Novyan Bakrie. Ini perpisahan
manis, tetapi tidak bisa membuatnya terlepas dari bulan-
bulanan media ketika Bakrie & Brothers tersandung
masalah. Pada kasus semburan lumpur panas di Sidoarjo,
Jawa Timur—ini tampak membuatnya kerepotan dengan
posisinya yang menteri kesejahteraan—nama Ical nyaris
tidak pernah absen dari berita-berita utama media. Pun,
kekisruhan di pasar modal Oktober 2008, berulang kali
dia berkelit dari tudingan memengaruhi otoritas bursa
saham. Orang-orang waktu itu menyebut, dia adalah
‘orangnya Kalla’—Wakil Presiden dan Ketua Umum
Partai Golkar Jusuf Kalla.
Walau begitu, Ical adalah birokrat yang paling
sepi dari gunjingan korupsi, mungkin karena dia satu-
satunya menteri yang punya pesawat jet pribadi—
Wakil Presiden Jusuf Kalla adalah orang yang pernah
Bagian 9 – Tidak Ada Pemenang Abadi

merasakan nyamannya kabin mewah pesawat seharga


setengah triliun, dengan kursi kulit warna pastel di kabin
utamanya itu. Wapres meminjam Boeing Business Jet
itu dalam lawatan ke Eropa, karena Garuda Indonesia
dikenai sanksi larangan terbang ke sana.
Anindya Bakrie yang dilahirkan pada November
1974 selalu teringat oleh pesan kakeknya; semakin
tinggi pohon, semakin keras pula empasan angin yang
menerpa. Bapaknya memberinya jabatan Presiden
Direktur ANTV di tengah benang kusut belitan utang
Rp 1,4 triliun. Tetapi, jebolan Stanford Graduate School
of Business, California, yang sejak balita sudah sering
mendengarkan obrolan-obrolan bisnis kakek dan 285
ayahnya itu dengan cepat menyelesaikan PR-nya. Masa
remajanya dihabiskan di negeri Paman Sam, dan setelah
lulus sarjana bekerja di Wall Street. Bayang-bayang he­
bat Ical mulai hilang setelah Anindya mampu menye­
lesaikan setumpuk utang di ANTV. Namanya mulai
santer di kalangan bisnis setelah serangkaian ekspansi
besar-besaran Bakrie & Brothers ke semua sektor bisnis,
mulai dari perkebunan, tambang, telekomunikasi, dan
properti.
Sebuah misi besar adalah mengembalikan kejaya­
an keluarga dengan mengembalikan porsi-porsi kepemi­
likan keluarga di lima bisnis utama yang sudah lama
hilang.
Pada 2008, publik dibuat geger oleh rencana Bakrie
& Brothers menggelontorkan dana Rp 48,4 triliun untuk
mengumpulkan aset-aset keluarga yang sudah lama hi­
lang. Hasilnya, generasi ketiga ini mampu menyatu­kan
anak-anak perusahaan paling potensial setelah membeli
35% saham Bumi Resources, 40% saham Energi Mega
Persada, dan 40% saham Bakrieland Development.
Bumi Resources memiliki reputasi cemerlang dengan
prestasi pengekspor batu bara terbesar kedua di dunia.
Sementara Energi amat potensial karena memiliki 80%
cadangan migas di wilayah konsesi yang ada di Tanah Air.
Adapun Bakrieland adalah pemilik kawasan-kawasan
elite di Jakarta dan kota-kota besar di Indonesia, seperti
apartemen mewah Rasuna Epicentrum di Kuningan,
Jakarta.
Mega akuisisi dengan cepat mengatrol indeks saham
menembus rekor tertinggi sepanjang sejarah. Orang-
M. MA’RUF

orang berebut saham-saham Bakrie seperti membeli


pop corn di bioskop. Hampir separuh nilai transaksi di
pasar saham tahun itu milik Bakrie—menggeser nilai
pasar PT Telekomunikasi Indonesia yang 13 tahun
tidak pernah bergeser dari peringkat pertama. Pada
286 mulanya ini dianggap sebagai sukses besar setelah ke­
luarga Bakrie didaulat sebagai konglomerat paling kaya
se-Asia Tenggara. Dengan harta USD 9,2 miliar, dia
mengalahkan orang paling kaya di Malaysia, Robert
Kuok, versi majalah Globe Asia. Kembali, kekayaan
orang Lampung itu meroket dengan bahan bakar harga-
harga komoditas yang membumbung tinggi.
Walaupun begitu, jalur roller coaster rupanya
dengan cepat berbalik. Seperti de javu, triliunan keka­
yaan keluarga Bakrie terjun bebas hanya dalam hitung­
an bulan. Krisis global datang mengempas setelah ge­
lembung ekonomi di pusat kemakmuran dunia pecah.
Setelah liburan panjang lebaran Idul Fitri 2008, orang-
orang pasar modal panik, lantas menyudahi cerita manis
lantai bursa. Apa yang kemudian membuat keluarga itu
mengulangi sejarah sepuluh tahun silam adalah generasi
ketiga ini tidak belajar dari kesalahan, dan tampak
melupakan petuah bapaknya sendiri, ketika keluar dari
jeratan-jeratan utang. Keluarga itu nyaris bangkrut
setelah media memuat besar-besar di halaman utama
mengenai skandal gadai saham.
Rupanya, Rp 10 triliun dana yang dipakai membeli
balik anak-anak usaha itu di awal tahun diperoleh dari
utang dengan jaminan saham perusahaan yang akan
Bagian 9 – Tidak Ada Pemenang Abadi

dibelinya. Ketika harga saham-saham Bakrie jatuh—


harga saham Bumi merosot sampai Rp 470 dari Rp
8.000 per lembar—dalam sekejap membuat mereka
menanggung utang Rp 11 triliun. Tragis.
Orang-orang kembali mengingat-ingat nama Ical.
Cerita kejatuhan raksasa pasar modal itu mengundang
spekulasi-spekulasi nakal dan diwarnai perdebatan
hingga ke jalur politik, terutama setelah tidak satu pun
pejabat pemerintah dan otoritas bursa bisa menjelaskan
alasan di balik penghentian perdagangan saham-saham
kelompok Bakrie, saat IHSG terjun bebas. Bagaimana
panasnya suasana meja kabinet saat itu digambarkan
oleh isu ancaman pengunduran diri Menteri Keuangan 287
Sri Mulyani Indrawati karena tekanan-tekanan yang
disebut-sebut datang dari kubu Ical. Menteri Sri dilapor­
kan mendapat tekanan untuk penghentian perdagangan
saham itu—spekulasi beredar Bakrie menekan otoritas
pasar modal untuk menghentikan perdagangan saham-
saham Grup Bakrie agar tidak terus jatuh. Sementara,
kejatuhan Bakrie itu oleh para korban Lumpur Lapindo
di Sidoarjo yang kecewa dianggap sebagai karma Tuhan.
Isu ini hilang dengan sendirinya.
Namun, Bakrie tetaplah Bakrie. Tak lebih dari se­
tahun, keluarga ini bangkit mengumpulkan kembali
aset-asetnya. Perlahan namun pasti, mereka kembali
ke puncak, dan utang-utang bisa kembali dipulangkan
dengan sejumlah restrukturisasi. Seperti kutipan yang
disenangi mendiang Bakrie, dalam situasi apa pun, anak-
anaknya harus merasa bebas dan karenanya bisa sela­
lu bebas. Freedom makes opportunities, opportunities
makes hope, hope makes life and future.[]
M. MA’RUF

288
Alfamart

Tunggulah Saat yang


Tepat untuk Lepas dari
Bayang-bayang

P ada 1989, Djoko Susanto harus memikirkan cara


yang tepat memasarkan Sampoerna A Mild, rokok
andalan Sampoerna kategori sigaret kretek mesin (SKM)
low tar low nicotine. Rokok dengan kandungan 14 mg
Tar dan 1,0 mg nikotin per bungkus itu benar-benar jenis
rokok baru—bentuknya cukup aneh, dengan kemasan
keliling lingkaran perbatang hanya 22 milimeter dan
panjang 90 milimeter. Biasanya, rokok jenis baru selalu
sulit dijual, karena loyalitas perokok amat kuat terhadap
merek yang sudah disukai. Tetapi, tugas mahaberat itu
berhasil dilakukan dengan nyaris sempurna oleh Djoko
dari sisi distribusi yang kuat—selain tentunya dukungan
iklan yang kreatif, unik, dan tak lazim.
Pergulatan memasarkan dan mendistribusikan ro­
kok A Mild itu menuntunnya pada dunia baru yang
kemudian menjadi kehidupannya. “Ritel dan distribusi
sudah menyatu dengan hidup saya,” kata Djoko ber­
cerita.
Keahlian ritel itu sebetulnya diawali ketika Djoko
mendirikan pusat belanja berkonsep grosir, Alfa Gu­
dang Rabat pada tahun yang sama dengan A Mild di­

289
rilis. Grosir itu adalah hypermarket yang pada masa
keemasannya memiliki 32 gerai. Pendirian hypermarket
ini juga merupakan sumbangsih ide Poetra Sampoerna, di
mana Djoko diberi kesempatan menanam kepemilikan.
Bisnis supermarket itu tidak bertahan lama, dan mulai
menampakkan tanda-tanda kejatuhan setelah peritel
asing berbondong-bondong masuk Indonesia. Terutama
oleh kehadiran peritel asal Prancis, Carrefour pada 1998
yang langsung menghajar Alfa hingga babak belur. Satu
per satu gerai ditutup dan secara dramatis bertekuk lutut
kepada Carrefour lewat akuisisi pada 2008.
Kejatuhan itu seolah sudah disadari sejak Carrefour
masuk. Djoko mengaku Carrefour adalah raksasa de­
ngan modal tak terbatas sehingga sangat tidak mungkin
dikalahkan dengan sekadar strategi-strategi manaje­men
standar. Dia lantas memikirkan sebuah toko ritel mo­dern
yang berukuran lebih mini, seperti warung kelontong te­
tapi lebih kinclong. Toko mini pertamanya itu didirikan
pada 18 Oktober 1999 dengan nama Alfa Minimart, di
sebuah sisi Jalan Beringin Raya, Karawaci, Tangerang.
Dari sini, satu per satu gerai dibuka menggunakan dana
ekspansi kas perusahaan. Tetapi, langkah ini bisa dibi­
lang terlambat karena bisnis minimarket sejak 1988 telah
dikuasai Indomaret, milik konglomerat Sudono Salim
pemilik Indofood. Beberapa peritel lokal seperti Hero
juga sudah mendirikan minimarket. Tetapi, dukungan
besar Poetra menjadikan Djoko yang sudah paham jalur
distribusi dan ritel tidak gentar. Minimarketnya memang
berhasil dan berkembang cukup pesat.
Hubungan bisnis antara Djoko dan gurunya—begitu
M. MA’RUF

dia menyebut Poetra Sampoerna—tidak putus, dan lebih


dalam lagi telah menjadi ikatan emosi yang kuat. Djoko
tidak pernah melupakan jasa Poetra memberikan ba­
nyak ilmu pemasaran dan dukungan permodalan. Seba­
gai balasannya, produk-produk rokok HM Sampoerna
290 selalu menjadi prioritas di gerai Alfa. Sinergi guru dan
murid ini menjadi kekuatan dahsyat, terutama setelah
pada 1 Januari 2003, nama Alfa Minimart diganti men­
jadi Alfamart—setelah Poetra menyuntikkan modal.
Itu sekaligus menandai pemakaian sistem waralaba un­
tuk menganakpinakkan gerai Alfamart guna bersaing
dengan Indomaret. Keputusan berganti nama memang
tampak jelas mengusung keinginan Sampoerna untuk
mempertahankan jalur distribusi. Sebab, selain rokok,
konglomerat tembakau itu memiliki bisnis makanan
Bagian 9 – Tidak Ada Pemenang Abadi

dan minuman olahan.


Dalam tempo singkat, Alfamart justru menjadi ba­
yi raksasa dengan perkembangan gerai sangat masif.
Waralaba itu menyebarkan Alfamart ke berbagai daerah
seiring dengan perubahan orientasi konsumen dalam
pola berbelanja kebutuhan sehari-hari. Dulu, konsumen
hanya mengejar harga murah. Sekarang, itu saja tidak
cukup tanpa disertai kenyamanan berbelanja. Inilah
yang ditawarkan oleh Alfamart. Pada bagian lain, orang-
orang kaya tanggung di daerah-daerah mulai berebut
mengajukan proposal waralaba. Dalam dua tahun sete­
lah diwaralabakan, berdiri 800 gerai Alfamart, dan se­
karang mendekati 3.000 gerai. 291
Persaingan ritel menjadi semakin sengit dan ter­
konsentrasi antara Alfamart versus Indomaret. Yang
mungkin sangat sengit adalah perebutan lokasi, di ma­
na hampir di setiap komplek perumahan, pasti berdiri
salah satu gerai atau bahkan keduanya. Dulu, masih
ada semacam etika persaingan dengan menjaga radius
kilometer antargerai, tetapi kini dua gerai lain pemilik
itu sering hanya berbatas tembok bangunan saja. Perang
lokasi berlanjut pada harga-harga barang dan promosi
gila-gilaan—beli dua dapat tiga, empat dan seterusnya.
Malah, baik Alfamart dan Indomaret sama-sama me­
nawarkan pembayaran via debit bank, dan kartu-kartu
club seperti halnya pada supermarket. Pertarungan antar
dua gajah ritel kecil itu pada akhirnya menelan korban
pedagang eceran kecil atau toko tradisional.
Pukulan telak bagi Djoko pada akhirnya justru bu­
kan dari Indomaret, melainkan peristiwa mega akuisisi
HM Sampoerna oleh raksasa produsen rokok asal negeri
Paman Sam, Phillips Morris. Transaksi pembelian seni­lai
Rp 45 triliun pada Maret 2005—terbesar dalam seja­rah
di Indonesia—itu membuat sikap Sampoerna kepadanya
menjadi jauh berbeda. Komunikasi mulai tidak searah.
Jaringan minimarket Alfamart sejak saat itu tidak lagi
memperoleh hak eksklusif produk-produk Sampoerna,
dan dari waktu-ke waktu kuota barang yang diterima
semakin menyusut. Sebagai balasannya, manajemen
Alfamart tidak lagi memberikan ruang istimewa seperti
logo-logo Sampoerna di depan kasir dan Djoko mulai
berpaling pada musuh-musuh Sampoerna seperti Bentoel
dan Gudang Garam.
M. MA’RUF

Masa-masa pascakehilangan induk itu adalah masa-


masa pahit dan penuh debar-debar kecemasan. Djoko
gelisah dengan statusnya yang rawan didepak karena
hanya memiliki 30% saham Alfamart—seperti halnya
nasib pucuk-pucuk pimpinan HM Sampoerna setelah
292 masuknya Phillips Morris. Dia tampak gegabah dengan
langsung mendirikan ritel sendiri untuk berjaga-jaga, dan
bersiap-siap melawan ritel yang dilahirkan dari rahimnya
sendiri. “Kehadiran Alex untuk mengantisipasi kalau
ternyata Phillips Morris Indonesia meminta pengelola
Alfamart mundur,” ungkap Djoko. Alex adalah Alfa
Express, gerai mini market baru yang didirikan hanya
beberapa bulan setelah akuisisi HM Sampoerna.
Akhir bahagia bagi Djoko didapat setelah Phillips
Morris rupanya tidak ikut-ikutan tergiur bisnis ritel, dan
malah satu per satu melepas anak usaha yang didirikan
Poetra Sampoerna. Pada akhir 2006, mayoritas saham
Alfamart ditawarkan seluruhnya kepada Djoko. Setelah
itu, dia benar-benar bebas dari bayang-bayang pemodal
besar. Sekarang, Alfamart yang beromzet Rp 8 triliun
ini diwariskan kepada anak ketiga dari lima anaknya,
sementara Djoko kembali menekuni hobi lamanya,
mengedarkan rokok mild merek baru.[]

Bagian 9 – Tidak Ada Pemenang Abadi

293
Blue Bird

Jangan Remehkan
Seorang Janda Sekalipun
dalam Sebuah Kompetisi

P ara karyawan di Jakarta, terutama perempuan,


akan lebih memilih meluangkan beberapa pu­
luh menit un­tuk menunggu taksi Blue Bird lewat. Bagi
mereka, ini lebih melegakan daripada menumpangi
taksi-taksi bermerek tak jelas, yang lebih murah tetapi
membuat gelisah—Anda pasti memakai trik ini—sibuk
menghubungi teman-teman melalui ponsel, dan terus
berbicara hal-hal penting agar si sopir tahu Anda itu
orang penting, seraya berharap pengemudi tidak berpikir
macam-macam.
Burung Biru itu memang taksi bertarif lebih mahal
dari rata-rata, tetapi para penumpangnnya akan menda­
pati pengendara yang mengemudikan sedan Vios dengan
lebih sopan. Sopir Blue Bird tidak segan-segan turun
untuk mengangkat koper-koper calon penumpang ke
bagasi belakang, dan tidak menggerutu bila penumpang
membayar dengan uang pas, tanpa tip. Ini adalah empat
kompensasi bagi pelanggan Blue Bird; aman, nyaman,
mudah diakses, dan personalize, atas enam kali kenaik­
an tarif antara tahun 2000-2008 lantaran kenaikan har­
ga bensin—saat ini tarif buka pintu Rp 6.000 dan Rp

294
3.000 per kilometer. Hasilnya, kenaikan tidak membuat
penurunan drastis penumpang-penumpang, dan orang-
orang tetap merekomendasikan Blue Bird pada kenalan
dan saudaranya bila pertama kali datang ke Jakarta.
Bagaimana dua bersaudara Chandra Suharto dan
Purnomo Prawiro bersaudara memberikan pengertian
sopir-sopir taksinya untuk lebih sopan tidak terpisahkan
dari masa lalunya sebagai sopir. “Itu membuat saya tahu
cara berpikir dan kesulitan mereka,” kata Purnomo yang
menjabat sebagai Presiden Direktur Blue Bird Group.
Orang-orang, demikian Purnomo menyesalkan, sering
salah memandang sopir sebagai warga negara kelas
dua, sehingga sangat wajar mereka bertingkah polah se­
maunya. Keduanya menemukan sistem kerja operator
taksi yang lebih modern, dan efektif mengerem perilaku-
perilaku nakal para sopir. Berkat sistem baru itu pula,
Blue Bird yang pada 1970-an dianggap anak bawang
oleh operator taksi mapan, mampu memberi kejutan-
kejutan.
Itu semua berkat kegigihan Mutiara Siti Fatimah,
ibunda Chandra dan Purnomo yang tampak antusias
ketika Gubernur Ali Sadikin mengutarakan rencananya
agar Jakarta memiliki armada taksi yang tidak memalu­
Bagian 9 – Tidak Ada Pemenang Abadi

kan bagi para tamu asing. Gubernur mengundang selu­


ruh operator taksi mengikuti kursus singkat mengenai
manajemen pertaksian, meniru standar internasional
oleh tutor yang didatangkan langsung dari Australia.
Mutiara yang tidak memilik latar belakang ilmu itu—
tetapi dia adalah seorang ilmuwan—menyambut baik
gagasan tersebut. Sementara pengusaha taksi yang lain,
tampak kurang antusias. Mungkin karena merasa sudah
nyaman dengan sistem borongan yang ada.
Mutiara mengadopsi model baru pembayaran so­
pir taksi lewat sistem komisi 100% dari kursus singkat
itu. “Perbedaan itu ternyata penting dan membawa
dam­pak besar,” kata Purnomo. Sementara sistem bo­ 295
rongan yang banyak dipakai operator lain mulai me­
nimbulkan masalah. Sistem borongan adalah setoran
wajib dalam jumlah tertentu, tetapi memberikan semua
sisa pendapatan menjadi milik sopir. Jeleknya, sopir
akan menganggap dirinya subkontraktor, karena itu
dengan mudah tergoda untuk menghalalkan segala ca­
ra memperoleh penghasilan besar setiap hari. Kadang
mempercepat, dan bahkan mematikan taximeter, mem­
bo­hongi penumpang yang tidak paham jalanan Jakarta
—berputar-putar untuk jarak yang jauh—sampai me­
maksa tip lebih. Sistem itu memang menguntungkan
bagi sopir bila musim ramai penumpang, tetapi akan
membuatnya tekor di hari-hari biasa. Sebaliknya, sistem
komisi tidak akan membuat mereka nombok, dan lebih
tenang mengejar penumpang. Kebijakan ini kemudian
berjalan dengan sangat baik.
M. MA’RUF

296
Blue Bird muda cengan cepat mengalahkan taksi
yang lain, dan lebih buruk lagi, membuat mereka bang­
krut. Sejumlah inovasi baru dilahirkan, seperti mema­
sang taximeter, membekali kontak radio dan mema­
sang mesin pendingin untuk Jakarta yang mulai panas.
Inovasi-inovasi itu pada mulanya langsung menimbul­
kan kesan kuno pada taksi yang lain. Belakangan, Blue
Bird menjadi operator taksi pertama yang memasang
alat global positioning system (GPS) untuk melacak
keberadaan taksi. Alat seharga Rp 15 juta per unit ini
dipasang agar penumpang bisa menemukan taksinya
bila lupa meninggalkan barang.
Blue Bird memperkenalkan layanan baru Big Bird
sebagai bus sewaan pada 1979 dan Silver Bird untuk
konsumen premium pada 1993. Merek Golden Bird juga
dipakai untuk kendaraan taksi mahal, limousine, dan
merek mobil rentalan. Dari 24 armada taksi, kini Blue
Bird Group mengelola lebih dari 17.000 unit kendaraan
dan 24.000 karyawan. Bisnis-bisnis lain bermuncul­an,
seperti logistik kargo dengan 300 armada truk Volvo,
serta bisnis pengapalan. Pada 1982, Mutiara mendiri­kan
PT Restu Ibu Pusaka, yang memiliki pabrik karoseri bus,
dan bekerja sama dengan Albert Ziegler GmbH & Co
Bagian 9 – Tidak Ada Pemenang Abadi

asal Jerman, merakit kendaraan pemadam kebakaran di


pabrik Cikarang, Bekasi.
Kehidupan menjadi serba terbalik, dan Mutiara ber­
hasil menghantarkan ketiga anaknya menjadi dokter.
Sebab, masa-masa awal pendirian bisnis Blue Bird ada­
lah kisah pilu, bagaimana seorang janda bertahan hidup
dengan menjadi pengusaha taksi “gelap”.
Untuk keluarga sekaliber pendiri sekaligus Dekan
Fakultas Hukum pertama Universitas Indonesia, perintis
Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), dan beberapa
fakultas hukum di Indonesia, kekayaan Prof. R Djoko
Soetono, S.H. tidak sepadan. Kehidupan ekonomi ke­
luarga ini pas-pasan, mungkin karena dia terlalu jujur. 297
Ketika meninggal pada 1965, almarhum mewariskan
dua sedan bekas, hibah dari Universitas Indonesia dan
sekolah kepolisian itu. Tetapi Djoko meninggalkan
istri yang tegar, Mutiara, dan tiga anak yang kompak;
Chandra, Mintarsih A. Latief, dan Purnomo.
Setelah suaminya meninggal, Mutiara, perempuan
kelahiran Jawa Timur, Oktober 1923, pindah mengajar,
dari sebelumnya di UI, ke Perguruan Tinggi Ilmu Kepo­
lisian. Awalnya ini adalah pasangan akademis, Mutiara
lulus Fakultas Hukum pada 1953 dan langsung men­jadi
staf dosen di sana, dia pernah kuliah di Rechtshogeschol,
Utrecht, Belanda. Keluarga yatim ini berjuang untuk
biaya hidup dan pendidikan untuk ketiga generasinya.
Mula-mula si sulung dan bungsu narik bemo jurusan
Harmoni-Kota. Selanjutnya, bertahun-tahun berope­
rasi sebagai taksi tanpa izin. Keduanya berbagi tugas.
Chandra sebagai operator telepon, dan Purnomo sebagai
pengemudi.
Jumlah armada taksi ditambah perlahan lewat lo­
bi Mutiara di acara-acara arisan yang dihadiri janda-
janda para pahlawan dengan skema investasi hak pakai
memanfaatkan mobil-mobil mereka. Taksi itu namanya
Golden Bird meski kemudian lebih dikenal dengan nama
sopirnya, Chandra Taksi, sebagai mobil sewaan untuk
mengantar katering makanan wartawan dan tamu dari
luar negeri. Izin taksi resmi beberapa kali ditolak lan­
taran latar belakang Mutiara yang tidak meyakinkan.
Janda dan dosen, plus tanpa pengalaman bidang trans­
portasi sama sekali, kecuali taksi gelap itu. Dia baru bi­
sa mencairkan izin setelah mengumpulkan puluhan re­
M. MA’RUF

komendasi dari hotel dan sejumlah pelanggan ternama.


Gubernur DKI Ali Sadikin kemudian memberinya izin.
Dengan selembar izin, masalah tidak langsung ter­
pecahkan. Izin itu tidak bisa “disekolahkan” ke bank
karena reputasi Mutiara yang masih nihil. Dia lalu ne­
298 kat menggadaikan sertifikat tanah dan rumahnya di ja­
lan HOS Cokroaminoto nomor 7, Jakarta Pusat, seba­
gai jaminan—kemudian dijadikan kantor. Kabarnya,
Mutiara akhirnya bisa menemukan kerja sama yang
lebih menguntungkan dengan Udamex, importir mobil
Holden dari Australia untuk mendapatkan 25 unit mo­
bil Holden Torana. Pada 1 Mei 1972, PT Sewindu Taksi
milik Mutiara mulai beroperasi, bersaing melawan lima
perusahaan otobus yang sudah resmi ada. Chandra dan
Purnomo mengaku sering dianaktirikan dari perusahaan
taksi yang sudah ternama waktu itu, macam Gamya dan
Morante. Tetapi, pelayanan yang memuaskan membuat
mereka disukai oleh hotel-hotel.
Mutiara mengisahkan bagaimana dirinya senang
dengan cerita khayali. Di antaranya, adalah cerita ten­
tang seorang gadis yang kekurangan. Ketika gadis itu ber­
doa, Tuhan mengirim padanya seekor burung biru, blue
bird. Ketika dia akhirnya mendapatkan izin, Mutiara
memakai Blue Bird untuk taksinya. “Karena saat itu
kondisi saya seperti gadis dalam dongeng tersebut,”
kata dia.
Setelah 28 tahun membangun dan meninggalkan
jauh para pengusaha taksi itu, Mutiara tutup usia pada
tahun 2000. Perempuan yang murah senyum ini pernah
Bagian 9 – Tidak Ada Pemenang Abadi

menduduki jabatan di Kamar Dagang dan Industri


DKI Jakarta, Ikatan Penguasa Wanita Indonesia, dan
konseptor polisi wanita di Indonesia. Sepeninggalnya,
Chandra menjabat sebagai presiden komisaris dan
Purnomo diberi jabatan presiden direktur. Kini mereka
tengah menyiapkan generasi ketiga—anak-anak Chandra
dan Purnomo. Dengan pelbagai tantangan yang ber­
beda, seperti soal tarif taksi dan munculnya pesaing baru
beberapa tahun belakangan ini, macam Express, Putra,
Kosti Jaya, Golden, KPI, dan Tifanni.[]

299
Indofood

Selalu Ada Kesempatan


untuk Berubah

L iem Sioe Liong adalah legenda hidup seorang pe­


rantau asal China yang pernah kemudian menjadi
orang terkaya di Asia dan masuk 100 besar dunia.
“Liem botak”—dia dikenali dengan kepalanya yang
plontos mengilap—kemudian mengganti namanya de­
ngan Sudono Salim dan kini menikmati hari tuanya di
Singapura dengan kekayaan keluarga tak kurang dari
USD1,3 miliar. Bagaimana dia mengumpulkan pundi-
pundi kekayaannya adalah sebuah pelajaran penting
mengenai bisnis yang selalu penuh bumbu-bumbu intrik
dan kolusi dengan penguasa orde baru.
The Gang of Four. Itulah sebutan empat konglome­
rat yang disatukan Soeharto untuk mengelola banyak
proyek-proyek pemerintah. Salim adalah salah satu
anggotanya. Bersama-sama Djuhar Sutanto, Ibrahim
Risjad, dan Sudwikatmono, geng ini mendirikan
Waringin Kentjana untuk memasok beragam perleng­
kapan pa­sukan Angkatan Darat. Masing-masing juga
memiliki bisnis sendiri, seperti Ibrahim yang setidak­
nya memiliki Bank Risjad, dan Sudwikatmono yang
mendirikan Bank Subentra dan Bank Surya. Liem tam­

300
paknya lulusan paling sukses, dengan ratusan perusaha­
an yang disatukan dalam “kapal induk” Salim Economic
Development Corporation (SEDC) yang didirikan awal
1970-an. Untuk basis bisnisnya di luar negeri, Liem
mengontrolnya dengan Liem Investors di Hong Kong.
Bagaimana restu-restu Cendana itu bekerja tampak
pada saat Salim kemudian bisa memenangkan per­
saingan bisnis mi instan. Sejarahnya, mi instan itu di­
ciptakan Momofuku Ando—pendiri Nissin—pada 1958
di Jepang. Pembuatan mi instan di Indonesia dimulai
oleh investor asal Jepang yang mendirikan perusaha­an
patungan dengan pengusaha lokal untuk memproduk­
si Supermie. Mungkin sentimen anti-Jepang membuat
gambar kemasan yang terpampang adalah Aladin di
atas karpet terbang, seperti ingin menunjukkan produk
ini dari Timur Tengah. Produk itu laris luar biasa ka­
rena praktis, cepat, lezat, dan murah. Ini menarik bagi
pebisnis lain dan muncullah Indomie, yang diproduksi
Sanmaru Food Manufacturing, anak usaha Grup Jang­
kar Jati. Liem sendiri adalah pemain terakhir yang
memperkenalkan Sarimi, dengan mendirikan Sarimi Asli
Jaya yang mengolahnya di Tangerang tahun 1982.
Cikal bakal Indofood adalah ketika Salim meng­
Bagian 9 – Tidak Ada Pemenang Abadi

geser Supermie dengan cara membangun aliansi ber­


sama pemilik Indomie, mendirikan Indofood Interna
Corporation pada 1984. Dua tahun kemudian, Supermie
dicaplok. Aliansi Indomie-Sarimi akhirnya juga bubar
dengan kemenangan Salim yang membeli semua saham
Jangkar Jati. Serangkaian aksi pencaplokan ini bisa
berlangsung mulus karena jauh hari sebelumnya, Salim
menjadi pemasok bahan baku mi itu setelah diberikan
katebelece untuk bersama-sama dengan adik tiri Presiden,
Sudwikatmono yang kala itu masih berbisnis karung
goni mendirikan Bogasari Flour Mills pada 1971.
Bogasari adalah perusahaan swasta paling unik
yang pernah ada di Indonesia. Bogasari mendapat hak 301
monopoli mengimpor gandum, bahan baku tepung.
Pada zaman keemasannya, Bogasari diberi privilege
memiliki pelabuhan sendiri, tempat kapal-kapal rak­
sasa pengangkut terigu atau gandum impor bisa lang­
sung merapat ke pabrik. Begitu perkasanya, majalah
Insight, Asia’s Business Mountly terbitan Hong Kong
menampilkan lukisan karikatural Salim berpakaian gaya
Napoleon Bonaparte, dengan pangkat berderet di dada,
simbol ratusan perusahaannya. Salim sendiri tidak pe­
duli dengan berbagai kabar media itu. “Jika Anda hanya
mendengarkan apa yang dikatakan orang, Anda akan
gila. Anda harus melakukan apa yang Anda yakini,”
katanya.
Setelah memiliki Sarimi, Supermie, dan Indomie,
orang-orang pantas berterima kasih atas pelbagai krea­
si Indofood. Salim tidak berpuas dengan sejumlah
kudapan-kudapan baru seperti Chiki Snack pada 1983
dan mendatangkan kentang goreng Chitato, Cheetos,
dan Chikita. Menyusul varian mi instan baru seperti mi
seduh atau cup noodle merek Pop Mie yang pada masa-
masa awal kurang laku. Indofood kemudian merang­
sek ke food seasonings dengan kecap dan bumbu, yang
dilanjutkan dengan saus tomat dan sambal. Kemudian
mengakuisisi produsen makanan balita Sari Pangan
Nusantara, yang memproduksi susu bayi merek SUN.
Kabarnya, pada 1984 kekayaan pribadi Salim su­­
dah mencapai Rp 7 triliun, setara dengan jumlah uang
beredar di Indonesia ketika itu. Tiga bisnis lain Salim
yang konon menempatkannya sebagai orang ter­
kaya nomor enam sedunia—mengalahkan keluarga
M. MA’RUF

dinasti Yahudi Rothschild dan pebisnis Rockefeller—


adalah perbankan, semen, dan automotif. Pada masa
keemasannya, dengan mudah Salim memonopoli perse­
diaan semen lewat Indocement Tunggal Perkasa, dan
Indomobil yang membayangi Astra Internasional untuk
302 memasok mobil-mobil ke Indonesia. Paling spektakuler
adalah dominasi Bank Central Asia (BCA) yang awal
pendiriannya dibantu bankir Mochtar Riyadi. Itu semua
belum termasuk bisnis di luar negeri yang telah dirintis
bersamaan dengan dimulainya bisnis di dalam negeri
yang berpusat di Hong Kong.
Salim selalu menganggap orang-orang melebih-
lebihkan tentang dirinya. Mungkin itu salah satu akibat
dari kegemarannya berada di balik layar, dan tidak
membayar konsultan pengubah citra. Demikian pula
publikasi tentang sumbangan-sumbangannya tidak per­
nah dimunculkan. Majalah Tempo adalah media massa
Indonesia pertama yang bisa mewawancarainya pada
Maret 1984. ”Orang suka bilang ini-itu punya Liem Sioe
Liong. Gila apa? Tapi kalau orang lain suka pakai nama
Liem, bisa bilang apa?” kata dia. Sebab, bagaimanapun
juga, restu Cendana tidaklah murah. Dari beberapa
perusahaan, Salim harus menyertakan saudara Soeharto
dan anak-anaknya yang sudah mulai beranjak besar.
Pun, sumbangan rutin kepada yayasan milik presiden
yang berkisar 2-20% dari pendapatan.
Tidak perlu diketahui apa hubungan Indofood
Interna Corporation dengan kemunculan Panganjaya
Intikusuma yang didirikan pada 14 Agustus 1990.
Bagian 9 – Tidak Ada Pemenang Abadi

Mungkin, sekadar pengalihan sementara, namun induk


usaha makanan Salim itu kemudian mengubah nama­
nya menjadi Indofood Sukses Makmur, setelah terlebih
dulu mengakuisisi Panganjaya pada Februari 1994.
Pengalihan-pengalihan menandai dimulainya berbagai
trik bisnis Salim yang lebih rumit untuk mengamankan
aset-asetnya. Dia mungkin sudah bisa membaca tanda-
tanda zaman, sehingga mulai tahun-tahun itu muncul
kebijakan akuisisi-akuisisi internal dengan mengalihkan
mayoritas saham Indofood ke Indocement Tunggal Pra­
karsa, yang juga masih dimilikinya. Beberapa peng­­amat
mengatakan itu adalah upaya konsolidasi bisnis, karena
sebelumnya Bogasari telah dibeli oleh Indocement. 303
Bencana bagi Salim kemudian datang seperti malai­
kat maut yang merenggut satu per satu kekayaannya.
Orang-orang yang marah kepada Soeharto turut mem­
benci semua orang yang pernah dekat, apalagi mendapat
berkah dari kekuasaan Orde Baru. Media mengupas
habis taipan-taipan yang dalam sekejap menjadi pesa­
kitan. Triliunan bisnis Salim amblas seperti ditelan
bumi, dan sebuah rumah megahnya di bilangan Jalan
M. MA’RUF

Gunung Sahari, Jakarta Pusat, dibakar massa. BCA


kolaps setelah menanggung utang ke negara hingga Rp
52 triliun dan baru bisa lunas setelah melego Indoce­
ment Tunggal Perkasa dan Indomobil. Tinggal Indofood
dan Bogasari, itu pun dengan porsi kepemilikan yang
terus tergerus. Ini menimbulkan trauma mendalam bagi
304
Salim yang kemudian mengungsi ke Singapura beserta
aset-asetnya.
Adalah istri seorang Deputi Senior Bank Indonesia,
Bunbunan Hutapea, yang dalam sejarah bisnis Indo­
food pascakrisis memiliki peran besar menyelamatkan
Indofood dari jurang kebangkrutan. Ibu tiga anak kela­
hiran Jakarta bernama Eva Riyanti Hutapea diangkat
menjadi CEO itu menata ulang, menyatukan aset-aset
Salim yang berserakan. Atas perintah pemilik, Salim yang
dikabarkan tengah sakit, menjual separuh lebih saham
Indofood kepada perusahaan roti QAF Limited yang
bermarkas di Singapura. Berbagai pihak mengatakan,
itu adalah upaya pelarian modal ke luar negeri, namun
Eva menyebutnya sebagai tidak ada perpindahan karena
QAF yang memproduksi roti merek Gardenia itu sebagi­
an besar sahamnya juga dimiliki Liem. Tangan dingin
Eva menyelamatkan Indofood yang merugi hingga Rp
1,2 triliun pada 1997 menjadi untung setahun kemu­
dian. Sampai dengan 2003, Eva membuat Indofood
sangat sehat dengan pendapatan Rp 17,9 triliun.
Kiprah Eva hanya seumur jagung. Sejumlah pihak
dan media kemudian menyebut peralihan ini sebagai
habis manis sepah dibuang setelah apa yang dilakukan
Bagian 9 – Tidak Ada Pemenang Abadi

Eva pada Indofood. Dalam sebuah rapat umum peme­


gang saham tahun 2004, posisi Eva digantikan putra
mahkota Anthoni Salim. Eva—yang tidak mau meng­
akui kekecewaannya ke publik—membacakan laporan
ke­uangan dengan nada yang tersendat-sendat, wajah me­
merah, dan ketika selesai rapat mengucurkan air mata.
Inilah awal kebangkitan Grup Salim setelah krisis,
yang dibantu oleh menantunya Franciscus Welirang—
pria berpenampilan sederhana dengan rambut dikun­
cir kuda. Di tangan duo Anthoni-Welirang, Grup Salim
kembali berkibar. Mereka mengakuisisi perusahaan per­
kebunan kelapa sawit PP London Sumatera Indonesia di
Sumatera Utara. Berbagai ekspansi ke luar negeri juga 305
dilanjutkan, dan hampir sulit mengingat berapa pasti
jumlah perusahaan mereka sekarang.
Meski dalam enam tahun terakhir pangsa pasar
Indofood mulai tergerogoti dua produk mi baru, Mie
Sedap keluaran Wings Food dan Mie Kari milik Orang
Tua Grup, Indofood tetap menjadi raksasa. Pakar mar­
keting Hermawan Kartajaya menyebutnya sebagai A
Giant Integrated Food Company. Pada era persaingan
yang lebih sehat, Anthoni dan Welirang bisa beradaptasi
dengan baik melalui pengorganisasian bisnis, menge­
lola merek-merek penganan yang sudah mendapat tem­
pat utama di mata konsumen. Mereka mendirikan apa
yang disebut sebagai Central Marketing Unit untuk
mengembangkan anak-anak usaha, menciptakan sinergi
dalam media, riset, dan pemasaran. Indofood sekarang
menerapkan prinsip tata kelola dan tidak lagi memakai
cara-cara kotor kolusi untuk membesarkan diri.
Mereka mengorganisir bisnisnya menjadi empat ba­
gian besar yang saling melengkapi satu sama lain. Per­
tama, Consumer Branded Products (CBP) Group, yang
mencakup berbagai divisi makanan kemasan. Kedua,
Bogasari Group, yang bisnis utamanya menghasilkan
tepung terigu, dan juga pasta dan didukung oleh unit
perkapalan. Ketiga, Agribusiness Group, yang aktivitas
utamanya mulai dari pembibitan, penanaman, dan
pengolahan kelapa sawit, pemasaran minyak goreng,
margarin, dan shortening, hingga perkebunan karet,
teh, dan kokoa. Keempat, Distribution Group, yang
merupakan salah satu jaringan distribusi terbesar
Indonesia dan menangani baik produk Indofood mau­
M. MA’RUF

pun pihak ketiga.[]

306
Penulis

Never Too Old to Learn

M uhammad Ma’ruf baru bisa menyelesaikan ke­


sarjanaannya strata satu pada Jurusan Ilmu
Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi Universitas
Lampung, pada umur 25 tahun setelah menempuh 14
semester—di bawah ancaman drop out. Masa-masa ku­
liahnya yang panjang lebih banyak dihabiskan menim­
ba ilmu jurnalistik pada organisasi pers mahasiswa
Teknokra antara 1998-2002 dengan jabatan terakhir
sebagai pemimpin redaksi. Selepas dari Teknokra, dia
ikut mendirikan sebuah majalah remaja pertama di
Lampung yang hanya bertahan selama satu tahun.
Setelah lulus kuliah pada 2004, dia melanjutkan
pendidikan pascasarjana di IAIN Raden Intan Bandar
Lampung di bidang ilmu ekonomi Islam (tidak selesai)
sambil bekerja paruh waktu untuk sebuah majalah
investigasi korupsi milik LSM dan desain grafis untuk
percetakan lokal. Mulai 2006, dia tinggal di Jakarta dan
bekerja sebagai wartawan di Harian Seputar Indonesia
untuk peliputan berita keuangan dan pasar modal.
Pengalaman pertama menulis buku bagi pria kelahiran
30 tahun silam di Lampung ini adalah Tsunami Finansial

307
(Hikmah, Januari 2009), dan anggota tim penyunting
buku Etos Kita: Moralitas Kaum Intelektual (Teknokra-
Gamma Media 2002). Alamat email dia: muhruf@gmail.
com[]
M. MA’RUF

308
Catatan-Catatan

Edward Forrer
Henni T Soelaeman. “Dari Bandung, Mengepak Sampai ke
Negeri Kanguru”, Majalah SWA, Edisi Januari 2007.

Lion Air
, “Memulai Bisnis dari Khayalan”, Sinar
Harapan, 2002.
Teguh S Pambudi dan Darandono. “Singa Belia Bernama
Lion Air”, Majalah SWA, Agustus 2004.

Bloop, Bloopaka, Endorse


Astrid Isnawati. “Ilmu Nenek Jadi Bekal Dirikan Distro”,
Wawancara dengan Theresia Alit Widyasari, Tabloid
Nova, Mei 2009.
Eva Martha Rahayu. “Merajut Bisnis di Sepanjang Tebet
Utara Dalam”, Majalah SWA, April 2008.

309
Sosro
Anwar Khumaini. “Mampu Saingi Coca Cola, Sosro Cetak
Pendapatan Rp 1,8 Triliun”, detikFinance, www.detik.
com, 5 Februari 2009.
Apa dan Siapa, “Surjanto SosroDjojo”, Pusat Data dan
Analisa Tempo, www.pdat.co.id, 2004.

Multivision Plus
Frans Sartono dan Bre Redana. “Panggung Hidup Raam
Punjabi”, Gramedia Widiasarana Indonesia, 2005.
Apa & Siapa, “Raam Punjabi Bantah Buat Sinetron Pe­rusak
Moral”, Majalah GATRA, Juni 2005.
Rusman Widodo. “Raam Jethmal Punjabi: Juragan Si­netron
Prime Time”, figurpublik.com.

Kapal Api
Yuyun Manopol, Firdanianty, dan Henni T Soelaeman.
“Beginilah Jago-jago Daerah Merajut Sukses”, Ma­jalah
SWA, April 2004.
Eva Martha Rahayu/Suhariyanto. “Soedomo Mergonoto:
Menahkodai Kapal Api Hingga ke Mancanegara” ,
Majalah SWA, Juni 2003.

Aqua
Apa dan Siapa, “Tirto Utomo”, Pusat Data dan Analisa
M. MA’RUF

TEMPO, www.pdat.co.id, 20 Maret 2006


Willy Sidharta. “Keputusan Tepat Meniti Karier di Aqua”,
http://willysidharta.blogspot.com, 9 Januari 2007,
“Willy dalam Mengubah Air Menjadi Duit”, Sinar
Harapan, Senin, 24 Januari 2005.

310
Detikcom
“Membidik Pasar Sempit”, Koran Tempo, Jum’at, 1 Februari
2008.
Budiono Darsono. “Pemahaman Akan Konteks Indo­nesia”,
Kompas, 25 Agustus 2003.

Kem Chicks
Nyurian Barasa. “Bambang Mustari ‘Bob’ Sadino”, nyu­rian.
wordpress.com, April 2009.
, “Bob Sadino: Hidup Tidak Linier”, wawan­cara
dengan Bob Sadino di Kolom Enterpreneur cyberMQ,
29 Mei 2007
, “Bob Sadino: Pengusaha Berdinas Celana
Pendek”, TokohIndonesia. com (Ensiklopedi Tokoh
Indonesia), 31 Oktober 2004

National Gobel
, “Suksesnya Sinergi” Majalah Mitra Pana­sonic,
Edisi Juli-September 2006.
, “Bukan Gobel Biasa: Sebuah Romantika
Bermarga Beken”, Blog, http://www.daengbattala.com.
Sigit Wibowo dan Danang JM. “Ichiro Suganuma: Kami
Akan Bermain di Semua Produk Elektronik,” Rubrik
CEO, Sinar Harapan, 9 Desember 2005.
Catatan-Catatan

4848
, “Mungkin Ini Saat Kami Melihat ke Luar”,
Harian Republika, 23 Februari 2009.

311
C59
, “Kreativitas Jangan Pernah Mati”, Harian
Sriwijaya Post, 1 November 2008.
Ema Nur Arifah. “Wisata ke Pabrik Kaos C59”, de­tikBandung,
www.detik.com, 24 Februari 2009.
Dyah Hasto Palupi. “Menjadi Entrepreneur Kreatif”, Majalah
SWA, November 2008.

Olympic Furniture
, “25 Tahun Perjalanan Olympic Furniture”,
www.imjakarta.com
Muhammad Ridwan. “Kisah Sukses Au Bintoro, Pence­tus
Furnitur Olympic (2-Habis): Semakin Eksis, Ber­kibar
Bersama 20 Anak Perusahaan Grup Olympic,” Radar
Bogor, 19 Desember 2008.
Rani Badrie Kalianda. “Au Bintoro Merentang Masa: Jejak
Langkah Sang Heartpreneur”, www.sumbawa­news.
com, 7 Desember 2008.

Primagama
Edy Zaqeus dan David S Simatupang. “Kalau Ingin Ka­
ya, Ngapain Sekolah!?”, wawancara dalam Majalah
Berwirausaha, September 2004.
, “Tentang Purdi”, www.purdiechandra.net.
, “Transformasi Zikir Seorang Pengusaha”,
Harian Lampung Post, 19 Agustus 2005.
M. MA’RUF

Es Teler 77
Mega Christina. “Presiden Komisaris PT Top Food In­donesia
Sukyatno Nugroho; Mengangkat Makan­an Jalanan
Sejajar Waralaba Asing”, Sinar Harapan.
312
Bondan Winarno. “Jurus Sukses Juragan Es Teler”, Kompas,
28 Mei 2007.

Sido Muncul
Erfandi Putra. “Melanggenggkan Usaha Leluhur,” Surabaya
Post, 6 Juli 2009.
, “Irwan Hidayat, Membangun Keperca­yaan
terhadap Jamu,” TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi
Tokoh Indonesia), 4 Oktober 2004.

Jawa Pos Grup


Henni T. Soelaeman. “Leadership Grooming ala Dahlan
Iskan”, Majalah SWA, Juli 2004.
Dahlan Iskan. “Buang Miliaran Ongkos Belajar”, Ca­tatan
Dahlan Iskan, Harian Jawa Pos, 1 Juli 2009.
Basuki Sudjatmiko.”The Chung Sen: Pendiri Jawa Pos”,
Ensiklopedi Tokoh Indonesia, www.tokohIndo­nesia.
com.

Ayam Bakar Wong Solo


Heru Cn. “Sinta Nuriyah Protes Hidangan Muktamar NU”,
Tempo Interaktif, 28 November 2004.
Taufik Alwie Dkk, “Poligami Bukan Sekadar Melepas Hasrat
Seks”, Majalah GATRA, Nomor 23, April 2003.
Uka Fahrurosid “Sukses Berbisnis dengan Manajemen
Catatan-Catatan

Konflik, http://www.ukafahrurosid.blogspot.com,
Februari 2009.
Buletin Wongsolo. “Sekilas Perjalanan Hidup dan Usa­ha
Puspo Wardoyo”, www.wongsolo.com, 2 Juni 2003.

313
Bagteria
Yuyun Manopol & Rias Andriati. “Nancy Go: Go Glo­bal
dengan Bagteria”, Majalah SWA, April 2008.
Dian Kuswandini. “V is For Vintage”, The Jakarta Post, 6
Juni 2009.

J.CO
Rustika Herlambang. “Harumnya Aroma Kesuksesan”,
Majalah Dewi, Edisi September 2007.
Henni T Soelaeman. “Di Balik Digdaya Merek-merek Lokal”,
Majalah SWA, Mei 2009.

NCS
Yuyun Manopol dan Dedi Humaedi Budiyanto Darmas­
tono. “Mantan Profesional Kartu Kredit Sukses di Bisnis
Kurir”, Majalah SWA, Juni 2006.
Andy F. Noya. “From Zero to Hero”, talk show Metro TV,
Maret 2008.

Hotline Advertising
Oktamandjaya. “Kuncinya: Mudah Diingat dan Awet”,
Koran Tempo, 2 November 2008.
Rikando Somba.”Perselingkuhan yang Membawa Suk­ses”,
Harian Sinar Harapan, 21 Januari 2008.
Henni T Soelaeman. “Lebih Intens Membangun Keber­
M. MA’RUF

samaan”, Majalah SWA, 4 September 2003.


Suli H Murwani. “Hidup Ini Seperti Tumpeng”, Harian Bisnis
Indonesia, 24 Desember 2006.

314
B&B Inc
Dwi Wiyana. “Mental Baja Wajah Stainless”, Majalah Tempo,
April 2004.

Mizan
“Ketika ke Yogya, saya ditunjukkan....” Ninuk Mardiana
Pambudy & Bre Redana, “Haidar Bagir: Di­perlukan
Perubahan Paradigma” Kompas, 12 Oktober 2008.
“Kami tidak tertarik menerbitkan buku....” Ninuk Mardiana
Pambudy & Bre Redana, “Haidar Bagir: Di­perlukan
Perubahan Paradigma” Kompas, 12 Oktober 2008.
“Akhirnya, hampir-hampir tak perlu ditegaskan,” Haidar
Bagir dalam “20 Tahun Mazhab Mizan” Mizan Pustaka,
2003.

Purwacaraka Music Studio


, “Sik, Sik, Musik!”, Republika, 21 Mei 2006.
Yandhrie Arvian. “Jadilah Musik Bergerai-gerai”, Ma­jalah
Tempo, Edisi 48, Januari 2007.
Eva Martha Rahayu, “Lika-liku Memburu Brand yang Layak
Di-franchise-kan”, Majalah SWA, November 2005.

Kompas
, “Kompas” di Mata Para Pembacanya”
Kompas, 28 Juni 2009.
Catatan-Catatan

Muhammad Sulhi. “PK Ojong (1920-1980) Nukilan Kisah


Klasik Buat Wartawan”, dipetik dari Inisari dan Suara
Tionghoa Indonesia, http://www.madina-sk.com.
, “Lahirnya Intisari dan Kompas”, Majalah
Intisari, November 2001.
Carry Nadeak. “PK Ojong dan Jakob Oetama: Mem­buka 315
Isolasi Mencerdaskan Bangsa”, Gatra Edisi Khusus,
Agustus 2008.
, Apa dan Siapa. “Jakob Oetama”, Pusat Data
dan Analisa Tempo, www.pdat.co.id, 2004.
Ignatius Haryanto. “Jurnalisme Kepiting Jakob Oetama”,
Majalah Pantau, Edisi Juni 2002.

Ciputra Development
Universitas Negeri Bangka Belitung. “Ciputra, Pengusa­ha
asal Sulawesi Tengah,” http://www.ubb.ac.id.
Talk show Kick Andy, Metro TV, Jumat, 24 Oktober 2008.
, Apa dan Siapa. “Budi Brasali (Lie Toan Hong),”
www.pdat.co.id, 2004.
, “Janji-Janji Kosong Ciputra”, Majalah Tempo
Edisi 05/XXXI, 1 April 2002.
, “Keputusan 7: GOD has more in STORE!”,
http://www.ciputra.org.

TEMPO
Coen Husain Pontoh, “Konflik Nan Tak Kunjung Padam,
dalam Andreas Harsono Dkk. Jurnalisme Sastra­wi:
Antologi Liputan Mendalam dan Memikat”. Temprint,
2005

CNI
M. MA’RUF

Yuyun Manopol & S Ruslina. “Sosok Sang Perintis di Balik


Sukses CNI”, Majalah SWA, April 2006.
, “Menaklukkan Pasar dengan Langkah Kreatif”,
Majalah Eksekutif, Edisi 31/XXIII, Oktober 1993.

316
Susi Air
Elly Roosita. “Perempuan Pemberani Itu Susi Nama­nya”,
Harian Kompas, 14 Januari 2005.
Yuyun Manopol & Sigit A Nugroho. “Susi Pudjiastuti Terbang
Makin Tinggi”, Majalah SWA, Maret 2009.
, “Susi Pudjiastuti, Pengusaha Tangguh dari
Pangandaran” , Indofamily.net, 3 Juni 2008.
Andi F Noya. “From Zero to Hero”, Talk Show Kick Andy,
Metro TV, 30 Maret 2008.
“Danang J. Murdono dan Layana Susapto. “Susi Pudji­astutri:
Hanya Akan Berinvestasi di Daerah dengan Perda Ramah
Lingkungan”, Sinar Harapan, 3 Juni 2006.

Maspion
, “Saya Satu-Satunya Konglomerat yang Kembali
Saat Kerusuhan Mei 1998” Warta Eko­nomi, September
2007.
, “Ada Kerisauan yang Mendalam di Hati
Pengusaha Terkemuka di Jawa Timur Ini”, Sinar
Harapan, 4 April 2002.

Log Zhelebour Production


, “Festival Rock Indonesia versi Log Zhelebour”,
www.liveconnector.com, 9 Juli 2009.
Aguslia Hidayah. “Gairah Usia Senja Log Zhelebour”,
tempointreaktif.com, 5 April 2009.
Catatan-Catatan

Ceres
Teguh S Pambudi. “Tiga Menguak Cokelat”, Majalah SWA,
Oktober 2008.
317
Harvest
Firdanianty dan Rias Andriati. “Geliat King di Pasar Baru”,
Majalah SWA, Desember 2007.
Hilda Sabri Sulistyo. “Sukses Bangun ‘Pabrik’ Kata Mutiara,”
Wawancara dalam rubrik entrepreneur CBN, www.cbn.
co.id, 20 November 2002.

Tung Desem Waringin


Hermawan Aksan. “Ide Gila Marketing Tung Desem
Waringin” Penerbit Hikmah (Mizan Group), 2008.
Ridwan Habib, “Tahun Depan Lahirkan Dua Juta Orang
Kaya Baru”, Harian Jawa Pos, 13 Juli 2007.
Djony Edward. “Tebar duit, Tung Desem”, Bisnis Indo­nesia,
3 Juni 2008.

Rudy Hadisuwarno
Dudi Rahman dan Dudun Parwanto. “Dari Garasi Mematut
Rambut,” Majalah GATRA, Desember 2002.
, “Pria-Pria Sukses berkat Rambut”, Harian
Radar Jogja, 29 Juni 2009.
, “Rahasia Sukses Rudy Hadisuwarno: Pe­
rencanaan, Inovasi, Konsistensi, & Team Work”,
vibizlife.com.

Sahid Hotel
M. MA’RUF

, “Apa yang Anda Lakukan di Bulan Madu?”


Kompas, 4 Juni 2003.
, “Si Raja Hotel yang Ambisius”, www.
rumahebook.com.
Ridwan Anshori. “Awal Karier Bekerja sebagai Bell Boy”
318 Harian Seputar Indonesia, 13 Juni 2009.
, “Buku yang Hidup untuk Sukamdani Sahid”,
Harian Jawa Pos, 12 Maret 2008.
Nur Hidayati. “Sukamdani, Berbisnis Saja Tak Cukup”,
Kompas, 1 April 2008.

Martha Tilaar
Wiratmadinata dan Jayani. Suplemen GATRA, Nomor 23,
21 April 2003.
, “Apa dan Siapa. Martha Tilaar”, Pusat Data
dan Analisa Tempo, www.pdat.co.id, 2004
Haposan Tampubolon. “Sariayu Bermula dari Garasi”,
Ensiklopedi Tokoh Indonesia, www.tokohindone­sia.
com
Nieke Indrietta. “Martha Tilaar Kesal Produk Nasional
Ditolak di Negeri Sendiri,” tempointeraktif.com, 16 Juni
2009.
Hadi Suprapto, Elly Setyo Rini. “Martha Tilaar Hampir
Kolaps Saat Krisis 1997”, www.vivanews.com, 17 Juni
2009.

Matahari
Audrey G. Tangkudung. “Bisnis Ritel Nasional Tetap Penuh
Harapan”, Sinar Harapan, 21 Februari 2002.
Setri Yasra dan Metta Dharmasaputra. “Tidak Pernah
Menyesal Melepas Matahari”, Wawancara, Maja­lah
Tempo, Oktober 2004.
, “Kesaksian Juragan Ritel Indonesia: Ber­tobat
Catatan-Catatan

Karena Anaknya”, http://www.gsn-soeki.com.

Astra Internasional
, “Apa dan Siapa, William Soeryadjaya”, Pusat
Data dan Analisa Tempo, www.pdat.co.id, 2004 319
Arif Zulkifli Dkk. “Malam yang Menenggelamkan
Soeryadjaya”, Majalah Tempo, Edisi 26/XXXI, Agustus
2002.
Unggul Wirawan dan Willy Hangguman. “William
Soerjadjaja: Andalkan Resep Saling Memberi”, Suara
Pembaruan, Edisi 15 Januari 2007.
AM Lilik Agung. ”Karakter Moral Pemimpin”, Bisnis
Indonesia, 19 Desember 2008.
Sen Tjiauw. ”Imperium Soeryadjaya Masih Berjaya”, Majalah
Trust, Desember 2002.

MQ Corp
, “K.H. Abdullah Gymnastiar: Sosok Kyai-nya
Kawula Muda,” dudung.net, 22 Maret 2005.
Hidayat Gunadi dan Ida Farida. “Abdullah Gymnastiar:
Meracik LimaMu Menuai Sukses,” Gatra, Desem­ber
2002.

Bakrie & Brothers


, “Tentang Haji Achmad Bakrie (1916-1988)”.
Freedom Institute, www.freedom-institute.org.
, “Aburizal Bakrie: Terkaya Se-Asia Tengga­ra”.
Tokoh Indonesia, www.tokohindonesia.com.
Abraham Runga Mali. “Bakrie & Brothers, dari Krisis ke
Krisis”, Bisnis Indonesia, 28 Oktober 2008.
M. MA’RUF

Alfamart
S. Ruslina dan Dede Suryadi, “Kembalinya Djoko Susanto ke
Bisnis Rokok”, Majalah SWA, Februari 2009.

320
Blue Bird
, “Apa dan Siapa, Mutiara Siti Fatimah
Djokosoetono”. Pusat Data dan Analisa Tempo, www.
pdat.co.id, 2004.
Darmawan Sepriyossa Dkk. “Kami Punya Pilot, Bukan
Sekadar Sopir” Harian Republika, 10 Juni 2007.

Indofood
, “Membangun Kerajaan Dagang”, Blog, http://
ukafahrurosid.blogspot.com.
, “Apa dan Siapa, Sudono Salim”, Pusat Data
dan Analisa Tempo, www.pdat.co.id, 2004.
Bayu Asmara. “A Giant Integrated Food Company. Riset
MarkPlus Consulting” www.kompas.com, 15 Mei
2009.

Catatan-Catatan

321
Indeks

A Alie Yafie, 134


Ali Sadikin, 295, 298
Abdillah Toha, 131 Allen, Paul, 251
Abdullah Gymnastiar, 273 Allen, Robert G., 227
Abdul Rahman, 44 Amerika Serikat, 8, 20, 34, 37,
Abdurrahman Wahid, 89 48, 65, 84, 85, 110, 115,
Abi Thalib, Ali bin, 275 116, 127, 133, 139, 145,
Aburizal Bakrie, 160, 198, 246, 161, 181, 186, 207, 226,
282, 283 229, 231, 234, 237, 240,
Achmad Bakrie, 281 241, 243, 245, 251, 258,
Achmad Sujudi, 92 261, 274, 284
Ada Band, 17 Amien Rais, 134
Adang Daradjatun, 122 Andrea Hirata, 130
Addie Muljadi Sumaatma­dja, Andrie Wongso, 218
139 Anggun C. Sasmi, 110
Ade Rai, 94 Anindya Bakrie, 285
Adrie Nurmianto Subono, 185 Anisa Nasution, 106
Affan, Usman bin, 275 Anis Baswedan, 142
Afrika, 40, 53, 112 Anis Hadi, 131
Agnes Monica, 94 Annie Nento, 60
Agung Gunmartin, 274 Artalita Suryani, 209
Agung Handaya, 172 Asia, 8, 42, 74, 95, 155, 158,
Ahmad Syafii Maarif, 134 184, 214, 256, 287, 300
Ahmad Yani, 143, 146 Asma Nadia, 134
Air Asia, 8 Au Bintoro, 70
A Kardjono, 13 Australia, 6, 7, 14, 40, 87, 184,
Ali Abdullah, 131 240, 260, 295, 299

322
Auw Jong, Peng Koen, 143 cumi, 182
ayam, 23, 51, 52, 56, 103, 105, customized, 4
106
D
B D’Massive, 17
babi, 154, 240 Dahlan Iskan, 95, 97, 150, 191
Bahtiar Effendi, 134 Deliar Noer, 134
Bakar, Abu, 275 demand created own supply,
Bali, 6, 67, 107, 126, 149, 186 132
Balikpapan, 67, 96, 241 Dhammoo Punjabi, 26
Bambang Mustari “Bob” distribution outlet, 5, 14, 67
Sadino, 50 Djoko Susanto, 289
Bandara Adi Sucipto, 234 Djuhar Sutanto, 300
Bandara Soekarno Hatta, 10, door to door, 3, 27, 40, 175,
64 220, 235, 253
Bandara Supadio, 10
Bandara Tjut Nyak Dien, 180 E
bandeng, 14
Bandung, 2, 4, 5, 7, 14, 15, 33, e-commerce, 44
62, 63, 64, 66, 67, 68, 69, EasyJet, 8
79, 81, 126, 128, 131, Edy Zaqeus, 55
139, 140, 149, 173, 174, Elfa Secioria Hasbullah, 139
175, 186, 212, 241, 264, Elizabeth, 200
270, 273, 276, 277 Elma Theana, 123
Belanda, 51, 52, 55, 146, 213, Emha Ainun Nadjib, 133
251, 264, 282, 298 enterpreneurship, 81
Bertolomeus Saksono Jati, 14 Eric Samola, 95, 161
BJ Habibie, 160, 185 Eropa, 8, 32, 52, 53, 58, 61, 69,
Bob Hasan, 164, 268 74, 112, 117, 184, 185,
Bondan Winarno, 86 215, 254, 285
box speaker, 71, 72, 75
Boyke Gozali, 205, 208 F
Budiono Darsono, 43, 44
Budiyanto Darmastono, 118 Fachry Ali, 134
Buya Hamka, 273 fashion marketing, 14
Fatmawati Soekarno, 59
Fauzi Bowo, 122
C Fernandes, Tony, 8
Cabra College, 14 Fikri Jufri, 95, 160, 161, 162,
Carey, Mariah, 187 164, 165
Indeks

Chandra Djojonegoro, 167 Filipina, 40, 129, 187, 201, 214,


Chandra Suharto, 295 215, 216
Chitnis, Leela, 200 franchise, 65, 84, 87, 88, 210,
Chris John, 94 242
climbing, 129 Frans Seda, 146 323
FR Siwi, 14 Institut Kepariwisataan
Nusantara, 6
G Institut Teknologi Bandung, 63,
74, 131, 138, 283
gajah, 112, 292 Institut Teknologi Suraba­ya,
Gan, Adrian, 112 203
Gate, Bill, 251 Intan Ratih, 106
global positioning system, 297 Iran, 133
Go, Nancy, 110 Irawan Hidayat, 90
Gobel, Thayeb Mohammad, 57 Irawan Sarpingi, 62, 65
Gobind Punjabi, 26 Israel, 85
Goenawan Muhammad, 95 Italia, 5, 25, 117
go international, 65
google, 251
Go Soe Loet, 30, 31
J
GS Fame Institute of Bu­siness, Jackson, Michael, 185
14 Jakarta Pusat, 10, 21, 83, 175,
Gunawan Muhammad, 160, 205, 239, 253, 260, 299,
162, 165 304
Jakarta Selatan, 13, 50, 55, 60,
H 187, 209, 240
Jakob Oetama, 144, 150, 249
Haji-Ioannu, Stelios, 8 Jalaluddin Rakhmat, 134
hard sell, 230 Jawa, 6, 31, 40, 42, 53, 58, 93,
Hari Darmawan, 258 100, 101, 168, 175, 248,
Hari Dharmawan, 54 270, 317
Harjono Trisnadi, 162 Jawa Barat, 2, 22, 62, 73, 126,
Harun Nasution, 133 144, 275, 276
head to head, 163, 261 Jawa Tengah, 19, 22, 42, 84,
Helvy Tiana Rossa, 134 106, 154, 165, 230, 233,
Hermana Yusuf, 6 239, 252
Hoan, Tjie Tjin, 152 Jawa Timur, 31, 40, 58, 95, 176,
holding company, 79 188, 190, 226, 285, 298
human interest, 148 Jepang, 53, 58, 59, 61, 65, 111,
117, 124, 129, 176, 180,
I 183, 184, 205, 266, 268,
301
Ibrahim Risjad, 300 Jerman, 20, 32, 52, 74, 111,
M. MA’RUF

ikan, 112, 182, 183, 184, 259 185, 254, 269, 297
ilmu laduni, 275 Jhonny Andrean, 114
Imam Prasodjo, 229 Jimmy Gideon, 27
Imam Sukarto, 63 Johannes Ferdinand Katua­ri,
Imelda Fransisca, 75 198
Incredibles, The, 14 Jusuf Kalla, 65, 121, 191, 285
Inggris, 18, 52, 111, 146, 200, Juwono Sudarsono, 271
324 207, 229, 241, 254
K McCutcheon, Martine, 110
Medan, 11, 33, 67, 104, 105,
Kalimantan Timur,, 100 106, 107, 141, 167, 244
Kelleher, Herb, 8 meeting point, 18
Khattab, Umar bin, 275 meticillin resistant stape­lococus
Kiyosaki, Robert T., 227 aerus, 226
Koma Untoro, 140 Microsoft, 251
Korea, 61 Mohamad Rizal Chatib, 102
Kotler, Philip, 86 Monroe, Marilyn, 201
kuda, 62, 126, 229, 305 Moore, Demi, 201
Kuok, Robert, 287 Mooryati Soedibyo, 233
Kusnan Kirana, 8 Morris, Phillips, 292, 293
mountainering, 129
L multi-level marketing, 172
Murtadha Muthahari, 131
Lampung, 52, 67, 78, 281, 282, Murdoch, Rupert, 100
307 Murniati Widjaja, 83
Lee, Bruce, 221
Lever, Zeepfabrieken N.V,. 200
Liem Sioe Liong, 249, 300, 303 N
lobster, 180, 182, 183, 184 Naif, 17
London, 14, 241, 254 Natalie Sarah, 17
low cost carrier, 8, 11, 12 Nidji, 17
Lukman Setiawan, 161, 162 Ninih Muthmainnah, 276
Luna Maya, 175 Nipkow, Paul, 57
Lydia Kandou, 27 Nirina Zubir, 17
Nurcholish Madjid, 101, 133
M
M. Riva’i, 63 O
Makassar, 33, 57, 58, 60, 141, Okky Lukman, 17
245 on line, 6, 46
Maladi, 59 Onni Syahrial, 27
Malaysia, 6, 16, 33, 40, 62, 65,
69, 87, 138, 173, 176, 187,
215, 216, 276, 287 P
Mamay S. Salim, 129 Padang, 67
Maria Goreti Murniati, 66 Pahlevi, Syah, 133
Marie Muhammad, 284 Paku Buwono X, 233
Marius Widyarto, 66 Palang Merah Indonesia, 234
Martin Sunu Susetyo, 14 Pattiasina, 36
Indeks

Masdar F Mas’ud, 134 Patung Liberty, 66


Matsushita, Konosuke, 58 Peggy Melati Sukma, 17
maverick style, 96 Peterpan, 17
Mbah Maridjan, 94 Petrus Kanisius Ojong, 144
MC Chuang, 211 Phillips, Zara, 110 325
politic marketing, 122 Seventeen, 17
Pontianak, 10, 33 show room, 4, 74, 173
Prajogo Pangestu, 268 Singapura, 16, 38, 40, 62, 65,
Prancis, 39, 42, 110, 111, 116, 69, 87, 101, 115, 116,
130, 146, 161, 254, 271, 129, 138, 171, 176, 183,
290 187, 210, 214, 215, 216,
Prijanto, 122 231, 249, 270, 271, 282,
Probosutedjo, 248 300, 304
Bob Proctor, 227 Sinta Nuriyah, 102
production house, 17, 135 Sjamsoe’oed Sadjad, 55
Purdi E Chandra, 78, 140 Slamet Utomo, 37
pure artesia water, 38 Soedjono Atmotenojo, 138
Purnomo Prawiro, 295 Soedomo Margonoto, 30
Puspo Wardoyo, 102, 106 Soeharto, 43, 44, 46, 60, 149,
Putu Wijaya, 95, 161 160, 170, 262, 265, 300,
304
R Soekarno, 58, 143, 145, 146,
147, 155, 160, 212, 265
Raam Punjabi, 26, 28 Soemarno, 155
Rahkmat Sulistio, 90 Soeseno Tedjo, 95
Rahman, Fazlur, 132 Sofjan Wanandi, 142
Rasulullah Saw., 275 Sophia Latjuba, 94, 199
rating, 28, 141 Sosrodjojo, 19, 20, 21, 23
Rengasdengklok, 14 Southwest Airlines, 8
Rhenald Kasali, 80, 94, 176 Spanyol, 18, 111
Rini MS Soewandi, 271 Sri Mulyani Indrawati, 142, 271,
Robbie Djohan, 67 288
Robbins, Anthony, 226 Sri Mulyono Herlambang, 56
Ronny Lukito, 126 Subiakto Priosoedarsono, 121
Rosihan Anwar, 150, 160, 161 Sudono Salim, 157, 202, 249,
rusa, 112, 154 268, 290, 300
Rusdi, 8, 9, 10, 11 Sudwikatmono, 300, 301
Sukamdani Sahid Gitosar­djono,
S 244
Sukanto Tanoto, 160
S Abrian Natan, 173 suku Asmat, 68
Sagunama, Ichiro, 61 Sukyatno Nugroho, 83
Said, Edward, 132 Sulawesi, 6, 152
M. MA’RUF

Sandra Dewi, 17 Sumatera, 6, 9, 16, 81, 143,


sapi, 14, 184 181, 244, 282
Saudi Arabia, 62 Sumatera Utara, 11, 104, 105,
self flowing spring, 38 244, 305
Semarang, 33, 63, 81, 83, 84, Sumitro Djojohadikusumo, 268
91, 92, 104, 106, 142, Sunan Paku Buwono XII, 233
149, 231, 245 Supiyati, 106
326 Setiawan Djodi, 94 Surabaya, 25, 31, 32, 33, 57,
95, 107, 186, 189, 190, Universitas Krisnadwipa­yana,
192, 195, 241, 245 57
Susilo Bambang Yudhoyo­no, Universitas Padjadjaran, 175
121, 191 Universitas Pancasila, 9
Susi Pudjiastuti, 180 Universitas Parahyangan, 66
Sutiyoso, 122 Universitas Sebelas Maret, 103
Suzy Dharmawan, 54 Universitas Sorbonne, 130
Syamsul Arifin, 123 Universitas Trisakti, 172, 240
Syariati, Ali, 131 UPN Veteran, 80
Urip Tri Gunawan, 209
T
Taiwan, 33, 34, 61, 143, 218
W
Tanri Abeng, 283 Warner Music Group, 8
Taufiq Ismail, 161 Widjojo Hartono, 97
Tautou, Audrey, 110 Wien Widjanarko, 80
Taylor, Elizabeth, 201 Wim Umboh, 26
Thabathai, Muhammad Husain, Witehead, Josephe, 20
131
Thailand, 37, 169, 216 Y
Theresia Alit Widyasari, 14
Thomas, Benjamin, 20 Yayan Sopyan, 44
Thompson, Emma, 110 Yenny Setia Widjaja, 83
Timur Tengah, 33, 40, 69, 85, Yogyakarta, 18, 63, 67, 79, 90,
133, 301 130, 132, 133, 144, 234,
Tirto Utomo, 36, 42 241, 245, 248, 253
Tommy Winata, 160
Too Goan Cuan, 30 Z
Tora Sudiro, 17
Tornatore, Giuseppe, 25 Zaenal Abidin, 131
travel agent, 9 Zainudin MZ, 273
Trie Utami, 139 Zidane, Zinedine, 39
trust management, 74
Tukiman Darmowijono, 83
Tung Desem Waringin, 223,
225

U
udang, 14, 182, 183, 184
Ujung Pandang, 67
Indeks

Universitas Gadjah Mada,, 78,


132, 172, 234
Universitas Indonesia, 52, 176,
229, 237, 297, 298
327
MILIKI!
BUKU MENARIK
LAINNYA ...

101 IDE BISNIS TANPA KANTOR


Penulis : Sulistyawati N
Tebal : 208 halaman
Harga : Rp 34.000,-

100 GREAT BUSINESS IDEAS


Penulis : Emily Ross dan Angus Holland
Tebal : 344 halaman
Harga : Rp 69.000,-

Apabila Anda menemukan cacat produksi—berupa halaman terbalik, halaman tak berurut, halaman
tidak lengkap, halaman terlepas-lepas, tulisan tidak terbaca, atau kombinasi dari hal-hal di atas—
silakan kirimkan buku tersebut beserta alamat lengkap Anda kepada:

Bagian Promosi, Penerbit Hikmah (PT Mizan Publika)


Gedung MP Book Point
Jln. Puri Mutiara Raya No. 72, Cilandak Barat, Jakarta Selatan, 12430

Untuk informasi, saran, kritik, dan keluhan, silakan hubungi:

Telp.: 021-75915762/63, Faks.: 021-75915759


Email: hikmahpublisher@gmail.com, hikmahku@cbn.net.id

* Selain buku yang cacat, sertakan juga bukti pembelian, fotokopi biaya kirim buku, dan buku
yang dibeli adalah yang terbit tidak lebih dari 6 bulan. Penerbit Hikmah akan mengganti buku
Anda dengan buku baru (dengan judul yang sama) plus bonus buku lain sebagai hadiah serta
mengganti ongkos kirimnya.

Anda mungkin juga menyukai