Anda di halaman 1dari 29

Makalah

Teori Belajar dan Konsep Mengajar

Di susun Oleh :
Nama : DIAN SETIYAWAN
Nim : 210020083
Kelas : C

TEKNOLOGI PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PGRI ADI BUANA SURABAYA
2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia memperoleh sebagaian besar dari kemampuannya melalui belajar.
Belajar adalah suatu peristiwa yang terjadi didalam kondisi-kondisi tertentu yang dapat
diamati, diubah dan dikontrol (Robert M. Gagne, 1977). Kemampuan manusia yang
dikembangkan melalui belajar yaitu pertama; ketrampilan intelektual, informasi verbal,
strategi kognitif, ketrampilan motorik, dan sikap. Pendidik dituntut untuk menyediakan
kondisi belajar untuk peserta didik untuk mencapai kemampuan-kemampuan tertentu
yang harus dipelajari oleh subyek didik. Dalam hal ini peranan desain pesan dalam
kegiatan belajar mengajar sangat penting, karena desain pesan pembelajaran menunjuk
pada proses memanipulasi, atau merencanakan suatu pola atau signal dan lambang yang
dapat digunakan untuk menyediakan kondisi untuk belajar.
Dalam kehidupan manusia tidak bisa terlepas dari belajar, karena dengan
belajar manusia menjadi mengerti dan paham tentang hal – hal yang sebelumnya belum
mereka ketahui. Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individuuntuk
memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil
pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dalam lingkungan. Belajar memegang
peranan penting di dalam perkembangan, kebiasaan, sikap, keyakinan, tujuan,
kepribadian dan persepsi manusia. Oleh karena itu seseorang harus menguasai prinsip –
prinsip dasar belajar agar mampu memahami bahwa aktivitas belajar itu memegang
peranan penting dalam psikologis dan kehidupan yang lebih baik di masa yang akan
datang.Perubahan perilaku yang merupakan hasil dari proses belajar dapat berwujud
perilaku yang tampak (overt behavior) dan perilaku yang tidak tampak (inner behavior).
Perilaku yang tampak misalnya menulis, memukul, menendang sedangkan
perilaku yang tidak tampak misalnya berfikir, bernalar dan berkhayal.Untuk itu, agar
aktivitas belajar dapat mencapai hasil belajar yang optimal, maka stimulus atau proses
belajar untuk peserta didik harus dirancang secara matang, menarik, dan spesifik
sehingga peserta didik mudah memahami dan merespon positif materi yang diberikan.
Meskipun pengajar sudah merancang sedemikian rupa kadang masih sulit untuk peserta
didik dalam mengerti dan paham pada materi yang diberikan. Oleh karena itu pengajar
harus mampu menggunakan berbagai cara agar peserta didik mampu memahami apa
yang sudah diberikan oleh pengajar.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Belajar
Belajar adalah kegiatan individu memperoleh pengetahuan, perilaku dan
keterampilan dengan cara mengolah bahan belajar. (Dimyati dan Mudjiono, 2006:6),
Berbeda dengan Sanjaya (2010:112), beliau berpendapat bahwa “Belajar adalah proses
mental yang terjadi dalam diri seseorang, sehingga menyebabkan munculnya perubahan
tingkah laku.” Menurut Djamarah, Syaiful dan Zain (2006:11), “belajar adalah proses
perubahan perilaku berkat pengalaman dan latihan.” Berdasarkan definisi diatas maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa belajar adalah proses perubahan tingkah laku seseorang
setelah berinteraksi dengan lingkungannya, dalam hal ini adalah lingkungan kelas pada
saat proses pembelajaran, yang akan menambah pengetahuan, keterampilan, maupun
sikap. Pembelajaran adalah membelajarkan siswa menggunakan asas pendidikan
maupun teori belajar merupakan penentu utama keberhasilan pendidikan. (Syaiful,
2003:61).
Menurut Hamalik (2007:77) pembelajaran adalah suatu system artinya suatu
keseluruhan yang terdiri dari komponen-komponenyang berinteraksi antara satu dengan
lainnya dan dengan keseluruhan itu sendiri untuk mencapai tujuan pengajaran yang
telah ditetapkan sebelumnya. Adapun komponen-komponen tersebut meliputi tujuan
pendidikan dan pengajaran, peserta didik dan siswa, tenaga kependidikan khususnya
guru, perencanaan pengajaran, strategi pengajaran, media pengajaran, dan evaluasi
pengajaran.
Pembelajaran menurut Dimyati dan Mudjiono (2006:17) adalah kegiatan
guru secara terprogram dalam desain instruk-sional, untuk membuat siswa belajar
secara aktif, yang menekankan pada penyediaan sumber belajar. Sedangkan Coney
(dalam Sagala, 2005:61) mengatakan bahwa pembelajaran sebagai suatu proses dimana
lingkungan seseorang secara sengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam
tingkah laku tertentu dalam kondisi-kondisi khusus atau menghasilkan respon terhadap
situasi tertentu.
Dari teori-teori tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah
suatu proses yang dilakukan oleh guru yang telah diprogram dalam rangka
membelajarkan siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan sesuai
dengan petunjuk kurikulum yang berlaku.

B. Teori Belajar Behaviorisme


Behaviorisme merupakan salah satu pendekatan untuk memahami perilaku
individu. Behaviorisme memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan
mengabaikan aspek – aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui
adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa
belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi
kebiasaan yang dikuasai individu. Teori kaum behavoris lebih dikenal dengan nama
teori belajar, karena seluruh perilaku manusia adalah hasil belajar. Belajar artinya
perubahan perilaku organisme sebagai pengaruh lingkungan.
Teori behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilakunya
dikendalikan oleh faktor-faktor lingkungan. Ciri dari teori ini adalah mengutamakan
unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat mekanistis, menekankan peranan lingkungan,
mementingkan pembentukan reaksi atau respon, menekankan pentingnya latihan,
mementingkan mekanisme hasil belajar,mementingkan peranan kemampuan dan hasil
belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan. Pada teori belajar
ini sering disebut S-R psikologis artinya bahwa tingkah laku manusia dikendalikan oleh
ganjaran atau reward dan penguatan atau reinforcement dari lingkungan.

1. Teori Belajar Menurut Edward Lee Thorndike (1874-1949)


Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon.
Stimulus yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti
pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan
respon yaitu reaksi yang dimunculkan siswa ketika belajar, yang juga dapat berupa
pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Dari definisi belajar tersebut maka menurut
Thorndike perubahan tingkah laku akibat dari kegiatan belajar itu dapat berujud
kongkrit yaitu yang dapat diamati, atau tidak kongkrit yaitu yang tidak dapat diamati.
Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, namun ia
tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku-tingkah laku yang
tidak dapat diamati. Namun demikian, teorinya telah banyak memberikan pemikiran
dan inspirasi kepada tokoh-tokoh lain yang datang kemudian. Teori Thorndike ini
disebut juga sebagai aliran Koneksionisme (Connectionism).

2. Teori Belajar Menurut John Broades Watson (1878-1958)


J.B. Watson adalah seorang tokoh aliran behavioristik yang datang sesudah
Thorndike. Menurutnya, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon,
namun stimulus dan respon yang dimaksud harus berbentuk tingkah laku yang dapat
diamati (observabel) dan dapat diukur. Dengan kata lain, walaupun ia mengakui adanya
perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun ia
menganggap hal-hal tersebut sebagai faktor yang tak perlu diperhitungkan. Ia tetap
mengakui bahwa perubahan-perubahan mental dalam benak siswa itu penting, namun
semua itu tidak dapat menjelaskan apakah seseorang telah belajar atau belum karena
tidak dapat diamati.
Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar
disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperti fisika atau biologi yang sangat berorientasi
pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh dapat diamati dan dapat diukur.
Asumsinya bahwa, hanya dengan cara demikianlah maka akan dapat diramalkan
perubahan-perubahan apa yang bakal terjadi setelah seseorang melakukan tindak belajar

3. Teori Belajar Menurut Clark Leaonard Hull (1884-1952)


Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon
untuk menjelaskan pengertian tentang belajar. Namun ia sangat terpengaruh oleh teori
evolusi yang dikembangkan oleh Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori
evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga kelangsungan
hidup manusia. Oleh sebab itu, teori Hull mengatakan bahwa kebutuhan biologis dan
pemuasan kebutuhan biologis adalah penting dan menempati posisi sentral dalam
seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan
dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat
bermacam-macam bentuknya. Dalam kenyataannya, teori-teori demikian tidak banyak
digunakan dalam kehidupan praktis, terutama setelah Skinner memperkenalkan
teorinya. Namun teori ini masih sering dipergunakan dalam berbagai eksperimen di
laboratorium.
4. Teori Belajar Menurut Edwin Ray Guthrie (1886-1959)
Sebagaimana Hull, Edwin Guthrie juga menggunakan variabel hubungan
stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Namun ia
mengemukakan bahwa stimulus tidak harus berhubungan dengan kebutuhan atau
pemuasan biologis sebagaimana yang dijelaskan oleh Clark dan Hull. Dijelaskannya
bahwa hubungan antara stimulus dan respon cenderung hanya bersifat sementara, oleh
sebab itu dalam kegiatan belajar siswa perlu sesering mungkin diberikan stimulus agar
hubungan antara stimulus dan respon bersifat lebih tetap. Ia juga mengemukakan, agar
respon yang muncul sifatnya lebih kuat dan bahkan menetap, maka diperlukan berbagai
macam stimulus yang berhubungan dengan respon tersebut.
Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan
penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan
mampu merubah kebiasaan dan perilaku seseorang. Namun setelah Skinner
mengemukakan dan mempopulerkan akan pentingnya penguatan (reinforcemant) dalam
teori belajarnya, maka hukuman tidak lagi dipentingkan dalam belajar.

5. Teori Belajar Menurut Burrhusm Frederic Skinner (1904-1990)


Skinner merupakan tokoh behavioristik yang paling banyak
diperbincangkan, konsep-konsep yang dikemukakan oleh Skinner tentang belajar
mampu mengungguli konsep-konsep lain yang dikemukakan oleh para tokoh
sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun dapat
menunjukkan konsepnya tentang belajar secara lebih komprehensif.
Pada dasarnya stimulus-stimulus yang diberikan kepada seseorang akan
saling berinteraksi dan interaksi antara stimulus-stimulus tersebut akan mempengaruhi
bentuk respon yang akan diberikan. Demikian juga dengan respon yang dimunculkan
inipun akan mempunyai konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah
yang pada gilirannya akan mempengaruhi atau menjadi pertimbangan munculnya
perilaku. Oleh sebab itu, untuk memahami tingkah laku seseorang secara benar, perlu
terlebih dahulu memahami hubungan antara stimulus satu dengan lainnya, serta
memahami respon yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin
akan timbul sebagai akibat dari respon tersebut.
Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-
perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah
rumitnya masalah. Sebab, setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian
seterusnya. Pandangan teori belajar behavioristik ini cukup lama dianut oleh para guru
dan pendidik. Namun dari semua pendukung teori ini, teori Skinerlah yang paling besar
pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program
pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul, dan
program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus–
respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan
program-program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan oleh
Skiner.

6. Aplikasi Teori Behavioristik dalam Kegiatan Pembelajaran


Aliran psikologi belajar yang sangat besar mempengaruhi arah
pengembangan teori dan praktek pendidikkan dan pembelajaran hingga kini adalah
aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak
sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya,
mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respons atau perilaku
tertentu dapat dibentuk karena dikondisi dengan cara tertentu dengan menggunakan
metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila
diberikan reinforcement, dan akan menghilang bila dikenai hukuman. Istilah-istilah
seperti hubungan stimulus-respon, individu atau siswa pasif, perilaku sebagai hasil
belajar yang tampak, pembentukan perilaku (shaping) dengan penataan kondisi secara
ketat, reinforcement dan hukuman, ini semua merupakan unsurunsur yang sangat
penting dalam teori behavioristik.
Teori ini hingga sekarang masih merajai praktek pembelajaran di Indonesia.
Hal ini tampak dengan jelas pada penyelenggaraan pembelajaran dari tingkat paling
dini, seperti Kelompok bermain, Taman Kanak-kanak, Sekolah-Dasar, Sekolah
Menengah, bahkan sampai di Perguruan Tinggi, pembentukan perilaku dengan cara drill
(pembiasaan) disertai dengan reinforcement atau hukuman masih sering dilakukan
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal
seperti; tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik siswa, media dan
fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan dilaksanakan
berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti,
tetap, tidak berubah.
Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah
perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan ke
orang yang belajar atau siswa. Siswa diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama
terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau
guru itulah yang harus dipahami oleh murid. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk
menjiplak struktur pengetahuan yang sudah ada melalui proses berpikir yang dapat
dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini
ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Karena teori behavioristik
memandang bahwa sebagai sesuatu yang ada di dunia nyata telah tersetruktur rapi dan
teratur, maka siswa atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang
jelas dan ditetapkan lebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat
esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan
penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan
dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum, dan keberhasilan belajar atau
kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah.
Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu
keberhasilan belajar. Siswa atau siswa adalah obyek yang harus berperilaku sesuai
dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar
diri siswa. Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada
penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagai aktivitas “mimetic”, yang
menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari
dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan
pada ketrampilan yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke
keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas
belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada
ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Thorndike
(Schunk, 2012) kemudian merumuskan peran yang harus dilakukan guru dalam proses
pembelajaran, yaitu:
1. Membentuk kebiasaan siswa. Jangan berharap kebiasaan itu akan terbentuk
dengan sendirinya
2. Berhati hati jangan smpai membentuk kebiasaan yang nantinya harus diubah.
Karena mengubah kebiasaan yang telah terbentuk adalah hal yang sangat sulit.
3. Jangan membentuk dua atau lebih kebiasaan, jika satu kebiasaan saja sudah cukup
4. Bentuklah kebiasaan dengan cara yang sesuai dengan bagaimana kebiasaan itu
akan digunakan.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan
biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut satu
jawaban benar. Maksudnya, bila siswa menjawab secara “benar” sesuai dengan
keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas
belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagai bagian yang terpisah dari kegiatan
pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini
menekankan evaluasi pada kemampuan siswa secara individual. Salah satu contoh
pembelajaran behavioristik adalah pembelajaran terprogram (PI/Programmed
Instruction), di mana pembelajaran terprogram ini merupakan pengembangan dari
prinsip-prinsip pembelajaran Operant conditioning yang di bawa oleh Skinner. Dalam
Schunk (2012) PI melibatkan beberapa prinsip pembelajaran. Dalam pembelajaran
terprogram, materi dibagi menjadi frame-frame secara berurutan yang setiap frame
memberikan informasi dalam potongan kecil dan dilengkapi dengan test yang akan
direspon oleh siswa.
Pada jaman modern ini, aplikasi teori behavioristik berkembang pada
pembelajaran dengan powerpoint dan multimedia. Dalam pembelajaran dengan
powerpoint, pembelajaran cenderung terjadi satu arah. Materi disampaikan dalam
bentuk powerpoint yang telah disusun secara rinci. Sementara itu pada pembelajaran
dengan multimedia, siswa diharapkan memiliki pemahaman yang sama dengan
pengembang, materi disusun dengan perencanaan yang rinci dan ketat dengan urutan
yang jelas, latihan yang diberikan pun cenderung memiliki satu jawaban benar.
Feedback pada pembelajaran dengan multimedia cenderung diberikan sebagai
penguatan dalam setiap soal, hal ini serupa dengan program pembelajaran yang pernah
dikembangkan Skinner (Collin, 2012), dimana Skinner mengembangkan model
pembelajaran yang disebut “teaching machine” yang memberikan feedback kepada
siswa bila memberikan jawaban benar dalam setiap tahapan dari pertanyaan test, bukan
sekedar feedback pada akhir test.

Adapun kelebihan dan kelemahannya, sebagai berikut:


 Kelebihan :
1. Membiasakan guru untuk bersikap jeli dan peka pada situasi dan kondisi belajar.
2. Metode behavioristik ini sangat cocok untuk memperoleh kemampuan yang
membutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsurunsur seperti:
kecepatan, spontanitas, kelenturan, refleksi, daya tahan, dan sebagainya.
3. Guru tidak banyak memberikan ceramah sehingga murid dibiasakan belajar
mandiri. Jika menemukan kesulitan baru ditanyakan kepada guru yang
bersangkutan.
4. Teori ini cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan
dominansi peran orang dewasa , suka mengulangi dan harus dibiasakan , suka
meniru dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi
permen atau pujian.

 Kekurangan :
1. Memandang belajar sebagai kegiatan yang dialami langsung, padahal belajar adalah
kegiatan yang ada dalam sistem syaraf manusia yang tidak terlihat kecuali melalu
gejalanya.
2. Proses belajar dipandang bersifat otomatis-mekanis sehingga terkesan seperti mesin
atau robot, padahal manusia mempunyai kemampuan self control yang bersifat
kognitif, sehingga, dengan kemampuan ini, manusia mampu menolak kebiasaan
yang tidak sesuai dengan dirinya.
3. Proses belajar manusia yang dianalogikan dengan hewan sangat sulit diterima,
mengingat ada perbedaan yang cukup mencolok antara hewan dan manusia.

C. Teori Belajar Kognitif


Teori Kognitivisme mengalihkan perhatiannya pada “otak”. Mereka
berpendapat bagaimana manusia memproses dan menyimpan informasi sangat penting
dalam proses belajar. Akhirnya proposisi (gagasan awal) inilah yang menjadi fokus baru
mereka. Model kognitif ini memiliki perspektif bahwa para peserta didik memproses
infromasi dan pelajaran melalui upayanya mengorganisir, menyimpan, dan kemudian
menemukan hubungan antara pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang telah
ada. Model ini menekankan pada bagaimana informasi diproses. Kognitivisme tidak
seluruhnya menolak gagasan behaviorisme, namun lebih cenderung perluasannya,
khususnya pada gagasan eksistensi keadaan mental yang bisa mempengaruhi proses
belajar. Pakar psikologi kognitif modern berpendapat bahwa belajar melibatkan proses
mental yang kompleks, termasuk memori, perhatian, bahasa, pembentukan konsep, dan
pemecahan masalah. Mereka meneliti bagaimana manusia memproses informasi dan
membentuk representasi mental dari orang lain, objek, dan kejadian.

1. Teori Perkembangan Jean Piaget (1896-1980)


Piaget adalah seorang tokoh psikologi kognitif yang besar pengaruhnya
terhadap perkembangan pemikiran para pakar kognitif lainnya. Menurut Piaget,
perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik, yaitu suatu proses yang
didasarkan atas mekanisme biologis perkembangan sistem syaraf. Dengan makin
bertambahnya umur seseorang, maka makin komplekslah susunan sel syarafnya dan
makin meningkat pula kemampuannya. Ketika individu berkembang menuju
kedewasaan, akan mengalami adaptasi biologis dengan lingkungannya yang akan
menyebabkan adanya perubahanperubahan kualitatif di dalam struktur kognitifnya.
Piaget tidak melihat perkembangan kognitif sebagai sesuatu yang dapat didefinisikan
secara kuantitatif. Ia menyimpulkan bahwa daya pikir atau kekuatan mental anak yang
berbeda usia akan berbeda pula secara kualitatif Bagaimana seseorang memperoleh
kecakapan intelektual, pada umumnya akan berhubungan dengan proses mencari
keseimbangan antara apa yang mereka rasakan dan mereka ketahui pada satu sisi
dengan apa yang mereka lihat suatu fenomena baru sebagai pengalaman atau persoalan.
Bila seseorang dalam kondisi sekarang dapat mengatasi situasi baru,
keseimbangan mereka tidak akan terganggu. Jika tidak, ia harus melakukan adaptasi
dengan lingkungannya. Proses adaptasi mempunyai dua bentuk dan terjadi secara
simultan, yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses perubahan apa yang
dipahami sesuai dengan struktur kognitif yang ada sekarang, sementara akomodasi
adalah proses perubahan struktur kognitif sehingga dapat dipahami. Dengan kata lain,
apabila individu menerima informasi atau pengalaman baru maka informasi tersebut
akan dimodifikasi sehingga cocok dengan struktur kognitif yang telah dipunyainya.
Proses ini disebut asimilasi. Sebaliknya, apabila struktur kognitif yang sudah
dimilikinya yang harus disesuaikan dengan informasi yang diterima, maka hal ini
disebut akomodasi. Asimilasi dan akomodasi akan terjadi apabila seseorang mengalami
konflik kognitif atau suatu ketidakimbangan antara apa yang telah diketahui dengan apa
yang dilihat atau dialaminya sekarang. Proses ini akan mempengaruhi strutur kognitif.
Menurut Piaget, proses belajar akan terjadi jika mengikuti tahap-tahap asimilasi,
akomodasi, dan ekuilibrasi (penyeimbangan).
Proses asimilasi merupakan proses pengintegrasian atau penyatuan
informasi baru ke dalam struktur kognitif yang telah dimiliki oleh individu. Proses
akomodasi merupakan proses penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang baru.
Sedangkan proses ekuilibrasi adalah penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi
dan akomodasi. Sebagai contoh, seorang anak sudah memahami prinsip pengurangan.
Ketika mempelajari prinsip pembagian, maka terjadi proses pengintegrasian antara
prinsip pengurangan yang sudah dikuasainya dengan prinsip pembagian (informasi
baru). Inilah yang disebut proses asimilasi. Jika anak tersebut diberikan soal-soal
pembagian, maka situasi ini disebut akomodasi. Artinya, anak tersebut sudah dapat
mengaplikasikan atau memakai prinsip-prinsip pembagian dalam situasi yang baru dan
spesifik.
Agar seseorang dapat terus mengembangkan dan menambah
pengetahuannya sekaligus menjaga stabilitas mental dalam dirinya, maka diperlukan
proses penyeimbangan. Proses penyeimbangan yaitu menyeimbangkan antara
lingkungan luar dengan struktur kognitif yang ada dalam dirinya. Proses inilah yang
disebut ekuilibrasi. Tanpa proses ekuilibrasi, perkembangan kognitif seseorang akan
mengalami gangguan dan tidak teratur (disorganized). Hal ini misalnya tampak pada
caranya berbicara yang tidak runtut, berbelit-belit, terputus-putus, tidak logis, dan
sebagainya. Adaptasi akan terjadi jika telah terdapat keseimbangan di dalam struktur
kognitif. Piaget membagi tahap-tahap perkembangan kognitif ini menjadi empat yaitu;
a. Tahap sensorimotor (umur 0-2 tahun)
b. Tahap preoperasional (umur 2-7/8 tahun)
c. Tahap intuitif (umur 4-7 atau 8 tahun)
d. Tahap operasional konkrit (umur 7 atau 8-11 atau 12 tahun)
e. Tahap Operasional formal (umur 11/12-18 tahun)
Menurut Piaget (dalam Hudoyono,1988:45) Manusia berhadapan dengan
tantangan, pengalaman, gejala barn, dan persoalan yang hams ditanggapinya secaca
kognitif (mental). Untuk itu, manusia hams mengembangkan skema pikiran lebih
umum atau rinci, atau perlu perubahan, menjawab dan menginterpretasikan
pengalaman-pengalaman tersebut. Dengan cara itu, pengetahuan seseorang terbentuk
dan selalu berkembang. Proses tersebut meliputi:

1. Skema/skemata adalah struktur kognitif yang dengannya seseorang


beradaptasi dan terns mengalami perkembangan mental dalam interaksinya
2. dengan lingkungan. Skema juga berfungsi sebagai kategori-kategori
utnuk mengidentifikasikan rangsangan yang datang, dan terus berkembang.
3. Asimilasi adalah proses kognitif perubahan skema yang
tetap mempertahankan konsep awalnya, hanya menambah atau merinci.
4. Akomodasi adalah proses pembentukan skema atau karena konsep
awal sudah tidak cocok lagi.
5. Equilibrasi adalah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi
sehingga seseorang dapat menyatukan pengalaman luar dengan
struktur dalamya (skemata). Proses perkembangan intelek seseorang
berjalan dari disequilibrium menuju equilibrium melalui asimilasi dan
akomodasi.

Dikemukakannya pula, bahwa belajar akan lebih berhasil


apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik.
Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen
dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan
dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan
rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan
secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan. Implikasi
teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah:
1. Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu
guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir
anak
2. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan
dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan
lingkungan sebaik-baiknya.
3. Bahan yang hams dipelajari anak hendaknya dirasakan barn tetapi tidak
asing.
4. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya. Di
dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara
dan diskusi dengan teman-temanya.

Seseorang tidak dapat mempelajari sesuatu diluar kemampuan


kognitifnya. Adapun Akomodasi adalah proses menstruktur kembali mental
sebagai akibat adanya informasi dan pengalaman barn (Hudoyono,1988:47)
.Jadi belajar tidak hanya menerima informasi dan pengalaman lama yang
dimiliki anak didik untuk mengakomodasikam informasi dan pengalaman barn
.Oleh kerena itu,yang perlu diperhatikan pada tahap operasi kongkret adalah
pembelajaran yang didasarkan pada benda-benda kongkret agar mempermudah
anakdidik dalam memahami kosep-konsep matemtika.

2. Teori Belajar Menurut Jerome Bruner (1915-2016)

Jerome Bruner adalah seorang pengikut setia teori kognitif, khususnya


dalam studi perkembangan fungsi kognitif. Ia menandai perkembangan kognitif
manusia sebagai berikut:

1. Perkembangan intelektual ditandai dengan adanya kemajuan dalam menanggapi


suatu rangsangan.
2. Peningkatan pengetahuan tergantung pada perkembangan sistem penyimpanan
informasi secara realis.
3. Perkembangan intelektual meliputi perkembangan kemampuan berbicara pada diri
sendiri atau pada orang lain melalui kata-kata atau lambang tentang apa yang telah
dilakukan dan apa yang akan dilakukan. Hal ini berhubungan dengan kepercayaan
pada diri sendiri.
4. Interaksi secara sistematis antara pembimbing, guru atau orang tua dengan anak
diperlukan bagi perkembangan kognitifnya.
5. Bahasa adalah kunci perkembangan kognitif, karena bahasa merupakan alat
komunikasi antara manusia. Untuk memahami konsep-konsep yang ada diperlukan
bahasa. Bahasa diperlukan untuk mengkomunikasikan suatu konsep kepada orang
lain.
6. Perkembangan kognitif ditandai dengan kecakapan untuk mengemukakan beberapa
alternatif secara simultan, memilih tindakan yang tepat, dapat memberikan prioritas
yang berurutan dalam berbagai situasi.

Dalam memandang proses belajar, Bruner menekankan adanya pengaruh


kebudayaan terhadap tingkah laku seseorang. Dengan teorinya yang disebut free
discovery learning, ia mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan
kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu
konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam
kehidupannya. Jika Piaget menyatakan bahwa perkembangan kognitif sangat
berpengaruh terhadap perkembangan bahasa seseorang, maka Bruner menyatakan
bahwa perkembangan bahasa besar pengaruhnya terhadap perkembangan kognitif.
Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang
ditentukan oleh caranya melihat lingkungan, yaitu; enactive, iconic, dan simbolic.

1. Tahap enaktif, seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upayanya untuk


memahami lingkungan sekitarnya. Artinya, dalam memahami dunia sekitarnya
anak menggunakan pengetahuan motorik. Misalnya, melalui gigitan, sentuhan,
pegangan, dan sebagainya.
2. Tahap ikonik, seseorang memahami obyek-obyek atau dunianya melalui
gambargambar dan visualisasi verbal. Maksudnya, dalam memahami dunia
sekitarnya anak belajar melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan perbandingan
(komparasi).
3. Tahap simbolik, seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan-gagasan
abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan
logika.
Dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui simbol-simbol
bahasa, logika, matematika, dan sebagainya. Komunikasinya dilakukan dengan
menggunakan banyak sistem simbol. Semakin matang seseorang dalam proses
berpikirnya, semakin dominan sistem simbolnya. Meskipun begitu tidak, berarti ia tidak
lagi menggunakan sistem enaktif dan ikonik. Penggunaan media dalam kegiatan
pembelajaran merupakan salah satu bukti masih diperlukannya sistem enaktif dan
ikonik dalam proses belajar. Menurut Bruner, perkembangan kognitif seseorang dapat
ditingkatkan dengan cara menyusun materi pelajaran dan menyajikannya sesuai dengan
tahap perkembangan orang tersebut.

Gagasannya mengenai kurikulum spiral (a spiral curriculum) sebagai suatu


cara mengorganisasikan materi pelajaran tingkat makro, menunjukkan cara
mengurutkan materi pelajaran mulai dari mengajarkan meteri secara umum, kemudian
secara berkala kembali mengajarkan materi yang sama dalam cakupan yang lebih rinci.
Pendekatan penataan materi dari umum ke rinci yang dikemukakannya dalam model
kurikulum spiral merupakan bentuk penyesuaian antara materi yang dipelajari dengan
tahap perkembangan kognitif orang yang belajar.

Demikian juga model pemahaman konsep dari Bruner (dalam Degeng,


1989), menjelaskan bahwa pembentukan konsep dan pemahaman konsep merupakan
dua kegiatan mengkategori yang berbeda yang menuntut proses berpikir yang berbeda
pula. Seluruh kegiatan mengkategori meliputi mengidentifikasi dan menempatkan
contoh-contoh (obyek-obyek atau peristiwa-peristiwa) ke dalam kelas dengan
menggunakan dasar kriteria tertentu. Dalam pemahaman konsep, konsep-konsep sudah
ada sebelumnya. Sedangkan dalam pembentukan konsep adalah sebaliknya, yaitu
tindakan untuk membentuk kategori-kategori baru. Jadi merupakan tindakan penemuan
konsep.

Menurut Bruner, kegiatan mengkategori memiliki dua komponen yaitu; 1)


tindakan pembentukan konsep, dan 2) tindakan pemahaman konsep. Artinya, langkah
pertama adalah pembentukan konsep, kemudian baru pemahaman konsep. Perbedaan
antara keduanya adalah:

a. Tujuan dan tekanan dari kedua bentuk perilaku mengkategori ini berbeda.
b. Langkah-langkah dari kedua proses berpikir tidak sama.
c. Kedua proses mental membutuhkan strategi mengajar yang berbeda.

Bruner memandang bahwa suatu konsep memiliki 5 unsur, dan seseorang


dikatakan memahami suatu konsep apabila ia mengetahui semua unsur dari konsep itu,
meliputi;

a. Nama.
b. Contoh-contoh baik yang positif maupun yang negatif.
c. Karakteristik, baik yang pokok maupun tidak.
b. Rentangan karakteristik
c. Kaidah.

Menurut Bruner, pembelajaran yang selama ini diberikan di sekolah lebih


banyak menekankan pada perkembangan kemampuan analisis, kurang mengembang-
kan kemampuan berpikir intuitif. Padahal berpikir intuitif sangat penting bagi mereka
yang menggeluti bidang matematika, biologi, fisika, dan sebagainya, sebab setiap
disiplin mempunyai konsep-konsep, prinsip, dan prosedur yang harus dipahami sebelum
seseorang dapat belajar. Cara yang baik untuk belajar adalah memahami konsep, arti,
dan hubungan, melalui proses intuitif untuk akhirnya sampai kepada suatu kesimpulan
(discovery learning). Brunner meyakini bahwa proses belajar akan berjalan dengan
optimal apabila siswa diberikan kesempatan untuk mengungkapkan konsep, teori,
aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya
sehari-hari. Sebagaimana bagan di atas, Brunner meyakini bahwa perkembangan bahasa
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan kognitif anak.

3. Teori Belajar Bermakna David Ausubel (1918-2008)


Teori-teori belajar yang ada selama ini masih banyak menekankan pada
belajar asosiatif atau belajar menghafal. Belajar demikian tidak banyak bermakna bagi
siswa. Belajar seharusnya merupakan asimilasi yang bermakna bagi siswa. Materi yang
dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki
siswa dalam bentuk struktur kognitif. Struktur kognitif merupakan struktur
organisasional yang ada dalam ingatan seseorang yang mengintegrasikan unsur-unsur
pengetahuan yang terpisah-pisah ke dalam suatu unit konseptual. Teori kognitif banyak
memusatkan perhatiannya pada konsepsi bahwa perolehan dan retensi pengetahuan baru
merupakan fungsi dari struktur kognitif yang telah dimiliki siswa. Yang paling awal
mengemukakan konsepsi ini adalah Ausubel. Dikatakan bahwa pengetahuan
diorganisasi dalam ingatan seseorang dalam struktur hirarkhis. Ini berarti bahwa
pengetahuan yang lebih umum, inklusif, dan abstrak membawahi pengetahuan yang
lebih spesifik dan konkrit. Demikian juga pengetahuan yang lebih umum dan abstrak
yang diperoleh lebih dulu oleh seseorang, akan dapat memudahkan perolehan
pengetahuan baru yang lebih rinci. Gagasannya mengenai cara mengurutkan materi
pelajaran dari umum ke khusus, dari keseluruhan ke rinci yang sering disebut sebagai
subsumptive sequence menjadikan belajar lebih bermakna bagi siswa.
Advance organizers yang juga dikembangkan oleh Ausubel merupakan
penerapan konsepsi tentang struktur kognitif di dalam merancang pembelajaran.
Penggunaan advance organizers sebagai kerangka isi akan dapat meningkatkan
kemampuan siswa dalam mempelajari informasi baru, karena merupakan kerangka
dalam bentuk abstraksi atau ringkasan konsep-konsep dasar tentang apa yang dipelajari,
dan hubungannya dengan materi yang telah ada dalam struktur kognitif siswa. Jika
ditata dengan baik, advance organizers akan memudahkan siswa mempelajari materi
pelajaran yang baru, serta hubungannya dengan materi yang telah dipelajarinya.
Berdasarkan pada konsepsi organisasi kognitif seperti yang dikemukakan oleh Ausubel
tersebut, dikembangkanlah oleh para pakar teori kognitif suatu model yang lebih
eksplisit yang disebut dengan skemata. Sebagai struktur organisasional, skemata
berfungsi untuk mengintegrasikan unsur-unsur pengetahuan yang terpisah-pisah, atau
sebagai tempat untuk mengkaitkan pengetahuan baru

4. Aplikasi Teori Kognitif dalam Kegiatan Pembelajaran


Teori kognitif menekankan pada proses perkembangan siswa. Meskipun
proses perkembangan siswa mengikuti urutan yang sama, namun kecepatan dan
pertumbuhan dalam proses perkembangan itu berbeda. Dalam proses pembelajaran,
perbedaan kecepatan perkembangan mempengaruhi kecepatan belajar siswa, oleh sebab
itu interaksi dalam bentuk diskusi tidak dapat dihindarkan. Pertukaan gagasan menjadi
tanda bagi perkembangan penalaran siswa. Perlu disadari bahwa penalaran bukanlah
sesuatu yang dapat diajarkan secara langsung, namun perkembangannya dapat
disimulasikan.
Piaget memberikan penekanan bahwa setiap tahap perkembangan
memberikan kesempatan pada siswa untuk belajar lebih baik. Menurut piaget, anak
bukanlah orang dewasa mini, anak tidak mengetahui sebanyak apa yang diketahui oleh
orang dewasa, akan tetapi anak melihat dunia dengan cara yang berbeda dan
berinteraksi secara berbeda pula. Hakekat belajar menurut teori kognitif dijelaskan
sebagai suatu aktifitas belajar yang berkaian dengan penataan informasi, reorganisasi
perseptual, dan proses internal. Kegiatan pembelajaran yang berpijak pada teori belajar
kognitif ini sudah banyak digunakan. Dalam merumuskan tujuan pembelajaran,
mengembangkan strategi dan tujuan pembelajaran, tidak lagi mekanistik sebagaimana
yang dilakukan dalam pendekatan behavioristik.
Kebebasan dan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar amat
diperhitungkan, agar belajar lebih bermakna bagi siswa. Sedangkan kegiatan
pembelajarannya mengikuti prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Siswa bukan sebagai orang dewasa yang muda dalam proses berpikirnya. Mereka
mengalami perkembangan kognitif melalui tahap-tahap tertentu.
2. Anak usia pra sekolah dan awal sekolah dasar akan dapat belajar dengan baik,
terutama jika menggunakan benda-benda kongkrit.
3. Keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar amat dipentingkan, karena hanya
dengan mengaktifkan siswa maka proses asimilasi dan akomodasi pengetahuan
dan pengalaman dapat terjadi dengan baik.
4. Untuk menarik minat dan meningkatkan retensi belajar perlu mengkaitkan
pengalaman atau informasi baru dengan setruktur kognitif yang telah dimiliki si
belajar.

Adapun kelemahan dan kelebihannya, sebagai berikut:

 Kelebihan :
1. Sebagian besar dalam kurikulum pendidikan negara Indonesia lebih menekankan
pada teori kognitif yang mengutamakan pada pengembangan pengetahuan yang
dimiliki pada setiap individu.
2. Pada metode pembelajaran kognitif pendidik hanya perlu memeberikan dasardasar
dari materi yang diajarkan unruk pengembangan dan kelanjutannya deserahkan
pada peserta didik, dan pendidik hanya perlu memantau, dan menjelaskan dari alur
pengembangan materi yang telah diberikan.
3. Dengan menerapkan teori kognitif ini maka pendidik dapat memaksimalkan ingatan
yang dimiliki oleh peserta didik untuk mengingat semua materi-materi yang
diberikan karena pada pembelajaran kognitif salah satunya menekankan pada daya
ingat peserta didik untuk selalu mengingat akan materi-materi yang telah diberikan.
4. Menurut para ahli kognitif itu sama artinya dengan kreasi atau pembuatan satu hal
baru atau membuat suatu yang baru dari hal yang sudah ada, maka dari itu dalam
metode belajar kognitif peserta didik harus lebih bisa mengkreasikan hal-hal baru
yang belum ada atau menginovasi hal yang yang sudah ada menjadi lebih baik lagi.

 Kelemahan :
1. Pada dasarnya teori kognitif ini lebih menekankan pada kemampuan ingatan peserta
didik, dan kemampuan ingatan masing-masing peserta didik, sehingga kelemahan
yang terjadi di sini adalah selalu menganggap semua peserta didik itu mempunyai
kemampuan daya ingat yang sama dan tidak dibeda-bedakan.
2. Dalam metode ini tidak memperhatikan cara peserta didik dalam mengeksplorasi
atau mengembangkan pengetahuan dan cara-cara peserta didiknya dalam
mencarinya, karena pada dasarnya masing-masing peserta didik memiliki cara yang
berbeda-beda.
3. Apabila dalam pengajaran hanya menggunakan metode kognitif, maka dipastikan
peserta didik tidak akan mengerti sepenuhnya materi yang diberikan .
4. Jika dalam sekolah kejuruan hanya menggunakan metode kognitif tanpa adanya
metode pembelajaran lain maka peserta didik akan kesulitan dalam praktek
kegiatan atau materi.
5. Dalam menerapkan metode pembelajran kognitif perlu diperhatikan kemampuan
peserta didik untuk mengembangkan suatu materi yang telah diterimanya

C. Teori Konstruktivisme
Konstruktivisme adalah integrasi pnnsip yang diekplorasi melalui
teori chaos, network, dan teori kekompleksitas dan organisasi diri. Belajar
adalah proses yang terjadi dalam lingkungan samar-samar dari
peningkatan elemen-elemen inti tidak seluruhnya dikontrol oleh individu.. Belajar
didefinisikan sebagai pengetahuan yang dapat ditindak) dapat terletak di luar
diri kita ( dalam organisasi atau suatu database), terfokus pada hubungan
serangkaian informasi yang khusus, dan hubungan tersebut memungkinkan kita
belajar lebih banyak dan lebih penting dari pada keadaan yang kita tahu sekarang.
Konstrnktivisme diarahkan oleh pemahaman bahwa keputusan
didasarkan pada pernbahan yang cepat. Informasi barn diperoleh secara kontinu,
yang penting adalah kemampuan untuk menentukan antara informasi yang
penting dan tidak pen ting. Yang juga penting adalah kemampuan
mengetahui kapan informasi berganti (barn). Prinsip-prinsip konstrnktivisme
sebagaimana yang diungkapkan Siemens (2005) adalah:
1. Belajar dan pengetahuan terletak pada keberagaman opini.
2. Belajar adalah suatu proses menghubungkan (connecting) sumber-sumber
informasi tertentu.. Belajar mungkin saja terletak bukan pada alat-alat manusia.
3. Kapasitas untuk mengetahui lebih banyak mernpakan hal yang lebih
penting dari pada apa yang diketahui sekarang.
4. Memelihara dan menjaga hubungan-hubungan (connections) diperlukan
untuk memfasilitasi belajar berkelanjutan.
5. Kemampuan untuk melihat hubungan antara bidang-bidang, ide-ide, dan
konsep mernpakan inti keterampilan.
6. Saat ini (pengetahuan yang akurat dan up-to-date) adalah maksud dari
semua aktivitas belajar konektivistik.
Penentu adalah proses belajar itu sendiri. Pemilihan atas apa
yang dipelajari dan makna dari informasi yang masuk nampak melalui realita
yang ada. Konstruktivisme juga menyatakan tantangan yang dihadapi
dalam pengelolaan aktivitas. Pengetahuan yang dibutuhkan dihubungkan
(to be connected) dengan orang yang tepat dalam konteks yang tepat agar dapat
diklasifikasikan sebagai belajar. Behaviorisme, kognitivisme, dan konstruktivisme tidak
menyatakan tantangan-tantangan dari pengetahuan organisasional dan pergantian
(transference).
Aliran informasi dalam suatu organisasi merupakan elemen penting dalam
hal efektifitas secara organisasi. Aliran informasi dianalogikan sama dengan pipa
minyak dalam sebuah indusri. Menciptakan, menjaga, dan memanfaatkan aliran
informasi hendaknya menjadi kunci aktivitas organisasional. Aliran pengetahuan dapat
diumpamakan sebagai sebuah sungai yang berliku-liku melalui ekologi suatu
organisasi. Di daerah tertentu meluap dan di tempat lain aimya surut. Sehatnya ekologi
belajar dari suatu organisasi tergantung pada efektifnya pemeliharan aliran informasi.
Analisis jaringan sosial merupakan unsur-unsur tambahan dalam
memahami model-model belajar di era digital. Art Kleiner (2002) menguraikan
quantum theory of trust milik Karen Stephenson yang menjelaskan tidak hanya
sekadar bagaimana mengenal kapabelitas kognitif kolektif dari suatu organisasi, tetapi
bagaimana mengolah dan meningkatkannya.
Starting point konstruktivisme adalah individu. Pengetahuan personal
terdiri dari jaringan, yang hidup dalam organisasi atau institusi, yang pada
gilirannya memberi umpan balik pada jaringan itu, dan kemudian terus menerus
member pengalaman belajar kepada individu. Gerak perkembangan pengetahuan
(personal ke jaringan ke organisasi) memungkinkan pebelajar tetap
mutakhir dalam bidangnya melalui hubungan (connections) yang mereka bentuk.

D. Teori Belajar Humanistime


Selain teori belajar behavioristik dan teori kognitif, teori belajar humanistik
juga penting untuk dipahami. Menurut teori humanistik, proses belajar harus dimulai
dan ditujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia itu sendiri. Oleh sebab itu,
teori belajar humanistik sifatnya lebih abstrak dan lebih mendekati bidang kajian
filsafat, teori kepribadian, dan psikoterapi, dari pada bidang kajian psikologi belajar.
Teori humanistik sangat mementingkan isi yang dipelajari dari pada proses belajar itu
sendiri. Teori belajar ini lebih banyak berbicara tentang konsep-konsep pendidikan
untuk membentuk manusia yang dicita-citakan, serta tentang proses belajar dalam
bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain, teori ini lebih tertarik pada pengertian
belajar dalam bentuknya yang paling ideal dari pada pemahaman tentang proses belajar
sebagaimana apa adanya, seperti yang selama ini dikaji oleh teori-teori belajar lainnya.
Dalam pelaksanaannya, teori humanistik ini antara lain tampak juga dalam pendekatan
belajar yang dikemukakan oleh Ausubel.
Pandangannya tentang belajar bermakna atau “Meaningful Learning” yang
juga tergolong dalam aliran kognitif ini, mengatakan bahwa belajar merupakan asimilasi
bermakna. Materi yang dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan
yang telah dimiliki sebelumnya. Faktor motivasi dan pengalaman emosional sangat
penting dalam peristiwa belajar, sebab tanpa motivasi dan keinginan dari pihak si
belajar, maka tidak akan terjadi asimilasi pengetahuan baru ke dalam struktur kognitif
yang telah dimilikinya. Teori humanistik berpendapat bahwa teori belajar apapun dapat
dimanfaatkan, asal tujuannya untuk memanusiakan manusia yaitu mencapai aktualisasi
diri, pemahaman diri, serta realisasi diri orang yang belajar, secara optimal.
Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang
pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya. Tujuan utama para pendidik adalah
membantu peserta didik untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-
masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan
membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka. Dalam teori
belajar humanistik proses belajar harus berhulu dan bermuara pada manusia itu sendiri.
Meskipun teori ini sangat menekankan pentingnya isi dari proses belajar,
dalam kenyataan teori ini lebih banyak berbicara tentang pendidikan dan proses belajar
dalam bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain, teori ini lebih tertarik pada ide
belajar dalam bentuknya yang paling ideal dari pada belajar seperti apa adanya, seperti
apa yang bisa kita amati dalam dunia keseharian. Teori apapun dapat dimanfaatkan asal
tujuan untuk “memanusiakan manusia” (mencapai aktualisasi diri dan sebagainya) dapat
tercapai. Tujuan utama para pendidik adalah membantu si peserta didik untuk
mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri
mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-
potensi yang ada dalam diri mereka.
Jadi, teori belajar humanistik adalah suatu teori dalam pembelajaran yang
mengedepankan bagaimana memanusiakan manusia serta peserta didik mampu
mengembangkan potensi dirinya.
1. Arthur Combs (1912- 1999)
Combs berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan
berasumsi bahwa siswa mau belajar apabila materi pelajarannya disusun dan disajikan
sebagaimana mestinya. Combs memberikan lukisan persepsi diri dan dunia seseorang
seperti 2 lingkaran yang terdiri dari lingkaran besar dan kecil yang bertitik pusat
Pengalaman manusia bertitik tolak dari gambar titik yang menggambarkan bahwa
persepsi diri manusia itu berdasarkan gambaran yang ada dalam benaknya, kemudian
dari interaksi manusia dengan sesama dan lingkungannya maka persepsi itu
berkembang menjadi lebih besar lagi yang mencitrakan bahwa persepsi itu adalah
gambaran dunia nyata yang berada disekitarnya, sehingga oleh Comb digambarkan
sebagai lingkaran-lingkaran yang mengelilingi titik pusat. Pemikiran Combs
memberikan implikasi terhadap pengakuan potensi siswa, artinya siswa mempunyai
potensi sebelum mereka masuk ke dalam ruang kelas, sehingga siswa dalam proses
pembelajarannya harus diakui sebagai manusia yang punya potensi.

2. Carl Rogers
Lahir 8 Januari 1902 di Oak Park, Illinois, Chicago. Rogers membedakan 2
tipe belajar yaitu kognitif (kebermaknaan) dan experiential (pengalaman atau
signifikansi). pentingnya guru memperhatikan prinsip pendidikan & pembelajaran,
yaitu:
a. Menjadi manusia berarti memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar. Siswa
tidak harus belajar tentang hal- hal yang tidak ada artinya.
b. Siswa akan mempelajari hal- hal yang bermakna bagi dirinya. Pengorganisasian
bahan pelajaran berarti mengorganisasikan bahan & ide baru sebagai bagian
yang bermakna bagi siswa.
c. Pengorganisasian bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide
baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa.belajar yang bermakna dalam
masyarakat modern berarti belajar tentang proses.
Dalam buku Freedom To Learn, menunjukkan prinsip- prinsip humanistic sebagai
berikut:
a. Manusia itu mempunyai kemampuan belajar secara alami.
b. Belajar yang signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan murid
mempunyai relevansi dengan maksud – maksud sendiri.
c. Belajar yang menyangkut perubahan didalam persepsi mengenai dirinya sendiri
dianggap mengancam dan cenderung untuk ditolaknya.
d. Tugas-tugas belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah dirasakan dan
diasimilasikan apabila ancaman- ancaman dari luar semakin kecil.
e. Apabila ancaman terhadap diri siswa rendah,pengalaman dapat diperoleh dengan
berbagai cara yang berbeda-beda dan terjadilah proses belajar
f. Belajar yang bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya.
g. Belajar diperlancar bilamana siswa melibatkan dalam proses belajar dan ikut
tanggung jawab terhadap proses belajar itu.
h. Belajar atas inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi siswa seutuhnya baik
perasaan maupun intelek,merupakan cara yang memberikan hasil yang mendalam
dan lestari.
i. Kepercayaan terhadap diri sendiri, kemerdekaan, kreativitas, lebih mudah dicapai
terutama jika siswa dibiasakan untuk mawas diri dan mengkritik dirinya sendiri
dan penilaian dari orang lain merupakan cara ke dua yang penting.
j. Belajar yang paling berguna secara sosial didalam dunia modern adalah belajar
mengenai proses belajar, suatu keterbukaan yang terus menerus terhadap
pengalaman dan penyatuaanya terhadap diri sendiri mengenai proses perubahan
itu
k. Belajar dibawah oleh guru yang fasilitatif yang mempunyai ciri-ciri antara lain
Merespon perasaan siswa.

3. Howard Gardner
Kecerdasan tidak hanya dilihat dari segi linguistik dan logika, ada
bermacam-macam kecerdasan lain dan cara-cara mengajar yang berbeda, sehingga
potensi anak dapat dikembangkan secara maksimal. Teori multiple Intelligence yang
dapat menjawab semua itu. Teori tersebut ditemukan dan dikembangkan oleh Howard
Gardner, seorang profesor pendidikan di Harvard University, Amerika Serikat (Gardner,
1983). Teori dasarnya adalah ia tidak memandang bahwa kecerdasan manusia
berdasarkan skor standar semata, melainkan dengan ukuran kemampuan yang diuraikan
sebagai kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang terjadi dalam kehidupan
manusia, kemampuan untuk menghasilkan persoalan- persoalan baru untuk
diselesaikan, dan kemampuan untuk menciptakan sesuatu atau memberikan
penghargaan dalam budaya seseorang.
Teori Multiple Intelligences dikembangkan oleh Gardner berdasarkan
pandangannya bahwa teori kecerdasan sebelumnya hanya dilihat dari segi linguistik dan
logika (Gardner, 1993). Padahal ada banyak orang yang mempunyai kecerdasan selain
kedua kecerdasan tersebut. Multiple Intelligences adalah sebuah penilaian yang melihat
secara deskriptif bagaimana individu menggunakan kecerdasannya untuk memecahkan
masalah dan menghasilkan sesuatu. Pendekatan ini merupakan alat melihat bagaimana
pikiran manusia mengoperasikan dunia, baik itu benda-benda yang kongktit maupun
yang abstrak

Adapun kelemahan dan kelebihannya sebagai berikut;


 Kelebihan :
1. Tumbuhnya kreatifitas peserta didik Dengan belajar aktif dan mengenali diri maka
kreatifitas ang sesuai dengan karakternya akan muncul dengan sendirinya. Dengan
begitu akan muncul keragaman karya.
2. Semakin canggihnya teknologi Canggihnya teknologi ternyata mampu membangun
motivasi dalam diri peserta didik untuk belajar dan semakin maju perkembangan
belajarnya.
3. Tugas guru berkurang Dengan peserta didik yang melibatkan dirinya dalam proses
belajar itu juga akan mengurangi tugas guru karena guru hanyalah failisator peserta
didik.
4. Mendekatkan satu dengan yang lainnya Bimbingan guru kepada peserta didik akan
mempererat hubungan antar keduanya. Seringnya berkomunikasi akan menciptakan
suasana yang nyaman karena peserta didik tidak merasa takut atau tertekan.
Begitupun antar peserta didik.

 Kekurangan :
1. Pemahaman yang kurang jelas dapat menghambat pembelajaran Guru biasanya
tidak memberikan informasi yang lengkap sehingga peserta didik yang kurang
referensi akan kesulitan untuk belajar.
2. Kebebasan yang diberikan akan cenderung disalahgunakan. Misal saja guru
menugaskan peserta didik untuk berdiskusi sesuai kelompok, pasti ada beberapa
peserta didik yang mengandalkan teman atau tidak mau bekerja sama.
3. Pemusatan pikiran akan berkurang Dalam hal ini guru tidak sepenuhnya mengawasi
karena sistem belajar yang seperti ini adalah siswa yang berperan aktif menggali
potensi, sehingga peserta didik akan memanfaatkan keadaan yang ada.
4. Kecurangan-kecurangan yang semakin menjadi tradisi Dalam pembuatan tugas
peserta didik yang malas akan berinisiatif mengcopy pekerjaan temannya. Ini akan
mengurangi kepercayaan guru maupun temannya

BAB III
KESIMPULAN

1. Teori belajar behavoritisme Belajar pada hakikatnya adalah pembentukan asosiasi


antara kesan yang ditangkap panca indra dengan kecemderungan untuk bertindak
atau hubungan antara stimulus dan respons (R-S).
2. Teori belajar kognitif Belajar adalah pengorganisasian aspek-aspek kognitif dan
perseptual untuk memperoleh pemahaman. Tujuan dan tingkahlaku sangat
dipengaruhi oleh proses berfikir internal yang terjadi selama proses belajar
3. Teori belajar konstruktivisme Belajar konstruktivisme adalah menghasilkan
individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan
setiap persoalan yang dihadapi
4. Teori belajar humanistik Teori belajar yang didasari pada pembelajaran manusia
bergantung kepada emosi dan perasaannya.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim.2012.”Kecerdasan ganda”.

http://digilib.uinsby.ac.id/teori belajar

Sudana Degeng. 1989. Ilmu Pengajaran Taksonomi Variabel. Jakarta : Direktorat


Jenderal Pendidikan Tinggi, Depdikbud

Anda mungkin juga menyukai