Anda di halaman 1dari 4

Program Pendidikan Guru Penggerak

Materi 2

DIALOG YANG MEMBERDAYAKAN


Perspektif Pembelajaran Orang Dewasa

PENYUSUN
Purnama Sari Pelupessy
Feri Taupik Ridwan
“Tanpa aksi dan refleksi, tidak ada dialog. Tanpa dialog tidak akan ada komunikasi, dan tanpa
komunikasi tidak akan mungkin ada pendidikan sejati.”
(Paulo Freire,1972).

Dialog merupakan alat dasar komunikasi. Dialog berarti percakapan tertentu di antara orang-orang, yang
dilandasi dengan niat baik, kepercayaan, dan rasa hormat terhadap seseorang. Dialog tidak hanya
berfungsi untuk membangun relasi dan pengalaman, tetapi juga untuk belajar dan memahami. Dialog
perlu memberi ruang belajar dan dukungan yang memungkinkan bagi orang lain untuk dapat mandiri
berpikir dan bertindak sehingga memungkinkan setiap orang menemukan berbagai cara untuk memahami
isu yang dihadapinya. Orang dewasa memiliki pengalaman yang dapat mereka ambil sebagai
pembelajaran. Tentunya, setiap orang memiliki pengalaman berbeda-beda sehingga pembelajaran pun
berbeda-beda dan inilah karakteristik manusia pada umumnya.

Selanjutnya, manusia mempunyai kemampuan memerintah dirinya sendiri dalam belajar. Namun, bagi
kebanyakan orang, belajar telah menjadi pengalaman pasif sehingga belajar hanya menjadi proses
"menerima" instruksi. Akhirnya, mereka mungkin tidak terbiasa mengambil tanggung jawab atas peran
mereka sendiri dan dalam kelompoknya. Inilah yang dimaksud Freire sebagai “pendidikan gaya bank”.
Belajar seperti ini tidak akan membuat orang lain dan bahkan diri kita menjadi berdaya. Tidak ada
perubahan yang akan terwujud dalam keadaan pasif, pun jika ada, proses perubahan akan berjalan sangat
lambat. Padahal, pengalaman dalam mengambil peran dan tanggung jawab untuk sebuah tujuan adalah
pengalaman yang bermakna. Untuk mewujudkan perubahan, manusia perlu mendapatkan pengalaman
yang bermakna sebagai proses dari hasil belajarnya.

Ini sangat menantang bagi seorang fasilitator karena dialog yang tidak memberdayakan biasanya
menutup suara orang lain yang memiliki hak untuk didengar. Alih-alih menyimpan pengetahuannya sendiri
untuk dicerna, dihafal, dan diulang lagi secara pasif, fasilitator harus memastikan anggota kelompok
terlibat dalam dialog, atau 'pertukaran pengetahuan dan pengalaman secara kreatif’ di dalam kelompok.
Melalui dialog seperti inilah fasilitator menavigasi masalah perbedaan dalam kelompok mereka dengan
lebih terampil, karena fasilitator bisa menangkap atau mengetahui sesuatu tentang sikap dan persepsi tiap
anggota kelompok. Dialog menjadi penghantar pemikiran dalam diri mereka muncul menjadi suara ke
permukaan.

Dalam dialog yang memberdayakan, tumbuh kesadaran diri untuk melakukan aksi dan refleksi. Dua hal ini
menjadi kemampuan manusia yang tidak terpisahkan dan saling menguatkan. Bisa jadi, tindakan dan
refleksi, atau tindakan berdasarkan refleksi, tercermin berdasarkan tindakan. Setiap orang dewasa
mempunyai hak yang sama untuk mendengarkan dan didengarkan. Dialog yang memberdayakan
memungkinkan keberlanjutan melalui tindakan yang mengarah pada refleksi lebih lanjut, untuk
memerdekakan kelompok dalam jalur dialektis.

1
Dialog yang Memberdayakan Bukan Dialog yang Memberdayakan

Diskusi yang melibatkan konten atau isu tertentu Obrolan ringan atau percakapan biasa yang
dan biasanya spesifik diadakan di kedai atau di jalan.

Masing-masing pihak menyimak dan saling Masing-masing pihak saling berusaha menarik
menunggu giliran untuk merespons perhatian untuk dirinya sendiri dengan
mengorbankan pihak lain.

Diperlukan sebagai sarana untuk menjembatani Diperlukan hanya untuk didengarkan dan
perbedaan atau menantang secara intelektual dan dipahami secara sepihak, menantang pihak lain
secara emosional, tetapi selalu menghormati dan agar pandangannya harus diterima.
terbuka untuk mendengarkan pandangan
berbeda.

Bentuk pembelajaran bersama, menggunakan Bentuk instruksi otoritatif, seperti pidato, ceramah
pendekatan non-hierarki dan semangat atau atau perintah antara atasan dan bawahan.
demokrasi, hubungan timbal balik dan solidaritas.

Berorientasi pada proses yang keseluruhan Berorientasi pada hasil, yang keseluruhan
tujuannya untuk menghasilkan keselarasan tujuannya adalah untuk menghasilkan ‘hasil’.
ataupun kesepakatan pemahaman yang jelas dan
akan terus berkembang.

Memungkinkan terjadinya partisipasi penuh dan Hanya sedikit yang berbicara aktif, yang lainnya
interaksi yang aktif dari setiap anggota kelompok. diam.

Bertanggung jawab atas apa yang dikatakan. Hanya menganggap perkataan seperti ‘angin lalu’.

Kunci untuk memahami dialog yang memberdayakan adalah memahami konsep kesadaran, sebagai
proses di mana manusia menjadi lebih sadar apa yang membuat sebagian orang takut untuk berbicara,
takut untuk menolak, memilih diam atau menurut, dan menjadi pengikut. Mereka mungkin telah
menginternalisasi 'nilai-nilai ketidakberdayaan’ hingga jatuh pada kepasrahan, hanya mendengarkan tapi
tidak mampu - atau tidak mau - untuk berpikir kritis tentang situasi mereka, dan mendiskusikan tindakan
apa yang dapat dilakukan untuk memperbaiki situasi tersebut. Akhirnya sebagian orang mungkin tidak
menyadari bahwa suara mereka berkontribusi terhadap perubahan sekecil apapun. Kita juga melihat
sebagian besar orang dengan cara belajar pasif telah dirugikan dalam hal ini. Dialog hanya menjadi
barisan kalimat perintah yang keluar melalui suara.

Dalam konteks fasilitasi, dialog yang memberdayakan membuat seorang fasilitator akan melihat dan
merasakan atmosfer dimana semua orang yang terlibat:
1. Saling memperhatikan satu sama lain

2
2. Menunjukkan minat bersama atas dasar kemanusiaan dan kepribadian masing-masing
3. Rasa saling percaya, rasa hormat dan keterbukaan
4. Bersama-sama maju ke pemahaman yang lebih komprehensif tentang diri mereka sendiri, orang
lain dan keadaan yang mereka alami.
5. Melalui partisipasi dan interaksi, setiap orang memiliki kontribusi penting untuk membuat diskusi
mengarah pada kesepakatan.

Oleh karena itu dalam fasilitasi, dialog yang memberdayakan adalah langkah penting untuk mengubah
cara-cara yang menindas. Ini adalah dasar tetapi berdampak signifikan bagi fasilitasi. Menciptakan ruang
dialog melalui diskusi, mendengarkan untuk memahami apa yang mereka harapkan dan pengetahuan apa
yang ingin mereka bagikan. Kita percaya bahwa pada hakikatnya setiap orang - dalam konteks fasilitasi
orang dewasa - adalah manusia pemelajar sepanjang hayat, untuk berkolaborasi memerdekakan dirinya
sendiri dan orang lain sehingga tercapai perubahan sosial yang lebih baik. Dialog yang memberdayakan
tentulah menjadikan manusia sebagai manusia yang menjadi subyek dalam pembelajaran.

Referensi

Aloni, N. (2011). Empowering dialogues in humanistic education. Educational Philosophy and Theory.
https://doi.org/10.1111/j.1469-5812.2011.00789.x

Blackburn, J. (2000). Understanding Paulo Freire: Reflections on the origins, concepts, and possible pitfalls
of his educational approach. Community Development Journal, 35(1), 3-15.
https://doi.org/10.1093/cdj/35.1.3

Freire, P. (1972). ​Pedagogy of the Oppressed​. Penguin.

Lakey, G. (2010). Facilitating group learning: Strategies for success with adult learners. Jossey-Bass.

Mayo, P. (2009). Paulo Freire and adult education. In A. A. Abdi & D. Kapoor (Eds.), Global Perspectives on
Education (pp. 93–105). Palgrave Macmillan.

Vella, J. (2002). Learning to listen, learning to teach: The power of dialogue in educating adults.
Jossey-Bass.

Anda mungkin juga menyukai