KELAS : XI IPA 2
TUGAS
PERAN TOKOH DAERAH DALAM USAHA MEMPERJUANGKAN
KEMERDEKAAN INDONESIA
1. Cut nyak Dien (Aceh)
Namun sayang, kisah tragis yang pernah dialaminya kembali terulang. Teuku Umar gugur dalam
pertempuran di Meulaboh pada 11 Februari 1899. Setelah suaminya Teuku Umar meninggal, Cut
Nyak Dien meneruskan perjuangannya sendirian. Namun, ia tak gusar. Tak kalah mental meski
ditinggal suami tercinta yang gugur di medan perang. Cut Nyak Dien terus melakukan gempuran
terhadap markas-markas Belanda bersama para pengikutnya. Cut Nyak Dien menjadi orang yang
paling dicari oleh Belanda untuk dibunuh karena perjuangannya mengancam keberadaan dan
kelangsungan pemerintah kolonial Belanda di bumi Serambi Mekkah. Namun, perjuangan Cut
Nyak Dien dikhianati oleh anak buahnya, Pang Lot, yang memberi tahu Belanda tempat
persembunyian Cut Nyak Dien. Cut Nyak Dien yang ketika itu telah tua dan buta karena matanya
mengalami kerabunan akut, tidak bisa menghindar lebih jauh dari serangan Belanda yang tiba-
tiba. Ia akhirnya ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Kemudian, diasingkan ke Sumedang, Jawa
Barat. Perjuangan Cut Nyak Dien mesti terhenti karena ia ditahan di Sumedang.
2. Sisinga Mangaraja XII (Tapanuli, sumatera utara)
Raja Sisingamangaraja XII berjuang menentang kekuasaan
Belanda di Tapanuli, Sumatera Utara. Dengan dukungan
rakyatnya, tahun 1877 ia menyatakan perang kepada Belanda.
Perang panjang pun berlangsung selama 3 dasawarsa bermula di
Bahal Batu, Humbang dan berikutnya meluas di selutuh Tanah
Batak bahkan Belanda mengerahkan pasukannya dari Singkil
Aceh.
Bermula tahun 1837, setelah Belanda berhasil menang dalam
Perang Paderi itu merupakan awal untuk melapangkan jalan
menguasai Minangkabau dan Tapanuli Selatan. Perlahan
Minangkabau jatuh juga, disusul Natal, Mandailing, Barumun,
Padang Bolak, Angkola, Sipirok, Pantai Barus, dan kawasan Sibolga. Akibatnya, Tanah Batak
terpecah menjadi dua, yaitu daerah yang telah direbut Belanda menjadi Gubernemen atau disebut
“Residentie Tapanuli dan Onderhoorigheden” yang dipimpin seorang Residen di Sibolga dan
secara administratif tunduk kepada Gubernur Belanda di Padang. Daerah yang belum ditaklukkan
Belanda masuk wilayah Tanah Batak atau ‘De Onafhankelijke Bataklandan’ atau Tanah Batak yang
merdeka yaitu meliputi wilayah: Silindung, Pahae, Habinsaran, Dairi, Humbang, Toba, dan
Samosir.
Belanda kemudian menguasai Balige untuk merebut kantong logistik pasukan Sisingamangaraja
XII di Toba, untuk selanjutnya mengadakan blokade ke Bakkara. Berikutnya pada 12 Agustus
1883, Bakkara, tempat istana dan markas Sisingamangaraja XII berhasil direbut sehingga ia
mundur ke Dairi bersama pengikut setian, keluarga, dan para panglima yang terdiri dari beberapa
suku Aceh.
Tahun 1883, Belanda mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menghancurkan pasukan
Sisingamangaraja XII di hampir seluruh Tanah Batak. Sisingamangaraja XII kemudian
membalasnya dengan menyerang Belanda di Balige dari Huta Pardede menggunakan armada laut
dari Danau Toba. Sekira 40 kapal perang (solu bolon) yang panjangnya 20 meter menyerang
sehingga perang pun pecah dengan sengit.
Pada 17 Juni 1907, di pinggir Sungai Aek Sibulbulon, Desa Si Onom Hudon (sekarang perbatasan
Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Dairi), Sisingamangaraja XII tertembak setelah
bertempur dalam jarak dekat dengan sebuah pasukan khusus pimpinan Kapten Christoffel.
Diceritakan bahwa Sisingamangaraja XII kebal peluru namun karena terpercik darah putrinya,
Lopian yang tertembak, maka Sisingamangaraja XII pun gugur bersama dua putranya yaitu Patuan
Nagari dan Patuan Anggi. Sebelumnya, hampir seluruh kerabat dan keluarga Raja
Sisingamangaraja XII ditangkap termasuk Boru Situmorang (ibu Sisingamangaraja XII), Boru
Sagala (isteri Sisingamangaraja XII), dan putra-putri Sisingamangaraja XII yang masih kecil, yaitu
Raja Buntal, dan Pangkilim. Berikutnya pengikutnya pun berpencar dan meneruskan perlawanan.
Sisingamangaraja XII kemudian dikebumikan oleh Belanda secara militer pada 22 Juni 1907 di
Silindung. Makamnya baru dipindahkan ke Soposurung, Balige, seperti sekarang ini sejak 17 Juni
1953.
3. Tuanku Imam Bonjol (Sumatera Barat)
Pada Februari 1821, kaum adat yang tengah digempur menjalin kerja sama dengan Hindia-
Belanda untuk membantunya melawan kaum Padri. Sebagai imbalannya, Hindia-Belanda
mendapatkan hak akses dan penguasaan atas wilayah Darek (pedalaman Minangkabau). Salah
satu tokoh yang menghadiri perjanjian dengan Hindia-Belanda kala itu adalah Sultan Tangkal
Alam Bagagar, anggota keluarga dinasti Kerajaan Pagaruyung. Kendati disokong oleh kekuatan
dan pasukan kolonial, dalam peperangan kaum Padri tetap sulit ditaklukkan. Oleh karena itu,
Hindia-Belanda, melalui Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch mengajak pemimpin kaum
Padri yang kala itu telah diamanahkan kepada Imam Bonjol untuk berdamai. Tanda dari
perjanjian damai tersebut adalah dengan menerbitkan maklumat Perjanjian Masang pada 1824.
Namun, pemerintah Hindia-Belanda memang tidak sungguh-sungguh memiliki iktikad baik dan
ingin berdamai dengan kaum Padri. Hindia-Belanda melanggar kesepakatan damai yang telah
mereka buat dengan kaum Padri dengan menyerang Nagari Pandai Sikek.
Pada 1833 kondisi peperangan pun berubah. Kaum adat akhirnya bergabung dan bahu membahu
dengan kaum Padri melawan pasukan kolonial. Bergabungnya kaum adat dan kaum Padri tentu
semakin menyulitkan pasukan Hindia-Belanda. Kendati sempat melakukan penyerangan bertubi-
tubi dan mengepung benteng kaum padri di Bonjol pada Maret hingga Agustus 1837, hal tersebut
tak mampu menundukkan perlawanan kaum Padri. Hindia-Belanda bahkan tiga kali mengganti
komandan perangnya untuk menaklukkan benteng kaum Padri tersebut. Sadar bahwa taktik dan
strategi perangnya kalah oleh kaum Padri, pemerintah Hindia-Belanda pun mengambil jalan
pintas. Pada 1837 mereka mengundang Imam Bonjol sebagai pemimpin kaum Padri ke Palupuh
untuk kembali merundingkan perdamaian. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini Hindia-Belanda
memanfaatkan momen perundingan untuk menjerat Imam Bonjol. Sesampainya di Palupuh, Imam
Bonjol ditangkap. Tak hanya ditangkap, pemimpin kaum Padri itu pun diasingkan ke Cianjur, Jawa
Barat. Perjalanan pengasingan Imam Bonjol tak berhenti di sana. Dia sempat dibuang ke Ambon.
Pengasingannya terhenti di Lotak, Minahasa, dekat Manado, Sulawesi Selatan. Di tempat
pengasingannya yang terakhir itu Imam Bonjol menghembuskan napas terakhirnya pada 8
November 1864.
Serangan besar selanjutnya kembali terjadi pada 16 Mei 1821. Kontak senjata pertama terjadi
pada 11 Juni 1821 hingga 20 Juni 1821. Akhirnya, pada 14 Juli 1821 Belanda berhasil menguasai
Palembang. Sultan Mahmud Badaruddin II dan keluarganya ditangkap dan diasingkan ke Ternate.
Ia menghabiskan sisa hidupnya di sana. Badaruddin II wafat pada 26 September 1852. Untuk
menghargai setiap jasanya, namanya pun diabadikan menjadi nama bandara internasional di
Palembang.
Semangat Sultan Ageng Tirtayasa untuk menentang VOC kurang disetujui oleh putranya, Sultan
Haji. Perselisihan di dalam istana ini dimanfaatkan VOC dengan melancarkan politik adu domba.
Siasat VOC pun berhasil, hingga Sultan Haji mau bekerjasama dengan Belanda demi meruntuhkan
kekuasaan ayahnya. Pada 1683, Sultan Ageng Tirtayasa ditangkap dan dipenjara di Batavia
sehingga harus menyerahkan kekuasaannya kepada putranya. Sultan Ageng Tirtayasa meninggal
dunia dalam penjara pada 1692 dan kemudian dimakamkan di Komplek Pemakaman raja Banten.
Sultan Agung menyadari bahwa adanya Belanda di Batavia dapat membahayakan kesatuan negara
yang meliputi Pulau Jawa. Untuk melawan VOC, Mataram giat melatih satuan-satuan angkatan
perangnya. Berikut taktik Sultan Agung untuk merebut Batavia:
1. Menjepit Batavia dari darat dan dari laut, serangan dilancarkan dalam waktu yang tepat
dan bersamaan.
2. Angkatan laut Mataram menyamar sebagai pedagang bahan makanan dan membawa beras,
ternak, dan bahan lainnya untuk dijual ke VOC.
3. Serangan mendadak oleh angkatan laut Mataram terhadap benteng pertahanan di tepi laut.
Sedangkan serangan dalam kota dilakukan oleh angkatan darat disebelah selatan.
4. Dengan siasat tersebut, Belanda tidak bisa bergerak bila VOC lari ke arah timur dan akan
terbenam ke dalam rawa-rawa. Jika lari ke arah barat akan jatuh ke pangeran Jayakarta
dan Banten.
Dalam segi perdagangan, Sultan Agung juga melakukan siasat untuk melarang penjualan beras ke
Batavia mulai 1626. Sehingga perdagngan beras VOC akan macet dan todak tergantung lagi pada
beras dari Mataram. Sultan Agung melakukan penyerangan dua kali kepada VOC, yaitu tahun 1628
dan 1629. Selama masa penyerangannya, Sultan Agung dan pasukannya berhassil merebut
Benteng Hollandia dari VOC. Namun, karena perbekalan yang semakin menipis dan adanya
bahaya kelaparan, pasukan Sultan Agung tidak berhasil mempertahankan benteng tersebut.
Meski tidak membawa keberhasilan untuk merebut Batavia secara keseluruhan, tekad dan semangat untuk
mengusir VOC menjadi buktu Sultan Agung. Bahkan sampai akhir hayatnya, Sultan Agung tetap tidak mau
berdamai dengan VOC meskipun diberikan tawaran yang cukup menjanjikan. Sultan Agung wafat di Mataram
(persisnya di Bantul) pada 1645 dan dimakamkan di astana Kasultanan Agung.
Memilih jalur perang, Ketut Jelantik dengan penuh keberanian mengahadapi pemerintah Belanda.
Pada 1843, saat Belanda berhasil meminta persetujuan beberapa raja dari kerajaan Bali untuk
menghapuskan hak hukum Tawan dan mengakui kekuasaan Belanda, Kerajaan Buleleng tetap
memegang pendiriannya. Mereka menolak menghapus perjanjian seperti yang diinginkan Ketut
Jelantik. Dari penolakan ini, akhirnya perang pun pecah antara Buleleng dan Belanda, pada 1846.
Perang ini menghasilkan kekalahan dari pihak Buleleng. Istana Buleleng berhasil dikuasai oleh
Belanda yang membuat Raja Buleleng dan patihnya melarikan diri ke daerah Jagaraga. Merasa
kurang puas hanya menguasai Istana Buleleng, Belanda mengejar Ketut Jelantik dan raja ke
daerah Jagaraga. Di sana, Ketut Jelantik bersembunyi di benteng-benteng pertahanan yang ia buat
bersama prajuritnya. Namun, pada Juni 1848, perang pun meletus. Belanda pun berhasil dipukul
mundur pada Perang Jagaraga. Pada 1849, Belanda kembali menyerang wilayah Jagaraga. Melalui
pengalaman strategi yang pernah dipelajari, pada 16 April 1849, Buleleng jatuh ke tangan
Belanda. Pada 1849, Ketut Jelantik berhasil lolos dari serangan Belanda di Buleleng. Ia pun
melarikan diri ke Karangasem untuk menyelamatkan diri. Namun, ia akhirnya tewas dalam
penyergapan yang dilakukan pasukan Lombok, sekutu Belanda.
Perang Banjar pecah saat Pangeran Antasari dengan 300 prajuritnya menyerang tambang batu
bara milik Belanda di Pengaron tanggal 25 April 1859. Selanjutnya peperangan demi peperangan
dikomandoi Pangeran Antasari di seluruh wilayah Kerajaan Banjar. Dengan dibantu para
panglima dan pengikutnya yang setia, Pangeran Antasari menyerang pos-pos Belanda di
Martapura, Hulu Sungai, Riam Kanan, Tanah Laut, Tabalong, sepanjang sungai Barito sampai ke
Puruk Cahu. Pertempuran yang berkecamuk makin sengit antara pasukan Pangeran Antasari
dengan pasukan Belanda, berlangsung terus di berbagai medan. Pasukan Belanda yang ditopang
oleh bala bantuan dari Batavia dan persenjataan modern, akhirnya berhasil mendesak terus
pasukan Pangeran Antasari. Dan akhirnya Pangeran Antasari memindahkan pusat benteng
pertahanannya di Muara Teweh.
Berkali-kali Belanda membujuk Pangeran Antasari untuk menyerah, namun dia tetap pada
pendiriannya. Ini tergambar pada suratnya yang ditujukan untuk Letnan Kolonel Gustave
Verspijck di Banjarmasin tertanggal 20 Juli 1861. Dalam peperangan, Belanda pernah
menawarkan hadiah kepada siapa pun yang mampu menangkap dan membunuh Pangeran
Antasari dengan imbalan 10.000 gulden. Namun sampai perang selesai tidak seorangpun mau
menerima tawaran ini. Orang-orang yang tidak mendapat pengampunan dari pemerintah Kolonial
Hindia Belanda.
Setelah berjuang di tengah-tengah rakyat, Pangeran Antasari kemudian wafat di tengah-tengah
pasukannya tanpa pernah menyerah, tertangkap, apalagi tertipu oleh bujuk rayu Belanda pada
tanggal 11 Oktober 1862 di Tanah Kampung Bayan Begok, Sampirang, dalam usia lebih kurang 53
tahun. Menjelang wafatnya, dia terkena sakit paru-paru dan cacar yang dideritanya setelah
terjadinya pertempuran di bawah kaki Bukit Bagantung, Tundakan. Perjuangannya dilanjutkan
oleh puteranya yang bernama Muhammad Seman.
Setelah terkubur selama lebih kurang 91 tahun di daerah hulu sungai Barito, atas keinginan
Banjar dan persetujuan keluarga, pada tanggal 11 November 1958 dilakukan pengangkatan
kerangka Pangeran Antasari. Yang masih utuh adalah tulang tengkorak, tempurung lutut dan
beberapa helai rambut. Kemudian kerangka ini dimakamkan kembali Taman Makam Perang
Banjar, Kelurahan Surgi Mufti, Banjarmasin.