Anda di halaman 1dari 11

NAMA : NURUL ILMI

KELAS : XI IPA 2
TUGAS
PERAN TOKOH DAERAH DALAM USAHA MEMPERJUANGKAN
KEMERDEKAAN INDONESIA
1. Cut nyak Dien (Aceh)

Beliau lahir di Lampadang, Aceh, pada 1850. Ayah dan suaminya


merupakan pejuang kemerdekaan. Ketika Belanda menduduki
tanah kelahirannya, beliau mengungsi dan berpisah dengan ayah
dan suaminya. Perpisahan ini menjadi akhir pertemuan beliau
dengan suami tercintanya. Teuku Ibrahim Lamnga, suaminya,
gugur dalam pertempuran dengan Belanda di Gletarum, Juni
1878.

Cut Nyak Dien tidak menerima penghinaan yang dilakukan


pemerintah kolonial Belanda yang pada awalnya menyerang Aceh
dan membinasakan tempat ibadah. Kemarahannya terhadap Belanda semakin menjadi saat suami
pertamanya, Teuku Cek Ibrahim Lamnga, gugur dalam perang. Selang 2 tahun setelah kematian
suaminya, beliau menikah lagi dengan salah seorang pejuang hebat bernama Teuku Umar. Cut
Nyak Dien dilamar pejuang Aceh bernama Teuku Umar. Bersama suami keduanya ini, Cut Nyak
Dien semakin bersemangat untuk mengusir penjajah Belanda. Guna mempertahankan wilayah
dan kemerdekaan, Cut Nyak Dien tak gentar maju berperang melawan Belanda yang memiliki
persenjataan canggih.

Namun sayang, kisah tragis yang pernah dialaminya kembali terulang. Teuku Umar gugur dalam
pertempuran di Meulaboh pada 11 Februari 1899. Setelah suaminya Teuku Umar meninggal, Cut
Nyak Dien meneruskan perjuangannya sendirian. Namun, ia tak gusar. Tak kalah mental meski
ditinggal suami tercinta yang gugur di medan perang. Cut Nyak Dien terus melakukan gempuran
terhadap markas-markas Belanda bersama para pengikutnya. Cut Nyak Dien menjadi orang yang
paling dicari oleh Belanda untuk dibunuh karena perjuangannya mengancam keberadaan dan
kelangsungan pemerintah kolonial Belanda di bumi Serambi Mekkah. Namun, perjuangan Cut
Nyak Dien dikhianati oleh anak buahnya, Pang Lot, yang memberi tahu Belanda tempat
persembunyian Cut Nyak Dien. Cut Nyak Dien yang ketika itu telah tua dan buta karena matanya
mengalami kerabunan akut, tidak bisa menghindar lebih jauh dari serangan Belanda yang tiba-
tiba. Ia akhirnya ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Kemudian, diasingkan ke Sumedang, Jawa
Barat. Perjuangan Cut Nyak Dien mesti terhenti karena ia ditahan di Sumedang.
2. Sisinga Mangaraja XII (Tapanuli, sumatera utara)
Raja Sisingamangaraja XII berjuang menentang kekuasaan
Belanda di Tapanuli, Sumatera Utara. Dengan dukungan
rakyatnya, tahun 1877 ia menyatakan perang kepada Belanda.
Perang panjang pun berlangsung selama 3 dasawarsa bermula di
Bahal Batu, Humbang dan berikutnya meluas di selutuh Tanah
Batak bahkan Belanda mengerahkan pasukannya dari Singkil
Aceh.
Bermula tahun 1837, setelah Belanda berhasil menang dalam
Perang Paderi itu merupakan awal untuk melapangkan jalan
menguasai Minangkabau dan Tapanuli Selatan. Perlahan
Minangkabau jatuh juga, disusul Natal, Mandailing, Barumun,
Padang Bolak, Angkola, Sipirok, Pantai Barus, dan kawasan Sibolga. Akibatnya, Tanah Batak
terpecah menjadi dua, yaitu daerah yang telah direbut Belanda menjadi Gubernemen atau disebut
“Residentie Tapanuli dan Onderhoorigheden” yang dipimpin seorang Residen di Sibolga dan
secara administratif tunduk kepada Gubernur Belanda di Padang. Daerah yang belum ditaklukkan
Belanda masuk wilayah Tanah Batak atau ‘De Onafhankelijke Bataklandan’ atau Tanah Batak yang
merdeka yaitu meliputi wilayah: Silindung, Pahae, Habinsaran, Dairi, Humbang, Toba, dan
Samosir.
Belanda kemudian menguasai Balige untuk merebut kantong logistik pasukan Sisingamangaraja
XII di Toba, untuk selanjutnya mengadakan blokade ke Bakkara. Berikutnya pada 12 Agustus
1883, Bakkara, tempat istana dan markas Sisingamangaraja XII berhasil direbut sehingga ia
mundur ke Dairi bersama pengikut setian, keluarga, dan para panglima yang terdiri dari beberapa
suku Aceh.
Tahun 1883, Belanda mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menghancurkan pasukan
Sisingamangaraja XII di hampir seluruh Tanah Batak. Sisingamangaraja XII kemudian
membalasnya dengan menyerang Belanda di Balige dari Huta Pardede menggunakan armada laut
dari Danau Toba. Sekira 40 kapal perang (solu bolon) yang panjangnya 20 meter menyerang
sehingga perang pun pecah dengan sengit.
Pada 17 Juni 1907, di pinggir Sungai Aek Sibulbulon, Desa Si Onom Hudon (sekarang perbatasan
Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Dairi), Sisingamangaraja XII tertembak setelah
bertempur dalam jarak dekat dengan sebuah pasukan khusus pimpinan Kapten Christoffel.
Diceritakan bahwa Sisingamangaraja XII kebal peluru namun karena terpercik darah putrinya,
Lopian yang tertembak, maka Sisingamangaraja XII pun gugur bersama dua putranya yaitu Patuan
Nagari dan Patuan Anggi. Sebelumnya, hampir seluruh kerabat dan keluarga Raja
Sisingamangaraja XII ditangkap termasuk Boru Situmorang (ibu Sisingamangaraja XII), Boru
Sagala (isteri Sisingamangaraja XII), dan putra-putri Sisingamangaraja XII yang masih kecil, yaitu
Raja Buntal, dan Pangkilim. Berikutnya pengikutnya pun berpencar dan meneruskan perlawanan.
Sisingamangaraja XII kemudian dikebumikan oleh Belanda secara militer pada 22 Juni 1907 di
Silindung. Makamnya baru dipindahkan ke Soposurung, Balige, seperti sekarang ini sejak 17 Juni
1953.
3. Tuanku Imam Bonjol (Sumatera Barat)

Imam Bonjol lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatra Barat, pada 1772.


Ia merupakan anak dari pasangan Bayanuddin dan Hamatun.
Ayahnya adalah seorang alim ulama dari Sungai Rimbang, Suliki.
Sejak 1800 hingga 1802, Imam Bonjol menimba dan mendalami
ilmu-ilmu agama Islam di Aceh. Sebelum berperang melawan
pasukan Hindia-Belanda, Imam Bonjol terlebih berseteru dengan
kaum adat. Ketika itu, kaum Padri yang di dalamnya juga termasuk
Imam Bonjol hendak membersihkan dan memurnikan ajaran Islam
yang cukup banyak diselewengkan. Dalam proses perundingan dengan kaum adat, tidak
didapatkan sebuah kesepakatan yang dirasa adil untuk kedua belah pihak. Seiring dengan
macetnya perundingan, kondisi pun kian bergejolak. Hingga akhirnya, kaum Padri di bawah
pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada 1815. Pertempuran pun pecah di Koto
Tangah, dekat Batu Sangkar.

Pada Februari 1821, kaum adat yang tengah digempur menjalin kerja sama dengan Hindia-
Belanda untuk membantunya melawan kaum Padri. Sebagai imbalannya, Hindia-Belanda
mendapatkan hak akses dan penguasaan atas wilayah Darek (pedalaman Minangkabau). Salah
satu tokoh yang menghadiri perjanjian dengan Hindia-Belanda kala itu adalah Sultan Tangkal
Alam Bagagar, anggota keluarga dinasti Kerajaan Pagaruyung. Kendati disokong oleh kekuatan
dan pasukan kolonial, dalam peperangan kaum Padri tetap sulit ditaklukkan. Oleh karena itu,
Hindia-Belanda, melalui Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch mengajak pemimpin kaum
Padri yang kala itu telah diamanahkan kepada Imam Bonjol untuk berdamai. Tanda dari
perjanjian damai tersebut adalah dengan menerbitkan maklumat Perjanjian Masang pada 1824.
Namun, pemerintah Hindia-Belanda memang tidak sungguh-sungguh memiliki iktikad baik dan
ingin berdamai dengan kaum Padri. Hindia-Belanda melanggar kesepakatan damai yang telah
mereka buat dengan kaum Padri dengan menyerang Nagari Pandai Sikek.

Pada 1833 kondisi peperangan pun berubah. Kaum adat akhirnya bergabung dan bahu membahu
dengan kaum Padri melawan pasukan kolonial. Bergabungnya kaum adat dan kaum Padri tentu
semakin menyulitkan pasukan Hindia-Belanda. Kendati sempat melakukan penyerangan bertubi-
tubi dan mengepung benteng kaum padri di Bonjol pada Maret hingga Agustus 1837, hal tersebut
tak mampu menundukkan perlawanan kaum Padri. Hindia-Belanda bahkan tiga kali mengganti
komandan perangnya untuk menaklukkan benteng kaum Padri tersebut. Sadar bahwa taktik dan
strategi perangnya kalah oleh kaum Padri, pemerintah Hindia-Belanda pun mengambil jalan
pintas. Pada 1837 mereka mengundang Imam Bonjol sebagai pemimpin kaum Padri ke Palupuh
untuk kembali merundingkan perdamaian.  Berbeda dengan sebelumnya, kali ini Hindia-Belanda
memanfaatkan momen perundingan untuk menjerat Imam Bonjol. Sesampainya di Palupuh, Imam
Bonjol ditangkap. Tak hanya ditangkap, pemimpin kaum Padri itu pun diasingkan ke Cianjur, Jawa
Barat. Perjalanan pengasingan Imam Bonjol tak berhenti di sana. Dia sempat dibuang ke Ambon.
Pengasingannya terhenti di Lotak, Minahasa, dekat Manado, Sulawesi Selatan. Di tempat
pengasingannya yang terakhir itu Imam Bonjol menghembuskan napas terakhirnya pada 8
November 1864.

4. Sultan Mahmud Badaruddin (Palembang)


Sultan Mahmud Badaruddin lahir di Palembang tahun 1767.  Nama
aslinya sebelum menjadi Sultan adalah Raden Hasan Pangeran Ratu.
Ia adalah putra dari pemimpin kesultanan Palembang pada 1776
sampai 1803, Sultan Muhammad Bahauddin.  Setelah ayahnya wafat,
ia pun ditunjuk untuk melanjutkan kepemimpinan di Kesultanan
Palembang. Sejak saat itu, namanya pun diubah menjadi Sultan
Muhammad Badaruddin II.  Pada masa pemerintahannya ini,
Badaruddin telah beberapa kali memimpin pertempuran melawan
Inggris dan Belanda.  Salah satunya adalah Perang Menteng.
Perang Menteng adalah perang yang dimaksudkan untuk mengusir
orang-orang Belanda di bawah kepemimpinan Herman Warner
Muntinghe.  Pengusiran ini dikepalai oleh Sultan Mahmud Badaruddin II.  Perang bermula sejak
timah ditemukan di bangka pada pertengahan abad ke-18.  Palembang dan wilayah sekitarnya
menjadi incaran Inggris dan Belanda.  Untuk menjalin hubungan dagang, maka bangsa Eropa pun
berniat untuk menguasai Palembang. Awal mula penjajahan ini ditandai dengan penempatan loji
atau kantor dagang di Palembang.  Loji pertama Belanda berada di Sungai Aur.  Bersamaan
dengan terjadinya perjanjian antara Inggris dan Palembang, Belanda juga melakukan hal yang
sama.  Raffles, pemimpin Inggris, berusaha untuk membujuk Badaruddin untuk mengusir Belanda
dari Palembang.  Raffles mengirim permintaan itu melalui sebuah surat pada 3 Mei 1811. Setelah
menerima surat itu, Badarudddin membalasnya. Badaruddin mengatakan bahwa Palembang tidak
ingin lagi terlibat dalam konflik antara Belanda dan Inggris. Badaruddin juga menulis bahwa ia
tidak berniat untuk bekerja sama dengan Belanda.  Namun, pada akhirnya Palembang pun bekerja
sama dengan Inggris, di mana posisi Palembang lebih diuntungkan.
Melalui konvensi London, 13 Agustus 1814, Raffles harus menyerahkan Palembang kepada
Belanda. Belanda kemudian mengangkat Herman Warner Muntinghe sebagai komisaris di
Palembang. Bertepatan dengan habisnya waktu ultimatum Belanda, Badaruddin II melancarkan
perlawanan terhadap Belanda. Pertempuran ini kemudian dikenal dengan Perang Menteng, pada
12 Juni 1819. Pertempuran ini telah banyak memakan korban jiwa, di mana paling banyak ada
pada pihak Belanda. Kendati demikian, Belanda tidak menyerah. Mereka masih terus berusaha
melawan Palembang. Namun, Palembang memiliki pertahanan yang kuat, sehingga sulit ditembus
oleh Belanda. Sampai akhirnya Mutinghe memutuskan untuk kembali ke Batavia dengan
membawa kekalahan. Meski Mutinghe kembali ke Batavia, Badaruddin II telah mengira akan ada
serangan balik, sehingga ia menyiapkan benteng yang lebih tangguh lagi. Pertempuran kedua
terjadi pada 21 Oktober 1819 oleh Belanda. Baru satu hari menyerang, pada 30 Oktober 1819,
Belanda kembali ke Batavia.

Serangan besar selanjutnya kembali terjadi pada 16 Mei 1821.  Kontak senjata pertama terjadi
pada 11 Juni 1821 hingga 20 Juni 1821.  Akhirnya, pada 14 Juli 1821 Belanda berhasil menguasai
Palembang. Sultan Mahmud Badaruddin II dan keluarganya ditangkap dan diasingkan ke Ternate.
Ia menghabiskan sisa hidupnya di sana. Badaruddin II wafat pada 26 September 1852.   Untuk
menghargai setiap jasanya, namanya pun diabadikan menjadi nama bandara internasional di
Palembang. 

5. Randen Inten II (Lampung)


Radin Inten II lahir di Kuripan, Lampung, 1 Januari 1834.  Radin
Inten adalah putra tunggal dari Radin Imba II (1828-1834).  Radin
Inten II adalah pahlawan nasional Indonesia yang berasal dari
Lampung.  Saat Inten berusia 16 tahun, ia telah disumpah untuk
menjadi ratu di Lampung pada 1850.  Setelah menjabat sebagai
ratu, Inten pun dibujuk Belanda dirinya akan diampuni dan
disekolahkan, namun Inten menolaknya. Saat Inten lahir, ayahnya,
Radin Imba II, tengah ditangkap oleh Belanda dan dibuang ke
Timor.  Penangkapan ini dilakukan karena Imba memimpin
perlawanan bersenjata guna menentang kehadiran Belanda dalam
menjajah Lampung. Setelah sang ayah wafat, di usia 16 tahun,
Radin Inten II ditunjuk untuk memimpin Lampung, menggantikan
posisi sang ayah.
Setelah dilantik sebagai Ratu Lampung pada 1850, Inten langsung dihadapkan dengan serangan
dari pihak Belanda beserta ratusan pasukannya.  Dalam melakukan perlawanan, Radin Inten II
mendapat bantuan dari beberapa daerah lain, seperti Banten.  Salah satu tokoh Banten adalah H.
Wakhia. Radin Inten II mengangkat Wakhia untuk menjadi penasihatnya.  Wakhia menggerakkan
perlawanan di daerah Semangka dan Sekampung sembari menyerang pos-pos militer Belanda. 
Sementara Radin Inten II berusaha memperkuat benteng-benteng yang sudah ada dan
membangun benteng-benteng baru.  Dari setiap serangan yang didapat, Radin Inten II selalu
berhasil mengalahkan Belanda.  Sampai akhirnya, Belanda dan Inten membuat sebuah perjanjian
untuk tidak saling menyerang.  Namun, perjanjian ini ternyata hanyalah sebuah taktik yang
dilakukan Belanda untuk melancarkan serangan besar-besaran terhadap Kota Lampung. Pada
1856, Belanda pun berangkat dari Batavia menggunakan 9 kapal perang, 3 kapal pengangkut alat
perang, dan puluhan kapal lain.  Serangan besar dari Belanda ini dipimpin oleh Kolonel Welson.
Pasukan Radin Inten II berusaha melawan Belanda secara gerilya.  Tetapi, Belanda tidak
kehabisan akal. Belanda telah membayar dan memperalat salah satu pasukan Radin Inten II untuk
mengatur posisi di mana Belanda bisa menyergap dan mengalahkan Radin Inten II. 
Rencana yang dilakukan oleh pihak Belanda rupanya berhasil.  Radin Inten II berusaha sekuat
tenaga untuk melawan Belanda, namun akhirnya ia harus gugur di tangan Belanda. Kekalahan ini
disebabkan oleh kurangnya senjata dan kalah jumlah.  Radin Inten II wafat pada 5 Oktober 1856
di usia 22 tahun.

6. Sultan Ageng Tirtayasa ( Banten)


Sultan Ageng Tirtayasa adalah sultan Banten ke-6 yang berhasil
membawa Kerajaan Banten menuju puncak kejayaannya. Sultan
Ageng Tirtayasa atau Pangeran Surya berkuasa antara tahun 1651-
1683. Selama berkuasa, perannya tidak sebatas memajukan
Kesultanan Banten. Raja dari Banten yang gigih menentang VOC
adalah Sultan Ageng Tirtayasa.
Sultan Ageng Tirtayasa adalah salah satu raja di nusantara yang
gigih menentang pendudukan VOC di Indonesia. Demi meneruskan
perjuangan kakeknya, pada 1652 Sultan Ageng Tirtayasa
mengirimkan tentaranya untuk menyerang VOC di Jakarta. Sejak
saat itu, pertempuran antara Banten dan Belanda terus terjadi.
Karena Banten terus menerus melancarkan gerilya, Belanda berusaha membalas dengan
memblokade pelabuhan-pelabuhan. Namun, hal itu tidak menyurutkan semangat Sultan Ageng
Tirtayasa untuk mengacaukan Belanda. Pada 1655, VOC mengirim utusan ke Banten guna
mendesak Sultan Ageng Tirtayasa untuk memperbarui perjanjian perdamaian 1645. Sultan Ageng
Tirtayasa dengan berani menolak pembaruan perjanjian dan bertekad menentang Belanda.
Pada 1656, perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa terhadap VOC dilakukan dengan cara melakukan
sabotase dan perusakan kebun tebu serta pabrik-pabrik penggilingannya. Tentara Banten juga
membakar kampung-kampung yang digunakan sebagai sarang pertahanan Belanda. Di samping
itu, Kerajaan Banten juga berhasil menguasai sejumlah kapal VOC dan beberapa pos penting.
Sekitar sebelum tahun 1671, terjadi konflik di dalam istana dan Sultan Ageng Tirtayasa memilih
untuk pindah kediaman di luar Banten. Hal ini dilakukan untuk mencegah kudeta yang sewaktu-
waktu bisa dilancarkan putra pertamanya, Sultan Haji. Pada 1680, Sultan Ageng Tirtayasa kembali
mengumumkan perang setelah terjadi penganiayaan terhadap para pedagang Banten oleh VOC.

Semangat Sultan Ageng Tirtayasa untuk menentang VOC kurang disetujui oleh putranya, Sultan
Haji. Perselisihan di dalam istana ini dimanfaatkan VOC dengan melancarkan politik adu domba.
Siasat VOC pun berhasil, hingga Sultan Haji mau bekerjasama dengan Belanda demi meruntuhkan
kekuasaan ayahnya. Pada 1683, Sultan Ageng Tirtayasa ditangkap dan dipenjara di Batavia
sehingga harus menyerahkan kekuasaannya kepada putranya. Sultan Ageng Tirtayasa meninggal
dunia dalam penjara pada 1692 dan kemudian dimakamkan di Komplek Pemakaman raja Banten.

7. Sultan Agung (Mataram Yogyakarta)


Sultan Agung lahir di Mataran (Yogayakarta tepatnya Kota Gede)
pada 14 November 1593. Sultan Agung merupakan penguasa yang
berusaha mengembangkan agama Islam di pulau Jawa. Latar
belakang pendidikan yang diterima beliau adalah pengetahuan
agama yang didapat dari beberapa wali. Wali yang sangat berperan
dan berpengaruh terhadap Sultan Agung adalah Sunan Kalijaga.
Sunan Kalijaga dijadikan guru dan dianggap sebagai penasehat atau
pembimbung Sultan Agung di bidang Agama. Dari Sunan Kalijaga,
beliau mendapatkan ajaran tentang agama.
Sultan Agung terkenal sebagai raja Mataram yang tangkas, cerdas,
dan taat agama. Sultan Agung juga dikenal sebagai raja kuat,
bijaksana, cakap, dan cerdik dalam menjalankan pemerintahan
hingga kehidupan perekonomian Mataram berkembang pesat dari hasil bumi yang melipah.
Wilayah kekuasaan Mataram juga terus meluas seiring pemerintahannya. Sehingga Sultan Agung
dikenal sebagai raja Mataram yang cakap melakukan ekspansi wilayah.

Sultan Agung menyadari bahwa adanya Belanda di Batavia dapat membahayakan kesatuan negara
yang meliputi Pulau Jawa. Untuk melawan VOC, Mataram giat melatih satuan-satuan angkatan
perangnya. Berikut taktik Sultan Agung untuk merebut Batavia:
1. Menjepit Batavia dari darat dan dari laut, serangan dilancarkan dalam waktu yang tepat
dan bersamaan.
2. Angkatan laut Mataram menyamar sebagai pedagang bahan makanan dan membawa beras,
ternak, dan bahan lainnya untuk dijual ke VOC.
3. Serangan mendadak oleh angkatan laut Mataram terhadap benteng pertahanan di tepi laut.
Sedangkan serangan dalam kota dilakukan oleh angkatan darat disebelah selatan.
4. Dengan siasat tersebut, Belanda tidak bisa bergerak bila VOC lari ke arah timur dan akan
terbenam ke dalam rawa-rawa. Jika lari ke arah barat akan jatuh ke pangeran Jayakarta
dan Banten.
Dalam segi perdagangan, Sultan Agung juga melakukan siasat untuk melarang penjualan beras ke
Batavia mulai 1626. Sehingga perdagngan beras VOC akan macet dan todak tergantung lagi pada
beras dari Mataram. Sultan Agung melakukan penyerangan dua kali kepada VOC, yaitu tahun 1628
dan 1629. Selama masa penyerangannya, Sultan Agung dan pasukannya berhassil merebut
Benteng Hollandia dari VOC. Namun, karena perbekalan yang semakin menipis dan adanya
bahaya kelaparan, pasukan Sultan Agung tidak berhasil mempertahankan benteng tersebut.
Meski tidak membawa keberhasilan untuk merebut Batavia secara keseluruhan, tekad dan semangat untuk
mengusir VOC menjadi buktu Sultan Agung. Bahkan sampai akhir hayatnya, Sultan Agung tetap tidak mau
berdamai dengan VOC meskipun diberikan tawaran yang cukup menjanjikan. Sultan Agung wafat di Mataram
(persisnya di Bantul) pada 1645 dan dimakamkan di astana Kasultanan Agung.

8. pangeran Diponegoro (Jawa)


Pangeran Diponegoro lahir di Yogyakarta pada 11 November 1785.
Dia lahir dari rahim Raden Ayu (RA) Mangkorowati yang
merupakan selir Sultan Hamengkubuwono III. Dia ialah pahlawan
nasional dari tanah Jawa yang gagah memimpin atau perang Jawa
melawan penjajahan Belanda pada 1825-1830 hingga dikenal
sebagai perang Diponegoro. Sadar bahwa dirinya terlahir dari
seorang selir, Diponegoro menolak permintaan Sultan
Hamengkubuwono III untuk diangkat menjadi raja. Sebab, di
lingkungan bangsawan, putra mahkota yang biasa dinobatkan
menjadi raja hanya anak dari permaisuri. Lagi pula, Diponegoro
memang lebih tertarik dengan kehidupan yang merakyat dan
keagamaan. Dia pun lebih suka tinggal di Tegalrejo daripada di keraton.
Diponegoro memperlihatkan pemberontakan terhadap keraton pada 1822. Saat itu,
kepemimpiman berada di tangan Hamengkubuwono V yang saat itu masih berusia tiga tahun.
Pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danurejo bersama Residen Belanda. Diponegoro
menilai bahwa cara tersebut salah. Dia menolak cara perwalian yang dijalankan di keraton.
Belanda kala itu memasang patok di tanah milik Diponegoro di desa Tegalrejo. Hal itu untuk
pembangunan jalan yang diusulkan oleh Patih Danurejo yang menjadi kaki tangan Belanda.
Diponegoro yang secara terbuka menentang Belanda pun melakukan penolakan pembangunan
jalan itu secara terang-terangan. Rakyat mendukung hal tersebut. Hal inilah yang menjadi awal
mula terjadinya perang Diponegoro.
Menyingkir dari desa Tegalrejo, Diponegoro pun pergi membuat barisan perlawanan terhadap
Belanda yang bermarkas di Gua Selarong. Langkah tersebut sesuai dengan nasihat dari pamannya
yaitu Pangeran Mangkubumi. Seperti dikutip dari buku Biografi Pahlawan Kusuma Bangsa karya
Ria Listina, semangat perlawanan terhadap penjajahan Belanda yang berkobar dalam diri
Diponegoro berpengaruh luas. Teriakan Diponegoro yang menamakan perlawanan ini sebagai
perang sabil sangat mengelegar.
Semangat itu sampai pula kepada salah satu tokoh agama Surakarta yang bernama Kyai Maja atau
Kyai Mojo dalam pelafalan Jawa, ikut bergabung ke pasukan Gua Selarong. Tentu, keikutsertaan
Kyai Maja memberikan pengaruh yang sangat besar. Sebab, sosok Kyai Maja memiliki banyak
pengikut dari bagai lapisan masyarakat. Bukan hanya Kyai Maja, perjuangan Diponegoro juga
didukung oleh Raden Tumenggung Prawiradigday atau Bupati Gagatan dan Sunan Pakubuwono
VI.
Berbagai cara Belanda lakukan untuk menangkap Pangeran Diponegoro dan pasukannya. Taktik
sayembara pun dilakukan oleh Belanda. Barang siapa yang bisa menangkap atau membunuh
Pangeran Diponegoro akan diberikan hadiah sangat besar yaitu 20.000 gulden.
Rakyat yang berada dipihak Diponegoro pun tidak goyah dengan tawaran tersebut. Tidak ada satu
pun yang mengungkap keberadaan Diponegoro kala itu. Dinilai tidak berhasil, pada 28 Maret
1830, Belanda mengambil cara licik yaitu, mengundang Diponegoro ke Magelang untuk
berunding.
Saat itu, Belanda menjamin apabila tidak ada kesepakatan, maka Diponegoro bisa kembali ke
tempatnya yang aman. Dengan pribadi jujur dan berhati bersih, Diponegoro setuju dengan
tawaran baik Belanda. Sayang, undangan itu ternyata hanya lah akal busuk Belanda untuk
menangkapnya.
Setelah Belanda berhasil menangkapnya, pada 20 April 1830, Diponegoro dibuang ke Manado.
Tidak sendirian, Diponegoro dibuang bersama dengan Raden Ayu Retnaningsih, Tumenggung
Diposoni dan istri, serta para pengikutnya. Diponegoro berlayar dengan kapal Pollux.
Setelah sampai, Diponegoro dan rombongannya langsung ditawan di Benteng Amstrerdam.
Selanjutnya, Diponegoro pun kembali dipindahkan oleh Belanda, kali ini ke Makassar. Selama 25
tahun Diponegoro hidup di Benteng Rotterdam, Makassar. Hingga, 8 Januari 1855, Pangeran
Diponegoro meninggal dan dimakamkan di kota pengasihan terakhirnya tersebut.

9. I Gusti Ketut jelantik (Buleleng, Bali)


I Gusti Ketut Jelantik lahir di Karangasem, Bali, pada 1800.  Pada
1846, 1848, dan 1849, ia menjadi pemimpin dalam perlawanan
terhadap invasi Belanda ke Bali.  Perlawanan ini terjadi karena
pemerintah kolonial Hindia Belanda ingin menghapuskan tawan
karang yang berlaku di Bali.  Tawan karang ini yaitu hak bagi raja-
raja yang berkuasa di Bali untuk mengambil kapal yang kandas di
perairannya beserta seluruh isinya. Saat itu, Belanda tengah
berusaha memanipulasi rempah-rempah di Bali dan melalui
pelayaran Hongi, kapal Belanda karam di Bali. Ketut Jelantik
memberikan tuntutan kepada Belanda, di mana ia tidak akan pernah
tunduk pada kekuasaan Belanda apapun alasannya. Bahkan, ia justru
memilih untuk berperang dibanding mengakui kedaulatan dan kekuasaan pemerintah Belanda.

Memilih jalur perang, Ketut Jelantik dengan penuh keberanian mengahadapi pemerintah Belanda.
Pada 1843, saat Belanda berhasil meminta persetujuan beberapa raja dari kerajaan Bali untuk
menghapuskan hak hukum Tawan dan mengakui kekuasaan Belanda, Kerajaan Buleleng tetap
memegang pendiriannya. Mereka menolak menghapus perjanjian seperti yang diinginkan Ketut
Jelantik.  Dari penolakan ini, akhirnya perang pun pecah antara Buleleng dan Belanda, pada 1846. 
Perang ini menghasilkan kekalahan dari pihak Buleleng. Istana Buleleng berhasil dikuasai oleh
Belanda yang membuat Raja Buleleng dan patihnya melarikan diri ke daerah Jagaraga. Merasa
kurang puas hanya menguasai Istana Buleleng, Belanda mengejar Ketut Jelantik dan raja ke
daerah Jagaraga. Di sana, Ketut Jelantik bersembunyi di benteng-benteng pertahanan yang ia buat
bersama prajuritnya. Namun, pada Juni 1848, perang pun meletus. Belanda pun berhasil dipukul
mundur pada Perang Jagaraga.  Pada 1849, Belanda kembali menyerang wilayah Jagaraga. Melalui
pengalaman strategi yang pernah dipelajari, pada 16 April 1849, Buleleng jatuh ke tangan
Belanda. Pada 1849, Ketut Jelantik berhasil lolos dari serangan Belanda di Buleleng.  Ia pun
melarikan diri ke Karangasem untuk menyelamatkan diri. Namun, ia akhirnya tewas dalam
penyergapan yang dilakukan pasukan Lombok, sekutu Belanda.

10. Pangeran Antasari (Kalimantan)


Pangeran Antasari memiliki nama asli Gusti Inu Kartapati yang lahir
di Kayu Tangi, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan pada 1797.
Hadijah. Pangeran Antasari memiliki adik perempuan bernama Ratu
Antasari (Ratu Sultan). Pada tahun 1862, Pangeran Antasari diangkat
sebagai pemimpin pemerintahan tertinggi, menggantikan ayahnya
yang ditangkap dan dibuang olegh Belanda. Belanda memecah belah
rakyat Banjar dengan cara mengadu domba.

Pangeran Antasari memiliki pengaruh yang sangat besar bagi


masyarakat Banjar. Ditengah perjuangannya melawan Belanda, justru
Belanda semakin gencar melakukan politik adu domba. Sehuingga
lingkungan kerajaan menjadi terpecah belah dan rakyat Banjar saling bermusuhan.

Perang Banjar pecah saat Pangeran Antasari dengan 300 prajuritnya menyerang tambang batu
bara milik Belanda di Pengaron tanggal 25 April 1859. Selanjutnya peperangan demi peperangan
dikomandoi Pangeran Antasari di seluruh wilayah Kerajaan Banjar. Dengan dibantu para
panglima dan pengikutnya yang setia, Pangeran Antasari menyerang pos-pos Belanda di
Martapura, Hulu Sungai, Riam Kanan, Tanah Laut, Tabalong, sepanjang sungai Barito sampai ke
Puruk Cahu. Pertempuran yang berkecamuk makin sengit antara pasukan Pangeran Antasari
dengan pasukan Belanda, berlangsung terus di berbagai medan. Pasukan Belanda yang ditopang
oleh bala bantuan dari Batavia dan persenjataan modern, akhirnya berhasil mendesak terus
pasukan Pangeran Antasari. Dan akhirnya Pangeran Antasari memindahkan pusat benteng
pertahanannya di Muara Teweh.
Berkali-kali Belanda membujuk Pangeran Antasari untuk menyerah, namun dia tetap pada
pendiriannya. Ini tergambar pada suratnya yang ditujukan untuk Letnan Kolonel Gustave
Verspijck di Banjarmasin tertanggal 20 Juli 1861. Dalam peperangan, Belanda pernah
menawarkan hadiah kepada siapa pun yang mampu menangkap dan membunuh Pangeran
Antasari dengan imbalan 10.000 gulden. Namun sampai perang selesai tidak seorangpun mau
menerima tawaran ini. Orang-orang yang tidak mendapat pengampunan dari pemerintah Kolonial
Hindia Belanda.
Setelah berjuang di tengah-tengah rakyat, Pangeran Antasari kemudian wafat di tengah-tengah
pasukannya tanpa pernah menyerah, tertangkap, apalagi tertipu oleh bujuk rayu Belanda pada
tanggal 11 Oktober 1862 di Tanah Kampung Bayan Begok, Sampirang, dalam usia lebih kurang 53
tahun. Menjelang wafatnya, dia terkena sakit paru-paru dan cacar yang dideritanya setelah
terjadinya pertempuran di bawah kaki Bukit Bagantung, Tundakan. Perjuangannya dilanjutkan
oleh puteranya yang bernama Muhammad Seman.
Setelah terkubur selama lebih kurang 91 tahun di daerah hulu sungai Barito, atas keinginan
Banjar dan persetujuan keluarga, pada tanggal 11 November 1958 dilakukan pengangkatan
kerangka Pangeran Antasari. Yang masih utuh adalah tulang tengkorak, tempurung lutut dan
beberapa helai rambut. Kemudian kerangka ini dimakamkan kembali Taman Makam Perang
Banjar, Kelurahan Surgi Mufti, Banjarmasin.

Anda mungkin juga menyukai