Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN KASUS

Oleh :

REZKY AMALIA BASIR


NIM: 70700120013

Pembimbing :
dr. Nurul Rumila Roem, Sp.KK, M.Kes

TUGAS KEPANITRAAN KLINIK


BAGIAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2022
I. Skenario Kasus/Identitas Pasien

- Skenario kasus

Seorang laki-laki berusia 70 tahun di konsultasi ke poli kulit dan kelamin dengan keluhan

muncul ruam merah dan terasa gatal di daerah badan bagian belakang sejak 1 bulan yang

lalu. Ruam merah pada badan bagian belakang baru disadari oleh istri pasien saat pasien

mengeluh sedikit gatal pada daerah tersebut, ruam merah awalnya sedikit dan kemudian

menyebar hampir keseluruh tubuh bagian belakang. Gatal dirasakan hilang timbul dan

tidak dipengaruhi oleh faktor apapun. Gatal disertai dengan rasa nyeri. Riwayat

penggunaan salep dari Malaysia. Riwayat alergi obat dan makanan disangkal. Riwayat

penyakit yang sama dalam keluarga di sangkal.

- Identitas Pasien

Nama : An. H

Umur : 70 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki


II. Anamnesis

- Keluhan utama : gatal di daerah badan bagian belakang

- Keluhan penyerta : terkadang gatal dan nyeri

- Riwayat penyakit :-

- Riwayat alergi :-

- Riwayat operasi :-

- Riwayat trauma :-

III. Riwayat perjalanan penyakit : ruam merah dan terasa gatal di daerah badan bagian

belakang sejak 1 bulan yang lalu. Ruam merah pada badan bagian belakang baru disadari

oleh istri pasien saat pasien mengeluh sedikit gatal pada daerah tersebut, ruam merah

awalnya sedikit dan kemudian menyebar hampir keseluruh tubuh bagian belakang. Gatal

dirasakan hilang timbul dan tidak dipengaruhi oleh faktor apapun. Gatal disertai dengan

rasa nyeri. Riwayat penggunaan salep dari Malaysia.

IV. Status Generalis

- Keadaan umum : Tampak Baik

- Kesadaran : Compos Mentis

- Berat badan :-

- Tinggi badan :-

- Status gizi :-

- Tekanan darah : Normal

- Nadi : Normal

- Pernapasan : Normal

- Suhu : Normal
- Mata : Normal

- Gigi dan mulut : Normal

- THT : Normal

V. Pemeriksaan Fisik Umum dan Khusus

Status dermatologis: Pada kasus diatas tampak adanya lesi eritema dengan macula
berbatas tegas. Effloresensi: terdapat macula eritematosa, berbatas tegas, terdiri atas
berbagai ukuran dan berskuama halus.

VI. Pemeriksaan Penunjang

- Belum dilakukan

VII. Resume

Telah diperiksa seorang laki-laki berusia 70 tahun konsultasi ke poli kulit dan kelamin

dengan keluhan muncul ruam merah dan terasa gatal di daerah badan bagian belakang

sejak 1 bulan yang lalu. Ruam merah pada badan bagian belakang baru disadari oleh istri

pasien saat pasien mengeluh sedikit gatal pada daerah tersebut, ruam merah awalnya

sedikit dan kemudian menyebar hampir keseluruh tubuh bagian belakang. Gatal

dirasakan hilang timbul dan tidak dipengaruhi oleh faktor apapun. Gatal disertai dengan
rasa nyeri. Riwayat penggunaan salep dari Malaysia. Riwayat alergi obat dan makanan

disangkal. Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga di sangkal.

Pada pemeriksaan fisik, status generalis dalam batas normal. Status

dermatologikus pasien:

Lokasi : regio punggung belakang

Distribusi : regional

Susunan :-

Ukuran : berbagai ukuran

Jumlah : multiple

Efloresensi : terdapat macula eritematosa, berbatas tegas, terdiri atas berbagai ukuran
dan berskuama halus.

VIII. Diagnosis

Ptiriasis Versikolor

A. Definisi

Ptriasis versicolor adalah infeksi kulit superfisial kronik, disebabkan oleh ragi

genus Malassezia, umumnya tidak memberiksan gejala subyektif, ditandai oleh area

depigmentasi atau diskorasi berskuama halus, tersebar disekret atau konfluen, dan

terutama terdapat pada bagian atas.

B. Epidemiologi

PV merupakan penyakit universal terutama ditemukan di daerah tropis. Tidak

terdapat perbedaan kerentanan berdasarkan usia, yakni banyak ditemukan pada

remaja dan dewasa muda, jarang pada anak dan orang tua. Di Indonesia kelainan ini

merupakan penyakit yang terbanyak ditemukan diantara berbagai penyakit kulit

akibat jamur.
C. Etiologipatogenesi

PV disebabkan oleh Malassezia spp. , ragi bersifat lipofilik yang merupakan flora

normal pada kulit. Jamur ini juga bersifat dimorfik, bentuk ragi dapat berubah

menjadi hifa. Dahulu ragi ini digolongkan sebagai genus Pityrosporum (terdiri atas

Pityrosporum ovale dan Pityrosporum orbi- cu/are), tetapi kemudian mengalami

reklasifikasi sebagai genus Malassezia.

Berdasarkan analisis genetik, diidentifikasi 6 spesies lipofilik pada kulit manusia

yakni M. furfur, M. sympodialis, M. globosa, M. restricta, M. slooffiae, M. obtusa;

dan satu spesies yang kurang lipofilik dan biasa terdapat pada kulit hewan, M.

pachydermatis. Selanjutnya dilaporkan spesies lain: M. dermatis, M. yaponica, M.

nana, M. caprae, M. equine. Sifat lipofilik menyebabkan ragi ini banyak

berkolonisasi pada area yang kaya sekresi kelenjar sebasea. Beberapa studi terpisah

menunjukkan bahwa M. g/obosa banyak berhubungan dengan PV, tetapi studi lain

menunjukkan bahwa M. sympodialis dan M. furfur yang predominan pada PV.

Malassezia spp. yang semula berbentuk ragi saprofit akan berubah menjadi bentuk

miselia yang menyebabkan kelainan kulit PV. Kondisi atau faktor predisposisi yang

diduga dapat menyebabkan perubahan tersebut berupa suhu, kelembaban lingkungan

yang tinggi, dan tegangan co2 tinggi permukaan kulit akibat oklusi, faktor genetik,

hiperhidrosis, kondisi imunosupresif, dan malnutrisi.

Beberapa mekanisme dianggap merupakan penyebab perubahan warna pada lesi

kulit, yakni Malassezia sp . memproduksi asam dikarboksilat (a .I. asam azeleat)

yang mengganggu pembentukan pigmen melanin, dan memproduksi metabolit


(pityriacitrin) yang mempunyai kemampuan absorbsi sinar ultraviolet sehingga

menyebabkan lesi hipopigmentasi. Mekanisme terjadinya lesi hiperpigmentasi belum

jelas , tetapi satu studi menunjukkan pada pemeriksaan mikroskop elektron didapati

ukuran melanosom yang lebih besar dari normal. Lapisan keratin yang lebih tebal

juga dijumpai pada lesi hiperpigmentasi.

D. Gambaran Klinis

Lesi PV terutama terdapat pada badan bagian atas, leher, dan perut, ektremitas sisi

proksimal. Kadang ditemukan pada wajah dan skalp; dapat juga ditemukan pada

aksila, lipat paha, genitalia. Lesi berupa makula berbatas tegas, dapat hipopigmentasi,

hiperpigmentasi dan kadang eritematosa, terdiri atas berbagai ukuran , dan berskuama

halus (pitiriasiformis). Umumnya tidak disertai gejala subyektif, hanya berupa keluhan

kosmetis , meskipun kadang ada pruritus ringan.

E. Diagnosis

A. Anamnesis

Pasien tinea versicolor umumnya datang dengan keluhan bercak pada kulit

yang disertai pruritus. Lesi umumnya muncul di dada dan punggung, namun juga

bisa melibatkan wajah, leher, dan lengan atas. Pada pasien dengan warna kulit

yang cerah, lesi depigmentasi dapat berwana putih hingga merah-kecoklatan. Pada
pasien berkulit gelap, area yang terkena bisa mengalami hipopigmentasi atau

hiperpigmentasi.

Pasien akan mengeluhkan lesi yang bertambah banyak seiring waktu. Lesi juga

akan dirasakan lebih gatal ketika pasien berkeringat atau berada di tempat yang

panas dan lembap.

B. Pemeriksaan Fisik

Pada pasien dengan tinea versicolor dapat dijumpai makula hipopigmentasi

atau hiperpigmentasi, disertai skuama halus.

Dengan melakukan Zireli’s propedeutic maneuver, suatu manuver dengan cara

meregangkan kulit yang terinfeksi dengan kedua ibu jari tangan membuat

pelepasan pada sisik korneum, membuat tinea versicolor lebih mudah

diidentifikasi. 

C. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan dengan lampu Wood dapat memperlihatkan fluoresensi

kekuningan akibat metabolit asam dikarboksilat, yang digunakan sebagai petunjuk

lesi PV dan mendeteksi sebaran lokasi lesi. Perlu diwaspadai hasil pemeriksaan

fluoresensi positif palsu yang antara lain dapat karena penggunaan salap yang

mengandung asam salisilat, tetrasiklin . Hasil negative palsu dapat terjadi pada

orang yang rajin mandi.

Pemeriksaan mikologis langsung sediaan kerokan kulit akan menunjukkan

kumpulan hifa pendek dan sel ragi bulat, kadang oval. Gambaran demikian

menyebabkan sebutan serupa 'spaghetti and meatballs' atau 'bananas and grapes'.

Sediaan diambil dengan kerokan ringan kulit menggunakan skalpel atau dengan
merekatkan selotip. Pemerik- saan dengan menggunakan larutan KOH 20%, dan

dapat ditambahkan sedikit tinta biru-hitam untuk memperjelas gambaran elemen

jamur.

F. Tatalaksana

Mengidentifikasi faktor predisposisi dan menyingkirkan yang dapat dihindari

merupakan hal yang penting dalam tatalaksana PV selain terapi. Terapi dapat

menggunakan terapi topikal atau sistemik, dengan beberapa pertimbangan, antara lain

luas lesi, biaya, kepatuhan pasien, kontra indikasi, dan efek samping.

Sebagai obat topikal dapat digunakan antara lain selenium sulfide bentuk sampo

1,8% atau bentuk losio 2,5% yang dioleskan tiap hari selama 1~-.30 menit dan

kemudian dibilas. Aplikasi yang dibiarkan sepanjang malam dengan frekuensi 2 kali

seminggu juga dapat digunakan, dengan perhatian akan kemungkinan reaksi iritasi.

Pengolesan dianjurkan di seluruh badan selain kepala dan genitalia. Ketokonazol 2%

bentuk sampo juga dapat digunakan serupa dengan sampo selenium sulfid . Alternatif

lain adalah solusio natrium hiposulfit 20%, solusio propilen glikol 50%. Untuk lesi

terbatas, berbagai krim derivat azol misalnya mikonazol , klotrimazol, isokonazol ,

ekonazol dapat digunakan ; demikian pula krim tolsiklat, tolnaftat, siklopiroksolamin,

dan haloprogin. Obat topikal sebaiknya diteruskan 2 minggu setelah hasil pemeriksaan

dengan lampu Wood dan pemeriksaan mikologis langsung kerokan kulit negatif.

Obat sistemik dipertimbangkan pada lesi luas, kambuhan, dan gagal dengan terapi

topikal, antara lain dengan ketokonazol 200 mg/hari selama 5-1 O hari atau

itrakonazol 200 mg/hari selama 5-7 hari.


Pengobatan rumatan (maintenance) dipertimbangkan untuk menghindari

kambuhan pada pasien yang sulit menghindari faktor predisposisi; antara lain dengan

sampo selenium sulfide secara periodis atau dengan obat sistemik ketokonazol 400 mg

sekali setiap bulan atau 200 mg sehari selama 3 hari tiap bulan.

IX. Differential Diagnosis

A. DERMATITIS SEBOROIK

Definisi :

Dermatitis seboroik adalah kelainan kulit papuloskuamosa . dengan predileksi di

daerah kaya kelenjar sebasea , skalp , wajah dan badan. Dermatitis ini dikaitkan

dengan malasesia , terjadi gangguan imunologis mengikuti kelembaban lingkungan,

perubahan cuaca , ataupun trauma , dengan penyebaran lesi dimulai dari derajat

ringan, misalnya ketombe sampai dengan bentuk eritroderma.

Epidemiologi :

Penyakit ini dapat terjadi disemua usia, namun paling sering terjadi pada bayi usia

3 bulan pertama dan pada dewasa diusia 30 – 60 tahun. Dermatitis seboroik lebih

sering terjadi pada laki-laki.

Etiopatogenesis :

Belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya dermatitis seboroik, namun

berdasarkan beberapa referensi hal ini erat kaitannya dengan jamur malassezia,

kelainan imunologis, aktifitas kelenjar sebase, dan kerentanan pasien. Pada kasus DS

permukaan kulit, kaya akan lipid trigliserida dan kolesterol namun rendah asam

lemak dan skualen. Malassezia sp yang merupakan flora normal kulit memiliki

enzim lipase yang aktif yang dapat mengubah trigliserida menjadi asam lemak bebas.
Asam lemak bebas bersama dengan reactive oxygen species (ROS) bersifat anti

bakteri yang nantinya akan mengubah flora normal kulut. Perubahan ini akan

menyebabkan terjadinya dermatitis seboroik.

Gejala klinis :

Kelainan kulit yang didapatkan berupa eritema dan skuama yang berminya dan
agak kekuningan, batas agak kurang tegas, lesi pada kepala biasanya akan lebih merata
dan simetris.

Penatalaksanaan :

Pengobatan tidak menyembuhkan secara permanen sehingga terapi dilakukan berulang

saat gejala timbul. Tatalaksana yang dilakukan antara lain:

1. Sampo yang mengandung obat anti Malassezia, misalnya: selenium sulfida, zinc

pirithione, ketokonazol, berbagai sampo yang mengandung ter dan solusio

terbinafine 1%.

2. Untuk menghilangkan skuama tebal dan mengurangi jumlah sebum pada kulit

dapat dilakukan dengan mencuci wajah berulang dengan sabun lunak.

Pertumbuhan jamur dapat dikurangi dengan krim imidazol dan turunannya, bahan

antimikotik di daerah lipatan bila ada gejala.

3. Skuama dapat diperlunak dengan krim yang mengandung asam salisilat atau

sulfur
4. Pengobatan simtomatik dengan kortikosteroid topikal potensi sedang ,

immunosupresan topikal (takrolimus dan pimekrolimus) terutama untuk daerah

wajah sebagai pengganti kortikosteroid topikal.

5. Metronidazol topikal, siklopiroksolamin, talkasitol, benzoil peroksida dan salep

litium suksinat 5% .

6. Pada kasus yang tidak membaik dengan terapi konvensional dapat digunakan

terapi sinar ultraviolet-B (UVB) atau pemberian itrakonazole 1OOmg/hari per oral

selama 21 hari.

7. Bila tidak membaik dengan semua modalitas terapi, pada dermatitis seboroik yang

luas dapat diberikan prednisolon 30 mg/hari untuk respons cepat.

B. ERITRASMA

Definisi

Eritrasma adalah infeksi kulit superfisial, ditandai oleh makula eritematosa hingga

kecoklatan, berbatas tegas, di daerah lipatan {intertriginosa), atau berbentuk fisura

dengan maserasi putih di sela-sela jari.

Etiologi dan Faktor Risiko

Agen penyebab eritrasma, yaitu Corynebacterium minutissimum, merupkan

bakteri batang pendek Gram positif, dengan granula subterminal. lnfeksi akibat bakteri

ini lebih sering ditemukan di daerah iklim tropis.

Infeksi ini umunya ditemukan di daerah lipatan yang tertutup (seperti inguinal,

aksila, lipatan intergluteal, infra-mammae, umbilicus, dan sela-sela jari). Faktor

prediskposisi adalah iklim lembab dan hangat, hingine yang buruk, hyperhidrosis,

obesitas, diabetes melitus, usia lanjut, dan keadaan imunosupresi.


Gejala Klinis

Pada pemeriksaan fisis, dapat ditemukan lesi berupa makula eritematosa hingga

coklat, berbatas tegas, dengan skuama halus di atasnya. Tempat predileksi adalah

daerah intertriginosa, terutama di aksila dan genito-krural, sela jari kaki ke-4 dan ke-5,

dan yang lebih jarang ditemukan, di sela jari kaki ke-2 dan ke-3. Lesi biasanya bersifat

asimtomatik, kecuali di daerah selangkangan, yang bisa terasa gatal dan menyengat.

Ko-eksistensi eritrasma dengan kelainan kulit akibat dermatofita dan kandida sering

ditemukan terutama pada lesi interdigital.

Tatalaksana

Untuk eritrasma yang terlokalisir, khususnya pada sela-sela jari kaki, sabun dan

gel benzoil peroksida 5% merupakan terapi yang efektif pada Sebagian besar kasus.

Klindamisin atau eritromisin (solusio 2%) atau krim azol, merupakan beberapa pilihan

agen topical yang efektif.


Untuk eritrasma yang luas, eritromisin oral merupakan terapi yang efektif.

Eritromisin 4x250mg diberikan selama 1 minggu. Klaritromisin 1gr dosis tunggal juga

dapat digunakan.

C. PTRIASIS ALBA

Definisi

Bentuk dermatitis yang tidak spesifik dan belum diketahui penyebabnya. Ditandai

dengan adanya bercak kemerahan dan skuama halus yang akan menghilang serta

meninggalkan area yang depigmentasi.

Etiologi

Menurut pendapat para ahli diduga adanya infeksi streptokokus , tetapi belum

dapat dibuktikan. Atas dasar riwayat penyakit dan distribusi lesi, diduga impetigo

dapat merupakan faktor pen- cetus. Pitiriasis alba juga merupakan manifestasi

dermatitis non spesifik, yang belum diketahui penyebabnya. Sabun dan sinar matahari

bukan merupakan faktor yang berpengaruh.

Gambaran Klinis

Pitiriasis alba sering dijumpai pada anak berumur 3-16 tahun (30-40%).

Perempuan dan laki-laki sama banyak. Lesi berbentuk bulat, oval atau plakat yang tak

teratur. Wama merah muda atau sesuai dengan wama kulit disertai skuama halus.

Setelah eritema menghilang, lesi yang dijumpai hanya depigmentasi dengan skuama

halus. Pada stadium ini penderita datang berobat terutama pada orang dengan kulit

berwama. Bercak biasanya multipel 4 sampai 20 dengan luas hingga separuh wajah

(50-60%), paling sering di sekitar mulut, dagu, pipi serta dahi. Lesi dapat dijumpai

pada ekstremitas dan badan. Dapat simetris pada bokong, tungkai atas , punggung ,
dan ekstensor lengan, tanpa keluhan. Lesi umumnya menetap, terlihat sebagai

leukoderma setelah skuama menghilang.

Tatalaksana

Umumnya mengecewakan. Skuama dapat dikurangi dengan krim emolien . Dapat

dicoba dengan preparat ter misalnya likuor karbonis detergens 3-5% dalam krim atau

salap, setelah dioleskan harus banyak terkena sinar matahari.


DAFTAR PUSTAKA

1. Menaldi Sri Linuwih SW, dkk. 2017. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi ke 4. Jakarta ;

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

2. Widaty Sandra, Aninda Marina. 2016. Pilihan Pengobatan Jangka Panjang Pada

Dermatitis Seboroik. MDVI : 43 (4).

3. Hajar Sitti. 2015. Manifestasi Klinis Dermatitis Seboroik Pada Anak. Jurnal Kedokteran

Syiah Kuala : 15 (3).

4. Johan Reyshiani, R. Amir Hamzah. 2016. Gejala Klinis dan Terapi Psoriasis Pustulosa

Generalisata Tipe Von Zumbuch. CDK-237 : 43 (2).

5. Menaldi dkk. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas

Kedokteran Indonesia. 2016.

6. Faiz dkk. Effectiveness and Safety of Dupilumab for The Treatment of Atopic Dermatitis in

a Real-Life French Multicenter Adult Cohort. J Am Acad Dermatol. Vol. 81. No. 1. 2019.

7. Rusu dkk. Prebiotics and Probiotics in Atopic Dermatitis (Review). Experimental and

Therapeutic Medicine. 2019.

Anda mungkin juga menyukai