Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN KASUS

Oleh :

Lubnaa Sulistiyani K
NIM: 70700120014

Pembimbing :
dr. Nurul Rumila Roem, Sp.KK, M.Kes

TUGAS KEPANITRAAN KLINIK


BAGIAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2022
I. Skenario Kasus/Identitas Pasien

- Skenario kasus

Seorang perempuan berusia 16 tahun di rawat di RSUD Haji dan di konsultasi ke poli

kulit dan kelamin dengan keluhan gatal di daerah dahi, pipi, dan alis. Gatal dirasakan

terus menerus sejak 2 hari yang lalu. Gatal disertai dengan rasa panas dan kulit tertarik.

Belum pernah diobati sama pasien. Riwayat alergi obat dan makanan disangkal. Riwayat

penyakit yang sama dalam keluarga di sangkal.

- Identitas Pasien

Nama : An. S

Umur : 16 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan


II. Anamnesis

- Keluhan utama : gatal di daerah dahi, pipi, dan alis serta telinga

- Keluhan penyerta : rasa panas dan kulit tertarik

- Riwayat penyakit :-

- Riwayat alergi :-

- Riwayat operasi :-

- Riwayat trauma :-

- Riwayat perjalanan penyakit : gatal di daerah dahi, pipi, dan alis serta telinga dirasakan

terus menerus. Belum pernah diobati sama pasien. Gatal dirasakan terus menerus sejak 2

hari yang lalu. Gatal disertai dengan rasa panas dan kulit tertarik. Belum pernah diobati

sama pasien. Pasien mengaku sering berketombe di kepala dan sering mengkonsumsi

makanan pedas berminyak.

III. Status Generalis

- Keadaan umum : Tampak Baik

- Kesadaran : Compos Mentis

- Berat badan :-

- Tinggi badan :-

- Status gizi : Normal IMT

- Tekanan darah : Normal

- Nadi : Normal

- Pernapasan : Normal

- Suhu : Normal

- Mata : Normal
- Gigi dan mulut : Normal

- THT : Normal

IV. Pemeriksaan Fisik Umum dan Khusus

Status dermatologis: Pada kasus diatas tampak adanya lesi eritema dengan skuama,
batas tidak tegas. Effloresensi: terdapat macula eritem, skuama, berbatas tidak tegas,
penyebaran seboroik.

V. Pemeriksaan Penunjang

- Belum dilakukan

VI. Resume

Telah diperiksa seorang perempuan berusia 16 tahun di rawat di RSUD Haji dan di

konsultasi ke poli kulit dan kelamin dengan keluhan gatal di daerah dahi, pipi, dan alis.

Gatal dirasakan terus menerus sejak 2 hari yang lalu. Gatal disertai dengan rasa panas dan
kulit tertarik. Belum pernah diobati sama pasien. Riwayat alergi obat dan makanan

disangkal. Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga di sangkal.

Pada pemeriksaan fisik, status generalis dalam batas normal. Status

dermatologikus pasien:

Lokasi : regio fasialis

Distribusi : regional

Susunan :-

Ukuran :-

Jumlah : multiel

Efloresensi : terdapat macula eritem, skuama, berbatas tidak tegas, penyebaran

seboroik.

VII. Diagnosis

Dermatitis Seboroik

A. Definisi

Dermatitis seboroik merupakan penyakit eritroskuamoosa kronis yang biasanya

terjadi pada usia anak dan dewasa. Biasanya ditemukan pada daerah dengan banyak

folikel sebasea dan kelenjar sebasea aktif. (wajah, kepala, telinga, lipatan tubuh

seperti infra mammae, dn aksilla).

B. Epidemiologi

Penyakit ini dapat terjadi disemua usia, namun paling sering terjadi pada bayi usia

3 bulan pertama dan pada dewasa diusia 30 – 60 tahun. Dermatitis seboroik lebih

sering terjadi pada laki-laki.


C. Etiologipatogenesis

Belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya dermatitis seboroik, namun

berdasarkan beberapa referensi hal ini erat kaitannya dengan jamur malassezia,

kelainan imunologis, aktifitas kelenjar sebase, dan kerentanan pasien. Pada kasus DS

permukaan kulit, kaya akan lipid trigliserida dan kolesterol namun rendah asam

lemak dan skualen. Malassezia sp yang merupakan flora normal kulit memiliki

enzim lipase yang aktif yang dapat mengubah trigliserida menjadi asam lemak bebas.

Asam lemak bebas bersama dengan reactive oxygen species (ROS) bersifat anti

bakteri yang nantinya akan mengubah flora normal kulut. Perubahan ini akan

menyebabkan terjadinya dermatitis seboroik.

D. Gambaran Klinis

Kelainan kulit yang didapatkan berupa eritema dan skuama yang berminya dan
agak kekuningan, batas agak kurang tegas, lesi pada kepala biasanya akan lebih merata
dan simetris.

E. Diagnosis

A. Anamnesis

Pada fase akut terdapat gejala seperti eritema, edema dan erosi. Pada fase

kronik terdapat gejala seperti eritema, likenifikasi, hyperkeratosis. Terdapat rasa

gatal, ekskoriasi, eritema, skuama dan terdapat kutu pada saat menyisir rambut.
Pada anamnesis ditanyakan riwayat ketombe dan gatal pada daerah kulit kepala

pasien. Gatal pada daerah kulit kepala atau daerah yang kaya sebum merupakan

salah satu ciri khas dari dermatitis seboroik. Pasien datang dengan cairan

berwarna kuning di kulit kepala disertai dengan ketombe.

B. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik dijumpai pustul, dengan skuama dan krusta

berminyak, pada daerah kulit kepala pasien yang disertai gatal. Daerah predileksi

untuk dermatitis seboroik adalah daerah wajah, kulit kepala, rambut bagian depan,

alis, glabella, telinga (daerah kanal eksternal, auricularis anterior dan

retroauricular), area sternum dan daerah genital.

C. Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, bila diperukan dapat

dilakukan pemeriksaan penunjang untuk diagnosis banding. Pemeriksaan KOH

10% dilakukan untuk diagnosis banding tinea kapitis, dan pemerikasaan patch test

untuk menyingkirkan diagnosis banding dermatitis kontak alergi. Pada

pemeriksaan histopatologi dijumpai parakeratosis fokal dengan beberapa netrofil,

terdapat akantosis, spongiosis ( udem intraseluler). Gambaran yang sangat khas

adalah terdapat netrofil pada ujung folikel yang terbuka dimana terdapat

skuama/krusta.

VIII. Differential Diagnosis


A. PSORIASIS

Definisi :

Psoriasis adalah penyakit kulit bersifat kronik dimana terdapat bercak eritema berbatas

tegas dengan skuama pada permukaannya.


Epidemiologi :

Psoriasis menyebar diseluruh dunia tetapi prevalensi usia psoriasis bervariasi disetiap

wilayah. Prevalensi anak anak berkisar 2,1 % di Italia. Sedangkan pada orang dewasa

di Amerika Serikat 0,98% sampai dengan 8% ditemukan di Norwegia. Saat ini di

Indonesia kunjungan pasien dengan penyakit psoriasis mengalami peningkatan.

Etiopatogenesis :

Psoriasis merupakan penyakit autoimun yang dimana terjadi kekacauab sistem

antibodi dari tubuh seseorang yang melibatkan sel T yang tidak normal sehingga

memicu peradangan pada kulit. Pada kondisi psoriasis faktor genetik menjadi salah

satu resiko terjadinya psoriasis sehingga apabila kedua orang tua merupakan penderita

psoriasis maka kemungkinan 50% keturunannya akan menderita penyakit psoriasis.

Gejala klinis :

Pada psoriasis mula mula akan timbul makula eritematosus yang berbatas tegas dan

pada permukaannya terdapat skuama putih, kering, kasar, dan berlapis lapis. Jika

skuama ini dikupas maka akan timbul bintik bintik perdarahan pada dasar kulit. Selain

itu, pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan beberapa tes yaitu fenomena tetesan lilin

dan auspitz. Pada fenomena auspitz nampak bintik binik perdarahan ataupun serum

diatas lesi eritematosa akibat proses papilomatosis sedangkan pada fenomena tetesan

lilin skuama berubah menjadi lebih putih pads goresan seperti lilin yang digores.
Penatalaksanaan :

1) Topikal : kortikosteroid, vitamin D3, tar (2-5% dalam bentuk salep), antralin (0,2-

0,8% dalam bentuk pasta).

2) Fisioterapi : terapi dengan sinar ultraviolet tipe B (UV-B) dengan panjang gelombang

290-320 nm.

3) Sistemik : terapi ini biasanya diberikan jika kedua terapi sebelumnya gagal.

Contohnya adalah kortikosteroid 30 mg/hr pada kasus psoriasis yang parah,

methotrekxate 7,5 mg/12 jam. Siklosporin 2,5-3 mg/kgBB/hr dengan pemberian 2 kali

sehari. Asitretin 0,3-0,5 mmg/kgBB/hr.

B. DERMATITIS ATOPIK

Dermatitis atopi ialah peradangan kulit berupa dermatitis yang kronis residif,

disertai rasa gatal, dan mengenai bagian tubuh tertentu, terutama di wajah pada bayi

(fase infantile) dan bagian fleksural ekstremitas (fase anak). Dermatitis atopi

merupakan penyakit yang kerap terjadi sekitar 50% pada bayi dan anak menghilang

saat remaja namun kadang muncul saat dewasa. Selain itu dermatitis atopic merupakan

penyakit radang kronik yang mempengaruhi 2-5% orang dewasa yang memiliki

dampak besar bagi kualitas hidup. Data prevalensi dari penyakit ini terbilang sulit

ditemukan, karena masih belum tercatat dengan baik. Penelitian terkait perjalanan
penyakit dermatitis atopi dari berbagai Negara industry memperlihatkan data yang

bervariasi. Negara berkembang terdapat 10-20% anak yang menderita dermatitis

atopic dan 60% diantaranya menetap hingga dewasa. Adapun penentuan dalam

mendiagnosa dermatitis atopic dapat menggunakan criteria diagnostic UK maupun

criteria Hanifin-Rajka.

Timbulnya reaksi inflamasi dan rasa gatal merupakan hasil interaksi dari berbagai

faktor internal dan eksternal. Pada faktor internal yakni adanya faktor predisposisi

genetik yang dapat melibatkan banyak gen sehingga menghasilkan disfungsi swar kulit

serta perubahan pada sistem imun, khususnya hipersensitivitas terhadap berbagai

allergen dan antigen mikroba. Kemudian adanya faktor psikologis dapat menjadi

dampak atau penyebab dari dermatitis atopic serta faktor hygiene juga diduga menjadi

salah satu faktor risiko dermatitis atopic dalam keluarga. Selain itu terdapat faktor lain

yakni komposisi mikrobioma usus dan kulit, diet ibu selama kehamilan, cara

persalinan, pengobatan antibiotic selama kehamilan dan awal masa bayi, gaya hidup

dan adanya paparan allergen yang terus menerus yang dapat meningkatkan risiko

penyakit dermatitis atopic.

Seseorang yang mengalami penyakit ini tentunya akan merasakan gatal yang

berlebih, sehingga garukan akan terus terjadi, bila berlangsung terus menerus akan

memicu kerusakan barier kulit, memudahkan masuknya allergen dan iritan penyebab

dermatitis atopic. Dermatitis atopic juga dimanifestasikan sebagai papula pruritik

intens dengan evolusi likenifikasi.


Untuk menetapkan diagnosis, dapat dilakukan pemeriksaan kadar Ig E dalam

serum, uji kulit bila ada dugaan pasien alergik terhadap debu atau makanan tertentu.

Adapun pengobatan yang dapat diberikan yakni yang paling utama menghindarkan

dari faktor pencetus atau allergen, diet. Untuk terapi topical dapat diberikan pelembab

humektan (gliserin, propilen glikol), urea 10%, emolien (ianolin 10%, petrolatum),

kortikosteroid (golongan VII-VI), obat penghambat kalsineurin (pimekrolimus atau

takrolimus).7 Terapi sistemik, antihistamin, obat imunosupresi (kortikosteroid,

siklosporin, obat imunosupresi obat pilihan terakhir).

C. TINEA KAPITIS

Definisi

Tinea kapitis adalah kelainan pada kulit dan rambut kepala yang disebabkan oleh

spesies dermatofita. Dimana kelainan ini ditandai dengan lesi bersisik, kemerah-

merahan, alopesia, dan kadang-kadang terjadi gambaran klinis yang lebih berat yakni

kerion.

Etiologi

Beberapa spesies dermatofit umumnya dapat menjadi penyebab dari tinea kapitis,

kecuali E. floccosum, T. concentricum, dan T. mentagrophytes, T. interdigitale yang

merupakan jamur antropofilik yang tidak menyebabkan tinea kapitis, namun tiap
daerah ataupun suatu wilayah dapat berbeda-beda penyebabnya sehingga tidak

menutup kemungkinan jamur tersebut dapat menjadi penyebab.

Patogenesis

Adapun pathogenesis dari tinea kapitis yaitu dermatofit ektotrik (diluar rambut)

menginfeksi di stratum korneum perifolikulitis kemudian menyebar disekitar batang

rambut dan dibawah kutikula dari pertengahan sampai akhir anagen sebelum turun ke

folikel untuk menembus kortek rambut. Hifa intrapilari kemudian turun ke batas

daerah keratin (rambut tumbuh dalam keseimbangan dengan proses keratinisasi) tidak

pernah memasuki daerah berinti Ujung-ujung hifa-hifa pada daerah batas ini disebut

Adamson’s fringe, dan dari sini hifa-hifa berpolifrasi dan membagi menjadi

artrokonidia yang mencapai kortek rambut dan dibawa keatas pada permukaan rambut.

Rambut-rambut akan patah tepat diatas fringe tersebut, dimana rambutnya sekarang

menjadi sangat rapuh sekali. Sedangkan untuk infeksi endotrik (dalam rambut) sama

kecuali pada kutikula tidak terkena dan artrokonidia hanya tinggal dalam batang

rambut menggantikan keratin intrapilari dan meninggalkan kortek yang intak,

sehingga mengakibatkan rambut menjadi rapuh dan patah pada permukaan kepala,

penyanggah dan dinding folikuler hilang dan meninggalkan titik hitam (black dot).

Gambaran Klinis

- Non inflammatory, human, atau epidemic type (grey patch), yaitu inflamasi

minimal, rambut pada daerah mudah terkena yang dapat berubah menjadi abu-abu

dan tidak mengkilat, rambut mudah patah di atas permukaan scalp, lesi tampak

berskuama, hyperkeratosis, dan berbatas tegas karena rambut yang patah. Pada

lampu wood tampak warna hijau.


- Inflammatory type, kerion, yang disebabkan pathogen zoofilik atau geofilik.
Spectrum klinis mulai dari folikulitis pustular hingga furunkel atau kerion, dapat
terjadi alopesia sikatrisial. Lesi yang timbul dirasakan gatal disertai nyeri dan
terdapat limpadenopati servikalis posterior. Pada lampu wood dapat positif pada
spesies tertentu.

- Black dot, disebabkan oleh organisme endotriks antropofilik, rambut mudah patah
pada permukaan scalp, meninggalkan kumpulantitik hitam pada daerah alopesia,
kadang terdapat sisa rambut normal di antara alopesia. Dapat pula ditemukan
skuama difus.

- Favus, bentuk yang berat dan kronis berupa plak eritematosa perifolikular dengan
skuama. Awalnya berbentuk papul kuning kemerahan yang kemudian membentuk
krusta tebal berwarna kekuningan (skutula). Skutula ini dapat membentuk plak
besar dengan mousy odor. Plak dapat meluas dan meninggalkan area sentral yang
atrofi dan alopesia.

IX. Terapi Farmakologi dan Nonfarmakologi

A. Tatalaksana Farmakologi

Tujuan dari terapi dermatitis seboroik yaitu menghilangkan skuama dan

krusta menghindari infeksi sekunder. Terapi yang biasa di gunakan adalah topikal

yaitu :

1) antijamur yaitu ketokonazole 2 – 4 kali perhari (2-4 minggu), selenium


sulfida 2 kali dalam 1 minggu.
2) Kortikosteroid : klobetasole 50 gr/minggu selama 2 minggu. Betamethazone
2-4 kali/hari
3) Keratolitik : asam salisilat selama 12 minggu, sampho + preparat tar tunggu
selama 5 menit lalu dibilas, urea 10 % berbentuk lotion, krim atau gel.
4) Antibiotik : pada infeksi sekunder yang luas.
- Tetrasiklin (minggu 1 : 1 gr/hr, minggu 2 : 500 mg/hr, minggu 3 : 250 mg/hr)
5) Steroid : presone 40-60 mg/hr.
B. Tatalaksana Nonfarmakologi

Dermatitis seboroik adalah penyakit kronik sehingga pasien harus

diinformasikan mengenai risiko penyakit untuk kambuh, faktor predisposisi dan

pasien memerlukan perhatian khusus terhadap kebersihan seumur hidupnya.

Untuk menghilangkan minyak, pasien harus sering membersihkan lesi dengan

menggunakan air dan shampo.

X. Komplikasi, Informasi, dan Edukasi

1. Komplikasi

a. Infeksi sekunder bakterial

b. Perluasan lesi lebih dari 90% pada bayi (penyakit leiner)

2. Pencegahan / Edukasi

a. Lesi di bersihkan menggunakan air dan shampo

b. Tidak menggaruk lesi

c. Konsumsi obat teratur

d. Menjaga hygiene diri dan lingkungan

e. Edukasi terkait kekambuhan dan factor predisposisi penyakit


DAFTAR PUSTAKA

1. Menaldi Sri Linuwih SW, dkk. 2017. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi ke 4. Jakarta ;

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

2. Widaty Sandra, Aninda Marina. 2016. Pilihan Pengobatan Jangka Panjang Pada

Dermatitis Seboroik. MDVI : 43 (4).

3. Hajar Sitti. 2015. Manifestasi Klinis Dermatitis Seboroik Pada Anak. Jurnal Kedokteran

Syiah Kuala : 15 (3).

4. Johan Reyshiani, R. Amir Hamzah. 2016. Gejala Klinis dan Terapi Psoriasis Pustulosa

Generalisata Tipe Von Zumbuch. CDK-237 : 43 (2).

5. Menaldi dkk. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas

Kedokteran Indonesia. 2016.

6. Faiz dkk. Effectiveness and Safety of Dupilumab for The Treatment of Atopic Dermatitis in

a Real-Life French Multicenter Adult Cohort. J Am Acad Dermatol. Vol. 81. No. 1. 2019.

7. Rusu dkk. Prebiotics and Probiotics in Atopic Dermatitis (Review). Experimental and

Therapeutic Medicine. 2019.

Anda mungkin juga menyukai