Anda di halaman 1dari 8

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) istilah ini di adaptasi dari istilah
bahasa inggris Acut Respiratory Infection (ARI). Penyakit infeksi akut yang
menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran napas mulai dari hidung
(saluran pernapasan atas) sampai alveoli (saluran napas bawah) termasuk
jaringan adneksnya seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura. (Depkes,
2002 “Farich, 2012). Kasus ISPA setidaknya menyebabkan 13 juta anak
didunia meninggal setiap tahunnya. World Health Organization (2013)
memperkirakan insiden ISPA di negara berkembang dengan kematian balita di
atas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15%-20% pertahun pada usia balita.

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang sering


terjadi pada anak. Insidens menurut kelompok umur Balita diperkirakan 0,29
episode per anak/tahun di Negara berkembang dan 0,05 episode per
anak/tahun di negara maju. Ini menunjukkan bahwa terdapat 156 juta episode
baru di dunia per tahun dimana 151 juta episode (96,7%) terjadi di Negara
berkembang. Kasus terbanyak terjadi di India (43 juta), China (21 juta) dan
Pakistan (10 juta) dan Bangladesh, Indonesia, Nigeria masing-masing 6 juta
episode. Dari semua kasus yang terjadi di masyarakat, 7-13% kasus berat dan
memerlukan perawatan rumah sakit. Episode batuk-pilek pada Balita di
Indonesia diperkirakan 2-3 kali per tahun (Rudan et al Bulletin WHO 2008).

Kejadian ISPA lebih banyak terjadi di negara berkembang dibandingkan


negara maju. Penyakit-penyakit seperti ISPA dan pneumeoia menjadi
penyebabutama kematian balita (59%). Pada tahun 2013, terdapat 6,6 juta
balita yang meninggal di seluruh dunia dan diperkirakan 83% disebabkan oleh
kematian neonatal, pneumonia, diare, campak dan HIV/AIDS. Masalah
kematian balita menjadi perhatian dunia, sehingga dibentuklah Millenium

1
2

Development Goals (MDGs) dengan salah satu target pencapaian pada poin
keempat, yaitu mengurangi kematian balita 2/3 dari tahun 1990-2015 (WHO,
2013). WHO memperkirakan insidens ISPA di negara berkembang dengan
angka kematian balita diatas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15%-20%
pertahun. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dimana
penyakit ISPA pada balita di Indonesia diprkirakan 3-6 kali pertahun. Hal ini
berarti seorang balita rata-rata menderita ISPA sebanyak 3 sampai 6 kali
setahun. Karakteristik penduduk dengan ISPA yang tertinggi terjadi pada
kelompok umur 1-4 tahun (25,8%) (Kemenkes, 2013).

Program pemberantasan ISPA secara khusus telah dimuali sejak tahun 1984,
dengan tujuan berupaya untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian
khususnya pada bayi dan anak balita yang disebabkan oleh ISPA, namun
kelihatannya angka kesakitan dan kematian tersebut masih tinggi. Dirjen
emberantas penyakit menular dan penyehatan lingkungan (P2MPL)
memperkirakan kematian akibat pneumonia sebagai penyebab utama ISPA di
Indonesia pada akhir tahun 2000 sebanyak lima kasus diantara 1.000
bayi/balita. Berarti akibat pneumonia sebanyak 150.000 bayi/balita meninggal
tiap tahun atau 12.500 korban perbulan atau 416 kasus sehari atau 17 anak
perjam atau seorang bayi/balita tiap lima menit. Sedangkan berdasarkan
program pembangunan nasional (Propenas) bidang kesehatan, menambahkan
angka kematian 5 per 1000 pada 2000 aka diturunkan menjadi 3/1000 pada
akhir 2005 (Depkes RI,2008)

ISPA secara khusus merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien
di puskesmas (40-60%) dan rumah sakit (15-30%). Sebagai kelompok
penyakit, ISPA juga merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien
ke sarana kesehatan. Sebanyak 40-60% kunjungan berobat di puskesmas dan
15-30% kunjungan berobat dibagian rawat jalan dan rawat inap rumah sakit
disebabkan oleh ISPA (Suhandayani, 2007).
3

Pada tahun 2011 di Indonesia jumlah kejadian pneumonia meningkat dari


tahun 2011 di Indonesia jumlah kejadian pneumonia meningkat dari tahun
sebelumnya dimana pada tahun 2010 jumlah kejadian pneumonia pada balita
mencapai 499.259 atau 23.00% sedangkan pada tahun 2011 kejadian
pneumonia pada balita mencapai 559,114 kasus atau 23,9%. Disulawesi utara
kejadian pneumonia tahun 2011 pada balita mencapai 2.280 kasus atau
10,07% dengan kejadian pada anak< 1 tahun yaitu 765 kasus (KemenKes RI,
2013).

Menurut Dinkes (2003) pencegahan kejadian ISPA ini tidak terlepas dari
peran orang tua yang harus mengetahui cara-cara penjegahan ISPA. ISPA
dapat dicegah dengan mengetahui penyakit ISPA, mengatur pola makan
balita, menciptakan lingkungan yang nyaman dan menghindari faktor
pencetus. Dalam pencegahan ini orang tua harus mengerti tanda dan gejala
ISPA, penyebab, serta faktor-faktor yang mempermudah balita untuk terkena
ISPA. Rumah atau tempat tinggal yang kumuh dapat mendukung terjadinya
penularan penyakit dan gangguan kesehatan, diantaranya infeksi saluran
pernafasan, seperti common cold, TBC, influenza, campak, batuk rejan
(Chandra, 2006).

Banyak faktor yang mempengaruhi tingginya angka kejadian ISPA pada balita
adalah umur, jenis kelamin, gizi kurang, berat badan lahir rendah (BBLR),
status ASI, status imunisasi, kepadatan hunian, ventilasi, pencemaran udara
dalam rumah. Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang
dibandingkan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh
kurang. Penyakit infeksi sendiri sendiri akan menyebabkan balita tidak
mempunyai nafs makan dan mengakibatkan kekurangan gizi (Prabu, 2009).

Telah lama diketahui adanya interaksi sinergis antara malnitrusi dan penyakit
infeksi. Anak dengan status gizi yang buruk harus memiliki daya tahn tubuh
terhadap tekanan dan stres menurun. Sistem imunitas dan antibodi berkurang
4

sehingga akan mudah terkena penyakit infeksi (Almaitser, 2001). Sebalikya


penyakit infeksi pada balita akan mempengaruhi pertumbuhan balita seperti
berkurangnya berat badan. Hal ini disebabkan oleh hilangnya nafsu makan
penderita infeksi sehingga masukan atau intake zat dan energi kurang dari
kebutuhan tubuh. Untuk itu balita yang telah terkena infeksi memerlukan zat
gizi yang tinggi agar dapat memenuhi kebutuhan gizi untuk pemulihan tubuh
(solihin, 2003).

Penelitian yang dilakukan oleh Oktaviani, Fajar dan Purba (2010) tentang
hubungan kondisi rumah dan perilaku keluarga terhadap kejadian ISPA pada
balita menyimpulkan bahwa tingkat pengetahuan, sikap, atap rumah, ventilasi
rumah, lantai rumah, luasa tanah rumah, kepadatan hunian rumah, lantai
rumah ada hubungan dengan kejadian ISPA. Rendahnya tingkat pengetahuan
dan keterampilan keluarga terutama ibu, menjadi salah satu pemicu terjadinya
ISPA pada balita. Hal ini dibuktikan dengan penelitian yang telah dilakukan
Notosiswoyo (2003) bahwa sebagian besar keluarga yang mempunyai balita
ISPA dirumah adalah dengan ibu yang tidak mengetahui cara pencegahan
ISPA (56,5%), ibu yang tidak tamat SD (49,1%) dan pekerjaan sebagai ibu
rumah tangga (75%). Untuk mengubah pengetahuan dan keterampilan ibu
diperlukan banyak upaya, salah satu diantaranya yaitu dengan memberikan
penyuluhan kesehatan (Winarsih dkk, 2008).

Penyuluhan kesehatan merupakan suatu upaya untuk mengajak,


mempengaruhi orang lain bak individu, keluarga maupun masyarakat
sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku penyuluhan.
Penkes tentang ISPA khususnya terkait dengan pencegahan ISPA merupakan
intervensi yang penting. Pendekatan dalam pemberian penkes sangat
bervariasi antara lain metode ceramah, ceramah disertai demonstrasi, atau
ceramah disertai diskusi/tanya jawab. Hal ini didukung dengan penelitian
Winarsih dkk bahwa pada ibu yang diberikan penkes akan mengalami
kenaikan bermakna sebesar 6,8% dalam perubahan berikutnya.
5

Media atau alat bantu dalam penyampaian penyuluhan salah satunya adalah
leaflet dengan keuntungan dari media yang lainny yaitu dapatmenyesuaikan
dan belajar mandiri serta praktis karen mengurangi kebutuhan mencatat.
Sasaran dapat melihat isinya disaat santai dan sangat ekonomis. Berbagai
informasi dapat diberikan aau dibaca oleh anggota kelompok sasaran sehingga
bisa didiskusikan dan dapat memberikan informasi yang detail yang mana
tidak dapat diberikan secara lisan, mudah dibuat, diperbanyak dan diperbaiki
serta mudah disesuaikan dengan kelompok sasaran. Dengan dipadukannya
metode penyuluhan kesehatan disertai leaflet mungkin akan menjadi
maksimal.

Di puskesmas Jejangkit Kabupaten Barito Kuala di dapatkan jumlah kasus


pada 2012 sebanyak 1525 kasus, 2013 sebanyak 2013 dan 2014 sebanyak
1799 kasus balita ISPA yang datang ke puskesmas. Angka tersebut
menyatakan bahwa angka ISPA mengalami peningkatan setiap tahun.

Hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di wilayah kerja puskesmas


Jejangkit pada bulan mei, pada 5 orang ibu rumah tangga yang memiliki balita
mengatakan kurang mengetahui bagaimana dan apa saja untuk pencegahan
ISPA hanya membawa anaknya untuk imunisasi, dan kurang mengetahui
tentang pemenuhan gizi yang sehat untuk balita.
Berdasarkan urauian latar belakang diatas maka peneliti tertarik untuk meneliti
tentang pengaruh penyuluhan kesehatan dengan media leaflet tentang
pemenuhan gizi terhadap pencegahan ISPA pada balita di wilayah kerja
puskesmas Jejangkit kabupaten Barito Kuala.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka rumusan masalah penelitian
ini adalah “Adakah Pengaruh penyuluhan kesehatan dengan media leaflet
terhadap ibu balota tentang pencegahan ISPA di Wilayah Kerja Puskesmas
Jejangkit kabupaten Barito Kuala 2015”
6

1.3 Tujuan Penilitian


1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui adakah
pengaruh penyuluhan kesehatan dengan media leaflet tentang
pencegahan ISPA terhadap pengetahuan ibu balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Jejangkit Kabupaten Barito Kuala 2015.

1.3.2 Tujuan Khusus


1.3.2.1 Mengidentifikasi pengetahuan ibu sebelum dilakukan
penyuluhan
1.3.2.2 Mengidentifikasi pengetahuan ibu sesudah dilakukan
penyuluhan
1.3.2.3 Menganalisis pengaruh penyuluhan kesehatan dengan
media leaflet terhadap pengetahuan ibu balita tentang
pencegahan ispa

1.4 Manfaat Peniltian


1.4.1 Bagi Peneliti
Dapat menambah ilmu pengetahuan dan memperdalam pengalaman
peneliti tentang riset keperawatan serta pengembangan wawasan
tentang penyuluhan kesehatan khususnya tentang pencegahan ISPA.
1.4.2 Bagi Puskesmas
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan salah satu alternatif
agar dapat melakukan penyuluhan kesehatan terutama tentang ISPA.
1.4.3 Bagi Penelitian Selanjutnya
Penelitian ini diharapkan menjadi acuan untuk penelitian lebih lanjut
tentang pencegahan ISPA dengan variabel yang belum di teliti.
7

1.5 Keaslian Penelitian


Peneltian yang terkait dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti adalah
1.5.1 Muhammad Ihsan 2014. “Pengaruh Penyuluhan Kesehatan tentang
Pneumonia pada Anak dengan Media Leaflet terhadap
Pengetahuan Ibu di Posyandu Lestari Lima Pekauman
Banjarmasin”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
penyuluhan kesehatan tentang pneumonia pada anak dengan media
leaflet terhadap pengetahuan ibu . Jenis penelitian yang digunakan
adalah pra experiment dengan rancangan penelitian one group pre
and post test design. Sampel dari penelitian ini sebanyak 22
responden. Menggunakan uji statistik paired sampel t-test,
meningkatkan pengetahuan ibu (p<0,05) hasil penyuluhan tersebut
memiliki nilai mean 7,41 dengan 7 responden memiliki
pengetahuan baik.

1.5.2 Rima Rianti. 2010. “Faktor –Faktor yang Berhubungan dengan


Kejadian ISPA Tahun 2010 pada Balita umur 0-4 Tahun di
Puskesmas Bayanan Kecamatan Daha Selatan Kabupaten Hulu
Sungai Selatan. Tujuan penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
faktor yang berhubungan dengan ISPA pada balita umur 0-4 tahun
di Puskesmas Bayanan Kecamatan Daha Selatan Kabupaten Hulu
Sungai Selatan. Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik
dengan rancangan penelitian cross sectional. Penelitian ini
dilakukan dengan 68 sampel yaitu ibu yang mempunyai balita
umur 0-4 tahun yang bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas
Bayanan Kecamatan Daha Selatan kabupaten Hulu Sungai Selatan.
Pengumpulan data dengan cara kuesioner dan lembar observasi dan
di analisis dengan uji Chi Square untuk mengetahui faktor yang
berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita. Analisis faktor
yang berhubungan dengaan kejadian ISPA di Puskesmas Bayanan
adalah: Status gizi balita Asymp. Sig: 0,000 (p < 0,05). Pemberian
8

ASI ekslusif Asymp. Sig: 0,000 (p < 0,05). Pemberian suplemen


vitamin A Asymp. Sig: 0,002 (p < 0,05). Pencemaran udara di
dalam rumah Asymp. Sig: 0,000 (p < 0,05). Keberadaan anggota
keluarga yang terkena ISPA di dalam rumah Asymp. Sig: 0,000 (p
< 0,05). Hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya hubungan
antara status gizi, pemberian ASI ekslusif, pemberian suplemen
vitamin A, pencemaran udara didalam rumah, dan keberadaan
anggota keluarga yang terkena ISPA pada balita di Puskesmas
Bayanan Kecamatan Daha Selatan Kabupaten Hulu Sungai Selatan
dan tidak ada hubungan antara status imunisasi dengan kejadian
ISPA pada balita di Puskesmas Bayanan Kecamatan Daha Selatan
Kabupaten Hulu Sungai Selatan.

Perbedaan dari penelitian sebelumnya adalah dari segi rempat di


wilayah kerja puskesmas Jejangkit, waktu tahun 2015, variable
indevenden (penyuluhan dengan media leaflet tentang pendegahan
ISPA) dan variable dependen (pengetahuan ibu).

Anda mungkin juga menyukai