PENDAHULUAN
1
2
Development Goals (MDGs) dengan salah satu target pencapaian pada poin
keempat, yaitu mengurangi kematian balita 2/3 dari tahun 1990-2015 (WHO,
2013). WHO memperkirakan insidens ISPA di negara berkembang dengan
angka kematian balita diatas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15%-20%
pertahun. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dimana
penyakit ISPA pada balita di Indonesia diprkirakan 3-6 kali pertahun. Hal ini
berarti seorang balita rata-rata menderita ISPA sebanyak 3 sampai 6 kali
setahun. Karakteristik penduduk dengan ISPA yang tertinggi terjadi pada
kelompok umur 1-4 tahun (25,8%) (Kemenkes, 2013).
Program pemberantasan ISPA secara khusus telah dimuali sejak tahun 1984,
dengan tujuan berupaya untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian
khususnya pada bayi dan anak balita yang disebabkan oleh ISPA, namun
kelihatannya angka kesakitan dan kematian tersebut masih tinggi. Dirjen
emberantas penyakit menular dan penyehatan lingkungan (P2MPL)
memperkirakan kematian akibat pneumonia sebagai penyebab utama ISPA di
Indonesia pada akhir tahun 2000 sebanyak lima kasus diantara 1.000
bayi/balita. Berarti akibat pneumonia sebanyak 150.000 bayi/balita meninggal
tiap tahun atau 12.500 korban perbulan atau 416 kasus sehari atau 17 anak
perjam atau seorang bayi/balita tiap lima menit. Sedangkan berdasarkan
program pembangunan nasional (Propenas) bidang kesehatan, menambahkan
angka kematian 5 per 1000 pada 2000 aka diturunkan menjadi 3/1000 pada
akhir 2005 (Depkes RI,2008)
ISPA secara khusus merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien
di puskesmas (40-60%) dan rumah sakit (15-30%). Sebagai kelompok
penyakit, ISPA juga merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien
ke sarana kesehatan. Sebanyak 40-60% kunjungan berobat di puskesmas dan
15-30% kunjungan berobat dibagian rawat jalan dan rawat inap rumah sakit
disebabkan oleh ISPA (Suhandayani, 2007).
3
Menurut Dinkes (2003) pencegahan kejadian ISPA ini tidak terlepas dari
peran orang tua yang harus mengetahui cara-cara penjegahan ISPA. ISPA
dapat dicegah dengan mengetahui penyakit ISPA, mengatur pola makan
balita, menciptakan lingkungan yang nyaman dan menghindari faktor
pencetus. Dalam pencegahan ini orang tua harus mengerti tanda dan gejala
ISPA, penyebab, serta faktor-faktor yang mempermudah balita untuk terkena
ISPA. Rumah atau tempat tinggal yang kumuh dapat mendukung terjadinya
penularan penyakit dan gangguan kesehatan, diantaranya infeksi saluran
pernafasan, seperti common cold, TBC, influenza, campak, batuk rejan
(Chandra, 2006).
Banyak faktor yang mempengaruhi tingginya angka kejadian ISPA pada balita
adalah umur, jenis kelamin, gizi kurang, berat badan lahir rendah (BBLR),
status ASI, status imunisasi, kepadatan hunian, ventilasi, pencemaran udara
dalam rumah. Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang
dibandingkan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh
kurang. Penyakit infeksi sendiri sendiri akan menyebabkan balita tidak
mempunyai nafs makan dan mengakibatkan kekurangan gizi (Prabu, 2009).
Telah lama diketahui adanya interaksi sinergis antara malnitrusi dan penyakit
infeksi. Anak dengan status gizi yang buruk harus memiliki daya tahn tubuh
terhadap tekanan dan stres menurun. Sistem imunitas dan antibodi berkurang
4
Penelitian yang dilakukan oleh Oktaviani, Fajar dan Purba (2010) tentang
hubungan kondisi rumah dan perilaku keluarga terhadap kejadian ISPA pada
balita menyimpulkan bahwa tingkat pengetahuan, sikap, atap rumah, ventilasi
rumah, lantai rumah, luasa tanah rumah, kepadatan hunian rumah, lantai
rumah ada hubungan dengan kejadian ISPA. Rendahnya tingkat pengetahuan
dan keterampilan keluarga terutama ibu, menjadi salah satu pemicu terjadinya
ISPA pada balita. Hal ini dibuktikan dengan penelitian yang telah dilakukan
Notosiswoyo (2003) bahwa sebagian besar keluarga yang mempunyai balita
ISPA dirumah adalah dengan ibu yang tidak mengetahui cara pencegahan
ISPA (56,5%), ibu yang tidak tamat SD (49,1%) dan pekerjaan sebagai ibu
rumah tangga (75%). Untuk mengubah pengetahuan dan keterampilan ibu
diperlukan banyak upaya, salah satu diantaranya yaitu dengan memberikan
penyuluhan kesehatan (Winarsih dkk, 2008).
Media atau alat bantu dalam penyampaian penyuluhan salah satunya adalah
leaflet dengan keuntungan dari media yang lainny yaitu dapatmenyesuaikan
dan belajar mandiri serta praktis karen mengurangi kebutuhan mencatat.
Sasaran dapat melihat isinya disaat santai dan sangat ekonomis. Berbagai
informasi dapat diberikan aau dibaca oleh anggota kelompok sasaran sehingga
bisa didiskusikan dan dapat memberikan informasi yang detail yang mana
tidak dapat diberikan secara lisan, mudah dibuat, diperbanyak dan diperbaiki
serta mudah disesuaikan dengan kelompok sasaran. Dengan dipadukannya
metode penyuluhan kesehatan disertai leaflet mungkin akan menjadi
maksimal.