Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN

KEJANG DEMAM

Disusun dalam rangka memenuhi tugas


stase Keperawatan Anak

Disusun Oleh :

WINDA WINARSI
14420212093

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAAT
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
2022

1
A. KONSEP MEDIS
1. Definisi
Kejang demam adalah perubahan aktivitas motorik atau behavior
dalam waktu terbatas akibat dari adanya aktifitas listrik abnormal di otak
yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh >390C (Canpolat et al., 2018).
Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti anak
tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik
atau menit anak terbangun dan sadar kembali tanpa adanya kelainan
syaraf. Kejang demam dapat berlangsung lama dan atau parsial (Kaya et
al., 2020).
2. Klasifikasi
Menurut Wulandari & Erawati (2016) klasifikasi kejang demam
dibagi menjadi 2 yaitu:
a. Kejang demam sederhana
Kejang demam yang berlangsung singkat kurang dari 15 menit, dan
umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik, tanpa
gerakan fokal. Kejang demam sederhana merupakan 80% di antara
seluruh kejang demam.
b. Kejang demam komplek
Kejang demam dengan ciri, kejang >15 menit kejang fokal atau parsial
satu sisi atau kejang umum, kejang berulang atau lebih dari 1 kali
dalam 24 jam.
3. Etiologi
Adapun etiologi dari penyakit kejang demam adalah sebagai
berikut (Canpolat et al., 2018):
a. Demam
Kenaikan suhu tubuh >390C akibat infeksi ataupun respon alergik
memiliki risiko 10 kali lebih besar untuk menderita bangkitan kejang
demam.

2
b. Usia
Kejang demam biasanya menyerang anak dibawah umur 5 tahun,
dengan insiden puncak yang terjadi pada anak usia antara 14 dan 18
bulan. Kejang demam jarang terjadi pada anak dibawah 6 bulan dan di
atas 5 tahun.
c. Genetic
Terjadi peningkatan risiko pada anak yang memiliki riwayat kejang
demam pada keluarga.
1) Bila kedua orangtua tidak memiliki riwayat kejang, presentase
kejang demam 9%
2) Bila salah satu orangtua memiliki riwayat kejang, presentase
kejang demam 20% - 22%
3) Bila kedua orangtua memiliki riwayat kejang, presentase kejang
demam 59% - 64%
d. Factor perinatal dan pascanatal, berupa malformasi otak kongenital
dan BBLR
4. Patofisiologi
Dalam keadaan normal membrane sel neuron dapat dilalui dengan
mudah oleh ion kalium dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan
elektrolit lainnya kecuali ion klorida. Akibatnya konsentrasi kalium dalam
sel neuron tinggi dan konsentrasi natrium rendah, sedang diluar neuron
terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion
didalam dan diluar sel, maka terdapat perbedaan potensial membran yang
disebut dengan potensial membrane neuron. Perubahan patofisiologi dari
membrane sendiri karena penyakit atau keturunan.
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan
kenaikan metabolism basal 10-15% dan kebutuhan oksigen akan
meningkat 20%. Pada seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak
mencapai 65% dari seluruh tubuh dibandingkan dengan orang dewasa
yang hanya 15%. Oleh karena itu, kenaikan suhu tubuh dapat mengubah
keseimbangan dari membrane sel neuron dan dalam waktu yang singkat

3
terjadi disfusi dari ion kalium maupun ion natrium melalui membrane
tersebut dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Pada anak dengan
ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38 oC sedang
anak dengan ambang kejang yang tinggi kejang baru terjadi bila suhu
mencapai 40oC atau lebih. Maka disimpulkan bahwa berulangnya kejang
demam lebih sering terjadi pada anak dengan ambang kejang yang rendah
sehingga dalam penanggulangannya perlu memperhatikan pada tingkat
suhu berapa pasien menderita kejang. Kejang yang berlangsung lama (>15
menit) biasanya disertai apnea, hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat
disebabkan oleh metabolism anaerobic, hipotensi arterial disertai denyut
jantung yang tidak teratur, selanjutnya menyebabkan metabolisme otak
meningkat (Wulandari & Meira, 2016).
5. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik yang dapat muncul pada pasien dengan kejang
demam adalah sebagai berikut Nishiyama et al. (2021):
a. Demam tinggi >390C
b. Bola mata naik ke atas
c. Gigi terkatup
d. Tubuh, termasuk tangan dan kaki menjadi kaku, kepala terkulai
kebelakang, disusul gerakan kejut yang kuat
e. Gerakan mulut dan lidah yang tidak terkontrol
f. Lidah dapat seketika tergigit
g. Lidah berbalik arah lalu menyumbat saluran pernapasan
h. Saat periode kejang, terjadi kehilangan kesadaran
6. Komplikasi
Komplikasi menurut Wulandari & Erawati (2016) adalah :
a. Kerusakan Neurotransmitter
Lepasnya muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas
ke seluruh sel atupun membrane sel yang menyebabkan kerusakan
pada neuron.

4
b. Epilepsi
Kerusakan pada daerah medial lobus temporalis setelah mendapat
serangan kejang yang berlangsung lama dapat menjadi matang di
kemudian hari sehingga terjadi serangan epilepsi yang spontan.
c. Kelainan Anatomis di Otak
Serangan kejang yang berlangsung lama yang dapat menyebabkan
kelainan di otak yang lebih banyak terjadi pada anak baru berumur 4
bulan – 5 tahun.
d. Mengalami kecacatan atau kelainan neurologis karena disertai demam.
e. Kemungkinan mengalami kematian.
7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang menurut Wulandari & Erawati (2016)
adalah :
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang
demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi
penyebab demam atau keadaan lain, misalnya gastrointestinal
dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat
dikerjakan, misalnya darah perifer, elektrolit dan gula darah.
b. Fungsi Lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau
menyingkirkan kemungkinan meningitis. Risiko terjadinya meningitis
bakterialis adalah 1,6% - 6,7%. Pada bayi kecil sering kali sulit untuk
menegakkan atau menyingkirkan diagnosis meningitis karena
manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu, fungsi lumbal
dianjurkan pada bayi (kurang dari 12 bulan) sangat dianjurkan
dilakukan, bayi 12 – 18 bulan dianjurkan, anak umur kurang 18 bulan
tidak rutin, apabila telah yakin anak tidak meningitis maka secara
klinis tidak perlu dilakukan fungsi lumbal.

5
c. Elektroensefalografi
Pemeriksaan EEG tidak dapat memprediksi berulangnya kejang atau
memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang
demam. Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan
kejang demam yang tidak khas.
8. Penatalaksanaan
Menurut Wulandari & Erawati (2016) penatalaksanaan untuk
kejang demam dibagi menjadi dua yaitu:
a. Penatalaksaan perawatan
1. Baringkan pasien ditempat yang rata, kepala dimiringkan
pasangkan spatel lidah yang telah dibungkus kasar
2. Singkirkan benda-benda yang ada disekitar pasien
3. Lepaskan pakaian yang menggangu pernapasan
4. Bila suhu tinggi berikan kompres hangat
b. Penatalaksaan medis
1. Bila pasien datang dalam keadaan tegang, obat pilihan utama yaitu
diazepam untuk memberantas kejang secepat mungkin yang
diberikan secara intravena. Dosis sesuai berat badan kurang dari 10
kg 0.5-0.75 mg/kgbb dengan minimal spuit 7.5 mg, diatas 20 kg
0.5 mg/kgbb. Biasanya dosis rata-rata dipake 0.3 mg/kgbb/ x
dengan maksimum 5 mg pada anak berumur kurang dari 5 tahun,
dan 10 mg pada anak yang lebih besar.
2. Untuk mencegah edema otak, berikan kortikosteroid dengan dosis
30-30 mg.kgbb/ hari dibagi dalam 3 dosis atau sebaliknya
glukortikoid misalnya deksmetazon 0.5-1 ampul setiap 6 jam.
3. Setelah kejang diatasi diazepam berkisar antara 45-60 menit
disuntikkan, diberikan obat antipileptik atau defenilhidation
diberikan secara intramuskuler. Dosis awal beonatus 30 mg : umur
satu bulan – satu tahun 50 mg, umur 1 tahun ke atas 75 mg.

6
9. Pathway
Peningkatan suhu tubuh (demam)
Peningkatan metabolism basal
Peningkatan kebutuhan oksigen

Perubahan keseimbangan dari membrane sel neuron


Terjadi disfusi dari ion kalium dan natrium
Lepas muatan listrik yang terlepas sangat
besar

Peningkatan suhu tubuh Hipertermi

Kejang demam

Lebih dari 15 menit

Resiko pola
Apnea
nafas tidak
efektif
Kebutuhan oksigen otak
Hipoksia

Kerusakan sel neuron

Resiko cedera

(Wulandari & Meira, 2016)

7
B. KONSEP KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Pengkajian menurut (Wulandari & Meira, 2016) adalah :
a. Pola nutrisi dan metabolic
Data yang perlu dikaji meliputi :
Gejala : penurunan nafsu makan , mual, muntah, haus
Tanda : BB turunm, mata cekung, turgor kulit lambat, bibir kering
b. Pola eliminasi
Gejala : sering defekasi
Tanda : penurunan berkemih
c. Pola istirahat
Gejala : kelemahan, kesulitan tidur
Tanda : nadi cepat
d. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum pasien
2) Kesadaran fisik
3) Tanda-tanda vital
2. Diagnosis Keperawatan
a. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi, gangguan pusat
pengaturan suhu ditandai dengan peningkatan suhu tubuh lebih dari
38oC.
b. Risiko cedera ditandai dengan kurangnya kesadaran, gerakan tonik
atau klonik.
c. Risiko pola napas tidak efektif ditandai dengan aspirasi, obstruksi
jalan napas.
(PPNI, 2017)

8
3. Intervensi Keperawatan
No. Diagnosis Tujuan/ Kriteria Hasil Intervensi (PPNI, 2018) Rasional
1. Hipertermi berhubungan Setelah dilakukan 1) Identifikasi penyebab 1) Agar dapat
dengan proses infeksi, tindakan keperawatan hipertermi meminimalisir penyebab
gangguan pusat 2x24 jam diharapkan 2) Observasi suhu tiap 2 jam 2) Mengetahui perubahan suhu
pengaturan suhu ditandai hipertermi berkurang 3) Longgarkan dan lepaskan secara tiba-tiba
dengan peningkatan suhu dengan kriteria hasil : pakaian 3) Agar suhu tubuh sesuai
tubuh lebih dari 38oC.  Suhu tubuh 36-37oC 4) Lakukan kompres air hangat denga suhu lingkungan
5) Kolaborasi pemberian cairan 4) Agar mempercepat
dan elektrolit penguapan panas
5) Mengganti cairan tubuh
yang hilang
2. Risiko cedera ditandai Setelah dilakukan 1) Kaji sifat dan penyebab 1) Mengetahui
dengan kurangnya tindakan keperawatan timbulnya kejang karakteristik dan
kesadaran, gerakan tonik 2x24 jam diharapkan 2) Jauhkan dari benda tajam penyebab kejang
atau klonik. tidak terjadi cedera atau 3) Monitor tingkat kesadaran 2) Menghindari perlukaan
komplikasi dengan 4) Kolaborasi dengan dokter 3) Deteksi dini untuk prioritas
kriteria hasil: untuk penanganan medis intervensi
 Tidak ada perlukaan 4) Untuk membantu proses
penyembuhan.

10
 Kesadaran
composmentis
3. Risiko pola napas tidak Setelah dilakukan 1) Kaji status pernapasan 1) Mengetahui kelainan
efektif ditandai dengan tindakan keperawatan 2) Kaji penyebab pernapasan
aspirasi, obstruksi 2x24 jam diharapkan ketidakefektifan pernapsan 2) Mengtahui penyebab tidak
jalan napas. pola napas efektif dengan 3) Longgarkan pakaian klien efektifnya pernapasan
kriteria hasil: 4) Lakukan suction, bila perlu 3) Memberikan kenyamanan
 Tidak terjadi 5) Kolaborasi pemberian terapi untuk bernapas
obstruksi atau medis 4) Membuka jalan napas
aspirasi 5) Untuk membantu proses
penyembuhan

11
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah pelaksanaan dari intervensi keperawatan
untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Tujuan dari implementasi adalah
membantu klien dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan yang
mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan
kesehatan dan memfasilitasi koping. Fokus tahap implementasi asuhan
keperawatan adalah kegiatan implementasi dari perencanaan intervensi
untuk memenuhi kebutuhan fisik dan emosional. Pemenuhan kebutuhan
fisik dan emosional bervariasi, tergantung dari individu dan masalah yang
spesifik, tetapi ada beberapa komponen yang terlibat dalam implementasi
asuhan keperawatan yaitu pengkajian yang terus menerus, perencanaan,
dan pengajaran (Wilkinson, 2016).
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses
keperawatan yang menandakan keberhasilan dari diagnosis keperawatan,
rencana intervensi, dan implementasinya. Tahap evaluasi pada proses
keperawatan meliputi kegiatan mengukur pencapaian tujuan klien dan
menentukan keputusan dengan cara membandingkan data yang terkumpul
dengan tujuan dan pencapaian tujuan. Dengan mengukur perkembangan
klien dalam mencapai suatu tujuan maka perawat dapat menentukan
efektivitas asuhan keperawatan. Evaluasi dilakukan berdasarkan kriteria
yang telah ditetapkan sebelumnya dalam perencanaan, membaningkan
hasil tindakan keperawatan yang telah ditetapkan sebelumnya dan menilai
efektivitas proses keperawatan mulai dari pengkajian, intervensi dan
implementasi (Wilkinson, 2016)

12
DAFTAR PUSTAKA

Canpolat, M., Per, H., Gumus, H., Elmali, F., & Kumandas, S. (2018).
Investigating the prevalence of febrile convulsion in Kayseri, Turkey: An
assessment of the risk factors for recurrence of febrile convulsion and for
development of epilepsy. Seizure, 55(36–47).
https://doi.org/10.1016/j.seizure.2018.01.007

Kaya, M. A., Erin, N., Bozkurt, O., Erkek, N., Duman, O., & Haspolat, S. (2020).
Changes of HMGB-1 and sTLR4 levels in cerebrospinal fluid of patients
with febrile seizures. Epilepsy Research, 169(1–5).
https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.eplepsyres.2020.106516

Nishiyama, M., Ishida, Y., Yamaguchi, H., Tokumoto, S., Tomioka, K., Hongo,
H., Toyoshima, D., & Maruyama, A. (2021). Prediction of AESD and
neurological sequelae in febrile status epilepticus. Brain and
Development., 43(5), 616–625.
https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.braindev.2021.01.004

PPNI, Tim Pokja SDKI DPP. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Indikator Diagnostik. DPP PPNI.

PPNI, Tim Pokja SIKI DPP. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Tindakan Keperawatan Cetakan II (1st ed.). DPP PPNI.

Wilkinson, J. M. (2016). Diagnosis Keperawatan Diagnosis NANDA-I, Intervensi


NIC, Hasil NOC. EGC.

Wulandari, D., & Meira, E. (2016). Buku Ajar Keperawatan Anak. Pustaka
Pelajar.

13

Anda mungkin juga menyukai