OLEH:
JUWITA N. LAHER
211030230223
PEMBIMBING:
Telp (021)74716128
LAPORAN PENDAHULUAN HALUSINASI
I. Kasus (diagnose utama)
Halusinasi
II. Proses Terjadinya Masalah
1. Pengertian
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa di mana klien
mengalami perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi palsu berupa
suara, penglihatan, pengecapan, perabaan atau penghirupan. Klien
merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada (damiyanti, 2008)
Halusinasi adalah persepsi yang tampa dijumpai adanya rangsangan
dari luar. Walaupun tampak sebagai sesuatu yang “khayal”, halusinasi
sebenarnya merupakan bagian dari kehidupan mental penderita yang
“teresepsi” (yosep,2010).
Halusinasi adalah perubahan dalam jumlah atau pola stimulus yang
dating disertai gangguan respon yang kurang, berlebihan, atau distorsi
terhadap stimulus tersebut (Nanda-I, 2012)
2. Paktor Predisposisi
a. Paktor perkembangan
Tugas perkembangan klien terganggu misalnya rendahnya control dan
kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak
kecil, mudah frustasi, hilang percaya diri dan lebih rentan terhadap
stress
b. Faktor sosiokultural
Seseorang tang merasa tidak diterima lingkungannya sejak bayi akan
merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada lingkungannya
c. Faktor biologis
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya
stress yang berlebihan dialami seseorang maka dalam tubuh akan
dihasilkan suatu zat yang bersifat halusinogenik neurokimia. Akibat
stress berkepanjangan menyebabkan teraktivasinya neurotransmitter
otak.
d. Faktor psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah
terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada
ketidakmampuan klien dalam mengambil keputusan yang tepat demi
massa depannya
e. Faktor genetic dan pola asuh
Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orang tua
schizofrenia cenderung mengalami schizophrenia.
3. Faktor Presipitasi
a. Perilaku
Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan,
perasaan tidak aman, gelisah dan bingung, perilaku menarik diri,
kurang perhatian, tidak mampu mengambil keputusan, serta tidak
dapat membedakan keadaan yang nyata dan tidak nyata.
Halusinasi dapat dilihat dari 5 dimensi yaitu:
1) Dimensi fisik
Seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam
hingga delirium, intoksikasi alcohol dan kesulitan untuk tidur
dalam waktu yang lama.
2) Dimensi emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak
dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi, isi
halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan.
3) Dimensi intelektual
Individu dengan halusinasi akan memperlihatkan adanya
penurunan fungsi ego.
4) Dimensi social
Klien mengalami gangguan interaksi social dalam fase awal dan
comforting, klien menganggap bahwa hidup bersosialisasi dialam
nyata sangat membahayakan.
5) Dimensi spiritual
Klien halusinasi mulai dengan kehampaan hidup, rutinitas, tidak
bermakna, hilangnya aktivitas ibadah dan jarang berupa secara
spiritual untuk menyucikan diri, irama sirkandiannya terganggu,
karena ia sering tidur larut malam dan bangun sangat siang.
Core Problem
Isolasi sosial
Casua
2. Masalah keperawatan dan data yang perlu dikaji
No Masalah Data
Keperawatan
1 Risiko Perilaku Subjekif:
Kekerasan Klien mengatakan benci atau kesal kepada
seseorang, klien suka membentak dan
menyerang orang yang mengusikny,
Riwayat perilaku kekerasan atau gangguan
jiwa lainnya
Objektif:
Mata merah, wajah agak merah. Nada suara
tinggi dan keras, bicara menguasai:
berteriak, menjerit, memukul diri
sendiri/orang lain, ekspresi masah saat
membicarakan orang, pandangan tajam
2 Gangguan persepsi Subjektif :
sensori ; Halusinasi - Klien mengatakan mendengar bunyi
yang tidak berhubungan dengan
stimulus nyata
- Klien mengatakan melihat gambaran
tanpa ada stimulus yang nyata
- Klien merasa makan sesuatu
- Klien merasa ada sesuatu pada
kulitnya
- Klien takut pada suara/bunyi/gambar
yang dilihat dan didengar
Objektif:
- Klien berbicara dan tertawa sendiri
- Klien bersikap seperti
mendengar/melihat sesuatu
- Klien berhenti bicara ditengah
kalimat untuk mendengarkan sesuatu
- disorientasi
3 Isolasi sosial Subjektif:
Sukar didapat jika klien menolak
komunikasi, kadang hanya dijawab dengan
singkat “tiidak”, “ya”
Objektif:
Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul,
menyendiri/menghindari orang lain,
berdiam diri dikamar, komunikasi kurang
atau tidak ada (banyak diam), kontak mata
kurang, menolak berhubungan dengan orang
lain, perawatan diri kurang, posisi tidur
seperti janin (menekur)
1 Gangguan 1. Klien dapat 1.1 Ekspresi wajah 1.1.1 bina hubungan saling percaya dengan Hubungan
persepsi membina bersahabat, mengungkapkan prinsip komunikasi saling percaya
sensori : hubungan menunjukkan rasa terapeutik: merupakan
halusinasi saling senang, ada kontak dasar untuk
percaya mata, mau berjabat a. sapa klien dengan ramah baik kelancaran
tangan, mau verbal maupun non verbal hubungan
menyebutkan nama, b. perkenalkan diri dengan sopan interaksi
mau menjawab salam, c. tanyakan nama lengkap klien dan selanjutnya
klien mau duduk nama panggilam yang disukao
berdampingan dengan d. jelaskan tujuan pertemuan
perawat, mau e. jujur dan menempati janji
mengutarakan f. tunjukkan sikap empati dan
masalah yang menerima klien apa adanya
dihadapi g. beri perhatian pada klien dan
2. Klien dapat perhatikan kebutuhan dasar klien
mengenali
halusinasiny 2.1 klien dapat 2.1.1 adakah kontak sering dan singkat Kontak sering
a menyebutkan waktu, secara bertahap tapi singkat
isi, frekuensi selain
timbulnya halusinasi membina
2.2 klien dapat hubungan
mengungkapkan 2.1.2 observasi tingkah laku klien terkait saling percaya,
perasaan terhadap dengan halusinasinya; bicara dan tertawa juga dapat
halusinasi tanpa stimulus, memandang ke kiri atau ke memutuskan
kanan atau ke depan seolah-lah ada teman halusinasi
bicara
Program
pengobatan
dapat berjalan
sesuai rencana
Dengan
mengetahui
prinsif
penggunaan
obat, maka
kemandirian
klien dapat
ditingkatkan
secara bertahap
DAFTAR PUSTAKA
DO :
Klien tampak tidak mempunyai orang
lain, curiga, bermusuhan, merusak
(diri, orang lain, lingkungan), takut,
kadang panik, sangat waspada, tidak
tepat menilai lingkungan / realitas,
ekspresi wajah klien tegang, mudah
tersinggung.
b. Faktor Predisposisi
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan isolasi sosial adalah
1) Faktor Perkembangan
Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus dilalui individu
dengan sukses, karena apabila tugas perkembangan ini tidak dapat
dipenuhi, akan menghambat masa perkembangan selanjutnya. Keluarga
adalah tempat pertama yang memberikan pengalaman bagi individu dalam
menjalin hubungan dengan orang lain. Kurangnya stimulasi, kasih sayang,
perhatian dan kehangatan dari ibu/pengasuh pada bayi akan memberikan
rasa tidak aman yang dapat menghambat terbentuknya rasa percaya diri
Rasa ketidakpercayaan tersebut dapat mengembangkan tingkah laku curiga
pada orang lain maupun ling kungan di kemudian hari. Komunikasi yang
hangat sangat penting dalam masa ini, agar anak tidak merasa
diperlakukan sebagai objek.
2) Faktor Biologis
jiwa Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa
Insiden tertinggi skizofrenia ditemukan pada keluarga yang anggota
keluarganya ada yang menderita skizofrenia.
3) Faktor Sosial Budaya
Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan merupakan faktor
pendukung terjadinya gangguan berhubungan. Dapat juga disebabkan oleh
"karena norma-norma yang salah yang dianut oleh satu keluarga seperti
anggota tidak produktif diasingkan dari lingkungan sosial. Kelainan pada
struktur otak seperti atropi, pembesaran ventrikel, penuri nam berat dan
volume otak serta perubahan struktur limbik, diduga dapat menyebabkan
skizofrenia.
c. Faktor Presipitasi
Stresor presipitasi terjadinya isolasi sosial dapat ditimbulkan oleh faktor internal
maupun eksternal, meliputi:
1) Stresor Sosial Budaya
Stresor sosial budaya dapat memicu kesulitan dalam berhubungan.
terjadinya penurunan stabilitas keluarga seperti perceraian, berpisah
dengan orang yang dicintai, kehilangan pasangan pada usia tua, kese pian
karena ditinggal jauh, dirawat di rumah sakit atau dipenjara Semua ini
dapat menimbulkan isolasi sosial.
2) Stresor Biokimia
a) Teori dopamine: Kelebihan dopamin pada mesokortikal dan meso
limbik serta tractus saraf dapat merupakan indikasi terjadinya
skizofrenia.
b) Menurunnya MAO (Mono Amino Oksidasi) didalam darah akan
meningkatkan dopamin dalam otak. Karena salah satu kegiatan
MAO adalah sebagai enzim yang menurunkan dopamin, maka
menurunnya MAO juga dapat merupakan indikasi terjadinya skizo
frenia.
c) Faktor endokrin: Jumlah FSH dan LH yang rendah ditemukan pada
klienskizofrenia. Demikian pula prolaktin mengalami penurunan
karena dihambat
d. Tanda Gejala
Menurut Mustika Sari (2002) dalam asuhan keperawatan jiwa (2014: 80), tanda
dan gejala klien dengan isolasi sosial, yaitu:
1) Kurang spontan
2) Apatis (kurang acuh terhadap lingkungan)
3) Ekspresi wajah kurang berseri (ekspresi sedih)
4) Afek tumpul
5) tidak merawat dan memperhatikan kebersihan diri
6) Komunikasi verbal menurun atau tidak ada.Klien tidak bercakap-cakap
7) dengan klien lain atau perawat
8) Mengisolasi (menyendiri)
9) Klien tampak memisahkan diri dari orang lain
10) Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitar
11) Pemasukan makanan dan minuman terganggu
12) Retensi urine dan feses
13) Aktivitas menurun atau kurang energi
14) Harga diri rendah
15) Menolak hubungan dengan orang lain
III. Pohon Masalah
Effect
Isolasi Sosial
Core Problem
Masalah Data
Resiko Gangguan Persepsi Sensori DS : mengatakan mendengar suara
Halusinasi bisikan, mengatakan melihat bayangan,
mengatakan mencium bau-bauan,
mengatakan mengecap suatu rasa pada
mulut, bibir dan lidah, mengatakan ada
sesuatu yang menyentuh/ meraba
DO ; bicara sendiri, tertawa sendiri,
marah tanpa sebab (pada halunasi yang
isinya mengganggu), mondar
mandir/tidak bisa tenang, tampak
menyendiri
Isolasi sosial DS : mengatakan malas berinteraksi,
mengatakan orang lain tidak mau
menerima dirinya
DO : menyendiri dalam ruangan
Tidak bisa memulai pembicaraan
Tidak mau berkomunikasi dengan orang
lain, tidak melakukan kontak mata
Harga Diri Rendah Kronik DS : mengeluh hidup tidak bermakna,
tidak memiliki kelebihan apapun,
mengeluh tidak berguna, mengeluh tidak
bisa apa apa, merasa jelek, merasa orang
lain tidak selevel
DO : kontak mata kurang, dan tidak
berinisiatif berinteraksi dengan orang
lain.
V. Diagnosa Keperawatan
a. Isolasi Sosial
b. Harga diri Rendah Kronik
c. Resiko gangguan persepsi sensori halusinasi
VI. Rencana Keperawatan Isolasi Sosial
No Diagnosa Perencanaan
Tgl Intervensi
Diagnosa Keperawatan Tujuan Kriteria Evaluasi
1 Isolasi Sosial 1. Klien dapat 1. Ekspresi wajah 1.1. Bina hubungan saling percaya
membina bersahabat dengan mengungkapkan prinsip
hubungan saling 2. menunjukan rasa komunikasi terapeutik
percaya senang, a. Sapa klien dengan ramah
3. ada kontak mata, b. Perkenalkan diri dengan
4. mau berjabat tangan, sopan
5. mau menjawab salam, c. Tanyakan nama klien dan
6. klien duduk nama panggilan yang disukai
berdampingan dengan d. Jelaskan tujuan pertemuan
perawat, e. Jujur dan menepati janji
7. mau mengutarakan f. Tunjukan sifat empati dari
masalah yang dihadapi menerima klien apa adanya
g. Beri perhatian kepada klien
dan perhatikan kebutuhan
dasar klien
2. Klien dapat 1. Klien dapat 2.1. kaji pengetahuan klien tentnag
menyebutkan menyebutkan perilaku menarik diri dan tanda-
penyebab menarik penyebab menarik diri tandanya.
diri yang berasal dari : 2.2. Beri kesempatan kepada klien
- Diri sendiri untuk mengungkapkan perasaan
- Orang lain penyebab menarik diri.
- lingkungan 2.3. Diskusikan bersama klien
tentang perilaku menarik diri tanda-
tanda serta penyebab yang muncul
2.4. Berikan pujian terhadap
kemampuan klien dalam
menggunakan perasaannya.
3. Klien dapat 1. Klien dapat 3.1. Kaji pengetahuan klien tentang
menyebutkan menyebutkan manfaat dan keuntungan dan
keuntungan keuntungan kerugian berhubungan dengan orang
berhubungan berhubungan dengan lain
dengan orang lain orang lain 3.2. Beri kesempatan dengan klien
dan kerugian tidak 2. Klien dapat untuk mengungkapkan perasaan
berhubungan menyebutkan kerugian tentang keuntungan dan kerugian
dengna orang lain tidak berhubungan berhubungan dengan orang lain
dengan orang lain 3.3. Diskusikan bersama klien
tentang keuntungan dan kerugian
berhubungan dengan orang lain
3.4. Beri reinforcement positif
terhadap kemampuan pengungkapan
perasaan tentang keuntungan dan
kerugian berhubungan dengan orang
lain.
4. Klien dapat 1. Klien dapat 4.1. Kaji kemapuan klien membina
melaksanakan mendemontrasikan hubungan dengan orang lain
hubungan sosial hubungan sosial secara 4.2. Dorong dan bantu klien utnuk
secara bertahap bertahap, antara berhubungan dengan orang lain
K-P melalui tahap
K-P-K K-P
K-P-Kel K-P-P lain
K-P-Klp K-P-P lain- K lain
K-P-Kel/Klp/Masy.
4.3. Beri reinforcement terhadap
keberhasilan yang telah dicapai
4.4. Bantu klien untuk mengevaluasi
manfaat yang berhubungan
4.5. Diskusikan jadwal harian yang
dapat dilakukan bersama klien untuk
mengisi waktu luang
4.6. Motivasi klien untuk mengikuti
kegiatan ruangan
4.7. Beri reinforcement atas kegiatan
kliendalam ruangan
[2] Yosep, Iyus & Sutini, Titin, Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika ADITAMA,
2014.
LAPORAN PENDAHULUAN HARGA DIRI RENDAH
b. Faktor Predisposisi :
c. Faktor Presipitasi :
Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah biasanya adalah
kehilangan bagian tubuh, perubahan penampilan/bentuk tubuh,kegagalan atau
produktivitas yang menurun. Secara umum, gangguan konsep diri harga diri
rendah ini dapat terjadi secara emosional atau kronik. Secara situasional
karena trauma yang muncul secara tiba tiba, misalnya harus
dioperasi,kecelakaan,perkosaan atau dipenjara, termasuk dirawat dirumah
sakit bisa menyebabkan harga diri rendah disebabkan karena penyakit fisik
atau pemasangan alat bantu yang membuat klien sebelum sakit atau sebelum
dirawat klien sudah memiliki pikiran negatif dan meningkat saat dirawat.(
Yosep,2009)
Harga diri rendah sering disebabkan karena adanya koping individu
yang tidak efektif akibat adanya kurang umpan balik positif, kurangnya
system pendukung kemunduran perkembangan ego, pengulangan umpan balik
yang negatif, disfungsi system keluarga serta terfiksasi pada tahap
perkembangan awal.(Townsend,2008)
b. Respon Maladaptif
Respon yang diberikan individu ketika dia tidak mampu lagi
menyelesaikan masalah yang dihadapi.
1. Harga diri rendah adalah individu yang cenderung untuk
menilai dirinya yang negatif dan merasa lebih rendah dari
orang lain
2. Keracunan identitas adalah identitas diri kacau atau tidak jelas
sehingga tidak memberikan kehidupan dalam mencapai tujuan
3. Depersonalisasi (tidak mengenal diri) tidak mengenal diri
yaitu mempunyai kepribadian yang kurang sehat, tidak mampu
berhubungan dengan orang lain secara intim. Tidak ada rasa
percaya diri atau tidak dapat membina hubungan baik dengan
orang lain
III.
a. Pohon Masalah
Isolasi Sosial
effect
DO :
Klien tampak lebih suka sendiri,
bingung bila disuruh memilih alternatif
tindakan, ingin mencederai diri / ingin
mengakhiri hidup
Format pengkajian pasien harga diri
rendah:
a. Keluhan utama:
b. Pengalaman masa lalu yang
tidak menyenangkan:
c. Konsep diri:
1. Gambaran diri
2. Ideal diri
3. Harga diri
4. Identitas
5. Peran
Tgl No Dx Perencanaan
Dx keperawat
an Tujuan Kreteria Evaluasi Intervensi
f. Faktor Predisposisi
Lima faktor predisposisi yang menunjang pada pemahaman perilaku destruktif diri
sepanjang siklus kehidupan adalah sebagai berikut :
1) Diagnosis Psikiatrik
Lebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya dengan cara
bunuh diri mempunyai riwayat gangguan jiwa. Tiga gangguan jiwa yang
dapat membuat individu beresiko untuk meakukan tindakan bunuh diri
adalah gangguan afektif, penyalahgunaan zat, dan skizofrenia.
2) Sifat kepribadian
Tiga tipe kepribadian yang erat hubungannya dengan besarnya resiko
bunuh diri adalah antipati, impulsif, dan depresi.
3) Lingkungan spikososial
faktor presdiposisi terjadinya bunuh diri, diantaranya adalah pengalaman
kehilangan, kehilangan dukungan sosial, kejadian-kejadian negatif dalam
hidup, penyakit kronis, perpisahan, atau bahkan perceraian.
4) Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan faktor
penting yang dapat menyebabkan seseorang melakukan tindakan bunuh
diri.
5) Faktor biokimia
Data menunjukan bahwa klien dengan resiko bunuh diri terjadi
peningkatan zat-zat kimia yang terdapat diotak seperti seretonin, adrenalin,
dan dopamine. Peningkatan zat tersebut dapat dilihat melalui rekaman
gelombang otak Electro Encephalo Graph (EEG).
g. Faktor Presipitasi
Perilaku destruktif diri dapat ditimbulkan oleh stress berlebihan yang dialami
oleh individu. Pencetus sering kali berupa kejadian hidup yang memalukan.
Faktor lain yang dapat menjadi pencetus adalah melihat atau membaca melalui
media mengenai orang yang melakukan bunuh diri ataupun percobaan bunuh diri.
Bagi individu yang emosinya labil, hal tersebut menjadi sangat rentan.
h. Tanda Gejala
Menurut Fitria, dalam Asuhan Keperawatan Jiwa (2014 : 120) tanda gejala dari
resiko bunuh diri adalah :
1) Mempunyai ide bunuh diri
2) Mengungkapkan keinginan untuk mati
3) Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan
4) Impulsif
5) Menunjukan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi patuh)
6) Memiliki riwayat percobaan bunuh diri
7) Verbal terselubung (berbicara tentang kematian, menanyakan tentang obat
dosis mematikan)
8) Status emosional (harapan penolakan, cemas meningkat, panik, marah, dan
mengasingkan diri)
9) Kesehatan mental ( secara klinis klien terlihat seperti orang depresi,
spikosis dan menyalahgunakan alkohol)
10) Kesehatan fisik (biasanya pada klien penyakit kronik dan terminal)
11) Pengangguran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan, atau mengalami
kegagalan dalam karir)
12) Usia (15-19 tahun atau diatas usia 45 tahun)
13) Status perkawinan ( mengalami kegagalan pernikahan)
14) Konflik interpersonal
15) Latar belakang keluarga
16) Orientasi seksual
17) Menjadi korban kekerasaan saat kecil
Masalah Data
Resiko perilaku kekerasan pada diri DS : Mengungkapkan keinginan untuk
sendiri, orang lain, lingkungan dan mati, Klien mengatakan benci atau kesal
verbal kepada seseorang, klien suka membentak
dan menyerang orang yang
mengusiknya.
DO : mata merah, wajah agak merah,
nada suara tinggi dan keras, bicara
menguasai, berteriak, menejrit, memukul
diri sendiri/ orang lain, pandangan tajam
Resiko Bunuh Diri DS : menyatakan ingin bunuh diri / ingin
mati saja, tak ada gunanya hidup.
DO : ada isyarat bunuh diri, ada ide
bunuh diri, pernah mencoba bunuhdiri.
No Diagnosa Perencanaan
Tgl Intervensi
Diagnosa Keperawatan Tujuan Kriteria Evaluasi
1 Resiko Bunuh Diri 2. Klien dapat 8. Menjawab salam 1.2. Kenalkan diri pada klien
membina 9. Kontak mata 1.3. Tanggapi pembicaraan klien
hubungan saling 10. Menerima perawat dengan sabar dan tidak menyangkal
percaya 11. Berjabat tangan 1.4. Bicara tegas, jelas, dan jujur
1.5. Bersifat hargai dan bersahabat
1.6. Temani klien saat ingin
menciderai diri meningkat
1.7. Jauhkan klien dari benda benda
yang membahayakan (seperti : pisau,
silet, gunting, kaca, dll)
3. Klien dapat 2. Menceritakan 2.5. Dengarkan keluhan yang klien
mengekpresikan penderitaan secara rasakan
perasaannya terbuka dan kontruktif 2.6. Bersikap empati untuk
dengan orang lain meningkatkan ungkapan
2.7. Beri dorongan pada klien untuk
mengungkapkan mengapa dan
bagaimana harapan karena harapan
adalah hal yang penting dalam
kehidupan
2.8. Beri klien waktu dan kesempatan
untuk menceritakan arti penderitaan
kematian dan sekarat
2.9. Beri dorongan pada klien untuk
mengekpresikan tentang mengapa
harapan tidak pasti dan dalam hal-
hal dimana harapan mempunya
kegagalan
5. Klien dapat 3. Mengenang dan 3.5. Bantu klien untuk memahami
meningkatkan meninjau kembali bahwa ia dapat mengatasi aspek-
harga diri kehidupan secara aspek keputuasaan dan memisahkan
positif dari aspek harapan
3.6. Kaji dan kerahkan sumber-
sumber internal individu (autonomi,
mandiri, rasional pemikiran kognitif,
fleksibilitas, dan spiritual)
3.7. Bantu klien mengidentifikasi
sumber-sumber harapan (misal:
hubungan antar sesama, keyakinan,
hak-hak untuk diselesaikan)
3.8. Bantu klien mengungkapkan
tujuan tujuan realistis jangka
panjang dan jangka pendek ( beralih
dari yang sederhana ke yang lebih
kompleks dapat menggubnakan
suatu poster tujuan untuk
menandakan jenis dan waktu untuk
pencapaian tujuan tujuan yang
spesifik)
6. Klien 2. Mengekspresikan 4.8. Ajarkan klien untuk
menggunakan perasaan tentang mengantisipasi pengalaman yang dia
dukungan sosial hubungan yang positif senangi melakukan setiap hari
dengan orang terdekat ( misal : berjalan, membaca buku
3. Mengekspresikan favorite, dan menulis surat )
percaya diri dengan 4.9. Bantu klien untuk mengenali
hasil yang diingikan hal-hal yang dicintai dan disayangi
4. Mengekpresikan dan pentingnya terhadap kehidupan
percaya diri dengan oranglain, disamping tentang
diri dan orang lain. kegagalan dan kesehatan
5. Menetapkan tujuan- 4.10. Beri dorongan pada klien untuk
tujuan yang realistis berbagi keprihatinan pada orang lain
yang mempunyai masalah dan/ atau
penyakit yang sama dan telah
mempunyai pengalaman posistif
dalam mengatasi hal tersebut dengan
koping yang efektif.
6. Klien 2. Sumber tersedia 6.4. Kaji dan kerahkan sumber-
menggunakan (keluarga, lingkungan sumber eksternal individu (orang
dukungan sosial dan masyarakat) terdekat, tim pelayanan kesehatan,
3. Keyakinan makin kelompok pendukung, agama yang
meningkat dianutnya)
6.5. Kaji sistem pendukung
keyakinan (nilai, pengalaman masa
lalu, aktivitas keagamaan,
kepercayaan agama). Lakukan
rujukan selesai indikasi (misal :
konseling dan pemuka agama)
DAFTAR PUSTAKA
[1] Damayanti, Mukhripah & Iskandar, Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika
ADITAMA, 2014.
[2] Yosep, Iyus & Sutini, Titin, Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika
ADITAMA, 2014.
[3] Gung Nugroho. (2011) Asuhan Keperawatan Pada Pasien Resiko Bunuh Diri.
[Online]. https://studylibid.com/doc/478962/asuhan-keperawatan-pada-pasien-
risiko-bunuh-diri,
1234
x
LAPORAN PENDAHULUAN
PERILAKU KEKERASAN
I. Masalah Utama
Perilaku Kekerasan
II. Proses Terjadinya Masalah
a. Definisi :
Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul sebagai respon terhadap
kecemasan akan kebutuhan yang tidak terpenuhi yang dirasakan sebagai
ancaman ( AH Yusuf, dkk,2015).
Rentang Respon
Rentang Respon Marah
Respon adaptif Respon
Maladaptif
Asertif frustasi pasif agresi Perilaku kekerasan
b. Faktor Predisposisi :
1. Faktor biologis
Ada beberapa penelitian membuktikan bahwa dorongan agresif
mempunyai dasar biologis. Penelitian neurobiologi mendapatkan
bahwa adanya pemberian stimulus elektris ringan pada hipotalamus
(yang berada ditengah sistem limbik). Binatang ternyata menimbulkan
perilaku agresif. Perangsangan yang diberikan terutama pada nukleus
periforniks hipotalamus dapat menyebabkan seekor kucing
mengeluarkan cakarnya, mengangkat ekor, mendesis, bulunya berdiri,
menggeram, matanya membuka lebar, pupil berdilatasi hendak
menerkam tikus atau objek yang ada disekitarnya. Jadi kerusakan
fungsi sistem limbuk (untuk emosi dan perilaku), lobus frontal (untuk
memikirkan rasional) dan lobus temporal (untuk interpretasi indera
penciuman dan memori).
Neurotransmitter yang sering dikaitkan dengan perilaku agresif.
Serotonin, dopamin, neropenephrine, acetilkolin dan asam amino
GABA.
Faktor yang mendukung yaitu masa kanak – kanak yang tidak
menyenangkan, sering mengalami kegagalan, kehidupan yang penuh
tindakan agresif, dan lingkungan yang tidak kodusif (bising, padat).
2. Faktor psikologis
Psychoahalytical teory : teori ini mendukung bahwa perilaku
agresif merupakan akibat dari instinctual drives. Freud berpendapat
bahwa perilaku manusia di pengaruhi oleh dua insting. Kesatu insting
hidup yang diekspresikan seksualitas dan kedua insting kematian yang
diekspresikan dengan agresivitas.
Frustation Aggresion Theory : Freud mengungkit bila usaha
seseorang untuk mencapai suatu tujuan mengalami hambatan maka
akan timbul dorongan agresif yang pada gilirannya akan memotivasi
perilku yang dirancang untuk melukai orang/ objek yang menyebabkan
frustasi. Jadi hampir semua orang yang melakukan tindakan agresif
mempunyai riwayat perilaku agresif.
Pandangan psikologis lainnya mengenai perilaku agresif
mendukung pentingnya peran dari perkembangan predisposisi atau
pengalaman hidup.
3. Faktor sosial budaya
Kultur dapat pula mempengaruhi perilaku kekerasan. Adanya
norma dapat membantu mengidentifikasi ekspresi agresif mana yang
dapat diterima/ tidak dapat diterima. Sehingga dapat membantu
individu untuk mengekspresikan marah dengan cara – cara yang
agresif
C. Faktor Presipitasi
Secara umum, seseorang akan mengeluarkan respon marah apabila dirinya
merasa terancam. Ancaman tersebut dapat berupa luka secara psikis atau lebih
dikenal dengan adanya ancaman terhadap konsep diri seseorang. Ketika
seseorang merasa terancam, mungkin dia tidak menyadari sama sekali apa yang
terjadi sember kemarahanya. Oleh karena itu, baik perawat maupun klien harus
bersama-sama mengidentifikasinya.
Contoh stressor eksternal : serangan secara psikis, kehilangan hubungan
yang dianggap bermakna, dan adanya kritikan dari orang lain
Contoh stressor internal : merasa gagal dalam merasa kehilangan orang yang
dicintai, dan ketakutan terhadap penyakit yang di derita (Keliat, 1996 dalam
Abdul Muhith, 2015).
Perilaku kekerasan
No Diagnosa Perencanaan
T
Diagn Keperaw Intervensi
gl Tujuan Kriteria Evaluasi
osa atan
1 Perilaku 3. Klien 12. Klien dapat 1.8. Beri
kekerasan dapat mengungkapka kesempatan untuk
mengident n perasaannya mengungkapkan
ifikasi 13. Klien dapat perasaannya
penyebab mgngungkapka 1.9. Bantu klien
perilaku n penyabab untuk
kekerasan perasaan mengungkapkan
jengkel/ kesal penyebab
(dari diri jengkel/kesal
sendiri, dari
lingkungan/
orang lain)
4. Klien 1. Klien dapat
2.10. Anjurkan klien
dapat mengungkapka mengungkapkan
mengident n perasaan saat apa yang dialami
ifikasi marah/ jengkel saat marah/ jengkel
tanda- 2. Klien dapat
2.11. Observasi tanda
tanda menyimpulkan perilaku kekerasan
perilaku tanda-tanda pada klien
kekerasan jengkel/ kesal
2.12. Simpulkan
yang dialami bersama klien
tanda-tanda
jengkel/kesal yang
dialami klien
7. Klien 4. Klien dapat 3.9. Anjurkan klien
dapat mengungkapka untuk
mengident n perilaku mengungkapkan
ifikasi kekerasan yang perilaku kekerasan
perilaku biasa dilakukan yang biasa
kekerasan 5. Klien dapat dilakukan klien
yang biasa bermain peran 3.10. Bantu klien
dilakukan dengan bermain peran
perilaku sesuai dengan
kekerasan yang perilaku kekerasan
biasa dilakukan yang biasa
6. Klien dapat dilakukan
mengetahui 3.11. Bicarakan
cara yang biasa dengan klien
dapat apakah cara yang
menyesuaikan klien lakukan
masalah atau masalah selesai ?
tidak
8. Klien 6. Klien dapat 4.11. Bicarakan
dapat menjelaskan akibat/ kerugian
mengident akibat dari cara dari cara yang
ifikasi yang dilakukan klien
akibat digunakan 4.12. Bersaama klien
perilaku klien menyimpulkan
kekerasan akibat cara yang
digunakan klien
DO :
Badan bau, pakaian kotor, rambut
dan kulit kotor, kuku panjang dan
kotor, gigi kotor, mulut bau,
penampilan tidak rapih, tak bisa
menggunakan alat mandi.
No Diagnosa Perencanaan
Intervensi
Keperawatan Tujuan Kriteria Evaluasi
1) Klien dapat 1) Klien dapat mneyebutkan 1. Diskusikan bersama klien pentingnya
mengenal pentingnya kebersihan kebersiahn diri denagn cara menjelaskan
tentang diri dalam waktu 2 kali pengertian tentang arti bersih dan tanda-
penting nya pertemuan tanda bersih
kebersihan Tanda-tanda 2. Dorong klien untuk menyebutkan 3 dari
diri bersih 5 tanda kebersihan diri
Badan tidak bau
Rambut rapi,
bersih dan tidak
bau
Gigi bersih dan Diskusiakan fungsi kebersihan diri untuk
tidak bau mulut kesehatan dengan menggali
Baju rapi dan pengetahuyan klien terhadap hal yang
tidak bau berhubungan dengan kebersihan diri
2) Klien mampu Bantu klien mengungkapkan arti
menyebutkan kembali kebersiahn diri dan tujuan memelihara
kebersihan untuk kebersiahn diri
kesehatan
Beri reinforcement setelah klien mampu
mengungkapkan arti kebersihan diri