Anda di halaman 1dari 3

1.

ONTOLOGIS
Ontologi berasal dari dua kata onto dan logi, artinya ilmu tentang ada. Ontologi
adalah teori tentang ada dan realitas. Ontologi (ilmu hakikat) merupakan bagian dari
metafisika, dan metafisika merupakan salah satu bab dari filsafat. Meninjau persoalan
secara ontologis adalah mengadakan penyelidikan terhadap sifat dan realitas. Jadi,
ontologi adalah bagian dari metafisika yang mempelajari hakikat dan digunakan sebagai
dasar untuk memperoleh pengetahuan atau dengan kata lain menjawab tentang
pertanyaan apakah hakikat ilmu itu. Apa yang dapat kita alami dan amati secara langsung
adalah fakta, sehingga fakta ini disebut fakta empiris, meliputi seluruh aspek kehidupan
yang dapat diuji oleh panca indra.
Contoh ontologi dalam kehidupan sehari-hari yaitu meja. Dalam ontologi meja
yaitu menggunakan realitas tentang meja. Realitasnya adalah terdapat gambara atau ide
yang membuat kita mengenali sebuah meja. Tidak peduli berapa banyak model meja
yang ada, tidak peduli berapapun ukurannya, warnanya, dan fisiknya yang berbeda,
benda tersebut tetaplah sebuah meja. Inilah yang menjadi realitas dari ide dan gambaran
yang ada.
Diantara contoh pemikiran ontologi adalah pemikiran Thales, yang berpendapat
bahwa air-lah yang menjadi ultimate substance yang mengeluarkan semua benda. Jadi
asal semua benda hanya satu saja yaitu air. Berbeda dengan Anaximenes bahwa asas
pertama seluruh alam semesta dengan segala isinya adalah hawa atau udara.
Didalam pemahaman ontologi dapat diketemukan pemikiran monoisme, paham
ini menganggap hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu hanyalah satu saja, tidak
mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber yang asal, baik yang asal berupa
materi atau rohani. Kemudian paham ini terbagi dalam dua aliran yaitu:
1) Materialisme aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah
materi, bukan rohani.
2) Idealisme adalah aliran yang dinamakan juga dengan spritualisme, idealisme
berarti serba cita sedang spritualisme berarti serba ruh.
2. EPISTOMOLOGI
Epistemologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membahas teori ilmu
pengetahuan. Terdapat tiga persoalan pokok dalam bidang ini: (1) Apakah sumber
sumber pengetahuan itu? Dari manakah pengetahuan yang benar itu datang dan
bagaimana kita mengetahui? ini adalah persoalan tentang "asal" pengetahuan (2) apakah
watak pengetahuan itu? Apakah ada dunia yang benar-benar diluar pikiran kita, dan kalau
ada apakah kita dapat mengetahuinya? Ipi adalah persoalan tentang: apa yang kelihatan
versus hakikatnya (reality). (3) Apakah pengetahuan kita itu benar (valid)? Bagaimana
kita dapat membedakan yang benar dari yang salah? Ini adalah tentang mengkaji
kebenaran atau verifikasi pokok.
Contoh epistemologi dalam kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan
bagaimana kita mendapatkan ilmu pengetahuan contohnya yaitu kursi. Pertanyaannya
adalah, bagaimana kita bisa tahu bahwa benda tersebut adalah kursi? Dengan dan
berdasarkan hal apa kita bisa memiliki pemikiran dan anggapan bahwa itu benar-benar
sebuah kursi?
Awal mula tentu kita memiliki pengetahuan dan menangkap keberadaan tentang
kursi melalui pancaindra kita setelah itu mulai dilakukan analisa yang dilakukan akal
kita. Akal kemudian mengkategorikannya menjadi sebuah ilmu pengetahuan yang
membahas tentang kursi. Inilah yang menjadi praktek epistemologi dalam kehidupan
sehari-hari sama seperti benda-benda lainnya. 

3. AKSIOLOGI
Secara bahasa aksiologi berasal dari perkataan Axios (bahasa Yunani) yang berarti
nilai, dan kata Logos yang berarti; teori, jadi aksiologi mengandung pengertian; teori
tentang nilai. Sementara secara umum aksiologi dapat diartikan sebagai teori nilai yang
berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Dari berbagai capaian
manusia yang telah didapat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, telah banyak
memberikan daya manfaat dan daya guna bagi kehidupan manusia selama ini. Namun
demikian selama temuan yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi itu
memberikan
bermanfaat dan berguna tidaklah masalah, tetapi pertanyaan selanjutnya adalah jika
temuan teknologi itu berbentuk senjata dan sejenisnya.
Pada mulanya pembuatan senjata termasuk pembuatan bom ditujukan untuk
mempermudah kerja manusia dari berbagai kendala yang datangnya dari alam atau
lingkungan. Namun dalam perkembangannya ternyata temuan manusia tersebut tidak lagi
memberikan manfaat dan berguna tetapi justeru mendatangkan derita dan kehancuran
bagi kelangsungan hidup manusia lainnya. Oleh karena itu secara aksiologi atau teori
nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari suatu pengetahuan yang didapat oleh manusia,
dengan sendirinya dapat dikategorikan akan memberi manfaat dan berguna ataukah
sebaliknya.
Maka dalam perkembangan berikutnya kajian filsafat yang membahasa tentang aksiologi
ini melahirkan dua cabang filsafat yang kelak akan menjadi salah satu cabang induk suatu
pengetahuan; etika dan estetika. Karena bagaimanapun juga manusia tidak hanya dituntut
untuk bertindak dan berperilaku saja, tetapi nilai perilakunya seorang manusia itu
memiliki nilai daya guna atau sebaliknya merugikan orang lain. Kemudian
dikembangkan kajian ini menjadi kajian etika dan estetika dalam ilmu pengetahuan
manusia hingga kini.
Contoh dalam kehidupan sehari hari, teori aksiologi memiliki ranah di antaranya
yaitu tentang etika dan estetika. Apabila kita sudah memahami dan mengetahui tentang
suatu ilmu pengetahuan kemudian dilanjutkan dengan kajian aksiologi, aksiologi ini yang
akan membahas tentang manfaat yang didapatkan dari ilmu pengetahuan tersebut yang
didapatkan. Apakah ilmu pengetahuan tersebut dapat memberikan manfaat atau malah
sebaliknya. Jadi jika dikaitkan dengan 2 contoh di atas yaitu meja dan kursi, bisa
dikaitkan apakah pengetahuan tentang meja dan kursi tersebut dapat memberikan manfaat
di dalam kehidupan sehari-hari kita. Inilah contoh ontologi, epistemologi, dan aksiologi
yang saling berhubungan dalam kehidupan sehari-hari.
Sejak dalam tahap-tahap pertama pertumbuhannya ilmu sudah dikaitkan dengan
tujuan perang. Ilmu bukan saja digunakan, untuk menguasai alam melainkan juga untuk
memerangi sesama manusia dan menguasai mereka. Menghadapi kenyataan seperti ini,
ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam sebagaimana adanya mulai
mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya: untuk apa sebenamya ilmu itu harus
dipergunakan? Di mana batas wewenang penjelajahan keilmuan? Kearah mana
perkembangan keilmuan harus diarahkan? Petanyaan semacam ini jelas tidak merupakan
urgensi bagi ilmuwan seperti Copemicus, Galileo dan ilmuwan seangkatannya: namun
bagi ilmuwan yang hidup dalam abad kedua puluh yang telah mengalami dua kali perang
dunia dan hidup
dalam bayangan kekhawatiran perana dunia ketiaka pertanyaan-pertanyaan tak dapat
dielakkan. Dan untuk menjawab pertanyaan ini maka ilmuan berpaling kepada
hakikat moral.
Lahimya ilmu dan teknologi yang bei-dampak negatif; dalam hal ini seperti
tindakan kekerasan yang dilakukan oleh manusia baik secara individu maupun atas nama
kelompok atau Negara yang terjadi di abad ke 19 (perang duinia kedua) misalnya;
merupakah bukti bahwa ilmu sudah kehilangan nilai-nilai manfaat bagi kehidupan
manusia, sehingga dapat dipastikan bahwa,ruh aksiologi yang merupakan salah satu tiang
penyangga pada ilmu filsafat dan yang merupakan ciri dari ilmu itu sendiri menjadi semu
dan bahkan pada akhimya ilmu-ilmu lain yang lahir dari itupun akan menjadi kehilangan
makna. Oleh karenanya perlu adanya peninjauan ulang dari aksiologi yang lahir dari
pemikir atau ilmuan barat yang selama ini membius ilmuan-ilmuan dunia, khususnya
para ilmuwan muslim.

Anda mungkin juga menyukai