Anda di halaman 1dari 36

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN BPH

Diajukan untuk Memenuhi Tugas pada Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah II yang
diampu oleh Ns. Florentina Dian M. S.Kep., M. Kep

Disusun oleh:

Diah pitaloka 30120120008K


Feti Syaptiah 30121120012K
Rinda Novita Widyanti 30120120015K
Asep Perdinan Singadijaya 30120120026K
Muhamad Nizar Sehabudin 30120120029K

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SANTO BORROMEUS
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) merupakan penyakit yang umum yang menyerang
sistem reproduksi pada pria dewasa karena penyakit ini dipengaruhi oleh faktor umur
seseorang. Menurut Lewis (2005) Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) terjadi sekitar
50% pada pria umur 50 tahunke atas dan sekitar 90% pria pada usia 80 tahun ke atas.
Kurang lebih 25% membutuhkan terapi ketika mencapai umur 80 ke atas. Menurut
WHO (2004) penderita Benigna Prostat Hiperplasia diseluruh dunia mencapai
2.466.000 jiwa, sedangkan untuk benua asia mencapai 764.000 jiwa. Sedangkan
menurut badan pusat statistik Indonesia penderita benigna prostat hiperplasia
mencapai dan berdasarkan hasil rekam medik rumah sakit pandanarang boyolali pada
tahun 2012 adalah sebanyak 90 kasus dan awal tahun 2012 sampai april 2013 tecatat
131 kasus. Melihat jumlah penderita Benigna prostat hiperplasia cukup banyak dan
penatalaksanaannya juga bervariasi maka penulis tertarik untuk mempelajari lebih
dalam tentang Benigna Prostat Hiperplasia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan belakang masalah, kemudian melihat juga penyakit Benigna Prostat
Hiperplasia merupakan penyakit yang banyak diderita oleh pria dewasa,
Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Memahami gambaran asuhan keperawatan dengan Benigna Prostat Hiperplasia.
Dan mampu menggambarkan asuhan keperawatan pada pasien Benigna Prostat
Hiperplasia
2. Tujuan Khusus
a. Memahami pengkajian pada klien dengan Benigna Prostat Hiperplasia.
b. Memahami diagnosa keperawatan pada klien dengan Benigna Prostat
Hiperplasia.
c. Memahami rencana keperawatan pada klien dengan Benigna Prostat
Hiperplasia.
d. Memahami tindakan keperawatan pada klien dengan Benigna Prostat
Hiperplasia.
e. Memahami evaluasi asuhan keperawatan pada klien dengan Benigna Prostat
Hiperplasia.
f. Memahami pendokumentasikan asuhan keperawatan pada klien dengan
Benigna Prostat Hiperplasia.
C. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penulisan karya tulis ilmiahh ini adalah :
1. Manfaat Teoritis Menambah wawasan dalam ilmu keperawatan mengenai
peran perawat dalam upaya memberikan asuhan keperawatan pada pasien
dengan Benigna Prostat Hiperplasia.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Penulis
Menambah wawasan dan informasi penulis mengenai penyebab dan
penatalaksanaan Benigna Prostat Hiperplasia sebagai pertimbangan
asuhan keperawatan pada pasien Benigna Prostat Hiperplasia
b. Bagi Profesi
Menambah wawasan bagi perawat dan meningkatkan mutu asuhan
keperawatan pada penderita Benigna Prostat Hiperplasia secara tepat.
c. Bagi Masyarakat
Untuk memberikan informasi tetnang peran perawat dalam memberikan
pelayanan perawatan khususnya pada asuhan keperawatan pada Benigna
Prostat Hiperplasia
d. Bagi bidang ilmu keperawatan
Meningkatkan wawasan keilmuan dalam memberikan asuhan
keperawatan khususnya asuhan keperawatan pada pasien BPH
BAB II
TINJAUN TEORITIS
A. Pengertian

Ada beberapa pengertian penyakit Benigna Prostate Hiperplasia


(BPH) menurut beberapa ahli adalah :

1. Benigna Prostate Hiperplasia (BPH) merupakan perbesaran


kelenjar prostat, memanjang ke atas kedalam kandung kemih
dan menyumbat aliran urin dengan menutupi orifisium uretra
akibatnya terjadi dilatasi ureter (hidroureter) dan ginjal
(hidronefrosis) secara bertahap (Smeltzer dan Bare, 2002).
2. BPH merupakakan pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa
majemuk dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari
bagian periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh
dengan menekan kelenjar normal yang tersisa, prostat tersebut
mengelilingi uretra dan, dan pembesaran bagian periuretral
menyebabkan obstruksi leher kandung kemih dan uretra
parsprostatika yang menyebabkan aliran kemih dari kandung
kemih (Price dan Wilson, 2006).
3. BPH merupakan suatu keadaan yang sering terjadi pada pria
umur 50 tahun atau lebih yang ditandai dengan terjadinya
perubahan pada prostat yaitu prostat mengalami atrofi dan
menjadi nodular, pembesaran dari beberapa bagian kelenjar ini
dapat mengakibatkan obstruksi urine ( Baradero, Dayrit, dkk,
2007).
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa
Benigna Prostat Hiperplasi (BPH) merupakan penyakit pembesaran
prostat yang disebabkan oleh proses penuaan, yang biasa dialami
oleh pria berusia 50 tahun keatas, yang mengakibatkan obstruksi
leher kandung kemih, dapat menghambat pengosongan kandung
kemih dan menyebabkan gangguan perkemihan.
B. Tahapan Perkembangan Penyakit BPH
Berdasarkan perkembangan penyakitnya menurut Sjamsuhidajat dan
De jong (2005) secara klinis penyakit BPH dibagi menjadi 4 gradiasi
:
Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada colok
dubur ditemukan penonjolan prostat, batas atas
mudah teraba dan sisa urin kurang dari 50 ml
Derajat 2 : Ditemukan penonjolan prostat lebih jelas pada colok
dubur dan batas atas dapat dicapai, sedangkan sisa
volum urin 50- 100 ml.
Derajat 3 : Pada saat dilakukan pemeriksaan colok dubur batas atas
prostat tidak dapat diraba dan sisa volum urin lebih
dari 100ml.
Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi urine total

C. Anatomi dan Fisiologi Prostat


1. Anatomi Prostat
Menurut Wibowo dan Paryana (2009). Kelenjar prostat
terletak dibawah kandung kemih, mengelilingi uretra posterior
dan disebelah proksimalnya berhubungan dengan buli-buli,
sedangkan bagian distalnya kelenjar prostat ini menempel pada
diafragma urogenital yang sering disebut sebagai otot dasar
panggul. Gambar letak prostat terlihat di gambar 2.1
Gambar 2. 1 : Letak anatomi
prostat ( Hidayat,
2009 )

Prostat terdiri atas kelenjar majemuk, saluran-saluran,


dan otot polos Prostat dibentuk oleh jaringan kelenjar dan
jaringan fibromuskular. Prostat dibungkus oleh capsula fibrosa
dan bagian lebih luar oleh fascia prostatica yang tebal. Diantara
fascia prostatica dan capsula fibrosa terdapat bagian yang berisi
anyaman vena yang disebut plexus prostaticus. Fascia
prostatica berasal dari fascia pelvic yang melanjutkan diri ke
fascia superior diaphragmatic urogenital, dan melekat pada os
pubis dengan diperkuat oleh ligamentum puboprostaticum.
Bagian posterior fascia prostatica membentuk lapisan lebar dan
tebal yang disebut fascia Denonvilliers. Fascia ini sudah dilepas
dari fascia rectalis dibelakangnya. Hal ini penting bagi tindakan
operasi prostat ( Purnomo, 2011).

Kelenjar prostat merupakan suatu kelenjar yang terdiri dari 30-50


kelenjar yang terbagi atas empat lobus, lobus posterior, lobus lateral,
lobus anterior, dan lobus medial. Lobus posterior yang terletak di
belakang uretra dan dibawah duktus ejakulatorius, lobus lateral yang
terletak dikanan uretra, lobus anterior atau isthmus yang terletak
di depan uretra dan menghubungkan lobus dekstra dan lobus
sinistra, bagian ini tidak mengandung kelenjar dan hanya berisi
otot polos, selanjutnya lobus medial yang terletak diantara uretra
dan duktus ejakulatorius, banyak mengandung kelenjar dan
merupakan bagian yang menyebabkan terbentuknya uvula
vesicae yang menonjol kedalam vesica urinaria bila lobus
medial ini membesar. Sebagai akibatnya dapat terjadi bendungan
aliran urin pada waktu berkemih (Wibowo dan Paryana, 2009).
Kelenjar ini pada laki-laki dewasa kurang lebih sebesar
buah walnut atau buah kenari besar. Ukuran, panjangnya sekitar
4 - 6 cm, lebar 3 - 4 cm, dan tebalnya kurang lebih 2 - 3 cm
dengan berat sekitar
20 gram. Bagian- bagian prostat terdiri dari 50 – 70 % jaringan
kelenjar, 30 – 50 % adalah jaringan stroma (penyangga) dan
kapsul/muskuler. Bagian prostat terlihat di gambar 2.2.

Gambar 2.2 : Bagian


prostat (Hidayat,
2009)
Prostat merupakan inervasi otonomik simpatik dan
parasimpatik dari pleksus prostatikus atau pleksus pelvikus yang
menerima masukan serabut parasimpatik dari korda spinalis dan
simpatik dari nervus hipogastrikus. Rangsangan parasimpatik
meningkatkan sekresi kelenjar pada epitel prostat, sedangkan
rangsangan simpatik menyebabkan pengeluaran cairan prostat
kedalam uretra posterior, seperti pada saat ejakulasi. System
simpatik memberikan inervasi pada otot polos prostat, kapsula
prostat, dan leher buli-buli. Ditempat itu terdapat banyak
reseptor adrenergic. Rangsangan simpatik menyebabkan
dipertahankan tonus otot tersebut. Pada usia lanjut sebagian pria
akan mengalami pembesaran kelenjar prostat akibat hiperplasi
jinak sehingga dapat menyumbat uretra posterior dan
mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran kemih (Purnomo,
2011).

2. Fisiologi
Menurut Purnomo (2011) fisiologi prostat adalah suatu
alat tubuh yang tergantung kepada pengaruh endokrin.
Pengetahuan mengenai sifat endokrin ini masih belum pasti.
Bagian yang peka terhadap estrogen adalah bagian tengah,
sedangkan bagian tepi peka terhadap androgen. Oleh karena itu
pada orang tua bagian tengahlah yang mengalami hiperplasi
karena sekresi androgen berkurang sehingga kadar estrogen
relatif bertambah. Sel-sel kelenjar prostat dapat membentuk
enzim asam fosfatase yang paling aktif bekerja pada pH 5.
Kelenjar prostat mensekresi sedikit cairan yang berwarna
putih susu dan bersifat alkalis. Cairan ini mengandung asam
sitrat, asam fosfatase, kalsium dan koagulase serta fibrinolisis.
Selama pengeluaran cairan prostat, kapsul kelenjar prostat akan
berkontraksi bersamaan dengan kontraksi vas deferen dan cairan
prostat keluar bercampur dengan semen yang lainnya. Cairan
prostat merupakan 70% volume
cairan ejakulat dan berfungsi memberikan makanan spermatozon
dan menjaga agar spermatozon tidak cepat mati di dalam tubuh
wanita, dimana sekret vagina sangat asam (pH: 3,5-4). Cairan ini
dialirkan melalui duktus skretorius dan bermuara di uretra
posterior untuk kemudian dikeluarkan bersama cairan semen
yang lain pada saat ejakulasi. Volume cairan prostat kurang lebih
25% dari seluruh volume ejakulat. Dengan demikian sperma
dapat hidup lebih lama dan dapat melanjutkan perjalanan menuju
tuba uterina dan melakukan pembuahan, sperma tidak dapat
bergerak optimal sampai pH cairan sekitarnya meningkat 6
sampai 6,5 akibatnya mungkin bahwa cairan prostat menetralkan
keasaman cairan dan lain tersebut setelah ejakulasi dan sangat
meningkatkan pergerakan dan fertilitas sperma ( Wibowo dan
Paryana, 2009 ).

D. Etiologi
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti
etiologi/penyebab terjadinya BPH, namun beberapa hipotesisi
menyebutkan bahwa BPH erat kaitanya dengan peningkatan kadar
dehidrotestosteron (DHT) dan proses menua. Terdapat perubahan
mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia 30-40 tahun.
Bila perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi perubahan
patologik anatomi yang ada pada pria usia 50 tahun, dan angka
kejadiannya sekitar 50%, untuk usia 80 tahun angka kejadianya
sekitar 80%, dan usia 90 tahun
sekiatr 100% (Purnomo, 2011)
Etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa
hipotesa yang diduga menjadi penyebab timbulnya Benigna Prosat,
teori penyebab BPH menurut Purnomo (2011) meliputi, Teori
Dehidrotestosteron (DHT), teori hormon (ketidakseimbangan antara
estrogen dan testosteron), faktor interaksi stroma dan epitel-epitel,
teori berkurangnya kematian sel (apoptosis), teori sel stem.
1. Teori Dehidrotestosteron (DHT)

Dehidrotestosteron/ DHT adalah metabolit androgen yang


sangat penting pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat.
Aksis hipofisis testis dan reduksi testosteron menjadi
dehidrotestosteron (DHT) dalam sel prostad merupakan factor
terjadinya penetrasi DHT kedalam inti sel yang dapat
menyebabkan inskripsi pada RNA, sehingga dapat
menyebabkan terjadinya sintesis protein yang menstimulasi
pertumbuhan sel prostat. Pada berbagai penelitian dikatakan
bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh berbeda dengan
kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas
enzim 5alfa –reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih
banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat pada
BPH lebih sensitive terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih
banyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal.
2. Teori hormone ( ketidakseimbangan antara estrogen dan
testosteron) Pada usia yang semakin tua, terjadi penurunan
kadar testosteron sedangkan kadar estrogen relative tetap,
sehingga terjadi perbandingan antara kadar estrogen dan
testosterone relative meningkat. Hormon estrogen didalam
prostat memiliki peranan dalam terjadinya poliferasi sel-sel
kelenjar prostat dengan cara meningkatkan jumlah reseptor
androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat
(apoptosis). Meskipun rangsangan terbentuknya sel-sel baru
akibat rangsangan testosterone meningkat, tetapi sel-sel prostat
telah ada mempunyai umur yang lebih panjang sehingga masa
prostat jadi lebih besar.
3. Faktor interaksi Stroma dan epitel epitel.
Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol
oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator yang disebut Growth factor. Setelah
sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma
mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma
itu sendiri intrakrin

dan autokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel parakrin.


Stimulasi itu menyebabkan terjadinya poliferasi sel-sel epitel
maupun sel stroma. Basic Fibroblast Growth Factor (bFGF)
dapat menstimulasi sel stroma dan ditemukan dengan
konsentrasi yang lebih besar pada pasien dengan pembesaran
prostad jinak. bFGF dapat diakibatkan oleh adanya
mikrotrauma karena miksi, ejakulasi atau infeksi.
4. Teori berkurangnya kematian sel (apoptosis)
Progam kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah
mekanisme fisiologik untuk mempertahankan homeostatis
kelenjar prostat. Pada apoptosis terjadi kondensasi dan
fragmentasi sel, yang selanjutnya sel-sel yang mengalami
apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel di sekitarnya,
kemudian didegradasi oleh enzim lisosom. Pada jaringan
normal, terdapat keseimbangan antara laju poliferasi sel
dengan kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat
sampai pada prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel
prostat baru dengan yang mati dalam keadaan seimbang.
Berkurangnya jumlah sel-sel prostat baru dengan prostat yang
mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat
secara keseluruhan menjadi meningkat, sehingga terjadi
pertambahan masa prostat.
5. Teori sel stem
Sel-sel yang telah apoptosis selalu dapat diganti dengan sel-sel
baru. Didalam kelenjar prostat istilah ini dikenal dengan suatu
sel stem, yaitu sel yang mempunyai kemampuan berpoliferasi
sangat ekstensif. Kehidupan sel ini sangat tergantung pada
keberadaan hormone androgen, sehingga jika hormone
androgen kadarnya menurun, akan terjadi apoptosis.
Terjadinya poliferasi sel-sel BPH dipostulasikan sebagai
ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi
yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel.
E. Patofisiologi
Hiperplasi prostat adalah pertumbuhan nodul-nodul
fibroadenomatosa majemuk dalam prostat, pertumbuhan tersebut
dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan
tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa. Jaringan
hiperplastik terutama terdiri dari kelenjar dengan stroma fibrosa
dan otot polos yang jumlahnya berbeda-beda. Proses pembesaran
prostad terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada
saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal
setelah terjadi pembesaran prostad, resistensi pada leher buli-buli
dan daerah prostad meningkat, serta otot destrusor menebal dan
merenggang sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase
penebalan destrusor disebut fase kompensasi, keadaan berlanjut,
maka destrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami
dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi/terjadi
dekompensasi sehingga terjadi retensi urin. Pasien tidak bisa
mengosongkan vesika urinaria dengan sempurna, maka akan terjadi
statis urin. Urin yang statis akan menjadi alkalin dan media yang
baik untuk pertumbuhan bakteri ( Baradero, dkk 2007).
Obstruksi urin yang berkembang secara perlahan-lahan dapat
mengakibatkan aliran urin tidak deras dan sesudah berkemih masih
ada urin yang menetes, kencing terputus-putus (intermiten), dengan
adanya obstruksi maka pasien mengalami kesulitan untuk memulai
berkemih (hesitansi). Gejala iritasi juga menyertai obstruksi urin.
Vesika urinarianya mengalami iritasi dari urin yang tertahan
tertahan didalamnya sehingga pasien merasa bahwa vesika
urinarianya tidak menjadi kosong setelah berkemih yang
mengakibatkan interval disetiap berkemih lebih pendek (nokturia
dan frekuensi), dengan adanya gejala iritasi pasien mengalami
perasaan ingin berkemih yang mendesak/ urgensi dan nyeri saat
berkemih /disuria ( Purnomo, 2011).
Tekanan vesika yang lebih tinggi daripada tekanan sfingter
dan obstruksi, akan terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik

menyebabkan refluk vesiko ureter, hidroureter, hidronefrosis dan


gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi.
Pada waktu miksi penderita harus mengejan sehingga lama
kelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid. Karena selalu
terdapat sisa urin, dapat menyebabkan terbentuknya batu endapan
didalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi
dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat juga
menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluk akan mengakibatkan
pielonefritis (Sjamsuhidajat dan De jong, 2005).

F. Manifestasi Klinis
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran
kemih maupun keluhan diluar saluran kemih. Menurut Purnomo
(2011) dan tanda dan gejala dari BPH yaitu : keluhan pada saluran
kemih bagian bawah, gejala pada saluran kemih bagian atas, dan
gejala di luar saluran kemih.
1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
a. Gejala obstruksi meliputi : Retensi urin (urin tertahan
dikandung kemih sehingga urin tidak bisa keluar),
hesitansi (sulit memulai miksi), pancaran miksi lemah,
Intermiten (kencing terputus-putus), dan miksi tidak puas
(menetes setelah miksi)
b. Gejala iritasi meliputi : Frekuensi, nokturia, urgensi
(perasaan ingin miksi yang sangat mendesak) dan disuria
(nyeri pada saat miksi).
2. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat hiperplasi prostat pada sluran kemih
bagian atas berupa adanya gejala obstruksi, seperti nyeri
pinggang, benjolan dipinggang (merupakan tanda dari
hidronefrosis), atau demam yang merupakan tanda infeksi
atau urosepsis.

3. Gejala diluar saluran kemih


Pasien datang diawali dengan keluhan penyakit
hernia inguinalis atau hemoroid. Timbulnya penyakit ini
dikarenakan sering mengejan pada saan miksi sehingga
mengakibatkan tekanan intraabdominal. Adapun gejala dan
tanda lain yang tampak pada pasien BPH, pada pemeriksaan
prostat didapati membesar, kemerahan, dan tidak nyeri tekan,
keletihan, anoreksia, mual dan muntah, rasa tidak nyaman
pada epigastrik, dan gagal ginjal dapat terjadi dengan retensi
kronis dan volume residual yang besar.

G. Penatalaksanaan
1. Observasi
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan.
Pasien dianjurkan untuk mengurangi minum setelah makan
malam yang ditujukan agar tidak terjadi nokturia, menghindari
obat-obat dekongestan (parasimpatolitik), mengurangi minum
kopi dan tidak diperbolehkan minum alkohol agar tidak terlalu
sering miksi. Pasien dianjurkan untuk menghindari mengangkat
barang yang berat agar perdarahan dapat dicegah. Ajurkan
pasien agar sering mengosongkan kandung kemih (jangan
menahan kencing terlalu lama) untuk menghindari distensi
kandung kemih dan hipertrofi kandung kemih. Secara periodik
pasien dianjurkan untuk melakukan control keluhan,
pemeriksaan laboratorium, sisa kencing dan pemeriksaan colok
dubur (Purnomo, 2011).
Pemeriksaan derajat obstruksi prostat menurut Purnomo
(2011) dapat diperkirakan dengan mengukur residual urin dan
pancaran urin:
a. Residual urin, yaitu jumlah sisa urin setelah miksi. Sisa
urin dapat diukur dengan cara melakukan kateterisasi
setelah miksi atau ditentukan dengan pemeriksaan USG
setelah miksi.

b. Pancaran urin (flow rate), dapat dihitung dengan cara


menghitung jumlah urin dibagi dengan lamanya miksi
berlangsung (ml/detik) atau dengan alat urofometri yang
menyajikan gambaran grafik pancaran urin.
2. Terapi medikamentosa
Menurut Baradero dkk (2007) tujuan dari obat-obat yang
diberikan pada penderita BPH adalah :
a. Mengurangi pembesaran prostat dan membuat
otot-otot berelaksasi untuk mengurangi
tekanan pada uretra
b. Mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan
golongan alfa blocker (penghambat alfa adrenergenik)
c. Mengurangi volum prostat dengan menentuan kadar
hormone testosterone/ dehidrotestosteron (DHT).
Adapun obat-obatan yang sering digunakan pada pasien BPH,
menurut Purnomo (2011) diantaranya : penghambat
adrenergenik alfa, penghambat enzin 5 alfa reduktase,
fitofarmaka.
1) Penghambat adrenergenik alfa
Obat-obat yang sering dipakai adalah prazosin,
doxazosin,terazosin,afluzosin atau yang lebih selektif alfa 1a
(Tamsulosin). Dosis dimulai 1mg/hari sedangkan dosis
tamsulosin adalah 0,2-0,4 mg/hari. Penggunaaan antagonis
alfa 1 adrenergenik karena secara selektif dapat mengurangi
obstruksi pada buli-buli tanpa merusak kontraktilitas
detrusor. Obat ini menghambat reseptor-reseptor yang
banyak ditemukan pada otot polos di trigonum, leher vesika,
prostat, dan kapsul prostat sehingga terjadi relakasi didaerah
prostat. Obat-obat golongan ini dapat memperbaiki keluhan
miksi dan laju pancaran urin. Hal ini akan menurunkan
tekanan pada uretra pars prostatika sehingga gangguan aliran
air seni dan gejala-gejala berkurang. Biasanya pasien mulai
merasakan berkurangnya keluhan dalam 1-2 minggu setelah
ia mulai memakai obat. Efek samping yang mungkin timbul

adalah pusing, sumbatan di hidung dan lemah. Ada obat-obat


yang menyebabkan ekasaserbasi retensi urin maka perlu
dihindari seperti antikolinergenik, antidepresan,
transquilizer, dekongestan, obat- obat ini mempunyai efek
pada otot kandung kemih dan sfingter uretra.
2) Pengahambat enzim 5 alfa reduktase
Obat yang dipakai adalah finasteride (proscar) dengan dosis
1X5 mg/hari. Obat golongan ini dapat menghambat
pembentukan DHT sehingga prostat yang membesar akan
mengecil. Namun obat ini bekerja lebih lambat dari golongan
alfa bloker dan manfaatnya hanya jelas pada prostat yang
besar. Efektifitasnya masih diperdebatkan karena obat ini
baru menunjukkan perbaikan sedikit/
28 % dari keluhan pasien setelah 6-12 bulan pengobatan bila
dilakukan terus menerus, hal ini dapat memperbaiki keluhan
miksi dan pancaran miksi. Efek samping dari obat ini
diantaranya adalah libido, impoten dan gangguan ejakulasi.
3) Fitofarmaka/fitoterapi
Penggunaan fitoterapi yang ada di Indonesia antara lain
eviprostat. Substansinya misalnya pygeum africanum, saw
palmetto, serenoa repeus dll. Afeknya diharapkan terjadi
setelah pemberian selama 1- 2 bulan dapat memperkecil
volum prostat.

3. Terapi bedah
Pembedahan adalah tindakan pilihan, keputusan untuk
dilakukan pembedahan didasarkan pada beratnya obstruksi,
adanya ISK, retensio urin berulang, hematuri, tanda penurunan
fungsi ginjal, ada batu saluran kemih dan perubahan fisiologi
pada prostat. Waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi
tergantung pada beratnya gejala dan komplikasi. Menurut
Smeltzer dan Bare (2002) intervensi bedah yang dapat dilakukan
meliputi : pembedahan terbuka dan pembedahan endourologi.

a. Pembedahan terbuka, beberapa teknik operasi prostatektomi


terbuka yang biasa digunakan adalah :
1) Prostatektomi suprapubik
Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui
insisi abdomen. Insisi dibuat dikedalam kandung kemih,
dan kelenjar prostat diangat dari atas. Teknik demikian
dapat digunakan untuk kelenjar dengan segala ukuran, dan
komplikasi yang mungkin terjadi ialah pasien akan
kehilangan darah yang cukup banyak dibanding dengan
metode lain, kerugian lain yang dapat terjadi adalah insisi
abdomen akan disertai bahaya dari semua prosedur bedah
abdomen mayor.
2) Prostatektomi perineal
Adalah suatu tindakan dengan mengangkat kelenjar
melalui suatu insisi dalam perineum. Teknik ini lebih
praktis dan sangat berguan untuk biopsy terbuka. Pada
periode pasca operasi luka bedah mudah terkontaminasi
karena insisi dilakukan dekat dnegan rectum. Komplikasi
yang mungkin terjadi dari tindakan ini adalah
inkontinensia, impotensi dan cedera rectal.
3) Prostatektomi retropubik
Adalah tindakan lain yang dapat dilakukan, dengan cara
insisi abdomen rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu
antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki
kandung kemih. Teknik ini sangat tepat untuk kelenjar
prostat yang terletak tinggi dalam pubis. Meskipun jumlah
darah yang hilang lebih dapat dikontrol dan letak
pembedahan lebih mudah dilihat, akan tetapi infeksi dapat
terjadi diruang retropubik.
Gambar. 2.3 Terapi
Bedah (Smeltzer
dan Bare, 2002)

b. Pembedahan endourologi, pembedahan endourologi


transurethral dapat dilakukan dengan memakai tenaga elektrik
diantaranya:
1) Transurethral Prostatic Resection (TURP)
Merupakan tindakan operasi yang paling banyak
dilakukan, reseksi kelenjar prostat dilakukan dengan
transuretra menggunakan cairan irigan (pembilas) agar
daerah yang akan dioperasi tidak tertutup darah. Indikasi
TURP ialah gejala-gejala sedang sampai berat, volume
prostat kurang dari 90 gr.Tindakan ini dilaksanakan apabila
pembesaran prostat terjadi dalam lobus medial yang
langsung mengelilingi uretra. Setelah TURP yang memakai
kateter threeway. Irigasi kandung kemih secara terus
menerus dilaksanakan untuk mencegah pembekuan darah.
Manfaat pembedahan TURP antara lain tidak
meninggalkan atau bekas sayatan serta waktu operasi dan
waktu tinggal dirumah sakit lebih singkat.Komplikasi
TURP adalah rasa tidak enak pada

kandung kemih, spasme kandung kemih yang terus


menerus, adanya perdarahan, infeksi, fertilitas (Baradero
dkk, 2007).
2) Transurethral Incision of the Prostate (TUIP)
Adalah prosedur lain dalam menangani BPH. Tindakan ini
dilakukan apabila volume prostat tidak terlalu besar atau
prostat fibrotic. Indikasi dari penggunan TUIP adalah
keluhan sedang atau berat, dengan volume prostat
normal/kecil (30 gram atau kurang). Teknik yang
dilakukan adalah dengan memasukan instrument kedalam
uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat pada prostat dan
kapsul prostat untuk mengurangi tekanan prostat pada
uretra dan mengurangi konstriksi uretral. Komplikasi dari
TUIP adalah pasien bisa mengalami ejakulasi retrograde
(0-37%) (Smeltzer dan Bare, 2002).
3) Terapi invasive minimal
Menurut Purnomo (2011) terapai invasive minimal
dilakukan pada pasien dengan resiko tinggi terhadap
tindakan pembedahan. Terapi invasive minimal
diantaranya Transurethral Microvawe Thermotherapy
(TUMT), Transuretral Ballon Dilatation (TUBD),
Transuretral Needle Ablation/Ablasi jarum Transuretra
(TUNA), Pemasangan stent uretra atau prostatcatt.

a) Transurethral Microvawe Thermotherapy (TUMT),


jenis pengobatan ini hanya dapat dilakukan di beberapa
rumah sakit besar. Dilakukan dengan cara pemanasan
prostat menggunakan gelombang mikro yang
disalurkan ke kelenjar prostat melalui transducer yang
diletakkan di uretra pars prostatika, yang diharapkan
jaringan prostat menjadi lembek. Alat yang dipakai
antara lain prostat.
b) Transuretral Ballon Dilatation (TUBD), pada tehnik
ini dilakukan dilatasi (pelebaran) saluran kemih yang
berada di prostat dengan menggunakan balon yang
dimasukkan melalui kateter. Teknik ini efektif pada
pasien dengan prostat kecil,

kurang dari 40 cm3. Meskipun dapat menghasilkan


perbaikan gejala sumbatan, namun efek ini hanya
sementar, sehingga cara ini sekarang jarang digunakan.
c) Transuretral Needle Ablation (TUNA), pada teknik ini
memakai energy dari frekuensi radio yang
menimbulkan panas mencapai 100 derajat selsius,
sehingga menyebabkan nekrosis jaringan prostat.
Pasien yang menjalani TUNA sering kali mengeluh
hematuri, disuria, dan kadang-kadang terjadi retensi
urine (Purnomo, 2011).
d) Pemasangan stent uretra atau prostatcatth yang
dipasang pada uretra prostatika untuk mengatasi
obstruksi karena pembesaran prostat, selain itu supaya
uretra prostatika selalu terbuka, sehingga urin leluasa
melewati lumen uretra prostatika. Pemasangan alat ini
ditujukan bagi pasien yang tidak mungkin menjalani
operasi karena resiko pembedahan yang cukup tinggi.

H. Komplikasi

Menurut Sjamsuhidajat dan De Jong (2005) komplikasi BPH adalah :

1. Retensi urin akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi

2. Infeksi saluran kemih

3. Involusi kontraksi kandung kemih

4. Refluk kandung kemih

5. Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin


terus berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi
menampung urin yang akan mengakibatkan tekanan intravesika
meningkat.
6. Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi

7. Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat


terbentuk batu endapan dalam buli-buli, batu ini akan menambah
keluhan iritasi. Batu tersebut dapat pula menibulkan sistitis, dan
bila terjadi refluks dapat mengakibatkan pielonefritis.

8. Hernia atau hemoroid lama-kelamaan dapat terjadi dikarenakan


pada waktu miksi pasien harus mengedan.

I. Pengkajian Fokus

Pengkajian fokus keperawatan yang perlu diperhatikan pada


penderita BPH merujuk pada teori menurut Smeltzer dan Bare
(2002) , Tucker dan Canobbio (2008) ada berbagai macam,
meliputi :
a. Demografi

Kebanyakan menyerang pada pria berusia diatas 50 tahun. Ras


kulit hitam memiliki resiko lebih besar dibanding dengan ras kulit
putih. Status social ekonomi memili peranan penting dalam
terbentuknya fasilitas kesehatan yang baik. Pekerjaan memiliki
pengaruh terserang penyakit ini, orang yang pekerjaanya
mengangkat barang-barang berat memiliki resiko lebih tinggi..
b. Riwayat penyakit sekarang

Pada pasien BPH keluhan keluhan yang ada adalah frekuensi ,


nokturia, urgensi, disuria, pancaran melemah, rasa tidak puas
sehabis miksi, hesistensi ( sulit memulai miksi), intermiten
(kencing terputus-putus), dan waktu miksi memanjang dan
akhirnya menjadi retensi urine.
c. Riwayat penyakit dahulu

Kaji apakah memilki riwayat infeksi saluran kemih (ISK), adakah


riwayat mengalami kanker prostat. Apakah pasien pernah
menjalani pembedahan prostat / hernia sebelumnya.
d. Riwayat kesehatan keluarga

Kaji adanya keturunan dari salah satu anggota keluarga yang


menderita penyakit BPH.
e. Pola kesehatan fungsional

1) Eliminasi

Pola eliminasi kaji tentang pola berkemih, termasuk


frekuensinya, ragu ragu, menetes, jumlah pasien harus bangun
pada malam hari untuk berkemih (nokturia), kekuatan system
perkemihan. Tanyakan pada pasien apakah mengedan untuk
mulai atau mempertahankan aliran kemih. Pasien ditanya
tentang defikasi, apakah ada kesulitan seperti konstipasi
akibat dari prostrusi prostat kedalam rectum.
2) Pola nutrisi dan metabolisme
Kaji frekuensi makan, jenis makanan, makanan pantangan,
jumlah minum tiap hari, jenis minuman, kesulitan menelan
atau keadaan yang mengganggu nutrisi seperti anoreksia,
mual, muntah, penurunan BB.
3) Pola tidur dan istirahat
Kaji lama tidur pasien, adanya waktu tidur yang berkurang
karena frekuensi miksi yang sering pada malam hari

( nokturia).
4) Nyeri/kenyamanan
Nyeri supra pubis, panggul atau punggung, tajam, kuat, nyeri
punggung bawah
5) Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Pasien ditanya tentang kebiasaan merokok, penggunaan obat-
obatan, penggunaan alkhohol.
6) Pola aktifitas
Tanyakan pada pasien aktifitasnya sehari – hari, aktifitas
penggunaan waktu senggang, kebiasaan berolah raga.
Pekerjaan mengangkat beban berat. Apakah ada perubahan
sebelum sakit dan selama sakit. Pada umumnya aktifitas
sebelum operasi tidak mengalami gangguan, dimana pasien
masih mampu memenuhi kebutuhan sehari – hari sendiri.
7) Seksualitas
Kaji apakah ada masalah tentang efek kondisi/terapi pada
kemampua seksual akibat adanya penurunan kekuatan
ejakulasi dikarenakan oleh pembesaran dan nyeri tekan pada
prostat.
8) Pola persepsi dan konsep diri
Meliputi informasi tentang perasaan atau emosi yang dialami
atau dirasakan pasien sebelum pembedahan dan sesudah
pembedahan

pasien biasa cemas karena kurangnya pengetahuan terhadap


perawatan luka operasi.
f. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Purnomo (2011) dan Baradero dkk (2007) pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan pada penderita BPH meliputi :
1) Laboratorium
a) Analisi urin dan pemeriksaan mikroskopik urin penting
dilakukan untuk melihat adanya sel leukosit, bakteri dan
infeksi. Pemeriksaan kultur urin berguna untuk
menegtahui kuman penyebab infeksi dan sensitivitas
kuman terhadap beberapa antimikroba.
b) Pemeriksaan faal ginjal, untuk mengetahui kemungkinan
adanya penyulit yang menegenai saluran kemih bagian
atas. Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah
merupakan informasi dasar dari fungsin ginjal dan status
metabolic.
c) Pemeriksaan prostate specific antigen (PSA) dilakukan
sebagai dasar penentuan perlunya biopsy atau sebagai
deteksi dini keganasan. Bila nilai PSA <4ng/ml tidak
perlu dilakukan biopsy. Sedangkan bila nilai PSA 4-10
ng/ml, hitunglah prostate specific antigen density (PSAD)
lebih besar sama dengan 0,15 maka sebaiknya dilakukan
biopsy prostat, demikian pula bila nila PSA > 10 ng/ml.

2) Radiologis/pencitraan
Menurut Purnomo (2011) pemeriksaan radiologis bertujuan
untuk memperkirakan volume BPH, menentukan derajat
disfungsi buli- buli dan volume residu urin serta untuk
mencari kelainan patologi lain, baik yang berhubungan
maupun tidak berhubungan dengan BPH.
a) Foto polos abdomen, untuk mengetahui kemungkinan
adanya batu opak di saluran kemih, adanya batu/kalkulosa
prostat, dan adanya bayangan buli-buli yang penuh dengan
urin sebagai tanda

adanya retensi urin. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik


sebagai tanda metastasis dari keganasan prostat, serta
osteoporosis akbibat kegagalan ginjal.
b) Pemeriksaan Pielografi intravena ( IVP ), untuk
mengetahui kemungkinan adanya kelainan pada ginjal
maupun ureter yang berupa hidroureter atau hidronefrosis.
Dan memperkirakan besarnya kelenjar prostat yang
ditunjukkan dengan adanya indentasi prostat (pendesakan
buli-buli oleh kelenjar prostat) atau ureter dibagian distal
yang berbentuk seperti mata kail (hooked fish)/gambaran
ureter berbelok-belok di vesika, penyulit yang terjadi pada
buli-buli yaitu adanya trabekulasi, divertikel atau sakulasi
buli-buli.
c) Pemeriksaan USG transektal, untuk mengetahui besar
kelenjar prostat, memeriksa masa ginjal, menentukan
jumlah residual urine, menentukan volum buli-buli,
mengukur sisa urin dan batu ginjal, divertikulum atau
tumor buli-buli, dan mencari kelainan yang mungkin ada
dalam buli-buli.
J. Diagnosa Keperawatan
7) dan
Diagnosa keperawatan pada penyakit BPH menurut Carpenito (200
Tucker dan Canobbio (2008) adalah :
1. Pre Operasi
a. Retensi urin akut/kronis berhubungan dengan obstruksi mekanik,
pembesaran prostat, dekompensasi otot destrusor, ketidakmampuan
kandung kemih untuk berkontraksi dengan adekuat.
b. Nyeri akut berhubungan dengan peregangan dari terminal saraf, distensi
kandung kemih, infeksi urinaria, efek mengejan saat miksi sekunder dari
pembesaran prostat dan obstruksi uretra.
c. Ansietas/cemas berhubungan dengan krisis situasi, perubahan status
kesehatan, kekhawatiran tentang pengaruhnya pada ADL atau
menghadapi prosedur bedah.
d. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan kurangnya informasi.
2. Post Operasi
a. Retensi urin berhubungan dengan obstruksi mekanik: bekuan darah,
edema, trauma, prosedur bedah, tekanan dan iritasi kateter.
b. Nyeri akut berhubungan dengan spasme kandung kemih dan insisi
sekunder pada pembedahan
c. Resiko perdarahan berhubungan dengan insisi area bedah vaskuler
( tindakan pembedahan) , reseksi bladder, kelainan profil darah.
d. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama
pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih.
e. Resiko terhadap disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan
impoten akibat dari pembedahan.
f. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri sebagai efek
pembedahan

K. Focus Intervensi dan Rasional


Intervensi keperawatan pada penyakit BPH menurut Carpenito (2007), dan
Tucker dan Canobbio (2008) adalah:
1. Pra operasi
a. Retensi urin akut/kronis berhubungan dengan obstruksi mekanik,
pembesaran prostat, dekompensasi otot destrusor, ketidakmampuan
kandung kemih untuk berkontraksi dengan adekuat.
Tujuan : Tidak terjadi retensi urine
Kriteria hasil : Pasien menunjukkan residu pasca berkemih kurang dari
50 ml, dengan tidak adanya tetesan atau kelebihan
cairan.
Intervensi :
1) Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam atau bila tiba-tiba
dirasakan
Rasional : meminimalkan retensi urin distensi berlebihan pada
kandung kemih.
2) Observasi aliran urin, perhatikan ukuran dan kekuatan.
Rasional : berguna untuk mengevaluasi obstruksi dan pilihan
intervensi
3) Awasi dan catat waktu tiap berkemih dan jumlah tiap berkemih,
perhatikan penurunan haluaran urin dan perubahan berat jenis.
Rasional : retensi urine meningkatkan tekanan dalam saluran
perkemihan atas, yang dapat mempengaruhi fungsi ginjal. Adanya
deficit aliran darah keginjal menganggu kemampuanya untuk
memfilter dan mengkonsentrasi substansi.
4) Lakukan perkusi/palpasi suprapubik
Rasional : distensi kandung kemih dapat dirasakan diarea suprapubik

5) Dorong masukan cairan sampai 3000 ml sehari


Rasional : peningkatan aliran cairan mempertahankan perfusi ginjal
dan membersihkan ginjal dan kandung kemih dari pertumbuhan
bakteri
6) Kaji tanda-tanda vital, timbang BB tiap hari, pertahankan pemasukan
dan pengeluaran yang akurat
Rasional : kehilangan fungsi ginjal mengakibatkan penuruna
eliminasi cairan dan akumulasi sisa toksik, dapat berlanjut
kepenuruan ginjal total
7) Lakukan rendam duduk sesuai indikasi
Rasional : meningkatkan relaksasi otot, penuruan edema, dan dapat
meningkatkan upaya berkemih.
8) Kolaborasi pemberian obat :
(1) Supositorial rectal
Rasional : supositorial dapat diabsorbsi dengan mudah melalui
mukosa kedalam jaringan kandung kemih untuk menghasilkan
relaksasi otot/menghilangkan spasme
(2) Antibiotic dan antibakteri
Rasional : digunakan untuk melawan infeksi
(3) Fenoksibenzamin (Dibenzyline)
Rasional : diberikan untuk mempermudah berkemih dengan
merelaksasi otot polos prostat dan menurunkan tahanan terhadap
aliran urine.
b. Nyeri akut berhubungan dengan peregangan dari terminal saraf, distensi
kandung kemih, infeksi urinaria, efek mengejan saat miksi sekunder
dari pembesaran prostat dan obstruksi uretra.
Tujuan : nyeri hilang, terkontrol
Kriteria hasil : pasien melaporkan nyeri hilang dan terkontrol pasien
tampak rileks, mampu untuk tidur dan istirahat dengan
tepat

Intervensi :
1) Kaji tipe nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0-10) lamanya.
Rasional : memberikan informasi untuk membantu dalam
menentukan pilihan/keefektifan intervensi
2) Pertahankan tirah baring bila diindikasikan
Rasional : tirah baring mungkin diperlukan pada awal selama fase
retensi akut. Namun ambulasi dini dapat memperbaiki pola berkemih
normal dan menghilangkan nyeri kolik
3) Berikan tindakan kenyamanan, distraksi selama nyeri akut seperti,
pijatan punggung : membantu pasien melakukan posisi yang nyaman:
mendorong penggunaan relaksasi/latihan nafas dalam: aktivitas
terapeutik
Rasional : meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian
dan dapat meningkatkan kemampuan koping
4) Dorong menggunakan rendam duduk, gunakan sabun hangat untuk
perineum
Rasional : meningkatkan relaksasi otot
5) Kolaborasi pemberian obat pereda nyeri ( analgetik)
Rasional : menurunkan adanya nyeri, dan kaji 30 menit kemudian
untuk mengetahui keefektivitasnya.
c. Ansietas/cemas berhubungan dengan krisis situasi, perubahan status
kesehatan, kekhawatiran tentang pengaruhnya pada ADL atau
menghadapi prosedur bedah.
Tujuan : pasien tampak rileks.
Kriteria Hasil : menyatakan pengetahuan yang akurat tentang
situasi, menunjukkan rentang tepat tentang
perasaan dan penurunan rasa takut

Intervensi :
1) Damping pasien dan bina hubungan saling percaya
Rasional : menunjukkan perhatian dan keinginan untuk
membantu.
2) Berikan informasi tentang prosedur tindakan yang akan
dilakukan
Rasional : Membantu pasien dalam memahami tujuan dari suatu
tindakan.
3) Dorong pasien/orang terdekat untuk menyatakan
masalah/perasaan
Rasional : Memberikan kesempatan pada pasien dan konsep solusi
pemecahan masalah
4) Beri informasi pada pasien sebelum dilakukan tindakan Rasional :
memungkinkan pasien untuk menerima kenyataan dan menguatkan
kepercayaan pada pemberi perawatan dan pemberian informasi.
e. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan kurangnya informasi.
Tujuan : Menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan
prognosisnya.
Kriteria Hasil : Melakukan perubahan pola hidup dan
berpartisipasi dalam program pengobatan
Intervensi :
1) Dorong pasien menyatakan rasa takut perasaan dan perhatian.
Rasional : Membantu pasien dalam mengalami perasaan.
2) Kaji ulang proses penyakit, pengalaman pasien
Rasional : memberi dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat
pilihan terapi

Berikan informasi tentang penyakit yang diderita

Rasional : meningkatkan pengetahuan pasien terhadap penyakit yang


dideritanya
3) Berikan penjelasan tentang tindakan/pengobatan yang akan
dilakukan
Rasional : meningkatkan pengetahuan pasien terhadap tindakan untuk
menyembuhkan penyakitnya.

2. Post operasi
a. Retensi urin berhubungan dengan obstruksi mekanik: bekuan darah,
edema, trauma, prosedur bedah, tekanan dan iritasi kateter. Tujuan :
Pasien berkemih dengan jumlah normal tanpa retensi
Kriteria Hasil : Menunjukkan perilaku yang meningkatkan control
kandung kemih/urinaria, pasien mempertahankan
keseimbangan cairan : asupan sebanding dengan
haluaran.
Intervensi :
1) Kaji haluaran urine dan system drainase, khususnya selama irigasi
berlangsung
Rasional : retensi dapat terjadi karena edema area bedah, bekuan
darah dan spasme kandung kemih.
2) Bantu pasien memilih posisi normal untuk berkemih
Rasional : mendorong pasase urine dan menngkatkan rasa
normalitas.
3) Perhatikan waktu, jumlah berkemih dan ukuran aliran setelah
kateter dilepas.
Rasional : kateter biasa lepas 2-5 hari setelah bedah, tetapi
berkemih dapat berlanjut sehingga menjadi masalah untuk beberapa
waktu karena edema uretral dan kehilangan tonus.
4) Dorong pemasukan cairan 3000 ml sesuai toleransi, batasi cairan
pada malam hari setelah kateter dilepas

Rasional : mempertahankan hidrasi adekuat dan perfusi ginjal


untuk aliran urine “penjadwalan” masukan cairan menurunkan
kebutuhan berkemih/gangguan tidur selama malam hari.
5) Pertahankan irigasi kandung kemih continue (continous bladder
irrigation)/CBI sesuai indikasi pada periode pascaoperasi Rasional :
mencuci kandung kemih dari bekuan darah dan debris untuk
mempertahankan patensi kateter.
b. Nyeri akut berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi
sekunder pada pembedahan, dan pemasangan kateter.
Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang.
Kriteria Hasil :
1) Pasien mengatakan nyeri berkurang
2) Ekspresi wajah pasien tenang
3) Pasien akan menunjukkan ketrampilan
relaksasi.
4) Pasien akan tidur / istirahat dengan tepat.
5) Tanda – tanda vital dalam batas normal.
Intervensi :
1) Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0-10)
Rasional : nyeri tajam, intermitten dengan dorongan berkemih sekitar
kateter menunjukkan spasme kandung kemih.
2) Jelaskan pada pasien tentang gejala dini spasmus kandung kemih.
Rasional : Kien dapat mendeteksi gajala dini spasmus kandung kemih.
3) Pertahankan patensi kateter dan system drainase. Pertahankan selang
bebas dari lekukan dan bekuan
Rasional : mempertahankan fungsi kateter dan drainase system.
Menurunkan resiko distensi/spasme kandung kemih
4) Berikan informasi yang akurat tentang kateter, drainase, dan spasme
kandung kemih
Rasional : menghilangkan ansietas dan meningkatkan kerjasama.
5) Kolaborasi pemberian antispasmodic contoh :
(1) Oksibutinin klorida (Ditropan), supositoria
Rasional : merilekskan otot polos, untuk memberikan
penurunan spasme dan nyeri
(2) Propantelin bromide (pro-bantanin)
Rasional : menghilangkan spasme kandung kemih oleh kerja
antikolinergik.
c. Resiko perdarahan berhubungan dengan insisi area bedah vaskuler
(tindakan pembedahan) , reseksi bladder, kelainan profil darah
Tujuan : Tidak terjadi perdarahan
Kriteria Hasil : 1) Pasien tidak menunjukkan tanda – tanda
perdarahan
2) Tanda – tanda vital dalam batas normal .
3) Urine lancar lewat kateter
Intervensi :
1) Jelaskan pada pasien tentang sebab terjadi perdarahan setelah
pembedahan dan tanda – tanda perdarahan .
Rasional : Menurunkan kecemasan pasien dan mengetahui tanda –
tanda perdarahan.
2) Irigasi aliran kateter jika terdeteksi gumpalan dalm saluran
kateter .
Rasional : Gumpalan dapat menyumbat kateter, menyebabkan
peregangan dan perdarahan kandung kemih
3) Sediakan diet makanan tinggi serat dan memberi obat untuk
memudahkan defekasi .
Rasional : Dengan peningkatan tekanan pada fosa prostatik yang
akan mengendapkan perdarahan
4) Mencegah pemakaian termometer rektal, pemeriksaan rektal atau
huknah, untuk sekurang – kurangnya satu minggu . Rasional :
Dapat menimbulkan perdarahan prostat

5) Pantau traksi kateter: catat waktu traksi di pasang dan kapan traksi
dilepas .
Rasional : Traksi kateter menyebabkan pengembangan balon ke
sisi fosa prostatik, menurunkan perdarahan. Umumnya dilepas 3 –
6 jam setelah pembedahan
6) Observasi tanda – tanda vital tiap 4 jam, masukan dan haluaran
Warna urine
Rasional : Deteksi awal terhadap komplikasi, dengan intervensi
yang tepat mencegah kerusakan jaringan yang permanen.
d. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama
pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih sering
Tujuan : Pasien tidak menunjukkan tanda – tanda infeksi
Kriteria Hasil :
1) Pasien tidak mengalami infeksi.
2) Dapat mencapai waktu penyembuhan.
3) Tanda – tanda vital dalam batas normal dan tidak
ada tanda – tanda syok.
Intervensi :
1) Pertahankan sistem kateter steril, berikan perawatan kateter dengan
steril.
Rasional : Mencegah pemasukan bakteri dan infeksi.
2) Anjurkan intake cairan yang cukup ( 2500 – 3000 ) sehingga dapat
menurunkan potensial infeksi.
Rasional : Meningkatkan output urine sehingga resiko terjadi ISK
dikurangi dan mempertahankan fungsi ginjal
3) Pertahankan posisi urinebag dibawah
Rasional : Menghindari refleks balik urine yang dapat
memasukkan bakteri ke kandung kemih.
4) Observasi tanda – tanda vital, laporkan tanda – tanda shock dan
demam.

Rasional : Mencegah sebelum terjadi shock.


5) Observasi urine: warna, jumlah, bau. Rasional :
Mengidentifikasi adanya infeksi.
6) Kolaborasi dengan dokter untuk memberi obat antibiotic
Rasional :Untuk mencegah infeksi dan membantu proses
penyembuhan.
e. Resiko terhadap disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan impoten
akibat dari pembedahan.
Tujuan : Tampak rileks dan melaporkan ansietas menurun
sampai tingkat dapat diatasi
Kriteria Hasil : Menyatakan pemahaman situasional individu, menunjukan
pemecahan masalah dan menunjukkan rentang yang
tepat tentang perasaan dan penurunan rasa takut.
Intervensi :
1) Dampingi pasien dan bina hubungan saling percaya
Rasional : Menunjukka perhatian dan keinginan untuk membantu
2) Berikan informasi yang tepat tentang harapan kembalinya fungsi
seksual
Rasional : impotensi fisiologis terjadi bila syaraf perineal dipotong
selama prosedur radikal.
3) Diskusikan ejakulasi retrograde bila pendekatan
transurethral/suprapubik digunakan
Rasional : cairan seminal mengalir kedalam kandung kemih dan
disekresikan melalui urine, hal ini tidak mempengaruhi fungsi seksual
tetapi akan menurunkan kesuburan dan menyebabkan urine keruh
4) Anjurkan pasien untuk latihan perineal dan interupsi/continue aliran
urin

Rasional : meningkatkan peningkatan control otot kontinensia


urin dan fungsi seksual.

f. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri sebagai efek


pembedahan
Tujuan : Kebutuhan tidur dan istirahat terpenuhi.
Kriteria hasil :
1) Pasien mampu beristirahat / tidur dalam
waktu yang cukup.
2) Pasien mengungkapan sudah bisa tidur
3) Pasien mampu menjelaskan faktor
penghambat tidur .
Intervensi :
1) Jelaskan pada pasien dan keluarga penyebab gangguan tidur dan
kemungkinan cara untuk menghindari.
Rasional : meningkatkan pengetahuan pasien sehingga mau
kooperatif dalam tindakan perawatan
2) Ciptakan suasana yang mendukung, suasana tenang dengan
mengurangi kebisingan .
Rasional : Suasana tenang akan mendukung istirahat
3) Beri kesempatan pasien untuk mengungkapkan penyebab
gangguan tidur.
Rasional : Menentukan rencana mengatasi gangguan
4) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat yang dapat
mengurangi nyeri/analgetik.
Rasional : Mengurangi nyeri sehingga pasien bisa istirahat dengan
cukup .
L. Implementasi
Implementasi adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai
tujuanyang spesifik. Tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana
tindakan disusun dan ditujukan pada nursing order untuk membantu
klien mencapai tujuan yang diharapkan.
M. Evaluasi
Evaluasi keperawatan adalah penilaian dengan cara membandingkan
perubahan keadaan pasien (hasil yang diamati)dengan tujuan dan
kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan (Rohma, 2013).
Tujuan darievaluasi itu sendiri adalah untuk melihat kemampuan pasien
denganmencapai tujuan yang diinginkan. Hal ini dapat dilakukan
dengan melihatrespon pasien terhadap asuhan keperawatan yang
diberikan sehingga perawat dapat mengambil keputusan (Nursalam,
2008).
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Benigna Prostat Hiperplasi (BPH) merupakan penyakit pembesaran prostat yang
umumnya dialami oleh pria berusia 50 tahun keatas. Penyakit ini disebabkan oleh proses
penuaan yang dapat mengakibatkan obstruksi leher kandung kemih dan dapat
menyebabkan gangguan perkemihan.
Hingga sekarang penyebab BPH belum diketahui secara pasti, namun beberapa
hipotesis menyebutkan bahwa BPH erat kaitannya dengan peningkatan kadar
Hidrotestosteron atau (DHT) dan proses penuaan.
Adapun diagnosa keperawatan yang paling sering muncul pada pasien BPH antara
lain retentio urin berhubungan dengan obstruksi mekanik, nyeri akut berhubungan dengan
adanya peregangan dari terminal syaraf pada pasien pre op dan nyeri berhubungan spasme
kandung kemih insisi sekunder pada pembedahan.
Intervensi keperawatan pada pasien BPH untuk Dx retention urin yaitu dorong
pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam, observasi aliran urin, awasi dan catat waktu dan
jumlah saat berkemih, sedangkan untuk diagnosa nyeri intervensi yang dilakukan antara
lain: kaji tipe nyeri, pertahankan tirah baring, berikan Tindakan kenyamanan dan
kolaborasi pemberian analgetic.
Untuk tahapan implementasi pelaksanaan dimulai setelah rencana atau intervensi
disusun yang ditujukan pada kebutuhan pelayan untuk membantu pelayan dan mencapai
tujuan yang diharapkan, sedangkan pada tahap evaluasi dilakukan dengan melihat respon
pasien terhadap asuhan keperawatan sehingga perawat dapat mengambil keputusan.

B. Saran
1. Saat merawat pasien BPH perawat perlu melakukan pengkajian secara komperhensif
dari aspek biopsikososiospiritual. Pengkajian dilakukan mulai dari anamnesa dan
pemeriksaan fisik untuk mendapatkan data yang menunjang terhadap masalah pasien
agar asuhan keperawatan pasien dapat optimal.
2. Perawat perlu ketelitian dalam menentukan diagnose keperawatan dan prioritas
sebaiknya diutamakan berdasarkan tingkat kegawatan.
3. Perawat perlu mengaplikasikan intervensi keperawatan secara mandiri dan melakukan
pendokumentasian secara lengkap dan benar.

Anda mungkin juga menyukai