Anda di halaman 1dari 15

Hubungan Ilmu Tasawuf dengan Ilmu – Ilmu lainnya

Diajukan Sebagai Tugas


Mata Kuliah : Akhlak Tasawuf
DISUSUN OLEH :
Kelompok V
Dwita Azra Rahayu (0305192068)
Zayla Agatri Andini (0305193192)
Raodhatus Anggi Aulia (0305192073)
Dosen Pengampu : Drs. Hadis Purba, MA

PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUMATERA UTARA
MEDAN
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Swt yang telah memberi kekuatan dan
kesempatan, sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan waktu yang di
harapkan walaupun dalam bentuk yang sangat sederhana, dimana makalah ini
membahas tentang ” Hubungan Ilmu Tasawuf dengan Ilmu- Ilmu Lain” dapat
meningkatkan pengetahuan kita.

Kami sangat menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih sangat
minim, sehingga saran dari dosen pengajar serta kritikan dari semua pihak masih
kami harapkan demi perbaikan makalah ini. kami ucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini.

Medan , 9 April 2020

Pemakalah

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ ii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii

BAB I: PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah....................................................................................... 1

1.3 Tujuan ....................................................................................................... 2

BAB II: PEMBAHASAN

2.1 Hubungan Ilmu Tasawuf dengan Ilmu Kalam............................................ 3

2.2 Hubungan Akhlak Tasawuf dengan Ilmu Fiqih.......................................... 5

2.3 Hubungan Ilmu Tasawuf dengan Filsafat .................................................. 6

2.4 Hubungan Ilmu Tasawuf dan Ilmu Jiwa Agama (Transpersonal Psikologi)
.......................................................................................................................... 8

BAB III: PENUTUP

3.1 Kesimpulan................................................................................................. 11

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tasawuf adalah salah satu cabang Ilmu Islam yang menekankan dimensi atau
aspek spiritual dalam Islam. Dalam kaitannya dengan manusia, tasawuf lebih
menekankan aspek rohaninya ketimbang jasmaninya. Dalam kaitannya dengan
kehidupan, ia lebih menekankan kehidupan akhirat ketimbang kehidupan dunia yang
fana.

Ilmu tasawuf merupakan rumusan tentang teoritis terhadap wahyu-wahyu


yang berkenaan dengan hubungan antara tuhan dengan manusia dan apa yang harus
dilakukan oleh manusia agar dapat berhubungan sedekat mungkin dengan tuhan baik
dengan pensucian jiwa dan latihan-latihan spritual. Sedangkan ilmu kalam merupakan
disiplin ilmu keislaman yang banyak mengedepankan pembicaraan tentang persoalan
akidah dan adapun filsafat adalah rumusan teoritis terhadap wahyu tersebut bagai
manusia mengenai keberadaan (esensi), proses dan sebagainya, Seperti proses
penciptaan alam dan manusia. Sedangkan ilmu jiwa adalah ilmu yang membahas
tentang gejala-gejala dan aktivitas kejiwaan manusia. Maka dalam hal ini ilmu
tasawuf tentunya mempunyai hubungan-hubungan yang terkait dengan ilmu-ilmu
keislaman lainnya, baik dari segi tujuan, konsep dan kontribusi ilmu tasawuf terhadap
ilmu-ilmu tersebut dan begitu sebaliknya bagaimana kontribusi ilmu keislaman yang
lain terhadap ilmu tasawuf.

Maka dalam makalah kami telah membahas hubungan ilmu tasawuf dengan
beberapa ilmu keislaman lainnya, diantaranya: Ilmu kalam, ilmu fikih, ilmu filsafat,
dan ilmu jiwa. Dengan tujuan agar kita lebih mampu mengkorelasikan ilmu-ilmu
tersebut.

1.2 Rumusan masalah

1. Bagaimana hubungan Ilmu Tasawuf dengan Ilmu Kalam?

2. Bagaimana hubungan Ilmu Tasawuf dengan Ilmu Fiqih?

3. Bagaimana hubungan Ilmu Tasawuf dengan Ilmu Filsafat?

4. Bagaimana hubungan Ilmu Tasawuf dengan Ilmu Jiwa?

1.3 Tujuan

1
1. Untuk mengetahui hubungan Ilmu Tasawuf dengan Ilmu Kalam.
2. Untuk mengetahui hubungan Ilmu Tasawuf dengan Ilmu Fiqih.
3. Untuk mengetahui hubungan Ilmu Tasawuf dengan Ilmu Filsafat.
4. Untuk mengetahui hubungan Ilmu Tasawuf dengan Ilmu Jiwa.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Hubungan Ilmu Tasawuf dengan Ilmu Kalam

Ilmu kalam berasal dari kata "kalam" yang artinya pembicaraan atau perkataan.
Menurut istilah, Imu Kalam adalah kajian ilmiah yang berupaya untuk memahami
keyakinan keagamaan dengan didasarkan pada argumentasi pokok yang kuat.1 Ilmu
Kalam merupakan disiplin ilmu keislaman yang banyak mengedepankan pembicaraan
tentang persoalan-persoalan kalam Tuhan. Dalam aplikasinya, ia menggunakan
metode penalaran dalam menetapkan kebenaran ajaran aqidah yang telah digariskan
dalam wahyu llahi yang bertujuan untuk menolak paham-paham yang keliru atau
menyimpang dari aqidah yang benar dengan menggunakan dalil-dalil aqliyah.
persoalan kalam ini biasanya mengarah pada perbincangan yang mendalam dengan
dasar-dasar argumentasi, baik rasional atau aqliyah maupun aqli atau berdasarkan
pada Nash Alquran dan hadis. argumentasi rasional yang dimaksudkan adalah
landasan pemahaman yang cenderung menggunakan metode berpikir filosofis.

Ilmu Kalam merupakan bagian penting dari pemikiran slam dan merupakan
langkah awal dalam usaha untuk merasionalisasikan aqidah Islam. Ilmu aqidah
disebut juga Imu Tauhid yakni ilmu yang mempelajari sifat-sifat Tuhan dimana salah
satu sifat terpenting-Nya adalah Esa vakni dalam Esa dalam zat sifat Dan Afal atau
perbuatan ilmu ini sendiri muncul dalam Islam karena adanya proses sejarah dari
umat Islam sendiri sehingga belum dikenal atau belum muncul pada masa nabi dan
sahabat meskipun beberapa persoalan yang ada didalamnya pernah dipertanyakan
atau diperdebatkan.2

Pembicaraan materi yang tercakup dalam Ilmu Kalam terkesan tidak menyentuh
dzauq (rasa ruhani). Sebagai contoh, Ilmu Kalam atau Ilmu Tauhid menerangkan
bahwa Allah bersifat seperti Maha Esa (ahad, wahid), Maha Pengasih (rahman),
Maha Penyayang (rahim), Maha Lembut (lathif), Maha Mendengar (sama'), Maha
Melihat (bashar), Maha Berbicara (kalam), Maha Berkehendak (iradah), Maha Kuasa
(qudrah), Maha Hidup (hayat), dan sebagainya. Namun, Ilmu Kalam atau Imu Tauhid
tidak menjelaskan bagaimanakah seorang hamba dapat merasakan bahwa Allah
mendengar dan melihat; bagaimana perasaan hati seseorang ketika ia membaca
Alquran, dan bagaimana seseorang merasa bahwa segala sesuatu yang tercipta
1
Muhammad Iqbal Irham. Akhlak Tasawuf. (Medan: Wal Ashri Publishing. 2018). Cet I.

2
Harun Nasution. Tealogi Islam, Aliran-Aliran Sejarah, Analisa Perbandingan. (Jakarta: UI-
Press. 1986). Hal. x.

3
merupakan pengaruh dari qudrah (kekuasaan) Allah. Karena itu, IImu Tasawuf
memberikan penjelasan bagaimana merasakan sifat-sifat Allah tersebut dalam diri
manusia. Dengan demikian Ilmu Tasawuf memberikan wawasan rubani atau spiritual
dari penjelasan Imu Kalam. Dalam hal ini tasawuf adalah meneladani sifat-sifat
Allah.

Pertanyaan-pertanyaan tentang sifat-sifat Tuhan terasa sulit terjawab bila hanya


melandaskan diri kepada ilmu tauhid atau ilmu kalam. Karena itu ia memerlukan ilmu
yang membicarakan penghayatan dan disemai pada penanaman kejiwaan manusia
yakni ilmu tasawuf. Disiplin ilmu tasawuf inilah yang membahas bagaimana
merasakan nilai-nilai aqidah dengan memperhatikan bahwa persoalan tadzawwuq
(bagaimana merasakan) tidak saja termasuk dalam lingkup hal yang sunnah atau
dianjurkan tetapi termasuk hal yang diwajibkan.

Dalam kaitannya dengan ilmu kalam, ilmu tasawuf berfungsi sebagai pemberi
wawasan spiritual dalam pemahaman kalam. Penghayatan yang mendalam melalui
hati (dzauq dan wijdan) terhadap ilmu tauhid atau ilmu kalam menjadikan ilmu
tasawuf lebih terhayati atau teraplikasikan dalam perilaku. Dengan demikian, ilmu
tasawuf merupakan penyempurnaan ilmu tauhid Jika dilihat dari sudut pandang
bahwa ilmu tasawuf merupakan Sisi terapan ruhani dari ilmu tauhid.

Ilmu kalam pun berfungsi sebagai pengendali ilmu tasawuf. Oleh karena itu jika
timbul suatu aliran yang bertentangan dengan aqidah, atau lahir suatu kepercayaan
baru yang bertentangan dengan Alquran dan Sunnah, maka hal itu merupakan
penyimpangan atau penyelewengan. Jika bertentangan atau tidak pernah diriwayatkan
dalam Alquran dan Sunnah, atau belum pernah diriwayatkan oleh ulama ulama salaf,
maka hal itu harus di tolak.

Selain itu, ilmu tasawuf mempunyai fungsi sebagai pemberi kesadaran rohani
dalam perdebatan kalam. Sebagaimana disebutkan bahwa ilmu kalam dalam dunia
islam cenderung menjadi sebuah ilmu yang mengandung muatan rasional dan muatan
naqliyah. Jika tidak diimbangi oleh kesadaran rohani ilmu kalam dapat bergerak ke
arah yang lebih liberal dan bebas. Disinilah ilmu tasawuf berfungsi memberi muatan
rohani sehingga ilmu kalam tidak dikesankan sebagai dialektika keislaman belaka
yang kering dari kesadaran penghayatan atau sentuhan secara qolbiah (hati).

Bagaimanapun amalan-amalan dalam tasawuf mempunyai pengaruh yang besar


dalam ketauhidan. Jika rasa sabar tidak ada misalnya, munculnya kekufuran. Jika rasa
syukur sedikit, lahirlah suatu bentuk kegelapan sebagai reaksi. Begitu juga ilmu
tauhid dapat memberi kontribusi kepada tasawuf. Sebagai contoh, jika cahaya tauhid
telah lenyap, akan timbullah penyakit-penyakit qalbu, seperti 'ujup, congkak, riya,

4
dengki, hasad, dan sombong. Andaikata manusia sadar bahwa Allah-lah yang
memberi, niscaya rasa hasad dan dengki akan sirna. Dari sinilah dapat dilihat bahwa
ilmu tauhid merupakan jenjang pertama dalam pendakian menuju Allah atau
pendakian para kaum sufi.

Untuk melihat lebih lanjut hubungan antara ilmu tasawuf dan ilmu tauhid
Alangkah baiknya bila kita memperhatikan paparan Al Ghazali dalam bukunya yang
berjudul Al-Maqhad al-Asna fi Syarh al-Asma Allah al-Husna, Al Ghazali
menjelaskan dengan baik mengenai persoalan tauhid kepada Allah, terutama
berkenaan dengan nama-nama Allah yang merupakan materi pokok ilmu tauhid.
Nama Tuhan ar-rahman dan ar-rahim, pada aplikasi rohaninya merupakan sifat yang
harus diteladani. Jika sifat ar-rahman yang diaplikasikan, seseorang akan memandang
orang lain, bahkan orang yang durhaka sekalipun, dengan pandangan yang penuh
kelembutan bukan pandangan kekerasan ia akan melihat orang dengan mata rahim
bukan dengan mata menghina. Ia akan mencurahkan ke-rahim-annya kepada orang
yang durhaka agar orang tersebut dapat diselamatkan. Jika melihat orang lain
menderita atau sakit orang yang rahim akan segera menolongnya.

Menurut Al Ghazali orang yang meneladani sifat Rahman dan Rahim Allah akan
bersikap dan berperilaku kasih sayang kepada semua orang.3 Jadi pengetahuan
tentang sifat-sifat Allah pada dasarnya tidak cukup hanya sekedar pengenalan namun
harus dirasakan dan diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari yang semuanya
diperoleh dari ilmu tasawuf.

Nama lain Allah yang patut diteladani adalah Al qudus (Maha Suci). Seorang
hamba akan suci kalau berhasil membebaskan pengetahuan dan kehendaknya dari
khayalan dan segala persepsi yang dimiliki binatang. Dalam ilmu tasawuf semua
persoalan yang berada dalam kajian ilmu tauhid terasa lebih bermakna, tidak kaku,
tetapi akan dinamis dan aplikatif. Pada sisi lain ilmu kalam dapat berfungsi sebagai
pengawas atau pengendali dari ilmu tasawuf Apabila ada konsep-konsep didalamnya
yang tidak sesuai dengan kajian ilmu kalam yang berdasarkan kepada Alquran dan
Hadis, maka konsep tersebut harus diluruskan dengan demikian terlihat adanya
hubungan timbal balik yang harmonis antara ilmu tasawuf dengan ilmu kalam.

2.2 Hubungan Akhlak Tasawuf dengan Ilmu Fiqih

3
Al-Ghazali. Al-Maqbad al-Asna fi Syarh al-Asma Allah al-Husna. pent. Ilyas Hasan. Asmaul
Husna. (Bandung: Mizan, 1996). Hal. 73-74.

5
Secara umum fiqih didefenisikan sebagai : "ilmu tentang hukum - hukum
syari'ah amaliyah dari dalil - dalilnya yang terperinci (adillah tafshiliyyah)".4 Dari
defenisi ini dapat dilihat bahwa fiqih adalah ilmu tentang hukum-hukum syari'ah
yang amaliyah yakni yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan manusia baik
dalam bentuk ibadah maupun mua'malah.

Dalam bidang ibadah, misalnya fiqih mengatur syarat-syarat, rukun-rukun, dan


sunnat-sunnat ibadah. Ibadah akan dianggap sah jika telah memenuhi syarat-syarat
dan rukun-rukunnya. Sebagai contoh shalat seseorang sah dari segi fiqih apabila ia
shalat diwaktu yang benar, telah bersuci, menutup aurat dari pusat hingga lutut (bagi
laki-laki), menghadap kiblat, memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun lainnya.
Dalam bidang mua'malah, misalnya boleh saja mengumpul kekayaan dan harta benda
sebanyak-banyaknya asal melalui jalan-jalan yang dibenarkan seperti perdagangan
yang dibenarkan.

Tasawuf memberikan dimensi lain. Ibadah shalat dalam ilmu tasawuf bukan
sekedar terpenuhinya syarat-syarat dan rukun yang digariskan dalam fiqih. Lebih dari
itu shalat dimaknai dengan hubungan manusia dengan Tuhan. Hubungan ini meati
dengan benar-benar diusahakan dan disarankan dengan cara-cara yang telah
digariskan dengan tasawuf.

Demikian juga dalam bidang mua'malah. Jika dalam fiqih ada kebolehan untuk
mengumpul harta benda sebanyak-banyaknya asal lewat jalan yang benar, tasawuf
memberikan dimensi lain, bahwa harta benda yang banyak menimbulkan berbagai
akhlak yang tidak terpuji atau tercela.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ilmu tasawuf memberikan unsur-undur


bathiniyah kepada fiqih. Fiqih akan terasa sangat lahiriyah dan formalistik atau terasa
amat kering jika tanpa tasawuf.

Sebaliknya fiqih pula memberikan aturan-aturan yang dengannya tasawuf


terhindar dari kebenarannya sendiri yang bathiniyah tanpa memperhatikan aturan-
aturan lahiriyah. Di sinilah perlunya menggabungkan antara syari'ah (dalam artian
fiqih) dengan hakikat (dalam artian tasawuf).

Al-Qusyairi mengatakan :

"Setiap syari'at yang tidak didukung dengan hakikat maka urusannya tidak
diterima, setiap hakikat yang tidak didukung oleh syari'at maka urusannya tidak
berhasil".

4
Al- Amidi. Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. (Mesir: Dar al-Hadits). Jilid I. Hal. 5.

6
Al-Ghazali mengatakan : Tidak akan sampai kepada tujuan kecuali setelah
diawali dengan hukum-hukum".5

Imam Malik menegaskan : "Barang siapa ber-fiqih (ber-tauhid) saja tanpa ber-
Tasawwuf niscaya berlaku fasik (tidak bermoral). Dan barang siapa ber-Tasawuf
tanpa ber-fiqih (ber-tauhid) niscahya ia jadi golongan zindiq (penyeleweng agama).
Dan barang siapa yang melakukan kedua-duanya niscahya ia menjadi golongan Islam
yang hakiki (tulen)".

Demikian hubungan yang erat antara tasawuf dengan fiqih yang tergambar dari
beberapa ungkapan diatas. Pengabacan syari'ah dengan alasan telah sampai kepada
hakikat dapat membuka jalan bagi pemahaman-pemahaman serba boleh pada tingkat
syari'ah dengan alasan "yang penting adalah hakikat". Pemahaman seperti ini, pasti
mengobrak-abrik ajaran agama, sekaligus dapat merusak tatanan hidup masyarakat
yang telah diatur dalam syari'at yang selama ini telah dipegang oleh masyarakat.
Paling tidak pengabaian syari'ah dapat melahirkan sikap relativisme, karena semua
dapat dianggap benar asal saja dapat mengantarkan kepada hakikat (bersatu dengan
Tuhan).

2.3 Hubungan Ilmu Tasawuf dengan Filsafat

Filsafat berasal dari bahasa arab yaitu Falsafah dan philosopia bahasa yunani
yang berarti philos yakni cinta, suka dan Sophia yakni pengetahuan, hikmah
(wisdom). Filsafat dari segi praktis berarti alam pikiran atau alam berfikir. Meski
filsafat artinya berfikir, namun tidak semua berfikir berarti berfilsafat karena
berfilsafat berarti berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh.

Al-Kindi mendefenisikan filsafat sebagai mengetahui sesuatu hakikatnya sebatas


kemampuan manusia karena tujuannya sampai kepada kebenaran dan di dalam amal
yang benar. Objek-objek bahasan filsafat adalah jiwa dan ruh. Diantara tokoh-tokoh
filosof yang melakukan kajian terhadap jiwa dan ruh ini adalah : Al-Kindi,Al-
Farabi,Ibn Sina dan Al-Ghazali.

Kajian-kajian fisafat tentang jiwa ternyata telah banyak memberikan sumbangan


yang cukup berharga bagi kesempurnaan kajian tasawuf dalam dunia Islam. Hal yang
perlu diingat bhawa istilah yang lebih banyak dikembangankan dalam tasawuf adalah
istilah qalb (hati).

5
Muhammad Nawawi Al-Jawi. Maraqi al-Ubudiyah Syarh Ala’Mantan Bidaya al-Hidayah
Lihujjah al-islam. Abi Hamid Al-Ghazali. (Semarang: Pustaka Al-Alawiyyah). Hal. 5.

7
Filsafat adalah sebuah ilmu yang digunakan untuk memperoleh kebenaran
rasional. Metode yang di gunakan pun adalah metode rasional. Filsafat menghampiri
kebenaran dengan cara menuangkan akal budi secara radikal (mengakar) dan integral
(menyeluruh) serta universal (mengalam) tidak merasa terikat oleh apa pun, kecuali
ikatan tangannta sendiri yang bernama logika. Peranan filsafat sebagaimana
dikatakan Socrates adalah berpegang teguh pada ilmu pengetahuan melalui usaha
menjelaskan konsep-konsep.

Pengetahuan spiritual (ma’rifah) merupakan penyingkapan para ahli dzawaq,


yang tidak dapat diungkap, sebagaimana persepsi indrawi dan kelezatan yang hanya
dapat diketahui dengan merasakannya.

Menurut Dzu al-Nun, ma’rifah yang hakiki tentang Allah bukanlah ilmu tentang
Wahdaniyah-Nya sebagaimana yang dimiliki kebanyakan orang mukmin. Ma’rifah
yang sebenarnya adalah ma’rifah tentang sifat keesaan yang khusus dalam diri para
wali Allah, karena merekalah yang menyaksikan Allah dengan Qalb mereka sehingga
terangkatlah hijab bagi mereka apa yang tidak terbuka bagi hamba-hamba Allah yang
lainnya.

Dalam konteks perolehan ilmu pengetahuan, Ibn Al-arabi tidak menafikan akal
fikiran sebagai alat untuk mendapatkannya meskipun ia tetap menunjukkan berbagai
kelemahan pikiran tersebut. Menurutnya, usaha manusia untuk memperoleh ilmu
pengetahuan dengan berbagai cara yang dimilikinya, menempatkan manusia pada 3
golongan yaitu :

Manusia yang meraih ilmu dengan menggunakan refleksi, mereka ini disebut ahl
al-fikr (pemilik pikiran) , al-nazar (pemilik penalaran). Orang yang temasuk kategori
ini membatasi tuhan pada pengertian yang ditetapkan akalnya. Manusia yang
mengetahui tuhan melali kesaksian imajinasi berdasarkan pada apa yang dibawa oleh
para nabi dan para rasul dari tuhan. Ia menerima apa yang disamapikan para nabi dan
rasul namun tidak berani bersikap kritis terhadap apa yang dianggapnya berlawanan
dengan akal. Ia memahami ayat Al-Qur’an sebagaimana apa adanya dan tidak
berupaya untuk melakukan penakwilan atau pengalihan ayat-ayat itu dari arti
lahiriyahnya.

Manusia yang mengetahui tuhan melalui penyingkapan intuitif,kesaksian, dan


rasa. Ia melihat tuhan dalam semua lokus penampakkan-Nya dan mengakui-Nya
dalam setiap bentuk. Is bergetar bersama tuhan di mana pun tuhan bergerak, dan
menyaksikan wajah tuhan pada semua objek pandangan.

8
2.4 Hubungan Ilmu Tasawuf dan Ilmu Jiwa Agama (Transpersonal Psikologi)

Dengan melihat pengertian psikologi dan agama serta objek yang dikaji, dapat
diambil pengertian bahwa psikologi agama adalah cabang dari psikologi yang
meneliti dan menelaah kehidupan beragama pada seseorang dan mempelajari
seberapa besar pengaruh keyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah laku serta
keadaan hidup pada umumnya. Dengan ungkapan lain, psikologi agama adalah ilmu
yang meneliti pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku seseorang atau
mekanisme yang bekerja dalam diri seseorang yang menyangkut tata cara berpikir,
bersikap, berkreasi dan bertingkah laku yang tidak dapat dipisahkan dari
keyakinannya, karena keyakinan itu masuk dalam konstruksi kepribadiannya.

Objek dan lapangan psikologi agama adalah menyangkut gejala-gejala kejiwaan


dalam kaitannya dengan realisasi keagamaan (amaliah) dan mekanisme antara
keduannya. Dengan kata lain, meminjam istilah Zakiah Daradjat, psikologi agama
membahas tentang kesadaran agama (religious counciousness) dan pengalaman
agama (relgious experience). Dengan demikian, yang menjadi lapangan kajian
psikologi agama adalah proses beragama, perasaan dan kesadaran beragama dengan
pengaruh dan akibat-akibat yang dirasakan sebagai hasil dari keyakinan. Sedangkan
objek pembahasan psikologi agama adalah gejala-gejala psikis manusia yang
berkaitan dengan tingkah laku keagamaan, kemudian mekanisme antara psikis
manusia dengan tingkah laku keagamaannya secara timbal balik dan hubungan
pengaruh antara satu dengan lainnya.

Dalam perkembangannya, psikologi agama tidak hanya mengkaji kehidupan


secara umum tapi juga masalah- masalah khusus. Pembahasan tentang kesadaran
beragama misalnya, dikupas oleh B. Pratt dalam bukunya The Religious
Consciousness, sedangkan Rudolf Otto membahas tentang sembahyang.

Ilmu Jiwa Agama adalah sebagai salah satu cabang Ilmu Jiwa yang masih relatif
baru mempunyai dua bidang pengetahuan yang berbeda antara yang satu dengan yang
lain. Sebagian harus tunduk kepada agama sedangkan yang lainnya tunduk kepada
Ilmu Jiwa Agama.6

Ilmu Jiwa adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari semua aspek
perilaku manusia yang ditinjau dari semua sudut serta menyajikan prinsip-prinsip
yang elementer, esensial dan universal.7

6
Zakiyah Darajat. Ilmu Jiwa Agama. (Jakarta: Bulan Bintang, 1970). Hal. 1-2.

7
Soergarda Poerbakawatja (1982). Hal. 298.

9
Ilmu Jiwa Agama adalah ilmu yang meneliti pengaruh agama terhadap sikap dan
tingkah laku seseorang atau mekanisme yang bekerja pada diri seseorang, Hal ini
disebabkan karena cara seseorang berpikir, bersikap, bereaksi dan bertingkah laku
tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya sebab keyakinan tersebut masuk dalam
konstruksi kepribadian.8

Dalam Ilmu Jiwa disebutkan bahwa orang yang bermental sehat akan merasakan
kebahagiaan, hidup yang bermakna serta berguna, mampu menyesuaikan diri dengan
berbagai situasi dan kondisi sehingga dapat terhindar dari penyakit jiwa, stres dan
perilaku buruk lainnya. Orang yang bermental tidak sehat sebaliknya akan
memunculkan ketidaknyamanan, kegelisahan serta kesengsaraan batin. la juga akan
melahirkan sikap dan perilaku yang tidak menyenangkan baik bagi dirinya maupun
lingkungannya

Ilmu Tasawuf juga melihat hubungan antara sikap dan perilaku manusia dengan
dorongan atau hasrat yang muncul dari jwa yang menyebabkan perbuatan tersebut
ada. Para sufi menyatakan bahwa perilaku seseorang sangat tergantung dengan jenis
jiwa yang berkuasa dalam dirinya. Jiwa yang dikuasai oleh nafsu hewani akan
mendatangkan keserakahan, kesombongan, kebengisan, iri, dengki, dan hal-hal
negatif lainnya sementara jiwa yang dikuasai oleh cahaya Ilahi akan memunculkan
sikap sikap positif seperti kejujuran, keberanian, kelembutan, dan kasih sayang.
Karena itulah dalam Ilmu Tasawuf, jiwa mesti terus dibersihkan dengan berbagai
latihan (riyadhah) dan amalan. Semua praktek dan amalan dalam tasawuf pada
dasarnya merupakan latihan ruhani dan latihan jiwa untuk melakukan pendakian
spiritual ke arah yang lebih baik dan lebih sempurna. Praktek dan amalan ini
bertujuan untuk mencari ketenangan jiwa dan kebersihan hati agar lebih kokoh.

Ilmu Tasawuf menghindarkan manusia dari berbagai penyakit kejiwaan dan


berusaha terus menerus melakukan kontak ruhani dengan Tuhan sehingga
memperoleh ketenteraman batin dan kemerdekaan jiwa dari segala pengaruh penyakit
jiwa. Dengan demikian antara Imu Tasawuf dengan Ilmu Jiwa Agama memiliki
hubungan yang erat karena salah satu tujuan praktis dari Ilmu Jiwa sebagaimana
halnya Ilmu Tasawuf adalah agar manusia memiliki ketenangan hati, ketenteraman
jiwa serta terhindar dari penyakit psikologis seperti dengki, sombong, serakah dan
sebagainya. Perbedaan antara keduanya adalah bahwa IImu Tasawuf lebih
memfokuskan pada kebersihan jiwa melalui pendekatan diri kepada Tuhan dengan
cara melakukan berbagai ibadah. Sedangkan Ilmu Jiwa lebih banyak menggunakan
teori teori dengan bebagai solusi di luar konteks ibadah yang dikenal dalam Ilmu
Tasawuf.
8
Zakiah Darajat. Ilmu Jiwa Agama. Hal. 2

10
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dalam kaitannya dengan ilmu kalam, ilmu tasawuf berfungsi sebagai pemberi
wawasan spiritual dalam pemahaman kalam. Penghayatan yang mendalam melalui
hati (dzauq dan wijdan) terhadap ilmu tauhid atau ilmu kalam menjadikan ilmu
tasawuf lebih terhayati atau teraplikasikan dalam perilaku. Dengan demikian, ilmu
tasawuf merupakan penyempurnaan ilmu tauhid Jika dilihat dari sudut pandang
bahwa ilmu tasawuf merupakan Sisi terapan ruhani dari ilmu tauhid.
Ilmu tasawuf memberikan unsur-undur bathiniyah kepada fiqih. Fiqih akan
terasa sangat lahiriyah dan formalistik atau terasa amat kering jika tanpa tasawuf.
Sebaliknya fiqih pula memberikan aturan-aturan yang dengannya tasawuf terhindar
dari kebenarannya sendiri yang bathiniyah tanpa memperhatikan aturan-aturan
lahiriyah. Di sinilah perlunya menggabungkan antara syari'ah (dalam artian fiqih)
dengan hakikat (dalam artian tasawuf).
Filsafat adalah sebuah ilmu yang digunakan untuk memperoleh kebenaran
rasional. Metode yang di gunakan pun adalah metode rasional. Filsafat menghampiri
kebenaran dengan cara menuangkan akal budi secara radikal (mengakar) dan integral
(menyeluruh) serta universal (mengalam) tidak merasa terikat oleh apa pun, kecuali
ikatan tangannta sendiri yang bernama logika. Peranan filsafat sebagaimana
dikatakan Socrates adalah berpegang teguh pada ilmu pengetahuan melalui usaha
menjelaskan konsep-konsep.
Ilmu Tasawuf menghindarkan manusia dari berbagai penyakit kejiwaan dan
berusaha terus menerus melakukan kontak ruhani dengan Tuhan sehingga
memperoleh ketenteraman batin dan kemerdekaan jiwa dari segala pengaruh penyakit
jiwa. Dengan demikian antara Imu Tasawuf dengan Ilmu Jiwa Agama memiliki
hubungan yang erat karena salah satu tujuan praktis dari Ilmu Jiwa sebagaimana
halnya Ilmu Tasawuf adalah agar manusia memiliki ketenangan hati, ketenteraman
jiwa serta terhindar dari penyakit psikologis seperti dengki, sombong, serakah dan
sebagainya. Perbedaan antara keduanya adalah bahwa IImu Tasawuf lebih
memfokuskan pada kebersihan jiwa melalui pendekatan diri kepada Tuhan dengan
cara melakukan berbagai ibadah. Sedangkan Ilmu Jiwa lebih banyak menggunakan
teori teori dengan bebagai solusi di luar konteks ibadah yang dikenal dalam Ilmu
Tasawuf.

11
DAFTAR PUSTAKA

Al- Amidi. Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Mesir: Dar al-Hadits. Jilid I.


Al-Ghazali. 1996. Al-Maqbad al-Asna fi Syarh al-Asma Allah al-Husna. pent.
Ilyas Hasan. Asmaul Husna. Bandung: Mizan,

Darajat Zakiyah. 1970. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang

Iqbal Irham, Muhammad. Cet I. 2018. Akhlak Tasawuf. Medan: Wal Ashri
Publishing.
Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah, Analisa
Perbandingan. Jakarta: UI-Press.
Nawawi Al-Jawi, Muhammad. Maraqi al-Ubudiyah Syarh Ala’Mantan
Bidaya al-Hidayah Lihujjah al-islam. Abi Hamid Al-Ghazali. Semarang: Pustaka Al-
Alawiyyah
Soergarda Poerbakawatja. 1982.

12

Anda mungkin juga menyukai