Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN INDIVIDU

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn.M


DENGAN CIDERA KEPALA RINGAN

Disusun untuk Memenuhi Tugas Laporan Individu Praktek Klinik Keperawatan


Mata Kuliah Keperawatan Gawat Darurat
Di Ruang IGD RSUD dr. R. Soedarsono

Disusun Oleh:
LATIFATUL HASANAH
P17220194063

PRODI D-III KEPERAWATAN MALANG


JURUSAN KEPERAWATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
TAHUN AJARAN 2021/2022
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Cidera Kepala
Ringan Di Ruang IGD ini telah diperiksa dan disetujui pada

Hari : ………………………..

Tanggal : ………………….. 2022

Mengetahui,

Pembimbing Lahan Pembimbing Institusi

Kepala Ruangan
LAPORAN PENDAHULUAN

A. KONSEP TRIAGE
1. Pengertian
Triage adalah suatu tindakan pengelompokkan pasien berdasarkan pada
beratnya cidera yang diprioritaskan ada tidaknya gangguan airway (A), breathing (B),
dan circulation (C) dengan mempertimbangkan sarana, sumberdaya manusia dan apa
yang terjadi pada pasien (Kartikawati, 2014).
Triage merupakan sebuah tindakan pengelompokkan untuk memprioritaskan
pasien berdasarkan resiko, beratnya cidera yang didasarkan dengan ada atau
tindaknya gangguan pada sistem ABC (Airway, Breathing, and Circulation) dengan
mempertimbangkan sarana dan sumber daya yang tersedia (Rosely, 2018).

2. Tujuan Triage
Tujuan dilakukannya triage adalah untuk mencapai yang terbaik bagi banyak
korban. Tujuan utama adalah untuk mengidentifikasi kondisi mengancam nyawa.
Tujuan triage selanjutnya adalah untuk menetapkan tingkat atau derajat kegawatan
yang memerlukan pertolongan kedaruratan serta untuk mengelompokkan pasien
berdasarkan beratnya cedera (Nurhasim, 2015).

3. Klasifikasi Triage

Menurut Wijaya (2010) beberapa hal yang mendasari klasifikasi pasien dalam
system triage adalah kondisi klien yang meliputi :
a. Gawat, adalah suatu keadaan yang mengancam nyawa dan kecacatan yang
memerlukan penanganan dengan cepat dan tepat.
b. Darurat, adalah suatu keadaan yang tidak mengancam nyawa tapi memerlukan
penanganan cepat dan tepat seperti kegawatan.
c. Gawat darurat, adalah suatu keadaan yang mengancam jiwa disebabkan oleh
gangguan ABC (Airway /  jalan nafas, Breathing / Pernafasan, Circulation /
Sirkulasi), jika tidak ditolong segera maka dapat meninggal atau cacat.
Berdasarkan prioritas keperawatan dapat dibagi menjadi 4 klasifikasi : (Iyer &
Camp, 2004)
Tabel 1. Klasifikasi Triage
KLASIFIKASI KETERANGAN
Gawat darurat (P1) Keadaan yang mengancam nyawa /
adanya gangguan ABC dan perlu
tindakan segera, misalnya cardiac
arrest, penurunan kesadaran, trauma
mayor dengan perdarahan hebat
Gawat tidak darurat (P2) Keadaan mengancam nyawa tetapi
tidak memerlukan tindakan darurat.
Setelah dilakukan resusitasi maka
ditindaklanjuti oleh dokter spesialis.
Misalnya : pasien kanker tahap lanjut,
fraktur, sickle cell dan lainnya
Darurat tidak gawat (P3) Keadaan yang tidak mengancam
nyawa tetapi memerlukan tindakan
darurat. Pasien sadar, tidak ada
gangguan ABC dan dapat langsung
diberikan terapi definitive. Untuk
tindak lanjut dapat ke poliklinik,
misalnya laserasi, fraktur minor / 
tertutup, otitis media dan lainnya
Tidak gawat tidak darurat (P4) Keadaan tidak mengancam nyawa dan
tidak memerlukan tindakan gawat.
Gejala dan tanda klinis ringan /
asimptomatis. Misalnya penyakit
kulit, batuk, flu, dan sebagainya.
Tabel 2. Klasifikasi berdasarkan Tingkat Prioritas (Labeling)
KLASIFIKASI KETERANGAN
Prioritas I (MERAH) Mengancam jiwa atau fungsi vital,
perlu resusitasi dan tindakan bedah
segera, mempunyai kesempatan hidup
yang besar. Penanganan dan
pemindahan bersifat segera yaitu
gangguan pada jalan nafas, pernafasan
dan sirkulasi. Contohnya sumbatan
jalan nafas, tension pneumothorak,
syok hemoragik, luka terpotong pada
tangan dan kaki, combutio (luka bakar
tingkat II dan III > 25 %
Prioritas II (KUNING) Potensial mengancam nyawa atau
fungsi vital bila tidak segera ditangani
dalam jangka waktu singkat.
Penanganan dan pemindahan bersifat
jangan terlambat. Contoh : patah
tulang besar, combutio (luka bakar)
tingkat II dan III < 25 %, trauma
thorak / abdomen, laserasi luas,
trauma bola mata.
Prioritas III (HIJAU) Perlu penanganan seperti pelayanan
biasa, tidak perlu segera. Penanganan
dan pemindahan bersifat terakhir.
Contoh luka superficial, luka-luka
ringan.
Prioritas 0 (HITAM) Kemungkinan untuk hidup sangat
kecil, luka sangat parah. Hanya perlu
terapi suportif. Contoh henti jantung
kritis, trauma kepala kritis.

Tabel 3. Klasifikasi berdasarkan Tingkat Keakutan (Iyer, 2004).


TINGKAT KEAKUTAN KETERANGAN
Kelas I Pemeriksaan fisik rutin (misalnya
memar minor) dapat menunggu lama
tanpa bahaya
Kelas II Nonurgen / tidak mendesak (misalnya
ruam, gejala flu) dapat menunggu
lama tanpa bahaya
Kelas III Semi-urgen / semi mendesak
(misalnya otitis media) dapat
menunggu sampai 2 jam sebelum
pengobatan
Kelas IV Urgen / mendesak (misalnya fraktur
panggul, laserasi berat, asma); dapat
menunggu selama 1 jam
Kelas V Gawat darurat (misalnya henti
jantung, syok); tidak boleh ada
keterlambatan pengobatan ; situasi
yang mengancam hidup

B. PRIMARY SURVEY

Primary survey menyediakan evaluasi yang sistematis, pendeteksian dan


manajemen segera terhadap komplikasi akibat trauma parah yang mengancam
kehidupan. Tujuan dari Primary survey adalah untuk mengidentifikasi dan
memperbaiki dengan segera masalah yang mengancam kehidupan. Prioritas yang
dilakukan pada primary survey antara lain (Fulde, 2009):
 Airway maintenance dengan cervical spine protection
 Breathing dan oxygenation
 Circulation dan kontrol perdarahan eksternal
 Disability-pemeriksaan neurologis singkat
 Exposure dengan kontrol lingkungan
Primary survey dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain (Gilbert &
Pletz., 2009) :

a) General Impressions
 Memeriksa kondisi yang mengancam nyawa secara umum.
 Menentukan keluhan utama atau mekanisme cedera
 Menentukan status mental dan orientasi (waktu, tempat, orang)

b) Pengkajian Airway
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa responsivitas
pasien dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada atau tidaknya
sumbatan jalan nafas. Seorang pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka
jalan nafas pasien terbuka (Thygerson & Alton, 2011). Pasien yang tidak sadar
mungkin memerlukan bantuan airway dan ventilasi. Tulang belakang leher harus
dilindungi selama intubasi endotrakeal jika dicurigai terjadi cedera pada kepala,
leher atau dada. Obstruksi jalan nafas paling sering disebabkan oleh obstruksi
lidah pada kondisi pasien tidak sadar (Wilkinson & Skinner, 2000) dalam (Moni et
al., 2015)
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara lain :
 Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau
bernafas dengan bebas?
 Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:
 Adanya snoring atau gurgling
 Stridor atau suara napas tidak normal
 Agitasi (hipoksia)
 Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest movements
 Sianosis
 Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian atas dan
potensial penyebab obstruksi :
 Muntahan
 Perdarahan
 Gigi lepas atau hilang
 Gigi palsu
 Trauma wajah
 Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien terbuka.
 Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien yang
berisiko untuk mengalami cedera tulang belakang.
 Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien sesuai
indikasi :
 Chin lift/jaw thrust
 Lakukan suction (jika tersedia)
 Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal Mask
Airway
 Lakukan intubasi

c) Pengkajian Breathing (Pernafasan)


Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan nafas
dan keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada pasien tidak
memadai, maka langkah-langkah yang harus dipertimbangkan adalah: dekompresi
dan drainase tension pneumothorax/haemothorax, closure of open chest injury dan
ventilasi buatan (Wilkinson & Skinner, 2000) dalam (Moni et al., 2015).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien antara lain :
 Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan oksigenasi
pasien.
 Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada tanda-
tanda sebagai berikut : cyanosis, penetrating injury, flail chest, sucking
chest wounds, dan penggunaan otot bantu pernafasan.
 Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling iga,
subcutaneous emphysema, perkusi berguna untuk diagnosis
haemothorax dan pneumotoraks.
 Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.
 Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien jika perlu.
 Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih lanjut mengenai
karakter dan kualitas pernafasan pasien.
 Penilaian kembali status mental pasien.
 Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
 Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan / atau oksigenasi:
 Pemberian terapi oksigen
 Bag-Valve Masker
 Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi penempatan yang
benar), jika diindikasikan
 Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced airway
procedures
 Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa lainnya dan berikan
terapi sesuai kebutuhan.

d) Pengkajian Circulation
Shock didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi
jaringan. Hipovolemia adalah penyebab syok paling umum pada trauma.
Diagnosis shock didasarkan pada temuan klinis: hipotensi, takikardia, takipnea,
hipotermia, pucat, ekstremitas dingin, penurunan capillary refill, dan penurunan
produksi urin. Oleh karena itu, dengan adanya tanda-tanda hipotensi merupakan
salah satu alasan yang cukup aman untuk mengasumsikan telah terjadi perdarahan
dan langsung mengarahkan tim untuk melakukan upaya menghentikan
pendarahan. Penyebab lain yang mungkin membutuhkan perhatian segera adalah:
tension pneumothorax, cardiac tamponade, cardiac, spinal shock dan
anaphylaxis. Semua perdarahan eksternal yang nyata harus diidentifikasi melalui
paparan pada pasien secara memadai dan dikelola dengan baik (Wilkinson &
Skinner, 2000) dalam (Moni et al., 2015)..
Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien, antara
lain :
 Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
 CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk digunakan.
 Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan pemberian
penekanan secara langsung.
 Palpasi nadi radial jika diperlukan:
 Menentukan ada atau tidaknya
 Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)
 Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)
 Regularity
 Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau hipoksia
(capillary refill).
 Lakukan treatment terhadap hipoperfusi

e) Pengkajian Level of Consciousness dan Disabilities


Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU :
 A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi perintah
yang
diberikan
 V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak
bisa dimengerti
 P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika
ekstremitas
awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon)
 U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus nyeri
maupun stimulus verbal.

f) Expose, Examine dan Evaluate


Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien. Jika pasien
diduga memiliki cedera leher atau tulang belakang, imobilisasi in-line penting
untuk dilakukan. Lakukan log roll ketika melakukan pemeriksaan pada punggung
pasien. Yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan pada pasien adalah
mengekspos pasien hanya selama pemeriksaan eksternal. Setelah semua
pemeriksaan telah selesai dilakukan, tutup pasien dengan selimut hangat dan jaga
privasi pasien, kecuali jika diperlukan pemeriksaan ulang (Thygerson & Alton,
2011).
Dalam situasi yang diduga telah terjadi mekanisme trauma yang mengancam
jiwa, maka Rapid Trauma Assessment harus segera dilakukan:
 Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada pasien
 Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam nyawa pasien
luka dan mulai melakukan transportasi pada pasien yang berpotensi tidak
stabil atau kritis.
(Gilbert & Pletz., 2009)

C. SECONDARY ASSESMENT
Survey sekunder merupakan pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan
secara head to toe, dari depan hingga belakang. Secondary survey hanya dilakukan
setelah kondisi pasien mulai stabil, dalam artian tidak mengalami syok atau tanda-
tanda syok telah mulai membaik.

1. Anamnesis
Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat pasien yang
merupakan bagian penting dari pengkajian pasien. Riwayat pasien meliputi
keluhan utama, riwayat masalah kesehatan sekarang, riwayat medis, riwayat
keluarga, sosial, dan sistem. (Nursing Association, 2007). Pengkajian riwayat
pasien secara optimal harus diperoleh langsung dari pasien, jika berkaitan dengan
bahasa, budaya, usia, dan cacat atau kondisi pasien yang terganggu, konsultasikan
dengan anggota keluarga, orang terdekat, atau orang yang pertama kali melihat
kejadian. Anamnesis yang dilakukan harus lengkap karena akan memberikan
gambaran mengenai cedera yang mungkin diderita. Beberapa contoh:
a. Tabrakan frontal seorang pengemudi mobil tanpa sabuk pengaman: cedera
wajah, maksilo-fasial, servikal. Toraks, abdomen dan tungkai bawah.
b. Jatuh dari pohon setinggi 6 meter perdarahan intra-kranial, fraktur servikal
atau vertebra lain, fraktur ekstremitas.
c. Terbakar dalam ruangan tertutup: cedera inhalasi, keracunan CO.
Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari pasien dan
keluarga (Nursing Association, 2007):
A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester, makanan)
M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang
menjalani
pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau
penyalahgunaan obat
P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang
pernah
diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan herbal)
L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi
berapa
jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi termasuk dalam
komponen ini)
E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian yang
menyebabkan adanya keluhan utama)
Ada beberapa cara lain untuk mengkaji riwayat pasien yang disesuaikan dengan
kondisi pasien. Pada pasien dengan kecenderungan konsumsi alkohol, dapat
digunakan beberapa pertanyaan di bawah ini (Emergency Nursing Association,
2007):
 C. have you ever felt should Cut down your drinking?
 A. have people Annoyed you by criticizing your drinking?
 G. have you ever felt bad or Guilty about your drinking?
 E. have you ever had a drink first think in the morning to steady your
nerver or get rid of a hangover (Eye-opener)
Jawaban Ya pada beberapa kategori sangat berhubungan dengan masalah
konsumsi alkohol.
Pada kasus kekerasan dalam rumah tangga akronim HITS dapat digunakan dalam
proses pengkajian. Beberapa pertanyaan yang diajukan antara lain : “dalam
setahun terakhir ini seberapa sering pasanganmu”(Nursing Association, 2007):
 Hurt you physically?
 Insulted or talked down to you?
 Threathened you with physical harm?
 Screamed or cursed you?
Akronim PQRST ini digunakan untuk mengkaji keluhan nyeri pada pasien yang
meliputi :
 Provokes/palliates : apa yang menyebabkan nyeri? Apa yang membuat
nyerinya lebih baik? apa yang menyebabkan nyerinya lebih buruk? apa
yang anda lakukan saat nyeri? apakah rasa nyeri itu membuat anda
terbangun saat tidur?
 Quality : bisakah anda menggambarkan rasa nyerinya?apakah seperti diiris,
tajam, ditekan, ditusuk tusuk, rasa terbakar, kram, kolik, diremas? (biarkan
pasien mengatakan dengan kata-katanya sendiri.
 Radiates: apakah nyerinya menyebar? Menyebar kemana? Apakah nyeri
terlokalisasi di satu titik atau bergerak?
 Severity : seberapa parah nyerinya? Dari rentang skala 0-10 dengan 0 tidak
ada nyeri dan 10 adalah nyeri hebat
 Time : kapan nyeri itu timbul?, apakah onsetnya cepat atau lambat? Berapa
lama nyeri itu timbul? Apakah terus menerus atau hilang timbul?apakah
pernah merasakan nyeri ini sebelumnya?apakah nyerinya sama dengan
nyeri sebelumnya atau berbeda?
Setelah dilakukan anamnesis, maka langkah berikutnya adalah
pemeriksaan tanda-tanda vital. Tanda tanda vital meliputi suhu, nadi, frekuensi
nafas, saturasi oksigen, tekanan darah, berat badan, dan skala nyeri.
Berikut ini adalah ringkasan tanda-tanda vital untuk pasien dewasa
menurut(Nursing Association, 2007).
Komponen Nilai normal Keterangan
Suhu 36,5-37,5 Dapat di ukur melalui oral,
aksila, dan rectal. Untuk
mengukur suhu inti
menggunakan kateter arteri
pulmonal, kateter urin,
esophageal probe, atau
monitor tekanan intracranial
dengan pengukur suhu. Suhu
dipengaruhi oleh aktivitas,
pengaruh lingkungan, kondisi
penyakit, infeksi dan injury.
Nadi 60-100x/menit Dalam pemeriksaan nadi
perlu dievaluais irama
jantung, frekuensi, kualitas
dan kesamaan.
Respirasi 12-20x/menit Evaluasi dari repirasi
meliputi frekuensi, auskultasi
suara nafas, dan inspeksi dari
usaha bernafas. Tada dari
peningkatan usah abernafas
adalah adanya pernafasan
cuping hidung, retraksi
interkostal, tidak mampu
mengucapkan 1 kalimat
penuh.
Saturasi oksigen >95% Saturasi oksigen di monitor
melalui oksimetri nadi, dan
hal ini penting bagi pasien
dengan gangguan respirasi,
penurunan kesadaran,
penyakit serius dan tanda
vital yang abnormal.
Pengukurna dapat dilakukan
di jari tangan atau kaki.
Tekanan darah 120/80mmHg Tekana darah mewakili dari
gambaran kontraktilitas
jantung, frekuensi jantung,
volume sirkulasi, dan tahanan
vaskuler perifer. Tekanan
sistolik menunjukkan cardiac
output, seberapa besar dan
seberapa kuat darah itu
dipompakan. Tekanan
diastolic menunjukkan fungsi
tahanan vaskuler perifer.
Berat badan Berat badan penting diketahui
di UGD karena berhubungan
dengan keakuratan dosis atau
ukuran. Misalnya dalam
pemberian antikoagulan,
vasopressor, dan medikasi
lain yang tergantung dengan
berat badan.

2. Pemeriksaan fisik
a. Kulit kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa. Sering terjadi pada penderita yang
datang dengan cedera ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang berasal dari
bagian belakang kepala penderita. Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh
kepala dan wajah untuk adanya pigmentasi, laserasi, massa, kontusio, fraktur
dan luka termal, ruam, perdarahan, nyeri tekan serta adanya sakit kepala
(Delp & Manning., 2004)
b. Wajah
Ingat prinsip look-listen-feel. Inspeksi adanya kesimterisan kanan dan
kiri. Apabila terdapat cedera di sekitar mata jangan lalai memeriksa mata,
karena pembengkakan di mata akan menyebabkan pemeriksaan mata
selanjutnya menjadi sulit. Re evaluasi tingkat kesadaran dengan skor GCS.
1) Mata : periksa kornea ada cedera atau tidak, ukuran pupil
apakah
isokor atau anisokor serta bagaimana reflex
cahayanya, apakah pupil mengalami miosis atau
midriasis, adanya ikterus, ketajaman mata (macies
visus dan acies campus), apakah konjungtivanya
anemis atau adanya kemerahan, rasa nyeri, gatal-gatal,
ptosis, exophthalmos, subconjunctival perdarahan,
serta diplopia
2) Hidung :periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri,
penyumbatan
penciuman, apabila ada deformitas (pembengkokan)
lakukan palpasi akan kemungkinan krepitasi dari suatu
fraktur.
3) Telinga :periksa adanya nyeri, tinitus, pembengkakan,
penurunan
atau hilangnya pendengaran, periksa dengan senter
mengenai keutuhan membrane timpani atau adanya
hemotimpanum
4) Rahang atas : periksa stabilitas rahang atas
5) Rahang bawah: periksa akan adanya fraktur
6) Mulut dan faring : inspeksi pada bagian mucosa terhadap tekstur, warna,
kelembaban, dan adanya lesi; amati lidah tekstur,
warna, kelembaban, lesi, apakah tosil meradang,
pegang dan tekan daerah pipi kemudian rasakan apa
ada massa/ tumor, pembengkakkan dan nyeri, inspeksi
amati adanya tonsil meradang atau tidak
(tonsillitis/amandel). Palpasi adanya respon nyeri
c. Vertebra servikalis dan leher
Pada saat memeriksa leher, periksa adanya deformitas tulang atau
krepitasi, edema, ruam, lesi, dan massa , kaji adanya keluhan disfagia
(kesulitan menelan) dan suara serak harus diperhatikan, cedera tumpul atau
tajam, deviasi trakea, dan pemakaian otot tambahan. Palpasi akan adanya
nyeri, deformitas, pembekakan, emfisema subkutan, deviasi trakea, kekakuan
pada leher dan simetris pulsasi. Tetap jaga imobilisasi segaris dan proteksi
servikal. Jaga airway, pernafasan, dan oksigenasi. Kontrol perdarahan, cegah
kerusakan otak sekunder.
d. Toraks
Inspeksi : Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan belakang
untuk adanya trauma tumpul/tajam,luka, lecet, memar, ruam ,
ekimosiss, bekas luka, frekuensi dan kedalaman pernafsan,
kesimetrisan expansi dinding dada, penggunaan otot
pernafasan tambahan dan ekspansi toraks bilateral, apakah
terpasang pace maker, frekuensi dan irama denyut jantung,
(Lombardo, 2005)
Palpasi : seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul,
emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.
Perkusi : untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan
Auskultasi : suara nafas tambahan (apakah ada ronki, wheezing, rales) dan
bunyi jantung (murmur, gallop, friction rub)
e. Abdomen
Cedera intra-abdomen kadang-kadang luput terdiagnosis, misalnya
pada keadaan cedera kepala dengan penurunan kesadaran, fraktur vertebra
dengan kelumpuhan (penderita tidak sadar akan nyeri perutnya dan gejala
defans otot dan nyeri tekan/lepas tidak ada). Inspeksi abdomen bagian depan
dan belakang, untuk adanya trauma tajam, tumpul dan adanya perdarahan
internal, adakah distensi abdomen, asites, luka, lecet, memar, ruam, massa,
denyutan, benda tertusuk, ecchymosis, bekas luka , dan stoma. Auskultasi
bising usus, perkusi abdomen, untuk mendapatkan, nyeri lepas (ringan).
Palpasi abdomen untuk mengetahui adakah kekakuan atau nyeri tekan,
hepatomegali,splenomegali,defans muskuler,, nyeri lepas yang jelas atau
uterus yang hamil. Bila ragu akan adanya perdarahan intra abdominal, dapat
dilakukan pemeriksaan DPL (Diagnostic peritoneal lavage, ataupun USG
(Ultra Sonography). Pada perforasi organ berlumen misalnya usus halus
gejala mungkin tidak akan nampak dengan segera karena itu memerlukan re-
evaluasi berulang kali. Pengelolaannya dengan transfer penderita ke ruang
operasi bila diperlukan (Diklat Yayasan Ambulance Gawat Darurat 118.,
2010).
f. Pelvis (perineum/rectum/vagina)
Cedera pada pelvis yang berat akan nampak pada pemeriksaan fisik
(pelvis menjadi stabil), pada cedera berat ini kemungkinan penderita akan
masuk dalam keadaan syok, yang harus segera diatasi. Bila ada indikasi
pasang PASG/ gurita untuk mengontrol perdarahan dari fraktur pelvis (Diklat
Yayasan Ambulance Gawat Darurat 118., 2010)
Pelvis dan perineum diperiksa akan adanya luka, laserasi , ruam, lesi,
edema, atau kontusio, hematoma, dan perdarahan uretra. Colok dubur harus
dilakukan sebelum memasang kateter uretra. Harus diteliti akan kemungkinan
adanya darah dari lumen rectum, prostat letak tinggi, adanya fraktur pelvis,
utuh tidaknya rectum dan tonus musculo sfinkter ani. Pada wanita,
pemeriksaan colok vagina dapat menentukan adanya darah dalam vagina atau
laserasi, jika terdapat perdarahan vagina dicatat, karakter dan jumlah
kehilangan darah harus dilaporkan (pada tampon yang penuh memegang 20
sampai 30 mL darah). Juga harus dilakuakn tes kehamilan pada semua wanita
usia subur. Permasalahan yang ada adalah ketika terjadi kerusakan uretra
pada wanita, walaupun jarang dapat terjadi pada fraktur pelvis dan straddle
injury. Bila terjadi, kelainan ini sulit dikenali, jika pasien hamil, denyut
jantung janin (pertama kali mendengar dengan Doppler ultrasonografi pada
sekitar 10 sampai 12 kehamilan minggu) yang dinilai untuk frekuensi, lokasi,
dan tempat. Pasien dengan keluhan kemih harus ditanya tentang rasa sakit
atau terbakar dengan buang air kecil, frekuensi, hematuria, kencing
berkurang, Sebuah sampel urin harus diperoleh untuk analisis.(Diklat RSUP
Dr. M. Djamil Padang, 2006).
g. Ektremitas
Pemeriksaan dilakukan dengan look-feel-move. Pada saat inspeksi,
jangan lupa untuk memriksa adanya luka dekat daerah fraktur (fraktur
terbuak), pada saat pelapasi jangan lupa untuk memeriksa denyut nadi distal
dari fraktur pada saat menggerakan, jangan dipaksakan bila jelas fraktur.
Sindroma kompartemen (tekanan intra kompartemen dalam ekstremitas
meninggi sehingga membahayakan aliran darah), mungkin luput terdiagnosis
pada penderita dengan penurunan kesadaran atau kelumpuhan (Diklat
Yayasan Ambulance Gawat Darurat 118., 2010) Inspeksi pula adanya
kemerahan, edema, ruam, lesi, gerakan, dan sensasi harus diperhatikan,
paralisis, atropi/hipertropi otot, kontraktur, sedangkan pada jari-jari periksa
adanya clubbing finger serta catat adanya nyeri tekan, dan hitung berapa detik
kapiler refill (pada pasien hypoxia lambat s/d 5-15 detik.
Penilaian pulsasi dapat menetukan adanya gangguan vaskular.
Perlukaan berat pada ekstremitas dapat terjadi tanpa disertai fraktur.kerusakn
ligament dapat menyebabakan sendi menjadi tidak stabil, keruskan otot-
tendonakan mengganggu pergerakan. Gangguan sensasi dan/atau hilangnya
kemampuan kontraksi otot dapat disebabkan oleh syaraf perifer atau iskemia.
Adanya fraktur torako lumbal dapat dikenal pada pemeriksaan fisik dan
riwayat trauma. Perlukaan bagian lain mungkin menghilangkan gejala fraktur
torako lumbal, dan dalam keadaan ini hanya dapat didiagnosa dengan foto
rongent. Pemeriksaan muskuloskletal tidak lengkap bila belum dilakukan
pemeriksaan punggung penderita. Permasalahan yang muncul adalah
1) Perdarahan dari fraktur pelvis dapat berat dan sulit dikontrol, sehingga
terjadi syok yang dpat berakibat fatal
2) Fraktur pada tangan dan kaki sering tidak dikenal apa lagi penderita dalam
keadaan tidak sada. Apabila kemudian kesadaran pulih kembali barulah
kelainan ini dikenali.
3) Kerusakan jaringan lunak sekitar sendi seringkali baru dikenal setelah
penderita mulai sadar kembali (Diklat RSUP Dr. M. Djamil Padang, 2006)
h. Bagian punggung
Memeriksa punggung dilakukan dilakukan dengan log roll,
memiringkan penderita dengan tetap menjaga kesegarisan tubuh). Pada saat
ini dapat dilakukan pemeriksaan punggung (Diklat Yayasan Ambulance
Gawat Darurat 118., 2010) Periksa`adanya perdarahan, lecet, luka, hematoma,
ecchymosis, ruam, lesi, dan edema serta nyeri, begitu pula pada kolumna
vertebra periksa adanya deformitas.
i. Neurologis
Pemeriksaan neurologis yang diteliti meliputi pemeriksaan tingkat
kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, oemeriksaan motorik dan sendorik.
Peubahan dalam status neirologis dapat dikenal dengan pemakaian GCS.
Adanya paralisis dapat disebabakan oleh kerusakan kolumna vertebralis atau
saraf perifer. Imobilisasi penderita dengan short atau long spine board, kolar
servikal, dan alat imobilisasi dilakukan samapai terbukti tidak ada fraktur
servikal. Kesalahan yang sering dilakukan adalah untuk melakukan fiksasai
terbatas kepada kepala dan leher saja, sehingga penderita masih dapat
bergerak dengan leher sebagai sumbu. Jelsalah bahwa seluruh tubuh penderita
memerlukan imobilisasi. Bila ada trauma kepala, diperlukan konsultasi
neurologis. Harus dipantau tingkat kesadaran penderita, karena merupakan
gambaran perlukaan intra cranial. Bila terjadi penurunan kesadaran akibat
gangguan neurologis, harus diteliti ulang perfusi oksigenasi, dan ventilasi
(ABC). Perlu adanya tindakan bila ada perdarahan epidural subdural atau
fraktur kompresi ditentukan ahli bedah syaraf (Diklat RSUP Dr. M. Djamil
Padang, 2006)
Pada pemeriksaan neurologis, inspeksi adanya kejang, twitching,
parese, hemiplegi atau hemiparese (ganggguan pergerakan), distaksia
( kesukaran dalam mengkoordinasi otot), rangsangan meningeal dan kaji pula
adanya vertigo dan respon sensori.

D. KONSEP DASAR CIDERA KEPALA


1. Definisi
Cedera kepala atau trauma kapitis adalah suatu gangguan trauma dari otak
disertai/tanpa perdarahan intestinal dalam substansi otak, tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas dari otak (Nugroho, 2016).
Menurut Brain Injury Association Of America (2009) dalam (KASENDA,
2018), trauma kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital
atau degenerative, tetapi disebabkan oleh benturan fisik dari luar yang dapat
mengakibatkan kerusakan kemampuan kognitif maupun fisik.
2. Klasifikasi
Cedera kepala terbuka Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan
pecahnya tengkorak atau luka penetrasi, besarnya cedera kepala pada tipe ini
ditentukan oleh massa dan bentuk dari benturan, kerusakan otak juga dapat terjadi
jika tulang tengkorak menusuk dan masuk ke dalam jaringan otak dan melukai
durameter saraf otak, jaringan sel otak akibat benda tajam/ tembakan, cedera kepala
terbuka memungkinkan kuman pathogen memiliki abses langsung ke otak.
Cedera kepala tertutup Benturan kranial pada jaringan otak di dalam tengkorak
ialah goncangan yang mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang bergerak
cepat, kemudian serentak berhenti dan bila ada cairan akan tumpah. Cedera kepala
tertutup meliputi: kombusio gagar otak, kontusio memar, dan laserasi.
1. Berdasarkan keparahan cedera :
1) Cedera kepala ringan (CKR)
a. Tidak ada fraktur tengkorak
b. Tidak ada kontusio serebri,hematoma
c. GCS 13-15
d. Dapat terjadi kehilangan kesadaran tapi <30 menit
2) Sedang Cedera kepala sedang (CKS)
a. Kehilangan kesadaran (amnesia) > 30 menit tapi <24 jam
b. Muntah
c. GCS 9-12
d. Dapat mengalami fraktur tengkorak, disorentasi ringan
e. Bingung
3) Cedera kepala berat (CKB)
a. GCS 3-8
b. Hilang kesadaran >24 jam
c. Adanya kontosio serebri, laserasi/ hematoma intracranial
2. Menurut Jenis Cedera
1) Cedera kepala terbuka dapat menyebabkan fraktur pada tulang tengkorak dan
jaringan otak.
2) Cedera Kepala tertutup dapat disamakan dengan Keluhan geger otak ringan
dan odema serebral yang luas.

3. Etiologi
Penyebab dari cedera kepala adalah adanya trauma pada kepala meliputi trauma
oleh benda/ serpihan tulang yang menembus jaringan otak, efek dari kekuatan/energi
yang diteruskan ke otak dan efek percepatan dan perlambatan (akselerasi-deselerasi)
pada otak, selain itu dapat disebabkan oleh Kecelakaan, Jatuh, Trauma akibat
persalinan (NINDS, 2013)
Menurut Taqiyyah Bararah, M Jauhar (2013) dalam (Eka Saputra, 2017).
Penyebab utama terjadinya cedera kepala adalah sebagai berikut:
1. Kecelakaan lalu lintas
Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kendaraan bermotor bertabrakan
dengan kendaraan yang lain atau benda lain sehingga menyebabkan kerusakan
atau kecederaan kepada pengguna jalan raya.
2. Jatuh
Menurut KBBI, jatuh didefenisikan sebagai (terlepas) turun atau meluncur ke
bawah dengan cepat karena gravitasi bumi, baik ketika masih di gerakkan turun
turun maupun sesudah sampai ke tanah.
3. Kekerasan
Menurut KBBI, kekerasan di defenisikan sebagai suatu perihal atau perbuatan
seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain,
atau menyebabkan kerusakan fisik pada barang atau orang lain (secara paksa).
Menurut Andra Saferi Wijaya, Yessie Mariza Putri (2013) dalam (Eka Saputra,
2017). Ada 2 macam cedera kepala yaitu:
1. Trauma tajam
Adalah trauma oleh benda tajam yang menyebabkan cedera setempat dan
menimbulkan cedera lokal. Kerusakan lokal meliputi Contusio serebral,
hematom serebral, kerusakan otak sekunder yang disebabkan perluasan masa
lesi, pergeseran otak atau hernia.
2. Trauma tumpul
Adalah trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera menyeluruh
(difusi). Kerusakannya menyebar secara luas dan terjadi dalam 4 bentuk: cedera
akson, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil
multiple pada otak koma terjadi karena cedera menyebar pada hemisfer cerebral,
batang otak atau kedua-duanya.
Menurut NANDA (2013) dalam (MALAUF KOSAT, 2019) mekanisme cidera
kepala meliputi Cedera Akselerasi, Deselersi, Akselerasi-Deselerasi, Coup-Countre
Coup, dan Cedera Rotasional.
1) Cedera Akselerasi
Tejadi jika objek bergerak menghantam kepala yang tidak bergerak, missal,
alat pemukul menghantam kepala atau peluru yang ditembakkan ke kepala.
2) Cedera Deselerasi
Terjadi jika kepala bergerak membentur objek diam, seperti pada kasus jatuh
atau tabrakan mobil ketika kepala membentur kaca depan mobil.
3) Cedera Akselerasi-Deselerasi
Sering terjadi dalam kasus kecelakaan kendaraan bermotor dan kekerasan
fisik.
4) Cedera Coup-Countre Coup
Terjadi jika kepala terbentur yang menyebabkan otak bergerak dalam ruang
cranial dan denga kuat mengenai area tulang tengkorak yang berlawanan serta
area kepala yang pertamakali terbentur. Sebagai contoh pasien dipukul
dibagian belakang kepala.
5) Cedera Rotasional
Terjadi jika pukulan/benturan menyebabkan otak berputar di dalam rongga
tengkorak, yang mengakibatkan peregangan atau robeknya neuron dalam
substansi alba serta robeknya pembuluh darah yang menfiksasi otak dengan
bagian dalam rongga tengkorak.

4. Patofisiologi
Cedera kepala dapat menyebabkan kerusakan struktur, misalnya kerusakan pada
parenkim otak, kerusakan pembuluh darah, perdarahan, edema dan gangguan
biokimia otak seperti penurunan adenosis tripospat, perubahan permeabilitas
vaskuler. Patofisiologi cedera kepala dapat terbagi atas dua proses yaitu cedera kepala
primer dan cedera kepala sekunder, cedera kepala primer merupakan suatu proses
biomekanik yang terjadi secara langsung saat kepala terbentur dan dapat memberi
dampak kerusakan jaringan otak. Pada cedera kepala sekunder terjadi akibat dari
cedera kepala primer, misalnya akibat dari hipoksemia, iskemia dan perdarahan.
Perdarahan cerebral menimbulkan hematoma misalnya pada epidural hematoma,
berkumpulnya antara periosteun tengkorak dengan durameter, subdura hematoma
akibat berkumpulnya darah pada ruang antara durameter dengan subaraknoid dan
intra cerebral, hematoma adalah berkumpulnya darah didalam jaringan cerebral.
Kematian pada penderita cedera kepala terjadi karena hipotensi karena gangguan
autoregulasi, ketika terjadi autoregulasi menimbulkan perfusi jaringan cerebral dan
berakhir pada iskemia jaringan otak. (Tarwoto, 2013)
Patofisiologi cedera kepala dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Cedera Primer Kerusakan akibat langsung trauma, antara lain fraktur tulang
tengkorak, robek pembuluh darah (hematom), kerusakan jaringan otak
(termasuk robeknya duramater, laserasi, kontusio).
2. Cedera Sekunder Kerusakan lanjutan oleh karena cedera primer yang ada
berlanjut melampaui batas kompensasi ruang tengkorak. Hukum Monroe Kellie
mengatakan bahwa ruang tengkorak tertutup dan volumenya tetap. Volume
dipengaruhi oleh tiga kompartemen yaitu darah, liquor, dan parenkim otak.
Kemampuan kompensasi yang terlampaui akan mengakibatkan kenaikan TIK
yang progresif dan terjadi penurunan Tekanan Perfusi Serebral (CPP) yang
dapat fatal pada tingkat seluler. Cedera Sekunder dan Tekanan Perfusi: CPP =
MAP - ICP CPP : Cerebral Perfusion Pressure MAP : Mean Arterial Pressure
ICP : Intra Cranial Pressure Penurunan CPP kurang dari 70 mmHg
menyebabkan iskemia otak. Iskemia otak mengakibatkan edema sitotoksik –
kerusakan seluler yang makin parah (irreversibel). Diperberat oleh kelainan
ekstrakranial hipotensi/syok, hiperkarbi, hipoksia, hipertermi, kejang, dll.
2. Edema Sitotoksik Kerusakan jaringan (otak) menyebabkan pelepasan berlebih
sejenis Neurotransmitter yang menyebabkan Eksitasi (Exitatory Amino Acid
a.l. glutamat, aspartat). EAA melalui reseptor AMPA (N-Methyl DAspartat)
dan NMDA (Amino Methyl Propionat Acid) menyebabkan Ca influks
berlebihan yang menimbulkan edema dan mengaktivasi enzym degradatif serta
menyebabkan fast depolarisasi (klinis kejang-kejang).
3. Kerusakan Membran Sel Dipicu Ca influks yang mengakitvasi enzym
degradatif akan menyebabkan kerusakan DNA, protein, dan membran fosfolipid
sel (BBB breakdown) melalui rendahnya CDP cholin (yang berfungsi sebagai
prekusor yang banyak diperlukan pada sintesa fosfolipid untuk menjaga
integritas dan repair membran tersebut). Melalui rusaknya fosfolipid akan
meyebabkan terbentuknya asam arakhidonat yang menghasilkan radikal bebas
yang berlebih.
4. Apoptosis Sinyal kemaitan sel diteruskan ke Nukleus oleh membran bound
apoptotic bodies terjadi kondensasi kromatin dan plenotik nuclei, fragmentasi
DNA dan akhirnya sel akan mengkerut (shrinkage).
PATHWAY

Kecelakaan/jatuh

Cedera Kepala

Ekstrakranial Tulang Kranial Intrakranial

Terputusnya Terputusnya Jaringan otak


koentinuitas koentinuitas rusak,
jaringan kulit, jaringan kontatio,
otot, dan tulang laserasi
vaskuler

Perubahan
protoregulasi
Perdarahan Gangguan Resiko
hematoma suplai darah infeksi
Kejang

Peningkatan
TIK
Iskemia
Penurunan
Resiko injury
kesadaran
Peregang Kompresi Hipoksia
andoramen dan batang otak
pembuluh
Bedrest Akumulasi
darah Perubahan
total cairan
perfusi jaringan
cerebral
Nyeri Akut Ketidakefektifan
Resiko Gangguan bersihan jalan
gangguan mobilitas nafas
integritas kulit fisik
5. Tanda Dan Gejala
Menurut (Iqbal, 2020) gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya
dan distribusi cedera otak yaitu:
1. Cedera kepala ringan
a. Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap setelah cedera
b. Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas
c. Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkah laku
Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa minggu atau
lebih lama setelah konkusio cedera otak akibat trauma ringan.
2. Cedera kepala sedang
a. Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebingungan atau
bahkan koma
b. Gangguan kesedaran, abnormalitas pupil, atau tiba-tiba defisit neurologik,
perubahan TTV, gangguan penglihatan dan pendengaran, disfungsi sensorik,
kejang otot, sakit kepala, vertigo dan gangguan pergerakan
3. Cedera kepala berat
a. Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah
terjadinya penurunan kesehatan
b. Pupil tidak aktual, pemeriksaan motorik tidak aktual, adanya Cedera terbuka,
fraktur tengkorak dan penurunan neurologik
c. Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukan fraktur
d. Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pembengkakan pada area tersebut

6. Pemeriksaan Penunjang
Menurut (Iqbal, 2020) pemeriksaan penunjang cidera kepala sebagai berikut
yaitu:
1. CT scan
CT scan digunakan untuk mengidentifikasi adanya hemoragig, ukuran
ventrikuler, infark pada jaringan mati.
2. Foto tengkorak atau cranium
Foto tengkorak atau cranium digunakan untuk mengetahui adanya fraktur pada
tengkorak.
3. MRI
MRI digunakan sebagai penginderaan yang menggunakan gelombang
elektomagnetik.
4. Laboratorium
a. Kimia darah: Untuk mengetahui keseimbangan elektrlit
b. Kadar elektrolit: Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intracranial
c. Screen toksikologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan
penurunan kesadaran.
5. Serebral angiographi
Menunjukkan anomaly sirkulasi serebral, seperti perubahan jaringan otak
sekunder menjadi edema, perdarahan dan trauma.
6. Serial EEG
Serial EEG digunakan untuk melihat perkembangan gelombang yang patologis.
7. X-ray
Digunakan untuk mendeteksi perubahan struktur tulang, perubahan truktur garis
(perdarahan atau edema), frakmen tulang.
8. BAER
BAER digunakan untuk mengoreksi batas fungsi kortek dan otak kecil.
9. PET
PET digunakan untuk mendeteksi perubahan aktivitas metabolism otak.
10. CSF & lumbal fungsi
CSF & lumbal fungsi dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subaracnoid.
11. ABGs
ABGs digunakan untuk mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah
pernafasan (oksigenasi) jika terjadi peningkatan intracranial.
7. Penatalaksanaan
Menurut (Iqbal, 2020) penatalaksanaan cedera kepala ada 2 yaitu:
1. Penatalaksanaan Keperawatan
a. Menjamin kelancaran jalan nafas dan kontrol vertebra cervicalis
b. Menjaga saluran nafas tetap bersih, bebas dari secret
c. Mempertahankan sirkulasi stabil
d. Melakukan observasi tingkat kesadaran dan tanda-tanda vital
e. Menjaga intake cairan elektrolit dan nutrisi jangan sampai terjadi hiperhidrasi
f. Menjaga kebersihan kulit untuk mencegah terjadinya dekubitus
g. Mengelola pemberian obat sesuai program
2. Penatalaksanaan Medis
a. Oksigenasi dan IVFD
b. Terapi untuk mengurangi edema serebri (anti edema)
Dexamethasone 10 mg untuk dosis awal, selanjutnya:
 5 mg/6 jam untuk hari I dan II
 5 mg/8 jam untuk hari III
 5 mg/12 jam untuk hari IV
 5 mg/24 jam untuk hari V
c. Terapi neurotropik: citicoline, piroxicam
d. Terapi anti perdarahan bila perlu
e. Terapi antibiotik untuk profilaksis
f. Terapi antipeuretik bila demam
g. Terapi anti konvulsi bila klien kejang
h. Terapi diazepam 5-10 mg atau CPZ bila klien gelisah
i. Intake cairan tidak boleh > 800 cc/24 jam selama 3-4 hari
E. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Pengkajian pada klien dengan cedera kepala difokuskan pada penilaian terhadap
status neurologis pasien cedera kepala merupakan tindakan utama yang harus
dilakukan sebelum pengobatan diberikan.
a. Anamnesa Identitas pasien meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama,
bahasa yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, no. register,
tanggal masuk rumah sakit, diagnose medis (Desmawati, 2013).
b. Pengkajian 13 Domain Nanda
1) Domain 1: Health promotion
a. Keluhan utama
Pada klien dengan cedera kepala biasanya mengalami penurunan
kesadaran (Hariyani & Budiyono, 2012).
b. Riwayat penyakit sekarang yang mungkin didapatkan meliputi penurunan
kesadaran, lateragi, mual muntah, sakit kepala, wajah tidak simetris,
lemah, paralysis, perdarahan, fraktur, hilang keseimbangan, sulit
menggenggam, amnesia seputar kejadian, tidak bias beristirahat, kesulitan
mendengar, mengecap dan mencium bau, sulit mencerna atau menelan
makanan.
c. Riwayat penyakit dahulu
Pasien pernah mengalami penyakit system persyarafan, riwayat trauma
masa lalu, riwayat penyakit systemic atau pernafasan,cardiovaskuler dan
metabolik.
2) Domain 2: Nutrition (nutrisi)
a. Antropometri Mengalami penurunan berat badan karena adanya
penurunan intake nutrisi akibat mual/muntah (Desmawati, 2013).
b. Biochemial Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan AGD,
Elektrolit serum, Hematologi, CSS, pemeriksaan toksikologi, kadar anti
konvulsan darah.
c. Clinical Membran mukosa kering pucat, turgor kulit buruk, kering,tampak
kusut, conjungtiva pucat (Desmawati, 2013).
d. Diet Ketidakmampuan untuk makan karena Kesulitan untuk mencerna
atau menelan makanan (Desmawati, 2013).
e. Energi Keletihan, kelemahan, malaise umum, toleransi terhadap latihan
rendah, kelemahan otot dan penurunan kekuatan (Desmawati, 2013).
f. Faktor Faktor yang menyebabkan ketidakseimbangan asupan nutrisi
dipengaruhi adanya mual/muntah, dyspepsia dan annoreksia.
3) Domain 3: Elimination
Gangguan ginjal, hematemesis, feses dengan darah segar, melena, diare,
konstipasi, distensi abdomen (Desmawati, 2013).
4) Domain 4 : Activity rest
Keletihan, kelemahan, toleransi terhadap latihan rendah, kebutuhan untuk
istirahat lebih banyak, takikardia, takipnea, kelemahan otot dan penurunan
kekuatan (Desmawati, 2013).
5) Domain 5: Perception/Congnition
Keyakinan agama/budaya mempengaruhi pilihan pengobatan (Desmawati,
2013)
6) Domain 6 : Self perception
Menolak, menyangkal, cemas, kurang kontak mata, gelisah, marah,
(Muttaqin, 2012).
7) Domain 7 : Role Relationship
Lesu dan kurang tertarik pada sekitarnya (Desmawati, 2013).
8) Domain 8 : Sexuality
Perubahan pada fungsi seksual pada saat sakit (Desmawati, 2013).
9) Domain 9 : Coping/ stress tolerance
Interaksi sosial: stress karena keadaannya, kesulitan biaya ekonomi, kesulitan
koping dengan stressor yang ada (Muttaqin, 2012).
10) Domain 10 : Life Principles
Sering sakit kepala, mudah marah, tidak mampu berkonsentrasi dan rentan
terhadap infeksi (Desmawati, 2013).
11) Domain 11 : Safety / protection
Bebas dari cedera fisik atau gangguan system imun.
12) Domain 12 : Comfort /kenyamanan/nyeri
Nyeri kepala, sakit kepala (Desmawati, 2013).
13) Domain 13 : Growth/development
Penurunan kemampuan bekerja dan aktivitas fisik, dampak negatife terhadap
system pertahanan tubuh dalam melawan penyakit (Desmawati, 2013).
Pemeriksaan fisik
1) Kaji GCS
a. Cidera kepala ringan (CKR) jika GCS antara 13-15, dapat terjadi kehilangan
kesadaran kurang lebih 30 menit.
b. Cidera kepala sedang (CKS) jika GCS antara 9-12, hilang kesadaran atau
amnesia antara 30 menit-24 jam.
c. Cidera kepala berat (CKB) jika GCS 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam.
2) Disorientasi tempat atau waktu
Kehilangan kesadaran, amnesia, perubahan kesadaran sampai koma, penurunan
dalam ingatan dan memori baik jangka pendek maupun jangka panjang.
3) Refleksi patologis dan fisiologis
Pada fase akut reflek fisiologis sisi yang lumpuh akan menghilang. Setelah
beberapa hari reflex fisiologis akan muncul kembali didahului dengan reflex
patologis.
4) Perubahan status mental
Cedera kepala dapat menyebabkan cacat permanen, gangguan mental, dan
bahkan kematian. Gegar otak menyebabkan perubahan status mental seseorang
dan dapat mengganggu fungsi otak dari otak.
5) Nervus cranialis
XII NI : penurunan daya penciuman. NII: pada trauma frontalis terjadi penurunan
penglihatan.
NIII, NIV, NVI: penurunan lapang pandang, reflex cahaya menurun, perubahan
ukuran pupil, bola mata tidak dapat mengikuti perintah, anisokor.
NV: gangguan mengunyah.
NVII, NXII: lemahnya penutupan kelopak mata, hilangnya rasa pada 2/3 anterior
lidah.
NVIII: penurunan pendengaran dan keseimbangan tubuh.
NIX, NX, NXI: jarang ditemukan.
6) Status motorik
Skala kelemahan otot
0 : tidak ada kontrak
1 : ada kontraksi
2 : bergerak tidak bias menahan gravitasi
3 : bergerak mampu menahan gravitasi
4 : normal
7) Perubahan pupil atau penglihatan kabur, diplopia, foto pobhia, kehilangan
sebagian lapang pandang.
8) Perubahan tanda-tanda vital
9) Gangguan pengecapan dan penciuman serta pendengaran
10) Peningkatan TIK
Tekanan Intra Kranial (TIK) adalah hasil dari sejumlah jaringan otak, volume
darah intracranial dan cairan cerebrospiral di dalam tengkorak pada 1 satuan
waktu. Keadaan normal dari TIK bergantung pada posisi pasien dan berkisar ±15
mmHg. Karena keterbatasan ruang ini untuk ekspansi di dalam tengkorak,
adanya peningkatan salah 1 dari komponen ini menyebabkan perubahan pada
volume darah cerebral tanpa adanya perubahan, TIK akan naik. Peningkatan TIK
yang cukup tinggi, menyebabkan turunnya batang otak (Herniasi batang otak)
yang berakibat kematian (Brunner &Suddart, 2012).
11) Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi berbeda
12) Respons menarik diri pada rangsangan nyeri yang hebat
2. Diagnosa Keperawatan
Kemungkinan Diagnosa Keperawatan yang bias muncul pada pasien dengan Cedera
kepala, menurut (SDKI, 2017) diantaranya:
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik
2) Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan pecahnya pembuluh darah otak
(trauma)
3) Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan spasme jalan nafas
4) Risiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan hambatan mobilitas fisik

3. Intervensi
Rencana Tindakan pada pasien dengan cidera kepala menurut (SIKI PPNI,
2019)
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik
Tujuan dan Kriteria hasil : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …
x24 jam, maka diharapkan tingkat nyeri menurun dengan kriteria hasil :

a. Keluhan nyeri menurun


b. Meringis menurun
c. Gelisah menurun

Intervensi :

1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri


2. Identifikasi skala nyeri
3. Identifikasi respon nyeri non verbal
4. Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
5. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
6. Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
7. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
8. Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
9. Monitor efek samping penggunaan analgetik
10. Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (mis. TENS,
hypnosis, akupresur, terapi musik, biofeedback, terapi pijat, aroma terapi,
teknik imajinasi terbimbing, kompres hangat/dingin, terapi bermain)
11. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis. Suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan)
12. Fasilitasi istirahat dan tidur
13. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi meredakan
nyeri
14. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
15. Jelaskan strategi meredakan nyeri
16. Anjurkan memonitor nyri secara mandiri
17. Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
18. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
19. Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

2) Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan pecahnya pembuluh darah


otak (trauma)
Tujuan dan Kriteria hasil: Setelah dilakukan tindakan perawatan selama ….x24
jam maka Perfusi Perifer meningkat dengan kriteria hasil:

a. Denyut nadi perifer meningkat


b. Warna kulit pucat menurun
c. Kelemahan otot menurun
d. Pengisian kapiler membaik
e. Akral membaik
f. Turgor kulit membaik

Rencana Intervensi :
1. Periksa sirkulasi perifer (mis. Nadi perifer, edema, pengisian kapiler, warna,
suhu)
2. Monitor perubahan kulit
3. Monitor panas, kemerahan, nyeri atau bengkak
4. Identifikasi faktor risiko gangguan sirkulasi
5. Hindari pemasangan infus atau pengambilan darah di area keterbatasan
perfusi
6. Hindari pengukuran tekanan darah pada ekstremitas dengan keterbatasan
perfusi
7. Lakukan pencegahan infeksi
8. Lakukan perawatan kaki dan kuku
9. Anjurkan berhenti merokok
10. Anjurkan berolahraga rutin
11. Anjurkan mengecek air mandiuntun menghindari kulit terbakar
12. Anjurkan meminum obat pengontrol tekanan darah secara teratur
13. Kolaborasi pemberian kortikosteroid, jika perlu
3) Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan spasme jalan nafas

Tujuan dan kriteria hasil : Setelah dilakukan intervensi selama …x24 jam,
diharapkan Bersihan Jalan Napas meningkat dengan kriteria hasil :

a. Batuk efektif meningkat


b. Produksi sputum menurun
c. Wheezing menurun

Intervensi

1. Identifikasi kemampuan batuk


2. Monitor adanya retensi sputum
3. Monitor tanda dan gejala infeksi saluran napas
4. Monitor input dan output cairan (mis. Jumlah dan karakteristik)
5. Atur posisi semi-fowler atau fowler
6. Pasang perlak dan bengkok di pangkuan pasien
7. Buang sekret pada tempat sputum
8. Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif
9. Anjurkan tarik napas dalam melalui hidung selama 4 detik, ditahan selama 2
detik, kemudian keluarkan dari mulut dengan bibir mecucu (dibulakan)
selama 8 detik.
10. Anjurkan mengulangi tarik napas dalam hingga 3 kali
11. Anjurkan batuk dengan kuat langsung setelah tarik napas dalam yang ke-3
12. Kolaborasi pemberian mukolitik atau ekspektoran, jika perlu

4) Risiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan hambatan mobilitas


fisik

Tujuan dan kriteria hasil : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama …x24 jam
diharapkan integritas kulit dan jaringan meningkat dengan kriteria hasil:

a. Kerusakan jaringan menurun


b. Kerusakan lapisan kulit menurun
c. Nyeri menurun
d. Hematoma menurun
e. Nekrosis menurun
f. Sensasi membaik
g. Tekstur membaik

Intervensi :

1. Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit (mis. perubahan sirkulasi,


perubahan status nutrisi penurunan kelembaban, suhu lingkungan ekstrem,
penurunan mobilitas)
2. Bersihkan daerah luka dengan larutan antiseptic
3. Lakukan teknik steril
4. Berikan anastesi topikal atau injeksi didaerah luka
5. Identifikasi tanda-tanda infeksi
6. Gunakan produk berbahan ringan/alami dan hipoalergik pada kulit sensitif
7. Hindari produk berbahan dasar alkohol pada kulit kering
8. Anjurkan minum air yang cukup
9. Anjurkan meningkatkan asupan buah dan sayur

4. Implementasi

Selama tahap implementasi perawat melaksanakan rencana asuhan


keperawatan.Instruksi keperawatan diimplementasikan untuk membantu klien
memenuhi kriteria hasil. Dalam implementasi terdapat tiga komponen tahap
implementasi, yaitu:

1. tindakan keperawatan mandiri,


2. tindakan keperawatan kolaboratif, dan
3. dokumentasi tindakan keperawatan dan respons klien terhadap asuhan
keperawatan (Allen, 1998) dalam (Puspitasari, 2019)

5. Evaluasi

Tahap evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang merupakan
perbandingan hasil-hasil yang diamati dengan kriteria hasil yang dibuat pada tahap
perencanaan. Evaluasi dilakukan secara berkesinambungan dengan melibatkan
klien dan tenaga kesehatan lainnyasecara umum, evaluasi ditujukan untuk melihat
dan menilai kemampuan klien dalam mencapai tujuan, menentukan apakah tujuan
keperawatan telah tercapai atau belum, mengkaji penyebab jika tujuan asuhan
keperawatan belum tercapai.Evaluasi terbagi menjadi dua jenis yaitu evaluasi
formatif dan evaluasi sumatif. Evaluasi formatif berfokus pada aktivitas proses
keperawatan dan hasil tindakan keperawatan, dirumuskan dengan empat komponen
yang dikenal dengan istilah SOAP, subyektif (data berupa keluhan klien), objektif
(data hasil pemeriksaan), analisis data (pembandingan data dengan teori),
perencanaan. Sedangkan evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan setelah
semua aktivitas proses keperawatan selesai dilakukan (Asmadi, 2008) dalam
(Puspitasari, 2019)
DAFTAR PUSTAKA

Delp, & Manning. (2004). Major Diagnosis Fisik. Egc.

Desmawati, A. S. (2013). Sistem Hematologi Dan Imunologi. Jakarta: In Media.

Diklat Rsup Dr. M. Djamil Padang. (2006). Pelatihan Penanggulangan Penderita


Gawat Darurat (Ppgd). Rsup. Dr.M.Djamil Padang.

Diklat Yayasan Ambulance Gawat Darurat 118. (2010). Basic Trauma Life Support
And Basic Cardiac Life Support Edisi Ketiga. Yayasan Ambulance Gawat
Darurat 118.

Eka Saputra, Y. (2017). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Cedera Kepala Di
Ruang Hcu Bedah Rsup Dr. M. Djamil Padang. Pustaka.Poltekkes-Pdg.Ac.Id.

Fulde. (2009). Emergency Medicine (5th Ed.). Elsevier.

Gilbert, D., & Pletz. (2009). Fundamental Of Nursing; Concept, Process, And
Practice (8th Ed.). Addison Wesley Nursig Publishing.

Iqbal, F. (2020). Suhan Keperawatan Pada Pasien Cedera Kepala Ringan Dengan
Masalah Keperawatan Nyeri Akut. Jurnal Keperawatan Universitas
Muhammadiyah Ponorogo, July, 1–23.
Iyer, P. W., & Camp, N. H. (2004). Dokumentasi Keperawatan: Suatu Pendekatan
Proses Keperawatan.

Kartikawati, D. (2014). Buku Ajar Dasar-Dasar Keperawatan Gawat Darurat.

Kasenda, M. (2018). Asuhan Keperawatan Pada Tn “J” Dengan Trauma Kepala


Berat (Tkb) Di Ruang Icu Rsud Bahteramas.
Lombardo, D. (2005). Patient Asessment. In: Newbury L., Criddle L.M., Ed. Sheehy’s
Manual Of Emergency Care, Ed 6. Mosby.

Malauf Kosat, P. (2019). Asuhan Keperawatan Pada Ny. J.R. Dengan Diagnosa
Medik Cedera Kepala Ringan Di Ruang Asoka Rsud Prof.Dr.W.Z.Johanes
Kupang. In ペインクリニック学会治療指針2 (Vol. 3).

Moni, M. P., Yoani, N. S., Vianney, M., Aty, B., Kep, S., & Kep, M. (2015).
Gambaran Pelaksanaan Pendokumentasian Pengkajian Keperawatan Pada
Instalasi Gawat Darurat Rsud Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang( Studi
Dokumentasi ).

Ninds. (2013). Brain Basics Understanding Sleep.

Nugroho. (2016). Teori Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Nuha Medika.

Nurhasim, S. (2015). Pengetahuan Perawat Tentang Response Time Dalam


Penanganan Gawat Darurat Di Ruang Triage Rsud Karanganyar. Program Studi
S1 Keperwatan.

Nursing Association, E. (2007). Competencies For Nurse Practitioners In Emergency


Care. St. Louis Missouri : Elsevier Mosby.

Puspitasari, Kristia Ayu Indah. (2019). Asuhan Keperawatan Pasien Dengan


Penyakit Ginjal Kronik Di Rsud. Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
Sustainability (Switzerland), 11(1), 19.
Http://Scioteca.Caf.Com/Bitstream/Handle/123456789/1091/Red2017-Eng-
8ene.Pdf?Sequence=12&Isallowed=Y%0ahttp://Dx.Doi.Org/10.1016/
J.Regsciurbeco.2008.06.005%0ahttps://Www.Researchgate.Net/Publication/
305320484_Sistem_Pembetungan_Terpusat_Strategi_Melestari

Rosely, S. B. (2018). Skripsi Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecemasan Pada


Pasien Kategori Triage P2 Label Kuning Di Instalasi Gawat Darurat Rsud
Bangil.

Sdki, P. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.

Siki Ppni, T. P. S. D. (2019). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi


Dan Tindakan Keperawatan (P. 527).

Tarwoto. (2013). Keperawatan Medikal Bedah (Ganggaun Sistem Persyarafan). Cv


Agung Seto.

Thygerson, & Alton. (2011). First Aid 5th Edition. Alih Bahasa Dr. Huriawati
Hartantnto. Ed. Rina Astikawati. Pt. Gelora Aksara Pratama.

Wijaya, S. (2010). Konsep Dasar Keperawatan Gawat Darurat. Denpasar: Psik Fk


Unud.

Anda mungkin juga menyukai