Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN INDIVIDU

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. M


DENGAN CEDERA KEPALA BERAT

Disusun untuk Memenuhi Tugas Laporan Individu Praktek Klinik Keperawatan


Mata Kuliah Keperawatan Gawat Darurat
Di Ruang IGD RSUD dr. R. Soedarsono

Disusun Oleh:
ALIFIA NANDA PUSPITA SANTOSO
P17220194066

PRODI D-III KEPERAWATAN MALANG


JURUSAN KEPERAWATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
TAHUN AJARAN 2021/2022
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Cedera Kepala
Berat Di Ruang IGD ini telah diperiksa dan disetujui pada

Hari : ………………………..

Tanggal : ………………….. 2022

Mengetahui,

Pembimbing Lahan Pembimbing Institusi

Marsaid, S.Kep,Ns,M.Kep

Kepala Ruangan
LAPORAN PENDAHULUAN

A. KONSEP TRIAGE

1. Pengertian

Triage adalah suatu tindakan pengelompokkan pasien berdasarkan

pada beratnya cidera yang diprioritaskan ada tidaknya gangguan airway (A),

breathing (B), dan circulation (C) dengan mempertimbangkan sarana,

sumberdaya manusia dan apa yang terjadi pada pasien (Kartikawati, 2014).

Triage merupakan sebuah tindakan pengelompokkan untuk

memprioritaskan pasien berdasarkan resiko, beratnya cidera yang didasarkan

dengan ada atau tindaknya gangguan pada sistem ABC (Airway, Breathing,

and Circulation) dengan mempertimbangkan sarana dan sumber daya yang

tersedia (Rosely, 2018).

2. Tujuan Triage

Tujuan dilakukannya triage adalah untuk mencapai yang terbaik bagi

banyak korban. Tujuan utama adalah untuk mengidentifikasi kondisi

mengancam nyawa. Tujuan triage selanjutnya adalah untuk menetapkan

tingkat atau derajat kegawatan yang memerlukan pertolongan kedaruratan

serta untuk mengelompokkan pasien berdasarkan beratnya cedera (Nurhasim,

2015).

3. Klasifikasi Triage
Menurut Wijaya (2010) beberapa hal yang mendasari klasifikasi
pasien dalam system triage adalah kondisi klien yang meliputi :
a. Gawat, adalah suatu keadaan yang mengancam nyawa dan kecacatan yang
memerlukan penanganan dengan cepat dan tepat.
b. Darurat, adalah suatu keadaan yang tidak mengancam nyawa tapi
memerlukan penanganan cepat dan tepat seperti kegawatan.
c. Gawat darurat, adalah suatu keadaan yang mengancam jiwa disebabkan
oleh gangguan ABC (Airway /  jalan nafas, Breathing / Pernafasan,
Circulation / Sirkulasi), jika tidak ditolong segera maka dapat meninggal
atau cacat.
Berdasarkan prioritas keperawatan dapat dibagi menjadi 4 klasifikasi : (Iyer
and Camp, 2004)
Tabel 1. Klasifikasi Triage
KLASIFIKASI KETERANGAN
Gawat darurat (P1) Keadaan yang mengancam nyawa /
adanya gangguan ABC dan perlu
tindakan segera, misalnya cardiac
arrest, penurunan kesadaran, trauma
mayor dengan perdarahan hebat
Gawat tidak darurat (P2) Keadaan mengancam nyawa tetapi
tidak memerlukan tindakan darurat.
Setelah dilakukan resusitasi maka
ditindaklanjuti oleh dokter spesialis.
Misalnya : pasien kanker tahap lanjut,
fraktur, sickle cell dan lainnya
Darurat tidak gawat (P3) Keadaan yang tidak mengancam
nyawa tetapi memerlukan tindakan
darurat. Pasien sadar, tidak ada
gangguan ABC dan dapat langsung
diberikan terapi definitive. Untuk
tindak lanjut dapat ke poliklinik,
misalnya laserasi, fraktur minor / 
tertutup, otitis media dan lainnya
Tidak gawat tidak darurat (P4) Keadaan tidak mengancam nyawa dan
tidak memerlukan tindakan gawat.
Gejala dan tanda klinis ringan /
asimptomatis. Misalnya penyakit
kulit, batuk, flu, dan sebagainya.

Tabel 2. Klasifikasi berdasarkan Tingkat Prioritas (Labeling)


KLASIFIKASI KETERANGAN
Prioritas I (MERAH) Mengancam jiwa atau fungsi vital,
perlu resusitasi dan tindakan bedah
segera, mempunyai kesempatan hidup
yang besar. Penanganan dan
pemindahan bersifat segera yaitu
gangguan pada jalan nafas, pernafasan
dan sirkulasi. Contohnya sumbatan
jalan nafas, tension pneumothorak,
syok hemoragik, luka terpotong pada
tangan dan kaki, combutio (luka bakar
tingkat II dan III > 25 %
Prioritas II (KUNING) Potensial mengancam nyawa atau
fungsi vital bila tidak segera ditangani
dalam jangka waktu singkat.
Penanganan dan pemindahan bersifat
jangan terlambat. Contoh : patah
tulang besar, combutio (luka bakar)
tingkat II dan III < 25 %, trauma
thorak / abdomen, laserasi luas,
trauma bola mata.
Prioritas III (HIJAU) Perlu penanganan seperti pelayanan
biasa, tidak perlu segera. Penanganan
dan pemindahan bersifat terakhir.
Contoh luka superficial, luka-luka
ringan.
Prioritas 0 (HITAM) Kemungkinan untuk hidup sangat
kecil, luka sangat parah. Hanya perlu
terapi suportif. Contoh henti jantung
kritis, trauma kepala kritis.

Tabel 3. Klasifikasi berdasarkan Tingkat Keakutan (Iyer, 2004).


TINGKAT KEAKUTAN KETERANGAN
Kelas I Pemeriksaan fisik rutin (misalnya
memar minor) dapat menunggu lama
tanpa bahaya
Kelas II Nonurgen / tidak mendesak (misalnya
ruam, gejala flu) dapat menunggu
lama tanpa bahaya
Kelas III Semi-urgen / semi mendesak
(misalnya otitis media) dapat
menunggu sampai 2 jam sebelum
pengobatan
Kelas IV Urgen / mendesak (misalnya fraktur
panggul, laserasi berat, asma); dapat
menunggu selama 1 jam
Kelas V Gawat darurat (misalnya henti

jantung, syok); tidak boleh ada

keterlambatan pengobatan ; situasi


yang mengancam hidup

B. PRIMARY SURVEY

Primary survey menyediakan evaluasi yang sistematis, pendeteksian dan


manajemen segera terhadap komplikasi akibat trauma parah yang mengancam
kehidupan. Tujuan dari Primary survey adalah untuk mengidentifikasi dan
memperbaiki dengan segera masalah yang mengancam kehidupan. Prioritas yang
dilakukan pada primary survey antara lain (Fulde, 2009) :
 Airway maintenance dengan cervical spine protection
 Breathing dan oxygenation
 Circulation dan kontrol perdarahan eksternal
 Disability-pemeriksaan neurologis singkat
 Exposure dengan kontrol lingkungan
Primary survey dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain (Gilbert.,
D’Souza., & Pletz, 2009) :
a) General Impressions
 Memeriksa kondisi yang mengancam nyawa secara umum.
 Menentukan keluhan utama atau mekanisme cedera
 Menentukan status mental dan orientasi (waktu, tempat, orang)
b) Pengkajian Airway
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa responsivitas
pasien dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada atau tidaknya
sumbatan jalan nafas. Seorang pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka
jalan nafas pasien terbuka (Thygerson, 2011). Pasien yang tidak sadar mungkin
memerlukan bantuan airway dan ventilasi. Tulang belakang leher harus dilindungi
selama intubasi endotrakeal jika dicurigai terjadi cedera pada kepala, leher atau
dada. Obstruksi jalan nafas paling sering disebabkan oleh obstruksi lidah pada
kondisi pasien tidak sadar (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara lain :
 Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau
bernafas dengan bebas?
 Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:
 Adanya snoring atau gurgling
 Stridor atau suara napas tidak normal
 Agitasi (hipoksia)
 Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest movements
 Sianosis
 Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian atas dan
potensial penyebab obstruksi :
 Muntahan
 Perdarahan
 Gigi lepas atau hilang
 Gigi palsu
 Trauma wajah
 Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien terbuka.
 Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien yang
berisiko untuk mengalami cedera tulang belakang.
 Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien sesuai
indikasi :
 Chin lift/jaw thrust
 Lakukan suction (jika tersedia)
 Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal Mask
Airway
 Lakukan intubasi

c) Pengkajian Breathing (Pernafasan)


Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan nafas
dan keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada pasien tidak
memadai, maka langkah-langkah yang harus dipertimbangkan adalah: dekompresi
dan drainase tension pneumothorax/haemothorax, closure of open chest injury dan
ventilasi buatan (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien antara lain :
 Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan oksigenasi
pasien.
 Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada tanda-
tanda sebagai berikut : cyanosis, penetrating injury, flail chest, sucking
chest wounds, dan penggunaan otot bantu pernafasan.
 Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling iga,
subcutaneous emphysema, perkusi berguna untuk diagnosis
haemothorax dan pneumotoraks.
 Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.
 Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien jika perlu.
 Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih lanjut mengenai
karakter dan kualitas pernafasan pasien.
 Penilaian kembali status mental pasien.
 Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
 Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan / atau oksigenasi:
 Pemberian terapi oksigen
 Bag-Valve Masker
 Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi penempatan yang
benar), jika diindikasikan
 Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced airway
procedures
 Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa lainnya dan berikan
terapi sesuai kebutuhan.
d) Pengkajian Circulation
Shock didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi
jaringan. Hipovolemia adalah penyebab syok paling umum pada trauma.
Diagnosis shock didasarkan pada temuan klinis: hipotensi, takikardia, takipnea,
hipotermia, pucat, ekstremitas dingin, penurunan capillary refill, dan penurunan
produksi urin. Oleh karena itu, dengan adanya tanda-tanda hipotensi merupakan
salah satu alasan yang cukup aman untuk mengasumsikan telah terjadi perdarahan
dan langsung mengarahkan tim untuk melakukan upaya menghentikan
pendarahan. Penyebab lain yang mungkin membutuhkan perhatian segera adalah:
tension pneumothorax, cardiac tamponade, cardiac, spinal shock dan
anaphylaxis. Semua perdarahan eksternal yang nyata harus diidentifikasi melalui
paparan pada pasien secara memadai dan dikelola dengan baik (Wilkinson &
Skinner, 2000)..
Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien, antara
lain :
 Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
 CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk digunakan.
 Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan pemberian
penekanan secara langsung.
 Palpasi nadi radial jika diperlukan:
 Menentukan ada atau tidaknya
 Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)
 Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)
 Regularity
 Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau hipoksia
(capillary refill).
 Lakukan treatment terhadap hipoperfusi
e) Pengkajian Level of Consciousness dan Disabilities
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU :
 A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi perintah
yang
diberikan
 V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak
bisa dimengerti
 P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika
ekstremitas
awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon)
 U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus nyeri
maupun stimulus verbal.
f) Expose, Examine dan Evaluate
Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien. Jika pasien
diduga memiliki cedera leher atau tulang belakang, imobilisasi in-line penting
untuk dilakukan. Lakukan log roll ketika melakukan pemeriksaan pada punggung
pasien. Yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan pada pasien adalah
mengekspos pasien hanya selama pemeriksaan eksternal. Setelah semua
pemeriksaan telah selesai dilakukan, tutup pasien dengan selimut hangat dan jaga
privasi pasien, kecuali jika diperlukan pemeriksaan ulang (Thygerson, 2011).
Dalam situasi yang diduga telah terjadi mekanisme trauma yang mengancam
jiwa, maka Rapid Trauma Assessment harus segera dilakukan:
 Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada pasien
 Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam nyawa pasien
luka dan mulai melakukan transportasi pada pasien yang berpotensi tidak
stabil atau kritis.
(Gilbert., D’Souza., & Pletz, 2009)

C. SECONDARY ASSESMENT
Survey sekunder merupakan pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan
secara head to toe, dari depan hingga belakang. Secondary survey hanya dilakukan
setelah kondisi pasien mulai stabil, dalam artian tidak mengalami syok atau tanda-
tanda syok telah mulai membaik.
1. Anamnesis
Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat pasien yang
merupakan bagian penting dari pengkajian pasien. Riwayat pasien meliputi
keluhan utama, riwayat masalah kesehatan sekarang, riwayat medis, riwayat
keluarga, sosial, dan sistem. (Emergency Nursing Association, 2007). Pengkajian
riwayat pasien secara optimal harus diperoleh langsung dari pasien, jika berkaitan
dengan bahasa, budaya, usia, dan cacat atau kondisi pasien yang terganggu,
konsultasikan dengan anggota keluarga, orang terdekat, atau orang yang pertama
kali melihat kejadian. Anamnesis yang dilakukan harus lengkap karena akan
memberikan gambaran mengenai cedera yang mungkin diderita. Beberapa
contoh:
a. Tabrakan frontal seorang pengemudi mobil tanpa sabuk pengaman: cedera
wajah, maksilo-fasial, servikal. Toraks, abdomen dan tungkai bawah.
b. Jatuh dari pohon setinggi 6 meter perdarahan intra-kranial, fraktur servikal
atau vertebra lain, fraktur ekstremitas.
c. Terbakar dalam ruangan tertutup: cedera inhalasi, keracunan CO.
Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari pasien dan
keluarga (Emergency Nursing Association, 2007):
A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester, makanan)
M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang
menjalani
pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau
penyalahgunaan obat
P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang
pernah
diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan herbal)
L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi
berapa
jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi termasuk dalam
komponen ini)
E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian yang
menyebabkan adanya keluhan utama)
Ada beberapa cara lain untuk mengkaji riwayat pasien yang disesuaikan dengan
kondisi pasien. Pada pasien dengan kecenderungan konsumsi alkohol, dapat
digunakan beberapa pertanyaan di bawah ini (Emergency Nursing Association,
2007):
 C. have you ever felt should Cut down your drinking?
 A. have people Annoyed you by criticizing your drinking?
 G. have you ever felt bad or Guilty about your drinking?
 E. have you ever had a drink first think in the morning to steady your
nerver or get rid of a hangover (Eye-opener)
Jawaban Ya pada beberapa kategori sangat berhubungan dengan masalah
konsumsi alkohol.
Pada kasus kekerasan dalam rumah tangga akronim HITS dapat digunakan dalam
proses pengkajian. Beberapa pertanyaan yang diajukan antara lain : “dalam
setahun terakhir ini seberapa sering pasanganmu” (Emergency Nursing
Association, 2007):
 Hurt you physically?
 Insulted or talked down to you?
 Threathened you with physical harm?
 Screamed or cursed you?

Akronim PQRST ini digunakan untuk mengkaji keluhan nyeri pada pasien yang
meliputi :
 Provokes/palliates : apa yang menyebabkan nyeri? Apa yang membuat
nyerinya lebih baik? apa yang menyebabkan nyerinya lebih buruk? apa
yang anda lakukan saat nyeri? apakah rasa nyeri itu membuat anda
terbangun saat tidur?
 Quality : bisakah anda menggambarkan rasa nyerinya?apakah seperti diiris,
tajam, ditekan, ditusuk tusuk, rasa terbakar, kram, kolik, diremas? (biarkan
pasien mengatakan dengan kata-katanya sendiri.
 Radiates: apakah nyerinya menyebar? Menyebar kemana? Apakah nyeri
terlokalisasi di satu titik atau bergerak?
 Severity : seberapa parah nyerinya? Dari rentang skala 0-10 dengan 0 tidak
ada nyeri dan 10 adalah nyeri hebat
 Time : kapan nyeri itu timbul?, apakah onsetnya cepat atau lambat? Berapa
lama nyeri itu timbul? Apakah terus menerus atau hilang timbul?apakah
pernah merasakan nyeri ini sebelumnya?apakah nyerinya sama dengan
nyeri sebelumnya atau berbeda?
Setelah dilakukan anamnesis, maka langkah berikutnya adalah pemeriksaan
tanda-tanda vital. Tanda tanda vital meliputi suhu, nadi, frekuensi nafas, saturasi
oksigen, tekanan darah, berat badan, dan skala nyeri.
Berikut ini adalah ringkasan tanda-tanda vital untuk pasien dewasa
menurut Emergency Nurses Association,(2007).
Komponen Nilai normal Keterangan
Suhu 36,5-37,5 Dapat di ukur melalui oral,
aksila, dan rectal. Untuk
mengukur suhu inti
menggunakan kateter arteri
pulmonal, kateter urin,
esophageal probe, atau
monitor tekanan intracranial
dengan pengukur suhu. Suhu
dipengaruhi oleh aktivitas,
pengaruh lingkungan, kondisi
penyakit, infeksi dan injury.
Nadi 60-100x/menit Dalam pemeriksaan nadi
perlu dievaluais irama
jantung, frekuensi, kualitas
dan kesamaan.
Respirasi 12-20x/menit Evaluasi dari repirasi
meliputi frekuensi, auskultasi
suara nafas, dan inspeksi dari
usaha bernafas. Tada dari
peningkatan usah abernafas
adalah adanya pernafasan
cuping hidung, retraksi
interkostal, tidak mampu
mengucapkan 1 kalimat
penuh.
Saturasi oksigen >95% Saturasi oksigen di monitor
melalui oksimetri nadi, dan
hal ini penting bagi pasien
dengan gangguan respirasi,
penurunan kesadaran,
penyakit serius dan tanda
vital yang abnormal.
Pengukurna dapat dilakukan
di jari tangan atau kaki.
Tekanan darah 120/80mmHg Tekana darah mewakili dari
gambaran kontraktilitas
jantung, frekuensi jantung,
volume sirkulasi, dan tahanan
vaskuler perifer. Tekanan
sistolik menunjukkan cardiac
output, seberapa besar dan
seberapa kuat darah itu
dipompakan. Tekanan
diastolic menunjukkan fungsi
tahanan vaskuler perifer.
Berat badan Berat badan penting diketahui
di UGD karena berhubungan
dengan keakuratan dosis atau
ukuran. Misalnya dalam
pemberian antikoagulan,
vasopressor, dan medikasi
lain yang tergantung dengan
berat badan.

2. Pemeriksaan fisik
a. Kulit kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa. Sering terjadi pada penderita yang
datang dengan cedera ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang berasal dari
bagian belakang kepala penderita. Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh
kepala dan wajah untuk adanya pigmentasi, laserasi, massa, kontusio, fraktur
dan luka termal, ruam, perdarahan, nyeri tekan serta adanya sakit kepala
(Delp & Manning. 2004).

b. Wajah
Ingat prinsip look-listen-feel. Inspeksi adanya kesimterisan kanan dan
kiri. Apabila terdapat cedera di sekitar mata jangan lalai memeriksa mata,
karena pembengkakan di mata akan menyebabkan pemeriksaan mata
selanjutnya menjadi sulit. Re evaluasi tingkat kesadaran dengan skor GCS.
1) Mata : periksa kornea ada cedera atau tidak, ukuran pupil
apakah
isokor atau anisokor serta bagaimana reflex
cahayanya, apakah pupil mengalami miosis atau
midriasis, adanya ikterus, ketajaman mata (macies
visus dan acies campus), apakah konjungtivanya
anemis atau adanya kemerahan, rasa nyeri, gatal-gatal,
ptosis, exophthalmos, subconjunctival perdarahan,
serta diplopia
2) Hidung :periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri,
penyumbatan
penciuman, apabila ada deformitas (pembengkokan)
lakukan palpasi akan kemungkinan krepitasi dari suatu
fraktur.
3) Telinga :periksa adanya nyeri, tinitus, pembengkakan,
penurunan
atau hilangnya pendengaran, periksa dengan senter
mengenai keutuhan membrane timpani atau adanya
hemotimpanum
4) Rahang atas : periksa stabilitas rahang atas
5) Rahang bawah: periksa akan adanya fraktur
6) Mulut dan faring : inspeksi pada bagian mucosa terhadap tekstur, warna,
kelembaban, dan adanya lesi; amati lidah tekstur,
warna, kelembaban, lesi, apakah tosil meradang,
pegang dan tekan daerah pipi kemudian rasakan apa
ada massa/ tumor, pembengkakkan dan nyeri, inspeksi
amati adanya tonsil meradang atau tidak
(tonsillitis/amandel). Palpasi adanya respon nyeri

c. Vertebra servikalis dan leher


Pada saat memeriksa leher, periksa adanya deformitas tulang atau
krepitasi, edema, ruam, lesi, dan massa , kaji adanya keluhan disfagia
(kesulitan menelan) dan suara serak harus diperhatikan, cedera tumpul atau
tajam, deviasi trakea, dan pemakaian otot tambahan. Palpasi akan adanya
nyeri, deformitas, pembekakan, emfisema subkutan, deviasi trakea, kekakuan
pada leher dan simetris pulsasi. Tetap jaga imobilisasi segaris dan proteksi
servikal. Jaga airway, pernafasan, dan oksigenasi. Kontrol perdarahan, cegah
kerusakan otak sekunder.
d. Toraks
Inspeksi : Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan belakang
untuk adanya trauma tumpul/tajam,luka, lecet, memar, ruam ,
ekimosiss, bekas luka, frekuensi dan kedalaman pernafsan,
kesimetrisan expansi dinding dada, penggunaan otot
pernafasan tambahan dan ekspansi toraks bilateral, apakah
terpasang pace maker, frekuensi dan irama denyut jantung,
(lombardo, 2005)
Palpasi : seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul,
emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.
Perkusi : untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan
Auskultasi : suara nafas tambahan (apakah ada ronki, wheezing, rales) dan
bunyi jantung (murmur, gallop, friction rub)
e. Abdomen
Cedera intra-abdomen kadang-kadang luput terdiagnosis, misalnya
pada keadaan cedera kepala dengan penurunan kesadaran, fraktur vertebra
dengan kelumpuhan (penderita tidak sadar akan nyeri perutnya dan gejala
defans otot dan nyeri tekan/lepas tidak ada). Inspeksi abdomen bagian depan
dan belakang, untuk adanya trauma tajam, tumpul dan adanya perdarahan
internal, adakah distensi abdomen, asites, luka, lecet, memar, ruam, massa,
denyutan, benda tertusuk, ecchymosis, bekas luka , dan stoma. Auskultasi
bising usus, perkusi abdomen, untuk mendapatkan, nyeri lepas (ringan).
Palpasi abdomen untuk mengetahui adakah kekakuan atau nyeri tekan,
hepatomegali,splenomegali,defans muskuler,, nyeri lepas yang jelas atau
uterus yang hamil. Bila ragu akan adanya perdarahan intra abdominal, dapat
dilakukan pemeriksaan DPL (Diagnostic peritoneal lavage, ataupun USG
(Ultra Sonography). Pada perforasi organ berlumen misalnya usus halus
gejala mungkin tidak akan nampak dengan segera karena itu memerlukan re-
evaluasi berulang kali. Pengelolaannya dengan transfer penderita ke ruang
operasi bila diperlukan (Tim YAGD 118, 2010).
f. Pelvis (perineum/rectum/vagina)
Cedera pada pelvis yang berat akan nampak pada pemeriksaan fisik
(pelvis menjadi stabil), pada cedera berat ini kemungkinan penderita akan
masuk dalam keadaan syok, yang harus segera diatasi. Bila ada indikasi
pasang PASG/ gurita untuk mengontrol perdarahan dari fraktur pelvis (Tim
YAGD 118, 2010).
Pelvis dan perineum diperiksa akan adanya luka, laserasi , ruam, lesi,
edema, atau kontusio, hematoma, dan perdarahan uretra. Colok dubur harus
dilakukan sebelum memasang kateter uretra. Harus diteliti akan kemungkinan
adanya darah dari lumen rectum, prostat letak tinggi, adanya fraktur pelvis,
utuh tidaknya rectum dan tonus musculo sfinkter ani. Pada wanita,
pemeriksaan colok vagina dapat menentukan adanya darah dalam vagina atau
laserasi, jika terdapat perdarahan vagina dicatat, karakter dan jumlah
kehilangan darah harus dilaporkan (pada tampon yang penuh memegang 20
sampai 30 mL darah). Juga harus dilakuakn tes kehamilan pada semua wanita
usia subur. Permasalahan yang ada adalah ketika terjadi kerusakan uretra
pada wanita, walaupun jarang dapat terjadi pada fraktur pelvis dan straddle
injury. Bila terjadi, kelainan ini sulit dikenali, jika pasien hamil, denyut
jantung janin (pertama kali mendengar dengan Doppler ultrasonografi pada
sekitar 10 sampai 12 kehamilan minggu) yang dinilai untuk frekuensi, lokasi,
dan tempat. Pasien dengan keluhan kemih harus ditanya tentang rasa sakit
atau terbakar dengan buang air kecil, frekuensi, hematuria, kencing berkurang,
Sebuah sampel urin harus diperoleh untuk analisis.(Diklat RSUP Dr.
M.Djamil, 2006).
g. Ektremitas
Pemeriksaan dilakukan dengan look-feel-move. Pada saat inspeksi,
jangan lupa untuk memriksa adanya luka dekat daerah fraktur (fraktur
terbuak), pada saat pelapasi jangan lupa untuk memeriksa denyut nadi distal
dari fraktur pada saat menggerakan, jangan dipaksakan bila jelas fraktur.
Sindroma kompartemen (tekanan intra kompartemen dalam ekstremitas
meninggi sehingga membahayakan aliran darah), mungkin luput terdiagnosis
pada penderita dengan penurunan kesadaran atau kelumpuhan (Tim YAGD
118, 2010). Inspeksi pula adanya kemerahan, edema, ruam, lesi, gerakan, dan
sensasi harus diperhatikan, paralisis, atropi/hipertropi otot, kontraktur,
sedangkan pada jari-jari periksa adanya clubbing finger serta catat adanya
nyeri tekan, dan hitung berapa detik kapiler refill (pada pasien hypoxia lambat
s/d 5-15 detik.
Penilaian pulsasi dapat menetukan adanya gangguan vaskular.
Perlukaan berat pada ekstremitas dapat terjadi tanpa disertai fraktur.kerusakn
ligament dapat menyebabakan sendi menjadi tidak stabil, keruskan otot-
tendonakan mengganggu pergerakan. Gangguan sensasi dan/atau hilangnya
kemampuan kontraksi otot dapat disebabkan oleh syaraf perifer atau iskemia.
Adanya fraktur torako lumbal dapat dikenal pada pemeriksaan fisik dan
riwayat trauma. Perlukaan bagian lain mungkin menghilangkan gejala fraktur
torako lumbal, dan dalam keadaan ini hanya dapat didiagnosa dengan foto
rongent. Pemeriksaan muskuloskletal tidak lengkap bila belum dilakukan
pemeriksaan punggung penderita. Permasalahan yang muncul adalah
1) Perdarahan dari fraktur pelvis dapat berat dan sulit dikontrol, sehingga
terjadi syok yang dpat berakibat fatal
2) Fraktur pada tangan dan kaki sering tidak dikenal apa lagi penderita dalam
keadaan tidak sada. Apabila kemudian kesadaran pulih kembali barulah
kelainan ini dikenali.
3) Kerusakan jaringan lunak sekitar sendi seringkali baru dikenal setelah
penderita mulai sadar kembali (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).
h. Bagian punggung
Memeriksa punggung dilakukan dilakukan dengan log roll,
memiringkan penderita dengan tetap menjaga kesegarisan tubuh). Pada saat
ini dapat dilakukan pemeriksaan punggung (Tim YAGD 118, 2010).
Periksa`adanya perdarahan, lecet, luka, hematoma, ecchymosis, ruam, lesi,
dan edema serta nyeri, begitu pula pada kolumna vertebra periksa adanya
deformitas.
i. Neurologis
Pemeriksaan neurologis yang diteliti meliputi pemeriksaan tingkat
kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, oemeriksaan motorik dan sendorik.
Peubahan dalam status neirologis dapat dikenal dengan pemakaian GCS.
Adanya paralisis dapat disebabakan oleh kerusakan kolumna vertebralis atau
saraf perifer. Imobilisasi penderita dengan short atau long spine board, kolar
servikal, dan alat imobilisasi dilakukan samapai terbukti tidak ada fraktur
servikal. Kesalahan yang sering dilakukan adalah untuk melakukan fiksasai
terbatas kepada kepala dan leher saja, sehingga penderita masih dapat
bergerak dengan leher sebagai sumbu. Jelsalah bahwa seluruh tubuh penderita
memerlukan imobilisasi. Bila ada trauma kepala, diperlukan konsultasi
neurologis. Harus dipantau tingkat kesadaran penderita, karena merupakan
gambaran perlukaan intra cranial. Bila terjadi penurunan kesadaran akibat
gangguan neurologis, harus diteliti ulang perfusi oksigenasi, dan ventilasi
(ABC). Perlu adanya tindakan bila ada perdarahan epidural subdural atau
fraktur kompresi ditentukan ahli bedah syaraf (Diklat RSUP Dr. M.Djamil,
2006).
Pada pemeriksaan neurologis, inspeksi adanya kejang, twitching,
parese, hemiplegi atau hemiparese (ganggguan pergerakan), distaksia
( kesukaran dalam mengkoordinasi otot), rangsangan meningeal dan kaji pula
adanya vertigo dan respon sensori.
A. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul dalam kasus dispepsia
ialah :
 Nyeri Akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis
(iritasi pada mukosa lambung)
 Nausea berhubungan dengan iritasi lambung
 Hipovolemi berhubungan dengan kehilangan cairan aktif
 Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna
makanan
 Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar
informasi (SDKI, 2016)
B. Tindakan Keperawatan Emergensi
 Pengaturan posisi pasien
 Pemberian terapi kompres hangat
 Pemasangan cairan parenteral

D. KONSEP CEDERA KEPALA


1. Pengertian
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai
atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas otak (Muttaqin, 2008). Cedera kepala adalah trauma yang
mengenai otak disebabkan oleh kekuatan eksternal yang menimbulkan perubahan
tingkat kesadaran dan perubahan kemampuan kognitif, fungsi fisik, fungsi
tingkah laku dan emosional (Widagdo, Suharyanto and Aryani, 2008) dalam
(Putri, 2021).
Cedera kepala berat adalah keadaan dimana penderita tidak mampu
melakukan perintah sederhana oleh karena kesadaran menurun (GCS < 8)
(Advanced Trauma Life Support, 2008). Dari semua pengertian di atas dapat
disimpulkan cedera kepala berat adalah proses terjadi trauma langsung atau
deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan suatu gangguan traumatik dari 9
fungsi otak yang disertai atau tanpa perdarahan interstitial dimana mengalami
penurunan kesadaran dengan skor GCS 3 sampai 8 dan mengalami amnesia > 24
jam (Putri, 2021).
Cedera kepala berat memiliki tingkat mortalitas tinggi, oleh karena itu
mengetahui prognosis cedera kepala berat menjadi sangat penting untuk
memberikan informasi mengenai perjalanan penyakit (Riley et al., 2013).
Standart perawatan cedera kepala berat yang perlu dilakukan meliputi pengkajian
sistematis secara dini dan melakukan penanganan Airway, Breathing, Circulation,
Disability, Exposure. Perawat memiliki peran penting dalam mengenali tanda dan
gejala dari gangguan yang dialami oleh pasien dan melakukan penanganan yang
sesuai untuk mencegah komplikasi dan meningkatkan prognosis pasien.

2. Tanda dan Gejala


Menurut Manurung (2018), tanda dan gejala dari cedera kepala antara lain:
a) Commotio Cerebri
1) Tidak sadar selama kurang atau sama dengan 10 menit
2) Mual dan muntah
3) Nyeri kepala (pusing)
4) Nadi, suhu, tekanan darah menurun atau normal
b) Contosio cerebri
1) Tidak sadar lebih 10 menit
2) Amnesia anterograde
3) Mual dan muntah
4) Penurunan tingkat kesadaran
5) Gejala neurologi, seperti parese
6) Perdarahan
c) Laserasio Serebri
1) Jaringan robek akibat fragmen patah
2) Pingsan maupun tidak sadar selama berhari-hari/berbulan-bulan
3) Kelumpuhan anggota gerak
4) Kelumpuhan saraf otak
5) Manifestasi klinis spesifik
3. Klasifikasi
Gejala klinis dari trauma kapitis ditentukan oleh derajat cedera dan lokasinya.
Derajat cedera otak kurang lebih sesuai dengan tingkat gangguan kesadaran
penderita. Tingkat yang paling ringan ialah pada penderita gegar otak, dengan
gangguan kesadaran yang berlangsung hanya beberapa menit saja, atas dasar ini
trauma kepala menurut Putri (2021) dapat digolongkan menjadi:
1) Cedera kepala ringan (kelompok risiko rendah)
a) Skor skala koma Glasgow 15 (sadar penuh, alternative dan orientatif)
b) Tidak ada kehilangan kesadaran (misalnya konkusi)
c) Tidak ada intoksikasi alcohol atau obat terlarang
d) Klien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing.
e) Pasien dapat mengeluh abrasi, laserasi atau hematoma kulit kepala
f) Tidak adanya kriteria cedera, sedang berat.
2) Cedera kepala sedang (kelompok risiko sedang)
a) Skor skala koma Glasgow 9-14 (kontusi, latergi atau stupor)
b) Konfusi
c) Amnesia pasca trauma
d) Muntah
e) Tanda kemungkinan fraktur cranium (tanda battle, mata rabun,
hemotimpanum, otore atau rinore cairan cerebrospinal
f) Kejang
3) Cedera kepala berat (kelompok risiko berat)
a) Skor skala koma Glasgow 3-8 (koma)
b) Penurunan derajat kesadaran secara progersif
c) Tanda neurologis fokal
d) Cedera kepala penetrasi atau serba fraktur depresi cranium.
4. Etiologi
Menurut Brain Injury Association of America (2013), penyebab utama cedera
kepala adalah karena terjatuh sebanyak 28%, kecelakaan lalu lintas sebanyak
20%, Karena disebabkan kecelakaan secara umum sebanyak 19% dan kekerasan
sebanyak 11% dan akibat ledakan di medan perang merupakan penyebab utama
cedera kepala.
Penyebab cedera kepala, antara lain :
a) Kecelakaan Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kendaraan bermotor
bertabrakan dengan kendaraan yang lain atau benda lain sehingga
menyebabkan kerusakan atau cedera pada pengguna jalan raya.
b) Jatuh Jatuh didefinisikan sebagai (terlepas) turun atau meluncur ke bawah
dengan cepat karena gravitasi bumi baik ketika masih di gerakan turun
maupun sesudah sampai ke tanah.
c) Kekerasan Kekerasan di definisikan sebagai suatu perihal atau perbuatan
seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain.
d) Peluru Cenderung hilangnya jaringan seiring dengan trauma. Pembengkakan
otak merupakan masalah akibat disrupsi tengkorak yang secara otomatis akan
menekan otak.
e) Rotasi/deselerasi Fleksi, ekstensi, atau rotasi leher menghasilkan serangan
pada otak yang menyerang titik-titik tulang dalam tengkorak (misalnya pada
sayap dari tulang stenoid). Rotasi yang hebat juga menyebabkan trauma
robekan didalam substansi putih otak dan batang otak, menyebabkan cedera
aksonal dan bintik-bintik perdarahan intraserebral.
5. Patofisiologi
Menurut Rendy dan Margareth (2012) patofisiologi cedera kepala berat yaitu :
otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat
terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui
proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran
darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian
pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar otak tidak boleh kurang dari
20 mg%, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25%
dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun
sampai 70% akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan
oksigen melalui proses metabolic anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi
pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi
penimbunan asam laktat akibat metabolism anaerob. Hal ini akan menyebabkan
asidosis metabolic. Cedera kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung
sekuncup aktivitas atypical-myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan edema
paru. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T
dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan vebtrikel, takikardia. Akibat adanya
perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan
tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh arah arteriol akan berkontraksi.
Pengaruh persyarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan
arteriol otak tidak begitu besar.
6. Pathway
Mekanisme cedera
aselerasi dan deselerasi

Trauma Kepala

Destruksi vaskuler Cedera jaringan otak, Lesi pada kepala


kerusakan sawar darah otak
Hematoma
Pertahanan primer tubuh
Degranulasi sel - sel mast
(kulit) tidak adekuat
Berkurangnya
volume cairan Pelepasan histamin Port entry
intravaskuler
agen infeksius
vasodilatasi dan
Kekurangan
permeabilitas kapiler Risiko
Volume Cairan
Infeksi
Tubuh Eksudasi cairan dari intravaskuler
ke jaringan interstisiil otak

Edema Serebral

Peningkatan TIK

Penekanan pusat pernafasan di


Cerebral Blood Flow
medulla oblongata dan pons

Suplai O2 ke jaringan otak Fungsi pernafasan terganggu

Pemasangan ETT
Perfusi Jaringan dan mayo Pola Nafas Tidak Efektif
Serebral Tidak Efektif

Penumpukan sekret pada


saluran pernafasan

Bersihan Jalan Nafas


Tidak Efektif
7. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Manurung (2018), hasil pemeriksaan laboratorium yang sering
ditemukan pada pasien dengan cedera kepala sebagai berikut :
a) Foto Polos
Foto polos indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm , luka tembus
(peluru/tajam), deformasi kepala (dari inspeksi dan palpasi), nyeri kepala
yang menetap, gejala fokal neurologis, dan gangguan kesadaran.
b) CT – Scan
CT scan kepala adalah standart baku dalam penatalaksanaan cedera kepala.
Pemeriksaan CT scan kepala untuk memastikan adanya patah tulang,
pendarahan, pembengkakan jaringan otak, dan kelainan lain di otak. Indikasi
CT Scan adalah :
1) Nyeri kepala menetap atau muntah-muntah yang tidak menghilang setelah
pemberian obat-obatan analgesia atau antimuntah.
2) Adanya kejang – kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat pada
lesi intrakranial dibandingkan dengan kejang general.
3) Penurunan GCS lebih dari 1 dimana faktor – faktor ekstrakranial telah
disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi misalnya karena syok,
febris, dll).
4) Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai.
5) Luka tembus akibat benda tajam dan peluru.
6) Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS
c) Untuk pemeriksaan laboratorium, umumnya pemeriksaan darah lengkap, gula
darah sewaktu, ureum-kreatinin, analisis gas darah dan elektrolit.
d) Pemeriksaan neuropsikologis (sistem saraf kejiwaan) adalah komponen
penting pada penilaian dan penatalaksanan cedera (Anurogo and Usman,
2014)
e) MRI
Magnetic resonance imaging (MRI) biasa digunakan untuk pasien yang
memiliki abnormalitas status mental yang digambarkan oleh CT Scan. MRI
telah terbukti lebih sensitif daripada CT-Scan, terutama dalam
mengidentifikasi lesi difus non hemoragik cedera aksonal.
f) EEG
Peran yang paling berguna EEG pada cedera kepala mungkin untuk
membantu dalam diagnosis status epileptikus non konfulsif. Dapat melihat
perkembangan gelombang yang patologis. Dalam sebuah studi landmark
pemantauan EEG terus menerus pada pasien rawat inap dengan cedera otak
traumatik. Kejang konfulsif dan non konfulsif tetap terlihat dalam 22%. Pada
tahun 2012 sebuah studi melaporkan bahwa perlambatan yang parah pada
pemantauan EEG terus menerus berhubungan dengan gelombang delta atau
pola penekanan melonjak dikaitkan dengan hasil yang buruk pada bulan
ketiga dan keenam pada pasien dengan cedera otak traumatik.
g) Serebral angiography: menunjukan anomalia sirkulasi serebral , seperti
perubahan jarigan otak sekunder menjadi udema, perubahan dan trauma.
h) Serial EEG: dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis.
i) X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis (perdarahan / edema), fragmen tulang.
j) BAER: mengoreksi bats fungsi corteks dan otak kecil
k) PET: mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
l) CSF, lumbalis punksi : dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
m) ABGs: mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial
n) Kadar elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrakranial
o) Screen toxicologi: untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan
penurunan kesadaran (Rendy and Margaret Clevo, 2012)
p) Rontgen thoraks 2 arah (PA/AP dan lateral) Rontgen thoraks menyatakan
akumulasi udara/cairan pada area pleural
q) Toraksentesis menyatakan darah/cairan
r) Analisa Gas Darah (AGD/Astrup) Analisa gas darah adalah salah satu tes
diagnostic untuk menentukan status repirasi. Status respirasi yang dapat
digambarkan melalui pemeriksaan AGD ini adalah status oksigenasi dan
status asam basa.
8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien dengan cedera kepala meliputi sebagai berikut
(Manurung, 2018):
a. Keperawatan 1) Observasi 24 jam 2) Jika pasien masih muntah sementara
dipuasakan terlebih dahulu. Makanan atau cairan, pada trauma ringan bila
muntah-muntah, hanya cairan infus dextrose 5%, amnifusin, aminofel (18
jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikan
makanan lunak 3) Berikan terapi intravena bila ada indikasi 4) Pada anak
diistirahatkan atau tirah baring
b. Medis
1. Terapi obat-obatan
a. Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema
serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma
b. Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu mannitol 20
% atau glukosa 40 % atau gliserol 10 %
c. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisillin) atau
untuk infeksi anaerob diberikan metronidasol
d. Pembedahan bila ada indikasi (hematom epidural besar, hematom
sub dural, cedera kepala terbuka, fraktur impresi >1 diplo)
e. Lakukan pemeriksaan angiografi serebral, lumbal fungsi, CT Scan
dan MRI.
E. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian

Penting bagi perawat untuk mengetahui bahwa setiap adanya riwayat trauma
pada servikal merupakan hal yang penting diwaspadai.
1) Identitas pasien
2) Riwayat Penyakit
a. Keluhan Utama Cedera kepala berat mempunyai keluhan atau gejala
utama yang berbeda-beda tergantung letak lesi dan luas lesi. Keluhan
utama yang timbul seperti nyeri, rasa bebal, kekakuan pada leher atau
punggung dan kelemahan pada ekstremitas atas maupun bawah.
b. Riwayat Penyakit Saat Ini Pengkajian ini sangat penting dalam
menentukan derajat kerusakan dan adanya kehilangan fungsi neurologik.
Medulla spinalis dapat mengalami cedera melalui beberapa mekanisme,
cedera primer meliputi satu atau lebih proses berikut dan gaya : kompresi
akut, benturan, destruksi, laserasi dan trauma tembak.
c. Riwayat Penyakit Dahulu Klien dengan cedera medulla spinalis bias
disebabkan oleh beberapa penyakit seperti Reumatoid Artritis,
pseudohipoparatiroid, Spondilitis, Ankilosis, Osteoporosis maupun
tumor ganas. d. Riwayat Penyakit Keluarga Perlu ditanyakan riwayat
penyakit keluarga yang dapat memperberat cedera medulla spinalis.
3) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik mengacu pada pengkajian B1-B6 dengan pengkajian fokus
ditujukan pada gejala-gejala yang muncul akibat cedera kepala berat.
Keadaan umum (Arif muttaqin 2008) pada keadaan cedera kepala berat
umumnya mengalami penurunan kesadaran. Adanya perubahan pada tanda-
tanda vital, meliputi bradikardi dan hipotensi.
a. B1 (BREATHING)
Perubahan pada sistem pernapasan bergantung pada gradasi blok saraf
parasimpatis klien mengalami kelumpuhan otot otot pernapasan dan
perubahan karena adanya kerusakan jalur simpatetik desending akibat
trauma pada tulangbelakang sehingga mengalami terputus jaringan saraf
di medula spinalis, pemeriksaan fisik dari sistem ini akan didapatkan
hasil sebagai berikut inspeksi umum didapatkan klien batuk peningkatan
produksi sputum, sesak napas.
b. B2 (BLOOD)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan renjatan syok
hipovolemik yang sering terjadi pada klien cedera kepala berat. Dari
hasil pemeriksaan didapatkan tekanan darah menurun nadi bradikardi
dan jantung berdebar-debar. Pada keadaan lainnya dapat meningkatkan
hormon antidiuretik yang berdampak pada kompensasi tubuh.
c. B3 (BRAIN)
Pengkajian ini meliputi tingkat kesadaran, pengkajian fungsi serebral dan
pengkajian saraf kranial. Pengkajian tingkat kesadaran : tingkat
keterjagaan klien dan respon terhadap lingkungan adalah indikator paling
sensitif untuk disfungsi sistem persyarafan. Pengkajian fungsi serebral :
status mental observasi penampilan, tingkah laku nilai gaya bicara dan
aktivitas motorik klien Pengkajian sistem motorik inspeksi umum
didapatkan kelumpuhan pada ekstermitas bawah, baik bersifat paralis,
dan paraplegia. Pengkajian sistem sensori ganguan sensibilitas pada klien
cedera kepala berat sesuai dengan segmen yang mengalami gangguan.
d. B4 (BLADDER)
Kaji keadaan urine meliputi warna ,jumlah,dan karakteristik urine,
termasuk berat jenis urine. Penurunan jumlah urine dan peningkatan
retensi cairan dapat terjadi akibat menurunnya perfusi pada ginjal.
e. B5 (BOWEL)
Pada keadaan syok spinal, neuropraksia sering didapatkan adanya ileus
paralitik, dimana klinis didapatkan hilangnya bising usus, kembung,dan
defekasi, tidak ada. Hal ini merupakan gejala awal dari tahap syok spinal
yang akan berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu.
f. B6 (BONE) Paralisis motorik dan paralisis organ internal bergantung
pada ketinggian lesi saraf yang terkena trauma. Gejala gangguan motorik
sesuai dengan distribusi segmental dari saraf yang terkena.disfungsi
motorik paling umum adalah kelemahan dan kelumpuhan.pada saluran
ekstermitas bawah. Kaji warna kulit, suhu, kelembapan, dan turgor kulit.
2. Diagnosa Keperwatan
1. Resiko perfusi jaringan serebral b.d cedera kepala
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d jalan nafas buatan d.d gelisah
3. Defisit nutrisi b.d peningkatan kebutuhan metabolisme d.d Parkinson
3. Rencana Keperawatan

Diagnosa Keperawatan SLKI SIKI

Resiko perfusi jaringan serebral Setelah dilakukan intervensi Observasi :


b.d cedera kepala keperawatan selama 1x24 jam  Identifikasi penyebab
maka resiko perfusi jaringan peningkatan TIK
serebral membaik dengan kriteria  Monitor tanda/gejala
hasil : peningkatan TIK
1. Tingkat kesadaran  Monitor status pernapasan
meningkat  Monitor intake dan output
2. Sakit kepala menurun cairan
3. Gelisah menurun Teraupetik :
 Minimalkan stimulus
dengan menyediakan
lingkungan yang tenang
 Berikan posisi semi fowler
 Pertahankan suhu tubuh
normal
Kolaborasi :
 Kolaborasi pemberian
sedasi dan anti konvulsan
jika perlu
 Kolaborasi pemberian
diuretic osmosis jika perlu
Bersihan jalan nafas tidak efektif Setelah dilakukan intervensi Observasi :
b.d adanya jalan nafas buatan d.d keperawatan selama 1x24 jam  Identifikasi kemampuan
gelisah maka bersihan jalan nafas batuk
membaik dengan kriteria hasil :  Monitor adanya retensi
1. Batuk efektif meningkat sputum
2. Sulit bicara menurun  Monitor input dan output
3. Gelisah menurun cairan
Teraupetik :
 Atur posisi semi fowler
 Pasang perlak dan bengkok
di pangkuan pasien
Edukasi :
 Jelaskan tujuan dan
prosedur batuk efektif
 Anjurkan tarik nafas dalam
melalui hidung selama 4
detik
 Anjurkan mengulangi
Tarik napas dalam hingga
3 kali
Kolaborasi :
 Kolaborasi pemberian
mukolitik atau ekspetoran,
jika perlu
4. Implementasi
Implementasi adalah realisasi rencana tindakan untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Kegiatan dalam pelaksanaan meliputi pengumpulan
data berkelanjutan, mengobservasi respon pasien selama dan sesudah pelaksanaan
tindakan, serta menilai data yang baru (Rohmah&Walid, 2012)
Implementasi menurut teori adalah mengidentifikasi bidang
bantuan situasi yang membutuhkan tambahan beragam mengimplementasikan
intervensi keperawatan dengan praktik terdiri atas keterampilan kognitif,
interpersonal dan psikomotor (tekhnis). Dalam melaksanakan asuhan keperawatan
pada pasien cedera cedera kepala, pada prinsipnya adalah menganjurkan pasien
untuk banyak minum, mengobservasi tanda-tanda vital, mengawasi pemasukan
dan pengeluaran cairan, mengajarkan Teknik relaksasi untuk mengatasi nyeri.
Mendokumentasikan semua tindakan keperawatan yang dilakukan ke dalam
catatann keperawatan secara lengkap yaitu: jam, tanggal, jenis tindakan, respon
pasien dan nama lengkap perawat yang melakukan tindakan keperawatan.

5. Evaluasi
Evaluasi adalah penilaian dengan cara membandingkan perubahan keadaan pasien
dengan tujuan dan kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan.
Menurut teori evaluasi adalah tujuan asuhan keperawatan yang
menentukan apakah tujuan ini telah terlaksana, setelah menerapkan suatu rencana
tindakan untuk meningkatkan kualitas keperawatan, perawat harus mengevaluasi
keberhasilan rencana penilaian atau evaluasi diperoleh dari ungkapan secara
subjektif oleh klien dan objektif didapatkan langsung dari hasil pengamatan.
DAFTAR PUSTAKA

Kartikawati, D. (2014) ‘Buku ajar dasar-dasar keperawatan gawat darurat’.

Manurung, N. (2018) ‘Keperawatan Medikal Bedah: Konsep Mind Mapping dan


NANDA NIC NOC’.

Nurhasim, S. (2015) ‘Pengetahuan perawat tentang response time dalam penanganan


gawat darurat di ruang triage rsud karanganyar’, Program studi S1
keperwatan.

Putri, L. E. D. (2021) ‘ASUHAN KEPERAWATAN RISIKO PERFUSI SEREBRAL


TIDAK EFEKTIF PADA PASIEN DENGAN CEDERA KEPALA BERAT
DI INSTALASI GAWAT DARURAT RSUD SANJIWANI GIANYAR
TAHUN 2021’. Poltekkes Kemenkes Denpasar.

Riley, R. D. et al. (2013) ‘Prognosis Research Strategy (PROGRESS) 2: prognostic


factor research’, PLoS medicine, 10(2), p. e1001380.

Rosely, S. B. (2018) ‘Skripsi faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan pada


pasien kategori triage p2 label kuning di instalasi gawat darurat rsud bangil’.

Wijaya, S. (2010) ‘Konsep dasar keperawatan gawat darurat’, Denpasar: PSIK FK


UNUD.

Anda mungkin juga menyukai