Anda di halaman 1dari 17

BUDAYA DAN MANAJEMEN DESA

Pendahuluan
Sistem keuangan desa yang tidak berbasis sistem akuntansi adalah sebuah
pertanggungjawaban keuangan yang belum paripurna, bahwa sistem akuntansi desa
bermuara: pada laporan keuangan (LK) Desa adalah paripurna, ideal dan baik bagi desa itu
sendiri, bagi kepemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan bagi
seluruh rakyat Indonesia. Dalam program pembangunan nasional (Propenas) NKRI
bermaksud menempatkan 75.000 desa sebagai ujung tombak perekonomian NKRI sebagai
sebuah negara kelautan dan agraris. Pada saat ini, hampir 100% desa telah menerapkan
manajemen keuangan desa yang bermuara pada Sistem Keuangan Desa (SisKeuDes)
menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia (Permendagri) Nomor 113
Tahun 2014.
Sistem akuntansi desa dapat dirancang dengan menghormati dan
memperhatikan hasil karya anak bangsa, misalnya raihan Departemen Dalam Negeri
bersama Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam
menerapkan SisKeuDes, mentransformasinya menjadi sebuah proses akuntansi yang
praktis tanpa beban tambahan bagi desa yang telah sukses mengimplementasikan
SisKeuDes. Para perancang SisKeuDes di BPKP dapat meng-alih-rupa SisKeuDes
menjadi sistem akuntansi desa. Alih rupa atau tiwikrama SisKeuDes menjadi sistem
akuntansi seharusnya diupayakan tidak memberikan kesulitan bagi pelaksana
perbendaharaan dan akuntansi di desa-desa (key in operator), menghasilkan
peningkatan kualitas 1000% bagi pertanggungjawaban dana desa oleh kabinet di
hadapan DPR, karena LK Desa berpotensi dapat diperiksa dan dibubuhi opini oleh
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Wacana Akuntansi Desa Berbasis Manajemen Desa Dan


Budaya Desa
Pertama,penyeragaman pos-pos akun akuntansi dan bentuk LK Desa adalah naif. Jenis
desa berpengaruh pada pos-pos dalam buku kas desa menurut Permendagri Nomor 113
Tahun 2014, dan pos-pos LK Desa, terbagi menjadi sebagai berikut.

 Desa pertanian dan kehutanan.


 Desa perikanan dan pelayaran.
 Desa pasar atau perdagangan.
 Desa wisata atau istirahat.
 Desa lalu-lintas penyeberangan sungai, danau, dan laut.
 Desa keramat, candi, sumber air, makam Sunan.
 Desa tambakan.
 Desa gabungan, federasi desa, gabungan desa genealogis
(berbasis marga, keturunan asli).

Kedua, desa adalah entitas pelaporan LK bagi desa sendiri, tidak ada entitas pelaporan
LK lain mengatasi LK Desa. Selama ribuan tahun, kesatuan masyarakat desa dan
pemerintahan desa dibangun berdasar tiga ikatan, yaitu (1) ikatan manusia dengan
alam, (2) ikatan manusia desa dengan anggota desa yang sama, dan (3) ikatan manusia
desa dengan Tuhan. Pada sebagian desa, hukum adat, hukum agama lebih kuat atau
lebih berlaku efektif dibandingkan hukum positif NKRI.

Ketiga, LK Desa sebaiknya sangat sederhana, mengingat jumlah rata-rata penduduk


desa amat beragam, dari sepuluh hingga mencapai ribuan jiwa.

Keempat, hukum positif tentang desa, antara lain berbagai undang-undang,


peraturan pemerintah, dan peraturan menteri, jangan sampai mengganggu keluhuran
tradisi desa yang sudah berlangsung ribuan tahun, termasuk pengaturan
perbendaharaan desa. Sebagian desa berposisi amat lemah dalam konteks ekonomi,
sosial, dan politik, tetapi secara keseluruhan desa berposisi amat kuat dalam konteks
ekonomi sebagai pemasok makanan dan bahan makanan bagi bangsa Indonesia.
Pada tatanan NKRI, desa adalah kumpulan kekuatan yang diam. Namun, karena
"sikap diam" tersebut, jangan sampai hukum positif NKRI bersikap semena-mena,
rnerusak tatanan luhur desa yang telah berumur ribuan tahun.

Kelima, mayoritas penduduk desa hendaknya dibiarkan menentukan kepala desanya


sendiri, tanpa pengamh para sesepuh desa, apalagi kekuatan dari luar desa. Partai politik,
kerajaan, kesultanan, provinsi, dan kabupaten hams berupaya keras memilih penduduk asli
desa sebagai kepala desa, bersedia secara sukarela, dan dengan cara-cara mulia pada
umumnya, memperhatikan preferensi para tetua desa, ulama, jawara, dan mantan kepala
desa yang bereputasi baik. Misalnya, pada sebuah desa, anggota desa hams lahir di desa
tersebut, terbukti rnerupakan keturunan asli atau sah keluarga desa, berkewajiban mematuhi
hukum adat desa. Namun, pada desa-desa lain, misalnya desa pesisir tertentu, orang asing
dari luar desa dapat menjadi anggota desa, dengan atau tanpa ujian, syarat, dan upacara
tertentu. Sebaliknya, pemerintah pusat dan pemerintah daerah-daripada mengusik
kemandirian dan hukum adat-bertugas menjaga kemurnian tradisi luhur desa tersebut,
selama selaras dengan dasar negara Pancasila, UU NKRI, benar dan mulia, sesuai konsep
"Apabila desa sehat kuat, negara sehat kuat"

Keenam, otonomi desa adalah segala-galanya. Desa telah otonom sejak ribuan tahun
lalu. Ribuan tahun sebelum penjajahan Belanda dan sekitar 350 tahun penjajahan
Belanda, desa diakui sebagai sebuah entitas otonom3• Desa tidak berada di bawah
pemerintahan kabupaten, walaupun kepala desa ditunjuk atau diangkat oleh bupati. Desa
tidak disusun atas dasar kebutuhan hidup lahiriah, namun berdasarkan alam batin,
sehingga aliran dana APBN ke desa dan standar akuntansi desa harus disusun dalam kaidah
ini.
Desa tidak selalu membutuhkan modernisasi dan kekayaan materi dalam hal ini
infrastruktur, hukum adat tidak selalu kalah efektif bila berhadapan dengan hukum positif,
dan desa dapat menolak APBN masuk desa apabila bersyarat pertanggungjawaban menurut
Permendagri Nomor 113 Tahun 2014 atau gagasan standar akuntansi pemerintahan (SAP)
Desa yang dianggap merepotkan dan mengubah tatanan masyarakat spiritual menjadi
masyarakat materialis. Apabila APBN dalam hal ini dana desa masuk desa, maka BPKP,
BPK, dan komisi pemberantasan korupsi (KPK) juga masuk desa.
Desa identik sebagai sebuah unit budaya, semua desa berhakikat desa adat karena
mempunyai budaya dalam hal ini adat khas, hukum adat desa adalah hukum
keramat/suci. Teritorial hukum desa adat-alam gaib dan alam nyata• lebih nyata
dibandingkan hukum positifNKRI. Bagi sebagian orang, materialisme versi APBN Dana
Desa, Permendagri Nomor 113 Tahun 2014, dan gagasan LK Desa berpotensi
merendahkan martabat dan nilai spiritual desa, karena desa adalah sekumpulan ikatan
batin, senasib sepenanggungan, saling menjaga keselamatan, kehormatan dan
kesejahteraan satu sama lain, bukan sekumpulan aset akuntansi. APBN bagi desa adat
tentu saja hams mengutamakan keperluan untuk biaya upacara adat, ketimbang APBN
pembangunan infrastruktur desa. Desa transmigrasi, desa percobaan hams dilihat dari
sudut pandang migrasi, boleh jadi relokasi sebuah rumpun budaya, misalnya berbagai desa
di Bali terjadi akibat transmigrasi di berbagai pulau di luar pulau Bali.

Ketujuh, desa dapat menjadi entitas pelaporan LK atas inisiatif sendiri. Desa sebagai
entitas pelaporan laporan keuangan, merupakan yurisdiksi otonom mengatur rumah
tangga desa sendiri berbasis hukum adat desa sejak zaman penjajahan Belanda, Jepang,
serta UU Nomor 1 Tahun 1945 dan UU Nomor 22 Tahun 1948, lalu diatur dengan
hukum positif pada UU Nomor 6 Tahun 2014. Hak asasi desa hams dilindungi sebagai
urgensi tertinggi NKRI. Perselisihan desa dengan provinsi dapat ditanggulangi oleh
Presiden, perselisihan desa dan kabupaten dapat ditanggulangi oleh provinsi, perselisihan
antardesa sekabupaten dapat ditanggulangi oleh pemerintah daerah kabupaten.
Sebagai catatan sejarah, UU Otonomi Desa Tahun 1906 versi pemerintahan Belanda
menambah beban biaya dan tenaga rakyat desa, melanggar hak asasi desa ( tidak ada ronda
desa, tidak ada perintah kabupaten kepada desa, tidak ada paksaan kawin di depan penghulu
apalagi catatan sipil, tidak dihalangi serta bebas masuk hutan dan memungut hasil hutan,
tidak ada paksaan untuk hadir dalam suatu kegiatan penyuluhan dari pemerintah NKRI,
suntikan massal antiwabah atau cacar, pemaksaan pengebirian hewan, mendorong aturan
wajib membantu perkebunan Belanda yang tertimpa bencana kebakaran, pengaturan sistem
kas desa, lumbung desa, bank desa, sekolah desa, pemacekan desa, guru desa, bale desa,
tebasan panen, pajak desa), menyebabkan berbagai pemberontakan melawan Belanda. Inti
sari pemberontakan adalah tidak mengakui kekuasaan Belanda. Belanda membangun
keteraturan berbasis modernisasi, pada sisi lain orang desa ingin hidup bahagia apa adanya
bersama keluarga dan alam tanpa keinginan kebendaan. Standar akuntansi bergasis
pendidikan barat semoga tidak melangar hak asasi penduduk desa, tidak melukai hati mereka,
atau mengurangi kebahagiaan spiritual desa karena memaksa untuk masuk ritual pemujaan
materi

Kedelapan, rukun desa adalah segalanya. Entitas desa adalah entitas kekeluargaan, adat, dan
kewilayahan tersendiri. Ikatan yang membentuk desa adalah ikatan genealogis dan ikatan
teritorial. Ikatan genealogis adalah sekumpulan orang sebangsa atau sesuku akibat
perjodohan, kelompok terkecil disebut keluarga, bila digabungkan menjadi sanak
saudara, kaum keluarga, atau kulawangsa (famili), pada tingkat selanjutnya disebut
suku. Misalnya, suku (Gayo, Dayak, Timar). Beberapa rukun desa dipegang teguh oleh
suku di antaranya adalah sebagai berikut.
 Pemegang kekuasaan dalam suku adalah para pria dewasa.
 Hukum adat adalah hukum pengusiran oleh suku, bukan oleh
keluarga.
 Harta benda milik suku, kecuali barang-barang tidak penting.
 Perdagangan dilakukan oleh suku, bukan perorangan.
 Orang asing seperti guru, penyuluh, pedagang dan petambang, wakil camat atau lurah,
yang ingin menetap, dapat diterima sebagai warga masyarakat berdasar musyawarah
suku.
 Kepentingan perorangan tidak dikenal dalam masyarakat desa.
 Mungkin terdapat pajak atas keluarga.
 Terdapat pengadilan suku atas pelanggaran suatu keluarga.
 Pria dewasa sendirian berisiko tidak mempunyai hak suara dalam musyawarah desa.

Kesembilan, Permendagri Nomor 113 Tahun 2014 dan berbagai produk hukum tentang
desa perlu mengakomodasi entitas teritorial. Konsep teritorial bagi desa adalah sebagai
berikut.
 Persekutuan dusun.
 Persekutuan daerah, dengan karakteristik serupa persekutuan dusun.
 Gabungan dusun.

Desa mempunyai harta benda atau kekayaan sendiri dalam kawasan desa tersebut.
Desa berkuasa dalam batas daerah tertentu, untuk mengatur hak-asli rakyat desa, rumah
tangga desa. Desa adalah sebuah masyarakat berkekuasaan hukum, berhak membuat
peraturan desa sendiri, berkuasa memaksa penduduk desa untuk mematuhi peraturan
desa tersebut. Beberapa desa dapat bergabung menjadi sebuah desa besar atau "desa
gabungan', dan desa anggota yang bergabung "turun pangkat" menjadi pedukuhan yang
bukan lagi sebagai daerah hukum tersendiri, namun menjadi bagian daerah hukum desa
besar atau desa gabungan. Pedukuhan lalu kehilangan sawah komunal pendukuhan karena
penggabungan tersebut, menjadi sawah komunal desa gabungan, lalu pembagian sawah-
ladang komunal dilakukan oleh rapat desa gabungan atau desa besar.

Kesepuluh, persekutuan dusun terbentuk karena beberapa desa yang bersatu atas
inisiatif sendiri, dengan beberapa jenis kekuasaan yang masih tetap dipegang dusun, pada
dasarnya berhakikat persekutuan daerah. Entitas dusun tidak melebur karena persekutuan
desa. Persekutuan desa perlu diakomodasi oleh Permendagri Nomor 113 Tahun 2014 atau
penggantinya. Persekutuan Desa dapat menyusun LK Persekutuan Desa.

Kesebelas, siapa pengguna atau pemanfaat LK Desa? Des a dengan bagian


kewilayahan terkecil pemerintah daerah kabupaten. Desa juga memiliki subbagian
organisasi desa di bawah desa (dusun, dukuh/pedukuhan, desa sosor, ampean, kampung,
kampong, wijk, humalolin, lohoki, cantilan, bagian desa, blah di Gayo, terpuk atau kesein
di tanah Karo, hasuhutan di Sipirok dan Angkola, saripe di Mandailing dan Pahantam,
ripe dan bodil di Padanglawas, anim, dufanim,fukun, lea, kerogo, adu kerogo, kabisi,
kabihu, dan lain sebagainya) yang bukan daerah hukum.
Istilah Desa Kampung-Kampung digunakan di daerah Baduy, Banten Selatan, berdasar
)
pada persamaan darah, agama atau kepercayaan, dan ideologi politik. LK Desa juga
sangat bermanfaat bagi BPK, BPKP, dan berbagai kementerian pada pemerintah
pusat. Desa memiliki sebutan yang berbeda-beda, seperti dijelaskan dalam UU Desa
Tahun 2014. Secara horizontal, pengutipan istilah lain, selain istilah desa bagi entitas
lain setara desa (seperti persekutuan dusun, gabungan dusun, desi, dusun-dati,
gampong, kuta, uta, huta, nagari, negory, mendapo, marga, distrik (pemerintah
penjajahan Belanda), daerah federatif (daerah VIII laj kain), margo, dati (atau famili)
seperti Gayo (wali, sawali, sarasal sanak dalam hubungan darah disebut daudoro, sarino dan
sara rodjo), Alas (margo) dan Batak, karang-kopek, gabungan beberapa desa/moncopat,
mocolimo, desa teritorial, gabungan desa teritorial, nagari teritorial, gabungan nagari
teritorial), sebaiknya dibatasi dan merujuk pada UU Desa, merupakan hal yang baik, agar
standar desa berterima di hati para pengguna istilah lain tersebut.

Keduabelas, terkait bahasan di atas, dalam akuntansi desa, entitas gabungan desa, gabungan
desa teritorial, gabungan nagari tersebut di atas adalah superstructure dari entitas LK
desa, membutuhkan LK "konsolidasian" beberapa desa. Patut diingat, bahwa desa yang
digabungkan mungkin turun harkat menjadi pedukuhan dari sebuah desa basil gabungan.
Pedukuhan bukan sebuah entitas hukum.

Ketiga belas, akuntansi desa mencakupi berbagai jenis desa perdikan. Terdapat istilah
perdikan desa, dengan berbagai jenisnya; desa merdeka, desa mijen, desa pakuncen dan desa
mutihan, yang masing-masing berpotensi menjadi entitas pelaporan LK Desa.

Keempat belas, pemerintah wajib menghormati hukum adat desa, hukum positif NKRI
tentang desa memperhatikan hukum adat desa. Hukum adat tidak (perlu) tertulis, namun
dihayati dan dipatuhi tiap orang desa (penduduk asli). Sebagai contoh, hukum adat
tentang tanah lebih dipatuhi ketimbang hukum agraria. UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa juga mengakui Desa Adat, yang menunjukkan supremasi hukum adat.
.
Terdapat beberapa istilah dalam menyebutkan hukum adat, dalam bahasa Arab disebut "adat"
dalam bahasa Minang dikenal istilah limbago, yaitu hukum adat yang mengikat,
sedangkan dalam bahasa Jawa dikenal istilah cara, di mana pada kenyataannya sering kali di
atas hukum positifbagi desa. Berkaitan dengan hal tersebut dalam peribahasa Jawa dikenal "Deso
mowo coro, negoro mowo toto" Sementara itu, di Minangkabau terdapat peribahasa "Sakali air
gadang, sakali tapian beranja. Sakali raja berganti, sakali adat berubah" yang menunjukkan
dualisme hukum bagi desa, sekaligus penghormatan penguasa akan supremasi hukum adat
desa, dan sebaliknya.
Apabila desa bersedia menerima dana desa, maka desa harus berupaya memenuhi
syarat dana desa, yaitu Permendagri Nomor 113 Tahun 2014 dan hukum dana desa. Adat
bukan sinonim tradisional, istilah tradisional bukan sinonim istilah zaman dahulu dan anti
modernisasi. Dengan demikian, dalam derap modernisasi desa, tradisi asli yang relevan
dengan zaman dapat tetap dipertahankan. Penulis berpendapat bahwa turunan asli desa
yang dapat menikmati pendidikan di kabupaten, sebagian adalah generasi milenial yang
tak canggung menggunakan sepeda, sepeda motor, sarana perahu bermotor, traktor, radio
transistor, dan telepon genggam. Oleh karena itu, sampai 15 Januari 2018, implementasi
perangkat lunak Sistem Keuangan Desa telah berhasil dilaksanakan pada 64.783 desa dari
74.954 desa NKRI, atau 86,43%.
Kelima belas, LK Desa hendaknya menyikapi aspek alam dalam kehidupan desa
umumnya, catatan atas laporan keuangan ( CALK) khas ten tang alam desa. Sebagai ilustrasi,
ikatan manusia desa dengan alam yang dapat digambarkan, antara lain sebagai berikut.
 Desa memiliki lokasi tujuan wisata, tambang, hutan, padang gembala, mata air, tebing
sarang burung Walet, sungai, dan danau.
 Kepala keluarga, mempunyai lahan pertanian dan rumah tinggal keluarga
sebagai pemegang hak dan kewajiban desa, sebagai warga desa penuh harus mengatur
kehidupan sesuai tatanan dan hukum alam dalam hal ini hukum langit, cuaca, hawa,
matahari, bulan, bintang, hawa udara, air termasuk air hujan, angin, batu, tanah,
flora, dan fauna desa. Oleh karena itu, warga desa sejati harus mampu membaca
tanda-tanda alam, membaca peluang dan risiko akibat alam, beraktivitas dan
beradaptasi dengan perubahan alam, agar selamat dan sejahtera.
 Apabila langit biru tanpa awan selama berbulan-bulan, orang desa menghadapi
risiko tanaman kering dan mati. Sebaliknya, apabila langit selalu mendung dan cuaca
hujan berminggu-minggu, pertanda sungai akan meluap, terjadi banjir bandang, banjir
curah, tangkis patah, galengan putus, tanaman terendam, hanyut, busuk akar, dan
risiko puso. Kedua situasi tersebut menimbulkan kebutuhan terhadap lumbung desa.
 Apabila turun hujan secara terus-menerus di malam hari, maka akan
menyebabkan tanaman padi diserang penyakit beluk.
 Apabila bintang beluku muncul di langit malam, tandanya akan turun hujan,
sehingga para petani harus mulai memperbaiki sarana pertanian, memperkuat galengan
sawah, menambal dan membersihkan selokan tertier, memperbaiki jalan desa, menguruk
genangan air, memperbaiki atap rumah, atap balai desa, dan atap lumbung desa.

Keenam belas, entitas LK desa adalah sebuah bentuk ikatan manusia desa dengan manusia
sedesa yang lain yang dapat digambarkan, antara lain sebagai berikut
 Bagi sebagian desa, manusia desa asli adalah manusia yang tidak berniat keluar dari
desanya, merasa sehidup-semati dengan desanya. Pemerintah kabupaten menjaga agar
setiap pemilihan kepala desa menggunakan asas kemurnian ini, agar desa tidak dijajah
"orang asing"
 Tolong-menolong antarwarga desa adalah kewajiban sosial bagi tiap warga desa.
Guru, kepala desa dan orang-orang yang dituakan, orang tua termasuk tetua desa dan
kepala desa dianggap pemegang sifat baik dan mulia, karena itu, mereka dihormati dan
ditaati. Warga desa menerapkan konsep kesetiaan terhadap orang-orang tersebut.
 Keadilan sosial desa berbasis budaya mengasihi, peduli dan memberi, tidak ada
budaya menuntut apalagi demo. Panen adalah sebuah event berupa memberi padi
bagi para pemungut yang tidak bersawah-ladang, gentong air yang diletakkan di depan
rumah disediakan bagi musafir lewat dan kehausan, sarana desa berupa sarana sosial
seperti gamelan, saha, tegalan, rojokoyo (hewan ternak), wayang, meja kursi
perhelatan adalah (tidak disebut hak) milik desa yang digunakan bersama sesuai
hukum adat desa tersebut.
 Individualisme, liberalisme, materialisme adalah kaidah Barat yang tidak disukai
dalam budaya desa. Penerapan kaidah sama rata sama rasa, musyawarah
untuk mufakat, keadilan sosial versi desa (yaitu keadilan batin, bukan keadilan
lahiriah), bukan pemungutan suara, adalah basis keadilan desa. Cukup satu
orang tidak setuju, rapat desa tidak dapat ditutup. Dalam desa, jangan sampai
ada kelompok dirugikan oleh kelompok lain, ada kelompok yang dizalimi oleh
kelompok lain. Tidak ada yayasan pada hukum adat desa, tidak ada rumah miskin
pada system desa, tidak ada pengemis di desa, menolong sesama yang telantar,
seperti kebakaran, kebanjiran, sakit, meninggal, perkawinan, panen merupakan
kewajiban sehari-hari, bukan kebajikan atau kebaikan hati orang kota. Pencuri
mendapat hukuman secara adat.
 Gugur gunung adalah pekerjaan fisik besar-besaran yang dilakukan oleh seluruh
anggota desa, dan kepala desa hadir untuk memimpin. Apabila kepala desa
berhalangan hadir karena sakit dan lain-lain, sebuah arak-arakan payung, busana kepala
desa, songkok di atas baki memasuki perhelatan gugur gunung, sebagai simbol
kepala desa hadir secara batiniah. Dalam kerja gugur gunung, tidak ada iri hati, tidak
ada yang memilih kerja ringan, apalagi memerintah sesama penduduk desa.
 Demo gaya desa disebut "pepe" yang berarti di bawah terik matahari, duduk ' diam di
alun-alun di depan rumah kepala desa, sampai keberatan warga didengar kepala
desa.
 Kepala keluarga, mempunyai lahan pertanian dan rumah tinggal keluarga sebagai
pemegang hak dan kewajiban desa, sebagai warga desa penuh.
 Kepala keluarga tanpa lahan pertanian, namun memiliki rumah tinggal keluarga
memiliki hak dan kewajiban lebih terbatas.
 Penduduk desa yang tidak memiliki lahan pertanian dan tidak berumah disebut
mondok. Warga desa golongan ketiga ini tidak boleh ikut serta mengatur desa,
sekalipun memiliki tingkat sosial, pengalaman, bintang jasa, dan tingkat pendidikan di
NKRI amat tinggi.
 Hukum perdata desa yang berbasis hukum adat, berbasis moral, dan saling percaya.
Pelanggaran janji pada umumnya dimengerti dan dimaafkan oleh pihak yang
dirugikan, serta hubunan majikan dan buruh, seperti hubungan ayah dan anak
 Dukun desa memberi obat lahiriah berupa jamu, parem, bobok, dan lain-lain, serta obat
batiniah berupa rasa aman, terlindung, clan harapan sembuh. Secara bertahap, fungsi
dukun diganti oleh dokter wajib kerja dan poliklinik desa. Pada sebagian desa tidak
berdukun atau berdukun kurang andal, orang desa lebih memilih berkunjung pada
punden (tempat yang dipundi/dihormati/ dianggap keramat) dan petilasan (makam
wali, batu keramat, pohon besar jenis tertentu, dan lain-lain) yang dalam teori
Barat disebut animisme. Di samping penyembuhan yang dilakukan oleh dukun atau
dokter desa, ada pula orang sakit yang bersemadi, berdoa, dan mengheningkan cipta
pada suatu tempat keramat.

Ketujuh belas, LK Desa terfokus pada Neraca, Neraca Desa terfokus pada bias• balik
kemandirian desa. Aspek keuangan selebihnya tidak begitu selaras dengan konsep orang
desa tentang uang, apalagi yang terkait dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN)
dan KPK. Laporan keuangan desa tidak pernah mampu menggambarkan nilai-nilai luhur
dan ikatan manusia desa dengan Tuhan dapat digambarkan, antara lain sebagai berikut.

Kedelapan belas, penanda tangan LK desa tidak selalu disebut kepala desa. Terdapat
pula kemungkinan dua kepala desa dwitunggal, misalnya di Rantau Kampar, disebut
datu 'duo sakoto sebagai pucu' gadang (urusan dalam nagari/DN) di nagari dan pucu gadang
karantau (urusan luar nagari/LN).
Pada pulau pulau yang tergabung di NKRI kepala desa disebut dengan berbagai
sebutan, misalnya petinggi, bekel, lurah, koewoe, manur, demang, wedana, di daerah
Batak disebut penghulu, partahi, raja, pamusuk, manakap, kepala kampung, di daerah
Minangkabau disebut panghulu, panghiilu andikol undiko bergelar datu', di daerah
Sumatera Selatan, kepala kampung disebut tuo kelebu, tuo tengganai (Jambi), di Sumatera
Timur disebut batin atau penghulu, di Minahasa disebut hukum tua, di daerah Toraja
disebut kepala negorei, mokole liup atau kepala, di Sulawesi Selatan disebut matowa,
jannang, anrungguru, galarrang, di Ternate dinamakan mahima (Halmahera), kepala soa,
hoana, di Ambon disebut Iohu, di Buru disebut matlea, gebha, di Aru disebut kepala, di
Ambon disebut latu atau kamare, di Irian Barat disebut sambanim, som-onim, korano
atau dimarai, di Timor disebut temukun, temukung, dato fukum, mane sio, maramba, di
Sawu disebut ketu rae, di Adorane disebut kalake, di Jawa/Madura disebut aris, lurah,
petinggi, bekel, penatus, kelebun, penggaba, lolo (Madura), kuwu (Cirebon), lurah
(Priangan), jaro (Banten), bekel dadal untuk desa perdikan.
Dalam tradisi yang sudah berjalan selama ribuan tahun, kepala desa adalah
penduduk desa yang dipandang memiliki peranan penting bagi kehidupan desa, antara lain
bertugas sebagai berikut.
 Melakukan pengawasan umum dan paripurna atas desa.
 Bertindak sebagai pelindung adat desa, menjaga sistem kolegial.
 Mengatur polisi desa.
 Menyelesaikan berbagai perselisihan kecil yang terjadi di desa.
 Melakukan pemungutan pendapatan desa.
 Memimpin rapat desa.
 Berkoordinasi berkaitan dengan kegiatan gugur gunung atau semacamnya.
 Kepala desa bersama orang-orang tua desa (disebut para pinitua, para warga
parentah desa, para kepala adat, para kepala kampung) membentuk dewan desa
(atau saniri rajapati, saniri negeri).
 Kepala desa tidak boleh mengatur/menentukan zakat.
 Pemerintahan yudikatif adalah Dewan Morokaki, terdiri atas para pinitua desa
dengan berbagai sebutan seperti morokaki, merkaki, ponokaki, tuwo• tuwo,
pinituwo, wong tuwo, tuwo-deso, kolot, kokolot atau korolot. Dewan Morokaki
sesekali menjadi majelis pertimbangan.
 Rapat desa adalah lembaga legislatif desa, merupakan lembaga tertinggi di des a.

Kesembilan belas, sejak zaman Belanda kepala desa dibantu oleh wakil-wakil kepala
desa atau kepala-kepala kecil desa, yang menjabat sebagai juru tulis ( carik) d~sa, ulama, dan
beberapa pegawai biasa, terbukti dengan diakomodasinya hal-hal tersebut oleh UU Desa.
Sementara itu, guru desa, juru tulis ( carik) bank desa, juru tulis ( carik) lumbung desa, dan
penjaga keamanan desa tidak termasuk anggota pemerintah desa.

Kedua puluh, kepala desa dapat ditunjuk oleh pemerintah pusat sebagai wakil
pemerintah untuk tugas memungut pajak desa. Hal ini menandakan bahwa berbagai
kepala desa diperlakukan sebagai bawahan camat, ketimbang sebagai sebuah daerah
otonom yang bebas dari kabupaten. Hal ini berdampak mengurangi citra otonomi desa dari
kabupaten.
Kedua puluh satu, gagasan pembangunan desa sebagai daerah otonom Tingkat III
sebaiknya mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut ..
 Federasi desa merupakan inisiatif desa-desa yang ingin bergabung, bukan pengarahan
apalagi instruksi pemerintah pusat dalam hal ini pemerintah provinsi.
 Jangan sampai membangun dikotomi pemerintah daerah dan pemerintah desa,
hindari gangguan otonomi desa, cegah budaya materialisme, dan politik masuk
desa.
 Pajak desa hendaknya minimum, harus sesuai dengan undang-undang dasar 1945
 Semua calon pejabat desa harus melalui kursus jabatan.
 Pegawai kewedanaan hendaknya berpengetahuan tentang desa, menjadi pelindung
otonomi, dan kesejahteraan desa. Organ desa harus diawasi agar tidak dikuasai oleh
seorang oknum.
 Untuk menjaga otonomi dan kemurnian desa, pemerintah kewedanaan tidak turut
campur dalam urusan legislatif, yudikatif, dan pemerintahan desa.
 Batas desa dan pengaturan pemanfaatan tanah desa harus jelas dan
sebagaimana mestinya
Kedua puluh dua, neraca desa hendaknya menggambarkan bumi desa. Desa adalah
tentang bumi desa, tanah desa adalah segala-galanya, akuntansi tanah desa berbasis
administrasi tanah desa, antara lain mencakupi hal-hal berikut.
 Administrasi tanah desa berdasarkan jenis tanah dalam bentuk daftar tanah desa.
 Administrasi kepemilikan dan perubahan pemilikan tanah desa.
 Administrasi penguasaan (hak pakai, hak memungut hasil atas tanah, dan lain-lain)
dan perubahan penguasaan tanah desa, misalnya tanah bengkok.
 Administrasi perubahan peruntukan tanah desa, misalnya peruntukan hunian,
daerah aliran sungai (DAS), dan tanah yang digunakan sebagai fasilitas sosial dan
fasilitas umum (pasar desa, sekolah desa, poliklinik desa, dan lain sebagainya),
pertanian, pertambangan, pelabuhan, industri, hutan lindung, dan lain-lain.
 Tanda-tanda batas kepemilikan, penguasaan, penggunaan, dan peruntukan tanah
 Administrasi pembukaan tanah baru.
 Berbagai jenis peta desa.
 Daftar penyewa tanah.
 Daftar perusahaan real estat yang melakukan usaha di desa tersebut.
 Daftar perusahaan industrial estat yang melakukan usaha di desa terse but.
 Daftar tanah milik pemerintah daerah dan pemerintah pusat (NKRI).
 Daftar tanah milik perusahaan pengembang.
 Daftar tanah labil (mudah longsor, selalu terendam dan banjir saat musim
penghujan, dan lain sebagainya).
 Daftar tanah sengketa.
 Daftar tanah milik orang asing (bukan penclucluk clesa tersebut).
 Daftar kepemilikan tanah atas nama tuan tanah.
 Daftar tanah yang seclang clilakukan reklamasi, reboisasi, clan 'program
pembangunan lain (misalnya wacluk).
 Government Financial Statistics ( GFS) tanah pertanian clan procluktivitas pertanian
Kedua puluh tiga, pelatihan sistem akuntansi, keuangan, clan perbenclaharaan clesa harus
clilakukan secara clemokratis. Manajemen clesa berpengaruh pada buku kas clesa
(antara lain versi Permenclagri Nomor 113 Tahun 2014), pertanggungjawaban
nonkeuangan pemerintah desa, akuntansi desa, dan LK desa, antara lain clijelaskan oleh
bagian organisasi desa meliputi bagian umum desa, bagian keamanan desa, bagian kemakmuran
desa, bagian kemakmuran desa, dan bagian teknik umum desa.

Kedua puluh empat, clesa cliclorong menclirikan berbagai BUMDes. Berkaitan clengan
penghasilan utama clan penghasilan tetap desa, terclapat kemungkinan clesa menclirikan
BUMDes atau koperasi clesa yang meliputi urusan pertanian (bibit, sarana
procluksi/saprocli, sarana procluksi pertanian/saprotan, sarana procluksi peternakan/sapronak),
pemeliharaan clan penangkapan ikan, pertambakan, pertambangan, pasar hasil
bumi, pasar/pelelangan hasil laut, pasar hewan, BUMDes Pengangkutan Hasil Desa, Bank
Desa, balai pemotongan dan pengebirian hewan, penyamakan kulit, industri ikan asin,
garam, bibit, petis, terasi, dan pasar hasil kerajinan desa. BUMDes atau badan
layanan umum (BLU) Desa dapat melakukan kerja sama dengan pengusaha swasta,
untuk mengatasi masalah teknologi, proses produksi, distribusi dan pemasaran produk/jasa
BUMDes. BUMDes dapat merupakan konsorsium beberapa desa, misalnya untuk
BUMDes Sampah, BUMDes Air Minum, BUMDes DAS, dan BUMDes Kawasan Industri
Rakyat.

Kedua puluh lima, perimbangan keuangan desa sebaiknya dijelaskan secara berkala
kepada rakyat desa. Perimbangan keuangan pusat dan daerah makin baik dan matang, kini
mulai menjangkau desa. LK Desa sebaiknya mampu menjelaskan bila terdapat potensi
pengembangan desa yang amat besar, sehingga membutuhkan alokasi APBN/ APBD besar
bagi desa tersebut, demi kemajuan pembangunan NKRI. Dengan demikian, LK Desa dapat
menjadi basis alokasi APBN/APBD ke desa pada periode-periode yang akan datang, bukan
alokasi sama rata sama rasa yang immaterial (sekitar Rpl,5 miliar per desa) bagi akselerasi
pertumbuhan PDB regional. Tugas pemerintah pusat dalam hal ini departemen desa,
departemen dalam negeri, dan departemen keuangan adalah membaca LK desa sebagai dasar
alokasi APBN pembangunan desa.

Kedua puluh enam, lembaga keuangan desa melaporkan penghasilan asli desa, menuju cita-
cita desa mandiri. Berbagai pendapatan atau sumber penghasilan desa dari panen,
produksi, hasil, pajak, retribusi, dan sewa mencakupi antara lain sebagai berikut.
 Hasil pertanian tanah desa.
 Hasil hutan desa.
 Retribusi pasar desa.
 Retribusi tambangan desa.
 Retribusi pelabuhan desa.
 Retribusi rumah pemotongan hewan desa.
 Pajak pemotongan hewan.
 Pajak garam.
 Retribusi tanah makam desa.
 Retribusi poliklinik desa.
 Uang sekolah desa.
 Retribusi iklan reklame desa.
 Retribusi lampu penerangan umum desa.
 Retribusi tempat pemandian umum, tempat cuci, dan mandi.
 Uang sewa tanah milik desa.
 Uang sewa gedung-gedung milik desa.
 Pajak tontonan.
 Bea izin bangunan tepi jalan desa.
 Pajak kendaraan.
 Pajak anjing.
 Pajak produksi dan penjualan minuman keras (miras), tuak, dan air tapai
 Hasil BUMDes dalam bidang pertanian, transportasi, pasar desa, pertambakan,
pertambangan, BUMDes Air Minum, BUMDes Listrik, kerajinan, rumah penginapan, hotel
atau cottage milik desa, dan lain-lain.
 Hasil retribusi tempat wisata desa.

Struktur Manajemen Desa


Laporan keuangan desa sebaiknya mengungkapkan struktur organisasi dan kualitas
organisasi desa. Pada sebuah manajemen desa, terdapat berbagai organisasi pembina/pengawas
danberbagai sub-entitas desa berupa hal-hal berikut.
- Pembina dan pengawas desa adalah pemerintah, pemerintah daerah provinsi, pemerintah
daerah kabupaten/kota dalam hal ini perangkat daerah, sesuai dengan Pasal 112 yang
tercantum dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 di mana proses pembinaan dan pengawasan
yang dilakukan oleh pemerintah meliputi 13 bentuk, sesuai dengan Pasal 113 UU Norn or 6
Tahun 2014. Berkaitan dengan hal tersebut, pembinaan dan pengawasan yang dilakukan
oleh pemerintah daerah kabupaten/kota di antaranya melakukan evaluasi kinerja desa
sesuai Pasal 115 huruf e, memberikan penghargaan atas prestasi kinerja desa sesuai Pasal
115 huruf j, dan memberikan sanksi atas penyimpangan yang dilakukan oleh kepala desa
sesuai Pasal 115 huruf n sebagaimana tercantum dalam UU Norn or 6 Tahun 2014.
- Kecamatan adalah antarmuka (interface) desa dengan kabupaten/kota, yang mungkin
dapat diabaikan atau dilangkahi oleh kebupaten/kota. Camat adalah lembaga pengawasan
dan evaluasi desa apabila ditugasi oleh bupati/wali kota. Camat mempunyai 9 tugas pokok,
antara lain membina dan mengawasi penyelenggaraan kegiatan desa sesuai Pasal 223 UU
Nomor 23 Tahun 2014.
- Musyawarah Desa berdasarkan Pasal 54 UU Nomor 6 Tahun 2014, adalah rapat
tahunan badan permusyawaratan desa, pemerintah desa, dan unsur masyarakat desa

Jenis pendapatan desa yang banyak terkait dengan akuntansi desa adalah sebagai
berikut.
 Pendapatan asli desa (PADesa), yaitu penghasilan yang berasal dari penerapan wewenang
desa untuk memperoleh pendapatan tertentu, yang terdiri atas:
- Hasil usaha desa, antara lain bagian laba neto atau surplus BUMDes
(setara bagian dividen, bagi desa), hasil tanah kas desa .
- Hasil aset desa, hasil tanah bengkok, tambang desa, tambatan perahu, pasar desa,
tempat pemandian umum, jaringan irigasi sesuai dengan Pasal 9, PP Nomor 60 Tahun
2014.
- Swadaya, partisipasi, dan gotong royong masyarakat desa .
- Lain-lain pendapatan asli desa, sesuai Pasal 9, PP Nomor 60 Tahun 2014, antara lain
pungutan desa. Desa dan rancangan pungutan desa dibentuk berdasarkan masukan
dari masyarakat desa sebagaimana Pasal 69 ayat (9) dan (10) dalam UU Nomor 6
Tahun 2014, diajukan kepada bupati untuk dievaluasi sebelum ditetapkan menjadi
Peraturan Desa, sesuai Pasal 69 ayat (5), UU Nomor 6 Tahun 2014. Sementara itu,
pendapatan transfer, alokasi APBN yang berbasis desa sesuai dengan Pasal 113
huruf h, UU Nomor 6 Tahun 2014.
 Pendapatan desa bukan pendapatan asli desa adalah sebagai berikut.
- Pendapatan dana desa.
- Bagian hasil pajak daerah kabupaten/kota dan retribusi daerah .
- Pendapatan hasil alokasi dana desa (ADD) .
- Bantuan keuangan dari APBD provinsi, bantuan bersifat umum atau khusus .
- Bantuan keuangan APBD kabupaten/kota, bantuan bersifat umum atau khusus .
- Bagian pajak daerah dan retribusi daerah yang merupakan bagian dana perimbangan
sesuai Pasal 115 huruf f, yang diterima desa dari kabupaten/ kota .
- Pendapatan hibah dan sumbangan tidak terikat yang diterima desa .
- Lain-lain pendapatan desa yang sah

Manajemen Aset Desa


Laporan keuangan desa dalam hal ini neraca desa adalah tentang aset
desa. Banyak sekali aset negara atau aset pemerintahan yang hilang, tidak digunakan
secara optimal dan tidak terpelihara karena tidak mempunyai catatan aset yang
memadai, berbasis sistem akuntansi.
Hukum tentang kekayaan desa, aset desa, dan harta desa banyak berkaitan
dengan akuntansi pemerintahan desa pada umumnya dan akuntansi aset tetap desa
pada khususnya. Aset desa adalah barang hak milik desa sesuai UU Desa Nomor 6
Tahun 2014 pada Pasal 1 ayat (11) dan Permendagri Nomor 114 Tahun 2014 pada
Pasal 1 ayat (19). Aset kelurahan adalah milik pemerintah daerah kabupaten/kota,
sesuai Pasal 11, UU Norn or 6 Tahun 2014.
Musyawarah desa sesuai Pasal 54 ayat (2) UU Norn or 6 Tahun 2014 berwenang:
(1) membentuk BUMDes, (2) menentukan rencana investasi, (3) pembelian,
perolehan, pembangunan aset desa, dan pelepasan, penjualan, donasi, hibah
aset desa. Belanja desa diprioritaskan untuk pembangunan desa dalam rangka
meningkatkan kapasitas pelayanan dasar, memenuhi kebutuhan primer desa,
pembangunan lingkungan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa, sesuai Pasal 74,
UU Nomor 6 Tahun 2014.
Perubahan status kelurahan menjadi status desa adat, harus melalui status desa.
Sebaliknya, hal ini menyebabkan pengakuan awal aset desa yang berasal dari aset/
kekayaan kabupaten/kota, kemudian diserahkan kepada desa adat. Sebaliknya,
perubahan status desa adat menjadi kelurahan harus melalui status desa. Proses
tersebut menyebabkan beralihnya status kekayaan desa adat menjadi kekayaan
desa, selanjutnya diserahkan oleh desa untuk menjadi kekayaan kabupaten/kota
sesuai dengan Pasal 100, UU Nomor 6 Tahun 2014.
Sejalan dengan Penyataan Standar Akuntansi Pemerintahan/PSAP Konstruksi
Dalam Pelaksanaan dan PSAP Aset Tetap, Laporan Kegiatan Pelaksanaan
Pembangunan Aset Desa berpotensi menambah aset desa, dengan harga perolehan
historis sesuai dengan realisasi biaya dan bukti pembayaran sebagaimana
yang terdapat dalam Permendagri Nomor 114 Tahun 2014, Pasal 80 ayat (2)
butir a. Umumnya, kapitalisasi sebagai Aset Tetap Desa sesuai Pasal 82 ayat (3)
Permendagri Nomor 114 Tahun 2014, khususnya karena berumur lebih dari satu
tahun buku sesuai Pasal 83 Permendagri 114/2014.
Pengelolaan aset desa berbasis Permendagri Norn or 113 Tahun 2014 berisiko
tidak memadai. Pengelolaan aset desa yang baik (ideal) adalah yang berbasis -
akuntansi desa, yang mempunyai buku besar aset tetap, buku pembantu aset tetap
desa, rencana dan realisasi penyusutan sesuai umur ekonomis masing masing aset
tetap. Aset desa antara lain terutama terdiri atas hal-hal sebagai berikut.
- Tanah desa bersertifikat atas nama desa sesuai Pasal 76 ayat (4), UU Nomor 6
Tahun 2014.
- Infrastruktur dan lingkungan desa seperti jembatan desa, kincir angin sesuai
dengan Pasal 80 ayat (4), UU Nomor 6 Tahun 2014.
- Bangunan milik desa seperti sekolah, tempat ibadah, dan lumbung padi
berbukti kepemilikan desa, sesuai dengan Pasal 76 ayat (6), UU Nomor 6
Tahun 2014.
- Inventaris kantor, poliklinik, pasar, dan pelelangan desa tidak disebut pada
UU Nomor 6 Tahun 2014.
- Mesin tidak disebut pada UU Nomor 6 Tahun 2014.
- Kendaraan tidak disebut pada UU Nomor 6 Tahun 2014.
- Kas desa sesuai Pasal 76 ayat (2), dalam bentuk rekening kas desa sesuai Pasal 91
PP Nomor 43 Tahun 2014 dan PP Nomor 47 Tahun 2015.
- Tanah kas desa, sesuai Pasal 35 huruf d Perpres Nomor 43 Tahun 2014 dan
Nomor 47 Tahun 2015, ditambah tanah desa atau tanah hak milik desa
dengan sebutan setempat, tanah bengkok, tanah pecatu, tanah titisara sesuai
Permen Desa dan POTT Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Kewenangan
Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Skala Desa.
- Tanah kas desa adat dan tanah ulayat atau tanah wilayah desa adat (penjelasan
istilah ulayat terdapat pada Penjelasan Pasal 103) sesuai Pasal 76 ayat (2) UU
Nomor 6 Tahun 2014.
- Prasarana pasar desa sesuai Pasal 76 ayat (2) digunakan untuk perekonomian
desa sesuai Pasal 78 ayat (1), UU Nomor 6 Tahun 2014
- Prasarana pelelangan ikan desa sesuai Pasal 76 ayat (2) digunakan untuk
perekonomian desa sesuai Pasal 78 ayat (1), UU Nomor 6 Tahun 2014.
- Prasarana pelelangan basil pertanian desa sesuai Pasal 76 ayat (2) digunakan
untuk perekonomian desa sesuai Pasal 78 ayat (1), UU Nomor 6 Tahun 2014.
- Hutan milik desa sesuai Pasal 76 ayat (2) digunakan untuk perekonomian desa
sesuai Pasal 78 ayat (1), UU 6 Tahun 2014, dilakukan untuk meningkatkan
pendapatan desa, meningkatkan kesejahteraan desa, dan meningkatkan taraf
hidup penduduk desa, sedangkan menurut Pasal 77 ayat (2), UU Nomor 6
Tahun 2014, meningkatkan kualitas hidup dan penanggulangan kemiskinan
dalam hal ini pemenuhan kebutuhan dasar sesuai Pasal 78 (1), UU Nomor 6
Tahun 2014. Hutan milik desa adalah endowment, tidak dilaporkan dalam LK
Desa, bila ada.
- Mata. air milik desa sesuai Pasal 76 ayat (2) digunakan untuk ekonomi
pertanian desa sesuai Pasal 78 ayat (1) dan Pasal 80 ayat (4) butir c, UU
Norn or 6 Tahun 2014, dilakukan untuk meningkatkan pendapatan desa,
meningkatkan kesejahteraan desa, dan meningkatkan taraf hidup penduduk
desa, sesuai Pasal 77 ayat (2), UU Nomor 6 Tahun 2014.
- Pemandian umum sesuai Pasal 76 ayat (2) digunakan untuk pemenuhan
kebutuhan dasar sesuai Pasal 78 ayat (1), UU Nomor 6 Tahun 2014.
- Aset lain sesuai Pasal 76 ayat (2), UU Nomor 6 Tahun 2014, misalnya sarana
pembangkit listrik desa, sarana penerima listrik berdasarkan bantuan dana
dari pemerintah daerah provinsi kepada desa tertinggal sesuai UU Nomor 23
Tahun 2014
- Investasi BUMDes secara komersial atau nirlaba, terutama pada bidang
sumber daya alam desa sesuai Pasal 90 huruf c, ditambah bidang jasa layanan,
perdagangan, tabungan, dana bergulir, hibah, bantuan sosial, dan lain• lain
sesuai Pasal 89, berbadan hukum atau tidak berbadan hukum seperti
Perseroan Terbatas (PT), Commanditaire Vennootschap (CV), atau Koperasi
sesuai Pasal 87, pendirian BUMDes berdasarkan musyawarah desa dan
peraturan desa sesuai Pasal 88, UU Norn or 6 Tahun 2014.
- Bagian kepemilikan dan bagian kepemilikan aset kerja sama antardesa sesuai
Pasal 92 dan dengan pihak ketiga sesuai Pasal 93, UU Nomor 6 Tahun 2014.

Perlu dicatat bahwa sebuah desa dapat menikmati hak tambang atau
hak pakai aset pemerintah daerah, pemerintah pusat, BUMDes, atau
perusahaan swasta. Hak pakai sebaiknya dilaporkan pada catatan atas laporan
keuangan desa. Sebaliknya, suatu wilayah hutan dan pantai resor pariwisata
yang dikelola oleh BUMDes atau suatu kawasan tambang yang berhak
konsesi tambang BUMDes berpotensi mengurangi hak pakai aset milik sendiri
desa oleh pemerintah desa, perlu dinyatakan pada CALK LK Desa, bila ada.
Inilah salah satu keunggulan ber• LK Desa dibanding ber-Siskeudes.

Manajemen KDP Aset Desa


Peraturan Menteri Dalam Negeri Norn or 113 Tahun 2014 berisiko tidak memadai
untuk mencatat konstruksi dalam pengerjaan kaidah akuntansi pemerintahan
menuju pembentukan aset desa, akuntansi konstruksi dalam pengerjaan lintas
tahun angaran menjadi fokus dalam pembangunan desa. Alokasi berkesinambungan
dana desa kepada suatu kon struksi dalam pengerjaak (KDP) infrastruktur lintas tahun
APBN adalah amat penting bagi pertangungjawaban pengunaan APBN dana desa.
Uraian berikut ini menunjukan kebutuhan desa untuk berakuntansi.
Pasal 6 Permendagri Nomor 114 Tahun 2014 dan pasa 19 Permen DPDTT Nomor 3
Tahun 2015 mendaftar bidang pelaksanaan pembanunan desa meiputi:
- Pembangunan, pemanfaatan dan pemeliharaan infrastruktur dan linkungan desa
- Pembangunan, pemanfaatan dan pemeliharaan sarana dan prasarana kesehatan
desa
- Pembangunan, pemanfaatan dan pemeliharaan sarana dan prasarana pendidikan
dan pelatihan dan kebudayaan desa
- Pembangunan, pemanfaatan dan pemeliharaan sarana dan prasarana Ekonomi desa
- Pembangunan, pemanfaatan dan pemeliharaan sarana pelindung kelesatarian
lingkunan hidup desa

Manajemen Perolehan Aset Desa


Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 113 Tahun 2014, tidak mengatur secara
memerinci tentang tata kelola perolehan aset desa, sehingga akuntansi desa adalah
sebuah keniscayaan. Asal muasal perolehan aset desa dijelaskan sebagai berikut
kekayaan desa, selanjutnya diserahkan oleh desa untuk menjadi kekayaan
kabupaten/kota sesuai Pasal 100 UU Nomor 6 Tahun 2014.

Manajemen Operasional Aset Desa

Peraturan Menteri Dalam Negeri tidak mengatur secara memerinci penggunaan


atau pemanfaatan aset desa, catatan atas laporan keuangan pada LK Desa lebih
berpeluang menjelaskan aspek pengelolaan tersebut. Manajemen adalah aktivitas
perencanaan, pelaksanaan atau pengelolaan, pengarahan pengelolaan agar lebih
efektif dan efisien, serta pelaporan kinerja pengelolaan aset desa.
Pengelolaan aset desa dapat diuraikan sebagai berikut.

 Dasar pengelolaan adalah kepastian bernilai ekonorni, berkepastian hukum


sebagai aset desa, efektivitas, efisiensi, keterbukaan, dan akuntabilitas untuk
kepentingan umum sesui Pasal 77 ayat (1) UU Nomor 6 Tahun 2014 yang
bertujuan:
- meningkatkan pendapatan desa;
- meningkatkan kesejahteraan desa;
- meningkatkan taraf hidup penduduk desa, sesuai Pasal 77 ayat (2) UU
Nomor 6 Tahun 2014, dan kualitas hidup.
 Pemberdayaan masyarakat desa dalam hal ini peningkatan kualitas
pemerintahan desa dan masyarakat desa melalui pendidikan, pelatihan, dan
penyuluhan, dilakukan oleh pembina dan pengawas desa lebih spesifik lagi
oleh pemerintah, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/ kota
dalam hal ini perangkat daerah, sesuai ayat (3) huruf c Pasal 112 UU Nomor 6
Tahun 2014.
Pendampingan dalam perencanaan desa, pelaksanaan rencana desa, dan
pamantauan pembangunan desa oleh pembina dan pengawas desa dalam hal ini (1)
Pemerintah lebih spesifik lagi Menteri Dalam Negeri (Lihat Penjelasan Pasal 112
ayat (1)), (2) Pemerintah Daerah Provinsi dalam hal ini Gubernur, (3) Pemerintah
daerah kabupaten/kota dalam hal ini perangkat daerah (camat), sesuai Pasal
112 UU Nomor 6 Tahun 2014 2014.

Manajemen Operasional BUM Des


Setiap BUMDes sebaiknya memiliki karyawan berspesialisasi akuntansi. Setara
kewajiban BUMN/BUMD, BUMDes wajib membuat laporan keuangan berbasis
sistem akuntansi keuangan BUMDes, sesuai standar akuntansi keuangan (SAK),
standar akuntansi keuangan untuk entitas tanpa akuntabilitas publik (SAK
ETAP), standar akuntansi keuangan syariah (SAK syariah), atau standar akuntansi
keuangan entitas mikro, kecil, dan menengah (SAK EMKM).
 Badan usaha milik pemerintah pada tataran NKRI disebut BUMN bagi
pemerintah pusat, BUMD bagi pemerintah daerah, dan BUMDes bagi pemerintah
desa.
 Desa dapat membentuk Entitas BUMDes dan beberapa des a dapat membentuk
Entitas BUM AntarDesa, misalnya BUMDes Pasar Desa Bersama, BUMDes
Pengolahan Sampah Bersama.
 BUMDesadalahentitas komersial atau nirlaba mandiri mandm, kerugian BUMDes
ditanggung secara pribadi oleh pelaksana operasional BUMDes (setara
Direksi PT) sesuai Pasal 139 Perpres Nomor 43 Tahun 2014 dan Nomor 47
Tahun 2015. Dengan demikian, utang piutang,BUMDes dan pelunasan utang
akibat kepailitan BUMDes kepada pihak ketiga merupakan tanggung jawab
pribadi pelaksana operasional BUMDes, seperti pada perseroan terbatas, desa
bertanggung jawab atas kepailitan BUMDes sampai sebesar bagian modal desa
atau sebesar setoran modal desa yang telah diserahkan kepada pengelola BUMDes.
Anggaran pendapatan dan belanja desa tidak terdistorsi kerugian atau defisit
ekuitas BUMDes.
 Berbagai jenis usaha BUMDes antara lain sebagai berikut.
- BUMDes air minum desa .
- BUMDes listrik desa .
- BUMDes lumbung pangan desa .
- BUMDes penyewaan cold storage, aset tetap sarana produksi, aset tetap
sarana produksi peternakan, sarana pengangkutan/transportasi, perkakas
pesta, gedung pertemuan, kios, toko, gudang bagi usaha kecil, dan menengah
(UKM), tanah milik BUMDes .
- BUMDes perdagangan dan jasa, SBPU pantai, distributor sarana
produksi dan sarana produksi peternakan, upaduta niaga atau perantara,
pengiriman produksi desa, dan basil pertanian ke pasar-luar desa .
- BUMDes produksi, pabrik es, pabrik asap cair, pengolahan basil laut,
perikanan dan pertanian, sumur bekas tambang sesuai Pasal 22 Permen
DPDTT Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengelolaan,
dan Pembubaran BUMDes.
- Usaha bersama BUMDes untuk usaha skala lebih besar, seperti usaha
kapal desa, wisata lintas desa, dan lain-lain.
- Investasi BUMDes komersial atau nirlaba-terutama pada bidang sumber
daya alam desa sesuai Pasal 90 huruf c UU Nomor 6 Tahun 2014, ditambah
bidang jasa layanan, perdagangan, tabungan, dana bergulir, hibah, bantuan
sosial, dan lain-lain sesuai Pasal 89, berbadan hukum atau tidak berbadan
hukum, seperti PT, CV atau Koperasi sesuai Pasal 87, pendirian BUMDes
berdasarkan musyawarab desa dan peraturan desa sesuai Pasal 88 UU Nomor
6 Tahun 2014.
- Badan Usaha Milik Desa dapat mengambil gagasan atau mengikuti hokum
BUMN atau BUMD sepanjang praktis.
- Pembentukan BUM antardesa dilakukan sesuai Pasal 92 ayat (1) dan (6) UU
Nomor 6 Tahun 2014.
- Modal (semacam ekuitas BUMDes), BUMDes terdiri atas penyertaan
modal desa dan penyertaan modal masyarakat desa, kekayaan (semacam
aset BUMDes)-BUMDes yang bersumber dari penyertaan modal desa
merupakan kekayaan desa yang dipisahkan sesuai pasal 135 Perpres Nomor
43 Tahun 2014 dan Nomor 47 Tahun 2015.
- BUMDes dapat menerima bantuan berupa sumbangan atau hibah dari luar
BUMDes sesuai Pasal 137 Perpres Nomor 43 Tahun 2014 dan Nomor 47
Tahun 2015.
- BUMDes dapat menerima pinjaman (semacam utang dalam akuntansi)
dari luar BUMDes sesuai Pasal 137 Nomor 43 Tahun 2014 dan Nomor 47
Tahun 2015
- BUMDes dapat mendirikan unit usaha BUMDes (semacam anak perusahaan
BUMDes)
- Pendampingan dalam perencanaan BUMDes, pelaksanaan rencana BUMDes,
dan pemantauan pembangunan BUMDes dilakukan oleh pembina dan
pengawas desa dalam hal ini pemerintah lebih spesifik lagi Menteri Dalam
Negeri (lihat Penjelasan Pasal 112 ayat (1)) dalam bentuk petunjuk teknis
sesuai Pasal 113 huruf m UU Nomor 6 Tahun 2014, pemerintah daerah
provinsi dalam hal ini gubernur sesuai Pasal 114 hurufk UU Nomor 6 Tahun
2014, pemerintah daerah kabupaten/kota dalam hal ini perangkat daerah
sesuai Pasal 115 huruf m UU Nomor 6 Tahun 2014, sernuanya berdasarkan
Pasal 112 UU Nomor 6 Tahun 2014.

Sumber : Akuntansi Desa, Jan Hoesada, penerbit Salemba Empat

Anda mungkin juga menyukai