Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

HALUSINASI

Disusun Oleh:

VIA INDRIAWATI
NIM : P 27220021344

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


POLITEKNIK KESEHATAN SURAKARTA
TAHUN AKADEMIK 2021/2022
TINJAUAN TEORI
HALUSINASI

A. Konsep Gangguan Keperawatan Jiwa


1. Definisi
Halusinasi adalah persepsi tanpa adanya rangsang apapun pada
pancaindra seseorang, yang terjadi pada keadaan sadar/ bangun dasarnya
mungkin organic, fungsional, psikotik ataupun histerik. (Candra, dkk, 2017)
Halusinasi adalah proses diterimanya rangsang sampai rangsangan
tersebut di sadari dan di mengerti penginderaan/sensasi. Gangguan persepsi :
ketidakmampuan manusia dalam membedakan antara rangsang yang timbul dari
sumber internal (pikiran, perasaan) dan stimulus eksternal (Dermawan & Rusdi,
2013).
Berdasarkan beberapa pendapat diatas, yang dimaksud dengan halusinasi
adalah gangguan persepsi sensori dimana klien mempersepsikan sesuatu melalui
panca indera tanpa ada stimulus eksternal. Halusinasi berbeda dengan ilusi,
dimana klien mengalami persepsi yang salah terhadap stimulus, salah persepsi
pada halusinasi terjadi tanpa adanya stimulus eksternal yang terjadi, stimulus
internal dipersepsikan sebagai sesuatu yang nyata ada oleh klien.

2. Etiologi
a. Faktor Predisposisi
Menurut Yosep & Sutini (2014), faktor penyebab terjadinya halusinasi
adalah:
1) Faktor Perkembangan
Perkembangan klien yang terganggu misalnya kurangnya mengontrol
emosi dan keharmonisasian keluarga menyebabkan klien tidak mampu
mandiri sejak kecil, mudah frustasi dan hilang percaya diri.
2) Faktor Sosiologi
Seseorang yang merasa tidak diterima di lingkungannya sejak bayi
akan membekas diingatannya sampai dewasa dan ia akan merasa
disingkirkan kesepian dan tidak percaya pada lingkungannya.
3) Faktor Biokimia
Adanya stress yang berlebihan yang di alami oleh seseorang maka
didalam tubuhnya akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat
halusinogenik neurokimia buffofenom dan dimetytranfenase sehingga
terjadi keseimbangan acetrycolin & Dofamine.
4) Faktor Psikologis
Tipe kepribadian yang lemah dan tidak bertanggung jawab akan mudah
terjerumus pada penyalah gunaan zat adiktif, klien lebih memilih
kesenangan sesaat & lari dari alam nyata menuju alam khayal.
5) Faktor Genetik dan Pola Asuh
Hasil studi menunjukan bahwa faktor keluarga menunjukan hubungan
yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.
b. Faktor Presipitasi
Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan
setelah adanya hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak
berguna, putus asa dan tidak berdaya. Penilaian individu terhadap stressor
dan masalah koping dapat mengindikasikan kemungkinan kekambuhan.
Menurut Stuart (2013), faktor presipitasi terjadinya gangguan halusinasi
adalah:
1) Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur
proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk
dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif
menanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.
2) Stress lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor
lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
3) Sumber koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi
stressor.
c. Perilaku
Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa rasa curiga, takut, tidak
aman, gelisah dan bingung, berperilaku yang merusak diri, kurang
perhatian, tidak mampu mengambil keputusan, serta tidak dapat
membedakan keadaan nyata dan tidak nyata. Halusinasi dapat dilihat dari
lima dimensi yaitu sebagai berikut.
1) Dimensi Fisik
Manusia dibangun oleh system indra untuk menanggapi rangsangan
eksternal yang diberikan oleh lingkungannya. Halusinasi dapat
ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang luar
biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi
alcohol, dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama.
2) Dimensi Emosional
Perasaan cemas yang berlebihan karena problem atau masalah yang
tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari
halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien
tidak sanggup lagi menentang perintah tersebut hingga berbuat sesuatu
terhadap ketakutannya.
3) Dimensi Intelektual
Dimensi intelektual menerangkan bahwa individu yang mengalami
halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada
awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan
impuls yang menekan, tetapi pada saat tertentu menimbulkan
kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tidak
jarang akan mengontrol semua perilaku klien.
4) Dimensi Sosial
Dimensi social pada individu yang mengalami halusinasi menunjukkan
kecenderungan untuk menyendiri. Individu asyik dengan halusinasinya,
seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan
interaksi social, control diri, dan harga diri yang tidak didapatkan
dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan system control oleh individu
tersebut, sehingga jika perintah halusinasi berupa ancaman, ,maka hal
tersebut dapat mengancam dirinya atau orang lain. Oleh karena itu,
aspek penting dalam melaksanakan intervensi keperawatan pada klien
yang mengalami halusinasi adalah dengan mengupayakan suatu proses
interaksi yang menimbulkan pengalaman interpersonal yang
memuaskan, serta mengusahakan agar klien tidak menyendiri. Jika
klien selalu berinteraksi dengan lingkungannya diharapkan halusinasi
tidak terjadi.
5) Dimensi Spiritual
Manusia diciptakan Tuhan sebagai mahkluk sosial, sehingga interaksi
dengan manusia lainnya merupakan kebutuhan yang mendasar. Klien
yang mengalami halusinasi cenderung menyendiri hingga proses di atas
tidak terjadi. Individu tidak sadar dengan keberadaannya dan halusinasi
menjadi system control dalam individu tersebut. Saat halusinasi
menguasai dirinya, individu kehilangan control terhadap kehidupan
nyata.
d. Sumber Koping
Sumber koping merupakan suatu evaluasi terhadap pilihan koping
dan strategi seseorang. Individu dapat mengatasi stress dan ansietas dengan
menggunakan sumber koping yang ada di lingkungannya. Sumber koping
tersebut dijadikan sebagai modal untuk menyelesaikan masalah. Dukungan
social dan keyakinan budaya dapat membantu seseorang mengintegrasikan
pengalaman yang menimbulkan stress dan mengadopsi strategi koping yang
efektif.
e. Mekanisme Koping
Mekanisme koping merupakan tiap upaya yang diarahkan pada
pengendalian stress, termasuk upaya penyelesaian masalah secara langsung
dan mekanisme pertahanan lain yang digunakan untuk melindungi diri.

3. Klasifikasi Halusinasi
Klasifikasi halusinasi menurut, Yusuf (2015), terbagi menjadi 5 yaitu :
a. Halusinasi Pendengaran
Data objektif antara lain: bicara atau tertawa sendiri, marah tanpa sebab,
mengarahkan telinga kearah tertentu, klien menutup telinga. Data subjektif
antara lain: mendengarkan suara-suara atau kegaduhan, mendengarkan
suara yang ngajak bercakap-cakap, mendengarkan suara yang menyuruh
melakukan sesuatu yang berbahaya.
b. Halusinasi Penglihatan
Data objektif antara lain: menunjukkan kearah tertentu, ketakutan pada
sesuatu yang tidak jelas. Data subjektif antara lain: melihat bayangan, sinar,
bentuk kartun, melihat hantu atau monster.
c. Halusinasi Penciuman
Data objektif antara lain: mencium seperti membaui bau-bauan tertentu dan
menutup hidung. Data subjektif antara lain: mencium bau-bau seperti bau
darah, feses, dan kadang-kadang bau itu menyenagkan.
d. Halusinasi Pengecapan
Data objektif antara lain: sering meludah, muntah. Data subjektif antara
lain: merasakan seperti darah, feses, muntah.
e. Halusinasi Perabaan
Data objektif antara lain: menggaruk-garuk permukaan kulit. Data subjektif
antara lain: mengatakkan ada serangga dipermukaan kulit, merasa seperti
tersengat listrik.

4. Rentang Respon

Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa rasa curiga, takut, tidak
aman, gelisah, dan bingung, berperilaku yang merusak diri, kurang perhatian,
tidak mampu mengambil keputusan, serta tidak dapat membedakan keadaan
nyata dan tidak nyata. Rawlins dan Heacock (1993) dalam Firdaus (2016)
mencoba memecahkan masalah halusinasi berlandaskan atas hakikat
keberadaan seorang individu sebagai makhluk yang dibangun atas dasar unsur
–unsur bio-psiko-sosio-spiritual sehingga halusinasi dapat dilihat dari lima
dimensi sebagai berikut.

a. Dimensi fisik.

Manusia dibangun oleh sistem indra untuk menanggapi rangsangan


eksternal yang diberikan oleh lingkungannya. Halusinasi dapat ditimbulkan
oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaan
obat-obatan, deman hingga delirium, intoksikasi alkohol, dan kesulitan
untuk tidur dalam waktu yang lama.
b. Dimensi emosional.
Perasaan cemas yang berlebihan karena problem atau masalah yang
tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari
halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak
sanggup lagi menentang perintah tersebut hingga berbuat sesuatu terhadap
ketakutannya.
c. Dimensi intelektual.
Dimensi intelektual menerangakan bahwa individu yang mengalami
halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya
halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri melawan impuls saraf yang
menekan, tetapi pada saat tertentu menimbulkan kewaspadaan yang dapat
mengambil seluruh perhatian klien dan tidak jarang akan mengontrol semua
perilaku klien.
d. Dimensi social.
Dimensi sosial pada individu yang mengalami halusinasi menunjukan
kecenderungan untuk menyendiri. Individu asik dengan halusinasinya,
seolah–olah ia merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi
sosial, kontrol diri, dan harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata.
Isi halusinasi dijadian system kontrol oleh individu tersebut, sehingga jika
perintah halusinasi berupa ancaman, maka hal tersebut dapat mengancam
dirinya atau orang lain. Oleh karena itu, aspek penting dalam melaksanakan
intervensi dalam keperawatan pada klien yang mengalami halusinasi adalah
dengan mengupayakan suatu proses interaksi yang menimbulkan pengalaman
interpersonal yang memuaskan, serta mengusahakan agar klien tidak
menyendiri. Jika klien selalu berinteraksi dengan lingkungannya diharapkan
halusinasinya tidak terjadi.
e. Dimensi spiritual.
Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk sosial, sehingga interaksi
dengan manusia lainnya merupakan kebutuhan yang mendasar. Klien yang
mengalami halusinasi cenderung menyendiri sehingga proses diatas tidak
terjadi. Individu tidak sadar dengan keberadaanya dan halusinasi menjadi
sistem kontrol dalam individu tersebut. Saat halusinasi menguasai dirinya,
individu kehilangan kontrol terhadap kehidupan nyata.
Adaptif Maladaptif

Pikiran logis Distorsi pikiran Gangguang pikir/


Persepsi kuat Ilusi delusi
Emosi konsisten dengan Reaksi emosi berlebiihan Halusinasi
pengalaman atau kurang Sulit berespon emosi
Perilaku sesuai Perilaku aneh/ tidak biasa. Perilaku diorganisasi
Berhubungan sosial Menarik diri Menarik diri

5. Patofisiologi dan Pohon Masalah


a. Patofisiologi
Proses terjadinya halusinasi diawali dengan seseorang yang
mengalami halusinasi dan menganggap sumber dari halusinasinya berasal dari
lingkungan stimulus eksternal. Pada fase awal masalah itu menimbulkan
peningkatan kecemasan yang terusmenerus dan system pendukung yang kurang
akan membuat persepsi untuk membedakan yang dipikirkan dengan perasaan
sendiri, pasien sulit tidur sehingga terbiasa menghayal dan pasien bisa
menganggap lamunan itu sebagai pemecahan masalah. Meningkatnya pula fase
comforting, klien mengalami emosi yang berlanjut seperti cemas, kesepian,
perasaan berdosa dan sensorinya dapat diatur. Pada fase ini merasa nyaman
dengan halusinasinya. Halusinasinya akan muncul kembali jika pasien tidak
mampu mengontrol halusinasinya dan berupa menjaga jarak dengan obyek
yang dipresepsikan. Pada fase codeming pasien mampu menarik diri dari orang
lain. Pada fase controlling pasien merasa kesepian. Pada fase conquering lama-
kelamaan pengalaman sensorinya terganggu, pasien merasa terancam dengan
halusinasinya terutama menuruti kemauan dari halusinasinya (Yosep, I &
Sutini, T., 2014).
b. Pohon Masalah
Risiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan

Perubahan Sensori Perseptual :


Halusinasi Core problem

Isolasi sosial : menarik diri

Harga Diri Rendah


(Satrio, dkk, 2015)

6. Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda seseorang yang mengalami halusinasi menurut Muhith (2015)
adalah :
a. Tahap 1 (comforting)
1) Tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai.
2) Menggerakkan bibir tanpa suara.
3) Pergerakan mata yang cepat.
4) Respon verbal yang lambat jika sedang asyik.
5) Diam dan asyik sendiri.
b. Tahap 2 (condemning)
1) Meningkatnya tanda-tanda sistem syaraf otonom akibat ansietas
otonom akibat ansietas seperti peningkatan denyut jantung, pernafasan,
dan tekanan darah.
2) Rentang perhatian menyempit.
3) Asyik dengan pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan
membedakan halusinasi dan realita.
c. Tahap 3 (controlling)
1) Kemauan yang dikendalikan halusinasi akan lebih diikuti.
2) Kesukaran berhubungan dengan orang lain.
3) Rentang perhatian hanya beberapa detik atau menit.
4) Adanya tanda-tanda fisik ansietas berat : berkeringat, tremor, tidak
mampu mematuhi perintah
d. Tahap 4 (Conquering)
1) Perilaku teror akibat panik.
2) Potensi kuat suicide (bunuh diri) atau homicide (membunuh orang lain)
3) Aktivitas fisik merefleksikan isi halusinasi seperti perilaku kekerasan,
agitasi, menarik diri, atau katatonia.
4) Tidak mampu berespon terhadap perintah yang kompleks.
5) Tidak mampu berespon lebih dari satu orang.

7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaa medis pada pasien halusinasi menurut, Rahayu (2016) dibagi
menjadi dua :
a. Terapi Farmakologi
1) Haloperidol (HLP)
a) Klasifikasi : antipsikoik, neuroleptik, butirofenon.
b) Indikasi : Penatalaksanaan psikosis kronik dan akut, pengendalian
hiperaktivitas dan masalah perilaku berat pada anak-anak.
c) Mekanisme kerja : Mekanisme kerja anti psikotik yang tepat belum
dipahami sepenuhnya, tampak menekan susunan saraf pusat pada
pusat subkortikal formasi retricular otak, mesenfalon dan batang
otak.
d) Kontraindikasi : Hipersensitivitas terhadap obat ini pasien depresi
susunan saraf dan sumsum tulang, kerusakan otak subkortikal,
penyakit Parkinson dan anak dibawah usia 3 tahun.
e) Efek samping : Sedasi, sakit kepala, kejang insomnia, pusing, mulut
kering dan anoreksia.
2) Clorpromazin
a) Klasifikasi : sebagai antipsikotik, antiemetic
b) Indikasi : Penanganan gangguan psikotik seperti skizofrenia, fase
mania pada gangguan bipolar, gangguan skizoaktif, ansietas dan
agitasi, anak hiperaktif yang menunjukkan aktivitas motoric yang
berlebihan.
c) Mekanisme Kerja : Mekanisme kerja antipsikotik yang tepat belum
dipahami sepenuhnya, namun berhubungan dengan efek
antidoparminergik. Antipsikotik dapat menyekat reseptor dipamine
postsinap pada ganglia basal, hipotalamus, system limbic, batang
otak dan medulla.
d) Kontraindikasi : Hipersensitivitas terhadap obat ini, pasien koma
atau depresi sumsum tulang, penyakit Parkinson, insufiensi hati,
ginjal dan jantung, anak usia dibawah 6 bulan dan wanita selama
kehamilan dan laktasi.
e) Efek Samping : Sedasi, sakit kepala, kejang, insomnia, pusing,
hipotensi, hipertensi, mual muntah dan mulut kering.
3) Trihexyphenidil (THP)
a) Klasifikasi : anti parkison
b) Indikasi : Segala penyakit parkison, gejala ekstra pyramidal
berkaitan dengan obat antiparkison.
c) Mekanisme Kerja : Mengoreksi ketidak seimbangan defisiensi
dopamine dan kelebihan asetilkolin dalam korpus striatum,
asetilkolin disekat oleh sinaps untuk mengurangi efek kolinergik
berlebihan.
d) Kontraindikasi : Hipersensitivitas terhadap obat ini, glaucoma sudut
tertutup, hipertropi prostat pada anak dibawah umur 3 tahun.
e) Efek Samping : Mengantuk, pusing, disorientasi, hipotensi, mulut
kering, mual dan muntah.
b. Terapi Non Farmakologi
1) Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)
Terapi aktivitas kelompok yang sesuai dengan Gangguan Presepsi
Sensori : Halusinasi adalah TAK stimulasi presepsi
2) Elektro Convulsif Therapy (ECT)
Merupakan pengobatan secara fisik menggunakan arus listrik dengan
menggunakan kekuatan 75-100 volt, cara kerja belum diketahu secara
jelas namun dapat dikatakan terapi ini dapat memperpendek lamanya
serangan skizofrenia dan dapat mempermudah kontak dengan orang
lain.
3) Pengekangan atau pengikatan
Pengembangan fisik menggunakan pengekangan mekanik seperti
manset untuk pergelangan tangan dan pergelangan kaki, pengekangan
dimana pasien dapat dimobilisasi dengan membalutnya, cara ini
dilakukan pada pasien halusinasi yang mulai menunjukkan perilaku
kekerasan diantaranya: marah-marah atau mengamuk.

8. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengetahui penyebab dari


halusinasi (Stuart, 2015) yaitu:
1. Pemeriksaan darah dan urine, untuk melihat kemungkinan infeksi serta
penyalahgunaan alkohol dan NAPZA.
2. EEG (elektroselafogram), yaitu pemeriksaan aktivitas listrik otak untuk
melihat apakah halusinasi disebabkan oleh epilepsi
3. Pemindaian ECT scan dan MRI, untuk mendeteksi stroke serta kemungkinan
adanya cedera atau tumor di otak.

9. Komplikasi
Halusinasi menurut Keliat, (2014) dapat menjadi suatu alasan mengapa klien
melakukan tindakan perilaku kekerasan karena suara-suara yang memberinya
perintah sehingga rentan melakukan perilaku yang tidak adaptif. Perilaku
kekerasan yang timbul pada klien skizofrenia diawali dengan adanya perasaan
tidak berharga, takut dan ditolak oleh lingkungan sehingga individu akan
menyingkir dari hubungan interpersonal dengan orang lain,komplikasi yang dapat
terjadi pada klien dengan masalah utama gangguan sensori persepsi: halusinasi,
antara lain: resiko prilaku kekerasan, harga diri rendah dan isolasi sosial
(Hafizuddin, 2016).
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Pengelompokan data pada pengkajian kesehatan jiwa menurut (Wahyudi,Oktaviani,
Dianesti dkk. 2018) berisi tentang hal-hal dibawah ini :
a. Identitas pasien
b. Keluhan utama atau alasan masuk
c. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi sangat erat kaitannya dengan faktor etiologi
1) Hubungan social
Klien cenderung menarik diri dari lingkungan pergaulan, sukamelamun, dan
berdiam diri.
2) Spiritual
Aktivitas spiritual menurun seiring dengan kemunduran pasien
d. Status Mental
1) Pembicaraan klien meliputi nada suara rendah, lambat, kurang bicara, apatis
2) Penampilan diri meliputi pasien tampak lesu, tak bergairah, rambut acak-
acakan
3) Aktivitas motorik klien meliputi kegiatan yang dilakukan tidak berfariatif,
kecenderungan mempertahankan pada satu posisi dibuatnya
4) Emosi klien berupa emosi dangkal (mudah tersinggung)
5) Afek pada klien meliputi dangkal tak ada ekspresi wajah
6) Interaksi selama wawancara klien meliputi cenderung tidak kooperatif, kontak
mata kurang, tidak mau menatap lawan bicara, diam
7) Persepsi klien meliputi tidak terdapat halusinasi atau waham
8) Proses berpikir klien meliputi gangguan proses berpikir jarang ditemukan
9) Kesadaran pada klien dapat berubah, tidak sesuai dengan kenyataan
10) Memori atau ingatan pada klien tidak ditemukan gangguan spesifik, orientasi
tempat, waktu dan orang
11) Kemampuan penilaian klien dapat berupa tidak dapat mengambil keputusan,
tidak dapat bertindak dalam suatu keadaan, selalu memberikan
alasanmeskipun tidak jelas atau tidak tepat.
e. Kebutuhan sehari-hari
Seperti makan, BAK/BAB, mandi, berpakaian, dan istirahat tidur

C. Masalah Keperawatan
1. Gangguan persepsi sensori: halusinasi
2. Isolasi sosial
3. Gangguan konsep diri: harga diri rendah
4. Resiko perilaku kekerasan

D. Intervensi
SP HALUSINASI PASIEN DAN KELUARGA
No. SP PASIEN SP KELUARGA
1. SP 1 SP 1 Keluarga
1. Bina hubungan saling 1. Memberikan pendidikan
percayadengan pasien kesehatanpada keluarga mengenai
2. Membantu pasien masalahpengertian halusinasi,jenis
menyadarigangguan sensori halusinasi yang dialamipasien,tanda
persepsihalusinasi. dan gejala halusinasi dancara-cara
3. Melatih pasien cara merawat pasienhalusinasi.
mengontrolhalusinasi.
4. Mengidentifikasi halusinasi :
isi,frekuensi, ibuaktu terjadi,
situasipencetus, perasaan, respon
5. Menjelaskan cara
mengontrolhalusinasi:
menghardik, minumobat,
bercakap- cakap,melakukan
kegiatan
6. Melatih klien cara
mengontrolhalusinasi dengan
menghardik
7. Melatih klien memasukkanlatihan
menghardik dalamjadwal
kegiatan harian klien
2. SP 2 SP 2 Keluarga
1. Evaluasi jadwal kegiatan 1. Melatih keluarga praktek
harianpasien merawatpasien langsung dihadapan
2. Jelaskan pentingnya pasien
penggunaanobat pada gangguan 2. Berikan kesempatan kepadakeluarga
jiwa. untuk memperagakan cara merawat
3. Jelaskan akibat bila obat pasien dengan halusinasi langsung
tidakdigunakan sesuai program. dihadapan pasien
4. Jelaskan akibat bila putus obat.
5. Jelaskan cara mendapatkan obat.
6. Jelaskan cara menggunakan
obatdengan prinsip 6 benar
(benarobat, benar pasien, benar
cara,benar waktu, benar dosis
dankontinuitas.

3. SP 3 SP 3 Keluarga
1. Evaluasi ke jadwal harian 1. Membantu keluarga membuatjadual
2. Melatih pasien aktivitas di rumah termasukminum
mengendalikanhalusinasi dengan obat (discharge planning)
cara bercakapcakap dengan orang 2. Menjelaskan follow up
lain. pasiensetelah pulang
3. Menganjurkan kepada klien
agarmemasukan kegiatan ke
jadwalkegiatan harian klien
4. SP 4
1. Evaluasi jadwal kegiatan harian.
2. Melatih pasien
mengontrolhalusinasi dengan cara
melakukankegiatan yang mampu
klienlakukan.
3. Menganjurkan klien
memasukankegiatan ke jadwal
kegiatansehari-hari klien

1. Diagnosa 1: Gangguan persepsi sensori : halusinasi


TUM : Klien dapat berinteraksi dengan orang lain sehingga tidak terjadi
halusinasi
TUK 1 : Klien dapat membina hubungan saling percaya
Intervensi :
a. Membina hubungan saling percaya dengan mengungkapkan
prinsipkomunikasi terapeutik
b. Menyapa dengan ramah klien
c. Mempererkenalkan diri dengan sopan
d. Bertanya nama lengkap klien
e. Buat kontrak yang jelas
f. Tunjukkan sikap jujur dan menepati janji setiap kali interaksi
g. Tunjukan sikap empati dan menerima apa adanya
h. Beri perhatian kepada klien dan perhatikan kebutuhan dasar klien
i. Tanyakan perasaan klien dan masalah yang dihadapi klien
j. Dengarkan dengan penuh perhatian ekspresi perasaan klien
TUK 2 : Klien dapat mengenal halusinasinya
Intervensi :
a. Adakan kontak sering dan singkat secara bertahap
b. Observasi tingkah laku klien terkait dengan halusinasinya (dengar
/lihat/penghidu /raba /kecap), jika menemukan klien yang sedang halusinasi:
1) Tanyakan apakah klien mengalami sesuatu ( halusinasi dengar/ lihat/
penghidu /raba/ kecap )
2) Jika klien menjawab ya, tanyakan apa yang sedang dialaminya
3) Katakan bahwa perawat percaya klien mengalami hal tersebut,namun
perawat sendiri tidak mengalaminya ( dengan nadabersahabat tanpa
menuduh atau menghakimi)
4) Katakan bahwa ada klien lain yang mengalami hal yang sama.
5) Katakan bahwa perawat akan membantu klien
c. Jika klien tidak sedang berhalusinasi klarifikasi tentang adanyapengalaman
halusinasi, diskusikan dengan klien :
1) Isi, waktu dan frekuensi terjadinya halusinasi ( pagi, siang, sore,malam
atau sering dan kadang – kadang )
2) Situasi dan kondisi yang menimbulkan atau tidak menimbulkan
halusinasi
d. Diskusikan dengan klien apa yang dirasakan jika terjadi halusinasi danberi
kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya.
e. Diskusikan dengan klien apa yang dilakukan untuk mengatasi
perasaantersebut.
f. Diskusikan tentang dampak yang akan dialaminya bila klien
menikmatihalusinasinya.
TUK 3 : Klien dapat mengontrol halusinasi
Intervensi:
a. Identifikasi bersama klien cara atau tindakan yang dilakukan jika
terjadihalusinasi (tidur, marah, menyibukan diri dll)
b. Diskusikan cara yang digunakan klien,
c. Jika cara yang digunakan adaptif beri pujian.
d. Jika cara yang digunakan maladaptif diskusikan kerugian cara tersebut
e. Diskusikan cara baru untuk memutus/ mengontrol timbulnya halusinasi :
1) Katakan pada diri sendiri bahwa ini tidak nyata ( “saya tidak maudengar/
lihat/ penghidu/ raba /kecap pada saat halusinasi terjadi)
2) Menemui orang lain (perawat/teman/anggota keluarga) untuk menceritakan
halusinasinya
3) Membuat dan melaksanakan jadwal kegiatan sehari hari yang telah
disusun.
4) Meminta keluarga/teman/ perawat menyapa jika sedang berhalusinasi
f. Bantu klien memilih cara yang sudah dianjurkan dan latih untukmencobanya.
g. Beri kesempatan untuk melakukan cara yang dipilih dan dilatih.
h. Pantau pelaksanaan yang telah dipilih dan dilatih , jika berhasil beri pujian
i. Anjurkan klien mengikuti terapi aktivitas kelompok, orientasi realita,stimulasi
persepsi

TUK 4 : Klien dapat dukungan keluarga dalam mengontrol halusinasi


Intervensi
a. Buat kontrak dengan keluarga untuk pertemuan ( waktu, tempat dantopik )
b. Diskusikan dengan keluarga (padasaat pertemuan keluarga/ kunjunganrumah)
1) Pengertian halusinasi
2) Tanda dan gejala halusinasi
3) Proses terjadinya halusinasi
4) Cara yang dapat dilakukan klien dan keluarga untuk memutus halusinasi
5) Obat- obatan halusinasi
6) Cara merawat anggota keluarga yang halusinasi di rumah ( beri
kegiatan,jangan biarkan sendiri, makan bersama, bepergian bersama,
memantauobat – obatan dan cara pemberiannya untuk mengatasi
halusinasi)
c. Beri informasi waktu kontrol ke rumah sakit dan bagaimana cara mencari
bantuan jika halusinasi tidak tidak dapat diatasi di rumah.
TUK 5 : Klien dapat memanfaatkan obat dengan baik
Intervensi :
a. Diskusikan dengan klien tentang manfaat dan kerugian tidak minum obat,nama ,
warna, dosis, cara , efek terapi dan efek samping penggunan obat
b. Pantau klien saat penggunaan obat
c. Beri pujian jika klien menggunakan obat dengan benar
d. Diskusikan akibat berhenti minum obat tanpa konsultasi dengan dokter
e. Anjurkan klien untuk konsultasi kepada dokter/perawat jika terjadi hal–hal yang
tidak di inginkan .

E. Evaluasi
Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan
keperawatan pada klien (Yusuf dkk, 2015). Evaluasi dilakukan terus menerus pada
respon klien terhadap tindakan yang telah di laksanakan, evaluasi dapat dibagi
menjadi 2 jenis yaitu : evaluasi proses/formatif di lakukan selesai melakukan
tindakan. Evaluasi hasil atau sumatif dilakukan dengan membandingkan respon klien
pada tujuan umum dan tujuan khusus yang telah di tentukan.
Evaluasi keperawatan yang diharapkan pada pasien dengan gangguan sensori
persepsi : haluasinasi pendengaran adalah tidak terjadi perilaku kekerasan, klien
dapat membina hubungan saling percaya, klien dapat mengenal halusinasinya, klien
dapat mengontrol halusinasinya, klien mendapat dukungan dari keluarga dalam
mengontrol halusinasinya, klien dapat menggunakan obat dengan baik dan baik.
DAFTAR PUSTAKA

Candra, I Wayan, dkk. (2017). Psikologi Landasan Keilmuan Praktik Keperawatan Jiwa.
Yogyakarta : CV. Andi Offset.

Dermawan, R., & Rusdi. (2013). Keperawatan Jiwa: Konsep dan Kerangka Kerja.
Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Gosyen Publishing.

Direja, Ade Herman Surya. (2011). Buku Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Nuha
Medika.

Firdaus , 2016. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Salemba Medika; Yogyakarta.

Keliat, Budi Anna. (2013) Proses keperawatan kesehatan jiwa. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

Muhith, Abdul. (2015). Pendidikan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : CV Andi Offset.

Yosep, I & Sutini, T. (2014). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika Aditama.

Yusuf, dkk. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.

Rahayu, D.R. (2016). Asuhan Keperawatan Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi


dengan pasien Ny. S di ruang Bima Instalasi Jiwa Rumah Sakit Umum Daerah
Banyumas. Universitas Muahammadiyah: Purwokerto.

Satrio, dkk. (2015). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Lampung: LP2M Stuart, G.W. (2013).
Buku Saku Keperawatan Jiwa, ed 5. Jakarta : EGC.

Wahyudi, A, I., Oktaviani, C., Dianesti, E, N., dkk..2018. Strategi Pelaksanaan dengan
Halusinasi.E-Journal Universitas Rustida Banyuwangi.

Anda mungkin juga menyukai