Disusun oleh :
2022
A. Definisi
Menurut Farkhati (2012) SLE merupakan penyakit autoimun yang bersifat sistemik. Systemic
Lupus Erythematosus (SLE) adalah gangguan imun radang kronis yang mempengaruhi kulit dan
orga tubuh lain. Antibodi pada Deoxyribose-Nucleid Acid (DNA) dan Ribonucleic Acid (RNA)
menyebabkan respon peradangan autoimun,mengakibatkan bengkak dan sakit. Ini paling
banyak terjadi pada wanita muda, dan mempunyai faktor genetik kuat (Digivlio dkk, 2014).
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan penyakit radang atau imflamasi multisystem
yang disebabkan oleh banyak faktor dan di karakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi
sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan.
Terbentuknya autoantibodi terhadap Double Stranded Deoxyribose-Nucleid Acid (dsDNA),
berbagai macam ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah fisfolipid dapat menyebabkan
kerusakan jaringan melalui mekanisme pengaktifan komplemen ( Hasdianah dkk 2014).
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit autoimun yang kompleks ditandai oleh
adanya autoantibodi terhadap inti sel dan melibatkan banyak system organ tubuh. (Suarjana,
2015). Lupus adalah penyakit inflamasi kronik sistemik yang disebabkan oleh system kekebalan
yang keliru sehingga mulai menyerang jaringan dan organ tubuh sendiri. (Kemenkes, 2017).
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan produksi
antibodi atas komponen inti sel tubuh sendiri yang berkaitan dengan manifestasi klinik yang
sangat luas. (Harsono, 2016).
Dapat disimpulkan Lupus Eritematosus Sistemik adalah penyakit autoimun dimana system
kekebalan tubuh menyerang jaringan dan tubuh organ sendiri dengan manifestasi klinik yang
luas.
B. Etiologi
Penyebab pasti SLE belum diketahui. Ada kemungkinan faktor genetik, kuman, virus. sinar
ultraviolet, dan obat-obatan tertentu memainkan peranan. Penyakit SLE ini lebih kerap ditemui
di kalangan kaum wanita. Beberapa faktor resiko SLE : (Suarjana, 2016)
Faktor genetik.
Kejadian SLE yang lebih tinggi pada kembar monozigotik (25%) dibandingkan dizigotik
(3%), peningkatan frekuensi SLE pada keluarga penderita SLE dibandingkan dengan
kontrol sehat dan peningkatan prevalensi SLE pada kelompok etnik tertentu,
menguatkan dugaan bahwa faktor genetik berperan dalam pathogenesis SLE.
Hormonal.
Pada penderita SLE wanita lebih dominan bila dibanding pria. Serangan pertama kali
SLE jarang terjadi pada usia prapubertas dan setelah menopause.
Disfungsi Imun.
Gangguan imunologis utama pada penderita SLE adalah produksi autoantibodi.
Antibody antinuclear (ANA) adalah antibody yang paling banyak ditemukan pada
penderita SLE (95%). Anti ds DNA dan antibody-Sm antibody merupakan antibody yang
spesifik untuk SLE.
Faktor lingkungan.
Faktor fisik/kimia, faktor makanan, agen infeksi, hormone estrogen.
C. Patofisiologi
Penyakit SLE secara imunologis ditandai dengan penurunan jumlah limfosit T dani leukosit atau
leukopenia. Limfosit tidak hanya memfagosit bakteri yang merusak tubuh tapi juga sebagai
pembentuk antibodi yang melindungi tubuh terhadap infeksi kronis dan mempertahankan
tingkat kekebalan tubuh.
Pada SLE dijumpai kelainan yang menyebabkan apoptosis pada limfosit T sehingga
menyebabkan kapasitas limfosit T autoreaktif meningkat yang menimbulkan terstimulasinya
limfosit B autoreaktif sebagai hasilnya menyebabkan peningkatan respon terhadap stimulus
sitokin dan prostlagandin juga meningkat. Adanya limfosit T autoreaktif mengalami kesalahan
dalam mengenali antigen yang seharusnya diserang oleh limfosit B yang justru akan menyerang
sel, jaringan, dan organ tubuh itu sendiri seperti ginjal, hati, sendi, otot, sel darah, dan lain-lain
(Suselo, dkk. 2016).
D. Manifestasi Klinis
Tanda penyakit merupakan manifestasi klinis atau data objektif yang bisa dilihat langsung
dengan mata tanpa ada pemeriksaan diagnostik. Empat penderita menyatakan bahwa ketika
terjadi lupus terdapat tanda bintik-bintik diwajah, gambaran bintik-bintik tersebut menyerupai
kupu-kupu. Satu orang penderita menambahkan tidak hanya bintik di wajah tetapi juga adanya
bengkak-bengkak seluruh tubuh. Gejala merupakan tanda awal yang hanya bisa dirasakan oleh
penderita suatu penyakit atau hanya bisa dibuktikan dengan pemeriksaan penunjang.
Seperti halnya penyakit lain gejala lupus hanya bisa dirasakan oleh penderita, gejala lupus yang
dinyatakan penderita dapat bermacam-macam, satu orang menyatakan nyeri sendi, dua orang
menyatakan adanya gangguan pada ginjal dan paru, empat orang menyatakan adanya
kelemahan dan rasa cepat lelah setelah menderita lupus, sehingga menganggu kegiatan sehari-
hari (Judha &Setiawan,2015).
E. Penatalaksanaan
Menurut Kasjmir dkk (2015), pengelolaan SLE bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien SLE melalui pengenalan dini dan pengobatan yang paripurna.
Penatalaksanaan Medis
Terapi dengan obat bagi penderita SLE mencakup pemberian obat-obat:
1. Antiradang nonstreroid (AINS)
AINS dipakai untuk mengatasi arthritis dan artralgia. Aspirin saat ini lebih jarang
dipakai karena memiliki insiden hepatotoksik tertinggi, dan sebagian penderita SLE
juga mengalami gangguan pada hati. Penderita LES juga memiliki risiko tinggi
terhadap efek samping obat-obatan AINS pada kulit, hati, dan ginjal sehingga
pemberian harus dipantau secara seksama.
2. Kortikosteroid
3. Antimalaria
Pemberian antimalaria kadang-kadang dapat efektif apabila AINS tidak dapat
mengendalikan gejala-gejala LES. Biasanya antimalaria mula-mula diberikan dengan
dosis tinggi untuk memperoleh keadaan remisi. Bersihnya lesi kulit merupakan
parameter untuk memantau pemakaian dosis.
4. Imunosupresif
Pemberian imunosupresif (siklofosfamid atau azatioprin) dapat dilakukan untuk
menekan aktivitas autoimun LES. Obat-obatan ini biasanya dipakai ketika:
1) Diagnosis pasti sudah ditegakkan
2) Adanya gejala-gejala berat yang mengancam jiwa
3) Kegagalan tindakan-tidakan pengobatan lainnya, misalnya bila pemberian
steroid tidak memberikan respon atau bila dosis steroid harus diturunkan
karena adanya efek samping
4) Tidak adanya infeksi, kehamilan dan neoplasma
Penatalaksanaan keperawatan
Perawat menemukan pasien SLE pada berbagai area klinik karena sifat penyakit yang
homogeny. Hal ini meliputi area praktik keperawatan reumatologi, pengobatan umum,
dermatologi, ortopedik, dan neurologi. Pada setiap area asuhan pasien, terdapat tiga
komponen asuhan keperawatan yang utama.
1. Pemantauan aktivitas penyakit dilakukan dengan menggunakan instrument
yang valid, seperti hitung nyeri tekan dan bengkak sendi dan kuesioner
pengkajian kesehatan. Hal ini member indikasi yang berguna mengenai
pemburukan atau kekambuhan gejala.
2. Edukasi sangat penting pada semua penyakit jangka panjang. Pasien yang
menyadari hubungan antara stres dan serangan aktivitas penyakit akan
mampu mengoptimalkan prospek kesehatan mereka. Advice tentang
keseimbangan antara aktivitas dan periode istirahat, pentingnya latihan, dan
mengetahui tanda peringatan serangan, seperti peningkatan keletihan, nyeri,
ruam, demam, sakit kepala, atau pusing, penting dalam membantu pasien
mengembangkan strategi koping dan menjamin masalah diperhatikan dengan
baik.
3. Dukungan psikologis merupakan kebutuhan utama bagi pasien SLE. Perawat
dapat memberi dukungan dan dorongan serta, setelah pelatihan, dapat
menggunakan ketrampilan konseling ahli. Pemberdayaan pasien, keluarga,
dan pemberi asuhan memungkinkan kepatuhan dan kendali personal yang
lebih baik terhadap gaya hidup dan penatalaksanaan regimen bagi mereka.
F. Komplikasi
Penyakit SLE dapat menyebabkan peradangan jaringan dan masalah pembuluh darah yang
parah di hampir semua bagian tubuh, terutama menyerang organ ginjal. Jaringan yang ada pada
ginjal, termasuk pembuluh darah dan membran yang mengelilinginya mengalami
pembengkakan dan menyimpan bahan kimia yang diproduksi oleh tubuh yang seharusnya
dikeluarkan oleh ginjal. Hal ini menyebabkan ginjal tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Penderita biasanya tidak menyadari adanya gangguan pada ginjalnya, hingga kerusakannya
menjadi parah, bahkan mungkin baru disadari setelah ginjal mengalami kegagalan. Peradangan
pada penderita SLE juga dapat terjadi pada selaput dalam, selaput luar dan otot jantung.
Jantung dapat terpengaruh meskipun tidak pernah mengalami gejala gangguan jantung.
Masalah yang paling umum adalah terjadi pembengkakan pada endokardium dan katup jantung.
Penyakit SLE juga menyebabkan peradangan dan kerusakan kulit berupa ruam merah terutama
dibagian pipi dan hidung. Hampir seluruh penderita SLE mengalami rasa sakit dan peradangan
sendi.
Penyakit SLE dapat mempengaruhi semua jenis sendi, namun yang paling umum adalah tangan,
pergelangan tangan dan lutut. Terkadang sendi-sendi mengalami pembengkakan. Selain itu otot
juga tidak luput dari serangan SLE. Biasanya penderita mengeluhkan rasa sakit dan melemahnya
otot-otot atau jaringan otot mengalami pembengkakan. Pada stadium lanjut, SLE dapat
menyebabkan kematian tulang yang disebut dengan osteonekrosis. Hal ini dapat menyebabkan
cacat yang serius.
Penyakit SLE dapat menyerang sistem syaraf dengan gejala sakit kepala, pembuluh darah di
kepala yang tidak normal dan organik brain syndrom, yaitu masalah serius pada memori,
konsentrasi dan emosi serta halusinasi. Selain itu, serangan pada paru-paru dan darah juga
biasanya terjadi. Masalah pada jantung dapat berupa peradangan, perdarahan, penggumpalan
darah pada arteri, kontraksi pembuluh darah pembengkakan paru-paru. Sedangkan penurunan
jumlah sel darah merah dan sel darah putih sehingga menyebabkan anemia.
Pada kasus penyakit lanjut, sering didapatkan adanya cairan di rongga paru dan di rongga
jantung yang menyebabkan penderita sesak nafas. Gejala ini mirip dengan penyakit jantung
kronis atau penyakit paru-paru kronis, sehingga menyebabkan penderita sesak nafas. Gejala ini
mirip dengan penyakit jantung kronis atau penyakit paru-paru kronis, sehingga menyebabkan
salah diagnosa dan berakhir dengan kematian. Organ lain yang juga diserang adalah sistem saraf
penderita sehingga berakibat penderita merasa kesemutan dan dapat mengalami kelumpuhan
(Roviati, 2012).
G. Pathway
( Nurarif & Kusuma, 2016 )
H. Pengkajian
a. Identitas
LES lebih banyak menyerang perempuan. Serangan pertama kali jarang terjadi pada usia
prepubertas dan setelah menopause. Lupus sering terjadi pada wanita usia 15- 40 tahun.
Karena diperkirakan oleh adanya perbedaan hormon wanita dan pria sangat berbeda. Pada
tahap-tahap menstruasi dan kehamilan, hormon estrogen diduga memicu timbulnya
penyakit lupus. Dan banyak pula diantaranya dari penderita lupus yang terserang penyakit
ini pada masa pra-menstruasi meskipun belum diketahui penyebabnya (Black & Hawks,
2009).
b. Status kesehatan saat ini
1. Keluhan utama
Biasanya klien dengan penyakit SLE datang ke Rs dengan keluhan nyeri dan kaku pada
seluruh badan, kulit kering, bersisik dan mengelupas pada beberapa bagian kulit, rasa
sakit biasanya dirasakan sejak 3 bulan yang lalu, pasien juga merasa lemas.
2. Riwayat penyakit sekarang
Biasanya pada pasien yang menderita SLE pada saat dikaji keluhan yang dirasakan
seperti adanya gejala nyeri dan kaku seluruh badan, kulit kering dan bersisik, kulit
mengelupas pada beberapa bagian kulit, dan semakin parah apabila terpapar sinar
matahari.
3. Riwayat kesehatan yang lalu
Biasanya pada penderita SLE mengalami penyakit nyeri terutama pada persendian dan
karna terlalu lama mengkonsumsi obat asam urat seperti Allopurinol 100 mg yang
diminum setiap hari selama 1 tahun. Pasien merasa panas seluruh badan badan selama
1 bulan, dan pasien merasakan kulitnya kering bersisik, pecah-pecah rambut rontok dan
semakin parah apabila terpapar sinar matahari.
4. Riwayat penyakit keluarga
Pada penyakit SLE ini belum diketahui secara pasti penyebab penyakit SLE tetapi faktor
genetic juga sering dikaitkan dengan penderita penyakit SLE
c. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum
a) Kesadaran
Pada pasien SLE kesadarannya composmentis bahkan bisa sampai terjadi penurunan
kesadaran.
b) Tanda-tanda vital.
Biasanya pada penderita SLE ini ditemukan peningkatan suhu dan nadi diatas
rentang normal.
c) Pemeriksaan Fisik Persistem
1) BI (Breath)
Irama dan kecepatan nafas, kesimetrisan pergerakan nafas, penggunaan otot
nafas tambahan, sesak, suara nafas tambahan (rales, ronchi), nyeri saat
inspirasi, produksi sputum, reaksi alergi, patut dicurigai terjadi pleuritis atau
efusi pleura.
2) B2 (Blood)
Tanda tanda vital, apakah ada nyeri pada dada, suara jantung (S1,S2,S3), bunyi
systolic click (ejeksi click pulmonal dan aorta) bunyi mur-mur. riction rub
perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.
Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan
gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukan
ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan
3) B3 (Brain)
Mengukur tingkat kesadarann (efek dari hipoksia) Glasgow Coma Scale secara
kuantitatif dan respon otak compos mentis sampai coma ((kualitatif), orientasi
klien. Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang kejang
4) B4 (Bladder)
Pengukuran urine tampung (menilai fungsi ginjal), warna urine (menilai filtrasi
glomelorus)
5) B5 (Bowel)
Pola makan nafsu makan, muntah, diare, berat badan dan tinggi badan. turgor
kulit. Nyeri perut, nyeri tekan, apakah ada hepatomegali, pembesaran limpa
d. Pemeriksaan diagnostik
1. Pemeriksaan darah
Leukopeni/limfopeni, anemia, trombositopenia, LED meningkat.
2. Imunologi
a) ANA (anti body antinuklear) diatas titer normal
b) Anti bodi DNA untai ganda (ds DNA) meningkat
c) Kadar komplemen C3 dan C4 menurun
d) Tes SRP (C-reaktife protein) positif
3. Fungsi ginjal
a) Kreatinin serum meningkat b. Penurunan GFR
b) Proteinuri (> 0,5 gr/24 jam)
c) Ditemukan sel darah merah dan atau sedimen granular d. Kelainan pembekuan yang
berhubungan dengan antikoagulan lupus
d) APTT memanjang yang tidak membaik pada pemberian plasma normal
e) Scrologi VDRL (sifilis) a) Memberikan hasil positif palsu
4. Tes vital lupus
a) Adanya pita Fg 6 yang khas atau deposit Ig M pada persambunga dermo epidermis
pada kulit yang terlibat dan yang tidak (Setiati. 2014).
e. Analisa data
f. Diagnosa Keperawatan
a) Gangguan citra tubuh b.d adanya lesi akut pada kulit d.d Px Mengungkapkan kecacatan /
kehilangan bagian tubuh, kehilangan bagian tubuh, fungsi/struktur tubuh
berubah/hilang
b) Nyeri akut b.d pembengkakan sendi d.d mengeluh nyeri, tampak meringis, bersikap
protektif (mis. waspada, posisi menghindari nyeri), gelisah, frekuensi nadi meningkat,
sulit tidur
c) Pola napas tidak efektif b.d penumpukan cairan pada pleura d.d dipsnea, penggunaan
otot bantu pernapasan, fase ekspirasi memanjang, pola napas abnormal ( mis. Takipnea,
bradipnea, hiperventilasi, kussmaul, cheyne - stokes )
d) Gangguan integritas kulit dan jaringan b.d implamasi pada article tenminalis d.d
kerusakan jaringan dan/atau lapisan kulit
e) Keletihan b.d kegagalan sumsum tulang belakang membentul sel darah merah d.d
merasa energi tidak pulih walaupun telah tidur, merasa kurang tenaga, mengeluh lelah,
tidak mampu mempertahankam aktifitas rutin, tampak lesu
f) Defisit pengetahuan b.d pasien tidak familiar dengan penyakitnya d.d menanyakan
masalah yang dihadapi, menunjukan perilaku tidak sesuai anjuran, menunjukan persepsi
yang keliru terhadap masalah
g. Intervensi Keperawatan
I. Daftar Pustaka
Digivlio, Mary., Jakson, Donna., & Keogh, Jim. (2014). Keperawatan Medikal Bedah (P.Dwi,
Penerjemah). Jakarta: EGC.
Farkhati MY, Sunartini_Hapsara, Satria CD. 2012. Survival and prognostic factors of systemic
lupus erythematosus. Proceedings of Congress of Indonesian Pediatrics Society: 236-42.
Hasdianah., Dewi, Prima., Peristiowati., & Imam, Sentot. (2014). Imunologi Diagnosis dan Teknik
Biologi Molekuler. Yogyakarta: Nuha Medika
Suarjana IN. Artritis Reumatoid. Dalam Buku ajar ilmu Penyakit dalam Edisi enam. Setiati S, Alwi
I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF, editors. Interna Publishing; 2014:3130–50.
Anggun, H, dan Harsono, T., (2016), Hubungan Motivasi Belajar Terhadap Hasil Belajar Siswa
Pada Materi Pokok Biologi Sel Pada Kelas XI IPA SMA Negeri 3 Sibolga T.P 2015/2016, Jurnal
Pelita Pendidikan Vol : 4, No : 1.
Suselo, Y. H., Balgis, & Indarto, D. (2016). Ekspresi CD3 dan CD26 pada Limfosit T sebagai
BiomarkerPotensial Penyakit Systemic Lupus Erythematosus. MKB
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. Pedoman Pengendalian Penyakit
Lupus Eritematosus Sistemik. Jakarta: Kemenkes: 2017
Judha, M., & Setiawan, D. I. (2015). Apa dan Bagaimana Penyakit Lupus ? (Sistemik Lupus
Eritematosus). Yogyakarta: Gosyen Publising.
Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI, et al. Lupus Eritematosus Sistemik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi
B, Alwi I, et al, editor. Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi kelima. Jakarta: Interna Publishing,
2009 ; 2565-2579.
Roviati, Evi. (2012). Systemic Lupus Erythematosus (SLE). : Kelainan Autoimun dan Bawaan YAN
Langka dan Mekanisme Biokimiawinya. Jurnal Scientiae Educatia. 474-1311-1-PB
Tim Pokja SDKI PPNI. 2017. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia Definisi dan Indikasi
Diagnostik. Jakarta : Dewan Pengurus PPNI
Tim Pokja SIKI PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi dan Tindakan.
Jakarta : Dewan Pengurus PPNI
Tim Pokja SLKI PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan. Jakarta : Dewan Pengurus PPNI