Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Terapi Komplementer Untuk Menurunkan Tekanan Darah

1. Terapi Pijat Refleksi Kaki

a. Definisi

Reflexology merupakan salah satu massage therapy yang dapat

menyembuhkan hampir semua penyakit, serta merupakan terapi

yang aman dan tanpa efek samping. Reflexology merupakan

pemberian energi yang dimasukkan ke dalam tubuh melalui

pemijatan untuk memperlancar peredaran darah, melenturkan otot-

otot, meningkatkan daya tahan tubuh, relaksasi meningkatkan

kekuatan pikiran dan tubuh, menstabilkan emosi, meningkatkan

kualitas tidur, restrukturisasi tulang, otot, dan organ,

menyembuhkan cedera baru dan lama, meningkatkan konsentrasi

dan ingatan, meningkatkan rasa percaya diri dan harmoni. (Amalia,

2012)

Pijat kaki refleksiologi adalah suatu bentuk pengobatan dengan

adopsi ketahanan dan kekuatan dari tubuh sendiri, dengan memijat

pada area yang sudah dipetakan sesuai dengan letak zona terapi.

Pijat refleksi kaki juga didefinisikan sebagai bentuk pengobatan

suatu penyakit untuk memperlancar sistem peredaran tubuh

melalui titik-titik saraf tertentu yang menghubungkan organ tubuh

manusia.
b. Manfaat

Pijat akan memberikan pengaruh pada kontraksi dinding kapiler

sehingga akan terjadi vasodilatasi pembuluh darah kapiler dan

pembuluh getah bening. Adanya peningkatan peredaran oksigen

dalam darah, pembuangan sampah metabolik akan berdampak pada

munculnya hormon endorphin untuk memberikan efek

kenyamanan.

Pijat refleksi merupakan suatu praktik memijat di area atau titik-

titik tertentu pada tangan dan kaki. Manfaat pijat refleksi untuk

kesehatan sudah tidak perlu diragukan lagi. Salah satu manfaatnya

yang paling populer adalah untuk mengurangi rasa sakit pada

tubuh. Manfaat lainnya adalah mencegah berbagai penyakit,

meningkatkan daya tahan tubuh, membantu mengatasi stress,

meringankan gejala migrain, membantu penyembuhan penyakit

kronis, dan mengurangi ketergantungan terhadap obat-obatan

(Wahyuni, 2014). Hasil penelitian ini diperkuat oleh Nugroho

(2012), menunjukkan bahwa pijat refleksi kaki lebih efektif

dibanding hipnoterapi dalam menurunkan tekanan darah. (Hartutik

& Suratih, 2017)

c. Titik atau Area Pijat Refleksi Kaki

Menurut Hendro & Ariyani (2015) ada beberapa titik yang dapat

diaplikasikan untuk tekanan darah tinggi diantaranya titik :


a) Titik 7. Leher Lokasi titik pijat terletak ditelapak kaki pada

pangkal ibu jari. Titik ini digunakan apabila memiliki

gangguan atau keluhan pada leher, batuk, radang tenggorokan

dan juga dapat membantu mengendurkan ketegangan leher

pada kasus hipertensi.

b) Titik 10. Bahu. Lokasi titik terletak ditelapak kaki dibawah jari

kelingking. Titik ini digunakan untuk mengatasi nyeri sendi

bahu, kaku kuduk, nyeri saat mengangkat tangan juga dapat

digunakan sebagai titik bantu pada gangguan hipertensi.

c) Titik 11. Otot trapezius. Area pijat terletak ditelapak kaki di

bawah pangkal jari telunjuk, tengah dan manis. Titik ini dapat

mengatasi nyeri sendi bahu, kaku kuduk, nyeri saat

mengangkat tangan juga dapat melepaskan ketegangan otot

bahu saat menderita batuk atau hipertensi.

d) Titik 33. Jantung. Area pijat terletak ditelapak kaki kiri,

longitudinal 2- 3 4, transversal 2. Titik ini dapat mengurangi

vertigo, migrain serta tekanan darah tinggi karena kelainan

ginjal, jantung, stres, kelainan hormon, makanan atau

minuman, keturunan dan lain-lain. (Arciniegas Paspuel, O. G.,

Álvarez Hernández, S. R., Castro Morales, L. G., & Maldonado

Gudiño, 2021)

2. Terapi Bekam Basah

a. Pengertian
Dalam istilah bahasa, bekam artinya menghisap. Bekam adalah

sebuah metode terapi dengan teknik mengeluarkan darah hasil

metabolisme atau darah yang terkontaminasi dengan racun dan

oksidan dari tubuh lewat permukaan kulit.  Cara ini

dianggap lebih aman dibandingkan dengan cara pemberian obat

antioksidan atau obat kimia lainnya. Bekam basah dianggap lebih

efektif untuk berbagai penyakit, terutama penyakit yang berkaitan

dengan gangguan pada pembuluh darah. Berbeda dengan bekam

kering yang mungkin hanya menyembuhkan penyakit ringan,

bekam basah dapat membantu mengatasi penyakit yang lebih

parah, akut, kronis atau degeneratif, seperti hipertensi. (Nuridah &

Yodang, 2021)

b. Manfaat Terapi Bekam Basah

Manfaat bekam pada hipertensi merupakan sebuah proses

menurunkan sistem saraf simpatis dan membantu untuk

mengontrol kadar hormon aldosteron di sistem saraf. Kemudian,

hal tersebut merangsang sekresi enzim yang bertindak sebagai

sistem angiotensin renin yang dapat menurunkan volume darah dan

mengeluarkan oksida nitrat yang berperan dalam vasodilatasi

pembuluh arah sehingga penurunan tekanan darah dapat terjadi.

Selain itu, sifat terapi preventif dari kejadian hipertensi

sangatlah kuat sehingga sangat dianjurkan sebagai sebuah terapi


komplementer dari pencegahan dan pengobatan hipertensi.

(Nuridah & Yodang, 2021)

c. Alat-alat Untuk Bekam Basah

Menurut Rido (2012), peralatan standart untuk melakukan terapi

bekam basah alat-alat yang digunakan diantaranya:

a) Tabung kop/gelas bekam

b) Pompa

c) Lancet/jarum streril

d) Stetoskop

e) Tisu

f) Minyak zaitun

g) Kantong kresek

h) Sarung tangan

d. Prosedur Terapi Bekam

Prosedur melakukan bekam

a) Persiapan alat

Kop, pompa yang sudah dalam keadaan steril, tisu, minyak

zaitun, kantong plastik, sarung tangan dan tensi meter untuk

mengecek tekanan darah pasien yang mau di bekam.

b) Alat-alat dalam keadaan steril agar bebas dari kuman dan tidak

menyebabkan penyakit, dengan cara: sebelum melakukan terapi


bekam kop yang mau di gunakan terlebih dahulu tabung kop

tersebut rebus dahulu paling sedikit 30 menit setelah air

mendidih terus menerus.

c) Persiapan pasien

- Jelaskan terlebih dahulu tentang bekam, efek yang di

hasilkan dari bekam dan proses kesembuhan yang di

hasilkan oleh pembekaman.

- Menyiapkan mental pasien agar saat dilakukan proses

terapi bekam pasien tidak gelisah dan takut.

- Untuk pasien yang belum pernah mendapatkan terapi

bekam alahkah baiknya, cukup dibekam dengan 1-2 gelas.

d) Persiapan untuk diri sendiri (juru bekam)

- Juru bekam harus dalam keadaan sehat, tidak sakit

- Juru bekam harus sudah menguasai ilmu bekam atau

profesional

- Juru bekam harus sudah di bekam dan melakukan

pembekaman

e) Wawancara pasien

- Keluhan pasien, keluhan utama, keluhan tambahan atau

lainnya dan riwayat penyakit yang pernah diderita oleh

pasien

- Keluhan yang di rasakan oleh masing-masing organ tubuh

pasien
f) Menentukan daerah titik bekam

- Titik yang sesuai dengan titik yang di keluhkan

- Titik lain yang satu jurusan/meridian dengan titik yang

dikeluhkan

- Titik dari sudut lain yang berlawanan dengan titik yang

dikeluhkan

- Titik yang berpasangan dengan titik yang dikeluhkan

- Titik yang istimewa

- Titik khusus

g) Melakukan pembekaman

Bekam di lakukan dengan cara mengeluarkan darah yang kotor

pada permukaan kulit yang sudah sebelumnya dilakukan proses

tusuk-tusukan dengan jarum bekam. (Aini, N., Hariyanto, T., &

Ardiyani, 2017)

http://repo.stikesicme-jbg.ac.id/id/eprint/2420

B. Konsep Hipertensi

1. Definisi Hipertensi

Hipertensi adalah salah satu jenis penyakit tidak menular yang serius

pada kondisi saat ini, hipertensi merupakan penyakit yang bisa

menyerang siapa saja, baik pada orang muda ataupun orangtua.

Hipertensi sering dijuluki dengan sebutan”silent killer” (pembunuh

secara diam-diam), karena sering kali seseorang penderita hipertensi


selama bertahun- tahun tanpa adanya sesuatu gangguan atau gejala.

Tanpa disadari penderita mengalami komplikasi pada organ-organ

vital seperti jantung, otak ataupun ginjal. Gejala-gejala yang biasa

ditimbulkan dari hipertensi adalah pusing, gangguan penglihatan, dan

sakit kepala. Hipertensi seringkali terjadi pada orang lanjut usia yang

dimana tekanan darah bisa mencapai angka tertentu yang

tinggi..Hipertensi adalah suatu kondisi dimana tekanan darah sistolik

lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg.

(Solehudin, 2019)

Menurut American Society of Hypertension (ASH), hipertensi

merupakan suatu kumpulan gejala kardiovaskuler yang progresif yang

merupakan suatu akibat dari kondisi lain yang kompleks dan saling

berkaitan satu sama lain. Hipertensi adalah suatu penyakit mutifaktral

yang merupakan hasil interaksi dari faktor genetik dan faktor

lingkungan. Hipertensi sendiri digolongkan dalam dua jenis yaitu

hipertensi primer (esensial) yang sampai saat ini belum diketahui

penyebab pastinya dan hipertensi sekunder yang dapat diakibatkan

oleh penyakit seperti ginjal, jantung, endokrin, dan gangguan kelenjar

adrenal.(Solehudin, 2019)

2. Tanda dan Gejala Hipertensi

Penderita hipertensi biasanya disertai adanya sejumlah tanda dan

gejala, namun ada juga yang tidak disertai gejala. Hal ini menyebabkan

hipertensi dapat terjadi secara berkelanjutan dan mengakibatkan


beberapa penyakit komplikasi. Hipertensi ada gejala deskripsinya yaitu

hipertensi biasanya tidak menimbulkan gejala. Namun akan

menimbulkan gejala setelah terjadinya kerusakan organ, misalnya

kerusakan pada organ jantung, ginjal, otak, dan mata. Sedangkan

hipertensi dengan gejala yang sering terjadi yaitu didapatkan berupa;

nyeri kepala, pusing/migrain, rasa berat di tengkuk, sulit untuk tidur,

lemah, dan mudah merasa lelah.(Solehudin, 2019)

Menurut (Widjadja,2009) penyebab hipertensi dapat dikelompookan

menjadi dua yaitu:

 Hipertensi primer atau esensial


Hipertensi primer artinya hipertensi yang belum diketahui
penyebab dengan jelas. Berbagai faktor diduga turut berperan
sebagai penyebab hipertensi primer, seperti bertambahnya usia,
sters psikologis, pola konsumsi yang tidak sehat, dan hereditas
(keturunan). Sekitar 90% pasien hipertensi diperkirakan termasuk
dalam kategori ini.
 Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder yang penyebabnya sudah di ketahui,
umumnya berupa penyakit atau kerusakan organ yang
berhubungan dengan cairan tubuh, misalnya ginjal yang tidak
berfungsi, pemakaiyan kontrasepsi oral, dan terganggunya
keseimbangan hormon yang merupakan faktor pengatur tekanan
darah. Dapat disebabkan oleh penyakit ginjal, penyakit endokrin,
dan penyakit jantung.
(Junaedi et al., 2013)
3. Klasifikasi/Jenis Hipertensi
Tabel Klasifikasi Hipertensi JNC 8 dalam Majid (2017)
Klasifikasi TD Sistolik TD Diastolik

Normal < 120 mmHg < 80 mmHg


Pre –Hipertensi 120-139 80-89 mmHg
mmHg
Hiperensi Stage -1 140-159 90-99 mmHg
mmHg
Hipertensi Stage -2 ≥ 160 mmHg ≥ 100mmHg

Klasifikasi hipertensi terbagi menjadi 2 yaitu:

a) Berdasarkan penyebab

1) Hipertensi Primer/ Hipertensi Esensial

Hipertensi yang penyebabnya tidak diketahui (idiopatik),


walaupun dikaitkan dengan kombinasi faktor gaya hidup
seperti kurang bergerak (inaktivitas) dan pola makan. Faktor
ini terjadi sekitar 90% pada penderita hipertensi.

2) Hipertensi Sekunder/ Hipertensi Non Esensial

Hipertensi ini diketahui penyebabnya. Penderita hipertensi


yang disebabkan oleh penyakit ginjal yaitu 5-10 %, sedangkan
1-2 % penderita hipertensi ini disebabkan oleh kelainan
hormonal atau pemakainan obat tertentu.

b) Berdasarkan bentuk hipertensi

Hipertensi ini disebabkan oleh sistolik (systolic hypertension) dan


diastolik (diastolic hypertension) yang meningkat. (Solehudin,
2019)

4. Penatalaksanaan Medis

Menurut Nair & Peate (2015), penataaksanaan pada penderita


hipertensi dapat digunakan berbagai cara yaitu melalui metode
farmakologi dan metode non farmakologi:

a) Pengobatan hipertensi dengan metode farmakologi diresepkan


dokter yaitu diuretic untuk mengurangi beban cairan yang
menyebabkan penurunan curah jantung sehingga membantu
menurunkan tekanan darah.
b) Pengobatan hipertensi dengan metode non farmakologi dengan
pengontrolan manual seperti pembatasan asupan natrium karena
dapat memicu retensi air yang menyebabkan peningkatan
volume yang bersirkulasi dan peningkatan curah jantung
sehingga dapat terjadi hipertensi, pengaturan diet (diet tinggi
sayur dan buah serta rendah lemak jenuh), pengaturan stress
(teknik relaksasi menurunkan tekanan darah dan beban kerja
jantung).
Sedangkan menurut JNC VII dalam Nuraini (2015), penanganan
hipertensi bertujuan untuk mengurangi angka morbiditas dan
mortalitas penyakit kardiovaskuler dan ginjal. Penatalaksanaan ini
bertujuan untuk menurunkan tekanan sistolik dan distolik darah
mencapai target <140/90 mmHg. Pengobatan untuk menurunkan
tekanan darah dapat dilakukan dengan dua cara yaitu non-
farmakologi dan farmakologi yaitu:
a) Terapi farmakologi
Terapi farmakologi yaiu memberikan terapi obat antihipertensi
yag di anjurkan oleh JNC VII dalam Nuraini (2015) yaitu
diuretic, terutama jenis thiazide (Thiaz) atau aldosteon
antagonis, beta blocker, calcium chanetl bocker atau
calciumantagonist, Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor
(ACEI), Angiotensin II Receptor Blockeratau AT1 receptor
antagonis/ blocker (ARB). Adapun contoh obat antihipertensi
antara lain yaitu;
a. Beta –blocker (misalnya: Propanolo, antenolol)

b. Penghambat angiotensin converting enzyme (misalnya:


captopril, enalapril)
c. Antagonis angiotensin II (misalnya: candesartan, losartan)
d. Calcium channel blocker (misalnya amlodipine, nifedipin)

e. Alpha-blocker (misalnya doksasozin)


b) Terapi non farmakologi
Hipertensi dapat ditangani dengan terapi non-farmakologis, yaitu
dengan perubahan gaya hidup. Beberapa perubahan gaya hidup
yang dapat menurunkan tekanan darah adalah pembatasan
konsumsi garam, pembatasan konsumsi alkohol, banyak
mengkonsumsi sayuran dan buah- buahan, penurunan dan
pengendalian berat badan, serta olah raga teratur (Sunarti 2017).
Menurut Majid (2017), semua kelas obat antihipertensi, seperti
angiotensin converting enzim inhibitor (ACEI), angiotensin
reseptor bloker (ARB), beta-bloker (BB), kalsium chanel bloker
(CCB), dan diuretik jenis tiazide, dapat menurunkan komplikasi
hipertensi yang berupa kerusakan organ target.
5. Pemeriksaan Penunjang Hipertensi
Menurut (Widjadja,2009) pemeriksaan penunjang pada penderita
hipertensi antara lain:
a) General check up
jika seseorang di duga menderita hipertensi, dilakukan beberapa
pemeriksaan, yakni wawancara untuk mengetahui ada tidaknya
riwayat keluarga penderita. Pemeriksaan fisik, pemeriksan
laboratorium, pemeriksaan ECG, jika perlu pemeriksaan khusus,
seperti USG, Echocaediography (USG jantung), CT Scan, dan lain-
lain. Tujuan pengobatan hipertensi adalah mencegah komplikasi
yang ditimbulkan. Langkah pengobatan adalah yang
mengendalikan tensi atau tekanan darah agar tetap normal.
b) Tujuan pemeriksaan laboratorium untuk hipertensi ada dua macam
yaitu:
- Panel Evaluasi Awal Hipertensi : pemeriksaan ini
dilakukan segera setelah didiagnosis hipertensi, dan
sebelum memulai pengobatan.
- Panel hidup sehat dengan hipertensi : untuk memantau
keberhasilan terapi. (Junaedi et al., 2013)
6. Patofisiologi Hipertensi
Reseptor yang menerima perubahan tekanan darah yaitu refleks
baroresptor yang terdapat pada sinus karotis dan arkus aorta. Pada
hipertensi, karena adanya berbagai gangguan genetik dan resiko
lingkungan, maka terjadi gangguan neurohormonal yaitu sistem saraf
pusat dan sistem renin-angiotensin- aldosteron, serta terjadinya
inflamasi dan resitensi insulin. Resistensi insulin dan gangguan
neurohormonal menyebabkan vasokontraksi sistemik dan peningkatan
resistensi perifer. Inflamasi menyebabkan gagguan ginjal yang disertai
gangguan sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAA) yang
menyebabkan retensi garam dan air di ginjal, sehingga terjadi
peningkatan volume darah. Peningkatan resistensi perifer dan volume
darah merupakan dua penyebab utama terjadinya hipertensi.
Hipertensi primer terjadi karena kombinasi genetik dan faktor
lingkungan yang memiliki efek pada fungsi ginjal dan vaskular. Salah
satu kemungkinan penyebab hipertensi primer adalah defisiensi
kemampuan ginjal untuk mengekresi natrium yang meningkatkan
volume cairan ekstraseluler dan curah jantun sehingga mengakibatkan
peningkatan aliran darah ke jaringan. Peningkatan aliran darah ke
jantung menyebabkan kontriksi arteriolar dan peningkatan resistensi
vaskular perifer (PVR) dan tekanan darah.
Sedangkan Hipertensi sekunder terjadi karena disebabkan oleh
penyakit pada organ yang mengakibatkan peningkatan PVR dan
peningkatan curah jantung. Pada sebagian besar kasus, fokus hipertensi
sekunder adalah penyakit ginjal atau kelebihan kadar hormon seperti
aldosteron dan kortisol. Hormon tersebut menstimulasi retensi natrium
dan air yang mengakibatkan peningkatan volume darah dan tekanan
darah.
C. Konsep Lansia

1. Definisi Lansia

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1998

tentang kesejahteraan lanjut usia bab I pasal 1 ayat 2, lanjut usia adalah

seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. (Nugroho, 2020)

Lanjut usia adalah bagian dari proses tumbuh kembang. Manusia tidak

secara tiba-tiba menjadi tua, tetapi perkembangan menjadi bayi,

dewasa dan akhirnya menjadi tua. Semua ini bisa dikatakan normal,

dengan berbagai perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat

diramalkan pada usia lanjut. Lansia merupakan proses alami yang

ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Semua orang akan mengalami

menjadi tua, dimana akan terjadi kemunduran fisik, mental dan sosial

secara bertahap. (Dimas, 2017)

Lansia adalah orang yang telah tua dan menunjukkan ciri fisik rambut

beruban, gigi ompong, dan kerutan kulit. Dalam masyarakat tidak

mampu lagi menjalankan fungsinya dengan baik dan tidak mampu

menjalankan fungsinya sebagai orang dewasa, seperti pada pria tidak

terikat atau berperan dalam ekonomi produktif, sedangkan pada wanita

tidak mampu memenuhi tugas rumah tangga. (Dimas, 2017)

2. Klasifikasi Lansia

Menurut World Health Organization (WHO, 2013).

a) Usia pertengahan (middle age) usia 45-59 tahun

b) Lanjut usia (elderly) usia 60-74 tahun


c) Lanjut usia tua (old) usia 75-90 tahun

d) Usia sangat tua (very old) usia > 90 tahun

Menurut Depkes RI (2013) klasifikasi lansia terdiri dari

a) Pra lansia yaitu seseorang yang berusia antara 45-59 tahun.

b) Lansia yaitu seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.

c) Lansia resiko tinggi yaitu seseorang yang berusia 60 tahun atau

lebih dengan masalah kesehatan.

d) Lansia potensial yaitu lansia yang masih mampu melakukan

pekerjaan dan kegiatan yang dapat menghasilkan barang atau jasa.

e. Lansia tidak potensial yaitu lansia yang tidak berdaya mencari

nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.

(Dimas, 2017)

3. Proses Menua

Menua atau proses menjadi tua adalah suatu keadaan yang terjadi di

dalam kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang

hidup, tidak hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai

sejak permulaan kehidupan. Menjadi tua merupakan proses alamiah,

yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya, yaitu

anak, dewasa dan tua. Tiga tahap ini berbeda, baik secara biologis

maupun psikologis. Memasuki usia tua berarti mengalami

kemunduran, misalnya kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit

yang mengendur, rambut memutih, gigi mulai ompong, pendengaran


kurang jelas, penglihatan semakin memburuk, gerakan lambat dan

postur tubuh yang tidak proporsional. (Nugroho, 2020)

4. Pencegahan Hipertensi Pada Lansia

Hipertensi merupakan faktor utama terjadinya penyakit kardiovaskuler

sehingga sangat berbahaya apabila tidak segera dilakukan penanganan

atau pencegahan secara dini mengenai penyakit hipertensi. ada tiga

cara pencegahan penyakit hipertensi yaitu:

a) Pencegahan primer, pencegahan ini lebih berpusat terhadap diri

sendiri yaitu memanfaatkan potensi yang ada dalam diri sendiri,

pencegahan ini di antaranya mempertahankan berat badan, diet

rendah garam, pengurangan stress, melakukan terapi modalitas dan

latihan aerobik secara teratur.

b) Pencegahan sekunder, pencegahan ini membutuhkan bantuan

tenaga kesehatan dimana tenaga kesehatan disini melakukan

mengkaji riwayat dan pengkajian fisik. Pengkajian riwayat

meliputi pertanyaan yang biasanya diderita orang hipertensi seperti

rasa pusing, dada berdebar- debar, dan sering kencing. Sementara

mengenai pengkajian fisik meliputi pengkajian perfusi jaringan ke

otak apabila tidak baik akan muncul perubahan perilaku yang dapat

diobsevasi seperti gelisah, konfus, dan jatuh, pengkajian edema,

edema yang berasal dari penyakit jantung merupakan edema yang

lembut dan meninggalkan bekas cekungan bila ditekan, auskultasi

bunyi jantung, apakah ada suara tambahan meskipun sulit biasanya


mendengarkan bunyi suara jantung pada lansia karena perubahan

emfisema senilis pada dinding dadal, dan yang terakhir yaitu

pengukuran tekanan darah secara teratur.

c) Pencegahan tersier, untuk menyeimbangkan masalah

kardiovaskuler kronis dengan gaya hidup yang memerlukan

pengetahuan untuk menyeimbangkan suplai energi tubuh dengan

kebutuhan. Pencegahan ini dimulai dari pengkajian personal klien

dan mengkaji faktor resiko yang dapat diubah, perawat perlu

menerima hak klien untuk memilih dengan tidak mengubah

kebiasaan tertentu yang telah dilakukan sepanjang hidupnya seperti

merokok atau makan-makan tinggi lemak perawat memiliki

tanggung jawab untuk menjelaskan dan mengajarkan isi yang

dilakukan perubahan agar muda di pahami klien. Pengetahuan

klien tentang obat-obatan, diet, dan rencana latihan harus dikaji

dan ditambahkan sesuai kebutuhan. Perawat harus mengkaji

kebutuhan klien untuk bantuan baik membutuhkan bantuan dari

keluarga, teman atau kelompok masyarakat tertentu. (Dimas, 2017)


DAFTAR PUSTAKA

Aini, N., Hariyanto, T., & Ardiyani, V. (2017). Perbedaan Tekanan Darah

Sebelum Dan Sesudah Dilakukan Terapi Musik Klasik (MOZART) Pada

Lansia Hipertensi Stadium 1 Di Desa Donowarih Karangploso Malang.

Journal Nursing News, XI(1), 31–37.

Amalia, R. N. (2012). Quasi Experiment Pre-Post Test One Group .

Arciniegas Paspuel, O. G., Álvarez Hernández, S. R., Castro Morales, L. G., &

Maldonado Gudiño, C. W. (2021). No 主観的健康感を中心とした在宅高

齢者における 健康関連指標に関する共分散構造分析 Title. 6.

Dimas, dimas dwi. (2017). GAMBARAN TEKANAN DARAH PADA

PENDERITA HIPERTENSI SETELAH SENAM YOGA DI Dr SITI

JUHARIAH KEPANJEN. 7–25.

Hartutik, S., & Suratih, K. (2017). Pengaruh Terapi Pijat Refleksi Kaki Terhadap

Tekanan Darah Pada Penderita Hipertensi Primer. Gaster, 15(2), 132.

https://doi.org/10.30787/gaster.v15i2.199
Junaedi, Sufrida, & &Gusti. (2013). BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian

Hipertensi. Hipertensi, 5–21.

Nugroho, C. (2020). Gangguan Pemenuhan Kebutuhan Istirahat Tidur Pada

Lansia. Journal Kesehatan, 1, 7–37.

Nuridah, N., & Yodang, Y. (2021). Pengaruh Terapi Bekam terhadap Tekanan

Darah pada Penderita Hipertensi: Studi Quasy Eksperimental. Jurnal

Kesehatan Vokasional, 6(1), 53. https://doi.org/10.22146/jkesvo.62909

Solehudin, R. H. (2019). PENGALAMAN TERAPI NON FARMAKOLOGI

PADA KLIEN DENGAN HIPERTENSI PRIMER. Diss. University of

Muhammadiyah Malang. Journal of Chemical Information and Modeling,

53(9), 1689–1699. http://eprints.umm.ac.id/52093/

Anda mungkin juga menyukai