Anda di halaman 1dari 4

1.

Jelaskan apa yang Saudara ketahui tentang “Safe from Farm to table” &
berikan contohnya

Untuk meningkatkan nilai tambah hasil pertanian, teknologi diperlukan selama


budidaya, penanganan pasca panen, dan pengolahan hasil pertanian. Untuk
meningkatkan daya saing di mata konsumen dan laba dari produk-produk
pertanian, teknologi juga diperlukan selama distribusi dan penjualan
(penyajian). Dapat disimpulkan bahwa teknologi diperlukan sejak berada di
lahan hingga disajikan di hadapan konsumen (from farm to table).
Teknologi tersebut diperlukan untuk mendukung pelaksanaan setiap
tahap farm to table, yaitu good farming practices (cara bertani yang
baik), good handling practices (cara penanganan hasil panen yang
baik), good manufacturing practices (cara pengolahan hasil pertanian yang
baik), good distribution practices (cara pengangkutan hasil pertanian yang
baik), dan good retailing practices (cara penyajian yang baik untuk
konsumen).

Good Farming Practicess


Good Farming Practices bertujuan untuk mendapatkan hasil panen yang baik
atau bahan baku industri pertanian yang baik. Ciri-ciri keberhasilan Good
Farming Practices adalah hasil panennya secara kuantitas (jumlah); kualitas
(nilai gizi dan keamanan); serta kontinuitas (ketersediaan) dapat diandalkan.
Contoh penerapan Good Farming Practices dikembangkan suatu teknologi
rekayasan genetika, yang dikenal dengan nama Genetic Modified
Organism (GMO), Sejalan dengan konsep pertanian berkelanjutan, di
dalam Good Farming Practices juga ditekankan pentingnya aspek ekologi,
terutama untuk menghindari penurunan kesuburan tanah pertanian.
Penggunaan pupuk kimia yang selama ini diterapkan secara nyata telah
merusak ekologi tanah, sehingga semakin lama kesuburan tanah semakin
berkurang. Oleh karena itu, penggunaan pupuk organik kembali digalakkan.
novasi teknologi ini mampu menjadikan pupuk organik yang tidak bentuk dan
ukurannya tidak beraturan menjadi pupuk organik yang berbentuk butiran
padat dengan ukuran 2-4 mm pada tingkat kekerasan tertentu, sehingga
mempermudah penggunaannya di lapangan.

Good Handling Practices


Good Handling Practices merupakan salah satu usaha untuk meminimalkan
kerusakan pada bahan pertanian pasca panen. Tahapan penanganan pasca
panen hasil pertanian yang sering dilakukan antara lain sortasi,
pembersihan/pencucian, dan grading.  Inovasi teknologi tepat guna telah
banyak diaplikasikan pada beberapa tahapan pasca panen, seperti pada
proses pembersihan/pencucian dan proses grading.
Contoh penerapan Good Handling Practices dalam skala industri, inovasi
teknologi telah mempermudah proses pencucian buah atau sayuran. Hal ini
terbukti dengan terciptanya alat pencuci buah atau alat pencuci sayuran.
Tidak dapat dibayangkan jika tidak ada alat pencuci buah atau sayur, padahal
suatu industri harus mencuci berton-ton buah atau sayur dalam sehari.

Good Manufacturing Practices


Tujuan utama Good Manufacturing Practices adalah menciptakan produk
olahan secara sensoris diterima dan aman apabila dikonsumsi. Inovasi dan
teknologi merupakan tulang punggung dalam untuk mencapai tujuan
tersebut.Peranan inovasi dan teknologi untuk menciptakan produk olahan
yang secara sensoris diterima konsumen dapat terlihat jelas pada pengolahan
produk-produk pangan lokal, seperti sagu, ketela pohon, ubi jalar, dan umbi-
umbian. Tujuan inovasi pengolahan bahan lokal tersebut, terutama untuk
mensejajarkan nilainya dengan beras atau tepung terigu di mata konsumen.
Teknologi penepungan merupakan salah satu contoh yang baik untuk
diaplikasikan pada bahan lokal.

Good Distribution Practices


Good Distribution Practices diperlukan untuk meminimalkan kerusakan
selama proses distibusi.Pada prinsipnya, produk pertanian harus sampai di
tangan konsumen dalam kondisi yang baik. Proses distribusi berresiko untuk
mempercepat terjadinya kerusakan, sebab kemungkinan terjadinya tekanan
mekanis yang dapat menyebabkan luka atau memar sangat besar. Oleh
karena itu, diperlukan berbagai inovasi bahan pengemas dan pelindung, agar
produk pertanian terhindar dari sinar matahari, tekanan mekanis, pukulan,
getaran, maupun benturan yang dapat menyebabkan luka dan memar selama
proses distribusi.
Contoh penerapan Good Distribution Practices adalah adanya Inovasi
teknologi mampu menjawab tantangan dengan terciptanya kontainer distribusi
yang dapat diatur suhu, kelembaban udara, komposisi udara, bahkan
tekanannya. Alat tersebut dikenal dengan nama Controlled Atmosphere
Storage (CAS), Modified Atmosphere Storage (MAS), penyimpanan dengan
pendinginan, dan penyimpanan hipobarik. Saat ini, teknologi tersebut telah
digunakan secara luas karena terbukti efektif untuk mencegah kerusakan
bahan pertanian selama distribusi.

Good Retailing Practices


Good Retailing Practices merupakan tahap terakhir untuk menjaga mutu
produk pertanian sampai ke tangan konsumen. Saat ini tuntutan konsumen
terhadap suatu barang sangat beragam. Khusus untuk produk-produk
pertanian, konsumen menginginkan barang yang masih segar dan berkualitas
tinggi. Padahal, lahan pertanian biasanya berada jauh dari konsumen,
sehingga membutuhkan waktu untuk distribusi. Hal itu tentu saja berresiko
menurunkan kesegaran dan menimbulkan kerusakan mekanis produk-produk
pertanian. Dengan demikian diperlukan inovasi teknologi untuk mengatasi
permasalahan tersebut.
Sementara itu, untuk mencegah kerusakan mekanis, diperlukan pengemas
retail yang baik, yang mampu melindungi dari tekanan atau gesekan,
sekaligus memperindah penampilan. Contoh pengemas retail yang dapat
memenuhi kriteria tersebut adalah pengemas jaring-jaring polysteren pada
buah apel atau pir. Pengemas retail buah apel dan pir tersebut mungkin dapat
dijadikan inspirasi untuk berinovasi menciptakan pengemas-pengemas retail
bagi produk pertanian lainnya.
2. Buatlah flow chart salah satu Proses Produksi Komoditas Veteriner dan
berikan bagaimana cara pengawasannya untuk menjamin terjaganya kualitas
hasil produksi

Gambar 1. Flowchart analisis bahaya dan titik kendali kritis

Analisis bahaya dan titik kendali kritis adalah susatu pendekatan sistematis
yang bersifat mencegah untuk mengidentifikasi dan menilai bahaya
mikrobiologi, kimia, fisik dan resiko yang berhubungan dengan produk.
Berikut bagan titik kendali kritis pengolahan susu di PT. XX. QC terdiri dari 3
kompoinen, yaitu kimia, miktobiologi, serta fisik dan sensori. Pada QC hal
yang dilakukan pertama kali berdasarkan Quality Monitoring Scheme (QMS)
sebagai acuan dan pedoman kerja, mengatakan uji penerimaan bahan baku
dengan berbagai macam metode, lalu pengujian pada proses produksi,
pengujian sampel berdasarkan fisik, kimia, biologis, dan sensori pada produk
antara dan akhir , teknik penyimpanan dan distribusi.

1.      Uji Penerimaan Bahan Baku

Bahan baku yang digunakan oleh PT. Sehat Makmur Indonesia adalah susu
segar. Bahan baku diperoleh oleh pemasok lokal. Pengendalian mutu bahan
baku di PT. Sehat Makmur dilakukan dengan cara menetapkan batas
spesifikasi untuk bahan baku yang masuk. Susu segar diterapkan dengan
standar kadar lemak 3,0 % , pH ± 6.5 , hasil uji alkohol negatif. Mutu susu
segar tergantung dari beberapa faktor, seperti sapi perah, manusia,
lingkungan, dan kebijaksanaan perusahaan. Hal-hal yang mempengaruhi sapi
perah adalah faktor genetika, umur sapi, pakan, dan pemeliharaan ternak.
Faktor manusia melibatkan sikap mental dan tanggung jawab peternak
maupun kebersihan peralatan memerah dan lingkunganya, sehingga susu
segar yang diperoleh semaksimal mungkin terhindar dari kontaminasi dan
bermutu tinggi. Faktor lingkungan seperti lokasi peternakan yang jauh
letaknya dari unit pengumpul susu menyebabkan selang waktu cukup lama
sebelum susu dapat disimpan dalam cooling unit, sehingga mutu susu segar
sudah menurun. Maka siambil kebijakan menggunakan pemasok yang
memiliki lokasi dekat dengan perusahaan. Kebijakan perusahaan
menerapkan sistem denda dan bonus sehingga dapat memacu peternak
dalam meningkatkan mutu susu segar yang dihasilkan.

Kadar lemak merupakan salah satu dasar penerimaan dan penolakan serta
penentuan harga susu yang dipasok. Susu segar yang dipasok oleh koperasi
– koperasi susu ke PTI mempunyai kadar lemak berkisar 2.8 – 3.9 %. Susu
segar dengan kadar lemak < 2.8 % tidak dapat diterima (ditolak). Batas
penolakan ditetapkan sesuai Surat Keputusan Direktorat Jenderal Peternakan
(1983), yang menyatakan bahwa syarat mutu susu segar harus memiliki
kadar lemak minimum 2.8%.

2.    Pengujian Proses Produksi

Pada saat proses produksi diambil sampel per batch 1 liter untuk dianalisis
secara kimia, mikrobiologis, fisik dan sensori sesuai dengan SNI. Uji kimia
dilakukan uji kadar air, protein, alkohol, dan lemak. Uji fisik dilakukan uji
penampakan, warna, aroma, dan rasa. Uji mikrobiologi dilakukan uji ALT,
kapang, dan khamir.

3.    Analisa Produk Akhir

Sebelum dikemas dilakukan pengujian produk akhir untuk menentukan mutu


akhir yang diperoleh. Setiap sampel diambil per batch sebanyak 1 liter untuk
dianalisis secara kimia, mikrobiologis, fisik dan sensori sesuai dengan SNI. Uji
kimia dilakukan uji kadar air, protein, alkohol, dan lemak. Uji fisik dilakukan uji
penampakan, warna, aroma, dan rasa. Uji mikrobiologi dilakukan uji ALT,
kapang, dan khamir.

4.   Pengemasan

Pada saat pengemasan menggunakan kemasan yang steril, dengan kondisi


lingkungan yang steril. Setelah dilakukan pengemasan adalah pengujian mutu
penyimpanan produk akhir paa 1, 3, 5, 9 ,12, 15, dan 36 bulan setelah
produksi. Penyimpanan dilakukan di dalam cooling unit yang erletak di
gudang penyimpanan sebelum dilakukan distribusi.

Anda mungkin juga menyukai