Anda di halaman 1dari 9

CRITICAL REVIEW ARTIKEL BERJUDUL: “KONSEKUENSI NALAR

KEDISIPLINAN DALAM KEBIJAKAN ICT PASCA ORDE BARU”1

Oleh:
Naghma Saniyyah (185120601111028 / B6 - E-Government)

PENDAHULUAN
Artikel berjudul “Konsekuensi Nalar Kedisiplinan Dalam Kebijakan ICT
Pasca Orde Baru” merupakan hasil penelitian yang ditulis oleh Rachmad Gustomy
(2013). Penelitian yang dilakukan berusaha mengungkap nalar dibalik proses
pembuatan kebijakan-kebijakan ICT di Indonesia dengan melihat pula peristiwa
dan kondisi yang terjadi pada saat pembuatan kebijakan-kebijakan tersebut.
Mengetahui nalar atau pengetahuan yang mendasari lahirnya sebuah kebijakan,
khususnya kebijakan ICT menjadi penting dikarenakan berangkat dari statement
bahwa pengetahuan sangat erat kaitannya dengan nalar untuk berkuasa (Foucault
dan Nietsczhe dalam Sheridan, 1997). Sehingga dipandang penting untuk
mencurigai pilihan-pilihan kebijakan yang diambil, khususnya dalam hal ini ialah
kebijakan terkait dengan kemajuan teknologi. Hal tersebut dilakukan agar
kemudian kemajuan ICT bukan malah digunakan sebagai instrumen untuk
berkuasa. Sedangkan jika dikaitkan dengan kekuasaan itu sendiri juga berkaitan
erat dengan perilaku korup, hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Lord
Acton (1972) bahwa “power tends to corrupt”.2 Para penguasa cenderung
melakukan berbagai cara untuk mendapatkan atau melanggengkan kekuasaannya,
termasuk melalui instrumen kebijakan.3 Segala keputusan biasanya secara
bertahap diarahkan untuk mempertahankan kekuasaan dibanding meningkatkan
kepentingan rakyat.4 Oleh karena itu temuan dalam artikel ini dirasa menarik dan
penting untuk dikaji lebih dalam lagi karena mengetahui pengetahuan di balik
pembuatan kebijakan-kebijakan khususnya dalam hal ini ialah kebijakan ICT

1
Rachmad Gustomy, 2013, “Konsekuensi Nalar Kedisiplinan Dalam Kebijakan ICT Pasca Orde
Baru”, Jurnal Mandatory Vol. 10 No. 2, hlm. 1-29.
2
Eko Eddya Supriyanto, 2016, “Kebijakan Inovasi Teknologi Informasi (IT) Melalui Program
Elektronik Government dalam Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik di Indonesia”, Jurnal
Ilmu Pemerintahan: Kajian Ilmu Pemerintahan dan Politik Daerah Vol. 1 No. 1, hlm. 146.
3
Haryanto, 2017, Elit, Massa, dan Kekuasaan: Suatu Bahasan Pengantar, Yogyakarta: Penerbit
PolGov, hlm. 93.
4
Ibid.
dapat meminimalisir risiko seperti misalnya penggunaan ICT yang justru menjerat
rakyat demi keuntungan penguasa.
PEMBAHASAN
Untuk mengungkap nalar atau pengetahuan dibalik pembuatan kebijakan-
kebijakan ICT di Indonesia, peneliti menggunakan metode analisis wacana kritis
Foucaltian, dengan pendekatan arkeologi dan genealogi pengetahuan. Kebenaran
didapatkan dari ruang dan waktu hadirnya wacana tersebut yang kemudian
menghasilkan lapisan-lapisan episteme yang digunakan sebagai cara pandang
peneliti dalam penelitian ini. Dari episteme inilah kemudian dapat diketahui cara
bekerjanya kekuasaan. Dalam penelitian ini digunakan pula pendekatan
governmentality untuk secara spesifik mengetahui bagaimana bekerjanya
kekuasaan dalam memproduksi dan mereproduksi kebijakan. Dalam penelitian
ini, untuk melihat bagaimana pengetahuan dan kekuasaan yang mendasari
lahirnya kebijakan-kebijakan ICT, digunakan tiga pemetaan (lapisan episteme)
berdasarkan penanda waktu serta disandingkan dengan kebijakan-kebijakan ICT
yang dihasilkan. Pemetaan tersebut hanya untuk mempermudah analisis dalam
penelitian ini. Penanda waktu yang digunakan ialah pembabagan berdasarkan
rezim Orde Lama, Orde Baru, dan Pasca-Reformasi.
Di era Orde Lama kekuasaan negara masih tradisional, kepemimpinan dan
pengetahuan para elit penyelenggara negara juga masih tradisional dan kurang
memahami teknik-teknik manajerial negara modern, sehingga untuk melakukan
perbaikan untuk menuju modern masih terdapat hambatan-hambatan internal.
Terlebih lagi pada masa ini Indonesia masih berfokus pada pembangunan negara
pasca kemerdekaan. Oleh karena itu kemajuan teknologi beserta kebijakannya
juga dikatakan masih minim dan sangat tradisional. Sementara apabila dilihat dari
relasi internasional dan rezim pemerintahan yang berkembang pada masa itu
memiliki karakteristik monopolistik. Sehingga hal ini otomatis berpengaruh pada
perkembangan telekomunikasi yang menjadi cenderung dikuasai dan diatur
penggunaannya oleh pemerintah dengan dalih kepentingan nasionalisme, yang
pada masa itu juga memang sangat gencar digaungkan. Hal itu menjadi
dimaklumi karena memang masyarakat Indonesia masih dalam euforia
kemerdekaan. Kebijakan ICT pada masa ini tertuang pada UU No. 5 Tahun 1964.
Pada masa Orde Baru, karakteristik monopolistik justru menguat,
khususnya di bidang ICT. Seluruhnya didominasi oleh negara, dibuktikan dengan
dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1974 dan Peraturan
Pemerintah Nomor 36 Tahun 1974 yang berlangsung cukup lama. Pemikiran arah
kebijakan ICT dan perubahannya tersebut dipengaruhi oleh kondisi sosial - politik
yang terjadi pada masa itu. Rezim Orde Baru dicirikan dengan karakteristik
penguasa yang represif dan justru mendapatkan pemakluman dari masyarakat.
Pemakluman bisa jadi juga dikarenakan keterpaksaan masyarakat atas rezim pada
masa itu. Tidak ada pilihan lain selain “memaklumi” karena menyalurkan aspirasi
dan rasa tidak terima atas kebijakan yang dibuat dan perilaku para penguasa pada
masa itu hanya akan berujung pada hal yang dapat merugikan masyarakat itu
sendiri. Misalnya saja yang terjadi pada masa demonstrasi tahun 1974, berangkat
dari ketidakpuasan atas kebijakan sosial - ekonomi yang dibuat pada masa itu,
kemudian berujung pada penahanan 470 orang.5 Hal ini semakin menunjukkan
bahwa ketertutupan rezim pada masa itu juga kemudian berpengaruh terhadap
kemajuan teknologi yang sebenarnya justru membuka peluang keterbukaan, maka
dari itu kemudian kebijakan ICT justru mengarah pada penguasaan pemerintah
demi kelanggengan kekuasaan para penguasa pada masa itu.
Selain itu, rezim ini merupakan rezim transformasi yang menginginkan
negara menjadi negara modern sehingga pendisiplinan dalam penyelenggaraan
negara mulai diterapkan. Kepentingan meyakinkan negara lain terkait dengan
ideologi negara demi melancarkan pembangunan juga membawa pengaruh
terhadap pembuatan kebijakan pada masa itu. Meskipun rezim cenderung otoriter,
namun rezim mencoba menghindarkan mindset negara lain yang dapat menilai
Indonesia penganut komunis. Pada akhirnya kran liberalisme mulai sedikit
dibuka, peristiwa ini berpengaruh terhadap kebijakan ICT pada masa itu yang
ditandai dengan diluncurkannya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 dan
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 yang menghadirkan peran swasta
dalam perkembangan pertelekomunikasian. Meskipun demikian, kontrol dan
pembatasan terhadap masyarakat tetap dilakukan oleh pemerintah pada masa itu.

5
David T. Hill, 1994, The Press in New Order Indonesia, diterjemahkan oleh Gita Widya
Laksmini Soerjoatmodjo, 2011, Pers di Masa Orde Baru, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, hlm. 37.
Sehingga kebijakan-kebijakan ICT juga sedikit terpengaruh oleh hal tersebut. Hal
ini baru terdegradasi ketika masuknya internet yang tidak dapat dihindari ataupun
ditolak dengan segala kebebasan yang ditawarkan di dalamnya. Hadirnya internet
justru memberikan peluang terbukanya demokrasi seluas-luasnya. Namun dalam
perkembangannya meskipun hingga pasca reformasi, kebebasan tersebut juga
masih disertai dengan campur tangan negara bahkan dengan scoop yang lebih
luas.
Kebijakan ICT pasca Reformasi dipengaruhi oleh keinginan besar untuk
menjadi demokratis pasca otoriter. Dengan alasan demokrasi bahkan justru
membuka ruang liberalisme yang cukup besar dan kompetitif dalam dunia industri
ICT. Namun pada negara-negara berkembang seperti Indonesia, ICT belum
dipandang sebagai suatu hal yang sangat penting, sehingga perannya kurang
dalam perkembangan ICT secara global. Dampaknya negara-negara berkembang
hanya menjadi penerima perkembangan teknologi dari negara-negara maju yang
aktif mengembangkannya. Pada akhirnya negara-negara berkembang seperti
Indonesia hanya terkonstruksi untuk mengikuti apa yang telah ditetapkan dan
menjadi indikator-indikator kemajuan ICT yang telah disepakati oleh lembaga-
lembaga internasional yang proses-proses di dalamnya cenderung diperankan oleh
negara-negara maju (terkukung oleh indikator-indikator internasional). Sehingga
apa yang dikatakan baik dalam perkembangan teknologi di Indonesia adalah yang
sesuai dengan intervensi tersebut, seperti dengan adanya pengukuran E-Readiness,
E-Government Index, dan lain sebagainya. Indikator-indikator dalam pengukuran
tersebut apabila ditelusuri sebenarnya hanya mencakup satu indikator yakni
infrastruktur. Hal ini kemudian berpengaruh terhadap kebijakan ICT di Indonesia.
Meskipun sebenarnya apabila dilakukan pengkajian lebih lanjut pada Undang-
undang Nomor 3 Tahun 2003 walaupun masih dinilai terlalu umum, namun pada
regulasi tersebut diatur semangat membangun E-Government dari banyak aspek,
termasuk seperti misalnya E-Leadership, suatu aspek di luar infrastruktur. Namun
tidak dinafikkan memang bahwa saat ini kebijakan ICT di Indonesia cenderung
hanya mengejar indikator-indikator internasional dalam mengembangkan e-
government-nya, misalnya saja diperkuat dengan adanya PeGI (Pemeringkatan E-
Government Indonesia) yang diadopsi dari indikator-indikator internasional untuk
menilai sistem E-Government di Indonesia, khususnya juga di daerah-daerah.
Akibatnya saat ini E-Government di daerah hanya cenderung formalitas
dan digunakan untuk ajang kontestasi belaka. Dibandingkan untuk mensukseskan
program daerah dengan langkah efisiensi menggunakan instrumen kemajuan ICT,
serta membangun relasi baru antara masyarakat dengan negara yang muncul dari
adopsi e-government, kualitas e-government di daerah malah digunakan untuk
mengejar penilaian nasional semata dan outputnya demi meningkatkan
penyerapan anggaran di daerah. Permasalahan-permasalahan yang diharapkan
dapat diminimalisir atau bahkan dihilangkan dengan adanya e-government justru
masih tetap ada dengan beragam manipulasi yang masih tetap bisa dilakukan,
bahkan juga malah menimbulkan permasalahan yang baru. Misalnya saja terkait
pelelangan jabatan yang seharusnya sudah menggunakan sistem terintegrasi
berbasis kinerja nyatanya masih saja dapat dimanipulasi oleh orang-orang yang
berkepentingan.
Kemajuan ICT yang seharusnya dapat menjadi instrumen yang dapat
digunakan untuk menangani permasalahan-permasalahan lokal yang terjadi justru
tersampingkan dibandingkan dengan upaya untuk mencapai kesetaraan ICT secara
global. Usaha yang abai terhadap kondisi dan potensi lokal dan mengupayakan
pencapaian indikator global ini, justru malah berbeda dengan apa yang dilakukan
oleh negara-negara yang dinilai telah maju. Seperti misalnya Jepang, Inggris,
Amerika, Korea Selatan, dan China. Meskipun sama-sama ingin mengejar
kepentingan ekonomi, namun kebijakan yang digunakan lebih ramah terhadap
potensi lokal. Kebijakan-kebijakan yang diambil lebih selaras dengan kepentingan
dan tujuan yang akan dicapai oleh negara-negara tersebut dengan instrumen ICT.
Sedangkan kebijakan-kebijakan ICT yang dibuat di Indonesia di era ini
justru cenderung tampak serta merta lebih berpihak terhadap kaum kapitalis,
khususnya media. Kebijakan-kebijakan tersebut justru mendistorsi hak kebebasan
masyarakat. Masyarakat justru dihadapkan diantara demokrasi dan kriminalitas.
Hal tersebut dikarenakan pasal-pasal karet yang terdapat dalam kebijakan-
kebijakan ICT di Indonesia, seperti misalnya adanya UU ITE, justru menjerat
masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya, hingga membunuh eksistensi
masyarakat sipil. Sedangkan hal tersebut tidak berlaku bagi media. Pada akhirnya
hal ini tidak dapat menyelaraskan kepentingan dan tujuan masyarakat dan negara,
sehingga seakan keduanya tidak dapat dipersatukan. Nalar semacam ini
sebenarnya tidak jauh berbeda dengan nalar kebijakan yang terdapat pada masa
Orde Baru di mana di satu sisi negara mencoba menghilangkan identitas non
demokratisnya namun di sisi lain negara tetap sangat represif terhadap
masyarakatnya. Oleh karena itu hingga saat ini “logic” yang digunakan dalam
kebijakan ICT di Indonesia masih dinilai sebagai “logic” yang konvensional.
Memang benar logic konvensional bahkan masih terpelihara hingga saat
ini (2021). Wacana yang dikonstruksi oleh presiden untuk membuat masyarakat
dapat menyalurkan kritiknya bagi pemerintah6 disusul pula memerintahkan para
aparat untuk mengkaji betul-betul pasal-pasal karet pada UU ITE untuk
menghindari ketidakadilan7 seakan hanya mengkonstruksi citra presiden. Alasan
tersebut bukan hadir dengan sendirinya. Tidak jauh setelah wacana itu hadir, lahir
kebijakan yang justru bertolak belakang dengan upaya realisasi wacana tersebut.
Sebut saja lahirnya Polisi Virtual yang dioperasikan oleh Siber Polri. Menurut
para ahli hal ini justru menimbulkan aparat masuk terlalu jauh pada ranah privat
warga negara dan cenderung subjektif dalam menilai penyimpangan UU ITE oleh
masyarakat.8 Bukan hanya tindakan tapi tujuan dari keduanya-pun sangat bertolak
belakang. Hal ini persis dengan apa yang terjadi pada saat masa Orde Baru
meskipun dengan “kemasan yang berbeda” bahwa sebenarnya demokrasi dan
hubungannya dengan kemajuan ICT tidak serta merta mendorong kemerdekaan
hak masyarakat dalam menyampaikan pendapat, sehingga dapat mempertemukan
kepentingan masyarakat dan negara, melainkan hanya sebagai instrumen untuk
memperlihatkan bahwa sebuah rezim adalah rezim yang mendorong
demokratisasi, namun di dalamnya masih saja terdapat campur tangan aparat yang
membatasi demokrasi itu sendiri. Akibatnya wacana dalam merespon kebijakan
ICT di Indonesia masih saja dalam wilayah perdebatan lama, dimana masih terkait

6
Kompas TV, 2021, “Pernyataan Jokowi yang Minta Kritik”, Youtube, diakses dari
https://www.youtube.com/watch?v=tElR75BAQE8, tanggal 4 Maret 2021, pukul 20.17 WIB.
7
CNN Indonesia, 2021, “Jokowi: Kalau Picu Ketidakadilan Hapus Pasal Karet UU ITE”, diakses
dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210216092243-32-606711/jokowi-kalau-picu-
ketidakadilan-hapus-pasal-karet-uu-ite, tanggal 4 Maret 2021, pukul 20.20 WIB.
8
Narasi Newsroom, 2021, “Ada Polisi Virtual di Medsosmu? Ini Pendapat Dua Ahli”, Youtube,
diakses dari https://youtu.be/oMEaALD8UgM, tanggal 4 Maret 2021, pukul 20.35 WIB.
nalar ketidakpercayaan negara kepada masyarakat dan masyarakat dengan negara
yang dampaknya kemudian tidak dapat melahirkan inovasi dimana kepentingan
masyarakat dan negara itu bisa dipertemukan menggunakan instrumen dari
kemajuan ICT misalnya.
PENUTUP
Dari hal-hal yang telah dipaparkan, pada akhirnya diketahui bahwa nalar
dibalik kebijakan ICT di Indonesia dari Orde Lama hingga Pasca Reformasi
sebenarnya tidak jauh berbeda. Pembuatan kebijakan masih seringkali didasari
rasa curiga dimana pemerintah mencurigai masyarakat dan masyarakat juga
mencurigai pemerintah sehingga wacana kebijakan yang hadir hanyalah seputar
pembatasan penggunaan ICT. Hal ini tidak terlepas dari kepentingan para
penguasa. Sehingga sejauh ini kemajuan ICT di Indonesia hanya berkutat pada
kepentingan penguasa dibanding kepentingan rakyat. Misalnya saja penerapan e-
government di daerah yang dibanding untuk melaksanakan pelayanan yang lebih
baik kepada masyarakat justru hanya digunakan sebagai instrumen penyerapan
anggaran. Pada akhirnya nalar konvensional ini membuat Indonesia kurang dapat
berperan dalam perkembangan kemajuan ICT, kurang inovatif, sehingga
cenderung hanya mengikuti jalan negara yang berhasil melaksanakan e-
government-nya, padahal situasi dan kondisi negara-negara tersebut sangat
berbeda dengan Indonesia. Oleh karena itulah kebijakan ICT di Indonesia kurang
dapat memberikan solusi yang inovatif yang kemudian dapat mendukung
kepentingan dan tujuan masyarakat dan negaranya sendiri.
Saran yang bisa diberikan di sini ialah untuk mengembangkan kebijakan
ICT yang solutif, Indonesia perlu memiliki tujuan yang pasti, tidak bimbang, dan
tidak hanya mengikuti arus dalam skala global. Dengan begitu dapat ditetapkan
target-target dan langkah cerdas untuk mencapainya menggunakan instrumen ICT.
Perdebatan-perdebatan konvensional seharusnya juga ditinggalkan, para penguasa
harus meyakini bahwasannya perkembangan teknologi pasti terjadi pada
masyarakat, sehingga upaya untuk membatasi masyarakat di era keterbukaan
sebenarnya merupakan hal yang membuang waktu saja. Sehingga lebih baik
wacana digeser ke arah yang lebih progresif agar melahirkan solusi dan inovasi-
inovasi guna dapat berkontribusi dalam kemajuan ICT dan dapat
menggunakannya sebagai instrumen bagi kemajuan bangsa dan negara.
DAFTAR REFERENSI
CNN Indonesia. 2021. “Jokowi: Kalau Picu Ketidakadilan Hapus Pasal Karet UU
ITE”, diakses dari
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210216092243-32-606711/joko
wi-kalau-picu-ketidakadilan-hapus-pasal-karet-uu-ite, tanggal 4 Maret 2021,
pukul 20.20 WIB.
Gustomy, Rachmad. 2013. “Konsekuensi Nalar Kedisiplinan Dalam Kebijakan
ICT Pasca Orde Baru”. Jurnal Mandatory Vol. 10 No. 2, hlm. 1-29.
Haryanto. 2017. Elit, Massa, dan Kekuasaan: Suatu Bahasan Pengantar.
Yogyakarta: Penerbit PolGov.
Hill, David T. 1994. The Press in New Order Indonesia. Diterjemahkan oleh Gita
Widya Laksmini Soerjoatmodjo. 2011. Pers di Masa Orde Baru. Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Kompas TV. 2021. “Pernyataan Jokowi yang Minta Kritik”, Youtube, diakses dari
https://www.youtube.com/watch?v=tElR75BAQE8, tanggal 4 Maret 2021,
pukul 20.17 WIB.
Narasi Newsroom. 2021. “Ada Polisi Virtual di Medsosmu? Ini Pendapat Dua
Ahli”, Youtube, diakses dari https://youtu.be/oMEaALD8UgM, tanggal 4
Maret 2021, pukul 20.35 WIB.
Supriyanto, Eko Eddya. 2016. “Kebijakan Inovasi Teknologi Informasi (IT)
Melalui Program Elektronik Government dalam Meningkatkan Kualitas
Pelayanan Publik di Indonesia”. Jurnal Ilmu Pemerintahan: Kajian Ilmu
Pemerintahan dan Politik Daerah Vol. 1 No. 1, hlm. 141-161.

Anda mungkin juga menyukai