04 TOR Skrining Bayi Baru Lahir
04 TOR Skrining Bayi Baru Lahir
A. Latar Belakang
B. Gambaran Umum
Agar dapat bersaing dalam persaingan global dibutuhkan sumber daya manusia (SDM)
yang berkualitas. Pembangunan kesehatan merupakan investasi meningkatkan kualitas
sumber daya manusia. Dalam Undang-Undang Nomor : 17 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP-N) dinyatakan bahwa dalam rangka
mewujudkan SDM yang berkualitas dan berdaya saing, maka kesehatan bersama-sama
dengan pendidikan dan peningkatan daya beli keluarga/masyarakat adalah tiga pilar utama
untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan Indeks Pembangunan Manusia
(IPM) Indonesia.
Untuk mendapatkan sumber daya manusia yang berkualitas perlu dilakukan deteksi sedini
mungkin sejak bayi baru lahir melalui skrining bayi baru lahir. Skrining atau uji saring
pada bayi baru lahir (Neonatal Screening) adalah tes yang dilakukan pada saat bayi
berumur beberapa hari. Skrining bayi baru lahir dapat mendeteksi adanya gangguan sejak
dini sehingga apabila ditemukan gangguan/kelainan dapat diantisipasi sedini mungkin.
Sebagian besar negara-negara di dunia melakukan secara rutin sebagai pelayanan kesehatan
terhadap setiap bayi baru lahir. Di Amerika Serikat, skrining bayi baru lahir telah menjadi
standar penting program kesehatan masyarakat dan sudah dimulai sejak 40 tahun yang lalu.
Negara telah mewajibkan melakukan skrining kepada seluruh bayi baru lahir untuk
mengetahui adanya kelainan, karena seringkali bayi baru lahir tampak normal dan tidak
terdiagnosis dan dikenali setelah timbul gejala khas dan sudah terjadi dampak permanen.
Di Indonesia, diantara penyakit-penyakit yang bisa dideteksi dengan skrining pada bayi
baru lahir, Hipotiroid Kongenital (HK) merupakan penyakit yang tidak jarang ditemui.
Kunci keberhasilan pengobatan anak dengan HK adalah deteksi dini dan pengobatan
sebelum anak berumur 1 - 3 bulan, namun sulit ditegakkan secara klinis Karena gejala bisa
belum muncul pada saat bayi baru lahir. Jika gejala sudah terlihat, maka pengobatannya
sudah terlambat.
Telaah rekam medis tahun 1995 di RSCM dan RSHS terhadap 134 anak, menunjukkan
bahwa lebih dari 70% penderita didiagnosis setelah umur 1 tahun dan hanya 2,3% yang
didiagnosis dibawah umur 3 bulan, akibatnya penderita mengalami gangguan pertumbuhan
(Cebol) dan mental terbelakang (retardasi mental). Hasil pemeriksaan sampel darah dari
166.903 bayi yang dikirim ke Laboratorium RS Hasan Sadikin, didapatkan 43 bayi positif
mengalami hipotiroid kongenital. Maka prevalensi kejadian HK di Indonesia 1: 3.881.
Namun sampai saat ini masih sedikit sekali bayi baru lahir yang mendapatkan skrining,
baru hanya 0,3 % dari seluruh kelahiran bayi.
Untuk menyebarluaskan pelaksanaan skrining bayi baru lahir, khusunya SHK ini, agar
tidak terjadi keterlambatan mengetahui dan memberikan pengobatan kepada bayi baru lahir
sebelum usia 2 (dua) bulan perlu dilakukan dilakukan pelatihan skrining bayi baru lahir
bagi tenaga kesehatan, maka dari itu perlu dibentuk fasilitator skrining bayi baru lahir di
tingkat provinsi untuk memenuhi kebutuhan fasilitator pelatihan skrining bayi baru lahir.
C. Penerima Manfaat
1. penerima Manfaat
Kegiatan ini dilaksanakan selama 3 hari dengan mengundang sejumlah 30 orang
peserta, antara lain :
a) Pengelola Program KIA Provinsi (3 Orang)
b) Pengelola Program KIA Kab/Kota (1 Orang)
c) Pengelola Program KIA di Rumah sakit (1 Orang)
d) Petugas Puskesmas terpilih (1 orang pengelola program kesehatan anak)
e) Lintas program terkait kesehatan anak di Provinsi (3 Orang)
2. Penanggungjawab
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Banten
D. Strategi Pencapaian Keluaran
1. Metode Pelaksanaan
b. pelaksanan Meliputi :
Keluaran kegiatan yang terdiri dari satu laporan kegiatan untuk dicapai setelah selesainya
penyelenggaraan kegiatan dan dalam 1 tahun berjalan anggaran tahun 2016.
Biaya yang dibutuhkan dalam pelaksanaan kegiatan sebesar Rp. 88.390.000,- (Delapan
Puluh Delapan Juta Tiga Ratus Sembilan Puluh Ribu Rupiah)